Anda di halaman 1dari 47

Pleno Pemicu 1 Modul Saraf Jiwa

Kelompok DK 6

Anggota Kelompok
Khalik Perdana Putra Muhammad Hadi Arwani Scholastyka Febrylla Yohanes Isma Resti Pratiwi Nada Yuliandha Muhammad Luthfi Taufik Vera Roulina Eko Prestiyana Megawati Fitrianto Dwi Utomo Tan Sri Ernawati I11110027 I11111002 I11111012 I11111024 I11111029 I11111040 I11111049 I11111052 I11111057 I11111064 I11111071

Pemicu 1
Ny S, 38 tahun, dibawa olehkakaknya ke praktik klinik keluarga dengan keluhan mendadak tidak bisa melihat.Saat diperiksa pasien sadar dan dalam pemeriksaan status generalis tidak didapatkan adanya kelainan. Pasien sangat kooperatif dan memberikan kontak yang adekuat selamapemeriksaan dan dapat berbicara dengan lancar. Ia nampak tenang saat menceritakan kedua matanya tidak bisa melihat lagi. Ia menceritakan bahwa ia baru saja pergi berbelanja di salah satu pusat perbelanjaan dan tibatiba saja ia kehilangan penglihatannya. Tidak ada riwayat trauma kepala atau cedera didaerah mata serta ia tidak sedang mengkonsumsi obat-obatan tertentu. Ia mengatakan segala sesuatu baik-baik saja dalam hidupnya baik kesehatan fisik maupun kehidupan rumah tangganya.

Pemicu 1
Pemeriksaan neurologis pada hari kedua, tidak dijumpai adanya tanda rangsang meningeal, pupil bulat diameter 3 mm, isokor, refleks cahaya langsung dan tak langsung (+/+), tidak ada kelumpuhan saraf kranialis, fungsi motorik dengan kekuatan 5 pada keempat ekstremitas, refleks fisiologis dalam batas normal, tidak dijumpai adanya refleks patologis, sistem sensorik dalam batas normal, serta fungsi otonom dalam batas normal. Dalam riwayat penyakitnya didapatkan informasi dari kakaknya bahwatiga bulan terakhir ini suami pasien tidak pulang ke rumah. Pasien selalu mengatakan bahwa suaminya sedang sibuk dikantor dan ia tidak sempat pulang karena banyak tugas.

Pemicu 1
yang harus diselesaikan. Menurut kakak pasien, ia sering mendengar berita dari tetangga bahwa suami pasien sedang menjalin hubungan dengan wanita lain. Sehari sebelum pasien kehilangan penglihatannya, pasien dan kakaknya sempat melihat suami pasien sedang makan bersama seorang wanita di sebuah restoran di pusat perbelanjaan. Saat itu, menurut kakak pasien, pasien terlihat tenang dan seakan tidak ada yang salah dengan situasi tersebut. Pasien tetap makan di restoran tersebut di meja lain serta langsung pulang kerumah tanpa terlihat sedih atau kesal. Kakak pasien enggan menanyakan apa yang dirasakan pasien karena berpikir pasien tidak inginmembicarakannya

Klarifikasi dan Definisi


Isokor: Kesamaan ukuran kedua pupil mata Rangsangan meningeal: Pemeriksaan Neurologis untuk memeriksa adanya infeksi/peradangan pada meningeal meliputi pemeriksaan kaku duduk, kernig, bradzinski IIV

Kata Kunci
Nyonya, 38 tahun Trauma kepala (-) Status generalis normal Tidak bisa melihat Neurologis normal Pasien kooperatif

Rumusan Masalah
Ny. S 38 tahun mendadak kehilangan penglihatan dengan pemeriksaan neurologis normal & tampak tenang dengan keadaan yang dialaminya.

Wanita 38 tahun

Kehilangan Penglihatan

Anamnesis

Pemeriksaan Fisik

Tidak Ada Riwayat Cedera

Pemeriksaan Fisik

Tidak ada gangguan neurologis dan organik

Pertimbangkan kondisi kejiwaan

A n a l i s i s M a s a l a h

DSM IV TR

Diagnosis

Lakukan Anamnesis dan Observasi Kejiwaan

Pasien tenang dan koooperatif Pasien mengalami masalah dalam rumah tangga yang tidak ia ungkapkan

Gangguan Somatoform: ganggguan Konversi

Pemeriksaan penunjang + pemeriksaan kejiwaan lanjutan

Tatalaksana

Pertanyaan Diskusi
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. Apa saja gangguan somatoform ? Epidemiologi Etiologi Diagnosis Gambaran Klinis Bagaimamna pendekatan psikobiologi pada pasien kejiwaan ini ? Apa itu DSM IV dan bagaimana cara penggunaannya (Ila, Yohanes, Isma) Bagaimana mendiagnosis pasien malingering (pasien berpura-pura buta) ? Bagaimana dasar wawancara psikiatri ? Apa yang dimaksud stressor psikosial dan adaptasi terhadapnya ? Bagaimana peran dokter dalam kasus kejiwaan ? Diagnosis dan terapi pada pasien ini ? Definisi dan diagnosis kebutaan ?

Gangguan Somatoform
Somatoform disorder adalah suatu kelompok gangguan yang ditandai dengan keluhan tentang masalah atau simtom fisik yang tidak dapat dijelaskan oleh penyebab gangguan fisik secara medis (misalnya nyeri, mual, dan pening/sakit kepala). Keluhan somatik serius, sehingga menyebabkan stres emosional dan gangguan untuk dapat berfungsi dalam kehidupan sosial dan pekerjaan.

Gangguan Somatoform
Keluhan somatik yang berulang dan banyak yang memerlukan perhatian medis, namun tidak memiliki sebab fisik yang jelas merupakan dasar gangguan ini. Diagnosis gangguan somatoform ini diberikan apabila diketahui bahwa faktor psikologis memegang peranan penting dalam memicu dan mempengaruhi tingkat keparahan serta lamanya gangguan dialami

Gangguan Somatoform
Prevalensi sepanjang hidup gangguan somatisasi diperkirakan kurang dari 0.5 persen dari populasi AS; lebih sering terjadi pada perempuan, Gangguan somatisasi umumnya bermula pada masa dewasa awal.

Somatoform Disorder

&

Pain Psychosomatic Disorder

Malingering

Factitious Disorder

Mengalami beberapa gejala Mengalami sakit fisik yang nyata, Sengaja menipu sakit secara Sengaja menipu sakit secara sakit fisik yang subyektif faktor tanpa sebab psikologis ikut ber- fisik untuk menghindari fisik untuk menarik perhatian

organis kontribusi pada sakitnya

situasi tidak menyenangkan, secara medis

(pengalaman sakit termasuk


kedalam pain disorder)

seperti tugas kemiliteran

Klasifikasi Gangguan Somatoform


Dalam DSM IV-TR, yang termasuk dalam Somatoform Disorder sebagai berikut : 300.81 Somatization Disorder 300.82 Undifferentiated Somatoform Disorder 300.11 Conversion Disorder 300.xx Pain Disorder 300.80 Associated With Psychological Factors 300.89 Associated With Both Psychological Factors and General Medical Condition 300.7 Hypochondriasis 300.7 Body Dysmorphic Disorder 300.82 Somatoform Disorder NOS

Klasifikasi Gangguan Somatoform

Pendekatan Psikobiologi pda Pasien Kejiwaan


Konsep biopsikososial memberikan suatu gambaran yang menyeluruh tentang munculnya suatu kondisi sakit yang dihubungkan dengan faktor lingkungan dan stres yang terkait di dalamnya. Kondisi kesehatan jiwa seseorang dapat dilihat sebagai suatu keadaan yang melibatkan faktor biologis, psikologis, dan sosial orang tersebut. Secara biologis, gangguan pada kondisi kesehatan jiwa seseorang diakibatkan karena ketidakseimbangan sistem hormon dan neurotransmiter di otak. Secara psikologis, gangguan kondisi kesehatan jiwa disebabkan oleh mekanisme adaptasi psikis individu yang tidak bekerja dengan baik. Secara sosial, kondisi gangguan kesehatan jiwa dapat dipicu oleh lingkungan yang tidak nyaman, serta penuh dengan tekanan dan ketakutan.

Pendekatan Psikobiologi pda Pasien Kejiwaan


Keluhan psikosomatik sering ditemukan pada praktik klinis sehari-hari Kepustakaan melaporkan lebih dari 50% pasien dengan keluhan fisik yang tidak mempunyai penyebab objektif dari keluhannya itu Keluhannya bisa dari kelelahan, nyeri dada, batuk, nyeri punggung, napas pendek, hingga berbagai keluhan yang melibatkan organ tubuh.

Pendekatan Psikobiologi pda Pasien Kejiwaan


Dalam praktik sehari-hari, keluhan tersebut dapat diatasi dengan kemampuan komunikasi yang baik dari dokter yang merawat. Rasa tertarik dokter terhadap keluhan pasien, empati, dan apresiasi terhadap pasien, serta memberikan kepastian pengobatan sering membuat pasien dengan keluhan psikosomatik menjadi lebih baik. Keluhan yang juga sering disebut Medically Unexplained Physical Symptoms (MUPS) sebenarnya merujuk pada suatu kondisi gangguan kejiwaan yang tergabung dalam golongan besar gangguan somatoform Gangguan somatoform yang paling sering ditemui dalam praktik klinik adalah gangguan somatisasi dan hipokondriasis.

DSM
DSM (Diagnostic and statistical manual of mental disorder). Merupakan pengembangan dan perluasan darimodel penggolongan Emil Kraepelin. Diperkenalkan pertama kali pada tahun 1952 dan versi terakhir pada tahun 2000, DSM IVTR (Text Revision).

Ciri-ciri DSM
Menggunakan kriteria diagnostic yang spesifik mendeskripsikan ciri-ciri esensial (kriteria yang harus ada) dan ciri-ciri asosiatif (kriteria yang sering diasosiasikan dengan gangguan tapi tidak esensial). Pola perilaku abnormal yang memiliki ciri-ciri klinis yang sama dikelompokkan menjadi satu. Sistem bersifat multiaksis menggunakan sistem yang multidimensional sehingga memiliki jangkauan informasi yang luas tentang keberfungsian individu. I. Gangguan klinis dan kindisi lain yang mungkin menjadi fokus perhatian. II. Gangguan kepribadian dan Retardasi Mental III. Kondisi medis umum IV. Problem psikososial dan lingkungan V. Assessment fungsi secara global

Pendekatan Multiaksial
Aksis I: Gangguan klinis: pola perilaku abnormal (gangguan mental) yang meenyebabkan hendaya fungsi dan perasaan tertekan pada individu. Kondisi lain yang mungkin menjadi focus perhatian: masalah lain yang menjadi focus diagnosis atau pandangan tapi bukan gangguan mental, seperti problem akademik, pekerjaan atau social, factor psikologi yang mempengaruhi kondisi medis. Aksis II: Gangguan kepribadian: mencakup poa perilaku maladaptive yang sangat kaku dan betahan, biasanya merusak hubunganantar pribadi dan adaptasi social. Retardasi Mental Seseorang bias memenuhi aksis I atau II, atau memenuhi kedua aksis.

Pendekatan Multiaksial
Aksis III: Kondisi medis umum dan kondisi medis yang mugkin penting bagi pemahaman atau penyembuhan atau penanganan gangguan mental individu. Meliputi kondisi klinis yang diduga menjadi penyebab atau bukan penyebab gangguan yang dialami individu. Aksis IV: Problem psikososial dan lingkungan. Mencakup peristiwa hidup yang negative maupun positif; kondisi lingkungan dan social yang tidak menguntungkan, dll Aksis V: Assessment fungsi secara global. Mencakup assessment menyeluruh tentangfungsi psikologis social dan pekerjaan klien. Digunakan juga untuk mengindikasikan taraf keberfungsian tertinggi yang mungkin dicapai selama beberapa bulan pada tahun sebeelumnya.

Apakah Pasien Buta ?


Kebutaan didefinisikan sebagai ketajaman penglihatan sentral 20/200 atau kurang atau diameter lapangan pandang paling lebar dengan sudut tidak lebih dari 20 derajat. Definisi fungsional lainnya adalah berkurangnya penglihatan sehingga seseorang tidak mampu mandiri dan ketergantungan.

Apakah Pasien Buta ?


Kategori gangguan penglihatan menurut WHO

Apakah Pasien Buta ?


Pemeriksaan yang digunakan untuk menegakkan kebutaan adalah: Pemeriksaan visus Pemeriksaan Lapangan Pandang

Apakah Pasien Malingering ?


Untuk Kasus Kebutaan Lakukan: Sikap pasien Refleks Pupil Menace reflex Schmidt-Rimpler test Tes Tanda Tangan Nystagmus test Uji Cermin Tes nystagmus dengan rotasi kepala : Electroencephalogram

Dasar Pemeriksaan Psikiatri


Pemeriksaan psikiatri terdiri dari dua bagian. Yang pertama, bagian riwayat (contohnya riwayat psikiatri, medis, keluarga), yang mencakup deskripsi pasien tentang bagaimana gejala episode kini terjadi, pengkajian episode dan terapi sebelumnya, deskripsi mengenai kondisi medis saat ini dan dahulu, rangkuman masalah psikiatri serta terapi anggota keluarga, dan riwayat pribadi pasien, yang mengungkapkan fungsi interpersonal dan adaptasinya dari waktu ke waktu. Bagian kedua pemeriksaan psikiatri, pemeriksaan status mental, secara sistematis mengkaji fungsi kognitif dan emosi pasien saat wawancara dilakukan. Informasi riwayat diperoleh dari pasien tetapi dapat didukung informasi tambahan dari anggota keluarga, dinas sosial rujukan, dokter yang sebelumnya menangani, serta rekam medis lama.

Riwayat Psikiatri
Riwayat psikiatri adalah catatan mengenai kehidupan pasien; catatan ini memungkinkan seorang psikiater memahami siapa diri pasien, dari mana ia berasal, dan ke arah mana kecenderungan pasien di masa depan. Riwayat juga mencantumkan informasi mengenai pasien yang diperoleh dari sumber lain, seperti orang tua atau, bila perlu, pasangannya. Riwayat psikiatri memberikan pemahaman mengenai sifat hubungan dengan orang terdekat pasien dan mencakup semua orang yang penting dalam hidupnya Teknik terpenting untuk memperoleh riwayat psikiatri adalah dengan membiarkan pasien menceritakan kisahnya dengan katakata mereka sendiri dalam urutan yang mereka rasa paling penting.

Riwayat Psikiatri
1. Data identitas 2. Keluhan utama 3. Riwayat penyakit sekarang Awitan Faktor pencetus 4. Riwayat penyakit dahulu Psikiatri Medis Riwayat penggunaan alkohol dan zat lain 5. Riwayat keluarga 6. Riwayat pribadi (anamnesis) a. Pranatal dan perinatal b. Masa kanak-kanak awal (sampai usia 3 tahun) c. Masa kanak-kanak pertengahan (usia 3-11) d. Masa kanak-kanak akhir (pubertas hingga remaja) e. Masa dewasa Riwayat pekerjaan Riwayat hubungan dan perkawinan Riwayat militer Riwayat pendidikan Agama Aktivitas sosial Situasi kehidupan terkini Riwayat pelanggaran hukum Riwayat seksual Mimpi dan fantasi Nilai-nilai

Pemeriksaan Status Mental


Pemeriksaan status mental merupakan bagian dari pengkajian klinis yang mendeskripsikan keseluruhan observasi yang dilakukan oleh pemeriksa dan kesan yang didapatkan dari pasien psikiatri saat dilakukan wawancara. Status mental pasien dapat berubah setiap hari atau setiap jam Pemeriksaan status mental adalah gambaran penampilan pasien, cara bicara, tindakan, dan pikiran selama wawancara.

Pemeriksaan Status Mental


1. Penampilan 2. Gaya bicara 3. Mood Subjektif Objektif 4. Pikiran Bentuk Isi Persepsi 5. Sensorium Kewaspadaan Orientasi (orang, tempat, waktu) Konsentrasi Ingatan (segera, jangka pendek, jangka panjang) Kemampuan berhitung Dasar pengetahuan Penalaran abstrak 6. Tilikan 7. Penilaian

Stres
Stres menurut Maramis (1999) adalah segala masalah atau tuntutan penyesuaian diri, dan karena itu, stres dapat mengganggu keseimbangan kita. Stres tidak terlepas darimana datangnya dan apa saja sumbernya. Sumber stres atau yang disebut stresor adalah suatu keadaan, situasi objek atau individu yang dapat menimbulkan stres Stres psikososial adalah stres yang dipicu oleh hubungan relasi dengan orang kain disekitarnya atau akibat situasi sosial lainnya, seperti stress adaptasi dengan lingkungan baru, dan masalah cinta, keluarga, serta stress macet dijalan raya, ataupun diejek orang lain dan sebagainya

Stres
Stuart ( 2006 ) menyebutkan faktor predisposisi stres ada 3 faktor, diantaranya: Biologi Yang dapat mempengaruhi stres pada lansia yang lihat dari: faktor keturunan, status nutrisi, kesehatan. Psikologi Sedangkan dari psikologi itu sendiri meliputi: kemampuan verbal, pengetahuan moralnya, personal terhadap dirinya sendiri, dorongan / motivasi. Sosial-budaya Sedangkan menurut sosial budaya meliputi: faktor-faktor umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, posisi sosial, latar belakang budaya, agama serta pengetahuan.

Stres
Sementara menurut Stuart (2006), tahapan stres dibagi menjadi tiga yaitu: Stres ringan Adalah stresor yang dihadapi seseorang secara teratur, kemacetan lalu lintas, kritikan dari orang lain. Situasi ini biasanya berlangsung beberapa menit atau jam. Stres sedang Berlangsung lebih lama dari beberapa jam sampai beberapa hari, seperti perselisihan dengan teman. Stres berat Adalah situasi kronis yang dapat berlangsung beberapa minggu sampai beberapa tahun, seperti perselisihan perkawanan terus menerus, penyakit fisik jangka panjang.

Mekanisme Koping
Menurut Stuart (2006) adalah tiap upaya yang diarahkan pada penatalaksanaan stres, termasuk upaya penyelesaian masalah langsung dan mekanisme pertahanan ego yang digunakan untuk melindungi diri. Sumber sumber koping terdiri dari aset ekonomi, kemampuan dan bakat, tehnik pertahanan, dukungan sosial, dan motivasi. Sumber koping lainnya adalah keseimbangan energi, dukungan spiritual, keyakinan positif, pemecahan masalah, kemampuan sosial, kesehatan fisik, sumber materi dan sosial

Mekanisme Koping
Stuart (2006) menyatakan bahwa dalam menghadapi stressor ada 3 macam jenis koping, Koping yang berpusat pada emosi (Emotional focus coping mechanisme) Koping yang berpusat pada masalah (Problem focused coping Mechanisme) Koping yang berpusat pada kognitif (Cognitively focused coping mechanisme).

Peran Dokter Dalam Kasus Kejiwaan


Dalam profesi kedokteran, komunikasi dokter-pasien merupakan salah satu kompetensi yang harus dikuasai dokter. Kompetensi komunikasi menentukan keberhasilan dalam membantu penyelesaian masalah kesehatan pasien. Perlu dibangun hubungan saling percaya yang dilandasi keterbukaan, kejujuran dan pengertian akan kebutuhan, harapan, maupun kepentingan masing-masing. Dengan terbangunnya hubungan saling percaya, pasien akan memberikan keterangan yang benar dan lengkap sehingga dapat membantu dokter dalam mendiagnosis penyakit pasien secara baik dan memberi obat yang tepat bagi pasien Komunikasi efektif mampu mempengaruhi emosi pasien dalam pengambilan keputusan tentang rencana tindakan selanjutnya, sedangkan komunikasi tidak efektif akan mengundang masalah

Gangguan Konversi
Gangguan konversi dicirikan oleh suatu perubahan besar dalam fungsi fisik atau hilangnya fungsi fisik, meski tidak ada temuan medis yang dapat ditemukan sebagai penyebab simtom atau kemunduran fisik tersebut. Simtom-simtom tersebut tidaklah dibuat secara sengaja. Gangguan konversi dinamakan demikian karena adanya keyakinan psikodinamika bahwa gangguan tersebut mencerminkan penyaluran, atau konversi, dari energi seksual atau agresif yang direpresikan ke simtom fisik.

Gangguan Konversi
Menurut DSM, simtom konversi menyerupai kondisi neurologis atau medis umum yang melibatkan masalah dengan fungsi motorik (gerakan) yang volunter atau fungsi sensoris. Beberapa pola simtom yang klasik melibatkan kelumpuhan, epilepsi, masalah dalam koordinasi, kebutaan dan tunnel vision (hanya bisa melihat apa yang berada tepat di depan mata), kehilangan indera pendengaran dan penciuman, atau kehilangan rasa pada anggota badan (anestesi). Beberapa orang dengan gangguan konversi menunjukkan ketidakpedulian yang mengejutan terhadap simtomsimtom yang muncul, suatu fenomena yang diistilahkan sebagai la belle indifference (ketidakpedulian yang indah).

Gangguan Konversi
Kriteria Diagnosis pada pasien gangguan konversi (Sadock, 2010): Satu atau lebih gejala atau defisit yang mempengaruhi fungsi sensorik atau motorik volunteer yang mengensankan adanya keadaan neurologis atau keadaan medis umum lain. Faktor Psikologis dinilai terkait dengan gejala maupun defisit karena awal atau perburukan gejala atau defisit didahului konflik atau stressor lain Gejala atau defisit ditimbulkan tanpa disengaja atau dibuat-buat (misal malingering)

Gangguan Konversi
Setelah pemeriksaan yang sesuai, gejala atau defisit tidak dapat benar-benar dijelaskan oleh keadaan umum atau oleh efek langsung suatu zat Gejala atau defisit menyebabkan distress yang bermakna secara klinis atau hendaya dalam fungsi sosial, pekerjaan, atau area penting lain, atau memerlukan evaluasi medis. Gejala atau defisit tidak terbatas pada nyeri atau disfungsi seksual, tidak hanya terjadi selama perjalanan gangguan somatisasi, dan sebaiknya tidak disebabkan gangguan jiwa lain.

Diagnosis
Pada kasus ini beberapa poin penting untuk penegakkan diagnosis: Terdapat gangguan penglihatan yang nyata dari pasien yang mengganggu aktivitas pasien Pasien mengalami stressor berat sesaat sebelum mengalami kejadian kebutaan Kebutaan tidak dapat dijelaskan secara medis atau diakibatkan penggunaan zat

Tatalaksana
Hubungan terapeutik antara terapis dengan pasien harus didasari dengan penuh perhatian dan saling percaya Terapi untuk mengatasi stressor misalnya gagasan psikoterapi, mekanisme koping, hypnosis, ansiolitik, dan latihan relaksasi Pemberian treatmen dengan menggunakan pendekatan psikoanalisa untuk pasien konversi adalah berfokus pada pengekspresian emosi dan ingatan yang menyakitkan dan insight bahwa gangguan berkaitan dengan simtom konversi Sementara treatmen dengan pendekatan behavioral berfokus pada mengurangi kecemasan pasien yang berasal dari trauma yang menyebabkan simtom konversi. Terapi behavioral bisa dilakukan dengan metode systematic desensitization dan vivo exposure therapy.

Kesimpulan
Ny. S 38 tahun mendadak kehilangan penglihatan disebabkan oleh gangguan konversi.

Daftar Pustaka

Ali, Muhammad Mulyohadi dkk. 2006. KONSIL KEDOKTERAN INDONESIA. Jakarta; Indonesian Medical Council. American Psychiatric Association. 2004. Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders IV Text Revision. Washington DC: APA. Davidson, C.G., Neale J.M, Kring A.M, 2006, Psikologi Abnormal, (terjemahan : Nurmalasari Fajar) Edisi kesembilan. Jakarta : PT RajaGrafindo Persada Durand, V. M., & Barlow, D. H. 2007. Intisari Psikologi Abnormal. Edisi keempat Jilid 1. Alih Bahasa: Helly Prajitno Soetjipto & Sri Mulyantini Soetjipto. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Fausiah F, Widury J. 2008. Psikologi Abnormal Klinis Dewasa. Jakarta : Universitas Indonesia. Gandhi, Rashmin. (2012). Malingering in Ophtalmology. medscape reference. Jurnal Indonesia Medicine Association, September 2011. Konsep Biopsikososial pada Keluhan Psikosomatik Volume: 61, Nomor: 9. Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana, Jakarta Keliat, B. A, 1998, Proses Keperawatan Kesehatan, Jakarta : EGC Maramis W.F. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Surabaya: Airlangga University Press; 2005. p. 63-9.

Daftar Pustaka
Maslim, R. 2002. Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa Rujukan Ringkas dari PPDGJ III. Jakarta: Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK Unika Atmajaya. Millon, T., Grossman, S., Millon, C., Meagher, S., & Ramnath, R. 2004. Personality Disorders in Modern Life Second Edition. New Jersey: John Wiley & Sons, Inc. Nevid, S. J., Rathus, S. A., & Greene, B. 2003. Psikologi Abnormal. Edisi 5 Jilid 2. Alih bahasa: Tim Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Jakarta: Erlangga Puri, B.K., dkk. (2011). Buku Ajar Psikiatri. Jakarta:EGC. Riordan-Eva P and Whitcher JP. 2007. Oftalmologi Umum Vaughan & Asbury. Edisi 17. EGC: Jakarta. Sadock, Benjamin J. 2010. Kaplan dan Sadock Buku Ajar Psikiatri Klinis Ed. 2. Jakarta: EGC. Stuart, G. W, 2006, Buku Saku Keperawatan Jiwa, Alih Bahasa Hamid. Edisi 3 Jakarta : EGC Sulistiyowati, dkk, 2005, Konsep Dasar Kesehatan Jiwa. Jakarta :EGC Wiramihardja S. A., 2007. Pengantar Psikologi Abnormal. Bandung : PT. Refika Aditama

Anda mungkin juga menyukai