0 penilaian0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
235 tayangan4 halaman
Ringkasan dari dokumen tersebut adalah:
1. Rumah tradisional Bali didasari filosofi keseimbangan antara manusia, alam, dan Tuhan.
2. Angkul-angkul adalah gerbang rumah tradisional Bali dengan berbagai ukiran yang memiliki makna magis, keagamaan, dan tata karma.
3. Bentuk angkul-angkul telah berkembang seiring waktu namun masih mempertahankan beberapa unsur tradisional
Ringkasan dari dokumen tersebut adalah:
1. Rumah tradisional Bali didasari filosofi keseimbangan antara manusia, alam, dan Tuhan.
2. Angkul-angkul adalah gerbang rumah tradisional Bali dengan berbagai ukiran yang memiliki makna magis, keagamaan, dan tata karma.
3. Bentuk angkul-angkul telah berkembang seiring waktu namun masih mempertahankan beberapa unsur tradisional
Ringkasan dari dokumen tersebut adalah:
1. Rumah tradisional Bali didasari filosofi keseimbangan antara manusia, alam, dan Tuhan.
2. Angkul-angkul adalah gerbang rumah tradisional Bali dengan berbagai ukiran yang memiliki makna magis, keagamaan, dan tata karma.
3. Bentuk angkul-angkul telah berkembang seiring waktu namun masih mempertahankan beberapa unsur tradisional
Filosofi yang tersirat dalam bangunan tradisional Bali adalah kedinamisan dalam hidup akan terwujud bila terciptanya hubungan yang harmonis antara aspek pawongan, palemahan, dan parahyangan. Pawongan maksudnya adalah si penghuni rumah. palemahan maksudnya adalah harus tercipta hubungan baik antara penghuni dengan lingkungan. Parahyangan berarti ada hubungannya dengan sang pencipta.
Masyarakat Bali selalu mengawali dan mengakhiri suatu pembangunan dengan
upacara atau ritual. Semua ritual diatas pada intinya bertujuan memberi kharisma pada rumah yang akan didirikan dan untuk menjaga keselarasan hubungan manusia dengan Tuhannya, manusia dengan manusia, & manusia dengan lingkungannya. (Pandy, 2009).
2.2 Pengertian Angkul-Angkul ( Kori )
Angkul-angkul atau Gerbang Rumah Adat Bali Angkul-angkul atau Gerbang Rumah Adat Bali Angkut atau terjangkit pamedal/Kori yang merupakan salah satu bentuk pamesuan (pintu keluar dari pekarangan), pintu masuk ke pekarangan rumah adat Bali dengan berbagai ukiran dan ornamen khas dan dibagian atas dan samping kiri-kanan, juga sebagai salah satu wujud arsitektur tradisional bali yang telah berkembang dengan pesat baik yang terjadi pada fungsi, estetika (bentuk dan ragam) dan struktur angkul-angkul rumah adat bali selain sebagai kesan pertama saat memasuki rumah keluarga hindu bali, juga merupakan struktur bangunan bali yang memiliki nilai magis angkul-angkul juga akan melengkap konsep tri hitakarana yang diusung masyarakat hindu dalam penerapannya pada bangunan tempat tinggal secara alami angkul-angkul rumah tradisional memiliki pintu kwad dan alng aing untuk menghindari sinatasi langsung dan akseslangsung menuju tempat tujuan.
Angkul-angkul adalah salah satu dari beberapa bentuk pamesuan di Bali,
yang merupakan satu unit umah atau pintu pekarangan untuk unit bangunan rumah tinggal tradisional Bali. Bentuk masa bangunan adalah pasangan masif dengan lubang masuk beratap. Atap Angkul angkul (kori) bisa merupakan bagian lanjutan dari bangunan, bisa juga merupakan bangunan dengan atap bangunan. Dalam bentuknya yang tradisional, lengkap dengan anak tangga, baik anak tangga naik maupun turun. Angkul-angkul yang berawal dengan dimensi lubang yang tingginya apanyujuh (tangan di rentangkan ke atas) dan lebar kori apajengking (pintu bercekak pinggang, 50-80cm) pintu yang pekarangan rumah yang juga pada tidak dipersiapkan untuk dilalui hewan peliharaan (seperti sapi dan kendaraan di jaman itu (seperti dokar atau delman). Dalam perkembangannya, dengan adanya motor yang keluar masuk kori, tangga- tangga di lengkapi dengan lintasan roda atau anak tangga di hilangkan. Dengan adanya lintasan kendaraan, maka lebar kori di sesauikan dengan apa yang melintas.
2.3 Makna Angkul-angkul (Kori)
2.3.1 Makna tata karma Dengan lebar pintu hanya apajengking 50 80cm) memperihatkan suatu usaha untuk sesuatu yang ada di dalam. Andaikata terlihat, maka diusahakan seminimal mungkin. Disini manusia diajak hidup dengan tata krama agar tidak ada vulgar memperlihatkan miliknya yang bisa menambah nafsu orang lain untuk ingin memiliki.
2.3.2 Makna Keagamaan
Makna keamanan, kadang angkutangku juga dilengkapi dengan apit lawang di posisi depannya (benumlah di sisi kanan dan kiri angkul-angkul), apakah simbol penjaga pintu yang yang menjaga, mengawasi dan yang menginkan tamu masuk penghuni. Biasanya apitlawang pada angkul-angkul ini berupa Duarapala (duara berarti pintu dan pala berarti pundak) dalam wujud kala (Raksasa) yang sedang membawa gada dalam kondisi siap siaga.
2.3.3 Makna Magic
Penempatan berdasarkan asta kosala-kosali dan asta bumi dimana memiliki perhitungan yang berbeda sesuai dengan arah mata angin, dan emiliki nilai magic yang di percaya membawa dampak sesuai dengan yang di harapkan penghuninya. Angkul-angkul juga merupakan simbol mulut, dimana saat terbuka korinya adalah simbol mulut terbuka dan saat kori tertutup adalah simbolis mulut tertutup, secara niskala diartikan sebagai benteng yang tertutup, secara niskala diartikan sebagai banteng yang rapat sehingga tertutup segala sesuatu gaib tidak bisa memasuki rumah tersebut.
2.4 Perkembangan angku-angkul ( Kori )
Angkul-angkul dengan bentuknya yang masih asli yang masih bisa dilihat di desa-desa Bali Aga seperti di desa Penglipuran (Bangli), desa Trunyan (Kintamani) desa Pinggan (kintamani) dan beberapa desa lainnya. Bentuk asal mula angkul-angkul adalah bentuk yang masih menggunakan konsep Tri Angga dimana bentuknya terbagi menjadi tiga bagian yaitu bagian kepala, badan dan kaki bagian kepala yang atapnya saat ini masih menggunakan bahan sirap (bambu) dan wuk Hal ini akibat desa-desa Bali Aga ini sebagian besar berada didaerah pegunungan yang dingin dan berada tidak jauh dari hutan sehingga bahan-bahannya bisa dengan mudah diambil dari lingkungan sekitarnya
Namun seiring dengan perkembangan teknologi dan ekonomi masyarakat,
kini sering menggunakan atap seng dan genteng meski masih berada di desa yang sama dengan bentuk pertama tadi. Ragam hias pun mulai terihat pada bagan atap ini seperti yang berbentuk ikut teledu. Lalu pada bentuk badan, pertama kali hanya dengan tanah popolan biasa saja, polos tanpa adanya oranamen sedidt pun Lalu dalam perkembangannya, badan angkul-angkul sekarang sering di penuhi dengan ornamen hias sebagai penambah nilai estetik. Bahan yang dipakai pun mulai beragam dengan menggunakan bata maupun paras. Dimensi lubang pada bagian badan ini masih banyak yang memiliki tinggi dan lebar yang hanya bisa dilewati oleh satu orang saja atau dengan kata lain, pada awal hingga kini masih bisa ditemukan angkul-angkul yang memiliki lubang dengan rata- rata lebar 60-100cm dan tinggi 200-250cm. Pada bagian bataran atau kaki angkul-angkul, yang menjadi ciri hasnya disini adalah adanya undagan-undagan (beberapa anak tangga) pada zaman dahulu. Kehadiran tangga pada angkul-angkul ini selain membiasakan penghuninya untuk selalu melangkah hati-hati, sering kali juga dipergunakan sebagai tempat duduk-duduk untuk berbincang atau berteduh karena dahulu orang- orang masih bisa berjalan kaki bila ingin menuju ke tempat dan hal ini di sebabkkan karena tingkat perekonomian masyarakat pada jaman dahulu masih rendah sehingga saat itu mereka belum memiliki kendaraan bermotor. Dalam perkembagnan bentuk pada bagian bataran ini masyarakat sering menambahkan buk pada sisi kanan dan kiri tangga sebaga pengganti tempat duduk-duduk yang semula hanya memanfaatan anak tangga. Dari segi proporsi angkul-angkul dengan bentuk yang masa sederhana ini. Pembangunannya selalu dilandasi dengan segala macam nilai demi kepercayaan, para pemakai angkul-angkal dengan bentuk yang masih sederhana, yang memiliki belakang belakang adat istiadat Bali Aga yang masih sangat mengental pada kehidupan sehari-harinya.