Anda di halaman 1dari 4

BAB II

TINJAUAN TEORI

2.1 Pengertian Rumah Tradisional


Filosofi yang tersirat dalam bangunan tradisional Bali adalah kedinamisan
dalam hidup akan terwujud bila terciptanya hubungan yang harmonis antara aspek
pawongan, palemahan, dan parahyangan. Pawongan maksudnya adalah si penghuni
rumah. palemahan maksudnya adalah harus tercipta hubungan baik antara penghuni
dengan lingkungan. Parahyangan berarti ada hubungannya dengan sang pencipta.

Masyarakat Bali selalu mengawali dan mengakhiri suatu pembangunan dengan


upacara atau ritual. Semua ritual diatas pada intinya bertujuan memberi kharisma
pada rumah yang akan didirikan dan untuk menjaga keselarasan hubungan manusia
dengan Tuhannya, manusia dengan manusia, & manusia dengan lingkungannya.
(Pandy, 2009).

2.2 Pengertian Angkul-Angkul ( Kori )


Angkul-angkul atau Gerbang Rumah Adat Bali Angkul-angkul atau
Gerbang Rumah Adat Bali Angkut atau terjangkit pamedal/Kori yang merupakan
salah satu bentuk pamesuan (pintu keluar dari pekarangan), pintu masuk ke
pekarangan rumah adat Bali dengan berbagai ukiran dan ornamen khas dan
dibagian atas dan samping kiri-kanan, juga sebagai salah satu wujud arsitektur
tradisional bali yang telah berkembang dengan pesat baik yang terjadi pada fungsi,
estetika (bentuk dan ragam) dan struktur angkul-angkul rumah adat bali selain
sebagai kesan pertama saat memasuki rumah keluarga hindu bali, juga merupakan
struktur bangunan bali yang memiliki nilai magis angkul-angkul juga akan
melengkap konsep tri hitakarana yang diusung masyarakat hindu dalam
penerapannya pada bangunan tempat tinggal secara alami angkul-angkul rumah
tradisional memiliki pintu kwad dan alng aing untuk menghindari sinatasi langsung
dan akseslangsung menuju tempat tujuan.

Angkul-angkul adalah salah satu dari beberapa bentuk pamesuan di Bali,


yang merupakan satu unit umah atau pintu pekarangan untuk unit bangunan rumah
tinggal tradisional Bali. Bentuk masa bangunan adalah pasangan masif dengan
lubang masuk beratap. Atap Angkul angkul (kori) bisa merupakan bagian lanjutan
dari bangunan, bisa juga merupakan bangunan dengan atap bangunan. Dalam
bentuknya yang tradisional, lengkap dengan anak tangga, baik anak tangga naik
maupun turun. Angkul-angkul yang berawal dengan dimensi lubang yang tingginya
apanyujuh (tangan di rentangkan ke atas) dan lebar kori apajengking (pintu
bercekak pinggang, 50-80cm) pintu yang pekarangan rumah yang juga pada tidak
dipersiapkan untuk dilalui hewan peliharaan (seperti sapi dan kendaraan di jaman
itu (seperti dokar atau delman). Dalam perkembangannya, dengan adanya motor
yang keluar masuk kori, tangga- tangga di lengkapi dengan lintasan roda atau anak
tangga di hilangkan. Dengan adanya lintasan kendaraan, maka lebar kori di
sesauikan dengan apa yang melintas.

2.3 Makna Angkul-angkul (Kori)


2.3.1 Makna tata karma
Dengan lebar pintu hanya apajengking 50 80cm) memperihatkan suatu
usaha untuk sesuatu yang ada di dalam. Andaikata terlihat, maka diusahakan
seminimal mungkin. Disini manusia diajak hidup dengan tata krama agar tidak ada
vulgar memperlihatkan miliknya yang bisa menambah nafsu orang lain untuk ingin
memiliki.

2.3.2 Makna Keagamaan


Makna keamanan, kadang angkutangku juga dilengkapi dengan apit lawang
di posisi depannya (benumlah di sisi kanan dan kiri angkul-angkul), apakah simbol
penjaga pintu yang yang menjaga, mengawasi dan yang menginkan tamu masuk
penghuni. Biasanya apitlawang pada angkul-angkul ini berupa Duarapala (duara
berarti pintu dan pala berarti pundak) dalam wujud kala (Raksasa) yang sedang
membawa gada dalam kondisi siap siaga.

2.3.3 Makna Magic


Penempatan berdasarkan asta kosala-kosali dan asta bumi dimana memiliki
perhitungan yang berbeda sesuai dengan arah mata angin, dan emiliki nilai magic
yang di percaya membawa dampak sesuai dengan yang di harapkan penghuninya.
Angkul-angkul juga merupakan simbol mulut, dimana saat terbuka korinya adalah
simbol mulut terbuka dan saat kori tertutup adalah simbolis mulut tertutup, secara
niskala diartikan sebagai benteng yang tertutup, secara niskala diartikan sebagai
banteng yang rapat sehingga tertutup segala sesuatu gaib tidak bisa memasuki
rumah tersebut.

2.4 Perkembangan angku-angkul ( Kori )


Angkul-angkul dengan bentuknya yang masih asli yang masih bisa dilihat
di desa-desa Bali Aga seperti di desa Penglipuran (Bangli), desa Trunyan
(Kintamani) desa Pinggan (kintamani) dan beberapa desa lainnya. Bentuk asal mula
angkul-angkul adalah bentuk yang masih menggunakan konsep Tri Angga dimana
bentuknya terbagi menjadi tiga bagian yaitu bagian kepala, badan dan kaki bagian
kepala yang atapnya saat ini masih menggunakan bahan sirap (bambu) dan wuk Hal
ini akibat desa-desa Bali Aga ini sebagian besar berada didaerah pegunungan yang
dingin dan berada tidak jauh dari hutan sehingga bahan-bahannya bisa dengan
mudah diambil dari lingkungan sekitarnya

Namun seiring dengan perkembangan teknologi dan ekonomi masyarakat,


kini sering menggunakan atap seng dan genteng meski masih berada di desa yang
sama dengan bentuk pertama tadi. Ragam hias pun mulai terihat pada bagan atap
ini seperti yang berbentuk ikut teledu. Lalu pada bentuk badan, pertama kali hanya
dengan tanah popolan biasa saja, polos tanpa adanya oranamen sedidt pun Lalu
dalam perkembangannya, badan angkul-angkul sekarang sering di penuhi dengan
ornamen hias sebagai penambah nilai estetik. Bahan yang dipakai pun mulai
beragam dengan menggunakan bata maupun paras. Dimensi lubang pada bagian
badan ini masih banyak yang memiliki tinggi dan lebar yang hanya bisa dilewati
oleh satu orang saja atau dengan kata lain, pada awal hingga kini masih bisa
ditemukan angkul-angkul yang memiliki lubang dengan rata- rata lebar 60-100cm
dan tinggi 200-250cm. Pada bagian bataran atau kaki angkul-angkul, yang menjadi
ciri hasnya disini adalah adanya undagan-undagan (beberapa anak tangga) pada
zaman dahulu. Kehadiran tangga pada angkul-angkul ini selain membiasakan
penghuninya untuk selalu melangkah hati-hati, sering kali juga dipergunakan
sebagai tempat duduk-duduk untuk berbincang atau berteduh karena dahulu orang-
orang masih bisa berjalan kaki bila ingin menuju ke tempat dan hal ini di sebabkkan
karena tingkat perekonomian masyarakat pada jaman dahulu masih rendah
sehingga saat itu mereka belum memiliki kendaraan bermotor. Dalam
perkembagnan bentuk pada bagian bataran ini masyarakat sering menambahkan
buk pada sisi kanan dan kiri tangga sebaga pengganti tempat duduk-duduk yang
semula hanya memanfaatan anak tangga. Dari segi proporsi angkul-angkul dengan
bentuk yang masa sederhana ini. Pembangunannya selalu dilandasi dengan segala
macam nilai demi kepercayaan, para pemakai angkul-angkal dengan bentuk yang
masih sederhana, yang memiliki belakang belakang adat istiadat Bali Aga yang
masih sangat mengental pada kehidupan sehari-harinya.

Anda mungkin juga menyukai