Anda di halaman 1dari 10

ANGKUL – ANGKUL

ATAU
GERBANG RUMAH ADAT BALI

1. Pengertian Angkul –Angkul


Angkul-angkul atau sering juga disebut Pamedal/Kori yang merupakan salah
satu bentuk pamesuan (pintu keluar dari pekarangan), pintu masuk utama ke
pekarangan rumah adat Bali dengan berbagai ukiran dan ornamen khas bali di bagian
atas maupun samping kiri-kanan, juga sebagai salah satu wujud arsitektur tradisional
Bali yang telah berkembang dengan pesat baik yang terjadi pada fungsi, estetika
(bentuk dan langgam) serta struktur. Angkul-angkul rumah adat bali selain sebagai
kesan pertama saat memasuki rumah keluarga hindu bali, juga merupakan struktur
bangunan bali yang memiliki nilai magis. Angkul-angkul juga akan melengkapi
konsep tri hitakarana yang diusung masyarakat hindu dalam penerapannya pada
bangunan tempat tinggal.
Penempatan Angkul-angkul atau pintu halaman akan menentukan kehidupan
rumah tangga, maka dari itu sastra wajib diikuti seperti yang tersirat dalam astha bumi
dan astha kosala-kosali, sesuai dengan posisinya masing-masing. Memiliki lebih dari
1 (satu) pintu rumah dan atau angkul-angkul sangat tidak direkomendasikan dalam
sastra, karena akan berakibat boros, terjadinya perselingkuhan, kehilangan dan sakit-
sakitan
2. Makna dan Fungsi Angkul – Angkul
Angkul-angkul adalah salah satu dari beberapa bentuk pamesuan di Bali, yang
merupakan satu unit umah atau pintu pekarangan untuk unit bangunan rumah tinggal
tradisional Bali. Bentuk masa bangunan adalah pasangan masif dengan lubang masuk
beratap. Atap Angkul-angkul (kori) bisa merupakan pasangan lanjutan dari bagian
badan, dapat pula merupakan konstruksi rangka penutup atap serupa dengan atap
bangunan rumah. Dalam bentuknya yang tradisional, lengkap dengan anak tangga,
baik anak tangga naik maupun turun.
Angkul-angkul yang berawal dengan dimensi lubang yang tingginya
apanyujuh (tangan direntangkan ke atas) dan lebar kori apajengking (tangan
bercekak pinggang, ± 50-80cm) merupakan pintu pekarangan rumah yang juga pada
awalnya tidak dipersiapkan untuk dilalui hewan peliharaan (seperti sapi) dan
kendaraan pada jaman itu (seperti dokar atau delman). Dalam perkembangannya,
dengan adanya sepeda motor keluar masuk kori, tangga-tangga dilengkapi dengan
lintasan roda atau anak tangga dihilangkan. Dengan adanya lintasan kendaraan, lebar
lobang kori disesuaikan dengan apa yang melintasinya.
Dalam variasinya angkul-angkul dibangun dengan berbagai kemungkinan
untuk keindahan sesuai dengan fungsinya yaitu sama –sama sebagai pintu masuk,
untuk kori yang tergolong utama di perumahan, kori dipergunakan sebagai pintu
formal untuk upacara-upacara resmi, sedangkan sebagai pintu sehari-hari dibangun
pintu harian disamping pintu utama yang disebut "betelan" atau "peletasan".

Gambar Angkul - angkul dengan Peletasan


Untuk pekarangan yang luas atau perumahan utama atau madia juga dibangun
kori untuk pintu betelan ke arah samping atau belakang. Letak kori pada bagian
tertentu disisi pekarangan menghadap ke jalan depan rumah. Sedangkan pada tempat-
tempat yang diagungkan seperti Pura, kori umumnya bergandengan dengan tembok
penyengker dengan 4 paduraksa pada keempat sudutnya.
Dengan lubang angkul-angkul yang relatif sempit maka sebagai wujud
fisiknya, bangunan ini memiliki makna simbolik sebagai berikut :
a. Makna tata karma
Dengan lebar pintu hanya apajengking (± 50-80cm) memperlihatkan
suatu usaha untuk menutupi sesuatu yang ada di dalam. Andaikata terlihat,
maka diusahakan seminimal mungkin. Disini manusia diajak hidup dengan
tata krama agar tidak secara vulgar memperlihatkan miliknya yang dapat
menimbulkan nafsu orang lain untuk ingin memilikinya.
b. Makna keamanan
Terkadang angkul-angkul juga dilengkapi dengan kehadiran apit
lawang di posisi depannya (berjumlah sepasang di sisi kanan dan kiri angkul-
angkul), merupakan simbol penjaga pintu bersenjata yang bertugas menjaga,
mengawasi dan yang mengijinkan tamu masuk menemui penghuni. Biasanya
apit lawang pada angkul-angkul ini berupa patung Duarapala (duara berarti
pintu, pala berarti pundak) dalam wujud kala (raksasa) yang sedang membawa
gada dalam kondisi siap siaga.
c. Makna magic
Penempatan berdasarkan asta kosala kosali dan asta bumi dimana
memiliki perhitungan yang berbeda-beda sesuai dengan arah mata angin, dan
memiliki nilai magic yang dipercaya dapat membawa dampak sesuai dengan
yang diharapkan penghuninya. Angkul-angkul juga merupakan simbol mulut,
dimana saat terbuka korinya merupakan simbol mulut terbuka dan saat kori
tertutup merupakan simbolis mulut tertutup, secara niskala diartikan sebagai
benteng yang tertutup rapat sehingga segala sesuatu gaib tidak bisa memasuki
rumah tersebut.
3. Tipekologi Angkul-Angkul
Angkul-angkul mempunyai tipelogi awal serta tipelogi perkembangan yang
telah mengalami transformasi dari berbagai pengaruh. Beberapa dari sejumlah tipelogi
perkembangan ini mempunyai kemungkinan tidak dapat disebut sebagai salah satu
jenis pamesuan lagi bila perkembangannya tidak dalam batas-batas yang dapat disebut
sebagai kategori pamesuan.
a. Tipekologi Angkul-Angkul Berdasarkan Dimensi
Angkul-angkul sangat besar dipengaruhi oleh status sosial
penghuninya selain kondisi perekonomiannya. Dari hal tersebut akan
melahirkan beragam bentuk angkul-angkul. Eksploitasi desain angkul-angkul
salah satunya dapat dilakukan dengan tipelogi. Berdasarkan dimensinya,
angkul-angkul ini dapat dibedakan atas tipelogi dimensi vertikal dan tipelogi
dimensi horisontal.
Angkul-angkul mempunyai gabag-gabagan atau pintu dengan lebar
lubang atau dimensi horisontal kurang lebih selebar orang mapejengking atau
bertolak pinggang. Mapejengking itu sendiri ada dua jenis yaitu mapejengking
dengan kepalan tangan diletakkan di pinggang atau kepalan tangan bertemu di
depan perut. Selain itu dimensi lebar juga dapat diperoleh dari tiga tapak
ditambah satu tapak ngandang. Lebar lubang pintu yang ± 80cm ini mengajak
orang agar melangkah hati-hati, tertib dan penuh hormat. Sedangkan dari
dimensi vertikal, pintu atau gabag-gabagan angkul-angkul memiliki dimensi
yang berbeda-beda sesuai dengan asta kosala kosali sehingga terdapat
perbedaan antara angkul-angkul yang menghadap ke arah kangin (timur), kauh
(barat), kaja (utara atau ke arah gunung) dan yang ke arah kelod (selatan atau
ke arah laut). Dimensi yang dipergunakan sesuai dengan apa yang diharapkan
oleh penghuni. Tinggi lubang angkul-angkul ini secara garis besarnya adalah
2½ kali lebar lubangnya ditambah dengan pengurip. Penggunaan ukuran ini
biasanya dilakukan dengan hati-hati karena dipercaya membawa dampak baik
atau buruk kepada penghuninya. Selain dimensi tersebut, masyarakat juga
mengenal dimensi vertikal gabag-gabagan yang memiliki tinggi apenyujuh.
b. Tipekologi Angkul-Angkul Berdasarkan Struktur
Berdasarkan strukturnya, pamesuan di Bali terdiri atas dua jenis.
Pertama, pamesuan cecandian yang memiliki struktur masif baik dari bataran
(bagian kaki atau pondasi) hingga ke bagian atapnya. Yang kedua adalah
pamesuan makekerep yang memiliki struktur masif hanya pada bagian bataran
dan pengawak (bagian badan), sedangkan struktur atapnya berupa rangka
dengan penutup atap dari bahan yang disusun berlapis- lapis sehingga rapat
(kerep) dan tidak dapat ditembus air hujan. Sehingga dapat dikatakan bahwa
melihat dari struktur yang dimilikinya maka angkul-angkul termasuk kategori
pamesuan makekerep. Angkul-angkul beratap kakerepang (dari bahan-bahan
yang dirapatkan atau dianyam) dibedakan atas tipelogi struktur atap malimas,
kampyah dan trojogan (grojogan atau gegudangan).
c. Tipekologi Angkul-Angkul Berdasarkan Bahan
Berdasarkan bahannya, angkul-angkul dapat dibedakan atas
tipeloginya dari bahan tanah polpolan, tanah tatalan, batu bata peripihan, batu
paras (sejenis paras Belayu), campuran batu paras dan batu bata, paras batu
(sejenis paras kerobokan) dan paras tombong (batu karang laut). Selain bahan-
bahan tersebut, batu kali yang keras dan kuat juga dipergunakan sebagai
pondasi dan undag yang kini menyerupai ramp (tangga yang memiliki
kemiringan).
Tanah polpolan merupakan bahan bangunan yang terbuat dari tanah.
Dalam pemasangan atau pembentukannya dilakukan dengan cara
menumpuknya selapis demi selapis dalam lapisan yang cukup tebal. Tanah
yang dipergunakan sebagai bahan bangunan ini mengalami proses
pencampuran dengan sekam dan dibusukkan selama kurang lebih tiga hari
sehingga mudah dibentuk dan tidak menimbulkan retak-retak. Tanah polpolan
dalam jangka waktu tertentu akan mengalami pengikisan dan perbaikannya
dilakukannya dengan cara diplester atau dikapur. Sedangkan tanah tatalan
merupakan bahan bangunan dari tanah, yang setelah kering dibentuk menjadi
balok dengan alat perancak. Tanah yang dipergunakan juga mengalami proses
pencampuran dengan sekam dan dibusukkan selama kurang lebih tiga hari.
Bata peripihan merupakan batu bata yang padat, tidak mengandung
batu, berwarna lebih merah serta mudah diukir dibandingkan dengan batu bata
biasa. Batu peripihan mengalami proses pengayakan, dicampurkan dengan abu
(sisa pembakaran) serta dibusukkan selama kurang lebih tiga hari sebelum
dicetak dan dibakar. Bahan lainnya yaitu batu paras yang merupakan batu
padas yang padat, berwarna abu-abu dan mudah diukir, oleh sebab itu sering
pula disebut sebagai paras ukir. Batu padas ini biasanya digali di tebing-tebing
sungai dan dibentuk menjadi balok. Bila batu paras ini banyak mengandung
batu, sering disebut sebagai paras batu.
Sedangkan jika dilihat dari bahan penutup atapnya, angkul-angkul
beratap kakerepang dapat dibedakan atas tipelogi dengan bahan penutup atap
dari klangsah (daun kelapa), sumi (batang padi), ambengan (alang-alang),
genteng, ijuk dan bambu yang dibelah ataupun kelopekan tiing atau kelopak
bambu. Angkul-angkul dengan bahan atap ijuk kadangkala dilengkapi dengan
bubungan atau pemugbug yang dilengkapi dengan dore dari bahan terakota.
Pemakaian bahan bangunan pada angkul-angkul mendapat pengaruh
sangat besar dari kondisi alam dan kepercayaan setempat karena ketentuan
mengenai pemakaian bahan tidak terdapat dalam asta kosala kosali maupun
asta bumi.
d. Tipekologi Angkul-Angkul Berdasarkan Ragam Hias
Ragam hias angkul-angkul terdapat pada bagian kepala, badan dan
kaki angkul-angkul maupun kelengkapannya. Ragam hias yang menghiasi
gidat atau bagian atas dari angkul-angkul, selain teterek dan mas-masan yang
sederhana juga dapat berupa karang boma, karang sae atau juga dapat berupa
bunbunan. Karang boma yang merupakan simbol penjaga keselamatan atau
pelindung terhadap kejahatan, sedangkan karang sae seringkali dipergunakan
untuk puri.
Untuk paumahan atau perumahan seringkali dipergunakan bunbunan
yang merupakan ragam hias yang menggambarkan flora. Sedangkan pada
bagian penutup atap, sering dilengkapi dengan dore, gegodeg, ikut teledu, util,
murda dan bentala.
4. Dewasa ayu membuat Angkul-angkul
Pemilihan dewasa ayu dalam memulai pembangunan Angkul-angkul juga
menti diperhatikan, mengingat akan fungsi magis dari angkul-angkul tersebut. adapun
konsep pemilihan dewasa ayu membangun sebuah angkul-angkul adalah sebagai
berikut:
- Menurut sasih, pada sasih ke-sanga atau caitra.
- menurut sapta wara, adalah pada hari senin, rabu, kamis atau jumat.
- Menurut sanga wara, pada dina yang mengandung tulus atau dadi.
- Menurut penanggal: mulailah bekerja membuat angkul-angkul pada penanggal ke
1, 2, 5, 7, 10, 11, 13
- Dapat juga menggunakan dina yang mengandung “kala ngadeg” tetapi hindari
“karna sula”.
5. Membuat Angkul-angkul
Nyukat tempat pamedal (pintu angkul-angkul) harus ikut konsep “murwa
daksina” yaitu dari timur keselatan (arah jarum jam) karena fungsinya adalah untuk
mencari kehidupan yang lebih baik (nyujur kauripan). Seperti sastra Arjuna Wiwaha,
disaat Sanghyang Indra mengawasi pembangunan oleh Bhagawan Wiswakarma,
“ngukir Manik Swarga”dari awalnya belum “maurip” menjadi “maurip” 7 Widyadari
yang sangat cantik dan ayu yang akan menggoda yoga Sang Arjuna di gunung
Indrakila.
Membuat pintu gerbang atau angkul-angkul mengikuti aturan umum yang
tertuang dalam lontar asta kosala-kosali. Dimana jarak angkul-angkul ke aling-aling
sejauh 7 tampak ngandang atau nuju kala.
Ruang kosong antara batas tembok panyengker dengan bangunan rumah
sejauh 3 tampak ngandang atau nuju guru. Ini merupakan “pemargin niskala” alias
jalan alam gaib.
Untuk membuat angkul-angkul dilakukan dengan mengukur tembok, dimana
pintu akan dibuat. Menghadap kemanapun pintu halaman, pengukuran dimulai dari
ujung tembok disebelah kiri halaman sampai ujung tembok disebelah kanan halaman,
lalu hasil pengukuran dibagi lima atau Sembilan dan setiap bagian dari hasil bagi
tersebut memiliki makna tersendiri yang akan memiliki pengaruh terhadap penghuni
rumahnya.
Bila dibagi Lima, meghadap kemanapun Pintu halaman (angkul-angkul),
memiliki arti yang sama, yaitu
a. Karta : Sentosa
b. Karti : Baik
c. Kala : Buruk
d. Kali : Susah
e. Sangara : Menderita
Berbeda dengan yang dibagi 9 (Sembilan), setiap arah pintu rumah atau
angkul-angkul memiliki makna. Adapun makna angkul-angkul dengan pembagi 9,
diantaranya:
a. Makna pintu menghadap ke timur, nyukat angkul-angkul dimulai dari utara ke
selatan. Adapun maknanya:
- Akasing prih ala,
- Kenabhaktian ala,
- Werdhi guna ayu,
- Danateka ayu,
- Brahma stana ala,
- Danawerdhi ayu,
- Nohan ayu,
- Istri jahat ala,
- Nistayusa ala.
b. Makna pintu menghadap ke Barat, nyukat angkul-angkul dimulai dari sisi
selatan ke utara
- Bhaya agung ala,
- Musuh makweh ala,
- Werdi mas ayu,
- Werdi guna ayu,
- Danawan ala,
- Brahma stana ala,
- Suka manggeng ayu,
- Kapyutangan ala,
- Karogan kala ala.
c. Makna Pintu mengahadap ke selatan, nyukat angkul-angkul dimulai dari sisi
timur ke barat. Adapun maknanya:
- Bhaya agung ala,
- Tan panak ala,
- Sukha megeng ayu,
- Brahma stana ala,
- Dana werdi ayu,
- Sugih bhaya (tan werdi sugih) ala,
- Teka werdi ayu,
- Kapaten ala
- Kageringan ala
d. Makna Pintu menghadap ke utara, nyukat angkul-angkul dimulai dari sisi
barat ke timur. Maknanya:
- Tan panak ala,
- Kawikanan, wijara kler/gering/wicara ala,
- Nohan ayu,
- Kadwan/kadalih ala,
- Brapanganan/danawan ala,
- Brahma stana ala,
- Suka agung ayu,
- Kasyasih/kawisesan/bagia asih ayu,
- Kagengan baya ala.
6. Hiasan Patung pada Angkul-angkul
Awalnya keberadaan patung-patung sebagai simbol tertentu diletakkan
sebagai pendukung arsitektur Pura sebagai simbol penguasa alam niskala (tak kasat
mata). Peletakan patungnya pun disesuiakan dengan fungsi tertentu. Misalnya pada
Pura Dalem dan Pura Prajapati yang lebih dominan penggunaan patungnya adalah
patung dengan karakter seram dan menakutkan. Adapun pada jeroan pura cenderung
menampilkan karakter patung lebih lembut, widyadara, widyadari atupun karakter
dewa.
Perletakan, fungsi dan makna patung terus mengalami perkembangan. Patung
yang biasanya hanya ada di kawasan pura dan puri kini merambah ke tempat tinggal
permukiman masyarakat. Contoh paling mudah dijumpai adalah penempatan patung
pada kanan kiri pintu masuk (angkul- angkul), aling-aling, sampai pintu masuk
merajan atau sanggah.

Gambar Angkul –angkul dengan patung


Pada arsitektur Rumah Tinggal pun tokoh-tokoh seram sebagai penjaga pintu
masuk (Dwarapala) sangat sering dapat dijumpai. Adapula yang mengambil tokoh
parekan dalam pewayangan seperti Merdah dan Tualen atau tokoh manusia sedang
menabuh gambelan, membawa senjata, sampai karakter lucu.
Secara sekala, patung-patung tersebut dapat digunakan sebagai elemen estetis
penata rumah. Selain itu dari segi niskala dapat digunakan sebagai sarana proteksi
dari hal-hal negatif. Angkul-angkul, aling-aling dan patung Dwarapala menjadi
kesatuan fungsi proteksi secara sekala dan niskala.
Sebagaian masyarakat ada yang meletakkan patung Ganesha pada aling-aling.
Patung seperti Ganesha memberikan suatu filsafat lambang kebijaksanaan. Bhatara
Gana sebutan lain beliau, juga ahli dalam tenung. Berdasarkan konsep tersebut
kemudian diwujudkan pada aling-aling dengan harapan apabila ada gangguan negatif
yang masuk, bisa dinetralisir. hanya saja, menurut para panglingsir kebayan,
Peletakan patung Ganesha secara sembarangan di aling-aling biasanya akan
berdampak negatif apabila rumah tersebut belum secara ruting ngelinggihang
balagana melalui caru Rsi Ghana. pendapat ini sudah sering terbukti, dimana banyak
permasalahan keluarga ditimbulkan karena penempatan patung ganesha di Rumah
Tinggal yang tanpa diupacarai.
Patung Nawa Sura & Nawa Sari biasanya diletakkan pada pintu masuk
merajan atau sanggah, tempat sembahyang di rumah. Nawa Sura digambarkan dengan
sosok raksasa dengan senjata berupa kapak atau pedang. Adapun Nawasari
bersenjatakan bunga. Sama halnya pada angkul-angkul (pintu gerbang di rumah).
Kedua patung ini mengapit pintu masuk sebelum menuju area merajan atau sanggah.
Sebelum berkembangnya penggunaan patung-patung oleh masyarakat umum,
masyarakat biasanya menggunakan "kelangsah" (daun kelapa kering) atau "kelabang
mantri" sebagai sarana proteksi dari kekuatan negatif. Ulat-ulatan dari daun kelapa
tersebut diletakkan pada aling-aling.
Kesemua hal tersebut mempunyai nilai dan makna pada kehidupan sebuah
rumah tangga. Jika ditinjau lebih dalam, sebenarnya konsep hidup yang baik telah
diwujudkan para leluhur masyarakat Bali melalui simbol-simbol yang secara fisik
sangat sering kita jumpai. Apabila sebuah keluarga telah berada dalam tatanan
tersebut, tentu dapat melahirkan keharmonisan dalam kehidupan berumah tangga.
Begitu juga halnya dengan keberadaan dan perletakan setiap patung di lingkungan
rumah. Apabila bisa ditarik makna dan nilai filosfisnya dalam kehidupan tentu akan
berdampak positif. Jika hanya dimaknai sebagai komponen pelengkap keindahan
rumah tentu tidak salah pula. Tetapi alangkah baiknya jika setiap penataan yang kita
lakukan diketahui nilai estetis dan filosofisnya sebagai sesuluh (cermin) dalam
kehidupan.

Anda mungkin juga menyukai