Anda di halaman 1dari 9

impresum SL : SN, 2009. Deskripsi Sumber: Wahana Budaya Indonesia: September 2009 http://www.wahana-budayaindonesia.com/index.php?

option=com_content&view=article&id=305%3Aarsitektur-tradisionalbali&catid=112%3Aarsitektur-tradisional&Itemid=54&lang=id Arsitektur tradisional Bali Subyek 20091551 Arsitektur Tradisional -- Indonesia -- Bali Isi: Tradisi dapat diartikan sebagai kebiasaan yang turun temurun dalam suatu masyarakat yang merupakan kesadaran kolektif dengan sifatnya yang luas, meliputi segala aspek dalam kehidupan. Arsitektur tradisional Bali dapat diartikan sebagai tata ruang dari wadah kehidupan masyarakat Bali yang telah berkembang secara turun-temurun dengan segala aturan-aturan yang diwarisi dari jaman dahulu, sampai pada perkembangan satu wujud dengan ciri-ciri fisik yang terungkap pada rontal Asta Kosala-Kosali, Asta Patali dan lainnya, sampai pada penyesuaianpenyesuaian oleh para undagi yang masih selaras dengan petunjuk-petunjuk dimaksud. Arsitektur tradisional Bali yang kita kenal, mempunyai konsep-konsep dasar yang mempengaruhi tata nilai ruangnya. Konsep dasar tersebut adalah: * Konsep hirarki ruang, Tri Loka atau Tri Angga * Konsep orientasi kosmologi, Nawa Sanga atau Sanga Mandala * Konsep keseimbangan kosmologi, Manik Ring Cucupu * Konsep proporsi dan skala manusia * Konsep court, Open air * Konsep kejujuran bahan bangunan Tri Angga adalah konsep dasar yang erat hubungannya dengan perencanaan arsitektur, yang merupakan asal-usul Tri Hita Kirana. Konsep Tri Angga membagi segala sesuatu menjadi tiga komponen atau zone: * Nista (bawah, kotor, kaki), * Madya (tengah, netral, badan) dan * Utama (atas, murni, kepala) Ada tiga buah sumbu yang digunakan sebagai pedoman penataan bangunan di Bali, sumbusumbu itu antara lain: * Sumbu kosmos Bhur, Bhuwah dan Swah (hidrosfir, litosfir dan atmosfir) * Sumbu ritual kangin-kauh (terbit dan terbenamnya matahari) * Sumbu natural Kaja-Kelod (gunung dan laut) Dari sumbu-sumbu tersebut, masyarakat Bali mengenal konsep orientasi kosmologikal, Nawa

Sanga atau Sanga Mandala. Transformasi fisik dari konsep ini pada perancangan arsitektur, merupakan acuan pada penataan ruang hunian tipikal di Bali Bangunan Hunian Hunian pada masyarakat Bali, ditata menurut konsep Tri Hita Karana. Orientasi yang digunakan menggunakan pedoman-pedoman seperti tersebut diatas. Sudut utara-timur adalah tempat yang suci, digunakan sebagai tempat pemujaan, Pamerajan (sebagai pura keluarga). Sebaliknya sudut barat-selatan merupakan sudut yang terendah dalam tata-nilai rumah, merupakan arah masuk ke hunian. Pada pintu masuk (angkul-angkul) terdapat tembok yang dinamakan aling-aling, yang tidak saja berfungsi sebagai penghalang pandangan ke arah dalam (untuk memberikan privasi), tetapi juga digunakan sebagai penolak pengaruh-pengaruh jahat/jelek. Pada bagian ini terdapat bangunan Jineng (lumbung padi) dan paon (dapur). Berturut-turut terdapat bangunan-bangunan bale tiang sangah, bale sikepat/semanggen dan Umah meten. Tiga bangunan (bale tiang sanga, bale sikepat, bale sekenam) merupakan bangunan terbuka. Ditengah-tengah hunian terdapat natah (court garden) yang merupakan pusat dari hunian. Umah Meten untuk ruang tidur kepala keluarga, atau anak gadis. Umah meten merupakan bangunan mempunyai empat buah dinding, sesuai dengan fungsinya yang memerlukan keamanan tinggi dibandingkan ruang-ruang lain (tempat barang-barang penting & berharga). Hunian tipikal pada masyarakat Bali ini, biasanya mempunyai pembatas yang berupa pagar yang mengelilingi bangunan/ruang-ruang tersebut diatas. Kajian Ruang Luar dan Ruang Dalam Mengamati hunian tradisional Bali, sangat berbeda dengan hunian pada umumnya. Hunian tunggal tradisional Bali terdiri dari beberapa masa yang mengelilingi sebuah ruang terbuka. Gugusan masa tersebut dilingkup oleh sebuah tembok/dinding keliling. Dinding pagar inilah yang membatasi alam yang tak terhingga menjadi suatu ruang yang oleh Yoshinobu Ashihara disebut sebagai ruang luar. Jadi halaman di dalam hunian masyarakat Bali adalah sebuah ruang luar. Konsep pagar keliling dengan masa-masa di dalamnya memperlihatkan adanya kemiripan antara konsep Bali dengan dengan konsep ruang luar di Jepang. Konsep pagar keliling yang tidak terlalu tinggi ini juga sering digunakan dalam usaha untuk "meminjam" unsur alam ke dalam bangunan. Masa-masa seperti Uma meten, bale tiang sanga, bale sikepat, bale sekenam, lumbung dan paon adalah masa bangunan yang karena beratap, mempunyai ruang dalam. Masa-masa tersebut mempunyai 3 unsur kuat pembentuk ruang yaitu elemen lantai, dinding dan atap (pada bale tiang sanga, bale sikepat maupun bale sekenam dinding hanya 2 sisi saja, sedang yang memiliki empat dinding penuh hanyalah uma meten). Keberadaan tatanan uma meten, bale tiang sanga, bale sikepat dan bale sekenam membentuk suatu ruang pengikat yang kuat sekali yang disebut natah. Ruang pengikat ini dengan sendirinya

merupakan ruang luar. Sebagai ruang luar pengikat yang sangat kuat, daerah ini sesuai dengan sifat yang diembannya, sebagai pusat orientasi dan pusat sirkulasi. Pada saat tertentu natah digunakan sebagai ruang tamu sementara, pada saat diadakan upacara adat, dan fungsi natah sebagai ruang luar berubah, karena pada saat itu daerah ini ditutup atap sementara/darurat. Sifat Natah berubah dari "ruang luar" menjadi "ruang dalam" karena hadirnya elemen ketiga (atap) ini. Elemen pembentuk ruang lainnya adalah lantai tentu, dan dinding yang dibentuk oleh ke-empat masa yang mengelilinginya. Secara harafiah elemen dinding yang ada adalah elemen dinding dari bale tiang sanga, bale sikepat dan bale sekenam yang terjauh jaraknya dari pusat natah. Apabila keadaan ini terjadi, maka adalah sangat menarik, karena keempat masa yang mengelilinginya ditambah dengan natah (yang menjadi ruang tamu) akan menjadi sebuah hunian besar dan lengkap seperti hunian yang dijumpai sekarang. Keempatnya ditambah natah akan menjadi suatu "ruang dalam" yang "satu", dengan paon dan lumbung adalah fungsi service dan pamerajan tetap sebagai daerah yang ditinggikan. Daerah pamerajan juga merupakan suatu ruang luar yang kuat, karena hadirnya elemen dinding yang membatasinya. Kajian Ruang Positif dan Ruang Negatif Sebagai satu-satunya jalan masuk menuju ke hunian, angkul-angkul berfungsi sebagai gerbang penerima. Kemudian orang akan dihadapkan pada dinding yang menghalangi pandangan dan dibelokan ke arah sembilan-puluh derajat. Keberadaan dinding ini (aling-aling), dilihat dari posisinya merupakan sebuah penghalang visual, dimana ke-privaci-an terjaga. Hadirnya alingaling ini, menutup bukaan yang disebabkan oleh adanya pintu masuk. Sehingga dilihat dari dalam hunian, tidak ada perembesan dan penembusan ruang. Keberadaan aling-aling ini memperkuat sifat ruang positip yang ditimbulkan oleh adanya dinding keliling yang disebut oleh orang Bali sebagai penyengker. Ruang di dalam penyengker, adalah ruang dimana penghuni beraktifitas. Adanya aktifitas dan kegiatan manusia dalam suatu ruang disebut sebagai ruang positip. Penyengker adalah batas antara ruang positip dan ruang negatip. Dilihat dari kedudukannya dalam nawa-sanga, "natah" berlokasi di daerah madya-ning-madya, suatu daerah yang sangat "manusia". Apalagi kalau dilihat dari fungsinya sebagai pusat orientasi dan pusat sirkulasi, maka natah adalah ruang positip. Pada natah inilah semua aktifitas manusia memusat, seperti apa yang dianalisa Ashihara sebagai suatu centripetal order. Pada daerah pamerajan, daerah ini dikelilingi oleh penyengker (keliling), sehingga daerah ini telah diberi "frame" untuk menjadi sebuah ruang dengan batas-batas lantai dan dinding serta menjadi "ruang-luar" dengan ketidak-hadiran elemen atap di sana.Nilai sebagai ruang positip, adalah adanya kegiatan penghuni melakukan aktifitasnya disana. Pamerajan atau sanggah, adalah bangunan paling awal dibangun, sedang daerah public dan bangunan service (paon, lumbung dan aling-aling) dibangun paling akhir. Proses ini menunjukan suatu pembentukan berulang suatu ruang-positip; dimana ruang positip pertama kali dibuat (Pamerajan atau sanggah), ruang diluarnya adalah ruang-negatip. Kemudian ruang-negatip tersebut diberi "frame" untuk menjadi sebuah ruang-positip baru. Pada ruang positip baru inilah hadir masa-masa uma meten, bale tiang sanga, pengijeng, bale sikepat, bale

sekenam, lumbung, paon dan lain-lain. Kegiatan serta aktifitas manusia terjadi pada ruang positip baru ini. Konsistensi dan Konsekuensi Tidak seperti di beberapa belahan bumi yang lain dimana sebuah bangunan (rumah, tempat ibadah) berada dalam satu atap, di Bali yang disebut sebuah bangunan hunian adalah sebuah halaman yang dikelilingi dinding pembatas pagar dari batu bata dimana didalamnya berisi unitunit atau bagian-bagian bangunan terpisah yang masing-masing mempunyai fungsi sendirisendiri. Sebuah hunian di Bali, sama dengan dibeberapa bagian dunia yang lain mempunyai fungsi-fungsi seperti tempat tidur, tempat bekerja, tempat memasak, tempat menyimpan barang (berharga dan makanan), tempat berkomunikasi, tempat berdoa dan lain-lain. Ruang-ruang, sebagai wadah suatu kegiatan contoh untuk aktivitas tidur, di Bali merupakan sebuah bangunan yang berdiri sendiri.Sedang dilain pihak secara umum sebuah ruang tidur merupakan bagian sebuah bangunan.Ruang tidur adalah bagian dari ruang-dalam atau interior. Uma meten, Bale sikepat, Bale sekenam, Paon merupakan massa bangunan yang berdiri sendiri. Menurut Yoshinobu Ashihara ruang-dalam adalah ruang dibawah atap, sehingga Uma meten dan lain-lain adalah juga ruang-dalam atau interior.Ruang diluar bangunan tersebut (natah) adalah ruang luar, karena kehadirannya yang tanpa atap. Apabila bagian-bagian bangunan Hunian Bali dikaji dengan kaidah-kaidah "Ruang luar-Ruang dalam", terutama juga apabila bagian-bagian hunian Bali dilihat sebagai massa per massa yang berdiri sendiri, maka adalah konsekuensi apabila pusat orientasi sebuah hunian adalah ruang luar (natah) yang juga pusat sirkulasi.Pada kenyataannya ruang ini adalah bagian utama (yang bersifat "manusia") dari hunian Bali. Apabila dikaji dari rumusan suatu hunian, maka natah adalah bagian dari aktifitas utama sebuah hunian yang sudah selayaknya merupakan bagian dari aktivitas ruang-dalam atau interior. Kemudian apabila dikaitkan dengan keberadaan bale sikepat, bale sekenam dan bale tiang sanga yang hanya memiliki dinding dikedua sisinya saja, serta posisi masing-masing dinding yang "membuka" ke arah natah jelaslah terjadi sebuah ruang yang menyatu. Sebuah ruang besar yang menyatukan uma meten disatu sisi dan bale tiang sanga, bale sikepat, bale sekenam serta natah yang layaknya sebuah hunian. Hunian yang sama dengan yang ada pada masa kini, dimana balebale adalah ruang tidur, natah adalah ruang tempat berkumpul yang bisa disebut sebagai ruang keluarga. Apabila dikaitkan lebih jauh, jika kegiatan paon (dapur) bisa disamakan dengan kegiatan memasak dan ruang makan, maka hunian Bali, teryata identik dengan hunian-hunian berbentuk flat pada hunian orang Barat. Kajian terhadap hunian Bali ini, apabila hunian tersebut dipandang sebagai satu kesatuan utuh rumah tinggal, konsekuensinya adalah ruang didalam penyengker (dinding batas) adalah ruangdalam. Bangunan dalam hunian Bali tidak dilihat sebagai massa tetapi harus dilihat sebagai ruang didalam ruang. Apalagi bila dilihat kehadiran dinding-dinding pada bale tiang sanga, bale sikepat maupun sekenam yang "membuka" kearah yang me-enclose ruang, maka keadaan ini memperkuat kehadiran nuansa ruang-dalam atau interior pada hunian tradisional Bali. Dengan kondisi demikian maka penyengker adalah batas antara ruang-dalam dan ruang-luar (jalan desa). Hal ini ternyata memiliki kesamaan dengan pola yang ada di Jepang, yang oleh Ashihara (1970) dinyatakan:

Japanese wooden houses do not directly face the street but surrounded by fences. Since the garden is invisible from the street, it is ruled by the order inside the house in the case of Japanese houses, garden are ruled by interior order, and fences serve as boundaries to separate interior from exterior space. Pada kajian ini terlihat adanya kesamaan sifat halaman sebagai ruang-dalam atau interior pada hunian arsitektur tradisional Bali maupun arsitektur tradisional Jepang. Meskipun pada hunian Bali kesan ruang-dalam lebih terasa dan jelas dibandingkan dengan hunian Jepang. Kajian ini semakin menarik apabila dikaitkan dengan teori Yoshinubo Ashihara diatas; bahwa ruang-luar adalah ruang yang terjadi dengan membatasi alam yang tak terhingga (dengan batas/pagar dll) dan juga ruang-luar adalah ruang dimana elemen ketiga dari ruang (yaitu atap) tidak ada. Dilain pihak ruang-dalam adalah lawan dari ruang-luar (dimana terdapat elemen ruang yang lengkap yaitu alas, dinding dan atap). Maka pada kasus hunian, teori Yoshinobu Ashihara ternyata saling bertentangan. Baik pertentangan antara ruang-luar terhadap ruang-dalam dikaitkan dengan terjadinya maupun keterkaitan dengan elemen alas, dinding dan atap. Pada hunian Jepang, dikatakan oleh Yoshinobu Ashihara dinding pagar adalah batas antara ruang-dalam dan ruang-luar. Pada hunian Bali, penyengker berfungsi sama dengan hal tersebut. Penyengker bisa menghadap alam bebas, tetangga maupun jalan desa. Pada kasus penyengker menghadap jalan desa, kemudian jalan desa menghadap penyengker bangunan yang lain, maka jalan desa adalah ruang luar yang positip. Pada jalan desa terjadi aktivitas dimana masyarakat menggunakan baik untuk kegiatan sehari-hari maupun sarana kegiatan prosesi ritual dan seni. Aktifitas yang memusat ke dalam (centripetal order) ini disebut Yoshinobu Ashihara, ruang positip. Manusia , Arsitektur, dan Alam Semesta Manusia Bali dan alam semesta adalah suatu hal yang tidak dapat dipisahkan, begitu pula dengan arsitekturnya. Manusia Bali tradisional tinggal di sebuah perkampungan yang ditata dengan polapola tertentu mengikuti kaidah-kaidah tertentu yang mengacu pada alam semesta, yaitu kaidah arah angin kaja-kelod, kauh-kangin, dan kaidah Sumbu Utama Gunung Agung yang diyakini sebagai tempat bersemayamnya para dewa dan leluhur suci mereka.

Makrokosmos dan Mikrokosmos Masyarakat Bali sangat percaya bahwa dirinya hidup di dunia membawa misi hidup untuk membuat kebaikan di muka bumi, dan bila kebaikannya diterima oleh Sang Hyang Widi maka dirinya menyatu dengan alam semesta dan meninggalkan dunia yang fana untuk moksa menuju nirwana, alam semesta dan bersatu dengan dewanya untuk selamanya, itulah yang disebut dharma. Namun bila manusia Bali membuat suatu kesalahan maka ketika mati dia akan melakukan reinkarnasi untuk membersihkan dosanya kembali sampai kemudian diterima oleh Tuhannya. Inilah konsep kosmologi Bali yang juga dianut dalam arsitektur Bali yang mendasarkan arsitektur pada harmoni dan keselarasan kehidupan. Kosmologi Bali merupakan suatu hierarki yang membagi hubungan manusia Bali dengan alam semesta dalam urutan seperti sebagai berikut:

1. Bhur, alam semesta, tempat bersemayamnya para dewa. 2. Bwah, alam manusia dan kehidupan keseharian yang penuh dengan godaan duniawi, yang berhubungan dengan materialisme. 3. Swah, alam nista yang menjadi simbolis keberadaan setan dan nafsu yang selalu menggoda manusia untuk berbuat menyimpang dari dharma. Nawa Sanga Nawa Sanga adalah konsep 9 mata angin yang menjadi pedoman bagi kehidupan keseharian masyarakat Bali. Seperti halnya dengan mata angin arah utara-selatan yang disebut kaja-kelod, dan timur-barat yang disebut kangin-kauh. Hal ini sangat penting karena orientasi orang Bali terhadap Gunung Agung dan arah terbit matahari menjadi pedoman bagi perletakan pola perumahan pada umumnya. Utara melambangkan Dewa Wisnu, selatan Dewa Brahma, timur Dewa Iswara, dan barat Dewa Mahadewa.

Metodologi Arsitektur Bali Arsitektur tradisional Bali tidak terlepas dari keberadaan asta kosala-kosali yang memuat tentang aturan-aturan pembuatan rumah atau puri dan aturan tempat pembuatan ibadah atau pura. Dalam asta kosala-kosali disebutkan bahwa aturan-aturan pembuatan sebuah rumah harus mengikuti aturan-aturan anatomi tubuh sang empunya pemilik rumah dengan dibantu sang undagi sebagai pedande atau orang suci yang memunyai kewenangan membantu membangun rumah atau pura. Dalam asta kosala-kosali terdapat ukuran-ukuran atau dimensi yang didasarkan pada ukuran atau dimensi yang didasarkan pada ukuran jari-jari si pemilik rumah yang akan menempati rumah tersebut. Seperti Musti, yaitu ukuran atau dimensi untuk ukuran tangan mengepal dengan ibu jari yang menghadap ke atas. Hasta untuk ukuran sejengkal jarak tangan manusia dewata dari pergelangan tengah tangan sampai ujung jari tengah yang terbuka. Depa untuk ukuran yang dipakai antara dua bentang tangan yang dilentangkan dari kiri ke kanan. Arsitektur dan Status Sosial Arsitektur tradisonal Bali tidak dapat dilepaskan dari kondisi status sosial asyarakatnya. Hal ini terjadi karena masyarakat Bali sangat erat hubungan kekerabatannya terutama pada masyarakat Bali tradisional. Masyarakat Bali sangat menghormati model hierarki kasta yang merupakan sikap hidup mereka sesuai dengan agama yang mereka anut. Dan hal ini berpengaruh pada pola ruang dan arsitektur tradisional Bali. Pembagian kasta sebagai tingkatan hierarki dalam status sosial masyarakat Bali dimulai dari yang paling bawah yaitu Sudra, sebagai masyarakat umum biasa yang kehidupan sehari-harinya bekerja sebagai petani, abdi, pembantu dan pekerjaan-pekerjaan lainnya dalam kemasyarakatan. Masyarakat sudra umumnya hidup sedehana karena mereka tidak memunyai pengetahuan yang cukup dalam ilmu pengetahuan, ilmu dagang, dan ilmu pemerintahan. Kemudian Weisya yaitu orang-orang yang berprofesi sebagai pedagang atau pengusaha.

Masyarakat kelas ini cukup mapan karena usahanya dan pengetahuannya tentang perdagangan dan ilmu hitung, sehingga kehidupannya tercukupi. Satria adalah strata yang cukup terhormat dengan profesi sebagai prajurit kerajaan atau pegawai pemerintahan. Mereka cukup berpendidikan karenanya mereka memunyai cukup ilmu keprajuritan atau pemerintahan, sehingga mereka juga termasuk kaum berpendidikan cukup, atau setidaknya dapat mempelajari tata kenegaraan. Kehidupan kaum satria cukup mapan karena posisinya dalam masyarakat yang cukup terhormat. Kasta yang paling tinggi adalah Brahmana, sebuah penghormatan paling tinggi masyarakat Bali bagi seorang pemimpin agama atau orang yang dianggap mumpuni dalam agama, atau juga yang disebut Pedande. Orang suci yang telah mencapai pencerahan Sang Hyang Widhi sehingga titahnya merupakan wahyu yang dibawa dari Mahadewa. Sistem hierarki ini bahkan tertranformasi dalam sistem pola ruang pada bangunan-bangunan rumah, umum mau pun pura. Seperti istilah jaba untuk bagian paling luar bangunan, kebudian jabajero untuk mendifinisikan bagian ruang antara luar dan dalam, atau ruang tengah. Dan kebudian jero untuk mendiskripsikan ruang bagian paling dalam dari sebuah pola ruang yang dianggap sebagai ruang paling suci atau paling privacy bagi rumah tinggal. Teknik Konstruksi dan Material Sistem konstruksi pada arsitektur tradisional Bali mempertimbangkan konsep yang dinamakan tri angga, yaitu sebuah konsep hierarki dari mulai nista, madya, dan utama. Nista menggambarkan suatu hierarki paling bawah suatu tingkatan, yang biasanya diwujudkan dengan pondasi bangunan atau bagian bawah sebuah bangunan sebagai penyangga bangunan di atasnya, atau dalam tiang kolom. Materialnya dapat terbuat dari batu bata atau batu gunung. Batu bata tersebut tersusun dalam suatu bentuk yang cukup rapi sesuai dengan dimensi ruang yang akan dibuat pada permukaan batu bata atau batu gunung dibuat semacam penghalus sebagai elemen leveling yang rata. Atau plesteran akhir nista juga digambarkan sebagai alam bawah atau alam setan atau nafsu. Madya adalah bagian tengah bangunan yang diwujudkan dalam bangunan dinding, jendela, dan pintu. Madya mengambarkan strata manusia atau alam manusia. Utama adalah simbol dari bangunan bagian atas yang diwujudkan dalam bentuk atap yang diyakini juga sebagai tempat paling suci dalam rumah sehingga juga digambarkan tempat tinggal dewa atau leluhur mereka yang sudah meninggal. Pada bagian atap ini bahan yang digunakan pada arsitektur tradisional adalah atap ijuk dan alang-alang. Sistem konstruksi yang lain adalah sistem kelipatan dari tiang penyangga atau kolom terutama bangunan rumah tinggal atau bangunan umum. Bale sakepat adalah bangunan dengan tiang penyangga berjumlah empat buah, dengan konstruksi tiang kolom yang disatukan dalam satu puncak atap. Jadi tidak terdapat kuda-kuda. Bale sakenam adalah bangunan dengan tiang penyangga berjumlah enam buah dalam deretan 2 x 3 kolom.

Bale tiang sanga adalah sebuah bale (balai: red.) dengan tiang penyangga berjumlah sembilan dan biasanya dalam formasi 3 x 3. Bale sakarolas atau bale gede adalah bale dengan tiang penyangga berjumlah dua belas dan biasanya dengan formasi 3 x 4. Sedangkan wantilan yang jumlah kolomnya berjajar dalam formasi 2 x 8 atau 2 x 12 sehingga bangunan memanjang mengikuti deretan kolomnya.

Hierarki Pola Ruang Rumah Tinggal Rumah tinggal masyarakat Bali sangat unik karena rumah tinggal tidak merupakam satu kesatuan dalam satu atap tetapi terbagi dalam beberapa ruang-ruang yang berdiri sendiri dalam pola ruang yang diatur menurut konsep arah angin dan sumbu Gunung Agung. Hal ini terjadi karena hirarki yang ada menuntut adanya perbedaan strata dalam pengaturan ruang-ruang pada rumah tinggal tersebut. Seperti halnya tempat tidur orang tua dan anak-anak harus terpisah, dan juga hubungan antara dapur dengan tempat pemujaan keluarga. Untuk memahami hierarki penataan ruang tempat tinggal di Bali ini, haruslah dipahami keberadaan sembilan mata angin yang identik dengan arah utara, selatan, timur, dan barat. Bagi mereka arah timur dengan sumbu hadap ke Gunung Agung adalah lokasi utama dalam rumah tinggal, sehingga lokasi tersebut biasa dipakai untuk meletakkan tempat pemujaan atau di Bali disebut pamerajan. Untuk mengetahui pola ruang rumah tradisional Bali maka sebaiknya kita mengenali bagian-bagian ruang pada rumah tinggal tradisional Bali. 1. Angkul-angkul, yaitu entrance yang berfungsi seperti candi bentar pada pura yaitu sebagai gapura jalan masuk. Angkul-angkul biasanya terletak di kauh kelod. 2. Aling-aling, adalah bagian entrance yang berfungsi sebagai pengalih jalan masuk sehingga jalan masuk tidak lurus ke dalam melainkan menyamping. Hal ini dimaksudkan agar pandangan dari luar tidak langsung lurus ke dalam. Aling-aling terletak di kauh kelod. 3. Latar atau halaman tengah sebagai ruang luar. 4. Pamerajan, adalah tempat upacara yang dipakai untuk keluarga. Dan pada perkampungan tradisional biasanya setiap keluarga memunyai pamerajan yang letaknya di kaja kangin pada sembilan petak pola ruang. 5. Umah meten, yaitu ruang yang biasanya dipakai tidur kapala keluarga sehingga posisinya harus cukup terhormat yaitu di kaja. 6. Bale tiang, sanga biasanya digunakan sebagai ruang untuk menerima tamu yang diletakkan di lokasi kauh. 7. Bale sakepat, bale ini biasanya digunakan untuk tempat tidur anak-anak atau anggota keluarga lain yang masih junior. Bale sakepat biasanya terletak di kelod. 8. Bale bangin, biasanya dipakai untuk duduk-duduk membuat benda-benda seni atau merajut pakaian bagi anak dan suaminya. Bale dangin terletak di lokasi kangin. 9. Paon, yaitu tempat memasak bagi keluarga, posisinya berada pada kangin kelod. 10. Lumbung, sebagai tempat untuk menyimpan hasil panen, berupa padi, dan hasil kebun lainnya.

Kesimpulan Arsitektur tradisional Bali merupakan produk tatanan budaya dan tradisi masyarakat Bali yang sudah ada diyakini sejak kepindahan masyarakat Hindu Majapahit akibat desakan budaya Islam Kerajaan Demak. Pengaruh agama hindu yang menghormati semesta alam dan lingkungan membawa tradisi dan penghormatan pada arsitektur tradisional di mana material alam merupakan zat hidup yang harus diperlakukan dengan baik dan penuh penghormatan. Upacara untuk mengawali pemakaian material untuk membangun dan budaya keseimbangan antara arsitektur dengan alam sekitarnya merupakan tradisi kearifan yang akhirnya membawa arsitektur tradisional Bali bertahan hingga ratusan tahun, dan bersinergi dengan alam lingkungannya sehingga jarang didengar adanya bencana alam di Bali yang berhubungan dengan kesalahan tata ruang dan penataan arsitektur seperti yang sering kita jumpai di kota-kota besar mau pun di pedesaan di daerah lainnya di Indonesia, yang terjadi karena pembangunan yang memaksa daya dukung lahan dan alam lingkungan. Semoga kita dapat belajar dari kearifan tata laku dan budaya masyarakat Bali dalam membangun dan menata arsitektur dan lingkungannya. Kepustakaan Budihardjo, Eko. 1986. Architecture Conservation in Bali. Yogyakarta:Gadjah Mada University. Covvarubbias, Miguel. 1937. The Island of Bali. London: Oxford University Press. Eisemen, Fred. 1999. Bali Skala and Niskala. Hongkong: Periplus. Sweellengrebel, J.L.1947. Een Vorstenwijding of Bali. Leiden.

Anda mungkin juga menyukai