Anda di halaman 1dari 20

KASUS Judul Penulis : Hipogonadisme sekunder pada pasien akromegali : Diana Susanto, Prof. dr.

Suzanna Immanuel, SpPK(K)

Tn. ADP, 36 tahun melakukan pemeriksaan laboratorium tanggal 24 April 2013 dengan keterangan klinis akromegali.

Hasil laboratorium: Hormon Reproduksi PARAMETER LH FSH Testosteron HASIL <0,1 0,8 <0,025 NILAI RUJUKAN () 1,7-8,6 mIU/mL 1,5-12,4 mIU/mL 2,8-8 ng/mL

Kesan: Saran: -

Hipogonadisme sekunder curiga kelainan hipofisis. Insulin like growth factor (IGF)-1 Prolaktin, Thyroid stimulating hormone (TSH), kortisol

DATA TAMBAHAN Anamnesis (8 April 2013) Keluhan utama: Lemas memberat sejak 4 hari sebelum masuk rumah sakit (smrs). Riwayat penyakit sekarang: Sejak 5 bulan smrs pasien merasakan lemas dan sulit bangun dari tempat tidur. Lemas dirasakan di seluruh tubuh dan memberat sejak 4 hari smrs. Nafsu makan baik, tetapi berat badan dirasakan menurun. Sejak 1 tahun smrs pasien terdapat gejala poliuria, polidipsia, polifagia, dinyatakan DM dan menggunakan insulin 3x10 unit. Pasien berhenti menggunakan insulin karena keterbatasan dana.

Sejak usia 17 tahun, pasien terus bertambah tinggi dan melebihi teman sebayanya, dagu dan dahi menonjol, tangan dan kaki membesar. Sakit kepala kadang-kadang. Tidak ada riwayat pandangan ganda, mual dan muntah. Pasien selalu berkeringat, tangan gemetar (-), berdebar-debar (-). Riwayat penyakit dahulu: Hipertensi (-), asma (-), paru (-) Riwayat penyakit keluarga: Pasien adalah empat bersaudara, kakak dan adiknya tidak ada yang berperawakan sama. Riwayat sosial ekonomi: Pasien belum menikah.

Pemeriksaan fisik (tanggal 8 April 2012) Kesadaran Keadaan umum Tekanan darah Suhu Nadi Napas Tinggi badan Berat badan : compos mentis : tampak sakit sedang : 130/100 mmHg : 36oC : 96 x/menit : 30 x/menit : 195 cm : 110 kg

Kepala Mata THT Leher Jantung Paru Abdomen Ekstremitas

: sesuai akromegali : konjungtiva tidak pucat, sklera tidak ikterik : makrognatia : tiroid tidak teraba membesar : bunyi jantung I-II regular, murmur (-), gallop (-). : vesikular, rhonki basah kasar +/+, wheezing -/: lemas, hati/limpa tidak teraba, bising usus (+)/normal : edema (-)

Hasil laboratorium IGD (tanggal 8 April 2012) Hematologi PARAMETER Kadar hemoglobin Hematokrit MCV MCH MCHC Jumlah trombosit Jumlah leukosit Hitung Jenis Leukosit Basofil Eosinofil Batang Segmen Limfosit Monosit 0 1 3 58 30 8 0-1% 1-3% 26% 50 70 % 20-40 % 28% HASIL 15,3 41,3 83,9 30,2 35,1 263000 7180 NILAI RUJUKAN 13 - 16 g/dL 40-48 % 82-92 fL 27-31 pg 32-36 g/dL 150.000-400.000/L 5.000 10.000/ L

Kimia klinik dan elektrolit PARAMETER SGOT SGPT Glukosa darah sewaktu Keton Natrium Kalium Klorida HASIL 17 20 696 1 130 4,8 89 NILAI RUJUKAN 0-33 U/L 0-50 U/L <110 mg/dL 0,0-0,6 mmol/L 136,0 145,0 mEq/L 3,30 5,10 mEq/L 98,0 106,0 mEq/L

Analisis Gas Darah PARAMETER pH pCO2 pO2 Saturasi O2 Base excess Standard base excess Standard HCO3 HCO3 Total CO2 HASIL 7,308 34,9 122,6 97,5 -7,2 -8,8 18,6 17,7 18,7 21,00-26,00 21,00-25,00 (-)2,5-(+)2,5 NILAI RUJUKAN 7,350-7,450 35,00-45,00 75,00-100,00

Anion Gap

= [Na+] + [K+] [Cl-] [HCO3-] = 139,5 + 4,8 - 89 17,7 = 37,6

Roentgen Thorax (8 April 2013) Kesan: Jantung tidak membesar, infiltrat parahiler kedua lapang paru, sudut kostofrenikus kanan tumpul sugestif efusi pleura kanan

Daftar Masalah (dari rekam medik penyakit dalam): 1. Ketoasidosis diabetik pada DM tipe lain 2. Community Acquired Pneumoniae (CAP) dd/Tb paru 3. Hipertensi Grade II 4. Akromegali

Penatalaksanaan 1. Loading NaCl 0,9% 2000 cc lanjutkan dengan IVFD insulin 50 unit dalam NaCl 0,9% 500 cc (2 unit/jam). 2. Periksa GDS/jam 3. Cefotaxim 3x1 gram i.v 4. Azithromycin 1x500 mg per oral 5. Diet DM 1900 kkal/hari 6. Pasang kondom kateter 7. Balans cairan seimbang/24 jam 8. Diet rendah garam II 9. Captopril 3x12,5mg per oral

Hasil laboratorium Gedung A (12 April 2013) Hormon PARAMETER T4 bebas TSH sensitive Prolaktin HASIL 0,950 2,310 438,6 NILAI RUJUKAN 0,930-1,700 ng/dL 0,270-4,200 IU/mL 4,04-15,2 ng/mL

Mikrobiologi Pulasan Gram (Sputum) Hasil: Batang Gram (-) Coccus Gram (+) Leukosit Epitel : jarang : jarang : 30-40/lpk : 4-5/lpk

Biakan+Res Aerob Sputum Isolat 1: Pseudomonas aeruginosa

Sensitif terhadap antibiotik: Gentamicin, Amikacin, Aztreonam, Ceftriaxone, Ceftazidime, Cefoperazone, Ciprofloxacin, Piperacillin/Tazobactam, Cefoperazone/Sulbactam, Doripenem, Cefepime, Cefpirome, Meropenem, Imipenem, Levofloxacin, Moxifloxacin Resisten terhadap antibiotik: Chloramphenicol, Cotrimoxazole, Kanamycin, Tetracycline, Sulbactam/Ampicilin, Cephalotin, Amox.+clavulanic acid

Isolat 2: Klebsiella pneumonia Sensitif terhadap antibiotik: Chloramphenicol, Cotrimoxazole, Gentamicin, Kanamycin, Tetracycline, Amikacin, Aztreonam, Sulbactam/Ampicilin, Cephalotin, Amox.+ clavulanic acid, Ceftriaxone, Ceftazidime, Cefoperazone, Ciprofloxacin, Piperacillin/Tazobactam, Cefoperazone/Sulbactam, Doripenem, Cefepime, Cefpirome, Meropenem, Imipenem, Levofloxacin, Moxifloxacin

Pulasan Tahan Asam Spesimen 1 2 3 Tanggal 12/4/2013 13/4/2013 13/4/2013 Hasil Negatif Negatif Negatif

Hasil Laboratorium swasta (16 April 2013) PARAMETER IGF-1 HASIL 1451,0 NILAI RUJUKAN 109-284 ng/mL

MRI Kepala (22 April 2013) Terdapat massa di intrasella ukuran 1,3 x 1,2x 0,8 cm

Kesan setelah mendapat data tambahan: Asidosis metabolik Ketonemia Diabetes mellitus tidak terkontrol Hiponatremia dan hipokloremia dilusional Hiperprolaktinemia, peningkatan IGF-1, dan hipogonadisme sekunder curiga tumor hipofisis Saran: Asam Laktat Kortisol HbA1C Profil lipid

TEORI SINGKAT HIPOGONADISME SEKUNDER Hipogonadisme sekunder atau hipogonadotropik hipogonadisme (HH) didefinisikan sebagai sindrom klinis yang disebabkan oleh terganggunya gonad akibat penurunan kadar hormon gonadotropin hipofisis. Kondisi ini dapat terjadi akibat tidak ada atau kurangnya sekresi GnRH (gonadotropin releasing hormone) dari hipotalamus atau terganggunya sekresi gonadotropin dari hipofisis.1 Etiopatogenesis Hipogonadisme sekunder dibedakan atas kelainan kongenital dan kelainan didapat. Kelainan didapat, yang jauh lebih sering ditemukan, dapat mencerminkan keberadaan tumor di regio hipotalamus hipofisis atau suatu kelainan sistemik. Sebagian besar HH kongenital bersifat idiopatik, tetapi terdapat pula HH familial yang dapat diturunkan secara X-linked (20%), resesif autosom (30%), dan dominan autosom (50%).2 Kondisi sakit berat, stress, malnutrisi, dan latihan fisik dapat menyebabkan defisiensi gonadotropin reversibel. Penyakit kronik yang

berhubungan dengan kadar testosteron rendah adalah infeksi HIV, penyakit ginjal terminal, penyakit paru obstruktif kronik, keganasan, dan penyakit yang diterapi dengan glukokortikoid. Pria dengan obesitas ringan-sedang mengalami penurunan kadar sex hormone binding globulin (SHBG) sebanding dengan derajat obesitasnya sehingga menyebabkan penurunan kadar testosteron total, tetapi kadar testosteron bebas biasanya dalam batas normal. Peningkatan hormon prolaktin (PRL) menyebabkan HH melalui mekanisme hambatan langsung sekresi GnRH hipotalamus. Tumor pensekresi PRL juga dapat merusak gonadotrop sekitarnya melalui invasi atau penekanan pada tangkai hipofisis. 2 Pada orang dewasa, adenoma hipofisis merupakan space-occupying lesion (SOL) terbanyak yang mempengaruhi gonadotropin dan produksi hormon hipofisis lainnya. Adenoma hipofisis yang meluas ke regio suprasella dapat mengganggu sekresi GnRH dan menyebabkan peningkatan ringan sekresi PRL karena terganggunya inhibisi oleh jalur dopaminergik. Tumor ini dibedakan dari prolaktinoma yang mensekresikan PRL dalam kadar yang lebih tinggi (biasanya >50 g/L). 2

Fisiologi aksis hipotalamus-hipofisis-testis GnRH hipotalamus mengatur produksi gonadotropin hipofisis: luteinizing hormone (LH) dan follicle stimulating hormone (FSH). GnRH dilepaskan secara pulsatil setiap 2 jam menghasilkan sekresi LH dan FSH yang pulsatil. LH dan FSH berperan dalam perkembangan sel germinal. FSH bekerja langsung pada epitel germinal, sedangkan LH merangsang sel Leydig untuk mensintesis testosteron yang diperlukan dalam spermatogenesis dan virilisasi. FSH merangsang sel sertoli untuk mendukung proses spermatogenesis dan mensekresi inhibin B, yang bekerja secara selektif menekan FSH hipofisis (Gambar 1).1,2

Gambar 1. Aksis hipotalamus-hipofisis-testis.2

Diagnosis Klinis dan Laboratorium Hipogonadisme pada pria ditandai oleh gangguan fungsi testis yang dapat mempengaruhi spermatogenesis dan/atau sintesis testosteron. Gejala yang ada meliputi penurunan libido, gangguan fungsi ereksi, kelemahan otot, peningkatan adipositas, penurunan mood, dan penurunan vitalitas. Diagnosis hipogonadisme ditegakkan berdasarkan kadar testosteron darah yang rendah, khususnya kadar testosteron bebas. Kadar testosteron yang rendah mengindikasikan pemeriksaan kadar FSH dan LH. 1 Kadar LH dapat membedakan hipogonadisme sekunder (LH
9

rendah atau normal) dari hipogonadisme primer (LH tinggi). Pulsasi LH terjadi setiap 1-3 jam pada pria normal. FSH bersifat kurang pulsatil dibanding LH karena waktu paruh yang lebih panjang. 2 Integritas aksis hipotalamus-hipofisis tidak dapat diperiksa melalui pemeriksaan GnRH secara langsung karena GnRH terbatas dalam sistem porta hipofisis dan memiliki waktu paruh 2-4 menit dalam darah. Sebagai alternatif, dapat dilakukan pemeriksaan stimulasi GnRH yang dilakukan melalui pengukuran kadar LH dan FSH basal, serta 30 dan 60 menit setelah injeksi 100 mcg GnRH intravena. Respons normal yang masih dapat diterima berupa peningkatan kadar LH dua kali lipat dan kadar FSH sebanyak 50%. Pada masa prapubertas atau defisiensi GnRH berat, tidak dijumpai respons gonadotrop pada pemberian bolus tunggal GnRH. Respons GnRH baru timbul setelah pemberian GnRH pulsatil.2 Penatalaksanaan Terapi pada HH tergantung pada keinginan pasien untuk memiliki keturunan. Kadar testosteron normal, perkembangan karakteristik sex sekunder (pada kasus hipogonadisme yang terjadi sebelum pubertas), dan kondisi eugonad dapat dicapai dengan pemberian testosteron. Kadar testosteron normal berhubungan dengan aktivitas seksual yang baik, peningkatan kekuatan otot dan massa tubuh tanpa lemak. Terapi GnRH atau gonadotropin diperlukan untuk stimulasi produksi sperma dan merupakan terapi pilihan bagi penderita HH yang ingin memiliki keturunan.1 TUMOR HIPOFISIS Adenoma hipofisis adalah neoplasma yang berasal dari salah satu sel hipofisis anterior dan merupakan penyebab tersering sindrom hipersekresi dan hiposekresi hormon hipofisis pada orang dewasa.2 Kelainan ini meliputi 90% lesi di sella tursica atau parasella. Massa intrasella lainnya dapat berupa kista kantong Rathke, kraniofaringioma, meningioma, dan metastasis keganasan ke kelenjar hipofisis.3 Berdasarkan ukurannya, adenoma hipofisis dibagi menjadi mikroadenoma (dimensi <1 cm) dan makroadenoma (dimensi 1 cm). Namun,

10

klasifikasi telah diperluas dengan adanya pemeriksaan imunohistokimia dan mikroskop elektron.4 Etiologi & Manifestasi Klinis Manifestasi klinis dan biokimia adenoma hipofisis tergantung pada jenis sel asalnya. Tumor yang berasal dari sel laktotrop (PRL), somatotrop (GH), kortikotrop (ACTH), tirotrop (TSH), atau gonadotrop (LH, FSH) mensekresi hormon-hormon yang biasa disekresikan sel tersebut dalam kondisi normal secara berlebihan (Tabel 1).5
Tabel 1. Klasifikasi adenoma hipofisis (diurutkan berdasarkan frekuensi terbanyak).5 Asal sel adenoma Laktotrop Gonadotrop Produk hormon PRL FSH, LH Sindrom klinis Hipogonadisme, galaktorea Hipogonadisme, hipergonadisme, atau tanpa gejala Somatotrop Kortikotrop Mixed growth hormone and prolactin cell Sel plurihormonal lain Acidophil stem cell Apapun PRL, GH GH ACTH GH, PRL Akromegali/gigantisme Penyakit Cushing Akromegali, hipogonadisme, galaktorea Beragam Hipogonadisme, galaktorea, akromegali Mammosomatotrop PRL, GH Hipogonadisme, galaktorea, akromegali Tirotrop Null cell Oncocytoma TSH Tidak ada Tidak ada Tirotoksikosis Gangguan hipofisis Gangguan hipofisis

Pada sebagian kasus, tumor bersifat plurihormonal dan menimbulkan sindrom klinis yang merupakan gabungan manifestasi hipersekresi dari hormonhormon tersebut. Tumor yang aktif secara hormonal mensekresikan hormon secara autonom dan kurang merespons jalur hambatan fisiologik. Sekitar

11

sepertiga kasus adenoma bersifat non-fungsional dan tidak menyebabkan sindrom hipersekretorik.5 Selain berhubungan dengan disfungsi endokrin dari hormon terkait, gejala yang timbul dapat pula disebabkan oleh penekanan massa yang meluas ke area di sekitar hipofisis (terutama nervus opticus dan kiasma optik) dan peningkatan tekanan intrakranial.6 Perluasan adenoma hipofisis ke area suprasella menyebabkan sakit kepala dan gangguan penglihatan. Penekanan pada tangkai hipofisis dapat mengganggu aliran pembuluh darah porta dan memutus akses hipofisis ke hormon hipotalamus dan dopamin. Kondisi tersebut menimbulkan hiperprolaktinemia dan hiposekresi berbagai hormon hipofisis.5 Diagnosis Magnetic Resonance Imaging (MRI) merupakan modalitas pencitraan terpilih untuk diagnosis gangguan hipofisis. Gambaran hipointensitas fokal dalam kelenjar hipofisis dianggap abnormal dan mengindikasikan adenoma. 3 Pada kecurigaan adenoma hipofisis melalui MRI, dilakukan pemeriksaan hormon awal yang mencakup PRL, insulin-like growth factor (IGF)-1, kortisol bebas urine 24 jam dan/atau tes supresi deksametason oral (1 mg), FSH dan LH, dan tes fungsi tiroid. Keberadaan massa di sella tanpa manifestasi klinis akibat hipersekresi hormon memerlukan pemeriksaan laboratorium untuk menentukan sifat tumor dan menilai ada tidaknya hipopituitarisme. Defisiensi hormon hipofisis mungkin memerlukan terapi sulih hormon sebelum terapi bedah.5 Pewarnaan imunohistokimia dari spesimen tumor hipofisis yang diambil melalui prosedur bedah transsfenoid memastikan gambaran klinis dan laboratorium yang sudah ada dan memberikan diagnosis secara histologis saat pemeriksaan hormon tidak sesuai klinis atau pada kasus tumor non-fungsional.5 Penatalaksanaan Sasaran penatalaksanaan meliputi normalisasi sekresi hipofisis,

pengurangan gejala dan tanda sindrom hipersekresi hormon, dan pengecilan atau ablasi massa tumor untuk meredakan gejala akibat kompresi struktur

12

sekitar hipofisis. Pembedahan transsfenoid merupakan prosedur terpilih dalam penatalaksanaan tumor hipofisis.5 AKROMEGALI Akromegali merupakan kelainan klinis pada orang dewasa yang ditandai dengan perubahan pada wajah dan ekstremitas yang disebabkan oleh kelebihan sekresi GH. Hipersekresi GH yang terjadi sebelum fusi lempeng epifisis disebut gigantisme hipofisis. Pada orang dewasa, kelebihan sekresi GH biasanya disebabkan oleh adenoma hipofisis yang mensekresi GH.7 Gejala awal akromegali biasanya tidak spesifik seperti rasa lelah, berkeringat, dan nyeri muskuloskeletal. Hipersekresi GH merangsang sekresi insulin-like growth factor-1 (IGF-1) di hati, yang menyebabkan pertumbuhan berlebihan jaringan lunak akral pada orang dewasa. Gambaran akromegali yang khas berupa pelebaran rigi supraorbital, pelebaran hidung, prognatisme, makroglosia, serta membesarnya tangan dan kaki. Akromegali yang tidak diterapi menimbulkan berbagai komplikasi, antara lain: gangguan respirasi (sleep apnea), kardiovaskular (hipertensi, kardiomiopati, aritmia, gagal jantung), metabolik (diabetes mellitus, gangguan lipid), dan muskuloskeletal (artropati dan carpal tunnel syndrome).7 Toleransi glukosa terganggu dan diabetes mellitus adalah kelainan metabolik yang sering ditemukan pada populasi akromegali. Resistensi insulin akibat hipersekresi GH terjadi di hati dan perifer menimbulkan hiperinsulinisme dan peningkatan turnover glukosa pada kondisi post-absorbsi basal.8 Resistensi insulin mengganggu kemampuan insulin untuk menekan produksi glukosa dan menstimulasi pengunaan glukosa.7 Hiperinsulinisme merupakan tahap awal perkembangan diabetes mellitus pada pasien akromegali. Tahap ini ditandai dengan toleransi glukosa normal atau perbatasan (borderline) dan puncak insulin yang lebih tinggi dan lebih cepat tercapai pasca loading glukosa yang lebih lambat kembali ke normal dibandingkan populasi kontrol. Tahapan berikut ditandai dengan respons insulin yang lambat terhadap glukosa menimbulkan

13

gangguan toleransi glukosa. Hiperinsulinisme, resistensi insulin, dan diabetes mellitus merupakan faktor risiko kardiovaskular dan faktor mortalitas pada akromegali.8 Diagnosis akromegali diawali dari kecurigaan klinis fitur akromegali yang dikonfirmasi dengan pemeriksaan IGF-1 dan kadar GH serum. GH dihasilkan oleh sel somatotrop kelenjar hipofisis secara pulsatil dan kadar normal dalam darah berkisar 0,1-0,2 g/L.9 Produksi maksimal terjadi di malam hari saat tidur, tetapi setiap hari terdapat 6-10 kali lonjakan mencapai 5-30 g/L, yang mungkin tumpang tindih dengan kadar pada pasien akromegali.10 GH dalam sirkulasi merangsang sekresi IGF-1 hati. Secara umum terdapat hubungan linear antara kadar GH serum dan IGF-1, terutama pada kadar GH <20 ng/mL. Kadar IGF-1 plateau pada kadar GH >40 ng/mL.9 Pemeriksaan GH nadir pasca tes toleransi glukosa oral (TTGO) merupakan pemeriksaan baku emas untuk akromegali. Pemeriksaan GH dilakukan pada kadar baseline, kemudian setiap 30 menit hingga total 120 menit setelah pemberian glukosa 75 g.9 Sekresi GH merupakan bagian dari mekanisme counterregulatory terhadap hipoglikemia dan sekresi GH fisiologis dihambat dengan hiperglikemia. Pada akromegali atau gigantisme, sekresi GH bersifat autonom dan tidak ditekan. Kadar GH nadir 0,4 g/L disertai kecurigaan klinis dan kadar IGF-1 yang tinggi memastikan diagnosis akromegali. 11 Panduan praktik diagnosis dan penatalaksanaan akromegali menyatakan IGF-1 sebagai pemeriksaan yang ideal karena kadarnya tetap stabil sepanjang hari, memiliki waktu paruh yang panjang 18-20 jam (dibandingkan GH, 20 menit), dan pengukurannya tidak memerlukan puasa. Peningkatan IGF-1 pada penderita dengan gambaran klinis akromegali yang jelas tidak memerlukan pemeriksaan GH pasca TTGO untuk diagnosis akromegali.9 DISKUSI Pasien laki-laki berusia 36 tahun dirawat di gedung A lantai 7 dengan keluhan utama lemas yang semakin memberat sejak 4 hari smrs. Lemas

14

dirasakan sejak 5 bulan lalu hingga sulit bangun dari tempat tidur dan terdapat penurunan berat badan walaupun nafsu makan baik. Pasien didiagnosis DM sejak 1 tahun lalu dengan gejala poliuria, polifagia, polidipsia dan mendapat terapi insulin yang dihentikan sendiri karena keterbatasan dana. Sejak usia 17 tahun, pasien terus bertambah tinggi, dagu dan dahi menonjol, tangan dan kaki membesar. Pasien sering berkeringat dan kadang-kadang sakit kepala. Keluarga pasien tidak ada yang berperawakan sama. Pada pemeriksaan fisik didapatkan tinggi badan 195 cm, hipertensi, takikardia, takipneu, kepala sesuai akromegali, makrognatia, dan rhonki basah kasar di kedua lapang paru. Pada pemeriksaan laboratorium tidak ditemukan kelainan hematologi, terdapat hiperglikemia, ketosis, dan asidosis metabolik, hiponatremia dan hipokloremia, hiperprolaktinemia, peningkatan IGF-1, fungsi tiroid normal, serta penurunan gonadotropin dan testosteron. Pemeriksaan Roentgen toraks mendapatkan infiltrat parahiler di kedua lapang paru, sedangkan MRI menemukan massa intrasella ukuran 1,3 x 1,2 x 0,8 cm. Diagnosis hipogonadisme sekunder didasarkan atas penurunan

testosteron disertai dengan penurunan FSH dan LH. Pada rekam medik pasien tidak ada data mengenai aktivitas seksual dan perkembangan seks sekunder pasien, tetapi pasien belum menikah. Hipogonadisme sekunder pada pasien diduga berhubungan dengan kondisi akromegali yang dialami. Penurunan sekresi gonadotropin disertai manifestasi klinis akromegali mengindikasikan suatu kelainan di hipofisis. Kelainan pada pasien dikonfirmasi melalui pemeriksaan MRI dengan temuan massa intrasella. Peningkatan kadar GH pada orang dewasa biasanya disebabkan oleh adenoma hipofisis yang mensekresi GH. Gejala klinis yang ditemukan pada pengidap adenoma hipofisis berkaitan dengan jenis sel hipofisis yang menjadi aktif dan melakukan hipersekresi hormon. Pada pasien ini tidak dilakukan pemeriksaan GH, tetapi didapatkan peningkatan IGF-1. Manifestasi akromegali yang ditemukan berupa tubuh yang terus bertambah tinggi sejak usia 17 tahun

15

melebihi teman sebaya, dagu dan dahi yang menonjol, tangan dan kaki membesar, tubuh terasa lemas dan sering berkeringat. Dari gambaran klinisnya, adenoma hipofisis pasien dipikirkan berasal dari sel somatotrop yang meluas sampai ke suprasella sehingga menyebabkan penekanan sekresi gonadotropin dan peningkatan ringan prolaktin. Perluasan massa tumor ke suprasella menekan tangkai hipofisis dan memutus akses hipofisis ke hormon hipotalamus dan dopamin. Namun, kepastian sel yang menjadi penyebab didapatkan melalui pemeriksaan histologis dari jaringan yang diambil melalui bedah transsfenoid. Pada pasien dijumpai peningkatan PRL 438,6 ng/mL atau 4,386 x 10-4 g/L. Peningkatan bukan disebabkan oleh tumor pensekresi PRL karena kadarnya tidak cukup tinggi (<50 g/L). Peningkatan PRL terjadi akibat terganggunya jalur dopaminergik tuberoinfundibular oleh massa tumor pada tangkai hipofisis. Peningkatan ini turut berkontribusi menyebabkan hipogonadisme sekunder melalui mekanisme hambatan langsung sekresi GnRH hipotalamus. Hiponatremia dan hipokloremia pada pasien merupakan tipe dilusional yang terjadi akibat kondisi hiperglikemia yang dialami. Glukosa hipertonik dalam darah menyebabkan peningkatan tekanan osmotik ekstraselular dan menarik air dalam sel keluar. Kadar natrium darah dikoreksi dengan menambahkan 1,6 mmol/L untuk setiap peningkatan 100 mg/dL glukosa pada kadar glukosa di atas 100 mg/dL. Ion klor mengikuti natrium dalam sistem kompartemen tubuh. Kadar natrium terkoreksi pada pasien dihitung dengan rumus (Natrium terkoreksi = Natrium terukur + 1,6 (glukosa -100)/100) dan didapatkan hasil 139,5 mmol/L. Hasil analisis gas darah memperlihatkan penurunan pH dan HCO3 yang sesuai dengan asidosis metabolik. Penurunan pCO2 terjadi karena mekanisme kompensasi dengan cara hiperventilasi untuk mengeluarkan CO2 dalam tubuh. Pada kondisi asidosis metabolik, setiap penurunan 1 mmol/L HCO3, diharapkan akan menyebabkan kompensasi penurunan pCO2 sebesar 1,0-1,5 mmHg. Apabila kompensasi pCO2 di luar target, gangguan asam basa yang terjadi kemungkinan merupakan tipe campuran. Pada pasien ini, didapatkan nilai HCO3 sebesar 17,7

16

maka HCO3 yang dihitung dengan pengurangan nilai tengah HCO3 normal (24) dengan nilai HCO3 yang didapat adalah 6,3. Kompensasi penurunan pCO2 dihitung dengan mengalikan HCO3 dengan 1 mmHg (6,3 x 1 = 6,3 mmHg) dan 1,5 mmHg (6,3 x 1,5 = 9,5 mmHg). Nilai pCO2 setelah terkompensasi dihitung dengan mengurangi nilai tengah PCO2 normal dengan nilai kompensasi sehingga didapatkan target kompensasi pCO2 yaitu 32,5-35,7 mmHg. Nilai pCO2 pasien adalah 34,9 maka gangguan asam basa yang dialami pasien merupakan simple metabolic acidosis. Diabetes mellitus tidak terkontrol didasarkan atas peningkatan kadar glukosa dan keton darah. Peningkatan keton darah pada ketosis biasanya >3 mmol/L. Kadar keton pasien (1 mmol/L) menunjukkan suatu ketonemia, tetapi belum layak disebut ketosis. Asidosis metabolik dengan anion gap yang tinggi (37,6) disebabkan oleh penumpukan asam dan pada DM yang tersering adalah benda keton atau asam laktat. Oleh karena itu, disarankan pemeriksaan asam laktat untuk mengetahui apakah terjadi asidosis laktat. Hasil pemeriksaan mikrobiologi sputum mendapatkan dua jenis kuman penyebab infeksi paru Pseudomonas aeruginosa dan Klebsiella pneumoniae yang sensitif terhadap sebagian besar antibiotik. Pasien telah mendapat terapi antibiotik empirik cefotaxim dan azithromycin sebelumnya. Terapi empirik sebaiknya diganti dengan terapi definitif, yaitu antibiotik lini pertama yang masih sensitif (gentamicin) untuk menghindari resistensi antibiotik akibat pemakaian antibiotik spektrum luas yang tidak bijaksana. Sebelum mendapat data tambahan, anjuran pemeriksaan bagi pasien adalah IGF-1, prolaktin, TSH, dan kortisol darah. Pemeriksaan IGF-1 untuk menegakkan diagnosis akromegali. Pemeriksaan hormon lainnya disarankan untuk mencari kelainan hipofisis dan mendeteksi adanya hiper/hiposekresi hormon hipofisis untuk kepentingan terapi. Setelah mendapatkan data tambahan, disarankan pemeriksaan asam laktat, kortisol, HbA1C, dan profil lipid. Pemeriksaan HbA1C disarankan untuk melihat status glikemik darah dan

17

mencegah komplikasi jangka panjang DM pada pasien. Pemeriksaan profil lipid untuk melihat adanya dislipidemia dan memungkinkan intervensi sejak dini. Pemeriksaan GH pasca TTGO tidak disarankan karena adanya gambaran klinis akromegali yang jelas disertai peningkatan kadar IGF-1 telah memastikan diagnosis akromegali pada pasien.

KESIMPULAN Telah dikemukakan pasien laki-laki, 36 tahun dengan hipogonadisme sekunder dan akromegali. Diagnosis hipogonadisme sekunder didasarkan atas penurunan testosteron disertai penurunan FSH dan LH. Pasien merupakan penderita akromegali akibat tumor di kelenjar hipofisis. Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan peningkatan IGF-1, peningkatan ringan prolaktin, dan fungsi tiroid yang normal. Asidosis metabolik dengan peningkatan anion gap disebabkan oleh penumpukan asam, dengan keton dan asam laktat yang tersering pada DM. Pada pasien hanya didapatkan ketonemia sehingga kemungkinan belum terjadi ketoasidosis diabetik. Pemeriksaan asam laktat disarankan untuk mencari penyebab asidosis metabolik.

18

DAFTAR PUSTAKA 1. Fraietta R, Zylberstejn DS, Esteves SC. Hypogonadotropic hypogonadism revisited. Clinics 2013; 68(S1):81-88. 2. Bhasin S, Jameson JL. Disorders of the testes and male reproductive system. Dalam: Fauci AS, Braunwald E, Kasper DL, Longo DL, Hauser SL, Lameson JL, Loscalzo J, editor. Harrisons principle of internal medicine. Edisi ketujuh belas. New York: The McGraw-Hill Companies; 2008. p.2310-24 3. Famini P, Maya MM, Melmed S. Pituitary magnetic resonance imaging for sellar and parasellar masses: ten-year experience in 2598 patients. J Clin Endocrinol Metab 2011; 96(6):163341. 4. Ezzat S, Asa SL, Couldwell WT, Barr CE, Dodge WE, Vance ML, et al. The prevalence of pituitary adenomas: A systematic review. Cancer 2004; 101 (3):613-9. 5. Melmed S, Jameson JL. Disorders of the anterior pituitary and hypothalamus. Dalam: Fauci AS, Braunwald E, Kasper DL, Longo DL, Hauser SL, Lameson JL, Loscalzo J, editor. Harrisons principle of internal medicine. Edisi ketujuh belas. New York: The McGraw-Hill Companies; 2008. p.2195296. 6. Ironside JW. Pituitary gland pathology. J Clin Pathol 2003; 56:5618. 7. Wass JAH. Acromegaly: easily missed. BMJ 2010; 341:c4189. 8. Colao A, ferone D, marzullo P, Lombardi G. Systemic complications of acromegaly: epidemiology, pathogenesis, and management. Endocrine Reviews 25(1):10252. 9. Katznelson L, Atkinson JLD, Cook DM, Ezzat SZ, Hamrahian AH, Miller KK. AACE Acromegaly guidelines, Endocr. Pract 2011; 17 (suppl 4). 10. Lugo G, Pena L, Cordido F. Clinical manifestations and diagnosis of acromegaly. Intl J Endocrinology 2012; 1-11. 11. Oral GTT for the diagnosis of growth hormone excess. Diunduh pada tanggal 24 Juni 2013. Tersedia di http://www.pathology.leedsth.nhs.uk/

19

dnn_bilm/Investigationprotocols/Pituitaryprotocols/GlucoseToleranceTestfor Acromegaly.aspx.

20

Anda mungkin juga menyukai