Anda di halaman 1dari 20

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Kelompok lanjut usia adalah kelompok penduduk yang berusia 60 tahun ke atas (Hardywinoto dan Setiabudhi, 1999;8). Pada lanjut usia akan terjadi proses menghilangnya kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri atau mengganti dan mempertahankan fungsi normalnya secara perlahan-lahan sehingga tidak dapat bertahan terhadap infeksi dan memperbaiki kerusakan yang terjadi

(Constantinides, 1994). Karena itu di dalam tubuh akan menumpuk makin banyak distorsi metabolik dan struktural disebut penyakit degeneratif yang menyebabkan lansia akan mengakhiri hidup dengan episode terminal (Darmojo dan Martono, 1999;4). Penggolongan lansia menurut Depkes dikutip dari Azis (1994) menjadi tiga kelompok yakni : 1. Kelompok lansia dini (55 64 tahun), merupakan kelompok yang baru memasuki lansia. 2. Kelompok lansia (65 tahun ke atas). 3. Kelompok lansia resiko tinggi, yaitu lansia yang berusia lebih dari 70 tahun. Usia lanjut adalah suatu kejadian yang pasti akan dialami oleh semua orang yang dikaruniai usia panjang, terjadinya tidak bisa dihindari oleh siapapun. Pada usia lanjut akan terjadi berbagai kemunduran pada organ tubuh. Namun tidak perlu berkecil hati, harus selalu optimis, ceria dan berusaha agar selalu tetap sehat di usia lanjut. Jadi walaupunb usia sudah lanjut, harus tetap menjaga kesehatan. Proses menua manusia mengalami perubahan menuju ketergantungan fisik dan mental. Keluhan yang menyertai proses menua menjadi tanda adanya penyakit, biasanya disertai dengan perasaan cemas, depresi atau mengingkari penyakitnya.

Apalagi penyakit stadium terminal (tinggal menunggu ajal) dalam prediksi secara medis sering diartikan penderita tidak lama lagi meninggal dunia. Keadaan ini menyebabkan lansia mengalami kecemasan menghadapi kematian Terserang penyakit adalah hal yang manusiawi. Setiap orang sakit berusaha memperoleh kesembuhan dengan berbagai cara antara lain dengan meminta pertolongan dokter.Kemajuan IPTEK Kedokteran masa kini memang

berkembang pesat, dan telah berhasil menekan morbiditas maupun mortalitas berbagai penyakit, namun penyakit masih tetap menjadi ancaman hidup dan tetap saja ada orang yang meninggal karena sakit. Dalam menghadapi penyakit gawat atau penyakit terminal seorang tenaga kesehatan dituntut secara profesional mampu menangani kasus-kasus tersebut ; dengan demikian bila saatnya tiba pasien gawat tersebut meninggal dengan tenang dan keluarganya dapat memahami situasi yang dihadapi. Pada akhirnya kematian tidak lagi dianggap sebagai kegagalan upaya pertolongan medik, namun dipandang sebagai stadium akhir pertumbuhan dan perkembangan manusia. Untuk itu, Salah satu kompetensi yang harus dimiliki seorang dokter yaitu kemampuan berkomunikasi dan memberikan informasi serta menjalin hubungan yang serasi dengan pasien maupun keluarganya Komunikasi yang lancar dan rasa empati serta altruisme yang mendalam dapat menolong dan meringankan beban orang sakit agar tidak merasa tegang dan takut. Dalam makalah ini, kami lebih menekankan tentang bagaimana seharusnya seorang perawat menghadapi pasien dengan penyakitpenyakit terminal.

BAB II PEMBAHASAN

A. Hospice 1. Pengertian Perawatan hospis dan home care diberikan oleh tim multi disiplin kesehatan dimana seorang perawat menjadi koordinatornya. Para klien pengidap kanker yang dirawat di hospis atau home care masih tetap menjadi populasi beresiko dimana kebutuhan akan kesehatannya memerlukan perhatian jangka panjang (Ferrel & Dow, 1997). Hospice adalah perawatan pasien terminal (stadium akhir) dimana pengobatan terhadap penyakitnya tidak diperlukan lagi. Perawatan ini bertujuan meringankan penderitaan dan rasa tidak nyaman dari pasien, berlandaskan pada aspek bio-psiko-sosial-spiritual Hospice home care merupakan pelayanan/perawatan pasien kanker terminal (stadium akhir) yang dilakukan di rumah pasien setelah dirawat di rumah sakit dan kembali kerumah. Perawatan akhir hayat/perawatan terminal adalah suatu proses perawatan medis lanjutan yang terencana melalui diskusi yang terstuktur dan didokumentasikan dengan baik, dan proses ini terjalin sejak awal dalam proses perawatan yang umum/biasa. Dikatakan sebagai perawatan medis lanjutan karena penderita biasanya sudah masuk ke tahap yang tidak dapat disembuhkan (incurable). Melalui proses perawatan ini diharapkan penderita dapat meng-identifikasi dan meng-klarifikasi nilai-nilai dan tujuan hidupnya serta upaya kesehatan dan pengobatan yang diinginkannya seandainya kelak ia tidak lagi mampu untuk memutuskan sesuatu bagi dirinya sendiri. Atau, penderita dapat pula menunjuk seseorang yang akan membuat keputusan baginya sekiranya hal itu terjadi.

Dalam perawatan ini, keluarga ikut dilibatkan sehingga dengan demikian diharapkan semua kebingungan dan konflik dikemudian hari dapat dihindari. Proses ini perlu senantiasa dinilai kembali dan di-up date secara reguler karena dalam perjalanannya tujuan perawatan dan prioritasnya sering kali berubah-ubah tergantung pada situasi/kondisi yang dihadapi saat itu. Bila pada awalnya tujuan kuratif dan menghindari kematian merupakan prioritas utama, pada stadium terminal tujuan perawatan beralih ke usaha mempertahankan fungsi, meniadakan penderitaan dan mengoptimalkan kualitas hidup penderita. Dengan demikian diharapkan penderita dapat menghadapi akhir hayatnya secara damai, tenang dan bermartabat ( with dignity). Peralihan ini seharusnya terjadi secara gradual/tidak secara mendadak. Sering kali tujuan perawatan dan prioritas di pihak penderita dan keluarganya tidak sejalan dengan tujuan dan prioritas dokternya. Hal ini perlu dikomunikasikan dengan baik sehingga kedua belah pihak dapat memilih apa yang terbaik bagi penderita. Disini dokter memegang peran kunci karena dialah yang lebih banyak mengetahui tentang perjalanan penyakit yang senantiasa berubah serta alternatif pengobatan yang mungkin diberikan pada penderita untuk mencapai tujuan perawatan tadi serta bagaimana prognosisnya. Karena itu pengkajian secara teratur dan up-dating perlu selalu diusahakan dan dikomunikasikan dengan penderita/ keluarganya. Untuk mencapai tujuan tersebut diatas diperlukan kerjasama dari beberapa ahli yang bekerja bersama dalam sebuah team yang multidisipliner dan bekerja secara interdisipliner sehingga perawatan penderita dapat berjalan secara komprehensif. Kondisi terminal adalah suatu proses yang progresif menuju kematian berjalan melalui suatu tahapan proses penurunan fisik, psikososial dan spiritual bagi individu (Carpenito, 1995). Perawatan terminal dapat dimulai pada minggu-minggu, hari-hari dan jaminan terakhir kehidupan dimana bertujuan:

a. Mempertahankan hidup b. Menurunkan stress c. Meringankan dan mempertahankan kenyamanan selama mungkin (Weisman) Secara umum kematian adalah sebagian proses dari kehidupan yang dialami oleh siapa saja meskipun demikian, hal tersebut tetap saja menimbulkan perasaan nyeri dan takut, tidak hanya pasien akan juga keluarganya bahkan pada mereka yang merawat dan mengurusnya. Penderita yang akan meninggal tidak akan kembali lagi ke tengah keluarga, kenyataan ini sangat berat bagi keluarga yang akan ditinggalkannya Untuk menghindari hal diatas bukan hanya keluarganya saja yang berduka bahkan klien lebih tertekan dengan penyakit yang dideritanya. 2. Tujuan Tiga tujuan utama dari pelayanan hospice home care pada paisen, diantaranya: a. Meringankan pasien dari penderitaannya, baik fisik (misalnya rasa nyeri, mual, muntah, dll), maupun psikis (sedih, marah, khawatir, dll) yang berhubungan dengan penyakitnya. b. Memberikan dukungan moril, spiritual maupun pelatihan praktis dalam hal perawatan pasien bagi keluarga pasien dan perawat. c. Memberikan dukungan moril bagi keluarga pasien selama masa duka cita. 3. Pelayanan Hospice Home Care Hospice care juga merupakan pelayanan medis yang diberikan kepada pasien di rumah sakit, pelayanan yang diberikan adalah pelayanan medis secara menyeluruh dan memberikan dukungan sosial, emosional, spiritual dengan maksud untuk meringankan rasa sakit pada pasien dan keluarga. Tujuan yang ingin dicapai dari hospice care adalah perawatan paliatif (manajeman kenyamanan) bukan hanya dari pelayanan kuratif (terapi) saja. Kelebihan dari layanan hospice care ini dapat diberikan dirumah pasien, hanya saja pasien terkadang lebih memilih untuk melakukkan rawat jalan,

yang mana menawarkan bantuan dan istirahat sebagai pemberian pelayanan dasar. Perawatan hospis dan home care diberikan oleh tim multi disiplin kesehatan dimana seorang perawat menjadi koordinatornya. Para klien yang dirawat di hospis atau home care masih tetap menjadi populasi berresiko dimana kebutuhan akan kesehatannya memerlukan perhatian jangka panjang (Ferrel & Dow, 1997). Perawatan hospis yang dilaksanakan di rumah atau hospice home care adalah pelayanan kesehatan kepada klien yang pada umumnya bersifat paliatif dan berfokus pada kesejahteraan klien. Pendekatan holistik merupakan aspek yang paling penting dalam pelayanan ini dimana tiga komponen individual yang terdiri dari tubuh, jiwa, dan semangat hidup saling mendukung. Oleh karena itu, jika salah satu komponen tubuh terganggu maka akan terjadi ketidak harmonisan pada dua komponen yang lain. Asuhan fisik adalah pelayanan yang diberikan untuk mempertahankan kesejahteraan fisik. Rasa nyeri, status cairan dan nutrisi merupakan dimensi penting dalam asuhan fisik dimana klien pengidap kanker sering mengalami gejala kaheksia, dan xerostomia sebagai akibat ketidak seimbangan status cairan dan nutrisi (Brant, 1998). Asuhan psikososial termasuk pelayanan untuk mempertahankan keseimbangan hubungan dan komunikasi dengan keluarga. Selain itu, terjadinya depresi sebagai manifestasi ketidak seimbangan psikososial termasuk dalam asuhan psikososial. Perawatan di hospis atau home care bertujuan untuk mempertahankan konsep paripurna dan individualistik meliputi perawatan fisiologis, psikologis, sosial, kultural, dan spiritual. Jenis pelayanan ini diharapkan dapat mempertahankan pola hidup klien sebelumnya sehingga dapat

mempertahankan kondisi kualitas hidup klien sesuai dengan harapannya (McMillan & Weitzner,2000). Pengukuran kualitas hidup diukur berdasarkan

kepuasan klien terhadap domain kehidupan meliputi fisik, fungsional, sosial, spiritual, psikologis, dan ekonomi (Cohen et al, 1997).

B. Palliative Care 1. Pengertian Perawatan paliatif adalah perawatan kesehatan terpadu yang bersifat aktif dan menyeluruh, dengan pendekatan multidisiplin yang terintegrasi. Sedangkan Pengobatan paliatif adalah pengobatan yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup penderita seoptimal mungkin dengan kondisi kanker yang dia derita. Umumnya lebih ditujukan untuk mengatasi gejala penyakitnya dan bukan lagi mengatasi penyebabnya. Perawatan paliatif merupakan metode yang ampuh dalam membantu pasien lepas dari penderitaannya, baik nyeri berkepanjangan ataupun keluhan lain. Kondisi ini akan membantu meningkatkan kualitas hidup pasien dan juga keluarganya Perawatan paliatif (palliative care) adalah perawatan kesehatan terpadu yang bersifat aktif dan menyeluruh, dengan pendekatan multi disiplin yang terintegrasi. Perawatan palliative umumnya diberikan pada orang yang mengalami penyakit yang membatasi hidup, atau dengan kata lain penyakit yang tidak respon terhadap penangan kuratifdengan mempertimbangkan keluarga dan budayanya. Pada awalnya, perawatan palliative ini hanya diberikan kepada pasien kanker yang secara medis sudah tidak dapat disembuhkan lagi, tetapi kini diberikan pada semua stadium kanker, bahkan juga pada penderita penyakit-penyakit lain yang mengancam kehidupan seperti HIV/AIDS dan berbagai kelainan yang bersifat kronis. Perawatan paliatif ini bisa mengeksplorasi individu pasien dan keluarganya bagaimana memberikan perhatian khusus terhadap penderita, penanggulangannya serta kesiapan untuk menghadapi kematian.

Perawatan paliatif dititikberatkan pada pengendalian gejala dan keluhan, serta bukan terhadap penyakit utamanya karena penyakit utamanya tidak dapat disembuhkan. Dengan begitu pasien terbebas dari penderitaan akibat keluhan dan bisa menjalani akhir hidupnya dengan nyaman. Pemberian obat pada lansia bersifat palliative care adalah obat tersebut ditunjukan untuk mengurangi rasa sakit yang dirasakan oleh lansia. Fenomena poli fermasi dapat menimbulkan masalah, yaitu adanya interaksi obat dan efek samping obat. Sebagai contoh klien dengan gagal jantung dan edema mungkin diobatai dengan dioksin dan diuretika. Diuretik berfungsi untu mengurangi volume darah dan salah satu efek sampingnya yaitu keracunan digosin. Klien yang sama mungkin mengalami depresi sehingga diobati dengan antidepresan. Dan efek samping inilah yang menyebaban ketidaknyaman lansia. Dan harus diketahui, pengobatan paliatif seperti ini tidak ada batas waktu sampai kapan harus dirawat di rumah sakit, karena hanya mengobati gejala penyakit saja sampai menunggu panggilan Allah. Jangka waktu perawatan bisa sangat lama, dan tentunya memerlukan biaya sangat besar baik untuk ongkos penginapan, obat-obatan, tenaga medis dan paramedis. Selain itu keluarga juga akan sangat repot, karena harus menunggu siang maupun malam, sehingga harus meninggalkan rumah, keluarga dan pekerjaan, mengeluarkan biaya yang tidak sedikit untuk transport dan lain-lain. Memang benar, untuk mengatasi keluhan-keluhan fisik yang dirasakan penderita seperti rasa nyeri, mual-mual, perdarahan, borok, sakit kepala dan lain-lain memerlukan tenaga dokter dan paramedis. Namun keluhan lain seperti rasa sepi, rasa kesendirian, putus asa, rasa takut, cemas, was was, rasa ingin dicintai, rasa ingin disayangi, rasa aman, kebutuhan spiritual, support mental, support sosial, sangat memerlukan dukungan dari keluarga dan lingkungan sekitarnya yang dengan tulus hati mau mendengar, memberikan uluran kasih sayang dan perhatian yang sangat diperlukan penderita mendekati saat-saat terakhirnya.

Sementara Prof Dr I W Suardana, SpTHT(K) menuturkan berbagai keluhan biasanya dirasakan oleh pasien perawatan paliatif ini. Keluhan yang muncul seperti nyeri, gangguan saluran cerna (mual, muntah, diare, konstipasi), gangguan kulit (gatal, kering atau akibat berbaring terlalu lama), kelemahan umum, gangguan respirasi, kelemahan anggota gerak, gangguan saluran kemih dan juga merasa bingung. Perawatan paliatif pasien diajak untuk lebih bisa menerima keadaannya sehingga masih bisa menjalani hidupnya meskipun umurnya tak lama lagi. Karena kebanyakan kualitas hidup pasien dengan penyakit tak bisa disembuhkan akan terus memburuk atau menurun jika harapan pasien tidak sesuai dengan kenyataan yang ada. Tugas dari tim paliatif adalah memodifikasi ekspektasi dari pasien, sehingga jarak antara harapan dan kenyataannya menjadi lebih dekat. Bisa dengan cara membangkitkan spirit untuk hidup, orientasi masa depan, keimanan bahkan tentang seksualitasnya. Harapan selalu ada, tapi sebaiknya tidak memberikan harapan yang palsu karena harapan juga harus disesuaikan dengan hasil pemeriksaan. Untuk itu keluarga merupakan kunci makna hidup dalam perawatan paliatif. Selain mengurangi gejala-gejala yang muncul, perawatan paliatif juga memberikan dukungan dalam hal spiritual dan psikososial. Perawatan ini bisa dimulai saat diagnosis diumumkan sampai akhir hayat dari si pasien. Meski pasien telah meninggal dunia, perawatan paliatif tidak berhenti sampai di situ. Karena relawan paliatif juga akan memberikan dukungan moral kepada keluarga yang berduka. Bagi seorang dokter, butuh empati yang besar dan ketrampilan khusus dalam melakukan Paliatif care. Penyampaian kabar buruk (ketika pasien tidak bisa sembuh dan harus dilakukan paliative care) pun harus ada etikanya. Jangan sampai ketika kita menyampaikan kabar buruk tersebut menimbulkan Stres mendalam bagi pasien maupun keluarganya yang berakibat semakin

cepatnya proses kematian bagi pasien. Terkadang juga tindakan Euthanasia dilakukan jika tindakan Paliatif sudah dilakukan tapi pasien masih sangat menderita. Namun perlu dicatat, Tindakan Euthanasia tidak semudah itu dilakukan. Banyak faktor yang harus dipertimbangkan (permintaan pasien, permintaan keluarga, dasar hukum, adat istiadat setempat, agama dll). Perawatan paliatif bukan hanya dapat dilakukan di rumah sakit saja, namun dapat juga dilakukan di luar rumah sakit yaitu di rumah penderita itu sendiri. Perawatan di rumah penderita sendiri ini disebut juga home care. Home care dapat dilaksanakan dengan standart pengobatan seperti di rumah sakit. Untuk dapat melaksanakan perawatan di rumah ini, perlu kerjasama berbagai pihak yang akan berfungsi sebagai Tim Perawatan Paliatif Rumah, yaitu dokter dan perawat rumah sakit, dokter di wilayah setempat bisa dokter Puskesmas atau dokter keluarga, PKK setempat dan relawan yang ingin membantu dan dibekali pelatihan tertentu sesuai bidang minat yang sesuai baik bidang perawatan, dukungan spiritual maupun dukungan moril. 2. Tujuan palliative care Tujuannya untuk mengurangi penderitaan pasien, memperpanjang umurnya, meningkatkan kualitas hidupnya, juga memberikan support kepada keluarganya. Meski pada akhirnya pasien meninggal, yang terpenting sebelum meninggal dia sudah siap secara psikologis dan spiritual, serta tidak stres menghadapi penyakit yang dideritanya. Jadi, tujuan utama perawatan paliatif bukan untuk menyembuhkan penyakit. Dan yang ditangani bukan hanya penderita, tetapi juga keluarganya. 3. Perkembangan Palliatif Care Tanggal 6 Oktober seluruh masyarakat dunia memperingati World Hospice Palliative Care Day, Hari Perawatan Hospis dan Paliatif Sedunia. Mungkin peringatan ini tidak banyak yang tahu karena memang peringatannya tidak seheboh peringatan Hari AIDS Sedunia atau Hari Tanpa

10

Tembakau Sedunia. Walaupun demikian, tidak mengecilkan arti dari perjuangan mereka yang bergelut dalam bidang perawatan paliatif. Dulu perawatan ini hanya diberikan kepada pasien kanker yang secara medis sudah tidak dapat disembuhkan lagi, tetapi kini diberikan pada semua stadium kanker, bahkan juga pada penderita penyakit-penyakit lain yang mengancam kehidupan seperti HIV/AIDS dan berbagai kelainan yang bersifatkronis. Dari seminar keperawatan 2007 yang berjudul Home Care: Bukti Kemandirian Perawat, meneyebutkan bahwa di negara maju, perawatan khusus bagi mereka yang akan segera meninggal merupakan kolaborasi antara keluarga dan para profesional, dan memberikan layanan medis, psikologis, social dan spiritual. Pengobatan paliatif bermaksud mengurangi nyeri dan mengurangi symptom selain nyeri seperti mual, muntah dan depresi. Perawatan bagi mereka yang akan segera meninggal pertama didirikan di Inggris melalui lokakarya cicely Saunders di RS Khusus St. Christopher, RS khusus tersebut pindah ke AS pada thn 1970an. RS khusus pertama di AS adalah RS New Haven yang kemudian menjadi RS khusus Connecticut. RS tersebut kemudian menyebar ke seluruh Negara. Sedangkan di Indonesia sendiri, perawatan paliatif baru dimulai pada tanggal 19 Februari 1992 di RS Dr. Soetomo (Surabaya), disusul RS Cipto Mangunkusumo (Jakarta), RS Kanker Dharmais (Jakarta), RS Wahidin Sudirohusodo (Makassar), RS Dr. Sardjito (Yogyakarta), dan RS Sanglah (Denpasar) Pelayanan yang diberikan meliputi: Rawat jalan Rawat inap (konsultatif) Rawat rumah, yaitu dengan melakukan kunjungan ke rumah-rumah penderita. Day care, merupakan layanan untuk tindakan medis yang tidak memerlukan rawat inap, seperti perawatan luka, kemoterapi dll. Respite care, merupakan layanan yang bersifat psikologis. Untuk melaksanakan pelayanan yang optimal pada palliative care, dibutuhkan tim yang ideal. Terdiri dari Dokter dan Perawat RS, psikiater. Di Surabaya, tepatnya di RS Dr. Soetomo, perawatan palliative

11

sudah berjalan dengan baik. Sedangkan di Makassar sendiri, hal tersebut belum begitu optimal. Betapa pentingnya perawatan paliatif untuk pasien pasien yang telah memasuki fase terminal dari penyakit yang diderita. Menteri kesehatan sampai perlu menerbitkan sebuah Kepmenker No. 812/Menkes/SK/VII/2007 yang isinya agar setiap rumah sakit menyediakan perawatan paliatif di masing masing rumah sakit untuk meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat. Pelayanan kesehatan yang paripurna tidak hanya yang dilakukan di rumah sakit, tetapi juga meliputi perawatan pra-rumah sakit, selama di rumah sakit, dan purna rumah sakit. Tujuannya mencakup aspek promotif, preventif, kuratif, rehabilitatif, yang tujuan utamanya mempertahankan kemampuan individu untuk mandiri secara optimal selama mungkin. Pada kasus yang oleh tim dokter dinyatakan sulit sembuh atau tidak ada harapan lagi, bahkan mungkin hampir meninggal dunia atau yang dikenal pasien stadium terminal (PST), tentunya dibutuhkan pelayanan yang spesial. Di sinilah perawatan paliatif menjadi aspek penting pada pengobatan, khususnya bidang geriatri (masalah kesehatan pada lansia). Lebih lanjut perawatan paliatif adalah pendekatan yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas kehidupan pasien dan keluarganya menghadapi masalah-masalah yang berhubungan dengan penyakit yang mengancam jiwa, dengan mencegah dan meringankan penderitaan melalui identifikasi awal dan penilaian serta terapi dan masalah lain-fisik, psikososial, dan spiritual. Dalam perawatan paliatif ini membutuhkan tim multidisiplin, kata dokter dari Subbagian Geriatri, Bagian Ilmu Penyakit Dalam, FK UGM/SMF Geriatri RSUP Dr. Sardjito tersebut. Melihat pentingnya peran perawatan paliatif ini, Probosuseno berharap agar setiap rumah sakit (misalnya tipe B) memiliki semacam instalasi perawatan paliatif dan dipakai sebagai salah satu syarat penilaian akreditasi rumah sakit. Sementara itu, di lingkungan fakultas kedokteran, akper, sekolah

12

tinggi keperawatan, SMK kesehatan, psikologi, gizi, dan farmasi juga diberikan materi terkait dengan perawatan paliatif. Dengan demikian, para calon civitas hospitalia mendapatkan paparan dini tentang perawatan paliatif tersebut. Senada dengan itu, dr. Ali Agus Fauzi, PGD Pall Med dari Pusat Pengembangan Paliatif dan Bebas Nyeri RSU Dr. Soetomo-FK Unair Surabaya menjelaskan perawatan paliatif tidak saja untuk menyembuhkan penyakit. Selain penderita, yang ditangani juga pihak keluarga. Beberapa tempat yang memungkinkan untuk dilakukan perawatan paliatif adalah rumah sakit, puskesmas, rumah singgah (panti/hospis), dan rumah pasien. Aplikasi perawatan paliatif di RSU Dr Soetomo meliputi perawatan paliatif rawat jalan (poliklinik), rawat inap, rawat rumah (home care), day care, dan respite care. Tata kerja organisasi perawatan paliatif ini bersifat koodinatif dan melibatkan semua unsur terkait dengan mengedepankan tim kerja yang kuat, membentuk jaringan yang luas, berinovasi tinggi, dan layanan sepenuh hati. Dosen Program Studi Ilmu Keperawatan FK UGM, Christantie Effendy, S.Kp., M.Kes.pada kesempatan tersebut mengangkat persoalan dan kebutuhan pasien kanker di Indonesia dan Belanda. Menurut Christantie, meskipun Indonesia dan Belanda sangat berbeda, pasien kanker pada kedua kelompok ini memiliki masalah fisik yang nyaris sama, dengan kelelahan dan nyeri di urutan atas. Dari semua masalah yang dialami pasien, unmeet needs (kebutuhan yang tidak terpenuhi) di Indonesia lebih tinggi daripada di Belanda. Untuk prevalensi masalah pskikososial dan sosial di Indonesia lebih rendah dibandingkan dengan kelompok penelitian di Belanda. Perbedaan dalam budaya dan juga sistem kesehatan mungkin telah berkontribusi terhadap kondisi ini.

13

4. Variasi Pasien Dari literature, menurut Probosuseno sub.Bag Geriatri bagian Ilmu Penyakit Dalam, menyebutkan bahwapasien-pasien yang mendapat pelayanan perwatan palliative care antara lain: Penderita lansia pasca rawat inap di RS yang masih memerlukan pelayanan, seperti penderita penyakit kronik multipatologi, mis: hipertensi, stroke, diabetes. Kondisi terminal kanker (maligantis). Pada pasien kanker stadium lanjut yang akan berakhir dengan kematian, merupakan kesulitan psikososial yang besar jika mengalami derita seperti nyeri yang tidak tertanggungkan sampai akhir hayatnya. Saat ini pengelolaan nyeri cenderung dirawat di rumah perawatan khusus atau di rumah sendiri dengan pengawasan di RS (home care) karena lebih ekonomis, lebih manusiawidan memberikan lingkungan yang lebih familiar kepada pasien. kondisi demensia, inkontinensia, ulkus dekubitus, ulkus diabetes. kondisi kronik pada lansia penderita dengan gejala fisik yang tidak khas seperti falls (roboh),malnutrisi, tidak mau makan dan nyeri. penderita dengan gejala psikososial seperti depresi, kesepian, cemas. penderita lansia yang tidak dirawat di RS yang memerlukan palayanan atas permintaan keluarga.

5. Prinsip-prinsip dalam Perawatan Palliatif Care Menurut dr. Maria A. Witjaksono, dokter Palliative Care Rumah Sakit Kanker Dharmais, Jakarta, prinsip-prinsip perawatan paliatif adalah sebagai berikut: a. Menghargai setiap kehidupan. b. Menganggap kematian sebagai proses yang normal. c. Tidak mempercepat atau menunda kematian. d. Menghargai keinginan pasien dalam mengambil keputusan. e. Menghilangkan nyeri dan keluhan lain yang menganggu. f. Mengintegrasikan aspek psikologis, sosial, dan spiritual dalam perawatan pasien dan Keluarga.

14

g. Menghindari tindakan medis yang sia-sia. h. Memberikan dukungan yang diperlukan agar pasien tetap aktif sesuai dengan kondisinya sampai akhir hayat. i. Memberikan dukungan kepada keluarga dalam masa duka cita.

6. Peran Perawat dalam Palliatif Care Peranan perawat dalam bagi pasien kronis dan stadium terminal atau pasien yang sedang dalam perawatan palliatif pastilah sangat dibutuhkan. Hampir semua jenis pelayanan kesehatan dapat diberikan, antara lain: Perawatan khusus, seperti pada penderita dekubitus, luka diabetes, inkontinensia, serta demensia. Perawatan umum, yaitu dengan mambantu dan mendorong penderita agar mampu mandiri dalam ADL. Pengobatan, seperti pemberian antibiotik atau obat-obat lain malalui suntikan-suntikan atau infus, pemberian makanan lewat NGT, pasang kateter urine, transfusi darah, pengobatan nyeri karena berbagai sebab, pengobatan simptomatis atau suportif terhadap penderita terminal. Rehabitasi, baik itu rehab fisik pada penderita stroke atau rehab mental dan sosial. Pencegahan, terutama terhadap kecacatan dan hambatan lain akibat sakitnya. Promosi, yang dapat berupa penyuluhan, pendidikan terhadap keluarga penderita. Sebagai perawat, tentu kita dapat membayangkan bagaimana perasaan penderita maupun keluarganya, pada saat mengetahui bahwa penyakit yang diderita sudah tidak mungkin lagi disembuhkan. Ada beberapa sikap yang terjadi dalam menghadapi kondisi cobaan berat seperti ini, bisa berupa penolakan, amarah, konflik batin, depresi, sampai dengan penerimaan atau pasrah akan takdir yang dialaminya. Untuk itu perawatan yang diberikan tidak hanya untuk mengatasi keluhan-keluhan fisik yang dirasakan penderita saja, namun keluhan lain juga perlu menjadi perhatian seperti rasa sepi, rasa kesendirian, putus asa, rasa takut, cemas, was-was, rasa ingin dicintai serta suport.

15

7. Permasalahan dan Solusinya Masalah-masalah yang dapat timbul atau yang sering dihadapi dalam perawatan palliatif, antara lain: Terbatasnya pertolongan yang dapat diberikan.Panggilan kunjungan yang tidak diperlukan Keluarga pasien yang tidak kompak Ketergantungan penderita dan atau keluarga. kolaborasi terhambat, yang terjadi apabila pasien atau keluarga tida jujur, tidak terbuka, tidak terampil malu ataupun minder. Adapun solusinya antara lain: Penyediaan sarana dan prasarana yang cukup dari tim Dibuat program atau rencana penangan sekaligus target yang diharapkan. Pemberian edukasi yang jelas, pembuatan program yang terpadu dan terarah

8. Pandangan Kelompok Tentang Palliatif Care Menurut kami, dalam merawat pasien dengan prognosis buruk atau perawatan pasien dengan penyakit-penyakit terminal haruslah dilakukan dengan cara perawatan yang komprehensif. Maksudnya perawatan yang diberikan tidak hanya berupa pengobatan penyakit atau tindakan kuratif, tetapi juga meliputi penanganan terhadap pasien atau orang sakit dengan sentuhan kemanusiaan. Untuk itu, seorang perawat yang melakukan perawatan palliative haruslah memiliki kemampuan berkomunikasi dan memberikan informasi serta menjalin hubungan yang serasi dengan pasien maupun keluarganya. Adapun pelayanan yang diberikan pada pasien tidak berupa tindakan pengobatan, karena mungkin tidak ada lagi pilihan obat yang efektif, tetapi pelayanannya berupa pamberian asuhan untuk mengurangi rasa sakit, penanganan psikologis atau masalah spiritual. 9. Trend Penerapan Hospice care pada Penyakit Kanker Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi khususnya dalam bidang kesehatan telah menjadikan penyakit kanker tidak lagi merupakan

16

penyakit fatal dan terlambat diobati namun telah menjadi penyakit kronis yang memiliki potensi untuk mengubah pola kehidupan para pengidapnya. Dengan perkembangan ini terjadi penurunan angka kematian yang merupakan hasil dari keberhasilan terapi kanker sehingga dapat memperpanjang hidup klien. Namun demikian, keefektifan terapi ini hanya diukur dari hasil keluaran secara fisik seperti sembuh dari penyakit, kematian, angka kesakitan, dan angka kekambuhan. Oleh karena itu, pada dua dekade terakhir, tim kesehatan telah menyadari bahwa keberhasilan terapi harus dinilai juga dari pengalaman klien baik secara kualitatif maupun kuantitatif (King, et al, 1997). Penurunan angka kematian akibat penyakit kanker dan sifat kronik dari penyakit ini telah menimbulkan kecenderungan banyak klien tidak dirawat di rumahsakit melainkan pada pelayanan hospis atau home care. Perawatan hospis dan home care diberikan oleh tim multi disiplin kesehatan dimana seorang perawat menjadi koordinatornya. Para klien pengidap kanker yang dirawat di hospis atau home care masih tetap menjadi populasi berresiko dimana kebutuhan akan kesehatannya memerlukan perhatian jangka panjang (Ferrel & Dow, 1997). Ironisnya, tidak banyak yang perduli dengan tingkat kualitas hidup mereka yang

menghabiskan sisa hidupnya di hospis atau home care ini (Stetz, 1998). Pada penderita kanker yang tidak mungkin tersembuhkan lagi, perawatan paliatif pada dasarnya adalah upaya untuk mempersiapkan awal kehidupan baru (akhirat) yang berkualitas. Tidak ada bedanya dengan perawatan kandungan yang dilakukan seorang calon ibu, yang sejak awal kehamilannya rutin memeriksakan diri untuk memastikan kesehatannya dan tumbuh kembang calon bayinya, agar dapat melewati proses kelahiran dengan sehat dan selamat, selanjutnya dalam kehidupan barunya sebagai manusia sibayi dapat tumbuh menjadi manusia yang sehat dan berkualitas. Sedang bagi penderita kanker stadium dini, perawatan paliatif merupakan pendamping pengobatan medis. Meningkatnya kualitas kehidupan

17

pasien karena perawatan paliatif diharapkan akan membantu proses penyembuhan kanker secara keseluruhan. Kualitas hidup merupakan masalah yang penting dalam pengalaman para pengidap penyakit kanker yang telah berhasil mengendalikan penyakitnya dan memperpanjang masa hidup yang harus dilaluinya (Ersek, Ferrel, Dow, &Melancon, 1997).Masalah kualitas hidup bagi klien dengan penyakit kanker meliputi efek fisiologis, masalah keluarga dan sosial, pekerjaan atau aktifitas harian serta distres spiritual (Dow, Ferrel, Haberman, & Eaton, 1999). Kualitas hidup juga dilihat dari berbagai aspek dalam tujuh kategoriya itu gejala fisik seperti gejala, dan nyeri; kemampuan fungsional seperti aktifitas; kesejahteraan keluarga; kesejahteraan emosi; kepuasan akan terapi meliputi masalah finansial; seksualitas dan keintiman termasuk citra tubuh; dan fungsisosial (Cella, 1998). Di Indonesia, perawatan di hospis atau home care merupakan hal yang baru bagi klien pengidap kanker. Di Jakarta khususnya, pelayanan hospis telah diberikan pada klien pengidap kanker yang sedang menghadapi fase terminal namun masih menjadi suatu pengalaman yang jauh dari harapan klien itu sendiri. Hal ini terlihat pada kenyataan dimana klien mengeluh minimnya upaya untuk memenuhi harapan mereka. Klien pengidap kanker pada umumnya menaruh harapan yang tinggi terhadap pelayanan kesehatan yang diterimanya dan akan memberikan dampak positif terhadap penyakitnya. Namun, ditemukan jumlah klien yang menaruh harapan tinggi sama besarnya dengan jumlah klien yang menyatakan memiliki harapan yang rendah terhadap pelayanan yang diterimanya. Hal ini menunjukan bahwa kondisi penyakit yang diidap klien tidak memiliki kepastian akan hasil pelayanan yang diterimanya. Hasil penelitian ini tidak sesuai dengan hasil riset temuan John (2001) yang menjelaskan klien

18

penerima terapi radiologik yang bersifat kuratif memiliki harapan tinggi terhadap dampak pelayanan yang diterimanya. Ini menunjukan klien yang mengatakan keberadaan keluarga sangat berpengaruh terhadap kualitas hidupnya memiliki harapan terhadap

pelayanan yang tinggi, sedikit lebih rendah dari pada klien yang memiliki harapan pelayanan yang rendah (49%:51%). Hasil ini menunjukan harapan pelayanan tidak dapat mempertimbangkan keberadaan keluarga sebagai aspek yang mempengaruhi harapan terhadap pelayanan. Ada sebuah data yang menyampaikan kesimpulan dari penelitianya mengenai kualiatas hidup pasien kanker dengan perawatan hospice care menunjukan bahwa persentase kapasitas fungsional responden baik secara fisiologis, psikologis, sosial, maupun spiritual masih rendah yaitu dibawah 50%. Dukungan dan keberadaan keluarga memegang peranan penting dan sangat diperlukan oleh seseorang pengidap kanker dalam menjalani sisa-sisa hidupnya. Klien pengidap kanker menyatakan harapan yang tinggi terhadap pelayanan kesehatan sama besarnya dengan yang menyatakan harapan yang rendah. Harapan klien terhadap model asuhan dan pelayanan kesehatan yang diberikan kepada klien pengidap kanker adalah hospis home care.

19

DAFTAR PUSTAKA

Rasyid, dkk (2008). Paliative Care. Diakses pada tanggal 20 agustus 2013 http://zethlendra.blogspot.com/2008/03/tugas-kelompok-keperawaankomunitas.html NN (2012). SEPUTAR ILMU KEPERAWATAN: TREND DAN ISSUE KEPERAWATAN (HOSPIC CARE). Diakses pada tanggal 20 agustus 2013 http://nendapurnama.blogspot.com/2012/05/normal-0false-false-false-en-us-x-none.html Amalia (2011). Hopice pada lansia. Diakses pada tanggal 20 agustus 2013 http://ameliarina.blogspot.com/2011/03/hospice-pada-lansia.html

20

Anda mungkin juga menyukai