Anda di halaman 1dari 79

Materi Penyuluhan Kehutanan Seri : 9 /2012

PENGELOLAAN KONFIIK SUMBER DAYA HUTAN

ISBN. 978-602-18530-9-2

ii

KATA PENGANTAR Berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan - RI Nomor : P.40/Menhut-II/2010 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Kehutanan, tercantum bahwa Badan Penyuluhan dan Pengembangan SDM Kehutanan (BP2SDMK) berkedudukan sebagai unsur pendukung dengan tugas melaksanakan penyuluhan dan pengembangan SDM kehutanan dan salah satu fungsinya adalah penyiapan bahan materi penyuluhan kehutanan. Penyiapan materi penyuluhan dilakukan dalam rangka membekali Penyuluh Kehutanan dengan berbagai informasi kebijakan, program dan kegiatan pembangunan kehutanan serta meningkatkan kompetensi yang bersangkutan. Salah satu Materi Penyuluhan Kehutanan yang disusun dalam tahun 2012 adalah pengelolaan konflik sumber daya hutan. Buku ini disusun dengan mengambil bahan dari berbagai sumber antara lain dari Ditjen Bina Usaha Kehutanan CIFOR, serta pengalaman di beberapa tempat. Diharapkan buku ini dapat menjadi acuan dan referensi sehingga pelaksanaan penyuluhan dapat dilaksanakan secara berdaya guna dan berhasil guna. Pada kesempatan kali ini, kami mengucapkan terima kasih kepada para pihak sehingga buku ini dapat tersusun. Semoga bermanfaat. Kepala Pusat,

Ir. Erni Mayana, MM NIP. 19580521 198403 2 001

iii

DAFTAR ISI HalamanHalaman KATA PENGANTAR ............................................................................... DAFTAR ISI ......................................................................................... DAFTAR GAMBAR & DAFTAR TABEL ...................................................... BAB I PENDAHULUAN ........................................................................ A. Latar Belakang ................................................................... B. Ruang Lingkup ................................................................... C. Tujuan ............................................................................... D. Batasan Dan Pengertian ...................................................... iii V VII 1 1 3 3 4 6 6 7 9 11 14 15 17 18 20 26 26 26 27 36 39

BAB II MEMAHAMI KONFLIK ................................................................ A. Pengertian Konflik .............................................................. B. Jenis Konflik ....................................................................... C. Penyebab Konflik ................................................................ D. Berbagai Pendekatan Pengelolaan Konflik ............................ BAB III ANALISIS KONFLIK ................................................................... A. Prinsip-Prinsip .................................................................... B. Instrumen/Alat Analisis ....................................................... C. Isu-Isu Konflik Dan Analisis Akar Permasalahan .................... D. Mengidentifikasi Dan Menganalisis Para Pemangku Kepentingan ....................................................................... BAB IV STRATEGI PENGELOLAAN KONFLIK............................................ A. Pengertian Pengelolaan Konflik ............................................ B. Tujuan Pengelolaan Konflik ................................................. C. Pendekatan Dan Cara Pengelolaan Konflik ........................... D. Sistem Pengelolaan Konflik ................................................. E. Indikator Keberhasilan Pengelolaan Konflik ..........................

BAB V TEKNIK NEGOSIASI DAN MEDIASI DALAM PENGELOLAAN KONFLIK .................................................................................. A. Negosiasi ........................................................................... B. Mediasi .............................................................................. BAB VI CONTOH PENGELOLAAN KONFLIK SUMBER DAYA HUTAN .......... A. Contoh Pengelolaan Konflik pada Kawasan Hutan Produksi/Banten Mega Biodiversity (BMB) ............................ B. Contoh Pengelolaan Konflik pada Kawasan Hutan Konservasi di TN Gunung Halimun-Salak .............................. C. Contoh Pengelolaan Konflik pada Kawasan Hutan Lindung di Register 38 Lampung Timur................................. DAFTAR PUSTAKA ................................................................................

41 41 48 59 61 63 67 71

VI

DAFTAR GAMBAR Halaman Halaman Gambar 1 Gambar 2 Gambar 3 Gambar 4 Gambar 5 Gambar 6 Sasaran Dan Perilaku Berbagai Macam Konflik ..................... Sumber Terjadinya Konflik .................................................. Respon Terhadap Berbagai Konflik ...................................... Berbagai Pendekatan Dalam Mengelola Konflik ..................... Rangkaian Pendekatan Pengelolaan Konflik ......................... Peta Proses Pengelolaan Konflik ........................................ 8 10 12 27 34 55

DAFTAR TABEL Halaman Tabel 1 Tabel 2 Tabel 3 Tabel 4 Tabel 5 Tabel 6 Berbagai Alat/Instrumen Dalam Analisis Konflik .................... Rangkuman Berbagai Pendekantan Dalam Penyelesaian Konflik/Sengketa Di Indonesia ............................................. Jenis Konflik, Penyebab Dan Kemungkinan Intervensinya ...... Kekuatan Dan Keterbatasan Sistem Adat Dalam Pengeloalan Konflik ............................................................. Kekuatan Dan Keterbatasan Sistem Hukum Nasional Dalam Pengelolaan Konflik SDA ........................................... Kekuatan Dan Keterbatasan Sistem Pengelolaan Konflik Alternatif (ACM) Pada Pengelolaan SDA ............................... 17 30 32 36 37 39

VII

I. A. Latar Belakang

PENDAHULUAN

Konflik dalam kehidupan manusia merupakan hal yang manusiawi, alami dan berpotensi terjadi setiap kali. Konflik terjadi bila ada ketidaksepahaman atau pertentangan atas suatu obyek yang sama, ataupun memiliki sasaran-sasaran yang berbeda atas suatu obyek yang sama. Yang terpenting dari suatu konflik adalah ditemukannya keluaran atau solusi atas konflik tersebut. Didalam pengurusan dan pengelolaan sumber daya hutan (SDH), konflik pun sering terjadi antar pemangku kepentingan baik karena pemahaman yang berbeda, sasaran yang berbeda, kepentingankepentingan yang berbeda atas keberadaan kawasan hutan dan hasil hutan, tetapi yang terpenting adalah bahwa tujuan utama pengurusan dan pengelolaan hutan adalah terwujudnya Hutan Lestari dan Masyarakat Sejatera. Fenomena yang kita hadapi sekarang sebagai suatu realitas yang sedang dan akan kita hadapi yaitu adanya degradasi fungsi hutan, ada desa dan masyarakat yang berada dalam kawasan hutan, ada juga masyarakat yang melakukan pendudukan/merambah kawasan hutan, ada juga masyarakat di dalam dan sekitar kawasan hutan yang termasuk kategori miskin sehingga prinsip yang menjadi pilihan didalam pengurusan dan pengelolaan hutan antara lain kepastian dan penegakan hukum, devolusi dan desentralisasi, transparansi dan partisipasi serta kelestarian dan pemberdayaan. Perkembangan konflik kehutanan di era reformasi sebagaimana hasil kajian CIFOR sangat dipengaruhi oleh adanya krisis multi dimensi sejak tahun 1997 terutama krisis ekonomi; dan dengan pergantian pola pemerintahan dari rezim Orde Baru yang bercirikan pertumbuhan, pemerataan dan keamanan menjadi pemerintahan desentralisasi yang lebih demokratis. Penelitian CIFOR menunjukkan bahwa setelah era Orde Baru, selain peningkatan jumlah, konflik yang terjadi cenderung disertai kekerasan, yang diduga antara lain karena dampak reformasi. Reformasi telah membuat masyarakat sadar akan haknya dan akhirnya
1

berani menuntut untuk mendapatkan porsi manfaat yang lebih wajar dari keberadaan hutan di sekitar mereka. Akibat tuntutan mereka kurang ditanggapi dengan baik dan ketidakpastian penegakan hukum, keberanian masyarakat lokal akhirnya diekspresikan dalam bentuk perlawanan terbuka terhadap pengelola hutan. Konflik bukan saja perlu ditangani tetapi perlu dikelola dengan baik, karena konflik-konflik dapat menghasilkan keluaran-keluaran yang membangun dan posistif. Contohnya, konflik dapat membantu memperjelas kebijakan-kebijakan, institusi-institusi dan proses-proses yang mengatur akses sumber daya alam/hutan. Konflik SDA/SDH perlu dikelola karena dapat menjadi kekuatan penting dalam meningkatkan pengelolaan sumberdaya alam/hutan secara berkelanjutan. Oleh karena itu perlu dipelajari keahlian-keahlian dalam menganalisis dan mengelola konflik secara konstruktif dan partisipatif. Berbagai program/kegiatan pemberdayaan masyarakat didalam dan sekitar hutan antara lain pemberian ijin usaha HKm, Hutan Desa, HTR, fasilitasi pengembangan hutan rakyat dan KBR dapat menjadi salah satu pintu masuk pengelolaan konflik secara kolaboratif di sektor kehutanan. Pengembangan kelembagaan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) juga diharapkan dapat menjadi salah satu pendekatan untuk resolusi konflik. KPH yang dibangun dengan memperhatikan dan mempertimbangkan kekhasan masing-masing daerah, sehingga KPH dibangun tidak seragam untuk menghindari permasalahan pada masing-masing lokasi. KPH diharapkan menjadi jembatan bagi terjalinnya komunikasi institusi di tingkat Pusat/Provinsi/Kabupaten/ Kota dengan masyarakat, karena KPH merupakan institusi pemerintah yang berada di tingkat tapak. Sebagai organisasi tingkat tapak, KPH mempunyai mata dan tangan untuk menggali sekaligus pemetaan sosial ekonomi masyarakat sekitar hutan. Disamping itu KPH dapat menjalin interaksi dan komunikasi intensif dengan masyarakat, sekaligus menggali alternatif solusi sesuai kebutuhan masyarakat. Semua kegiatan di atas, dapat menjadi salah satu pendekatan resolusi konflik tetapi bila tidak dikelola dengan baik dapat menjadi sumber konflik yang baru. Oleh karena itu perlu ada upaya pengawalan

dan pendampingan. Penyuluh kehutanan sebagai garda terdepan pembangunan kehutanan di tingkat tapak mempunyai peran sangat penting dalam kegiatan pendampingan masyarakat agar program kehutanan dapat berjalan baik secara berkelanjutan. Penyuluh kehutanan diharapkan dapat berperan bukan saja sebagai edukator, fasilitator, motivator, dinamisator tetapi juga sebagai negosiator dan mediator dalam pengelolaan berbagai kasus konflik kehutanan di tanah air. Penyuluh kehutanan harus dapat memainkan perannya sebagai agent of change bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat dan pembangunan hutan berkelanjutan. Pada sisi lain disadari bahwa pada saat ini kompetensi penyuluh kehutanan sebagai pendamping masyarakat masih perlu terus ditingkatkan. Oleh karena itu, selain mengadakan pelatihan bagi penyuluh, Kementerian Kehutanan khususnya Badan Penyuluhan dan Pengembangan SDM Kehutanan juga berupaya memberikan wawasan melalui penyebaran luasan berbagai materi penyuluhan agar penyuluh kehutanan baik penyuluh PNS, swadaya dan swasta dapat berperan sebagaimana yang diharapkan. B. Ruang Lingkup Mengingat luasnya cakupan permasalahan konflik, materi ini dibatasi pada pengelolaan konflik sumber daya hutan, dari pendekatan persuasif dalam rangka pemberdayaan masyarakat di dalam, tepi dan sekitar kawasan hutan sedangkan pendekatan represif dan tenurial tidak termasuk dalam materi ini. Pembahasan materi dibatasi pada pemahaman konflik SDH secara umum, metode analisis konflik, strategi pengelolaan konflik serta teknik negosiasi dan mediasi dalam pengelolaan konflik. C. Tujuan Tujuan penyusunan materi penyuluhan ini adalah meningkatkan wawasan dan pemahaman tentang pengelolaan konflik SDH/SDA bagi penyuluh kehutanan (PNS, swadaya dan swasta) dan semua pihak yang terlibat dalam penyelenggaraan penyuluhan kehutanan dan pemberdayaan masyarakat sekitar hutan.

D. Batasan Dan Pengertian 1. Kolaborasi adalah melibatkan orang-orang dengan berbagai macam kepentingan dan bekerja sama untuk mencapai jalan keluar yang memuaskan dan saling menguntungkan. Tujuan kolaborasi adalah untuk mengelola perselisihan sehingga hasil/jalan keluar yang didapatkan bersifat membangun dan tidak merusak. Hasil yang membangun akan mendorong komunikasi, pemecahan masalah dan hubungan yang semakin baik; 2. Kolaborasi pengelolaan sumberdaya hutan adalah suatu kemitraan dimana para pemangku kepentingan setuju untuk saling berbagi fungsi pengelolaan (manajemen), hak-hak dan tanggung jawab atas suatu wilayah atau sejumlah sumberdaya; 3. Konflik adalah perbedaan atau pertentangan kepentingan antara dua pihak atau lebih yang dapat mengakibatkan permusuhan atau tindakan yang merusak pihak lainnya; 4. Analisis konflik adalah identifikasi dan perbandingan kedudukan, nilai, tujuan, isu, kepentingan dan kebutuhan dari pihak-pihak yang berkonflik; 5. Manajemen konflik adalah praktek mengidentifikasi dan menangani konflik secara bijaksana, adil, efisien, mencegah konflik menjadi lepas kendali dan berubah menjadi kekerasan; 6. Resolusi Konflik adalah kegiatan-kegiatan yang berorientasi pada proses yang bertujuan untuk menangani dan menyelesaikan akar permasalahan dan sebab utama dari suatu konflik; 7. Penyelesaian konflik adalah semua strategi yang berorientasi kepada tercapainya suatu konflik dalam bentuk kesepakatan di antara pihak-pihak yang berkonflik yang memungkinkan mereka untuk menyelesaikan konflik bersenjata tanpa harus menangani penyebab-penyebab yang mendasari konflik; 8. Transformasi konflik adalah usaha-usaha jangka panjang yang berorientasi untuk mendapatkan hasil, proses dan perubahan struktural. Tujuannya menanggulangi bentuk-bentuk kekerasan langsung, budaya, struktural yang muncul melalui transformasi hubungan sosial dan promosi yang dapat membantu menciptakan hubungan-hubungan kerjasama;
4

9. Negosiasi adalah suatu bentuk pengambilan keputusan dimana dua pihak atau lebih berdiskusi satu sama lain dalam usaha untuk menyelesaikan kepentingan-kepentingan mereka yang berlawanan; 10. Mediasi adalah perpanjangan atau elaborasi dari proses perundingan yang melibatkan pihak ketiga. Pihak ketiga bekerja dengan pihak-pihak yang berselisih untuk membantu mereka meningkatkan komunikasi mereka dan analisis terhadap situasi konflik sehingga mereka dapat melakukan identifikasi sendiri dan memilih suatu opsi untuk menyelesaikan konflik yang dapat memenuhi kepentingan dan kebutuhan bagi seluruh pihak yang berselisih; 11. Pemangku kepentingan adalah orang-orang yang akan dipengaruhi oleh suatu konflik atau resolusi dari konflik tersebut, baik yang terlibat langsung yaitu pihak-pihak yang berselisih maupun orang-orang yang tidak terlibat konflik secara langsung tetapi mungkin akan terpengaruh oleh konflik tersebut dan hasilhasilnya di masa yang akan datang.

II. A. Pengertian Konflik

MEMAHAMI KONFLIK

Istilah konflik sangat sering kita dengar, mulai dari level yang sangat sempit yaitu konflik keluarga sampai dengan level yang sangat luas seperti konflik antar negara atau konflik internasional. Kita dapat mengatakan bahwa konflik merupakan bagian dari hidup manusia. Sebagai mahluk sosial, manusia setidaknya pernah mengalami konflik dalam hubungan sosial dengan manusia lain. Konflik berasal dari bahasa Yunani konfigere yang berarti memukul dan dari bahasa Inggris conflict yang berarti pertentangan. Konflik memiliki dimensi pengertian yang sangat luas, baik dari sisi ilmu sosiologi, antropologi, komunikasi maupun manajemen. Para ahli dari berbagai latar belakang keilmuan mendefinisikan konflik sebagai berikut: Konflik adalah pertentangan antara banyak kepentingan, nilai, tindakan atau arah serta merupakan bagian yang menyatu sejak kehidupan ada. Karenanya konflik merupakan sesuatu yang tidak terelakkan yang dapat bersifat positif atau bersifat negatif (Johnson dan Dunker (1993) dalam Mitchell et al, 2000); Konflik adalah hubungan antara dua pihak atau lebih individu atau kelompok, yang memiliki atau merasa memiliki sasaran-sasaran yang tidak sejalan (Fisher, 2001); Konflik adalah suatu hubungan yang melibatkan dua pihak atau lebih yang memiliki atau merasa memiliki kepentingan, tujuan yang bertentangan(Angel dan Korf, 2005); Konflik adalah proses pertentangan yang diekspresikan diantara dua pihak atau lebih yang saling tergantung mengenai suatu obyek konflik, menggunakan pola perilaku dan interaksi yang menghasilkan keluaran konflik (Wirawan, 2010).

Menurut Hardjana (1994) konflik, perselisihan, percekcokan, pertentangan merupakan pengalaman hidup yang cukup mendasar dan amat mungkin terjadi. Seperti pengalaman hidup yang lain, konflik tidak dapat dirumuskan secara ketat. Lebih tepat jika konflik itu diuraikan dan dilukiskan. Konflik terjadi manakala dalam hubungan antara dua orang/kelompok atau lebih, perbuatan yang satu berlawanan dengan perbuatan yang lain, sehingga salah satu atau beberapa orang/kelompok tersebut saling tergangu. Konflik merupakan hal yang dapat atau biasa terjadi dalam hidup. Secara teoritis konflik berpotensi timbul dalam setiap interaksi sosial, tidak hanya disebabkan karena adanya perjuangan untuk bertahan hidup dengan keterbatasan ruang/sumber daya (struggle for limited space/resources), tetapi dikarenakan adanya insting agresif dan kompetitif yang dimiliki oleh manusia (innate instinct). B. Jenis Konflik Ada beragam konflik, tergantung dari sudut pandang, sehingga jika dipandang dari aspek perilaku terhadap sasaran, maka konflik ada 4 kategori yaitu : 1. Pra Konflik, yaitu ada perbedaan tetapi belum menjadi sumber konflik; 2. Konflik tertutup (latent), yaitu konflik tersembunyi atau tidak muncul dipermukaan tetapi terus berlangsung; 3. Konflik permukaan (emerging) yaitu konflik yang nampak/muncul hanya karena kesalahpahaman atas sasaran yang ingin dicapai; 4. Konflik terbuka (manifest) yaitu konflik atau pertentangan yang sangatnyata dan berakar sangat mendalam.

(Sumber Fisher (2001)) Gambar 1 : Sasaran dan Perilaku Berbagai Macam Konflik

Wirawan (2010) mengemukakan beberapa jenis konflik ditinjau dari berbagai aspek: 1. Aspek subyek yang terlibat dalam konflik Konflik personal adalah konflik yang terjadi dalam diri seseorang karena harus memilih dari sejumlah alternatif pilihan; Konflik interpersonal adalah konflik yang terjadi antar personal dalam suatu organisasi, dimana pihak-pihak dalam organisasi saling bertentangan;

Conflict of interest berkembang dari konflik interpersonal


dimana para individu dalam organisasi memiliki interest yang lebih besar dari interest organisasi, sehingga mempengaruhi aktivitas organisasi.

2. Aspek substansi konflik Konflik realistis yaitu konflik dimana isu ketidaksepahaman/pertentangan terkait dengan substansi/obyek konflik sehingga dapat didekati dari dialog, persuasif, musyawarah, negosiasi ataupun voting; Konflik non realistis adalah konflik yang tidak ada hubungan dengan substansi/obyek konflik, hanya cenderung mau mencari

kesalahan lawan baik dengan cara kekuasaan, kekuatan, agresi/paksaan. 3. Aspek keluaran Konflik konstruktif yaitu konflik dalam rangka mencari dan mendapatkan solusi; Konflik destruktif yaitu konflik yang tidak menghasilkan atau tidak berorientasi pada solusi, mengacaukan, menang sendiri dan hanya saling menyalahkan.

4. Aspek bidang kehidupan Konflik bidang kehidupan antara lain bidang ekonomi, termasuk SDH merupakan konflik yang terjadi lebih dipicu oleh keterbatasan sumber daya alam, manusia cenderung berkembang dan terjadi perebutan atas akses ke sumber-sumber ekonomi, perebutan penguasaan atas sumber-sumber eknomi dan dapat saja memicu konflik-konflik bidang kehidupan lainnya yaitu konflik sosial, politik dan budaya. Suporahardjo (2000) membagi konflik menjadi dua jenis menurut level permasalahnnya, yaitu konflik vertikal dan konflik horizontal. Menurut level permasalahannya, konflik vertikal terjadi antara pemerintah dan masyarakat, sedangkan antar masyarakat atau antar institusi pemerintah adalah konflik horisontal. C. Penyebab Konflik Sumber konflik menurut Suporahardjo (2000) adalah adanya perbedaan, dan perbedaan tersebut bersifat mutlak yang artinya secara obyektif memang berbeda. Perbedaan tersebut dapat terjadi pada tataran antara lain: (1) perbedaan persepsi; (2) perbedaan pengetahuan;(3) perbedaan tata nilai; (4) perbedaan kepentingan; dan (5) perbedaan pengakuan hak kepemilikan (klaim). Fisher et. al. (2001) menyebutkan penyebab konflik adalah isu-isu utama yang muncul pada waktu menganalisis konflik, yaitu isu kekuasaan, budaya, identitas, gender dan hak. Isu-isu ini muncul ketika mengamati interaksi antar pihak yang bertikai, yang pada satu
9

kesempatan tertentu akan menjadi latar belakang konflik serta berperan sebagai faktor-faktor yang mempengaruhi secara diam-diam. Menurut Wirawan (2010) konflik dapat terjadi karena keterbatasan sumber, tujuan yang berbeda, komunikasi yang tidak baik, keragaman sosial, perlakuan yang tidak manusiawi, sebagaimana nampak pada diagram berikut ini.

Perlakuan Tidak Manusiawi

Keterbatasan Sumber

Tujuan Yang Berbeda

Komunikasi Yang Tidak Baik Sumber Konflik Sistem Imbalan Yg Tidak Layak

Interdepensi Tugas

Keragaman Sistem Sosial

Pribadi Orang

Ambiguitas Yurisdikasi

Deferensiasi Organisasi

(Sumber : Fisher et.al (2001)) Gambar 2 : Sumber Terjadinya Konflik

Engel dan Korf (2005) menyebutkan ada 4 penyebab konflik SDA yaitu: (1) persaingan yang ketat akan pemanfaatan SDA; (2) pertentangan antara hukum adat dan hukum positif; (3) perubahan terkait dengan perubahan kepentingan dan kebutuhan penggunaan SDA, (4) kebijakan, program, kegiatan pengelolaan SDA sering menjadi sumber konflik, karena kebijakan sering ditentukan tanpa partisipasi, identifikasi dan konsultasi pemangku-kepentingan yang sering tidak tepat, penyampaian informasi yang tidak tepat, kapasitas kelembagaan yang tidak memadai, pemantauan dan evaluasi atas program, kegiatan tidak memadai sehingga mempersulit identifikasi dan penyelesaian masalah.
10

Secara umum persoalan mendasar yang dihadapi masyarakat desa hutan ; pertama : kepastian hak penguasaan SDH (forets tenuar security), kedua : kapasitas masyarakat desa hutan untuk membangun diri sendiri secara terus-menerus, selanjutnya disebutkan bahwa salah satu kebijakan untuk melakukan devolusi yaitu kebijakan pemberian kesempatan bagi masyarakat desa hutan atas hak pengelolaan kawasan hutan negara sesuai karakteristik. Menurut Hardjana (1994) secara garis besar, penyebab atau inti konflik itu dapat dikelompokkan menjadi lima, yaitu: (1) Masalah struktural; (2) Masalah kepentingan; (3) Masalah perbedaan nilai; (4) Masalah perbedaan data; dan (5) Masalah hubungan antar manusia. Konflik dapat berintikan salah satu atau gabungan dua atau lebih diantara inti konflik yang telah disebutkan di atas. D. Berbagai Pendekatan Pengelolaan Konflik Seiring dengan perkembangan ilmu, muncul berbagai teori tentang konflik, mulai dari ilmu yang sangat teoritis, sampai dengan yang lebih bersifat aplikatif yaitu ilmu mengelola konflik (conflict management). Konflik terus dipelajari karena konflik sendiri bermanfaat dan merupakan bagian dari kehidupan kita. Untuk dapat lebih memahami (pengelolaan) konflik, banyak istilah berkaitan konflik yang perlu dipahami bersama. Fisher (2001) menjelaskan perbedaan istilah-istilah sebagai berikut: Pencegahan Konflik bertujuan untuk mencegah timbulnya konflik yang keras; Penyelesaian konflik bertujuan untuk mengakhiri kekerasan melalui suatu persetujuan perdamaian; perilaku

Pengelolaan Konflik bertujuan untuk membatasi dan menghindari kekerasan dengan mendorong perubahan perilaku yang posistif bagi pihak-pihak yang terlibat; Resolusi konflik menangani sebab-sebab konflik dan berusaha membangun hubungan baru dan yang bisa bertahan lama di antara kelompok-kelompok yang bermusuhan;

11

Transformasi konflik mengatasi sumber-sumber konflik sosial dan politik yang lebih luas dan berusaha mengubah kekuatan negatif dari peperangan menjadi kekuatan sosial dan politik yang positif.
M E N I N G K A T K A N N Y A R U A N G L I N G K U P

MENINGKATKAN KEKERASAN
KONFLIK LATEN PENCEGAHAN KONFLIK PENYELESAIAN KONFLIK PENGELOLAAN KONFLIK RESOLUSI KONFLIK TRANSFORMASI KONFLIK KONFLIK DI PERMUKAAN KONFLIK TERBUKA

(Sumber: Fisher, 2001 hal.7 gbr 1.2) Gambar 3 : Respon Terhadap Berbagai Konflik

Wirawan (2010) menjelaskan resolusi konflik adalah proses untuk mencapai keluaran konflik dengan metoda resolusi konflik, sedangkan metoda resolusi konflik adalah proses manajemen konflik yang digunakan untuk menghasilkan keluaran konflik yang mencakup metoda pengaturan sendiri (self regulation) maupun metoda intervensi pihak ketiga. Manajemen konflik yaitu praktek mengidentifikasi konflik, menangani konflik secara bijaksana, adil, efisien dan mencegah konflik agar tidak lepas kendali. Metoda pengaturan sendiri yaitu : win-win solution (kolaborasi-kompromi), win and loses solution (memperkecil posisi lawan), ataupun metoda menghindar, sedangkan metoda intervensi pihak ketiga yaitu melalui pengadilan, proses administrasi, dan resolusi perselisihan alternatif yaitu terdiri dari mediasi, arbitrasi dan ombudsmen. Ada tiga komponen utama dalam konflik, yaitu: (1) kepentingan (interests), baik yang bersifat subyektif ataupun obyektif; (2) emosi (emotional), yaitu perasaan seperti kemarahan, ketakutan dan lain-lain; (3) nilai (values), yang seringkali sulit terukur dan tertanam pada ide dan perasaan mengenai benar dan salah dalam mengatur perilaku kita (Soekanto, 1990 dalam Sardjono, 2004).
12

13

III.

ANALISIS KONFLIK

Langkah awal dalam pengelolaan konflik adalah analisis konflik. Analisis konflik penting untuk mengetahui dan mengerti mengenai keadaan dimana mereka bekerja agar semakin sedikit mereka melakukan kesalahan dan semakin besar kemungkinan mereka bisa mendampingi para pemangku kepentingan secara efektif. Analisis konflik membantu untuk : Membuat kejelasan dan membuat prioritas banyaknya isu yang perlu ditangani; Melakukan identifikasi dampak-dampak konflik; Melakukan identifikasi akar permasalahan dan faktor-faktor yang mempengaruhi konflik untuk menentukan tanggapan yang sesuai; Menentukan motivasi dan insentif para pemangku kepentingan melalui pemahaman mengenai kepentingan, kebutuhan dan pandangan mereka terhadap konflik; Menilai sifat dan bentuk hubungan antara para pemangku kepentingan, termasuk keinginan dan kemampuan mereka untuk berunding satu dengan lainnya; Melakukan identifikasi informasi yang tersedia mengenai konflik dan informasi lainnya yang dibutuhkan; Mengevaluasi kapasitas dari institusi atau praktek pengelolaan konflik untuk menangani konflik yang ada; Membangun hubungan baik dan pengertian diantara para pemangku kepentingan; Meningkatkan kemampuan pemecahan masalah dan analisis dari para pemangku kepentingan lokal untuk menangani konflik saat ini dan dimasa mendatang; Meningkatkan pengertian mengenai hubungan antara konteks sosial, politik dan ekonomi yang lebih luas dengan konflik-konflik pemanfaatan sumber daya.

14

A. Prinsip-Prinsip 1. Sebuah analisis konflik harus berdasarkan pada sejumlah besar pandangan mengenai sumber konflik. Konflik adalah mengenai persepsi dan pengertian orang-orang mengenai kejadian, kebijakan dan institusi-institusi. 2. Analisis konflik membantu para pemangku kepentingan untuk mempertimbangkan kembali perspektif mereka yang lebih sering dipengaruhi oleh emosi, salah pengertian, asumsi, kecurigaan dan ketidakpercayaan. Dalam situasi konflik emosi dapat dengan mudah mengalahkan logika dan kenyataan. Karena itu penting untuk membedakan opini dan fakta. 3. Analisis konflik harus menguji konteks pengembangan yang lebih luas (sosial, ekonomi, politik) dan tidak hanya mempertimbangkan kekuatiran mengenai pengelolaan sumber daya alam. 4. Setiap analisis konflik hanya merupakan permulaan dan harus diolah dan dipelajari secara hati-hati seiring dengan proses yang berjalan. 5. Analisis konflik bukan merupakan suatu akhir. Ini merupakan bagian dari proses mewujudkan proses pembelajaran mengenai isu-isu (membangun kapasitas). Untuk mewujudkan proses pembelajaran, analisis konflik harus dijalankan secara partisipatif. Melalui pertukaran informasi, orang kemungkinan besar menjadi fokus pada masalah-masalahnyata dalam proses negosiasi. 6. Penting untuk tahu apa yang perlu diketahui. Jenis dan jumlah informasi yang dibutuhkan dari analisis konflik berbeda dari kasus ke kasus. Walaupun sering diasumsikan bahwa informasi yang lebih banyak lebih baik dari pada informasi yang lebih sedikit, namun mungkin tidak semua informasi relevan dapat dipercaya atau berguna. Disamping itu, kebutuhan informasi yang dianggap perlu sering kali dibatasi oleh waktu, sumber daya atau keahlian. Dalam hal ini, penting untuk mendefinisikan apa yang dimaksud dengan informasi yang detail, tepat dan handal secukupnya. Pengumpulan data atau analisis yang lebih dari pada itu tidak perlu.

15

Pertanyaan-pertanyaan Konflik

Kunci

untuk

Membantu

Menganalisis

1. Tentang apa konflik tersebut


Sebuah konflik sering lebih kompleks dari pada kelihatannya. Apa jenis konfliknya, sejauh mana pandangan mereka yang berkonflik berbeda? Apa yang kelihatannya menjadi faktor langsung atau tidak langsung dibalik konflik? Apakah ada faktor-faktor penghidupan, institusional, politik atau struktural yang lebih dalam dibalik konflik?

2. Siapa yang terlibat dalam konflik?


Membangun konsensus yang efektif tergantung pada keterlibatan semua grup pemangku kepentingan yang berhubungan dengan konflik. Oleh karena itu penting untuk melakukan identifikasi para pemangku kepentingan secara akurat. Apakah ada grup yang tidak hadir tetapi mempunyai peran langsung atau tidak langsung dalam konflik, seperti para administrator, pengguna sumber daya dari komunitas-komunitas terdekat atau penduduk yang berpindah/imigran, penggembala, petani, atau pekerja kasar.

3. Apa motivasi atau imbalan bagi pihak-pihak untuk menyelesaikan


konflik mereka? Mengajak orang-orang untuk menyelesaikan konflik melalui manajemen kolaborasi atau cara-cara lainnya mungkin akan sulit jika pihak-pihak yang terlibat tidak merasa atau menganggapnya perlu untuk mengelola atau menyelesaikannya. Selain itu, mungkin ada insentif-insentif ekonomi, politik. Budaya atau lainnya yang mempengaruhi keinginan para pihak untuk ikut serta dalam pengelolaan konflik. Hal yang sama pentingnya adalah untuk menemukan jika ada pihak yang mendapatkan keuntungan dari kelanjutan konflik, atau siapa yang akan menentang keinginan untuk menghentikan konflik (apakah beberapa orang mempunyai kepentingan untuk mengulangi konflik?).

4. Strategi-strategi pengelolaan konflik apa yang sudah dicoba pada masa


lalu? Merupakan hal yang sangat penting untuk mempertimbangkan strategistrategi apa yang pernah dicoba untuk menyelesaikan konflik. Apa hasil yang pernah diperoleh dari usaha-usaha tersebut? Apa keuntungan atau kerugian menggunakan suatu strategi atau jika menggunakan strategi-strategi yang sama untuk konflik saat ini?

16

B. Instrumen/Alat Analisis Konflik dapat dianalisa dengan bantuan sejumlah alat/instrumen yang sederhana, praktis, dan dapat diadaptasikan.Tabel 1 menjelaskan mengenai alat/instrumen tersebut dan bagaimana menggunakannya di lapangan. Penerapan instrumen tersebut bukan merupakan hal yang kaku, tetapi dapat disesuaikan dengan situasi yang spesifik dan kebutuhan para mediator.
Tabel 1 No
1.

Berbagai Alat/Instrumen Dalam Analisis Konflik Instrumen Tujuan


Untuk membantu para pemangku kepentingan menguji asal usul dan sebab-sebab dasar dari konflik. Untuk menguji isu-isu yang berkontribusi terhadap konflik dan isu-isu spesifik yang meningkat menjadi konflik yang spesifik, yang secara lebih detail difokuskan pada 5 kategori, yaitu: Masalah yang berhubungan dengan informasi Konflik kepentingan Hubungan yang sulit Ketidaksamaan struktural Nilai-nilai yang bertentangan Untuk melakukan identifikasi dan menilai ketergantungan dan kekuasaan dari para pemangku kepentingan yang berbeda-beda dalam suatu konflik. Untuk menguji hak, tanggung jawab dan keuntungan para pemangku kepentingan yang berbeda dalam hubungannya dengan sumber daya alam, sebagai bagian dari usaha memperbaiki pemahaman akan suatu konflik. Untuk menguji hubungan antar atau dalam kelompok-kelompok pemangku kepentingan yang berbeda.

Analisis akar permasalahan

2.

Analisis isu

Identifikasi dan kepentingan

analisis

pemangku

Analisis 4 R (right, responsibilities, returns, relationships-hak, tanggung jawab, hasil, hubungan)

5.

Konflik waktu

Untuk membantu para pemangku kepentingan dalam menguji sejarah sebuah konflik Untuk meningkatkan pemahaman terhadap urutan kejadian yang menghasilkan konflik tersebut

6.

Pemetaan konflik penggunaan sumber daya

Untuk menunjukkan secara geografis dimana konflik-konflik lahan atau sumber daya terjadi atau mungkin terjadi dimasa mendatang Untuk menentukan isu-isu primer konflik

(Sumber: Engel dan Korf (2005))

17

C. Isu-Isu Konflik Dan Analisis Akar Permasalahan Analisis akar permasalahan konflik dimulai dengan melakukan identifikasi dan menjelaskan konflik, batas-batasnya, dan saling keterkaitannya. 1. Menggali Asal-Usul Konflik Menggali asal usul konflik bertujuan untuk : a. Mengetahui bagaimana sejarah sebuah konflik. interpretasi orang-orang terhadap

b. Menganalisa masalah yang besar dan kompleks sehubungan dengan penyebab konflik yang lebih kecil. Asal-usul konflik dapat mencakup sejumlah kejadian, masalah dengan hubungan, dukungan kebijakan yang lemah, hak guna dan kepemilikan, proses pengelolaan yang tidak jelas, pertentangan nilai-nilai dan lain-lain. Isu utama bagi para mediator adalah hubungan mereka dengan proses-proses pengelolaan konflik lokal yang ada. Apakah seorang mediator harus bekerjasama dengan petugas administratif dan yudisial yang formal atau informal, atau bekerja secara independen? Hal ini tergantung pada situasi dan kondisi dimana seorang mediator diminta untuk bekerja. Mediator harus memiliki pemahaman atas proses-proses pengelolaan konflik lokal serta sejarah mengenai usaha-usaha pengelolaan konflik sebelumnya melalui penilaian/analisis awal.

18

I nstrum en I nti 1 : Analisis akar perm asalahan


Analisis permasalahan membantu memperjelas keterkaitan antara berbagai faktor yang berbeda dan penyebab-penyebab yang memicu konflik. Hal ini membantu dalam membentuk rantai sebab akibat yang sederhana, yang menunjukkan dinamika-dinamika mendasar dari konflik tersebut.

I nstrum en I nti 2 : Analisis I su


Analisis isu yaitu melakukan identifikasi dan menspesifikasi isu-isu inti yang berkontribusi terhadap suatu konflik dan memberikan sebuah checklist kepada para mediator untuk menentukan 5 kategori yang berbeda dari isu tersebut.

I nstrum en pelengkap : P em etaan


Mengembangkan suatu time line (waktu) dari konflik dapat membantu untuk mengklarifikasi urutan kejadian dan membantu tahapan berbeda dalam sejarah konflik. Pemetaan selalu berguna untuk pemahaman yang lebih baik terhadap dimensi spasial dan batas-batas dari sebuah konflik.

2. Memverifikasi Persepsi, Fakta dan Informasi yang Dibutuhkan Fasilitasi efektif memungkinkan orang-orang untuk mengutarakan pengetahuan mereka tentang berbagai kejadian, asumsi-asumsi dan kecurigaan-kecurigaan mereka terhadap suatu konflik. Para pemangku kepentingan biasanya cenderung memiliki beragam interpretasi tentang sebab-sebab awal konflik dan faktorfaktor berkontribusi terhadap suatu konflik. Hal ini mendorong kebutuhan untuk memperoleh dan memahami sudut pandang lokal mengenai sebuah konflik melalui berbagai sudut pandang yang berbeda dari para pemangku kepentingan, guna mengidentifikasi : Fakta mana yang disetujui/disepakati; Fakta mana yang harus diselidiki lebih lanjut; Dimana informasi yang lebih banyak dibutuhkan sebelum membuat keputusan tindakan.

19

3. Melakukan identifikasi hubungan keterkaitan Pemetaan penyebab-penyebab konflik dan urutannya dapat memperbaiki pemahaman mengenai hubungan-hubungan kunci antara apa yang mungkin terlihat sebagai kejadian-kejadian yang terisolasi (terpisah). Apa yang terlihat sebagai perselisihan lokal mungkin diperburuk oleh ketidaksamaan mendasar atau keputusan yang dibuat dari jauh, tanpa pengetahuan dari masyarakatmasyarakat terpencil. Kebijakan pemerintah terhadap masyarakat asli, ketegangan-ketegangan yang sudah berlangsung sejak lama antara sistem-sistem pemanfaatan lahan adat dan pemerintah, tujuan-tujuan pembangunan nasional dan globalisasi mungkin terlihat tidak ada kaitannya dengan pengelolaan sehari-hari di areaarea terpencil, namun faktor-faktor ini sering kali mempunyai pengaruh signifikan terhadap perselisihan-perselisihan lokal.
I nstrum en pelengkap: R entang w aktu (tim e line) konflik
Rentang waktu konflik memungkinkan untuk mempelajari tahapan konflik, bagaimana kejadian spesifik terjadi dan tindakan apa dan oleh pemangku kepentingan yang mana yang menjadi penyebab kejadian tersebut.

D. Mengidentifikasi dan Menganalisis Para Pemangku D. Mengidentifikasi dan Menganalisis Para Pemangku Kepentingan Kepentingan Ketika konflik semakin jelas didefinisikan, jumlah pemangku kepentingan dalam konflik juga semakin jelas. Juga hubungan antara pemangku kepentingan dan antara pemangku kepentingan dengan isuisu. Dalam sebuah proses pengelolaan sumber daya alam kolaboratif analisis pemangku kepentingan akan menentukan siapa yang sebaiknya terlibat dalam pengelolaan konflik.

20

Hal-hal yang perlu diidentifikasi : Siapa para pemangku kepentingan; Seberapa besar setiap kelompok pemangku kepentingan dipengaruhi oleh konflik; Siapa yang paling dipengaruhi dan seharusnya terlibat langsung dalam mengelola konflik; Kekuasaan dan pengaruh relatif dan kelompok-kelompok yang berbeda sehubungan dengan isu-isu, termasuk setiap halangan terhadap partisipasi kelompok tertentu dalam proses pengelolaan konflik; Kepentingan dan ekspektasi para pemangku kepentingan; Kemungkinan tanggapan yang berbeda dari para pemangku kepentingan dalam konflik; Hubungan antara kelompok-kelompok pemangku kepentingan; Kesulitan-kesulitan yang mungkin akan dihadapi oleh para pemangku kepentingan dalam bekerja sama; Kemungkinan kontribusi dari setiap kelompok untuk mengelola konflik; Besaran/luasan kepentingan-kepentingan individu dan kelompok saling tumpang tindih.

1. Siapa Pemangku Kepentingan? Pemangku kepentingan adalah individu atau kelompok yang dipengaruhi (terkena dampak) hasil dari suatu konflik, serta mereka yang mempengaruhi hasil tersebut. Para pemangku kepentingan mungkin memiliki identitas kolektif (seperti ikatan ketetanggaan, kekerabatan, dan atau keanggotaan kelompok pengguna sumber daya) atau memiliki karakteristik yang sama (seperti penggunaan sumber daya yang sama atau tinggal di daerah yang sama). 2. Para Pemangku Kepentingan dan Kekuasaan Masing-masing kelompok pemangku kepentingan mempunyai kekusaan relatif untuk mempengaruhi arah atau resolusi sebuah konflik. Kekuasaan dapat didefinisikan sebagai kapasitas untuk mencapai hasil (Ramirez, 1999). Termasuk didalamnya kemampuan untuk membuat atau mencegah perubahan.

21

Kekuasaan dapat diperoleh dari berbagai sumber, seperti : Kekuatan fisik, daya tahan, kapasitas untuk kekerasan; Pesona pribadi, karisma; Kekuatan emosional, integritas; keberanian, kepemimpinan, komitmen,

Kekuatan sosial-ekonomi, politik : kontrol atas akses sumber daya, kepemilikan lahan, hak-hak, uang, barang-barang, status sosial ekonomi, institusi-institusi politik, SDM; Kekuatan budaya : norma-norma dan nilai-nilai yang mapan, pembenaran dan penguatan peran yang berbeda, hak dan kewajiban dalam masyarakat; Kontrol terhadap informasi : teknis, perencanaan, ekonomi, politik; Kemampuan : kapasitas atau keahlian; Kemampuan untuk memaksa : ancaman, akses kepada dan penggunaan media, ikatan kekeluargaan atau politik, mobilisasi tindakan langsung.

Kolaborasi berjalan dalam sebuah model pembagian kekuasaan. Para pemangku kepentingan saling memberikan otoritas satu sama lain untuk menghasilkan sebuah keputusan dilakukan secara bersama-sama. Hal ini tidak berarti bahwa pihak yang lebih kuat harus menyerahkan kekuasaan, atau semua sumber daya didistribusikan secara merata. Kolaborasi yang mendasar terjadi ketika para pemangku kepentingan telah saling menyetujui legitimasi dan kekuasaan mereka untuk mendefinisikan masalah dan mengusulkan pemecahan (Gray, 1989). Ketidaksetaraan yang besar merupakan sebuah halangan bagi kolaborasi. Kelompok-kelompok yang kuat sering bertindak secara sepihak dan menolak untuk berunding atau berkolaborasi. Mereka juga mungkin memaksa pihak yang lemah untuk menyetujui sebuah keputusan. Oleh sebab itu penting untuk mengetahui seberapa banyak kekuasaan dan pengaruh yang dimiliki oleh setiap pemangku kepentingan, jenis kekuasaan apa dan dari mana.

22

I nstrum en I nti kepentingan

I dentifikasi

dan

analisis

pem angk u

Identifikasi dan analisis pemangku kepentingan membantu melakukan identifikasi dan menilai kekuasaan dan pengaruh dari para pemangku kepentingan yang berbeda dalam sebuah konflik.

3. Hubungan Antara para Pemangku Kepentingan Para pemangku kepentingan mempunyai sejumlah bentuk hubungan yang berbeda yang perlu diperhatikan dalam memahami konflik-konflik sumber daya alam, yaitu : Hubungan dengan sumber daya : hak, tanggung jawab dan manfaat/hasil yang diperoleh dari sumber daya. Hubungan satu dengan lainnya : secara individu, dalam kemitraan atau sebagai bagian dari aliansi yang lebih besar. Kekuasaan dan kapasitas pemangku kepentingan sangat dipengaruhi oleh kedua jenis hubungan tersebut. Hak akses dan kontrol, serta manfaat yang diperoleh dari sumber daya sering mendefinisikan peran dan kekuasaan para pemangku kepentingan dalam hubungannya dengan pengelolaan. Demikian pula aliansi dengan kelompok-kelompok, jaringan-jaringan dan tindakantindakan kolektif yang lain dapat menjadi alat dan cara tawarmenawar yang penting untuk mencapai pengaturan institusional yang baru dan diperlukan (Ramirez, 1999).
I nstrum en I nti 4 : Analisis 4 R (rights, responsibilities, returns and relationships : hak, tanggungjaw ab, hasil dan hubungan)
Analisis 4 R menggambarkan hak, tanggung jawab dan hasil untuk semua pemangku kepentingan yang terlibat dalam hubungannya dengan penggunaan sumber daya. Hubungan-hubungan antara para pemangku kepentingan juga dapat dipetakan untuk menilai tingkatan dimana mereka positif atau bermasalah. Interaksi-interaksi positif dapat mengidentifikasikan kesempatan-kesempatan untuk membangun dukungan dan aliansi-aliansi yang berguna dalam pengelolaan konflik.

23

4. Mempertimbangkan Jender Pengelolaan sumber daya alam partisipatif yang efektif membutuhkan kolaborasi yang setara antara pria dan wanita. Oleh karena itu penting untuk mempertimbangkan jenis kelamin dan isuisu yang timbul dari peran yang berbeda, tanggung jawab dan hubungan antara pria dan wanita. Peran jender dalam sebuah masyarakat mempengaruhi kesetaraan, kesejahteraan, kekuasaan dan kesehatan. Peran yang berbeda antara pria dan wanita mempengaruhi : Siapa yang mempunyai akses ke sumber daya yang spesifik dan penggunaannya; Siapa yang mempunyai dan mengontrol pengetahuan tradisional atau pengetahuan lokal lainnya; Siapa yang menerima manfaat/keuntungan dari sumber daya alam, keputusan pengelolaan, proyek yang bisa mengahsilkan pendapatan dan program pelatihan; Siapa yang mempunyai otoritas dan partisipasi dalam pembuatan keputusan; Siapa yang perlu didukung sehingga sumber penghidupan yang berkesinambungan dapat ditingkatkan untuk seluruh masyarakat. Konflik dalam pengelolaan sumber daya alam berbasis masyarakat sering timbul dari ketidakseimbangan dalam peran, hubungan atau proses terkait dengan jenis kelamin. Wanita pedesaan biasanya mempunyai kerugian yang lebih besar dibanding pria karena pada umumnya mereka mempunyai : Status sosial, ekonomi dan hukum yang lebih rendah; Akses yang lebih sedikit terhadap pendidikan teknis dan pelatihan, kredit, pasar dan pendanaan; Masukan yang sangat sedikit atau tidak ada sama sekali dalam perencanaan dan pembuatan keputusan;

24

Hak pakai yang terbatas atau tidak ada sama sekali atas tanah, pohon, air serta produk-produk hutan yang lain. Secara proporsional hasil yang diperoleh dari sumber daya alam sangat sedikit.

25

IV. STRATEGI PENGELOLAAN KONFLIK A. Pengertian Pengelolaan Konflik Mengelola konflik adalah membantu orang-orang yang sedang berkonflik untuk mengatasi emosinya, sehingga mereka lebih siap untuk menyelesaikan persoalan-persoalan di dalam konflik. Pengelolaan konflik juga dimaksudkan untuk membantu orang mengetahui cara-cara mengatur tingkah laku mereka yang membantu mereka untuk dapat menyelesaikan apa yang dianggap sebagai perbedaan-perbedaan. Dalam konflik SDH, mengelola konflik berarti memberikan seperangkat prinsip dan alat untuk mentransformasikan konflik menjadi suatu kekuatan yang mempromosikan penghidupan berkelanjutan. B. Tujuan Pengelolaan Konflik Konflik perlu dikelola karena pada kenyataannya konflik dapat menghasilkan keluaran-keluaran yang membangun dan positif, tergantung pada cara orang-orang mengendalikannya. Contohnya konflik dapat membantu memperjelas kebijakan-kebijakan, institusi dan proses yang mengatur akses ke sumberdaya. Konflik harus dikelola karena dapat menjadi kekuatan penting bagi perubahan sosial, karena konflik mengingatkan orang-orang akan: Keluhan-keluhan dalam sistem sosial ekonomi dan politik yang luas; Hukum-hukum atau kebijakan yang bersaing dan bertentangan yang mengatur akses kontrol atas sumberdaya alam; Kelemahan-kelemahan dari cara-cara dimana hukum-hukum atau kebijakan-kebijakan pengelolaan sumberdaya alam diimplementasikan; Kebutuhan dan keinginan orang untuk menampakkan hak-hak, kepentingan dan prioritas mereka; Kondisi-kondisi lingkungan yang pemanenan yang melebihi daya terbarukan. tidak diinginkan, seperti dukung sumberdaya alam

Konflik harus dikelola dengan menggunakan strategi tertentu agar tindakan yang diambil terkoordinasi, memiliki arah yang jelas dan
26

fokus. Penyusunan strategi dilakukan setelah analisa konflik dilakukan. Penyusunan strategi merupakan langkah yang sangat menentukan, karena setelah mempelajari suatu situasi kemudian mengambil tindakan untuk mempengaruhinya. C. Pendekatan Dan Cara Pengelolaan Konflik Secara garis besar cara penanganan konflik menurut Hardjana (1994) dapat digolongkan menjadi lima kelompok, yaitu: 1. Bersaing, bertanding (competiting), menguasai (dominating) atau memaksa (forcing). Cara ini merupakan pendekatan terhadap konflik yang berciri menang-kalah (win-lose approach). Pendekatan ini ditempuh jika tujuan penting, sedangkan hubungan baik dengan orang yang menjadi lawan konflik tidak penting. 2. Kerjasama (collaborating) atau menghadapi (confronting). Dengan cara pengelolaan konflik ini, kedua pihak yang terlibat dalam konflik bekerjasama dan mencari pemecahan konflik yang memuaskan kepentingan kedua belah pihak. Cara pengelolaan ini merupakan pendekatan menang-menang (win-win approach). Cara ini ditempuh jika tujuan amat penting dan hubungan baik dengan lawan konflik juga amat penting. 3. Kompromi (compromising) atau berunding (negotiating). Cara ini merupakan pendekatan terhadap konflik dimana pihak-pihak yang berkonflik tidak ada yang menang atau kalah (neitherwin-win nor lose-lose approach). Cara ini ditempuh jika tujuan kepentingannya sedang-sedang saja dan hubungan baik dengan lawan konflik juga sedang-sedang saja kepentingannya.
Tinggi Tinggi (Accomodation) (Accomodation) (Compromise) (Compromise)
Kompromi Kompromi Menampung Menampung Kesepakatan Kesepakatan

(Concesus) (Concesus)

Arti Arti penting penting hubungan hubungan baik baik dengan dengan pihak pihak (Withdrawal) (Withdrawal)
Menghindar Menghindar

Atau Atau Tawar-menawar Tawar(Trade-offs) menawar Pemaksaan Pemaksaan

(Force) (Force)

Rendah Rendah

Rendah Rendah

(Sumber : Anonim, 1998) Gambar 4 : Berbagai Pendekatan Dalam Mengelola Konflik

Arti Arti penting penting tujuan tujuan yang yang hendak hendak diraih diraih

Tinggi Tinggi

27

4. Menghindari (avoiding) atau menarik diri (withdrawal). Cara pengelolaan konflik menghindari merupakan pendekatan kalahkalah (lose-lose approach). Cara ini ditempuh apabila tujuan tidak penting dan hubungan baik dengan lawan konflik juga tidak penting. 5. Menyesuaikan (accomodating), memperlunak (smoothing) atau menurut (obliging). Cara pengelolaan menyesuaikan merupakan pendekatan kalah-menang (lose-win approach). Cara ini ditempuh apabila tujuan tidak penting, tetapi hubungan dengan lawan konflik penting.

Nader dan Todd (1978) yang diacu dalam Suporahardjo (2000)


mengemukakan cara penanganan konflik ialah : 1. Lumping it, terkait dengan kegagalan salah satu pihak yang bersengketa untuk menekankan tuntutannya. Dengan kata lain isu yang dilontarkan diabaikan (simply ignored) dan hubungan dengan pihak lawan terus berjalan. Prosedur ini dilakukan karena penuntut (claimants) kekurangan informasi atau akses terhadap hukum dan peraturan yang berlaku dan menganggap keberhasilan tuntutan akan rendah dan/atau biaya yang dikeluarkan untuk itu terlalu besar atau tidak sebanding dengan pencapaian hasilnya. 2. Avoidance atau exit, yaitu mengakhiri hubungan dengan meninggalkannya. Berbeda dengan lumping it yang tetap memelihara hubungan dan mengabaikan konflik. Di sini dasar pertimbangannya adalah pada keterbatasan kekuatan yang dimiliki (powerlessness) salah satu pihak ataupun alasan-alasan biaya sosial, ekonomi, atau psikologi. 3. Coercion, yaitu suatu pihak yang bersengketa menerapkan hasrat pada pihak yang lain. Bisa saja penerapannya dilakukan dengan ancaman atau paksaan, sebagaimana banyak terjadi di masyarakat. 4. Negotiation, yaitu kedua belah pihak menyelesaikan konflik secara bersama-sama (mutual settlement) tanpa melibatkan pihak ketiga. Kedua belah pihak tersebut tidak mencari solusi masalah sesuai paraturan yang berlaku, melainkan menciptakan peraturan diantara mereka sendiri. Pemahaman ini mencakup pemecahan masalah kolaboratif (collaborative problem solving) dan negosiasi.
28

5. Concilliation, yaitu mengajak kedua belah pihak yang bersengketa untuk bersama-sama melihat konflik dengan tujuan untuk menyelesaikan persengketaan. Konsiliator (conciliator) tidak selalu berperan aktif dalam negosiasi selanjutnya, meskipun yang bersangkutan dapat saja bertindak demikian dalam kapasitas tertentu atas permintaan pihak-pihak yang bertikai. Konsiliator seringkali memberikan konteks negosiasi, seperti tempat, fasilitas pendukung dan akan bertindak sebagai perantara (as a gobetween). 6. Mediation, adalah pihak ketiga yang mengintervensi suatu pertikaian untuk membantu pihak-pihak yang bersengketa mencapai kesepakatan. Mediator bisa ditunjuk oleh pihak-pihak yang bersengketa atau mewakili otoritas di luar pihak yang bertikai. Pihak-pihak yang bersengketa menyetujui intervensi mediator tersebut. Praktek ini dikenal luas di masyarakat. 7. Arbitration, bilamana kedua belah pihak yang bersengketa menyetujui intervensi pihak ketiga dan kedua belah pihak sudah harus menyetujui sebelumnya untuk menerima setiap keputusan pihak ketiga. 8. Adjudication, apabila terdapat intervensi dari pihak ketiga yang memiliki otoritas untuk mengintervensi persengketaan dan membuat serta menerapkan keputusan yang diambil, baik yang diharapkan ataupun tidak oleh kedua belah pihak yang bersengketa. Sistem pengadilan merupakan contoh terbaik dari ajudikasi. Cara umum mengelola konflik dapat disimpulkan melalui pembelajaran dari pengalaman-pengalaman yang sudah ada, termasuk pengalaman Bangsa Indonesia dalam menghadapi konflik yang terjadi. Secara umum pengalaman Bangsa Indonesia mengelola konflik adalah sebagaimana diuraikan pada Tabel 2.

29

Tabel 2

: Rangkuman Berbagai Pendekatan Dalam Penyelesaian Konflik/Sengketa di Indonesia


Usaha-usaha penyelesaian sengketa Caracara partisipatif Perencanaan partisipatif Pemecahan masalah secara partisipatif Diskusi kelompok terfokus Perencanaan strategis Caracara kooperatif Tawar menawar Arbitrase Perundingan Perundingan dengan mediasi Caracara konfrontatif Advokasi Demonstrasi Pengorganisasia n masyarakat Sabotase Kekerasan Penggunaan media massa Litigasi Aksi legislatif

Usaha-usaha mencegah konflik terbuka Caracara konvensional Penelitian Pengkajian Survei Dengar pendapat umum Temu Wicara Jajak Pendapat Koordinasi Kebijakan Cara pasif/ sepihak Menghindari Konflik Penerimaan secara pasif Pengabaian/bersi kap masa bodoh Penyelesaian sepihak

Menurut Moejono (2003) secara umum ada tiga golongan besar pengalaman mengelola konflik di Indonesia, yaitu: pengalaman dalam mencegah konflik semakin membesar, pengalaman dalam mengatasi konflik yang telah terjadi dan pengalaman mengelola konflik secara partisipatif. Jika dilihat dari derajat strategi-strategi tersebut, maka berbagai pengalaman tersebut menggambarkan bahwa upaya-upaya yang telah dilakukan dapat digolongkan ke dalam tiga kategori, yakni kooperatif, konfrontatif, dan pengabaian. Cara-cara pengabaian atau apatisme, sebetulnya tidak dapat digolongkan kedalam upaya mengatasi konflik. Tindakan-tindakan seperti: menghindari konflik, penerimaan secara pasif, pengabaian/bersikap masa-bodoh dan penyelesaian sepihak, bisa dibilang tidak mengandung unsur pengelolaan konflik. Tindakantindakan ini tidak akan menghasilkan energi baru untuk menata hubungan antara pihak, maupun penyelesaian. Sikap putus asa dan pasrah adalah sikap yang paling apatis, dan justru akan memelihara konflik tersebut agar terus tumbuh dan membesar untuk kemudian meledak di suatu saat. Sedangkan upaya-upaya yang dianggap konvensional di masyarakat kita, yang pada masa orde baru didorong dengan semangat musyawarah untuk mufakat seperti melakukan penelitian, Pengkajian,
30

survei, dengar pendapat umum, temu wicara, jajak pendapat, koordinasi kebijakan, seharusnya memang bisa menghasilkan penyelesaian yang memuaskan semua pihak. Namun era pasca orde baru membuka fakta kepada kita bahwa pendekatan-pendekatan tersebut ternyata tidak berhasil. Sebagai dampak dari ditekannya kehidupan demokrasi di masa lalu, ternyata banyak pihak yang sudah habis kesabarannya dan memilih jalan konfrontasi. Berbagai bentuk konfrontasi yang nyaris tidak pernah terdengar di era orde baru, mendadak begitu ramai dilakukan pada era sekarang ini. Bahkan kita bisa lihat adanya penggunaan cara-cara yang paling konfrontatif seperti penggunaan kekerasan dan sabotase, juga dilakukan oleh beberapa pihak. Penggunaan media-media, terutama media massa, untuk berkonfrontasi pun sudah semakin biasa terjadi. Upaya-upaya penggunaan metode partisipatif untuk mengatasi konflik sudah mulai dilakukan. Metode perencanaan partisipatif, seperti Participatory Rural Appraisal (PRA) dan lainnya telah dikembangkan, termasuk PNPM Mandiri. Beberapa teknik yang digunakan, seperti pemetaan partisipatif dan analisa sejarah,diagram Venn, misalnya, bisa digunakan untuk mengidentifikasi konflik yang terjadi di suatu wilayah. Perencanaan partisipatif, pemecahan masalah dan perencanaan strategis yang dilakukan melalui diskusi kelompok terfokus, diharapkan menghasilkan suatu solusi untuk mengatasi konflik yang terjadi di masyarakat. Tabel 3 di bawah ini diberikan beberapa alternatif intervensi terhadap suatu konflik. Pemilihan terhadap salah satu intervensi harus didasari oleh pengkajian sebelumnya dengan memanfaatkan berbagai informasi yang diperoleh. Tabel ini hanya menggambarkan alternatif yang selama ini sudah ada, dan belum tentu sesuai dengan kebutuhan kita. Oleh karena itu, kreatifitas harus senantiasa kita kembangkan, didasari hasil kajian yang baik pula. Berkaitan konflik SDA, menurut Moore (2003) ada sejumlah pilihan prosedural yang dapat digunakan oleh masyarakat lokal, pengguna sumberdaya, manajer proyek, pegawai pemerintah untuk mengelola konflik. Pemilihan terhadap cara pengelolaan konflik harus memperhitungkan pro dan kontra, baik dan buruk bagi mereka. Tidak
31

ada pendekatan untuk mengelola konflik sumber daya alam yang sesuai untuk semua situasi. Setiap pendekatan memliki kekuatan dan keterbatasannya masing-masing. Pemilihan pendekatan yang paling sesuai untuk menangani konflik sangat tergantung dari situasinya. Moore (2003) menyatakan bahwa pilihan pengelolaan konflik bervariasi dilihat dari : Pengakuan hukum atas proses dan hasil; Privasi pendekatan; Spesialisasi yang dibutuhkan dari pihak ketiga yang mungkin akan membantu pengelolaan konflik; Peran dan kewenangan dari pihak ketiga yang mungkin akan terlibat; Tipe keputusan yang akan dihasilkan; Jumlah paksaan yang digunakan oleh atau pada pihak-pihak yang berselisih.

Tabel 3 : Jenis Konflik, Penyebab Dan Kemungkinan Intervensinya


Jenis Konflik Konflik hubungan antar manusia Sumber Penyebab Konflik Emosi-emosi yang kuat Salah persepsi atau streotipe Kurang/salah komunikasi Perilaku negative yang berulang-ulang Kemungkinan Intervensi Mengendalikan emosi melalui prosedur, aturan main, pertemuan-pertemuan kecil, dsb Mendukung aktualisasi emosi melalui legitimasi perasaan dan penyediaan suatu proses Mengkalrifikasi persepsi dan membangun persepsi yang positif Memperbaiki kualitas dan kuantitas komunikasi Mencegah perilaku negative yang berulang-ulang melalui perubahan struktur Mendorong perilaku penyelesaian masalah secara positif Konflik data/informasi Kurang/salah informasi Perbedaan pandangan tentang apa yang relevan Perbedaan interpretasi data Perbedaan prosedur penilaian Mencapai kesepakatan tentang data apa yang penting Menyetujui tentang proses pengumpulan data Mengembangkan criteria bersama untuk menilai data Menggunakan ahli dari pihak ketiga untuk mendapatkan opini dari luar atau memecahkan kemacetan Konflik nilai Perbedaan criteria dalam Menghindari pembatasan problem

32

Jenis Konflik

Sumber Penyebab Konflik mengevaluasi ide-ide/perilaku Tujuan yg paling intrinsik paling bernilai & bersifat eksklusif Perbedaan cara hidup, ideology atau agama

Kemungkinan Intervensi dalam istilah-istilah nilai Mengijinkan parapihak untuk setuju dan tidak setuju Menciptakan lingkungan yang mempengaruhi, dimana satu perangkat nilai mendominasi Mencari tujuan yang lebih tinggi yang seluruh pihak dapat berkontribusi

Konflik kepentingan

Kompetisi yang dirasakan/nyata atas kepentingan substansi (isi) Kepentingan tatacara Kepentingan psikologis

Memfokuskan pada kepentingan, bukan posisi Mencari kriteria yang obyektif Mengembangkan solusi yang integratif yang memenuhi kebutuhan seluruh pihak Mencari cara memperluas pilihanpilihan atau sumberdaya Mengembangkan trade-off untuk memuaskan kepentingan yang berbeda secara kuat

Konflik struktural

Pola perilaku atau interaksi yang destruktif Kontrol, kepemilikan atau distribusi atas sumberdaya yang timpang Kekuasaan dan kewenangan yang tidak setara Faktor-faktor geografi, fisik atau lingkungan yang menghalangi kerjasama Kendala waktu

Memperjelas batasan dan peran perubahan Menggantikan pola-pola perilaku destruktif Mengalokasikan kembali kepemilikan atau control terhadap sumberdaya Menetapkan proses pembuatan keputusan yang dapat diterima secara adil dan saling menguntungkan Mengubah proses negosiasi dari tawar menawar berdasarakan posisi pada berdasarkan kepentingan Modifikasi cara-cara mempengaruhi yang digunakan oleh para pihak (mengurangi kekerasan/pemaksaan, lebih persuasive) Mengubah hubungan fisik dan lingkungan parapihak (ketertutupan dan jarak) Memodifikasi tekanan-tekanan eskternal para pihak Mengubah kendala-kendala waktu

Pendekatan pengelolaan konflik, dimulai dari penghindaran konflik sampai dengan kekerasan fisik. Di antara kedua ekstrim tersebut terdapat banyak pendekatan dan pilihan yang berbeda. Pendekatanpendekatan semakin mengarah pada pemaksaan dalam pengambilan keputusan, dan semakin mengarah pada sedikitnya pengaruh yang dimiliki oleh pihak yang berkonflik atas proses dan hasil dari
33

pengelolaan konflik, sebaliknya semakin besar campur tangan dari pihak lain. Opsi penyelesaian konflik kehutanan yang banyak digunakan ialah negosiasi dan mediasi. Sedangkan yang paling jarang digunakan adalah jalur hukum; oleh karena selain memerlukan banyak biaya, tenaga dan waktu; seringkali penyelesaian hukum kurang dipercaya kenetralannya oleh pihak yang bertikai.

Pengambilan keputusan Informal oleh pihak yang berkonflik

Pengambilan keputusan Informal oleh pihak ketiga

Pengambilan keputusan legal oleh pihak ketiga yang berwenang

Pengambilan keputusan legal Secara paksa

Penghindaran

Negosiasi

Mediasi

Arbitrasi

Ajudikasi

Aksi tanpa kekerasan

Kekerasan

Peningkatan Paksaan dan outcame menang - kalah

Gambar 5 : Rangkaian Pendekatan Pengelolaan Konflik

Beberapa Cara Penyelesaian Konflik lainnya yang dapat dilakukan sebagaimana tersebut dalam tabel antara lain : Penghindaran Ketika menghadapi ketidaksepakatan dengan yang lain, orang mungkin pada awalnya akan saling menghindar. Hal ini mungkin dikarenakan mereka tidak menyukai ketidanyamanan yang menyertai konflik, atau tidak menganggap isu tersebut sangat penting. Penghindaran mungkin merupakan strategi menunggu waktu yang tepat untuk bertindak secara lebih langsung atau dengan kekuatan. Ketika penghindaran sudah tidak lagi memungkinkan atau intensintas konflik meningkat, pihak yang berkonflik mungkin mengambil pendekatan-pendekatan penyelesaian masalah lainnya. Cara yang paling umum untuk mencapai kesepakatan yang dapat diterima bersama adalah melalui keputusan informal, yaitu negosiasi dan atau mediasi.
34

Negosiasi Adalah suatu hubungan tawar menawar di antara pihak-pihak yang bertentangan, bersifat sukarela dan membutuhkan kesediaan semua pihak yang terkait mempertimbangkan kepentingan-kepentingan dan kebutuhan-kebutuhan orang lain/. Biula negosiasi sulit untuk dimulai atau mencapai kebuntuan, pihak-pihak yang berkonflik mungkin membutuhkan bantuan dari pihak ketiga; Mediasi Adalah suatu proses dimana suatu pihak ketiga yang dapat diterima dan yang tidak atau sedikit memiliki wewenang dalam pengambilan keputusan, membantu pihak utama konflik untuk menyelesaikan perselisihan melalui konsiliasi dan memfasilitasi negosiasi. Seperti halnya dengan negosiasi, mediasi menyerahkan kekuasaan pengambilan keputusan di tangan pihak-pihak yang berkonflik. Arbitrasi Adalah suatu proses dimana pihak-pihak menyampaikan isu-isu yang diperselisihkan pada pihak ketiga yang disetujui bersama, yaitu pihak yang akan membuat keputusan bagi mereka. Arbitasi merupakan prosedur pribadi yang informal, tidak seperti keputusan pengadilan (adjudikasi), dimana proses penyelesaian masuk ke dalam ruang public. Keputusan Pengadilan (Ajudikasi) Dalam ajudikasi biasanya pihak-pihak yang berselisih menyewa ahli hukum sebagai pengacara mereka, dan kasus perselisihan yang diperdebatkan di depan pejabat yang berwenang atau hakim. Kerugiannya adalah keputusan didasarkan pada satu pihak menjadi pihak yang besar dan yang lain bersalah. Keuntungannya adalah bahwa hasil proses ini bersifat mengikat dan dapat dilaksanakan. Kekerasan (atau paksaan fisik) Kekerasan atau paksaan fisik berarti bahwa satu pihak mengancam pihak lain, atau dengan menggunakan kekuatan untuk melaksanakan keinginannya kepada pihak lain. Paksaan berarti bahwa satu pihak dipaksa untuk menerima suatu hasil yang ditentukan oleh pihak lainnya, yaitu pihak yang memaksa.
35

D. Sistem Pengelolaan Konflik

Engel dan Korf (2005) menyebutkan dalam pendekatan pengelolaan


konflik perlu memperhatikan sistem sosial dimana proses pengelolaan konflik terjadi. Ada tiga sistem sosial utama dalam pengelolaan konflik yang melibatkan pihak ketiga, yaitu: 1. Sistem-sistem adat; 2. Sistem hukum nasional; dan 3. Sistem Pengelolaan konflik alternatif (kolaboratif- Alternatife Conflict Management- ACM). 1. Sistem-sistem Adat Keberhasilan strategi pengelolaan sumberdaya alam secara adat dalam mengelola konflik seringkali tergantung pada kapasitas pelaksanaan dari pihak berwenang tradisional (pemuka adat dst). Bila wewenang dari kelompok elit tradisional berkurang, maka kapasitas kelompok untuk memberikan atau melaksanakan suatu keputusan juga berkurang. Praktek-praktek adat yang melembaga di dalam kerangka hukum nasional baik untuk meningkatkan kemampuan pihak pemuka adat tradisonal dalam menghadapi tantangan pengelolaan SDA/H saat ini.

36

Tabel 4

: Kekuatan Dan Keterbatasan Sistem Adat Dalam Pengelolaan Konflik


Kekuatan Keterbatasan Telah digantikan oleh pengadilanpengadilan dan hukum-hukum administrative Mungkin tidak dapat diakses oleh orang-orang berdasarkan jender, kelas, kasta dan factor-faktor lain Mendapat tantangan dengan meningkatnya heterogenitas masyarakat sebagai hasil dari perubahan budaya, perpindahan populasi dan factor-faktor lain yang mengikis hubungan-hubungan social yang mendukung pengelolaan konflik secara adat. Mungkin juga terdapat masalah-masalah akses yang sudah berlangsung lama berbasiskan jender, kelas, kasta atau hal-hal ian Seringkali tidak dapat mengakomodasi konflik di antara masyarakatmasyarakat atau di antara suatu masyarakat dan Negara lokal dapat Pemimpin-pemimpin menggunakan wewenang mereka untuk mengejar kepentingan mereka sendiri atau kelompok-kelompok social atau klien-klien yang menjadi afiliasi mereka Keputusan-keputusan dan prosesproses mungkin tidak terulis untuk referensi di masa yang akan datang.

Mendorong partisipasi oleh anggota-anggota masyarakat dan menghargai nilai-nilai dan adat-adat lokal Lebih dapat diakses karena biayanya rendah, fleksibilitasnya dalam jadwal dan prosedurprosedur, dan penggunaan bahasa setempat Mendorong pengambilan keputusan berdasarkan kolaborasi, dengan konsensus yang muncul dari dikusi-diskusi panjang, seringkali membantu perkembangan rekonsiliasi setempat Memberikan kontribusi pada proses penguatan masyarakat Pemimpin-pemimpin informal bahkan formal dapat berfugnsi sebagai konsiliator, mediator, negosiator atau arbritator Legitimasi publik yang telah lama dimiliki memberikan rasa memiliki bagi masyarakat setempat baik atas proses maupun hasilhasilnya.

2. Sistem Hukum Nasional Sistem hukum nasional yang mengatur pengelolaan SDA berdasarkan pada perundang-undangan dan pernyataanpernyataan kebijakan yang diadministrasikan melalui institusiinstitusi yang berwenang mengatur dan juridisial. Ajudikasi dan arbritasi adalah strategi-strategi utama untuk menyelesaikan konflik-konflik, dimana pengambilan keputusan berada di tangan para hakim dan petugas sebagai pihak yang berwenang untuk menentukan suatu penyelesaian dalam perselisihan-perselisihan. Keputusan-keputusan kemungkinan besar diambil berdasarkan norma-norma hukum nasional yang diaplikasikan secara seragam atau kaku sehingga pihak-pihak yang berkonflik seringkali memiliki control yang sangat terbatas atas proses dan hasil pengelolaan konflik.Meskipun demikian, beberapa system hukum nasional juga
37

memperhitungkan sistem-sistem hukum berdasarkan atas adat lokal, agama, kelompok etnik atau hal-hal lain.
Tabel 5 : Kekuatan Dan Keterbatasan Pengelolaan Konflik SDA
Kekuatan Penggunaan sistem-sistem hukum resmi memperkuat peraturan hukum Negara, memberdayakan masyarakat sipil dan membantu perkembangan akuntabilitas lingkungan Dibuat secara resmi dengan prosedurprosedur yang diperkirakan didefinisikan dengan baik Mempertimbangkan isu-isu dan perhatianperhatian nasional dan internasional Melibatkan ahli-ahli hukum dan teknik dalam pembuatan keputusan Bila ada kekuatan yang ekstrim di antara pihak-pihak yang berselisih, system-sistem hukum nasional dapat melindungi hak-hak dari pihak-pihak yang kurang memiliki kekuatan secara lebih baik karena keputusankeputusan yang dibuat mengikat secara hukum Keputusan-keputusan tidak memihak, dan berdasarkan pada kepantasan suatu kasus dan dimana semua pihak adalah sama di muka hukum

Sistem

Hukum

Nasional

Dalam

Keterbatasan Seringkali tidak dapat diakses oleh masyarakat miskin, wanita, eklompokkelompok terpinggirkan dan masyarakat yang berada jauh karena biaya, jarak, kendala bahasa, hambatan politik, buta huruf dan diskriminasi Mungkin tidak mempertimbangkan pengathuan tradisional, institusiinstitusi lokal dan kebutuhankebutuhan masyarakat jangka panjang dalam pengambilan keputusan Mungkin melibatkan ahli-ahli hukum dan teknik yang tidak memiliki keahlian, ketrampilan dan orientasi yang diperlukan bagi pengeloalan sumberdaya alam secara partisipatif Menggunakan prosedur-prosedur yang secara umum bertentangan dan memberikan hasil-hasil menang- kalah (win loose? solution) Hanya memberikan partisipasi yang terbatas bagi pihak-pihak yang berkonflik daalam pembuatan keputusan Mungkin menjadi lebih sulituntuk mencapai keputusan-keputusan yang tidak memihak, jika terdapat ketidakbebasan pengadilan, korupsi di lembaga-lembaga Negara atau suatu kelompok elit yang mendominasi proses-proses hukum Menggunakan bahasa yang sangat khusus dari kelompok-kelompok elit yang berpendidikan, mendahulukan pihak-pihak swasta dan pemerintah yang berselisih dari masyarakat biasa.

3. Sistem Pengelolaan Konflik Alternatif Sistem pengelolaan konflik alternatif (Alternative Conflict Management-ACM) adalah pengelolaan konflik secara kolaboratif yang mempromosikan pembuatan keputusan bersama dan mencari kesepakatan sukarela di antara pihak-pihak yang berselisih dalam
38

suatu solusi yang saling menguntungkan (win-win solution). Pengelolaan konflik kolaboratif berdasarkan pada kesepakatan sukarela, sehingga pelaksanaannya tergantung pada kemauan semua pihak yang berkonflik untuk mematuhi kesepakatan. Pihak ketiga dapat memfasilitasi proses ini, tetapi tidak dapat memaksakan apapun pada pihak-pihak yang berselisih. Pengelolaan konflik kolaboratif berjalan paling baik pada konflik antara pemangku kepentingan yang memiliki kekuatan yang relatif sama.
Tabel 6 : Kekuatan Dan Keterbatasan Sistem Pengelolaan Konflik Alternatif (ACM) Pada Pengelolaan SDA
Kekuatan membantu menanggulangi hambatanhambatan pengelolaan konflik secara partisipatif yang melekat dalam pendekatan-pendekatan legislative, administrative, peradilan dan bahkan adat Mempromosikan pengelolaan konflik dengan membangun kepentingankepentingan bersama dan menemukan poin-poin kesepakatan yang Melibatkan proses-proses menyerupai proses-proses yang sudah ada dalam kebanyakan sistem-sistem pengelolaan konflik lokal, termasuk akses yang fleksibel dan berbiaya rendah Membantu pengembangan rasa kepemilikan dalam implementasi prosesproses penyelesaian Menekankan pembangunan kapasitas di dalam masyarakat sehingga orang-orang setempat menjadi fasilitator-fasilitator, komunikator-komunikator, perencana dan manajer-manajer konflik yang lebih efektif. Keterbatasan gagal menyelesaikan Seringkali ketidaksetaraan struktural, dan mungkin membantu mengabadikan atau memperburuk ketidakseimbangan kekuasaan Mungkin menemui kesulitan-kesulitan untuk membawa seluruh pemangku kepentingan ke meja perundingan Mungkin tidak mampu menanggulangi perbedaan-perbedaan kekuasaan di atanra para pemangku kepentingan, sehingga kelompok-kelompok yang rentan seperti kaum miskin, wanita dan orang-orang pribumi (setempat) tetap terpinggirkan Mungkin menghasilkan keputusan-keputusan yang tidak mengikat secara hukum Mungkin menyebabkan sebagian praktisi untuk menggunakan metoda-metoda yang dikembangkan dalam konteks dan kultur yang berbeda tanpa mengadaptasinya ke dalam konteks lokal.

E. Indikator Keberhasilan Pengelolaan Konflik Pengelolaan Konflik dikatakan berhasil jika : Meningkatkan kesadaran, pengetahuan dan keahlian untuk mengidentifikasi dan mengatasi hambatan-hambatan dalam proses pembangunan; Menguatkan hubungan-hubungan dan membangun kepercayaan di dalam dan di antara kelompok-kelompok;
39

Meningkatkan kapasitas masyarakat, organisasi dan kelembagaan untuk menyelesaikan masalah-masalah; Memberikan sumbangan untuk menguatkan rancangan-rancangan kelembagaan yang mengatur akses dan pemanfaatan sumberdaya (kebijakan, kelembagaan dan proses); Mendorong peningkatan aliran pendapatan dan manfaat melalui peningkatan akses pengelolaan sumberdaya alam.

40

V. TEKNIK NEGOSIASI DAN MEDIASI DALAM PENGELOLAAN KONFLIK A. Negosiasi Negosiasi adalah suatu proses terstruktur yang digunakan oleh pihak yang berkonflik untuk melakukan dialog tentang isu-isu dimana masing-masing pihak memiliki pendapat yang berbeda (Fisher et.al, 2001). Dalam banyak kasus negosiasi berlangsung tanpa keterlibatan pihak ketiga. Tujuannya adalah untuk mencari klarifikasi tentang isu-isu atau masalah-masalah dan mencoba untuk mencapai kesepakatan tentang cara penyelesaiannya. Negosiasi pada prinsipnya berlangsung di antar kedua belah pihak pada tahap awal suatu konflik, ketika jalur komunikasi antar keduanya belum betul-betul putus, atau pada tahap lebih lanjut, ketika kedua pihak berusaha untuk mencapai kesepakatan tentang syarat-syarat dan rinciannya untuk mencapai penyelesaian secara damai. Engel dan Korf (2005) menyebutkan ada berbagai gaya negosiasi, yaitu negosiasi yang lembut dan keras, tawar-menawar berdasarkan posisi, dan negosiasi berdasarkan konsensus. Negosiasi gaya keras ialah negosiasi yang seringkali mengandalkan penggunaan strategistrategi yang lebih memaksa untuk mendorong setiap pihak membuat konsesi dan mencapai kesepakatan. Hasil negosiasi gaya ini cenderung bersifat kompromi, bukan berdasarkan keputusan-keputusan yang saling memuaskan. Negosiasi gaya lembut berada pada sisi ekstrim gaya keras, dimana para pihak lebih berkonsentrasi pada menjaga hubungan daripada mengajukan kepentingan-kepentingan mereka sendiri. Negosiasi gaya ini pun kurang baik karena konsensi terlalu mudah diberikan, sehingga dapat mengakibatkan kemarahan dan frustasi di kemudian waktu. Dalam pengelolaan konflik SDA, Engel dan Korf (2005) mengemukakan gayanegosiasi konsensual (berdasarkan konsensuskesepakatan) yang paling tepat. Negosiasi konsensus bertujuan menghasilkan kesepakatan-kesepakatan dan keluaran-keluaran yang dapat diterima oleh semua pihak yang berkonflik dengan kompromi dan tukar-menukar yang minimum. Tujuannya adalah mencapai
41

kesepakatan terbaik untuk menyelesaikan faktor-faktor yang menyebabkan konflik. Hasil yang terbaik ialah mencapai solusi yang menguntungkan semua pihak (win-win solution). Pencapaian kesepakatan seringkali dipercepat dengan berperannya pihak ketiga sebagai mediator atau fasilitator, sepanjang kedua pihak dapat mempercayai dan menerimanya untuk membantu menyelesaikan konflik yang terjadi. Mediator atau fasilitator haruslah bekerja dengan nentral dan profesional, sehingga kesepakatan yang diperoleh bebas dari segala bias, keterpaksaan, maupun pengorbanan yang terlalu besar. Pengertian kesepakatan, bukan berarti bahwa setiap pihak akan mendapatkan apa yang mereka inginkan. Bukan pula berarti bahwa kesepakatan akan diputusan dengan suara bulat, dan bukan pula berarti bahwa pengambilan keputusan dilakukan melalui pemungutan suara mayoritas (voting). Kesepakatan berarti bahwa setiap orang merasa bahwa kepentingan mereka telah disampaikan, dan mereka dapat menerima kesepakatan yang dibuat bersama. Mereka mungkin ingin memperoleh sesuatu yang lebih atau sesuatu yang dikurangi, tetapi mereka menyetujui untuk menerima hasil negosiasi. Tujuan negosiasi berdasarkan kesepakatan adalah untuk mencapai hasil terbaik yang mungkin dapat dicapai untuk sebagian besar orang, atau setidaknya suatu hasil yang dapat diterima semua orang; sehingga lebih dari sekedar suatu pendekatan dalam penyelesaian konflik. Negosiasi konsensual ini berperan penting dalam membantu masyarakat desa hutan membangun dan meningkatkan wawasan, pengetahuan, ketrampilan, keahlian, dan mengembangkan sikap perilaku mereka serta memperkuat jejaring kerja yang penting dalam kehidupan mereka. Negosiasi berdasarkan kesepakatan dapat membantu orang untuk memahami perbedaan pendapat serta menerima dan memanfaatkan kearah positif untuk kepentingan mereka dan masyarakat. Dalam hal ini, hubungan dapat diperkuat dan kepercayaan dapat dibangun. Melalui negosiasi maka kesadaran, pengetahuan dan keahlian ketrampilan untuk mengidentifikasi dan mengatasi hambatan pembangunan juga dapat ditingkatkan. Negosiasi berdasarkan kesepakatan dapat memperbaiki pengaturan akses pemanfaatan hutan dan hasil hutan, serta membantu meningkatkan
42

pendapatan dan keuntungan melalui pengelolaan sumberdaya hutan yang lebih baik. Negosiasi konsensual memberikan suatu alternatif bagi perselisihan yang selalu dimenangkan oleh pihak yang memiliki posisi lebih kuat (winner n loser), yang biasanya terjadi pada ajudikasi dan arbitrasi, yang bertentangan dan tidak konsensual (kesepakatan). Hasil yang terbaik dari suatu kesepakatan ialah mencapai solusi yang menguntungkan semua pihak (win-win solution). Pembangunan kesepakatan mencoba mentransformasikan persepsi dengan mengarahkan pihak berkonflik untuk: Tidak menegosiasikan tuntutan-tuntutan langsung mereka, tetapi lebih diarahkan kepada kepentingan-kepentingan dan kebutuhankebutuhan dasar yang merupakan motivasi sebenarnya; Tidak hanya memikirkan satu solusi tetapi mempertimbangkan pilihan-pilihan seluas dan sekreatif mungkin untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar; Jauh dari permintaan-permintaan pribadi yang seringkali berlebihlebihan, melainkan mengarah pada kejelasan dan ketelitian dalam menggambarkan baik kebutuhan dasar maupun cakupan dari pilihan-pilihan yang diusulkan;

Jauh dari antagonism dan mengarah pada rekonsiliasi kepentingankepentingan.

43

Empat poin dasar negosiasi berdasarkan kesepakatan:

(a) Pisahkan orang dari masalah


Dalam setiap konflik sosial terdapat suatu tingkat faktual atau berdasarkan fakta dan tingkat hubungan. Pengelolaan konflik yang konstruktif hanya memungkinkan bila tingkat hubungan ditanggapi secara serius dan mungkin untuk mengekspresikan perasaan ketakutan, keinginan, dan lainnya. Meskipun demikian, hal ini jangan sampai dicampur-adukan dengan penangan isu-isu faktual. Lebih mudah bekerja dengan sukses pada isu-isu faktual bila isu-isu orang diperlakukan terpisah dari mereka. Idealnya, orang-orang bekerja berdampingan untuk menghadapi masalah daripada berhadapan satu sama lain.

(b) Konsentrasi pada kepentingan dan bukan pada posisi


Peserta negosiasi memiliki persepsi, pandangan, emosi, kesukaan dan ketidaksukaan yang berbeda. Mengambil posisi membuat keadaan memburuk karena orang cenderung untuk melakukan identifikasi diri mereka dengan posisi mereka. Obyek dari negosiasi adalah untuk memuaskan kebutuhankebutuhan dan kepentingan-kepentingan.

(c) Mengembangkan pilihan-pilihan yang menguntungkan kedua belah pihak


Para mitra negosiasi harus menyediakan waktu untuk mencaricari pilihan-pilihan yang luas sebelum sampai pada suatu kesepakatan. (d) Mendesak untuk menggunakan beberapa kriteria yang obyektif untuk mengevaluasi pilihan-pilihan: kesepakatan harus merefleksikan standar yang adil dan disepakati oleh pihakpihak.

44

1. Tahapan Negosiasi Tahap-tahap yang perlu dilakukan dalam negosiasi menurut Fisher et.al (2001)yaitu: a. Tahap 1: Persiapan Lakukan analisis terhadap situasi konflik, mungkin dengan memetakannya; Lakukan riset/pengumpulan diperlukan; informasi, sebagaimana

Identifikasi berbagai kebutuhan dan kepentingan suatu pihak dan pihak lainnya; Pertimbangkan pilihan yang lebih anda sukai tentang hasil negosiasi, dan juga alternative terbaik untuk mencapai kesepakatan yang telah dinegosiasikan; Lakukan kontak dengan pihak-pihak lainnya dan tentukan tempat bertemu untuk melakukan proses negosiasi, termasuk aturan mainnya, isu-isu yang akan dibicarakan, berapa banyak orang yang dapat menghadirinya atau bertindak sebagai juru bicara mewakili pihaknya, dan pikirkan apakah seorang fasilitator diperlukan. Ketika sampai di tempat pertemuan, saling bersamalaman sesuai kebiasaan setempat; Ungkapkan berbagai pandangan yang berbeda tentang situasi yang sama; Sepakati masalah-masalah atau isu-isu yang ada; Munculkan kemungkinan-kemungkinan untuk menghadapi masalah tersebut; Lakukan evaluasi dan tentukan prioritas pilihan-pilihan yang ada, sesuai dengan kebutuhan dan kepentingan semua pihak;

b. Tahap 2: Interaksi

45

Pilih, dan mungkin kombinasikan pilihan-pilihan terbaik untuk memenuhi berbagai kebutuhan dan kepentingan semua pihak yang terlibat. Sepakati pilihan atau gabungan pilihan yang terbaik; Susun rencana tindakan untuk setiap pihak; Tentukan waktu dan batas waktu untuk melakukan tindakan Rencanakan waktu untuk mengkaji ulang kesepakatan yang telah diambil.

c. Tahap 3: Penutupan

Tujuannya adalah supaya proses negosiasi ini dapat berlangsung dengan baik dan semua pihak memiliki komitmen ke arah penyelesaian yang dapat memenuhi semua kebutuhan yang sah di semua pihak. Bila para negosiator mewakili suatu kelompok yang lebih besar, maka mereka harus mendapat mandat yang jelas tentang kelompok mana yang mereka wakili dan juga harus jelas proses pelaporan ulang dan akutantabilitasnya. 2. Panduan untuk negosiasi yang efektif a. Mendengarkan dan komunikasi Jika anda ingin agar pihak lain mendengarkan anda, maka dengarkanlah mereka lebih dahulu; Jika anda ingin agar pihak lain mengakui pendapat anda, maka akuilah pendapat mereka lebih dhulu; Kemukakan pendapat anda untuk mendukung pendapat orang lain, bukan melawannya; Ajukan pertanyaan ini bagaimana jika dan pertanyaan terbuka lainnya untuk menjajaki berbagai kemungkinan.

b. Membangun Hubungan Bedakan antara orang menyerang orangnya dengan perilakunya, jangan

Anda dapat mempengaruhi perilaku orang lain dengan perilaku anda sendiri

46

Bangunlah kepercayaan secara perlahan, langkah demi langkah, melalui dialog dan tindakan timbal balik posistif Jaminan terbaik untuk mencapai kesepakatan langgeng adalah hubungan kerja sama yang baik yang

c. Menyelesaikan Masalah Tujuan negosiasi yang baik adalah untuk melakukan perubahan dari konfrontasi kearah penyelesaian masalah Hanya negosiasi yang baik adalah memuaskan kepentingan anda, bukan mendapatkan posisi Jika anda merasa terjebak karena seseorang dari pihak lain, coba sesuaikan pertanyaan anda sehingga terlihat seperti usaha menyelesaikan masalah secara bersama.Mintalah orang itu untuk membantu anda memahami keberatan mereka. Carilah cara tukar tambah yang murah tetapi keuntungannya tinggi. Apa yang dapat anda tawarkan, yang harganya murah bagi anda tetapi manfaatnya sangat tinggi bagi pihak lain? Bantulah pihak lain untuk menyelamatkan muka mereka.

d. Mencapai Kesuksesan Untuk mencapai kesuksesan, ada beberapa faktor yang perlu anda pertimbangkan dalam proses negosiasi supaya menjadi lebih efektif: Semua pihak bertujuan untuk mencapai suatu penyelesaian Kemauan dari semua pihak untuk menjajaki berbagai kemungkinan dan bergerak ke arah yang diinginkan Kekuasaan yang memadai untuk melakukan persuasi sehingga perubahan yang diperlukan tidak memerlukan biaya yang terlalu mahal, tetapi cukup kuat untuk memaksa suatu penyerahan total Mandat yang jelas dari konstituen yang koheren

47

Saling mengakui antara pihak-pihak yang melakukan tawar menawar Masing-masing pihak menerima aturan main yang sama Pengakuan terhadap perbedaan legitimasi dan adanya landasan yang sama untuk membangun hubungan Keyakinan bahwa negosiasi adalah pilihan terbaik yang ada untuk menyelesaikan perbedaan di antara pihak-pihak yang terlibat Sumber daya yang memadai untuk menjamin agar hasilnya tidak mendiskreditkan proses tawar menawar yang digunakan dan mereka yang berusaha untuk menggunakannya.
Kesuksesan negosiasi akan berupa kesepakatan yang: Sebanyak mungkin memenuhi kepentingan legitimasi semua pihak dan menyelesaikan konflik kepentingan secara adil Tidak merusak hubungan antara kedua pihak Bisa dilaksanakan yaitu kedua pihak harus dapat menerima dan melaksanakan kesepakatan itu Dimiliki oleh semua pihak dan para pendukungnya dan tidak memiliki konsekuensi yang merugikan bagi pemimpinnya Tidak bersifat mendua, lengkap dan lestari Dapat dicapai dalam suatu kerangka waktu yang dapat diterima.

B. Mediasi Mediasi, seperti halnya negosiasi merupakan ketrampilan yang kita praktekan sehari-hari. Ketika dua orang berbeda pendapat dan ada pihak ketiga, misalnya anggota keluarga atau teman ikut campur untuk membantu, mereka melakukan klarifikasi masalah dan membicarakannya, merupakan bentuk mediasi.

48

Ketika mediasi langsung gagal mencapai tujuannya dan jalur komunikasi antara dua pihak terputus, ada peluang bagi pihak ketiga untuk ikut campur, pihak ketiga mungkin sukarelawan, atau seseorang yang diminta oleh kedua pihak untuk menjadi mediator. Mediator harus bisa diterima oleh kedua belah pihak. Prinsip Pokok Pendekatan Mediasi : Mediasi melibatkan kepedulian terhadap penderitaan dan keinginan untuk melibatkan seseorang dalam suatu konflik; Mediator menjadi terlibat dan terikat dengan kedua belah pihak, dan bukan terlepas dan terpisah serta tidak peduli; Kedua belah pihak harus secara sukarela sepakat untuk berpartisipasi dalam proses dan harus menerima mediator yang ditunjuk; Mediator harus bersedia bekerja dengan kedua belah pihak; Mediasi tidak berusaha untuk mendapatkan kebenaran obyektif, tetapi lebih berupaya untuk mendapatkan solusi yang disetujui kedua belah pihak dan yang didasarkan atas persepsi dan pengalaman kedua belah pihak; Mediator memandu dan mengendalikan proses mediasi, tetapi harus berusaha untuk mengarahkan isi pembicaraan; Berbagai pilihan untuk menyelesaikan konflik harus datang dari kedua belah pihak sendiri yang harus merasa memiliki kesepakatan yang diambil.

Peran mediator dalam membantu pihak yang berkonflik sangat bervariasi, tergantung pada sifat konflik, kemudahan dalam pendekatan dan pihak-pihak yang terlibat. Peran mediator menurut Engel dan Korf (2005) adalah: Pembuka saluran komunikasi, yaitu yang memulai komunikasi jika terputus atau memfasilitasi komunikasi yang lebih baik jika para pihak sudah saling berbicara, termasuk menjernihkan kesalah pahaman dan menghindari polarisasi dan eskalasi (meningkatnya konflik);

49

Orang yang memberi legitimasi (pengesahan), yaitu yang membantu semua pihak untuk mengenal bahwa hak-hak dari orang lain adalah bagian dari perundingan; Fasilitator proses, yaitu yang menyediakan bantuan prosedural terhadap komunikasi, termasuk memimpin pertemuan-pertemuan formal. Ketika menyediakan bantuan prosedural, para mediator tidak melibatkan diri mereka sendiri ke dalam isu-isu yang aktual dan tidak mengusulkan penyelesaian-penyelesaian; Pemerika (explorer) masalah, yang memungkinkan orang-orang yang berselisih untuk memeriksa suatu masalah dari beberapa sudut pandang yang berbeda; Agen dari keseimbangan (atau kenyataan), yang menanyakan dan menantang pihak-pihak yang mempunyai tujuan yang ekstrem dan tidak realistis, dan melalui hal ini membangun kesepakatan yang beralasan dan dapat dicapai; Pembangun jaringan (networker), yang menawarkan bantuan prosedural dan menghubungkan pihak-pihak yang berselisih dengan ahli-ahli dan sumberdaya-sumberdaya luar (seperti ahli-ahli teknik, pengacara, pembuat keputusan) yang memungkinkan mereka untuk menyusun pilihan-pilihan penyelesaian perselisihan yang dapat diterima.

Mediator haruslah orang yang netral dan tidak mempunyai kepentingan di dalam konflik agar dapat diterima oleh pihak-pihak yang berunding. Mediator dapat diterima oleh pihak-pihak yang berunding jika mereka menyetujui kehadiran mediator dan bersedia untuk mempertimbangkan saran-sarannya. Mediator dapat berasal dari orang dalam dan orang luar.Mediator orang dalam antara lain pemimpin lokal/setempat yang dipercayai. Kepercayaan merupakan modal utama untuk kolaborasi yang efektif. Kepercayaan umumnya berkembang bila ada hubungan-hubungan yang terbina sebelumnya, misalnya hubungan kekeluargaan atau kekerabatan. Mediator orang luar adalah pihakpihak yang telah dilatih untuk memberikan bantuan yang tidak memihak, berkaitan dengan mendesain strategi perundingan di antara pihak yang berselirih. Mediator orang luar harus mempunyai
50

pengalaman dan kompetensi dalam metode pengelolaan konflik dan kemampuan komunikasi yang baik. Dalam hal ini penyuluh kehutanan merupakan salah satu tenaga potensial yang diharapkan dapat menjadi mediator dalam mengatasi berbagai konflik SDA. Oleh karena itu peningkatan kapasitas dan kompetensi penyuluh dalam metode pengelolaan konflik menjadi prioritas untuk dikembangkan. 1. Tahapan dan Langkah-Langkah Pengelolaan Konflik Penyelesaian konflik merupakan proses panjang yang membutuhkan banyak waktu, tenaga, pemikiran secara serius. Proses pengelolaan konflik merupakan proses yang rumit, berulangulang bahkan dapat mengalami kemunduran atau kemajuan secara tiba-tiba. Untuk dapat mengelola konflik dengan baik, Engel dan Korf (2005) mengemukakan empat tahapan utama (milestones) dan sepuluh langkah dengan kegiatan yang spesifik, yang dikenal dengan peta proses. Peta proses membantu mediator dalam menggerakkan proses pengelolaan konflik untuk mendapatkan hasil yang baik. a. Masuk ke dalam Konflik (Entry) Untuk masuk ke dalam konflik diperlukan tiga langkah yaitu: 1) Menyiapkan Entry Mediator mengklarifikasi peran mereka dan menyiapkan kontak dengan pihak-pihak yang berkonflik. Mediator juga mempelajari informasi dasar tentang konflik yang terjadi, dan mengembangkan strategi terbaik untuk mendekatkan pihak-pihak yang berbeda dalam konflik; 2) Memasuki Konflik Mediator bersama-sama dengan pihak yang berkonflik melakukan kontak langsung pertama. Pertama-tama mediator menemui pihak-pihak yang berkonflik secara terpisah, dan mempelajari bagaimana mereka melihat/memandang konflik tersebut. Kemudian mediator mengklarifikasi peran mereka dalam menggerakan proses ke depan, dan memastikan komitmen untuk memulai mediasi;

51

3) Menganalisis Konflik Mediator mengklarifikasi asumsi mereka tentang konflik yang terjadi, dan menganalisis posisi-posisi para pemangku kepentingan. Mediator akan meneruskan proses jika: (a) analisis konflik mengindikasikan bahwa mekanisme pengelolaan konflik yang ada tampaknya tidak akan berhasil; (b) negosiasi berdasarkan kepentingan tampaknya adalah strategi yang terbaik dalam keadaan yang ada; dan (c) intervensi mereka tidak akan membahayakan. Tahapan A tercapai jika mediator memutuskan dengan hati-hati (melalui keputusan kelompok yang tidak tergesagesa) dan transparan (melalui komunikasi kepada pihakpihak yang berkonflik) bahwa perundingan berdasarkan kepentingan mempunyai kesempatan untuk dilanjutkan. b. Memperluas Keikutsertaan Pemangku Kepentingan Ketika pihak-pihak yang terlibat dalam konflik telah menentukan peran-peran mereka dan setuju untuk menugaskan pihak ketiga, maka tugas tim mediasi adalah mengarahkan para pemangku kepentingan untuk melalukan refleksi dan menemukan jati diri sendiri. Selain itu, mediator juga mempuyai tugas untuk menyadarkan mereka akan kepentingan jangka panjang, hasil-hasil yang akan didapatkan dari solusi yang dirundingkan serta alternatif-alternatif yang memungkinkan hasil perundingan tersebut. Pada akhir proses ini para pemangku kepentingan harus bersedia untuk bertemu dengan pihak-pihak konflik lainnya untuk berunding. Ada dua langkah yang perlu dilakukan pada tahapan ini, yaitu: 1) Memperluas keikutsertaan pemangku kepentingan Dalam proses ini para mediator secara bertahap mengalihkan control dan tanggung jawab kepada para pemangku kepentingan dalam konflik. Mediator membantu para pemangku kepentingan untuk menganalisis akar penyebab konflik, para pemangku kepentingan yang berbeda, dan posisi, kekuatan, kepentingan dan kebutuhan mereka sendiri;
52

2) Mengkaji pilihan-pilihan Mediator membantu para pemangku kepentingan yang berbeda untuk menghasilkan pilihan-pilihan untuk menyelesaikan atau mengatur konflik. Keuntungan setiap pilihan dikaji, kemudian disusun prioritas pilihan. Tahapan B tercapai bila setiap pihak yang berselisih telah mengklarifikasi keinginan-keinginan mereka masingmasing, mempertimbangkan strategi-strategi untuk mengatur atau menyelesaikan konflik, dan mengekspresikan keinginan untuk berunding dengan pihak-pihak lain untuk mencapai suatu kesepakatan. c. Perundingan Pada tahap ini mediator membawa para pemangku kepentingan yang berselisih untuk merundingkan pilihan-pilihan yang dapat diadopsi untuk melaksanakan kesepakatan. Kesepakatan dirundingkan dengan asumsi bahwa kesepakatan tersebut akan menguntungkan semua pihak dan fokus pada kepentingan-kepentingan dan kebutuhan-kebutuhan dasar para pemangku kepentingan. Langkah-langkah yang perlu dilakukan pada tahapan ini ialah: 1) Menyiapkan perundingan Perundingan membutuhkan persiapan yang hati-hati, meliputi persiapan orang yang terlibat, mengeksplorasi strategi-strategi dan merencanakan bentuk perundingan; 2) Memfasilitasi perundingan Langkah ini merupakan bagian yang paling menantang dari proses pengelolaan konflik. Para pihak berusaha untuk saling meyakinkan untuk mencapai kesepakatan. Perundingan dapat berlangsung lama, dan perundingan selesai ketika pihak-pihak yang berselisih dapat menyetujui pilihan-pilihan untuk menyelesaikan konflik. 3) Mendisain kesepakatan Setelah menyetujui alternatif pilihan untuk penyelesaian konflik, perlu dicari kesepakatan tentang bagaimana pilihan
53

tersebut diimplementasikan dan dimonitor. kesepakatan peran mediator pada proses ini.

Termasuk

Tahap C berhasil jika pihak yang berunding mendengarkan dan mempertimbangkan setiap masukan dan kepentingan masing-masing pihak, bersama-sama mengembangkan kesepakatan untuk mengatur pelaksanaan dan pemantauan terhadap pilihan penyelesaian konflik yang telah disetujui. d. Keluar (Exit) Setelah kesepakatan ditandatangani, perselisihan mungkin telah selesai tetapi belum sepenuhnya terpecahkan. Masih ada kemungkinan terjadi langkah-mundur ketika pihak-pihak yang berselisih tidak mengikuti kesepakatan, atau belum tercapai pemulihan hubungan yang cukup baik untuk kolaborasi. Pada tahapan ini diperlukan dua langkah, yaitu: 1) Memonitor Kesepakatan Mediator dapat memaikan berbagai peran dalam pelaksanaan dan monitoring kesepakatan. Peran mereka hatus diklarifikasi dengan para pemangku kepentingan. 2) Mempersiapkan Exit Sebelum meninggalkan arena konflik, mediator perlu : a) mengembangkan suatu sistem untuk menyerahkan tanggung jawab mengimplementasikan dan memonitor kesepakatan kepada para pemangku kepentingan atau seorang mediator lokal yang dipercayai; b) mengembangkan kapasitas masyarakat menyelesaikan masalah di masa depan. untuk

Tahapan ini telah tercapai bila hubungan pihak-pihak yang berselisih telah pulih, mereka mampu dan bersedia melanjutkan pelaksanaan kesepakatan, bahkan mereka telah memiliki kapasitas untuk memecahkan masalah-masalah secara mandiri.

54

(Sumber: Engel and Korf (2005)) Gambar 6 : Peta Proses Pengelolaan Konflik

2. Mengelola Proses Penyelesaian Konflik Persepsi, intepretasi dan sikap mediator sangat menentukan terhadap keberhasilan proses penyelesaian konflik. Oleh karena itu, para mediator perlu mengelola proses penyelesaian konflik dengan melakukan tugas-tugas sebagai berikut: a. Mengembangkan Kolaborasi Kunci dasar dari pendekatan kolaborasi adalah partisipasi sukarela dari semua pemangku kepentingan. Mengembangkan kolaborasi merupakan tugas utama mediator dalam proses ACM. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pengembangan kolaborasi ialah: (1) Memperluas keterlibatan pemangku kepentingan; (2) Mengidentifikasi cakupan seluasnya keperluan pemangku kepentingan; (3) Mengembangkan visi yang positif; (4) Menyetarakan pihak yang berselisih membangun kekuatan pihak yang lemah; (5) Membangun legitimasi;
55

(6) Memastikan bahwa proses perundingan adalah adil; (7) Membangun kepemilikan atas proses. b. Menghindari meluasnya ketegangan atau konflik Mediator harus bertindak dan berinteraksi dengan cara yang merefleksikan dan menggambarkan nilai-nilai dimana mereka bekerja. Mereka harus dapat membuktikan kepada pihak-pihak yang berkonflik bahwa mereka dapat dipercaya. Untuk membangun hubungan antar personal yang positif dengan para pihak, kredibilitas, kepercayaan dan legitimasi, maka mediator perlu mengembangkan nilai-nilai dan prinsipprinsip: 1) Kejujuran personal; 2) Kepercayaan/kehandalan personal; 3) Respek terhadap perbedaan; 4) Menghormati kepemilikan lokal. Mediator harus dapat menganalisis setiap situasi konflik, dan dapat membedakan pihak-pihak yang dapat menjadi penghubung dan perusak. Mediator perlu menjaga hubungan dengan pihak-pihak yang dapat menjadi penghubung karena sangat berperan dalam titik awal usaha pengelolaan konflik. Sebaliknya perlu berhati-hati menghadapi perusak karena dapat mengacaukan usaha pengelolaan konflik. c. Membuka Ruang untuk Pemulihan Hubungan Satu kunci untuk memulihkan hubungan adalah membangun kepercayaan. Kepercayaan dalam hubungan dibangun secara bertahap melalui satu rangkaian dan janji-janji dan tindakan yang tulus. Mediator harus berperan dalam mendorong pihakpihak yang berselisih untuk mengambil tindakan tertentu yang dapat meningkatkan kepercayaan satu dengan lainnya. Pemulihan hubungan dapat dilakukan melalui: 1) Menyelenggarakan aksi simbolik yang mendemonstrasikan kepercayaan atas perundingan;

56

2) Membuat pernyataan yang jelas dan tidak berlawanan dengan pernyataan sebelumnya; 3) Menjauhi janji-janji yang tidak realistis atau tidak dapat dipercaya. d. Mengelola Informasi Informasi dalam semua proses pengelolaan konflik memiliki peran yang penting. Perundingan untuk konsensus dititikberatkan pada belajar dan berbagi informasi. Dalam proses penyebaran informasi, suatu pihak berusaha mengubah pengetahuan, sikap, pilihan dan strategi lawannya. Oleh karena itu ketersediaan, pengaturan dan penerimaan informasi sangat penting dalam suatu perundingan. Mediator dapat membantu dalam diskusi untuk menggali kebutuhan informasi, dengan cara: 1) mencari keahlian teknik dari luar yang netral; 2) memastikan bahwa seluruh pihak terlibat dalam identifikasi kebutuhan informasi; 3) mengusahakan partisipasi aktif semua mengumpulkan dan menganalisis informasi; pihak dalam

4) memastikan bahwa informasi diberikan dengan jelas dan dapat dengan mudah dimengerti semua kelompok. e. Membangun Kapasitas Lokal Banyak masyarakat memiliki institusi dan struktur yang dapat membantu menyelesaikan konflik setempat. Ini dapat melibatkan orang yang secara tradisional bertindak sebagai mediator atau kesepakatan-kesepakatan yang mengatur akses lokal dan kontrol atas sumberdaya. Setiap intervensi harus secara spesifik difokuskan pada upaya membangun dan menguatkan kapasitas lokal yang sudah ada. Penilaian kapasitas lokal dapat berguna untuk mempertimbangkan tingkatan mana konflik dapat diatur dengan sukses, dan tingkatan kapasitas mana yang harus dikuatkan serta pada konflik apa. Kapasitas lokal dapat dibangun dengan cara:
57

1) Pengembangan kapasitas pada tingkatan lokal ditargetkan untuk pihak-pihak yang lebih lemah, yang harus dikuatkan sehingga mereka dapat mengambil bagian dalam perundingan; 2) Melatih pemimpin masyarakat yang independen dalam keahlian mediasi dan fasilitasi; 3) Melatih mediator dalam penguatan mekanisme institusi.

58

VI.

CONTOH PENGELOLAAN KONFLIK SUMBER DAYA HUTAN

Dari 359 kasus konflik kehutanan yang berhasil dicatat, 39% di antaranya terjadi di areal Hutan Tanaman Industri (HTI), 34% di kawasan konservasi termasuk hutan lindung, dan 27% di areal Hak Pengusahaan Hutan (HPH). Angka-angka tersebut menunjukkan bahwa konflik-konflik kehutanan yang terjadi pada tahun 1997-2003 lebih banyak di areal HTI dan kawasan konservasi. Hal ini sejalan dengan pergeseran pembangunan kehutanan dari pola HPH ke HTI, dan adanya TAP MPR No.IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam sehingga terjadi penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan sumberdaya alam, termasuk hutan. Menurut analisa CIFOR(2004) berdasarkan laporan dari media massa, informasi dari lapangan, faktor penyebab konflik kehutanan dapat dibagi ke dalam lima kategori utama, yaitu : (1) masalah tata batas, (2) pencurian kayu; (3) perambahan hutan; (4) kerusakan lingkungan; dan (5) peralihan fungsi kawasan. Dari kelima kategori ini pada umumnya konflik-konflik yang sering terjadi di sekitar kawasan hutan adalah karena adanya tumpang tindih sebagian areal konsesi atau kawasan hutan lindung dengan lahan garapan masyarakat dan karena terbatasnya akses masyarakat untuk memperoleh manfaat dari keberadaan hutan, baik hasil hutan maupun tempat tinggal. Konflik dalam pengelolaan SDH dapat dibedakan menurut sebabnya menjadi dua tipe yang mendasar, yaitu : (1) Konflik yang disebabkan secara langsung oleh adanya introduksi tekanan pembangunan atau perubahan lingkungan yang baru. Kombinasi dari adanya perubahan demografis (pertumbuhan penduduk, peningkatan kebutuhan) dan terbatasnya keberlanjutan SDA yang dapat diperbaharui (hutan, air, areal penggembalaan, hidupan liar, dan tanah pertanian); seringkali disebut sebagai penyebab konflik yang terjadi dalam pemanfaatan SDA di dalam dan di antara kelompok-kelompok masyarakat dengan pihak lain, maupun lembaga swasta; (2) konflik yang umumnya telah ada secara tertutup (laten) tetapi dapat termunculkan kembali sebagai konsekuensi langsung dari tekanan model pembangunan yang baru tersebut.
59

Menurut Suporahardjo (2000) secara garis besar penyebab konflik SDH di Indonesia adalah dalam sistem penguasaan SDH (sistem tenurial); alokasi SDH; dan manajemen SDH. Dalam sistem penguasaan SDH misalnya distribusi penguasaan tanah di Indonesia yang tidak adil menimbulkan kemiskinan masyarakat, mengurangi kemampuan pengembangan ekonomi rakyat berbasis pemanfaatan lahan. Sebagian besar tanah pertanian yang subur dikuasai oleh segelintir orang saja, sehingga masyarakat miskin bertahan hidup dengan menggarap lahan hutan. Konflik tenurial ini bisa terjadi karena terbatasnya atau tidak menyeluruhnya pengakuan oleh satu pihak terhadap pihak lainnya, atau karena politik negara yang berbeda dengan masyarakat lokal.
Pengelolaan konflik di tiap-tiap lokasi berbeda-beda, sangat ditentukan oleh jenis konflik, sumber konflik, penyebab konflik, pemangku kepentingan/pihak yang berkonflik, upaya yang telah dilakukan dan lainnya. Peranan penyuluh kehutanan dalam pengelolaan berbagai konflik SDH sangat diperlukan. Penyuluh Kehutanan dapat berperan dalam pengelolaan konflik sesuai dengan kondisi dan kebutuhan, baik dari cara paling sederhana yaitu pencegahan konflik sampai dengan cara negosiasi dan mediasi untuk kolaborasi. Untuk dapat menentukan peran apa yang perlu dimainkan dan strategi apa yang perlu dilakukan oleh seorang penyuluh dalam pengelolaan konflik SDH, maka perlu terlebih dahulu dilakukan analisis konflik: apa jenis konflik, sumber konflik, pihak-pihak yang terlibat dalam konflik, langkah-langkah apa yang sudah diambil dan lainnya. Peran penyuluh kehutanan berbeda-beda untuk tiap-tiap konflik, namun penyuluh kehutanan sebagai pendamping masyarakat dalam pembangunan kehutanan diharapkan dapat berperan sebagai negosiator dan mediator dalam pengelolaan konflik SDH.

60

Berikut ini disajikan beberapa contoh kasus keberhasilan pengelolaan konflik SDH/A di Indonesia sebagai bahan pembelajaran bersama. A. Contoh Pengelolaan Konflik pada Kawasan Hutan Produksi /Banten Mega Biodiversity (BMB) Deskripsi Kasus : Banten Mega Biodiversity (BMB) adalah salah satu contoh kasus penanganan konflik yang melibatkan masyarakat desa hutan dan Perum Perhutani. Berlokasi di Pandeglang, Provinsi Banten, BMB adalah kegiatan pengelolan hutan sebagai implementasi dari Pengelolaan Sumber Daya Hutan Bersama Masyarakat (PHBM). Meliputi luasan 202,49 Ha, pengelolaan BMB melibatkan 292 KK masyarakat di 3 desa di Kabupaten Pandeglang, yang merupakan wilayah kerjaRPH Carita dan Pasauran, BKPH Pandeglang, KPH Banten. Pada tahun 1999 s/d 2002, di lokasi BMB dilakukan penanaman tanaman jenis penelitian yaitu Meranti. Sementara masyarakat desa hutan telah menanami lokasi tersebut dengan tanaman-tanaman seperti melinjo, petai, cengkeh, dan tanaman-tanaman pertanian. Perbedaan kepentingan antara masyarakat dengan Perum Perhutani sempat menimbulkan gesekan-gesekan, sehingga menghambat kegiatan penanaman Meranti pada waktu itu. Perum perhutani berusaha merangkul masyarakat agar mau berkolaborasi dalam pengelolaan BMB yang dilakukan melalui dialog. Analisis Konflik : Jenis konflik tersebut termasuk jenis konflik kepentingan yang terjadi antara masyarakat desa hutan dan Perum Perhutani, dimana Perum Perhutanibermaksud mengelola kawasan hutan untuk kegiatan BMB dengan melakukan penanaman tanaman jenis penelitian Meranti, tetapi masyarakat desa hutan ingin melakukan penanaman dengan tanaman-tanaman pertanian.

61

StrategiPengelolaan Konflik : Perum Perhutani mengambil inisiatif untuk melakukan negosiasi, akhirnya diperoleh kesepahaman dan kesepakatan dalam kegiatan BMB, antara lain bahwa masyarakat desa hutan turut berperan serta secara aktif dalam kegiatan BMB. Selanjutnya Perum Perhutani melakukan langkah-langkah pengelolaan BMB sebagai berikut : 1. Memprakondisikan Masyarakat Memprakondisikan masyarakat merupakan kegiatan untuk mempersiapkan masyarakat desa hutan sebelum terlibat dalam kegiatan BMB. Masyarakat Desa Hutan dalam pengelolaan BMB adalah sebagai penggarap. Pada tahap ini dilakukan kegiatankegiatan : a. Sosialisasi kegiatan BMB kepada masyarakat yang dilanjutkan dengan inventarisasi penggarap dari 292 KK masyarakat di 3 desa tersebut dan menetapkan luas garapan, yaitu 0.2 Ha-3,4 Ha per KK. b. Pembentukan kelompok. c. Untuk memudahkan dalam pelaksanaan pembinaan, masyarakat desa hutan yang dilibatkan dalam kegiatan BMB selanjutnya diwadahi dalam suatu lembaga, yaitu Paguyuban Kelompok Tani HutanBMB. 2. Membuat Legalitas Dalam tahap ini dibuat konsep perjanjian kerjasama antara Perum Perhutani dengan Paguyuban Kelompok Tani BMB dan pihakpihak terkait lainnya, kemudian dilakukan sosialisasi. Draft perjanjian kerjasama dibahas dengan menghadirkan pihak-pihak terkait untuk memberikan masukan dalam memperkaya isi perjanjian. Selanjutnya dilakukan penandatanganan perjanjian kerjasama pengelolaan BMB. Tujuan dari penandatanganan kerjasama tersebut adalah adanya kesepakatan tertulis dalam kolaborasi kegiatan pengelolaan BMB secara proporsional antara masyarakat, Perum Perhutani dan stakeholders lainnya yang saling menguntungkan tanpa mengesampingkan fungsi kawasan hutan. Setelah ditandatangani perjanjian tersebut, sebanyak 8 desa hutan
62

di wilayah RPH Carita telah telah mengikuti kegiatan tersebut dengan membentuk Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) yang diaktenotariskan. 3. Perencanaan Kegiatan perencanaan meliputi : penyusunan rencana kerja kelompok, penyusunan dan pengesahan rencana kerja bersama. 4. ImplementasiKegiatan Kegiatan-kegiatan pada tahap ini mencakup : pelaksanaan kegiatan yang telah direncanakan, monitoringserta evaluasi. B. Contoh Pengelolaan Konflik pada Kawasan Hutan Konservasi di TN Gunung Halimun-Salak Deskripsi Kasus Taman Nasional Gunung Halimun-Salak (TNGHS) seluas 113.357 ha ditetapkansebagai Taman Nasional melalui Keputusan Menteri Kehutanan No.175 Tahun 2003. Dengan SK ini pemerintah melakukan perluasan kawasan Taman Nasional dengan mengubah fungsi kawasan hutan produksi dan hutan lindung yang berada di bawah Perum Perhutani menjadi bagian dari kawasan TNGHS. Kawasan TNGHS didiami juga oleh komunitas adat yang memiliki relasi yang kuat terhadap alam, yaitu masyarakat dan adat Kasepuhan. Sejak ratusan tahun yang lalu masyarakat adat Kasepuhan telah melakukan pengelolaan hutan sesuai dengan peraturan adat. Masyarakat adat mengelola hutan berdasarkan dengan jenis-jenis hutan yang telah dikategorikan oleh adat. Terdapat tiga jenis hutan yang dikategorikan oleh adat, yaitu Leweung tutupan (hutan tutupan), Leuweung titipan (hutan titipan) dan leuweung bukaan (hutan bukaan). Pengelolaan ketiga jenis hutan ini diatur oleh adat, yang diwakilkan oleh ketua adat (Abah). Penetapan kawasan hutan, yang telah didiami oleh masyarakat adat kasepuhan secara turun temurun, menjadi Taman Nasional telah menimbulkan konflik yang meresahkan dan dianggap mengancam kehidupan masyarakat adat Kasepuhan dalam pemanfaatan hutan.Sejarah konflik dimulai ketika kawasan Gunung Halimun dikelola
63

oleh Perhutani pada tahun 1970-an. Saat itu pihak Kasepuhan dianggap telah menyerobot lahan Perhutani dengan membuka hutan utuh untuk ladan dan sawah milik warga. Selain masalah penyerobotan lahan, konflik dengan Perhutani pun terjadi ketika ada tumpang tindih antara hutan adan dan hutan produksi milik Perhutani. Konflik semakin parah ketika pengelolaan Gunung Halimun dialihkan ke Balai Taman Nasional GHS. Wilayah pemukiman dan pertanian warga (leuweung titipan) diklaim sebagai zona rimba dan zona rehabilitasi taman nasional. Pihak taman nasional melarang masyarakat melakukan kegiatan di wilayah yang secara turun temurun telah menjadi pemukiman dan lahan usaha kasepuhan. 1. Analisis Konflik Jenis konflik dalam kasus ini adalah konflik permukaan /mencuat, yaitu konflik yang sudah dapat dikenali pihak-pihak yang berselisih, diakui ada perselisihan, permasalahan telah jelas tapi penyelesaiannya belum berkembang. Tetapi di beberapa kampung cenderung mengarah pada konflik terbuka karena konflik dengan pihak-pihak yang berselisih terlibat aktif dalam perselisihan, sudah bernegosiasi atau menghadapi kebuntuan. Selain itu konflik ini berakar dalam, sangatnyata dan memerlukan tindakan untuk mengatasi akar penyebab dan berbagai efeknya. Bila dilihat dari pihak yang bersengketa, konflik ini tergolong konflik vertikal karena terjadi antara pemerintah dan masyarakat. Penyebab konflik adalah: a. Perbedaan persepsi Perbedaan persepsi terjadi ketika pihak TNGHS menganggap masyarakat sebagai perambah hutan dan pelaku ilegal logging. Sedangkan masyarakat adat kasepuhan menganggap pihak TNGHS telah menyerobot lahan garapan masyarakat untuk dijadikan taman nasional. b. Perbedaan kepentingan Perbedaan kepentingan terjadi ketika pihak TN memiliki kepentingan konservasi pada kawasan Gunung Halimun dan masyarakat adat memiliki kepentingan terhadap Gunung Halimun sebagai ruang hidup.
64

c. Perbedaan tata nilai Perbedaan tata nilai terhadap fungsi hutan, pihak TN menganggap kawasan GHS sebagai kawasan hutan yang perlu dijaga kelestariannya karena merupakan daerah resapan air dan memiliki keanekaragaman yang tinggi sehingga diperlukan upaya konservasi. Sedangkan masyarakat adat kasepuhan menilai hutan sebagai tempat pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari mereka dan sebagai tempat spiritual yang dipercaya memiliki benda-benda pusaka. d. Perbedaan pengakuan hak kepemilikan lahan Perbedaan dalam pengakuan hak kepemilikan kawasan antara TNGHS dan masyarakat kasepuhan. Balai TNGHS mengamankan kawasan Gunung Halimun-Salak sebagai milik Negara karena tidak terbebani hak atas tanah, sedangakan masyarakat adat menganggap bahwa kawasan GNHS adalah milik adat, karena sudah diwariskan oleh leluhur untuk anak-cucu mereka. Pihak-pihak yang terlibat dalam konflik di TNGHS adalah: Perum Perhutani, yang kemudian digantikan oleh Balai TNGHS serta masyarakat adat Kasepuhan. 2. Strategi Pengelolaan Konflik Telah dilakukan berbagai upaya, baik oleh pihak pemerintah maupun pihak kasepuhan untuk meredam konflik yang terjadi, mulai dari cara pemaksaan sampai dengan mediasi menuju konsensus dan kolaborasi (kerja sama). Pemaksaan (Coercion) yaitu suatu pihak yang bersengketa menerapkan hasrat pada pihak yang lain, penerapannya dilakukan dengan ancaman atau paksaan. Pemaksaan atau tekanan terjadi baik dari petugas TNGHS kepada masyarakat, maupun sebaliknya tekanan dari masyarakat terhadap petugas TNGHS. Pemaksaan dari petugas lapangan Balai TNGHS dilakukan dalam bentuk ancamanancaman sanksi terhadap warga masyarakat yang dianggap melanggar peraturan perundang-undangan, seperti ancaman hukuman penjara, ataupun penyitaan barang-barang milik warga

65

masyarakat. Sedangkan pemaksaan dari warga masyarakat dilakukan dalam bentuk protes-protes dan demonstrasi. Negosiasi-negosiasi dan konsensus dilakukan karena masingmasing pihak menghendaki adanya penyelesaian, bahkan untuk mencapai kerjasama. Beberapa negosiasi berhasil mencapai konsensus, di antaranya ialah masyarakat Kampung Sukagalih, Cililin dan Sirnarasa m enyepakati adanya zona khusus untuk mengakomodir kepentingan mereka bermukim dan mengolah lahan pertanian, walaupun dengan pembatasan dan perjanjian untuk tidak menambah rumah dan memperluas lahan garapan. Masyarakat kampung Sukagalih, Cililin dan Sirnarasa mendukung fungsi TNGHS sebagai perlindungan sumber air sehingga rela jika dilarang berladang di dalam kawasan lagi. Sementara masyarakat kampung Ciptagelar menolak zona khusus dan tetap menuntut hak kelola areal atau wewengkon yang selama ini telah mereka klaim sebagai wilayah adat. Upaya pengelolaan konflik lainnya ialah : a. Menyelenggarakan program Model Desa Konservasi (MDK) untuk pemberdayaan masyarakat; b. Program adopsi pohon oleh masyarakat, c. Upaya penegakan hukum secara bertahap mulai dari persuasif dan preventif sampai dengan langkah penindakan secara represif; dan d. Alokasi zona khusus untuk menampung kepentingan masyarakat. Upaya pengelolaan konflik SDA pada wilayah TNGHS tidak dapat disamaratakan antar kampung yang satu dengan yang lainnya, karena masing-masing kampung memiliki sejarah, karakteristik, kondisi sosial budaya dan potensi yang berbeda; e. Pemberian hak pengelolaan kawasan konservasi bersama masyarakat (PKKBM) melalui program Hutan Kemasyarakatan dapat diberikan kepada masyarakat kampung Sukagalih. Tetapi bagi Kampung Ciptagelar yang sudah turun temurun tinggal di dalam kawasan TNGHS, dapat diberikan hak kelola hutan adat.
66

C. Contoh Pengelolaan Konflik pada Kawasan Hutan Lindung di Register 38 Lampung Timur Deskripsi Kasus Kawasan Hutan Lindung di Gn. Balak merupakan tanah negara bebas yang tidak dibebani hak atas tanah, karena itu sejak masa pemerintahan Hindia-Belanda, sudah ditetapkan dengan bersluit nomor 664 tahun 1935 sebagai hutan lindung (Register 38) dengan seluas 19.680 Ha, kemudian setelah kemerdekaan Residen Lampung, menerbitkan Surat Edaran melarang masyarakat membuka kawasan hutan yang sudah ditetapkan termasuk register 38. Perambahan Kawasan Hutan Register 38 dimulai tahun 1963, bukan oleh penduduk lokal, tetapi oleh masyarakat yang eksodus dari P. Jawa karena konstalasi politik sehingga mencari lokasi yang aman didalam register 38 dan berkembang menjadi Dusun 4 Sri yaitu SriWidodo, SriKaloka, Sri-Mulyo, dan Sri-Katon. Pada periode, 1966-1971 ada kebijakan pemberian izin menggarap lahan, namun penggarap akhirnya merambah/menduduki dan membentuk Dusun Bandung Jaya, Dusun Ogan Jaya, Dusun Sidodadi, Dusun Sidorejo dalam kawasan register 38. Dengan demikian desa/dusun dalam kawasan register 38 tersebut bukan merupakan desa asli didalam kawasan hutan, tetapi desa bentukan setelah perambahan tahun 1963, 1966-1971. Karena itu sejak tahun tahun 1971, kemudian TGHK Surat Menteri Pertanian Nomor : 180/Mentan.III/1980, diperkuat dengan SK nomor : 680/Kpts/Kpts/VIII/8/1981, selanjutnya hasil padu-serasih TGHK dan RTRW, sesuai Keputusan Menhutbun Nomor : 256/Kpts-II/2000 tanggal 23 Agustus 2000, pemerintah tetap mempertahankan register 38 sebagai hutan Negara, karena Provinsi Lampung hanya terdapat kawasan hutan 1.004.735 ha atau 30,30% dari luas daratan 3,3 juta Ha, sehingga jika hutan lindung Gn. Balak, di relokasi fungsi hutannya, maka secara agregat provinsi Lampung tidak memenuhi kecukupan luas minimal 30% luas kawasan hutan minimal terhadap luas daratan. Untuk mempertahankan fungsi pokok kawasan Gn. Balak, Hutan Lindung melindungi daerah bawahannya terutama menjaga debit air
67

dalam mensupley rencana pembangunan Waduk Way Jepara yang akan mengairi 6.000-7.000 Ha Sawah, maka sejak tahun 1971 telah dilakukan tindakan Represif, tahun 1982/1983 dilakukan Operasi pengosongan tahap I dan penghapusan Desa-Desa Sriwidodo, Srikaloko, Srimulyo, Sridodadi, Srikaton, selanjut Operasi pengosongan tahap II diikuti dengan penghapusan desa Bandung Jaya, Oga Jaya, Yabakti serta penghapusan Kecamatan Perwakilan Gn. Balak, penduduknya di-resetlemen dan sebagian mengikuti program transmigrasi, tahun 1984 lokasi eks perambahan dilakukan kegiatan Reboisasi melalui program Inpres Reboisasi pola AMR dan pola Swakelolah oleh Dinas Kehutanan dengan tanaman Sonokeling, dan hasilnya sukses. Pasca reformasi 1998, areal eks perambahan yang sudah berhasil direboisasi dengan tanaman Sonokleing tahun 1982/1983, dilakukan penebangan oleh masyarakat dan perambah bertahan karena ingin konversi kawasan hutan agar dijadikan milik perambah, sedangkan Pemda cq Dinas Kehutanan tetap mempertahankan keberadaan Register 38 Gn. Balak sebagai kawasan Hutan Lindung. Tahun 2003/2004 pada lokasi tersebut dilaksanakan kegiatan GNRHL/Gerhan, dan berhasil. 1. Analisis Kasus Jenis Konflik : Dalam kasus ini adalah Jenis Konflik Permukaan yaitu konflik yang nampak/muncul kesalapahaman atas sasaran yang ingin dicapai bahkan cenderung ke arah Konflik terbuka yaitu konflik atau pertentangan yang sangat nyata dan berakar sangat mendalam. Dipandang dari aspek substansi/obyek maka kasus ini termasuk kategori Konflik realistis yaitu konflik dimana isu ketidaksepahaman/pertentangan terkait dengan substansi/obyek konflik sehingga dapat didekati dari dialog, persuasif, musyawarah, negosiasi ataupun voting.

68

Penyebab Konflik : a. Perbedaan persepsi : Persepsi Pemerintah (Kemenhut dan Pemda) bahwa masyarakat sebagai perambah karena telah menyerobot/menduduki kawasan secara tidak sah, sedangkan persepsi masyarakat bahwa pemerintah telah menyerobot lahan lahan garapan/usaha sebagai kawasan hutan lindung. b. Perbedaan kepentingan : kepentingan pemerintah adalah kawasan hutan Gn. Balak adalah hutan Lindung yang perlu dipertahankan, dipelihara untuk memberikan fungsi perlindungan dan tata air bagi daerah bawahannya, sekaligus dipertahankan untuk memenuhi kecukupan luasan kawasan hutan minimal 30% luas daratan, sedangkan kepentingan masyarakat adalah kawasan tersebut sebagai lahan/ruang hidup. c. Perbedaan dalam pengakuan hak; pemerintah berpegang pada hukum positif yaitu bahwa kawasan hutan tersebut adalah tanah Negara bebas yang tidak dibebani hak milik atau hak atas tanah, ditetapkan sebagai kawasan hutan sebelum masyarakat menduduki/merambah sehinga tidak ada dasar hukum alih fungsi, sedangkan masyarakat menginginkan pengakuan pemerintah untuk alih fungsi menajadi lahan milik. 2. Strategi Pengelolaan Konflik Berdasaran posisi kasus, maka dapat dikatakan bahwa masingmasing pihak menerapkan strategi pemaksanaan, karena berbagai negosiasi menjadi gagal. Strategi Pemaksaan yang dilakukan pemerintah berdasarkan hukum positif, strategi pemaksaan oeh pemerintah dilakukan dengan cara represif yaitu melakukan proses hukum bagi perambah hutan, operasi pengosongan, penghapusan desa, resettlement dan transmgrasi serta dilakukan reboiasasi pada areal eks perambahan (strategi win and losses solution).

69

Strategi pemaksaan yang dilakukan masyarakat yaitu dengan cara memobilisasi masyarakat, melakukan demontrasi, menduduki gedung-gedung pemerintah dan kembali melakukan perambahan jilid II pada lokasi yang sebelumnya telah dihapus status desanya, dikosongkan dan telah direhabilitasi tersebut (strategy wind and losses solution). 3. Upaya Pengelolaan Konflik melalui Mediasi Setelah melalui suatu proses yang panjang yaitu sejak tahun 1971(operasi pengosongan tahap I), 1982/1983 (Operasi pengosongan tahap II), 1983/1984 (reboisasi areal eks perabahan), 1984 (penghapusan desa/dusun dalam kawasan hutan), 1998 pasca reformasi (terjadi lagi penyerobotan tahap II). Pada tahun 2003/2004, areal eks perambahan tersebut dimasukan program Gerhan, dengan menanam jenis kayu-kayuan, MPTS (Karet, Kopi, Coklat) dan menghindari penanaman jenis sawit, untuk mendukung fungsi pokok hutan lindung register 38, juga diselingi tanaman palawija (jagung). Tanaman Gerhan tersebut berhasil, dan agar fungsi pokok hutan lindung terus terjaga, ruang hidup masyarakat tetap berlangsung, maka Pemerintah Kabupaten melalui peran mediasi penyuluh kehutanan Kab. Lampung Tengah, disosialisasikan HKm, dan disetujui sehingga dimulai dengan pengajuan permohonan HKm atas areal seluas 920 ha dari 679 KK Desa Itik Rendey, Kecamatan Melinting. Harapan penyuluh kehutanan yang memediasi hal ini, apabila HKm yang dimohon oleh Kelompok Tani .Desa Itik Rendey merupakan pintu masuk resolusi konflik. Peran mediasi penyuluh kehutanan ini, dapat dikategorikan sebagai win-win solution menggantikan win-loss solution yang selama ini dipakai masingmasing pihak.

70

DAFTAR PUSTAKA

Braakman L, Edwards K. 2002. The Art of Building Facilitation Capacities. A Training Manual. Bangkok: RECOFTC Engel A, Korf B. 2005. Teknik-Teknik Perundingan dan Mediasi untuk Pengelolaan Sumberdaya Alam. Roma: FAO. [FAO] Food and Agriculture Organization of The United Nations. 2002. Communitybased Forest Resources Conflict Management. A Training Package. Rome: FAO. Fisher S

et. al. 2001. Mengelola Konflik: Keterampilan dan Strategi untuk Bertindak. Jakarta: SMK Grafika Desa Putra. Terjemahan dari: Working with Conflict: Skills and Strategies for Action . UK: Zed Books Ltd.

Hardjana AM. 1994. Konflik di Tempat Kerja. Yogyakarta: Kanisius. Mitchell et al. 2000. Pengelolaan Sumber Daya dan Lingkungan. Yoyakarta: Gajah Mada University Press. Terjemahan dari: Resource and Environment

management.
Moeliono I dkk. 2003. Memadukan Kepentingan Memenangkan Kehidupan, buku acuan metodologi pengelolaan sengketa sumberdaya alam. Bandung: Studio Driyamedia. Moore CW. 1996. The Mediation Process, Practical Strategies for Resolving Conflict (2nd edition). Jossey-Bass Publisher. [PNPM Mandiri] Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri. 2012. Manajemen Konflik. Modul Khusus Fasilitator. http://www.p2kp.org/pustaka/files/modul_pelatihan08/ [22 Juli 2012] Suporahardjo (Editor). 2000. Inovasi Penyelesaian Sengketa Pengelolaan Sumber Daya Hutan. Bogor: Pustaka Latin. Suporahardjo (Editor). 2005. Manajemen Kolaborasi: Memahami Plurasisme Membangun Konsensus. Bogor: Pustaka Latin. Wirawan. 2010. Konflik dan Manajemen Konflik: Teori, Aplikasi, dan Penelitian. Jakarta: Salemba Humanika. Wulan YC dkk. 2004. Warta Kebijakan: Konflik kehutanan di Indonesia Sebelum dan Sesudah Reformasi. Bogor: CIFOR.

71

Anda mungkin juga menyukai