Anda di halaman 1dari 24

KONFLIK ETHNIK DAN PERENCANAAN MANAJEMEN KONFLIK

MULTIKULTURAL

Makalah ini disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Manajemen Konflik

Dosen Pengampu:
Dr. H. Suhaimin, M.Ag.

Disusun:
Abustan
Nim : 2220200029

PROGRAM STUDI MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM


PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN AJI
MUHAMMAD IDRIS SAMARINDA
2023

1
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur dipanjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan Rahmat dan
Hidayah-Nya. Atas berkat Rahmat dan Hidayah-Nya serta berbagai upaya,Serta sahalawat serta
salam tidak lupa kita haturkan kepada junjunan kita Nabi Besar Muhammad SAW. Dengan ini
pula kami mengucapkan Alhamdullah tugas makalah mata kuliah Manajemen Konflik yang
membahas tentang “KONFLIK ETHNIK DAN PERENCANAAN MANAJEMEN
KONFLIK MULTIKULTURAL (Subkultur dan gaya, studi kasus lintas budaya) ” ini
dapat diselesaikan dengan baik dan tepat waktu. Dalam penyusunan makalah ini, disusun
berdasarkan buku, jurnal, dan karya tulis lainnya yang berkaitan dengan tema makalah ini.

Penyusun makalah ini menyadari bahwa masih banyak kekurangannya maka


dari itu diperlukan saran yang membanguan ataupun masukan yang bermanfaat
sehingga makalah ini bisa mendekati kesempurnaan. Untuk itu diharapkan berbagai
masukan yang bersifat membangun demi kesempurnaannya. Akhir kata semoga
makalah ini dapat membawa manfaat untuk pembaca.

Samarinda, ......... Mei 2023

Penyusun.

2
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL .................................................................................... 1


KATA PENGANTAR ..................................................................................... 2
DAFTAR ISI ................................................................................................... 3
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................ 4
A. Latar Belakang Masalah ...................................................................... 4
B. Rumusan Masalah ................................................................................ 5
C. Tujuan .................................................................................................. 5
D. Manfaat ................................................................................................ 5
BAB II PEMBAHASAN ................................................................................. 6
A. Konflik Etnik ....................................................................................... 6
B. Perencanaan Manajemen Konflik Multikultural................................... 13
1. Manajemen Konflik Mengatasi Dampak Negatif Masyarakat
Multikultural ................................................................................... 16
2. Pencegahan Konflik dengan Mengelolah Kearifan
Lokal dan Kearifan Nasional .......................................................... 16
3. Langkah Penanganan Konflik Jika Konflik Telah Terjadi .............. 20
BAB III PENUTUP.......................................................................................... 22
A. Kesimpulan .......................................................................................... 22
B. Saran..................................................................................................... 22
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 23

3
BAB 1
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Manusia adalah makhluk sosial yang selalu berinteraksi satu sama lain, baik itu
dengan sesama, adat istiadat, norma, pengetahuan ataupun budaya di sekitarnya. Dan
setiap manusia sangat membutuhkan itu semua, karena manusia tidak dapat hidup
secara individu, dalam kehidupannya pasti membutuhkan pertolongan dari orang lain.
Dan untuk mewujudkan itu semua diperlukan komunikasi yang baik.Tidaklah asing
bagi kita sebagai warga Negara Indonesia dengan adanya perbedaan budaya di kalangan
masyarakat kita, karena mengingat begitu luasnya wilayah Indonesia hingga Indonesia
disebut – sebut sebagai negara seribu pulau. ini patutlah membuat kita sebagai warga
Negara Indonesia menjadi bangga akan kekayaan kebudayaan kita. akan tetapi pada
kenyataanya seringkali kita tidak bisa menerima atau merasa kesulitan menyesuaikan
diri dengan perbedaan-perbedaan yang terjadi akibat interaksi tersebut, seperti masalah
perkembangan teknologi, kebiasan yang berbeda dari seorang teman yang berbeda asal
daerah atau cara-cara yang menjadi kebiasaan bahasa, tradisi atau norma-norma yang
berlaku dari suatu daerah. karena itu, kita perlu belajar mengenai bagaimana cara
berkomunikasi antar budaya yang berbeda. Tidak hanya dengan satu bangsa melainkan
lintas bangsa, lintas bangsa disini yang dimaksudkan nya adalah kebudayaan dari luar
Negara indonesia misalnya cina, jepang, Inggris, Amerika, dan negara lainya..

Indonesia juga merupakan Negara kepulauan yang memiliki ciri khas berbeda
dari negara lain yaitu ditandai dengan keanekaragaman budaya, suku (etnis). Suku Jawa,
Sunda, Melayu, Madura, Batak, Bugis dan Minangkabau merupakan etnis yang ada di
Indonesia. Menurut data sensus BPS tahun 2010 jenis suku (etnis) berjumlah lebih dari
300 kelompok atau tepatnya 1.340 suku bangsa. Sensus ini menunjukan etnis Jawa
adalah kelompok etnis yang terbesar yaitu 41% dari total populasi kemudian disusul
oleh suku (etnis) Sunda,. Ada beberapa dari etnis tersebut cenderung membuka diri
dengan masyarakat luar namun ada juga yang cenderung jarang bergaul dengan

4
masyarakat luar khususnya diluar etnis mereka atau sedikit tertutup dengan kelompok
lain yang bisa menimbulkan konflik antara etnis dan etnis lainnya. dengan jumlah
penduduk yang banyak dan padat memiliki serta beberapa agama, etnis, yang hidup
berdampingan akan saling menghargai satu sama lainnya dan toleransi antara
masyarakat satu dengan yang lainnya. Namuna tidak menutup kemungkinan ada jaga
masyarakat yang selalau mengganagu dan timbul akan konflik adan sesama. Hal
tersebutlah yang membuat penulis tertarik untuk membuat satu anmaklah tentang
Konflik Etnik dan Pernecanaan manajemn Konflik Multikultural. Menulis tentang
Konflik Etnis dan perncanaan manajemennya (Studi kasus Lintas budaya).

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas maka rumusan masalah yang dikaji dalam makalah
ini :
1. Bagaimanakah Konflik Etnik?
2. Bagaimana upaya Pernecanaan manajemn Konflik Multikultural.?

C. Tujuan penulisan ini adalah sebagai berikut :


1. Untuk mendeskripsikan Konflik Etnik
2. Untuk mengetahui upaya Pernecanaan manajemn Konflik Multikultural

D. Manfaat Penelitian Secara umum


Manfaat Penulisan ini diharapkan dapat bermanfaat dalam pengembangan
disiplin ilmu sosiologi terkait dengan pemetaan permasalahan yang berkaitan dengan
potensi konflik dan rekonsiliasi konflik di masyarakat baik itu untuk masyarakat dan
peneliti sebagai acuan ataupun referensi untuk penulis yang dilakukan selanjutnya.

5
BAB II
PEMBAHASAN

A. Konflik Etnik
Menurut Alo Liliweri konflik adalah bentuk perasaan yang tidak beres yang
melanda hubungan antara satu bagian dengan bagian lain, satu orang dengan orang lain,
satu kelompok dengan kelompok lain. Konflik dapat secara positif fungsional sejauh ia
memperkuat kelompok dan secara negatif fungsional sejauh ia bergerak melawan
struktur.[2]
1. Pengertian Konflik
Konflik didefinisikan sebagai interaksi antara dua atau lebih pihak yang satu
sama lain saling bergantung namun terpisahkan oleh perbedaan tujuan dimana
setidaknya salah satu dari pihak-pihak tersebut menyadari perbedaan tersebut dan
melakukan tindakan terhadap tindakan tersebut.[3]
Implikasi dari definisi konflik adalah Konflik dapat terjadi di dalam atau di luar
sebuah system kerja peraturan. Konflik harus disadari oleh setidaknya salah satu pihak
yang terlibat dalam konflik tersebut. Keberlanjutan bukan suatu hal yang penting karena
akan terhenti ketika suatu tujuan telah tercapai Tindakan bisa jadi menahan diri dari
untuk tidak bertindak
Konflik etnis adalah konflik yang terkait dengan permasalahan- permasalahan
mendesak mengenai politik, ekonomi, sosial, budaya, dan teritorial di antara dua
komunitas etnis atau lebih.[4]
Menurut Indrio Gito Sudarmo dan I Nyoman Sudita, banyak Tokoh yang
membahas mengenai “Teori Konflik” seperti Karl Marx, Durkheim, Simmel, dan lain-
lain yang dilatarbelakangi oleh permasalahan ekonomi dan sosial. Karl Marx melihat
masyarakat manusia sebagai sebuah proses perkembangan yang akan menyudahi
konflik melalui konflik. Ia mengantisipasi bahwa kedamaian dan harmoni akan menjadi
hasil akhir sejarah perang dan revolusi kekerasan. Namun bentrokan kepentingan
kepentingan ekonomi ini akan berakhir di dalam sebuah masyarakat yang tanpa kelas,
tanpa konflik dan kreatifitas yang disebut komunisme.[5] Kalau konflik ini terus terusan
dibiarkan, akan membuat ketidakstabilan di masyarakat. Masyarakat akan merasa

6
terancam dan tidak tenang dalam hidupnya.
Durkheim menekankan proses sosial yang meningkatkan integritas sosial dan
kekompakan. Meskipun dia mengakui bahwa konflik terjadi dalam kehidupan sosial, dia
cenderung untuk memperlakukan konflik yang berlebih-lebihan sebagai sesuatu yang
tidak normal dalam integrasi masyarakat. Hubungan saling ketergantungan antara
konflik dan kekompakan dinyatakan juga dalam dinamika di dalam hubungan kelompok
dalam (in-group) dan kelompok luar (out-group).[6] Suatu kelompok atau masyarakat
cenderung memiliki sumber yang dapat dikerahkan dan solidaritasnya diperkuat bila
kelompok itu terlibat dalam konflik dengan kelompok atau masyarakat lain. Selama
masa dimana ada ancaman atau konflik dengan organisasi luar, percekcokan atau
konflik dalam kelompok cenderung rendah dan menurun.
2. Konflik Antar Etnis
Konflik etnis adalah konflik yang terkait dengan permasalahan-permasalahan
mendesak mengenai politik, ekonomi, sosial, budaya, dan teritorial di antara dua
kelompoketnis atau lebih.[7] Konflik etnis seringkali bernuansa kekerasan, tetapi bisa
juga tidak. Namun biasanya konflik etnis bernuansa dengan kekerasan dan jatuh korban.
Etnik atau suku bangsa, biasanya memiliki berbagai kebudayan yang berbeda satu
dengan lainnya. Sesuatu yang dianggap baik atau sakral dari suku tertentu mungkin
tidak demikian halnya bagi suku lain. Perbedaan etnis tersebut dapat menimbulkan
terjadinya konflik antar etnis.
Faturochman menyebutkan setidaknya ada enam hal yang biasa
melatarbelakangi terjadinya konflik etnis terjadi disebuah tempat.[8] Enam hal tersebut
antara lain yakni:
1.Kepentingan yang sama diantara beberapa pihak
2.Perebutan sumber daya
3.Sumber daya yang terbatas
4.Kategori atau identitas yang berbeda
5.Prasangka atau diskriminasi
6.Ketidak jelasan aturan (ketidak adilan).
Konflik antar etnis yang terjadi dapat dikatakan karena kepentingan beberapa
oknum atau pihak yang memang bertujuan untuk mengambil untung dari konflik

7
tersebut. Etnis etnis yang saling berkonflik sangat mudah di adu domba karena memang
sumber daya manusia yang terbatas. Dalam arti pendidikannya kurang dan tingkat
ekonomi yang rendah. Seharusnya dari masing masing kepala daerah yang ada di
wilayah konflik tersebut harus tegas membuat atau merealisikan kebijkan ketika terjadi
sebuah konflik antar etnis.
Dalam konteks Indonesia sendiri, kita kerap kali mendengar terjadinya konflik
antar etnis. Sebenarnya akar dari konflik ini adalah keterbelakangan dari masyarakat di
wilayah konflik tersebut. Sementara itu, Sukamdi menyebutkan bahwa konflik antar
etnik di Indonesia terdiri dari tiga sebab utama,[9] yakni:
1.Konflik muncul karena ada benturan budaya
2.Karena masalah ekonomi politik
3.Karena kesenjangan ekonomi sehingga timbul kesenjangan sosial
Menurutnya konflik terbuka dengan kelompok etnis lain hanyalah merupakan
bentuk perlawanan terhadap struktur ekonomi-politik yang menghimpit mereka
sehingga dapat terjadi konflik diantara yang satu dengan yang lainnya. Perbedaan
identitas sosial, dalam hal ini etnik dan budaya khasnya, seringkali menimbulkan
etnosentrisme yang kaku, dimana seseorang tidak mampu keluar dari perspektif yang
dimiliki atau hanya bisa memahami sesuatu berdasarkan perspektif yang dimiliki dan
tidak mampu memahami perilaku orang lain berdasarkan latar belakang budayanya.
Sikap etnosentrisme yang kaku ini sangat berperan dalam menciptakan konflik karena
ketidakmampuan orang-orang untuk memahami perbedaan.[10] Sebagai tambahan,
pengidentifikasian kuat seseorang terhadap kelompok cenderung akan menyebabkan
seseorang lebih berprasangka, yang akan menjadi konflik.
3. Konflik Antar Etnis di Indonesia
Beragamnya suku, agama, ras, dan golongan membuat Indonesia sebagai bangsa
yang rawan konflik. Dari ujung timur sampai ujung barat bangsa ini sering kali
terdengar jerit tangis bahkan tetesan darah menyelimuti Tanah Air. Semboyan yang
terdapat di kaki kuat sang Burung Garuda “Bhineka Tunggal Ika” nampaknya belum
menjiwai seluruh warga bangsa ini.[11] Rasa satu kesatuan sebagai warga negara
bukanlah hal yang utama, melainkan arti kata semboyan bangsa ini hanya sekedar
wacana belaka. Beberapa peristiwa akibat konflik setelah lengsernya otoritas orde baru

8
dan lahirnya era reformasi adalahsebagai berikut :
a. Krisis Aceh dengan adanya Gerakan Aceh merdeka (GAM).
b. Krisis Ambon yang memicu perpecahan bangsa karena keyakinan.
c. Krisis Poso di Sulawesi Tengah.
d. Gerakan Papua Merdeka
e. Peristiwa Dayak-Madura di Kalimantan Tengah.
f. Peristiwa Ketapang di Jakarta.
g. Peristiwa Bom Bali.
h. Peristiwa seputar Jemaah Ahmadiyah.
i. Peristiwa Monas di Jakarta.
j. dan timbulnya lagi krisis Ambon saat ini.
Sebenarnya masih banyak peristiwa lain yang terjadi akibatkonflik, seperti
adanya tindak anarkis antara karyawan dan perusahaan, warga masyarakat dan
perusahaan, dan aksi preman yang hampir di setiap kota besar terjadi.
Di balik konflik antaretnis di Indonesia yang memecahkan satu kesatuan bangsa
jika ditelisik lebih mendalam terdapat sumbu yang membuat satu etnis dengan etnis
lainnya hanya memperlihatkan rasa keaku-akuannya, rasa “kami”, dan “mereka”,
mereka melihat etnis lain adalah kelompok luar darinya, dan etnis luar melihat etnis lain
sebagai musuh baginya. Setiap konflik yang berujung SARA bermula dari konflik
individu yang kemudian mengarah ke konflik kolektif yang mengatasnamakan etnis.
Kasus konflik Tarakan, Kalimantan Timur, berawal dari salah seorang pemuda Suku
Tidung yang melintas di kerumunan Suku Bugis, lantas di keroyok oleh lima orang
hingga tewas karena sabetan senjata tajam. Konflik Tarakan menjadi memanas nyatanya
tersimpan dendam ke Suku Bugis yang lebih maju menguasai sektor ekonomi.   Faktor
ekonomi juga menjadi penyebab utama konflik di bangsa ini, dalam kasus sebuah klub
kafe di Bilangan Jakarta Selatan “Dari Blowfish Ke Ampera” antara Suku Ambon dan
Suku Flores yang berawal dari perebutan jasa penjaga preman hingga konflik tersebut
mengarah ke konflik etnis. Sampai pada Sidang Pengadilan masing-masing pihak yang
bertikai masih menunjukan etnosentrisnya.
Penguasaan sektor ekonomi memicu besarnya sentimen etnis dan adanya
prejudice membuat konflik meranah ke agama. Konflik agama yang terjadi di Poso jika

9
ditelusi secara mendalam bermula dari pertikaian pemuda yang berbeda agama yang
sedang mabuk hingga karena sentimen kepercayaan hingga merambah ke konflik etnis
dan agama. Konflik Poso kian memanas ketika provokasi akan adanya masjid yang
dibakar oleh umat kristiani, agama memang sangat rentan. Aparat Pemerintah bukanya
sebagai penengah namun ikut andil dalam konflik ini. Nampaknya kesenjangan sosial
ekonomi dari pendatang yang sebagai mayoritas menguasai sektor ekonomi membuat
konflik menjadi lebih memanas.
Ketidakmerataan penyebaran penduduk juga dapat menimbulkan masalah.
Kepadatan penduduk yang mendororong etnis Madura melakukan migrasi ke Pulau
Kalimantan. Di mana masih membutuhkan kebutuhan akan Sumber Daya Manusia
untuk mengolah kekayaan alam dan membangun infrastruktur perekonomian.
Pencapaian atas kerja keras, hidup hemat bahkan penderitaan yang dirasakan etnis
Madura terbayarkan sudah ketika keberhasilan sudah ditangan. Dengan menguasai
sektor-sektor perdagangan sehingga orang-orang non Madura yang lebih awal bergerak
di bidang itu terpaksa terlempar keluar.
Alternatif dalam menyatukan etnis di Indonesia dengan mengadakan akomodasi
merupakan solusi yang tepat untuk menyatukan bangsa yang besar ini. KH.
Abdurahman Wahid mengungkapkan “Sebuah bangsa yang mampu bertenggang rasa
terhadap perbedaaan-perbedaaan budaya, agama, dan ideologi adalah bangsa yang
besar” untuk mewujudkan integrasi antaretnis di Indonesia dengan mutual of
understanding, sehingga semboyan yang mencengkram dalam kaki kuat Burung Garuda
bukanlah wacana lagi.
4. Soulusi Penyelesaian Konflik Antar Etnis
Konflik antar etnis di Indonesia harus segera diselesaikan dan harus sudah ada
solusi konkritnya. Dalam bukunya Wirawan dengan judul Konflik dan Menejemen
Konflik, Teori, Aplikasi, dan Penelitian menjelaskan bagaimana cara menyelesaikan
konflik antar etnis yang ada di sebuah Negara. Pertama, melalui Intervensi pihak ketiga.
Dimana keputusan intervensi pihak ketiga nantinya final dan mengikat. Contoh adalah
pengadilan. Kedua, Mediasi. Mediasi ini adalah cara penyelesaian konflik melalui pihak
ketiga juga yang disebut sebagai mediator. Ketiga, Rokosialisasi. Proses penyelesaian
konflik dengan transormasi sebelum konflik itu terjadi, dimana masyarakat pada saat itu

10
hidup dengan damai. Adapun cara lain dalam menyelesaikan konflik yang ada, yakni:
a.     Konflik Itu Harus di Management Menuju Rekonsiliasi
Konflik memang bukan sesuatu yang diharapkan oleh setiap orang yang hidup di
dunia ini. Apa lagi konflik yang bernuansa karena perbedaan agama yang dianut dan
pebedaan etnis. Konflik yang demikian itu memang suatu konflik yang sangat serius.
Untuk meredam wajah bahaya dari konflik itu, maka konflik itu harus dimanagement
agar ia berproses ke arah yang positif. Dr. Judo Poerwowidagdo, MA. Dosen Senior di
Universitas Duta Wacana Yogyakarta menyatakan bahwa proses konflik menuju arah
yang positif itu adalah sbb: Dari kondisi yang “Fight” harus diupayakan agar menuju
Flight. Dari kondisi Flight diupaykan lagi agar dapat menciptakan kondisi yang Flaw.
Dari Flaw inilah baru diarahkan menuju kondisi Agreement, terus ke Rekonsiliasi.
Karena itu, masyarakat terutama para pemuka agama dan  etnis haruslah dibekali ilmu
Management Konflik setidak-tidaknya untuk  tingkat dasar.

b.     Merobah Sistem Pemahaman Agama.


Konflik  yang bernuansa agama bukanlah karena agama yang dianutnya itu
mengajarkan untuk  konflik. Karena cara umat memahami ajaran agamanyalah yang
menyebabkan mereka menjadi termotivasi untuk melakukan konflik. Keluhuran  ajaran
agama masing-masing hendaknya tidak di retorikakan secara berlebihan. Retorika yang
berlebihan dalam mengajarkan agama kepada umat masing-masing menyebabkan umat
akan merasa dirinya lebih superior dari pemeluk agama lain. Arahkanlah pembinaan
kehidupan beragma untuk menampilkan nilai-nilai universal dari ajaran agama yang
dianut. Misalnya, semua agama mengajarkan umatnya untuk hidup sabar menghadapi
proses kehidupan ini. Menjadi lebih tabah menghadapi berbagai AGHT (ancaman,
gangguan, hambatan dan tantangan) dalam menghadapi hidup ini. Rela berkorban demi
kepentingan yang lebih mulia. Tidak mudah putus asa memperjuangkan sesuatu yang
benar dan adil. Tidak mudah mabuk atau lupa diri kalau mencapai sukses. Orang yang
sukses seperti menjadi kaya, pintar, menjadi penguasa, cantik, cakep, memiliki suatu
power, merasa diri bangsawan. Semuanya itu dapat menyebabkan orang menjadi mabuk
kalau kurang waspada membawa diri. Hal-hal yang seperti itulah yang sesungguhnya
lebih dipentingkan oleh masyarakat bangsa kita dewasa ini.

11
b.     Mengurangi Penampilan Berhura-Hura dalam Kehidupan Beragama.
Kegiatan beragama seperti perayaan hari raya agama, umat hendaknya
mengurangi bentuk perayaan dengan penampilan yang berhura hura.  Hal ini sangat
mudah juga memancing konflik. Karena umat lain juga dapat terpancing untuk
menunjukan existensi dirinya bahwa ia juga menganut agama yang sangat hebat dan
luhur.
c. Redam Nafsu Distinksi Untuk Menghindari Konflik Etnis.
Setiap manusia memiliki nafsu atau dorongan hidup dari dalam dirinya. Salah
satu nafsu itu ada yang disebut nafsu Distinksi. Nafsu Distinksi ini mendorong
seseorang untuk menjadi lebih dari yang lainya. Kalau nafsu ini dikelola dengan baik
justru akan membawa manusia menjadi siap hidup bersaing. Tidak ada kemajuan tanpa
persaingan. Namun, persaingan itu adalah persaingan yang sehat. Persaingan yang sehat
itu adalah persaingan yang berdasarkan noram-norma Agama, norma Hukum dan
norma-norma kemanusiaan yang lainya. Namun, sering nafsu Distinksi ini menjadi
dasar untuk mendorong suatu etnis bahwa mereka  adalah memiliki berbagai kelebihan
dari etnis yang lainya. Nafsu Distinksi ini sering membuat orang buta akan berbagai
kekuranganya. Hal inilah banyak orang menjadi  bersikap sombong  dan exlusive
karena merasa memiliki kelebihan etnisnya.
Untuk membangun kebersamaan  yang setara, bersaudara  dan  merdeka
mengembangkkan fungsi, profesi dan posisi, maka dalam hubungan dengan sesama
dalam suatu masyarakat ada baiknya kami sampaikan pandangan Swami Satya
Narayana sbb: “Agar hubungan sesama manusia menjadi harmonis, seriuslah melihat
kelebihan pihak lain dan remehkan kekuarangannya. Seriuslah melihat kekurangan diri
sendiri dan remehkan kelebiihan diri”. Dengan  demikian semua pihak akan
mendapatkan  manfaat dari hubungan sosial tersebut. Di samping mendapatkan sahabat
yang semakin erat, juga mendapatkan  tambahan pengalaman positif dari sesama dalam
pergaulan sosial. Dengan melihat kelebiihan sesama maka akan semakin  tumbuh rasa
persahabatan yang semakin kekal. Kalau kita lihat kekurangannya maka kita akan terus
merasa jauh  dengan  sesama dalam hubungan sosial  tersebut.

12
B. Perencanaan Manajemen Konflik Multikultural
1. Manajemen Konflik
Istilah Manajemen Konflik berasal dari kata Manajemen dan Konflik.
Manajemen berasaldari bahasa Prancis kuno ménagement, yang memiliki arti seni
melaksanakan dan mengatur. Dalam kamus bahasa Inggris Manajemen berasal dari kata
to manage, yang berarti mengatur. Mary Parker Follet (dalam Handoko, 2000),
mendefinisikan manajemen sebagai seni me-nyelesaikan pekerjaan melalui orang lain.
Mananajemen berarti proses mengatur melalui orang lain. Luthans (1981) konflik
adalah kondisi yang ditimbulkan oleh adanya kekuatan yang saling bertentangan.
Kekuatan-kekuatan ini bersumber pada keinginan manusia. Istilah konflik sendiri
diterjemahkan dalam beberapa istilah yaitu perbedaan pendapat, persaingan dan
permusuhan. Robbins (1996) menyatakkan Konflik adalah Suatu proses yang mulai bila
satu pihak merasakan bahwa suatu pihak merasakan pihak lain telah mempengaruhi
secara negatif, atau akan segera mempengaruhi secara negatif, sesuatu yang
diperhatikan pihak pertama.
Wirawan (2010) mendefiniskan konflik adalah proses pertentangan yang
diekspresikan di-antara dua pihak atau lebih yang saling tergantung mengenai objek
konflik, menggunakan pola perilaku dan interaksi konflik yang menghasilkan keluaran
konflik. Dari kedua definisi di atas dapat disimpulkan bahwa konflik terjadi dikarenakan
adanya proses yang terjadi di kedua belah pihak yang masing-masing pihak terpengaruh
secara negatif yang menimbulkan pertentangan di antara kedua belah pihak. Manajemen
Konflik adalah proses pihak yang terlibat konflik atau pihak ketiga menyusun strategi
konflik dan menerapkannya untuk mengendalikan konflik agar menghasilkan resolusi
yang diinginkan.
2. Masyarakat Multikultur
Usman Pelly, (2003), menyatakan masyarakat multikultural adalah masyarakat
negara, bangsa, daerah, bahkan lokasi geografis terbatas seperti kota atau sekolah, yang
terdiri atas orang-orang yang memiliki kebudayaan yang berbeda-beda dalam
kesederajatan. Pada hakikat-nya masyarakat multikultural adalah masyarakat yang
terdiri atas berbagai macam suku yang masing-masing mempunyai struktur budaya
(culture) yang berbeda-beda. Dalam hal ini masyarakat multikultural tidak bersifat

13
homogen, namun memiliki karakteristik heterogen dimana pola hubungan sosial
antarindividu di masyarakat bersifat toleran dan harus menerima kenyataan untuk hidup
berdampingan secara damai (peace co-exixtence) satu sama lain dengan perbedaan yang
melekat pada tiap entitas sosial dan politiknya. Pada dasarnya suatu masyarakat
dikatakan multikultural jika dalam masyarakat ter-sebut memiliki keanekaragaman dan
perbedaan. Keragaman dan perbedaan yang dimaksudantara lain, keragaman struktur
budaya yang berakar pada perbedaan standar nilai yang berbeda-beda, keragaman ras,
suku, dan agama, keragaman ciri-ciri fisik seperti warna kulit, rambut, raut muka, postur
tubuh, dan lain-lain, serta keragaman kelompok sosial dalam masyarakat. Selain itu,
masyarakat Multikultural dapat diartikan sebagai berikut:
1. Pengakuan terhadap berbagai perbedaan dan kompleksitas kehidupan dalam
masyarakat.
2. Perlakuan yang sama terhadap berbagai komunitas dan budaya, baik yang
mayoritas maupun minoritas.
3. Kesederajatan kedudukan dalam berbagai keanekaragaman dan perbedaan, baik
secara individu ataupun kelompok serta budaya.
4. Penghargaan yang tinggi terhadap hak-hak asasi manusia dan saling
menghormati dalam perbedaan.
5. Unsur kebersamaan, kerja sama, dan hidup berdampingan secara damai dalam
perbedaan.Indonesia merupakan masyarakat multikultural.
Hal ini terbukti di Indonesia memiliki banyak suku bangsa yang masing-masing
mempunyai struktur budaya yang berbeda-beda. Perbedaan ini dapat dilihat dari
perbedaan bahasa, adat istiadat, religi, tipe kesenian, dan lain-lain. Pada dasarnya suatu
masyarakat dikatakan multikultural jika dalam masyarakat tersebut memiliki
keanekaragaman dan perbedaan. Keragaman dan perbedaan yang dimaksud antara lain,
keragaman struktur budaya yang berakar pada perbedaan standar nilai yang berbeda-
beda, keragaman ras, suku, dan agama, keragaman ciri-ciri fisik seperti warna kulit,
rambut, raut muka, postur tubuh, dan lain-lain, serta keragaman kelompok sosial dalam
masyarakat.

14
3. Dampak Masyarakat Multikultur
Keanekaragaman dalam masyarakat ternyata memunculkan berbagai persoalan
bagi bangsa Indonesia. Konflik-konflik yang terjadi di Indonesia umumnya muncul
sebagai akibat keanekaragaman etnis, agama, ras, dan adat, seperti konflik antar etnis
yang terjadi diKalimantan Barat, Sulawesi Tengah, Papua, dan lain-lain. Di Kalimantan
Barat adanya kesenjangan perlakuan aparat birokrasi dan hukum ter-hadap suku asli
Dayak dan suku Madura menimbulkan kekecewaan yang mendalam. Akhir-nya,
perasaan ini meledak dalam bentuk konflik horizontal. Masyarakat Dayak yang ter-
marginalisasi semakin terpinggirkan oleh kebijakan-kebijakan yang diskriminatif.
Sementara penegakan hukum terhadap salah satu kelompok tidak berjalan sebagaimana
mestinya. Kasus konflik Poso di Sulawesi Tengah yang bernuansa SARA mula-mula
terjadi pada tanggal 24 Desember 1998 yang dipicu oleh seorang pemuda Kristen yang
mabuk melukai seorang pemuda Islam di dalam Masjid Sayo. Kemudian pada
pertengahan April 2000, terjadi lagi konflik yang dipicu oleh perkelahian antara pemuda
Kristen yang mabuk dengan pemuda Islam di terminal bus Kota Poso. Perkelahian ini
menyebabkan terbakarnya permukiman orang Pamona di Kelurahan Lambogia.
Selanjutnya, permukiman Kristen melakukan tindakan balasan. Tragedi Mei 1998 di
Jakarta adalah suatu bencana yang mungkin sulit dilupakan oleh warga Indonesia
keturunan Cina. Peristiwa yang menyebabkan ratusan warga keturunan Cina
meninggalkan Jakarta itu merupakan suatu bukti ketidak harmonisan hubungan antar
etnik dibalik jargon-jargon keberhasilan proses pembauran dan keharmonisan hubungan
antar etnik.Program program pemerintah Orde Baru yang menekankan pada stabilitas
dan keamanan memang cukup efektif selama 32 tahun tetapi ternyata “semu”, sebab
justeru akibatnya sekarang cukup luar biasa, memporak-porandakan tatanan yang sudah
mapan. Tidak hanya masalah dengan etnik Cina, tetapi ternyata rentetan kejadian
berikutnya mulai dari peristiwa Sambas, Ambon, dan Sampit merupakan akibat dari
kebijakan yang salah itu. Dari tiga contoh kasus tersebut terlihat betapa perbedaan
mampu memicu munculnya konflik sosial. Perbedaan-perbedaan yang disikapi dengan
antisipasi justru akan menimbulkan kesengsaraan dan penderitaan banyak orang. Oleh
karena itu, bagaimana kita bersikap dalam keanekaragaman benar-benar perlu
diperhatikan.

15
1. Manajemen Konflik Mengatasi Dampak Negatif Masyarakat Multikultural
Ada baiknya kita kembali mengenang seorang pujangga Mpu Tantular dalam
kitab Sutasoma, yang di dalamnya tertulis Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Dharma
Mangrwa. Dalam buku ini dikatakan bahwa keanekaragaman bukanlah merupakan
penghambat bagi tercapainya persatuan, kesatuan, dan kerukunan masyarakat. Fakta
sejarah memang mem-buktikan bahwa kehidupan agama di Kerajaan Majapahit berjalan
dengan sangat harmonisantara agama Hindu Siwa, Buddha, dan lainnya, bahkan hingga
masuknya pengaruh agama Islam. Sebagai bukti adalah adanya kebijakan dari raja
Majapahit saat membebaskan raja-rajabawahan di pesisir pantai utara Jawa untuk
menganut agama Islam (Darmawan M. Rahman,et al, 2010). Bagaimana cara mengatasi
permasalahan yang muncul sebagai akibat dari keaneka-ragaman dan perubahan
kebudayaan yang ada di masyarakat? Setidaknya ada tiga hal yang dapat dilakukan
antara lain: pertama, Langkah pencegahan sebelum terjadinya konflik; kedua, Warga
Negara dengan Multikultur perlu menghindari nilai-nilai yang dapat memecah belah
persatuan dan kerukunan berbangsa dan bernegara; ketiga langkah penanganan konflik
jika konflik telah terjadi.

2. Pencegahan Konflik dengan Mengelola Kearifan Lokal dan Kearifan Nasional


Menggunakan Kearifan Lokal Walaupun memicu konflik, keaneka ragaman
agama dan suku memberikan solusi untuk mengatasi dampak masyarakat dengan
Multikultur. Berbagai agama menganut falsafah yang dapat disosialisasi guna
memberikan pemahaman terhadap dampak perselisihan. Sebagai contoh dikalangan
masyarakat yang beragama Hindu di Bali mengenal Falsafah Tri Hita Karana yang
mengandung arti tiga penyebab kesejahteraan umat manusia yang terdiri dari
keharmonisan hubungan antara manusia dengan Tuhan (disebut Parahyangan), manusia
dengan sesamanya (disebut Pawongan) serta manusia dengan alam lingkungannya
(disebut Palemahan). Impelementasi ajaran ini adalah setiap umat manusia memiliki 3
kewajiban antara lain: 1) Aspek Parahyangan mengisyaratkan umat manusia wajib
bertakwa kepada Tuhan menjalankan Ajaran Agama secara utuh serta menjauhi
larangannya; 2) Aspek Pawongan mengisyaratkan setiap manusia wajib menjalin
hubungan yang harmonis antara sesama manusia atas asas Tat Twam Asi, saling asah,

16
asih dan asuh; 3) Aspek Palemahan mengisyaratkan umat manusia harus menjaga
kelestarian lingkungan. Dapat dikatakan Falsafah ini menunjukkan keyakinan
masyarakat Hindu atas keseimbangan hubungan antaramanusia dengan Tuhan, Manusia
dengan sesama manusia dan manusia terhadap alam semesta akan mengantarkan umat
manusia mencapai tujuan hidupnya yaitu kebahagian duniawi dan kebahagian sorgawi
(moksartham jagaddhita) (Suja, 2003).
Aspek kedua dari falsafah ini menuntun agar setiap manusia menjadikan
sesamanya sebagai dirinya sendiri. Pemahaman terhadap aspek kedua ini akan
memberikan tuntunan kepada setiap manusia untuk selalu menjaga dirinya serta orang
lain. Dengan demikian maka dengan mengelola nilai Falsafah ini dalam bentuk
sosialisasi dan implementasi maka konflik diantara sesama manusia akan dapat
dihindari sekecil mungkin. Contoh lain Kearifan lokal dari kehidupan masyarakat
Lembah Baliem di Papua. Masyarakat ini memiliki Budaya berperang yang telah dianut
sejak lama. Budaya itu berawal dari mitologi, bahwa manusia pertama adalah moity
Waya dan moity Wita. Mereka menjadi pasangan dan berkembang secara rukun dan
damai. Keributan mulai terjadi setelah masyarakatnya bertambah banyak. Keributan
biasanya dipicu oleh adanya rebutan seseorang yang berwarna kulit lebih terang yang
menjadi dambaan mereka yang sering mengarah persengketaan hingga peperangan antar
klan. Ternyata, budaya perang itu tidak hanya terjadi di dalam mitos saja. Masyarakat
Lembah Baliem memang biasa berperang karena beberapa alasan misalnya karena
pencurian babi, penculikan wanita, tuduhan melakukan sihir, dan pertikaian hak atas
tanah. Pasukan perang biasanya bersenjatakan lembing, busur dengan anak panahnya,
kapak batu, dan beliung. Pasukan itu dipimpin oleh wim matek dan mengawali
peperangan dengan gegap gempita serta saling meneriakkan cemohan atau perkelahian
satu lawan satu. Ada beberapa pelajaran yang dapat dipetik sebagai kearifan lokal
Masyarakat Baliemdalam menangani konflik antar Clant.
1) Masyarakat Baliem selalu mengaitkan roh nenek moyang dengan tradisi
perang, sehingga berperang bagi mereka adalah kegiatan ritual yang diikat oleh
aturan-aturan adat yang ketat.
2) Meskipun berperang dengan semangat tinggi, namun mereka sangat taat pada
peraturan-peraturan, seperti berperang untuk tidak memusnahkan musuh.

17
3) Perang merupakan media pengembangan diri bagi laki-laki. Karena perang
merupakan arena untuk melangsungkan terjadinya regenerasi kepemimpinan.
Dalam sebuah pepe-rangan biasanya muncul seorang tokoh yang kuat, berani,
cakap, dan dipercaya bisa melindungi serta mengatur kehidupan mereka.
4) Apabila seorang anggota klan atau konfederasi takut berperang, ia dianggap
pawi yaitu sama dengan orang yang melakukan insest (hubungan seks
sedarah). Ia akan mendapat hukuman berat secara adat seperti diasingkan.
5) Perang bagi masyarakat Lembah Baliem merupakan inti sari dari romantika
kehidupan masyarakat. Karena masyarakat Lembah Baliem sangat memuja
kepahlawanan. Hal ini bisa dilihat dari pola rumah Honai yang menunjukkan
rumah laki-laki selalu berada dibagian depan, siap untuk menantang bahaya
yang datang.
Pinsip-prinsip hidup Masyarakat Lembah Baliem di pedalaman Papua ini adalah
kearifan Lokal dapat dijadikan mekanisme memecahkan masalah konflik antar clant
hingga tuntas. Menggunakan Kearifan Nasional Indonesia adalah sebuah negara bekas
jajahan Belanda dan Jepang. Selama 3,5 Abad lebih bangsa Indonesia terpecah belah
jauh dari bingkai persatuan. Sebagai dampaknya bangsa Indonesia sangat rentan dengan
potensi konflik. Sejak 83 tahun lamanya tepatnya 28 Oktober 1928 para pemuda
Indonesia sebagai bangsa multi etnik, multi agama, multi ras dan multibudaya telah
melebur menjadi bentuk nasionalisme dan bersumpah bertanah air satu, tanah air
Indonesia, berbangsa satu bangsa Indonesia dan berbahasa satu bahasa Indonesia. Tujuh
belas tahun kemudian tepatnya 17 Agustus 1945 Sumpah para pemuda itu telah
mengantarkan bangsa Indonesia menuju gerbang kemerdekaan Indonesia. Semangat
Sumpah Pemuda harus dijadikan bingkai Persatuan guna mengisi kemerdekaan menuju
kepada cita-cita bangsa Indonesia yaitu memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan
kehidupan bangsa dan ikut memelihara ketertiban dunia yang berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Lebih lebih dengan disepakatinya
Pancasila sebagai dasar negara dan tuntun hidup bangsa Indonesia telah terbukti mampu
mempersatukan bangsa Indonesia sebagai bangsa multi etnik, multi agama, multi ras
dan multi budaya menjadi bangsa nasional dalam ikatan Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Contoh konkrit adalah bersatunya antara etnik Arab dan etnik Jawa di

18
kampung Embong Malang yang telah mencapai keteraturan sosial. Karakteristik
kehidupan sosial Kampung Embong Arab ditandai dengan adanya proses-proses sosial
yang cukup baik terutama prosesinteraksi sosial dan proses asimilasi sosial. Adapun
faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya hubungan sosial yang harmonis antara
warga etnis Arab dan Jawa di Kampung Embong Arab adalah:
1) Adanya kedekatan antara tokoh masyarakat, baik tokoh dari etnis Arab maupun
tokoh dari etnis Jawa.
2) Adanya kesamaan agama (relatif beragama Islam).
3) Adanya proses perkawinan campuran antara warga etnis Arab dan Jawa.
4) Adanya kekompakan dan kegotongroyongan.
5) Kesadaran etnis Arab untuk mengikuti aturan setempat (proses pembauran).
6) Adanya unsur perasaan persaudaraan antar sesama warga, baik etnis Arab maupun
Jawa.
7) Rasa saling menghormati dan menghargai.
Sedangkan model atau bentuk interaksi sosial antara warga etnis Arab dan Jawa
diKampung Embong, Arab adalah merupakan model atau bentuk kerja sama
(cooperation) dengan proses-proses sosial yang akomodatif dan asimilatif. Sedangkan
pola hubungan antar kelompok etnis Arab dan Jawa lebih mengarah pada pola
hubungan antar kelompok yang bersifat akulturasi dan integrasi.
Nilai-nilai yang dianut dapat dijadikan contoh betapa hubungan sosial yang
harmonisantara warga etnis Arab dan Jawa di Kampung Embong Arab dapat dijadikan
panutan untuk mencegah konflik atas dampak masyarakat Multi Kultur di Indonesia.
Menghindari Nilai-Nilai yang dapat Memecah Belah Persatuan dan Kerukunan Ber-
bangsa dan Bernegara
Untuk membangun masyarakat multikultural yang rukun dan bersatu, ada
beberapa nilai yang harus dihindari, yaitu: Primordialisme. Primordialisme artinya
perasaan kesukuan yang berlebihan. Sikap ini tercermin dari anggapan suku bangsanya
adalah yang terbaik. Perasaan Superior, menganggap lebih rendah suku yang lain adalah
sikap yang kurang terpuji bagi Masyarakat multi kultur yang sangat rentan mengundang
konflik. Etnosentrisme artinya sikap atau pandangan yang berpangkal pada masyarakat
dan kebudayaannya sendiri, biasanya disertai dengan sikap dan pandangan yang

19
meremehkan masyarakat dan kebudayaan yang lain. Indonesia bisa maju dengan bekal
kebersamaan, sebab tanpa itu yang muncul adalah disintegrasi sosial. Apabila sikap dan
pandangan ini dibiarkan maka akan memunculkan provinsialisme yaitu paham atau
gerakan yang bersifat kedaerahan dan eksklusivisme yaitu paham yang mempunyai
kecenderungan untuk memisahkan diri dari masyarakat. Diskriminatif Diskriminatif
adalah sikap yang membeda-bedakan perlakuan terhadap sesama warganegara
berdasarkan warna kulit, golongan, suku bangsa, ekonomi, agama, dan lain-lain. Sikap
ini sangat berbahaya untuk dikembangkan karena bisa memicu munculnya antipati
terhadap sesama warga negara. Stereotip Stereotip adalah konsepsi mengenai sifat suatu
golongan berdasarkan prasangka yang subjektif dan tidak tepat. Indonesia memang
memiliki keragaman suku bangsa dan masing-masing suku bangsa memiliki ciri
khas.Tidak tepat apabila perbedaan itu kita besar-besarkan hingga membentuk sebuah
kebencian.

3. Langkah Penanganan Konflik Jika Konflik telah Terjadi


Gibson, et al (1996) menyumbangkan konsep bagi langkah penyelesaian konflik
yang efektif antara lain: Menjabarkan Kepentingan Teknik penyelesaian konflik ini
ditempuh melalui: 1) dengan memudahkan pencarian kepentingan yang sama dan tidak
berkonflik dari kedua kelompok; 2) dengan membicarakan kepentingan setiap
kelompok kepada yang lain tanpa menyorot secara tidak pantas kelompok yang lain
untuk memaksakan kepentingan dengan dasar kepentingan tertentu. Membangun
hubungan kerja yang baik Teknik penyelesaian konflik ini ditempuh melalui: 1)
memberi kesempatan kepada kelompok untuk mengatasi perbedaan-perbedaannya
dalam perdebatan yang hangat; 2) memelihara jenis hubungan yang diinginkan oleh
kelompok tapi sesuai; 3) mempermudah kelompok untuk mengatasi bersama-sama bila
konflik timbul lagi. Memberikan pilihan yang baik Teknik penyelesaian konflik ini
ditempuh melalui: 1) memacu kelompok untuk sumbang saran beberapa pilihan
sebelum mengevaluasi mereka dan memilih di antara mereka; 2) mendorong/memberi
semangat kepada kelompok untuk mencari jalan keluar untuk mencipta-kan nilai-nilai
untuk perolehan bersama. Dilihat sebagai keabsahan
Teknik penyelesaian konflik ini ditempuh melalui: 1) dengan tidak dipandang

20
oleh kelompok sebagai pengganggu; 2) dengan menanamkan pada kelompok rasa
bahwa penyelesai-an yang dibuat akan adil dan memadai. Pengenalan alternatif
prosedural suatu pihak Teknik penyelesaian konflik ini ditempuh dengan membolehkan
kedua pihak untuk mengembangkan penilaian mereka sendiri yang realistis dan
alternatif pokok pihak lain. Memperbaiki komunikasi Teknik penyelesaian konflik ini
ditempuh melalui: 1) memperbanyak pertanyaan dan pengujian dari yang menjadi dasar
perkiraan; 2) mempermudah pengertian dan diskusi dari pandangan pengikut; 3)
membentuk komunikasi antar kelompok dua arah yang efektif. Mengarahkan
kekomitmen yang bijaksana Teknik penyelesaian konflik ini ditempuh melalui: 1)
memberi kesempatan kelompok untuk merancang kebijaksanaan yang realistis,
operasional dan cendrung terlaksana; 2) menempatkan pihak-pihak dengan sumber yang
efektif untuk acara di kejadian yang mereka gagal untuk mencapai persetujuan akhir
atau kejadian yang tidak terlaksana. Pemilihan Strategi di atas didasarkan atas
pemikiran bahwa konflik Multikultur diIndonesia memiliki banyak variasi karena
penyebab konflik yang berbeda-beda. Ke tujuh langkah di atas memiliki lingkup yang
yang lebih luas sehingga diharapkan mampu menyelesaikan konflik dari yang paling
ringan hingga konflik yang paling rumit.

21
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Beragamnya suku, agama, ras, dan golongan membuat Indonesia sebagai bangsa
yang rawan konflik. Dari ujung timur sampai ujung barat bangsa ini sering kali
terdengar jerit tangis bahkan tetesan darah menyelimuti Tanah Air. Kalau konflik etnis
itu terjadi terus terusan dalam sebuah Negara, maka Negara tersebut dapat dikatakan
tidak bisa menciptakan ketentraman dan keamanan dalam negerinya. Maka dari itu
masalah konflik etnis perlu diselesaikan secara cepat oleh pemerintah. Karena selain
Negara yang mengalami kerugian, masyarakat sekitar daerah konflik tersebut pun akan
mengalami kerugian pula.

Faktor faktor yang melatar belakangi terjadinya konflik etnis seperti,


kepentingan yang sama diantara beberapa pihak, perebutan sumber daya, sumber daya
yang terbatas, kategori atau identitas yang berbeda, prasangka atau diskriminasi harus
diselesaikan secara demokratik. Cara cara seperti rekonsialisasi dan mediasi harus
dikedepankan. Penyelesaian konflik tanpa kekerasan inilah yang harus dilakukan, agar
tidak jatuh banyak korban.

Kalau masalah konflik antar etnis telah bisa diselesaikan dengan baik, Negara
dan masyarakatnya akan hidup tenang, tentram, dan aman. Saling menganggap bahwa
satu sama lain yang ada didalam Negara adalah saudara akan membuat

B. SARAN
Kami menyadari bahwasannya penyusun dari makalah ini hanyalah manusia
yang tidak luput dari kesalahan dan kekurangan, sedangkan kesempurnaan hanya milik
Allah Swt, sehingga dalam penulisan dan penyusunannya masih jauh dari kata
sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang konstruktif akan senantiasa kami
harapkan dalam upaya evaluasi diri.

22
Daftar Pustaka

Azra, Azyumardi, Konflik Baru Antar Peradaban: Globalisasi, Radikalisme, dan


Pluaritas. Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2002.
Faturochman, Konflik: Ketidak-adilan dan Identitas. Yogyakarta : PPSK UGM,
2003.
Hidayat, Nurul (Mahasiswa Sosiologi UIN Jakarta), Konflik Antar Etnis di
Indonesia, di post pada 13 April 2011 dari http://sejarah. kompasiana.com /2011/04/13/
menyelami-konflik-etnis-di-indonesia-355405.html
Liliweri, Alo, Sosiologi Organisasi. Bandung: Citra Aditya Bakti, 1997.
Paul, Doyle, Teori Sosial; Klasik dan Modern. Jakarta: PT. Gramedia, 1986.
Sukamd, Abdul Haris i dan Patrick Browslee, Migrasi Buruh di Indonesia, Politik
dan Praktis. Yogyakarta: Population Studies Centre Gadjah Mada University, 2000.
Winardi, Manajemen Konflik; Konflik Perubahan dan Pengembangan. Bandung:
Mandar Maju, 1994.
Wirawan, Konflik dan Menejemen Konflik, Teori, Aplikasi, dan Penelitian. Jakarta:
Salemba Humatika, 2010.
[1] Azyumardi Arza, Konflik Baru Antar Peradaban: Globalisasi, Radikalisme, dan
Pluaritas (Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2002), h. 16.
[2] Winardi, Manajemen Konflik; Konflik Perubahan dan Pengembangan
(Bandung: Mandar Maju, 1994), h. 22.
[3] Ibid
[4] Ibid
[5] Alo Liliweri, Sosiologi Organisasi (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1997), h. 112.
[6] Doyle Paul, Teori Sosial; Klasik dan Modern (Jakarta: PT. Gramedia, 1986), h.
231.
[7] Abdul Haris Sukamdi dan Patrick Browslee, Migrasi Buruh di Indonesia, Politik
dan Praktis (Yogyakarta: Population Studies Centre Gadjah Mada University, 2000), h.
125.
Faturochman, Konflik: Ketidak-adilan dan Identitas (Yogyakarta : PPSK UGM,
2003), h. 56.

23
[9] Abdul Haris Sukamdi dan Patrick Browslee, Migrasi Buruh di Indonesia, Politik
dan Praktis, h. 131
[12] Wirawan, Konflik dan Menejemen Konflik, Teori, Aplikasi, dan Penelitian
(Jakarta: Salemba Humatika, 2010), h. 184-186.
Dessler, Gary 1997, Manajemen Sumber Daya Manusia Jilid I (Alih bahasa:
Benyamin Molan).Penerbit Prenhallindo, Jakarta.Dharma, Agus 1986.
Manajemen Prestasi Kerja. Rajawali: Jakarta.Flippo, Edwin B. 1996.
Manajemen Personalia dan Sumber Daya Manusia. Alih Bahasa Moh.Masud.
Erlangga: Jakarta.Gibson, Ivancevich, Donnelly. 1994.
Organisasi dan Manajemen. Edisi Keempat. Terjemahan.Jakarta: PT. Gelora
Aksara Pratama.Glueck, William F., 1982.
Personnel A Diagnostic Approach, Third Edition. Business Publication,Inc. Plano:
Texas.Gomes, Faustino Cardoso. 1995.
Manajemen Personalia dan Sumber Daya Manusia. EdisiKedua. Yogyakarta: Andi
Offset.Santoso, Singgih. 2000.
SPSS Statistik Parametrik, Edisi Pertama. Penerbit Elek MediaKomputindo,
Jakarta.Schuler S. Randall, dan Jackson E. Susan, 1999,
Human Resources Management: Positioning forThe 21st Century, 7th Edition, West
Publishing Company, New York.
Sekaran, Uma, 1992, Research Methods for Business; A Skill Building Approach,
2nd Edition,John Wiley & Sons Inc., New York

24

Anda mungkin juga menyukai