Angkul-angkul atau sering juga disebut Pamedal/Kori yang merupakan salah satu bentuk pamesuan (pintu keluar dari pekarangan), pintu masuk utama ke pekarangan rumah adat Bali dengan berbagai ukiran dan ornamen khas bali di bagian atas maupun samping kiri-kanan, juga sebagai salah satu wujud arsitektur tradisional Bali yang telah berkembang dengan pesat baik yang terjadi pada fungsi, estetika (bentuk dan langgam) serta struktur. Angkul-angkul rumah adat bali selain sebagai kesan pertama saat memasuki rumah keluarga hindu bali, juga merupakan struktur bangunan bali yang memiliki nilai magis. Angkul-angkul juga akan melengkapi konsep tri hitakarana yang diusung masyarakat hindu dalam penerapannya pada bangunan tempat tinggal. Penempatan Angkul-angkul atau pintu halaman akan menentukan kehidupan rumah tangga, maka dari itu sastra wajib diikuti seperti yang tersirat dalam astha bumi dan astha kosala-kosali, sesuai dengan posisinya masing-masing. Memiliki lebih dari 1 (satu) pintu rumah dan atau angkul-angkul sangat tidak direkomendasikan dalam sastra, karena akan berakibat boros, terjadinya perselingkuhan, kehilangan dan sakit- sakitan 2. Makna dan Fungsi Angkul – Angkul Angkul-angkul adalah salah satu dari beberapa bentuk pamesuan di Bali, yang merupakan satu unit umah atau pintu pekarangan untuk unit bangunan rumah tinggal tradisional Bali. Bentuk masa bangunan adalah pasangan masif dengan lubang masuk beratap. Atap Angkul-angkul (kori) bisa merupakan pasangan lanjutan dari bagian badan, dapat pula merupakan konstruksi rangka penutup atap serupa dengan atap bangunan rumah. Dalam bentuknya yang tradisional, lengkap dengan anak tangga, baik anak tangga naik maupun turun. Angkul-angkul yang berawal dengan dimensi lubang yang tingginya apanyujuh (tangan direntangkan ke atas) dan lebar kori apajengking (tangan bercekak pinggang, ± 50-80cm) merupakan pintu pekarangan rumah yang juga pada awalnya tidak dipersiapkan untuk dilalui hewan peliharaan (seperti sapi) dan kendaraan pada jaman itu (seperti dokar atau delman). Dalam perkembangannya, dengan adanya sepeda motor keluar masuk kori, tangga-tangga dilengkapi dengan lintasan roda atau anak tangga dihilangkan. Dengan adanya lintasan kendaraan, lebar lobang kori disesuaikan dengan apa yang melintasinya. Dalam variasinya angkul-angkul dibangun dengan berbagai kemungkinan untuk keindahan sesuai dengan fungsinya yaitu sama –sama sebagai pintu masuk, untuk kori yang tergolong utama di perumahan, kori dipergunakan sebagai pintu formal untuk upacara-upacara resmi, sedangkan sebagai pintu sehari-hari dibangun pintu harian disamping pintu utama yang disebut "betelan" atau "peletasan".
Gambar Angkul - angkul dengan Peletasan
Untuk pekarangan yang luas atau perumahan utama atau madia juga dibangun kori untuk pintu betelan ke arah samping atau belakang. Letak kori pada bagian tertentu disisi pekarangan menghadap ke jalan depan rumah. Sedangkan pada tempat- tempat yang diagungkan seperti Pura, kori umumnya bergandengan dengan tembok penyengker dengan 4 paduraksa pada keempat sudutnya. Dengan lubang angkul-angkul yang relatif sempit maka sebagai wujud fisiknya, bangunan ini memiliki makna simbolik sebagai berikut : a. Makna tata karma Dengan lebar pintu hanya apajengking (± 50-80cm) memperlihatkan suatu usaha untuk menutupi sesuatu yang ada di dalam. Andaikata terlihat, maka diusahakan seminimal mungkin. Disini manusia diajak hidup dengan tata krama agar tidak secara vulgar memperlihatkan miliknya yang dapat menimbulkan nafsu orang lain untuk ingin memilikinya. b. Makna keamanan Terkadang angkul-angkul juga dilengkapi dengan kehadiran apit lawang di posisi depannya (berjumlah sepasang di sisi kanan dan kiri angkul- angkul), merupakan simbol penjaga pintu bersenjata yang bertugas menjaga, mengawasi dan yang mengijinkan tamu masuk menemui penghuni. Biasanya apit lawang pada angkul-angkul ini berupa patung Duarapala (duara berarti pintu, pala berarti pundak) dalam wujud kala (raksasa) yang sedang membawa gada dalam kondisi siap siaga. c. Makna magic Penempatan berdasarkan asta kosala kosali dan asta bumi dimana memiliki perhitungan yang berbeda-beda sesuai dengan arah mata angin, dan memiliki nilai magic yang dipercaya dapat membawa dampak sesuai dengan yang diharapkan penghuninya. Angkul-angkul juga merupakan simbol mulut, dimana saat terbuka korinya merupakan simbol mulut terbuka dan saat kori tertutup merupakan simbolis mulut tertutup, secara niskala diartikan sebagai benteng yang tertutup rapat sehingga segala sesuatu gaib tidak bisa memasuki rumah tersebut. 3. Tipekologi Angkul-Angkul Angkul-angkul mempunyai tipelogi awal serta tipelogi perkembangan yang telah mengalami transformasi dari berbagai pengaruh. Beberapa dari sejumlah tipelogi perkembangan ini mempunyai kemungkinan tidak dapat disebut sebagai salah satu jenis pamesuan lagi bila perkembangannya tidak dalam batas-batas yang dapat disebut sebagai kategori pamesuan. a. Tipekologi Angkul-Angkul Berdasarkan Dimensi Angkul-angkul sangat besar dipengaruhi oleh status sosial penghuninya selain kondisi perekonomiannya. Dari hal tersebut akan melahirkan beragam bentuk angkul-angkul. Eksploitasi desain angkul-angkul salah satunya dapat dilakukan dengan tipelogi. Berdasarkan dimensinya, angkul-angkul ini dapat dibedakan atas tipelogi dimensi vertikal dan tipelogi dimensi horisontal. Angkul-angkul mempunyai gabag-gabagan atau pintu dengan lebar lubang atau dimensi horisontal kurang lebih selebar orang mapejengking atau bertolak pinggang. Mapejengking itu sendiri ada dua jenis yaitu mapejengking dengan kepalan tangan diletakkan di pinggang atau kepalan tangan bertemu di depan perut. Selain itu dimensi lebar juga dapat diperoleh dari tiga tapak ditambah satu tapak ngandang. Lebar lubang pintu yang ± 80cm ini mengajak orang agar melangkah hati-hati, tertib dan penuh hormat. Sedangkan dari dimensi vertikal, pintu atau gabag-gabagan angkul-angkul memiliki dimensi yang berbeda-beda sesuai dengan asta kosala kosali sehingga terdapat perbedaan antara angkul-angkul yang menghadap ke arah kangin (timur), kauh (barat), kaja (utara atau ke arah gunung) dan yang ke arah kelod (selatan atau ke arah laut). Dimensi yang dipergunakan sesuai dengan apa yang diharapkan oleh penghuni. Tinggi lubang angkul-angkul ini secara garis besarnya adalah 2½ kali lebar lubangnya ditambah dengan pengurip. Penggunaan ukuran ini biasanya dilakukan dengan hati-hati karena dipercaya membawa dampak baik atau buruk kepada penghuninya. Selain dimensi tersebut, masyarakat juga mengenal dimensi vertikal gabag-gabagan yang memiliki tinggi apenyujuh. b. Tipekologi Angkul-Angkul Berdasarkan Struktur Berdasarkan strukturnya, pamesuan di Bali terdiri atas dua jenis. Pertama, pamesuan cecandian yang memiliki struktur masif baik dari bataran (bagian kaki atau pondasi) hingga ke bagian atapnya. Yang kedua adalah pamesuan makekerep yang memiliki struktur masif hanya pada bagian bataran dan pengawak (bagian badan), sedangkan struktur atapnya berupa rangka dengan penutup atap dari bahan yang disusun berlapis- lapis sehingga rapat (kerep) dan tidak dapat ditembus air hujan. Sehingga dapat dikatakan bahwa melihat dari struktur yang dimilikinya maka angkul-angkul termasuk kategori pamesuan makekerep. Angkul-angkul beratap kakerepang (dari bahan-bahan yang dirapatkan atau dianyam) dibedakan atas tipelogi struktur atap malimas, kampyah dan trojogan (grojogan atau gegudangan). c. Tipekologi Angkul-Angkul Berdasarkan Bahan Berdasarkan bahannya, angkul-angkul dapat dibedakan atas tipeloginya dari bahan tanah polpolan, tanah tatalan, batu bata peripihan, batu paras (sejenis paras Belayu), campuran batu paras dan batu bata, paras batu (sejenis paras kerobokan) dan paras tombong (batu karang laut). Selain bahan- bahan tersebut, batu kali yang keras dan kuat juga dipergunakan sebagai pondasi dan undag yang kini menyerupai ramp (tangga yang memiliki kemiringan). Tanah polpolan merupakan bahan bangunan yang terbuat dari tanah. Dalam pemasangan atau pembentukannya dilakukan dengan cara menumpuknya selapis demi selapis dalam lapisan yang cukup tebal. Tanah yang dipergunakan sebagai bahan bangunan ini mengalami proses pencampuran dengan sekam dan dibusukkan selama kurang lebih tiga hari sehingga mudah dibentuk dan tidak menimbulkan retak-retak. Tanah polpolan dalam jangka waktu tertentu akan mengalami pengikisan dan perbaikannya dilakukannya dengan cara diplester atau dikapur. Sedangkan tanah tatalan merupakan bahan bangunan dari tanah, yang setelah kering dibentuk menjadi balok dengan alat perancak. Tanah yang dipergunakan juga mengalami proses pencampuran dengan sekam dan dibusukkan selama kurang lebih tiga hari. Bata peripihan merupakan batu bata yang padat, tidak mengandung batu, berwarna lebih merah serta mudah diukir dibandingkan dengan batu bata biasa. Batu peripihan mengalami proses pengayakan, dicampurkan dengan abu (sisa pembakaran) serta dibusukkan selama kurang lebih tiga hari sebelum dicetak dan dibakar. Bahan lainnya yaitu batu paras yang merupakan batu padas yang padat, berwarna abu-abu dan mudah diukir, oleh sebab itu sering pula disebut sebagai paras ukir. Batu padas ini biasanya digali di tebing-tebing sungai dan dibentuk menjadi balok. Bila batu paras ini banyak mengandung batu, sering disebut sebagai paras batu. Sedangkan jika dilihat dari bahan penutup atapnya, angkul-angkul beratap kakerepang dapat dibedakan atas tipelogi dengan bahan penutup atap dari klangsah (daun kelapa), sumi (batang padi), ambengan (alang-alang), genteng, ijuk dan bambu yang dibelah ataupun kelopekan tiing atau kelopak bambu. Angkul-angkul dengan bahan atap ijuk kadangkala dilengkapi dengan bubungan atau pemugbug yang dilengkapi dengan dore dari bahan terakota. Pemakaian bahan bangunan pada angkul-angkul mendapat pengaruh sangat besar dari kondisi alam dan kepercayaan setempat karena ketentuan mengenai pemakaian bahan tidak terdapat dalam asta kosala kosali maupun asta bumi. d. Tipekologi Angkul-Angkul Berdasarkan Ragam Hias Ragam hias angkul-angkul terdapat pada bagian kepala, badan dan kaki angkul-angkul maupun kelengkapannya. Ragam hias yang menghiasi gidat atau bagian atas dari angkul-angkul, selain teterek dan mas-masan yang sederhana juga dapat berupa karang boma, karang sae atau juga dapat berupa bunbunan. Karang boma yang merupakan simbol penjaga keselamatan atau pelindung terhadap kejahatan, sedangkan karang sae seringkali dipergunakan untuk puri. Untuk paumahan atau perumahan seringkali dipergunakan bunbunan yang merupakan ragam hias yang menggambarkan flora. Sedangkan pada bagian penutup atap, sering dilengkapi dengan dore, gegodeg, ikut teledu, util, murda dan bentala. 4. Dewasa ayu membuat Angkul-angkul Pemilihan dewasa ayu dalam memulai pembangunan Angkul-angkul juga menti diperhatikan, mengingat akan fungsi magis dari angkul-angkul tersebut. adapun konsep pemilihan dewasa ayu membangun sebuah angkul-angkul adalah sebagai berikut: - Menurut sasih, pada sasih ke-sanga atau caitra. - menurut sapta wara, adalah pada hari senin, rabu, kamis atau jumat. - Menurut sanga wara, pada dina yang mengandung tulus atau dadi. - Menurut penanggal: mulailah bekerja membuat angkul-angkul pada penanggal ke 1, 2, 5, 7, 10, 11, 13 - Dapat juga menggunakan dina yang mengandung “kala ngadeg” tetapi hindari “karna sula”. 5. Membuat Angkul-angkul Nyukat tempat pamedal (pintu angkul-angkul) harus ikut konsep “murwa daksina” yaitu dari timur keselatan (arah jarum jam) karena fungsinya adalah untuk mencari kehidupan yang lebih baik (nyujur kauripan). Seperti sastra Arjuna Wiwaha, disaat Sanghyang Indra mengawasi pembangunan oleh Bhagawan Wiswakarma, “ngukir Manik Swarga”dari awalnya belum “maurip” menjadi “maurip” 7 Widyadari yang sangat cantik dan ayu yang akan menggoda yoga Sang Arjuna di gunung Indrakila. Membuat pintu gerbang atau angkul-angkul mengikuti aturan umum yang tertuang dalam lontar asta kosala-kosali. Dimana jarak angkul-angkul ke aling-aling sejauh 7 tampak ngandang atau nuju kala. Ruang kosong antara batas tembok panyengker dengan bangunan rumah sejauh 3 tampak ngandang atau nuju guru. Ini merupakan “pemargin niskala” alias jalan alam gaib. Untuk membuat angkul-angkul dilakukan dengan mengukur tembok, dimana pintu akan dibuat. Menghadap kemanapun pintu halaman, pengukuran dimulai dari ujung tembok disebelah kiri halaman sampai ujung tembok disebelah kanan halaman, lalu hasil pengukuran dibagi lima atau Sembilan dan setiap bagian dari hasil bagi tersebut memiliki makna tersendiri yang akan memiliki pengaruh terhadap penghuni rumahnya. Bila dibagi Lima, meghadap kemanapun Pintu halaman (angkul-angkul), memiliki arti yang sama, yaitu a. Karta : Sentosa b. Karti : Baik c. Kala : Buruk d. Kali : Susah e. Sangara : Menderita Berbeda dengan yang dibagi 9 (Sembilan), setiap arah pintu rumah atau angkul-angkul memiliki makna. Adapun makna angkul-angkul dengan pembagi 9, diantaranya: a. Makna pintu menghadap ke timur, nyukat angkul-angkul dimulai dari utara ke selatan. Adapun maknanya: - Akasing prih ala, - Kenabhaktian ala, - Werdhi guna ayu, - Danateka ayu, - Brahma stana ala, - Danawerdhi ayu, - Nohan ayu, - Istri jahat ala, - Nistayusa ala. b. Makna pintu menghadap ke Barat, nyukat angkul-angkul dimulai dari sisi selatan ke utara - Bhaya agung ala, - Musuh makweh ala, - Werdi mas ayu, - Werdi guna ayu, - Danawan ala, - Brahma stana ala, - Suka manggeng ayu, - Kapyutangan ala, - Karogan kala ala. c. Makna Pintu mengahadap ke selatan, nyukat angkul-angkul dimulai dari sisi timur ke barat. Adapun maknanya: - Bhaya agung ala, - Tan panak ala, - Sukha megeng ayu, - Brahma stana ala, - Dana werdi ayu, - Sugih bhaya (tan werdi sugih) ala, - Teka werdi ayu, - Kapaten ala - Kageringan ala d. Makna Pintu menghadap ke utara, nyukat angkul-angkul dimulai dari sisi barat ke timur. Maknanya: - Tan panak ala, - Kawikanan, wijara kler/gering/wicara ala, - Nohan ayu, - Kadwan/kadalih ala, - Brapanganan/danawan ala, - Brahma stana ala, - Suka agung ayu, - Kasyasih/kawisesan/bagia asih ayu, - Kagengan baya ala. 6. Hiasan Patung pada Angkul-angkul Awalnya keberadaan patung-patung sebagai simbol tertentu diletakkan sebagai pendukung arsitektur Pura sebagai simbol penguasa alam niskala (tak kasat mata). Peletakan patungnya pun disesuiakan dengan fungsi tertentu. Misalnya pada Pura Dalem dan Pura Prajapati yang lebih dominan penggunaan patungnya adalah patung dengan karakter seram dan menakutkan. Adapun pada jeroan pura cenderung menampilkan karakter patung lebih lembut, widyadara, widyadari atupun karakter dewa. Perletakan, fungsi dan makna patung terus mengalami perkembangan. Patung yang biasanya hanya ada di kawasan pura dan puri kini merambah ke tempat tinggal permukiman masyarakat. Contoh paling mudah dijumpai adalah penempatan patung pada kanan kiri pintu masuk (angkul- angkul), aling-aling, sampai pintu masuk merajan atau sanggah.
Gambar Angkul –angkul dengan patung
Pada arsitektur Rumah Tinggal pun tokoh-tokoh seram sebagai penjaga pintu masuk (Dwarapala) sangat sering dapat dijumpai. Adapula yang mengambil tokoh parekan dalam pewayangan seperti Merdah dan Tualen atau tokoh manusia sedang menabuh gambelan, membawa senjata, sampai karakter lucu. Secara sekala, patung-patung tersebut dapat digunakan sebagai elemen estetis penata rumah. Selain itu dari segi niskala dapat digunakan sebagai sarana proteksi dari hal-hal negatif. Angkul-angkul, aling-aling dan patung Dwarapala menjadi kesatuan fungsi proteksi secara sekala dan niskala. Sebagaian masyarakat ada yang meletakkan patung Ganesha pada aling-aling. Patung seperti Ganesha memberikan suatu filsafat lambang kebijaksanaan. Bhatara Gana sebutan lain beliau, juga ahli dalam tenung. Berdasarkan konsep tersebut kemudian diwujudkan pada aling-aling dengan harapan apabila ada gangguan negatif yang masuk, bisa dinetralisir. hanya saja, menurut para panglingsir kebayan, Peletakan patung Ganesha secara sembarangan di aling-aling biasanya akan berdampak negatif apabila rumah tersebut belum secara ruting ngelinggihang balagana melalui caru Rsi Ghana. pendapat ini sudah sering terbukti, dimana banyak permasalahan keluarga ditimbulkan karena penempatan patung ganesha di Rumah Tinggal yang tanpa diupacarai. Patung Nawa Sura & Nawa Sari biasanya diletakkan pada pintu masuk merajan atau sanggah, tempat sembahyang di rumah. Nawa Sura digambarkan dengan sosok raksasa dengan senjata berupa kapak atau pedang. Adapun Nawasari bersenjatakan bunga. Sama halnya pada angkul-angkul (pintu gerbang di rumah). Kedua patung ini mengapit pintu masuk sebelum menuju area merajan atau sanggah. Sebelum berkembangnya penggunaan patung-patung oleh masyarakat umum, masyarakat biasanya menggunakan "kelangsah" (daun kelapa kering) atau "kelabang mantri" sebagai sarana proteksi dari kekuatan negatif. Ulat-ulatan dari daun kelapa tersebut diletakkan pada aling-aling. Kesemua hal tersebut mempunyai nilai dan makna pada kehidupan sebuah rumah tangga. Jika ditinjau lebih dalam, sebenarnya konsep hidup yang baik telah diwujudkan para leluhur masyarakat Bali melalui simbol-simbol yang secara fisik sangat sering kita jumpai. Apabila sebuah keluarga telah berada dalam tatanan tersebut, tentu dapat melahirkan keharmonisan dalam kehidupan berumah tangga. Begitu juga halnya dengan keberadaan dan perletakan setiap patung di lingkungan rumah. Apabila bisa ditarik makna dan nilai filosfisnya dalam kehidupan tentu akan berdampak positif. Jika hanya dimaknai sebagai komponen pelengkap keindahan rumah tentu tidak salah pula. Tetapi alangkah baiknya jika setiap penataan yang kita lakukan diketahui nilai estetis dan filosofisnya sebagai sesuluh (cermin) dalam kehidupan.