Anda di halaman 1dari 222

DIREKTORAT PENGAIRAN DAN IRIGASI KEMENTERIAN NEGARA PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/ BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL

LAPORAN AKHIR
PRAKARSA STRATEGIS PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR UNTUK MENGATASI BANJIR DAN KEKERINGAN DI PULAU JAWA

BUKU 2
IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

DESEMBER 2006

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

DAFTAR ISI
BAB 1 METODOLOGI 1.1 Metode Identifikasi Masalah Banjir di Pulau Jawa 1.2 Inventarisasi Data Ketersediaan dan Kebutuhan Air 1.3 Inventarisasi data Sekunder Lainnya 1.4 Metode Identifikasi Masalah Kekeringan di Pulau Jawa 1.4.1 1.4.2 1.4.3 1.4.4 1.5.1 1.5.2 1.5.3 1.5.4 1.5.5 1.5.6 1.5.7 1.5.8 Analisis Ketersediaan Air Debit Andalan Metoda Mock Data Kalibrasi Proyeksi Kebutuhan Kebutuhan Air Rumah Tangga Kebutuhan Air Perkotaan Kebutuhan Air Industri Kebutuhan Air Peternakan Kebutuhan Air Perikanan Kebutuhan Air Penggelontoran/Pemeliharaan Sungai Kebutuhan Air Irigasi 1-1 1-1 1-2 1-6 1-10 1-10 1-12 1-15 1-32 1-32 1-33 1-34 1-35 1-38 1-40 1-40 1-41 1-41 1-46 1-48 1-48 1-48 1-50 1-51 1-52 1-53 1-58 1-59

1.5 Metodologi Analisis Kebutuhan Air

1.6 Aplikasi Analisis Neraca Air 1.7 Analisis Kekritisan Lahan 1.7.1 1.7.2 1.7.3 1.7.4 1.7.5 1.7.6 Erosi Lahan Degradasi Lingkungan Daerah Aliran Sungai Lahan Kritis dan Ketersediaan Bahan Pangan Metoda Penaksiran Degradasi Daerah Aliran Sungai Identifikasi Data yang Dibutuhkan Definisi Lahan Kritis

1.8 Metode Analisis Kondisi Defisit Air di Pulau Jawa 1.9 Asumsi-Asumsi Perhitungan Neraca Air

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

BAB 2 IDENTIFIKASI MASALAH BANJIR DI PULAU JAWA 2.1 Penyebab Terjadinya Banjir 2.2 Kejadian Banjir 2.3 Upaya Pengendalian Banjir 2.4 Pengamatan Indikator Banjir 2.5 Tahap Siaga Banjir BAB 3 IDENTIFIKASI MASALAH KEKERINGAN DI PULAU JAWA 3.1 Analisis Neraca Air 3.1.1 3.1.2 3.1.3 3.1.4 3.1.5 3.1.6 3.2.1 3.2.2 3.2.3 3.2.4 3.2.5 Banten Jabotabek dan Sekitarnya Jawa Barat Jawa Tengah Daerah Istimewa Yogyakarta Jawa Timur Pembagian Cekungan Air Tanah Jenis Aquifer Air Tanah Potensi Air Tanah Prospek Pengembangan Air Tanah Permasalahan Penggunaan Air Tanah

2-1 2-1 2-8 2-11 2-12 2-16 3-1 3-1 3-2 3-11 3-23 3-35 3-52 3-60 3-75 3-77 3-80 3-81 3-84 3-86

3.2 Analisis Potensi Air Tanah

BAB 4 ANALISIS KONDISI DEFISIT AIR DI PULAU JAWA BAB 5 ANALISIS KAJIAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

4-1 5-1

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

DAFTAR TABEL
Tabel 1.1 Daftar Perolehan Data-data Pendukung Tabel 1.2 Nilai Debit Andalan untuk Berbagai Macam Kegiatan Tabel 1.3 Perhitungan Debit Andalan pada Bulan Agustus untuk Sungai Hipotetik Tabel 1.4 Notasi dan Satuan Parameter Iklim Tabel 1.5 Hubungan Temperatur Rata-rata vs Parameter Evapotranspirasi A, B & ea Tabel 1.6 Nilai Radiasi Matahari pada Permukaan Horizontal Luar Atmosfir (mm/hari) Tabel 1.7 Koefisien Refleksi, r Tabel 1.8 Exposed Surface, m Tabel 1.9 Nilai Soil Moisture Capacity untuk Berbagai Tipe Tanaman dan Tipe Tanah Tabel 1.10 Gambaran Pemakaian Air Rumah Tangga di Beberapa Negara Tabel 1.11 Standar Kebutuhan Air Rumah Tangga Berdasarkan Jenis Kota dan Jumlah Penduduk. Tabel 1.12 Besar Kebutuhan Air Perkotaan Berdasarkan Fasilitas Perkotaan Tabel 1.13 Besarnya Kebutuhan Air Non Domestik Menurut Jumlah Penduduk Tabel 1.14 Besar Kebutuhan Air Perkotaan Menurut Kepadatan Penduduk Tabel 1.15 Klasifikasi Industri Tabel 1.16 Kebutuhan Air Industri Berdasarkan Beberapa Proses Industri Tabel 1.17 Kebutuhan Air untuk Ternak Tabel 1.18 Koefisien Tanaman, kc Tabel 1.19 Jumlah Kota/Kabupaten Berdasarkan Klasifikasi Jumlah Bulan Defisit Tabel 2.1 Tabulasi Data Peta Sebaran Lokasi Rawan Banjir untuk Propinsi Banten 2-3 1-59 1-39 1-40 1-44 1-38 1-38 1-37 1-37 1-35 1-34 1-27 1-22 1-22 1-24 1-22 1-14 1-19 1-7 1-13

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

Tabel 2.2 Tabulasi Data Peta Sebaran Lokasi Rawan Banjir Propinsi DKI Jakarta Tabel 2.3 Tabulasi Data Peta Sebaran Lokasi Rawan Banjir Propinsi Jawa Barat Tabel 2.4 Tabulasi Data Peta Sebaran Lokasi Rawan Banjir Propinsi Jawa Tengah Tabel 2.5 Tabulasi Data Peta Sebaran Lokasi Rawan Banjir Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Tabel 2.6 Tabulasi Data Peta Sebaran Lokasi Rawan Banjir Propinsi DKI Jawa Timur Tabel 2.7 Rekapitulasi Kejadian Banjir dan Tanah Longsor Musim Hujan 2001-2002 Per 15 Mei 2002 Tabel 2.8 Rekapitulasi Kejadian Banjir dan Tanah Longsor Musim Hujan 2002-2003 Per 30 Juli 2003 Tabel 2.9 Kategori Intensitas Gangguan Bencana Banjir Tabel 2.10 Kategori Nilai Aset Tabel 2.11 Kategori Tingkat Bencana Banjir Tabel 3.1 Proyeksi Jumlah Penduduk di Propinsi Banten Tabel 3.2 Kebutuhan Air Rumah Tangga di Propinsi Banten Tabel 3.3 Kebutuhan Air Perkotaan di Propinsi Banten Tabel 3.4 Kebutuhan Air untuk Industri di Propinsi Banten Tabel 3.5 Kebutuhan Air Peternakan di Propinsi Banten Tabel 3.6 Kebutuhan Air Perikanan di Propinsi Banten Tabel 3.7 Proyeksi Luas Lahan Areal Irigasi di Propinsi Banten Tabel 3.8 Kebutuhan Air Irigasi di Propinsi Banten Tabel 3.9 Ketersediaan Air di Propinsi Banten Tabel 3.10 Neraca Air di Propinsi Banten Tabel 3.11 Jumlah Bulan Defisit di Propinsi Banten Tabel 3.12 Proyeksi Jumlah Penduduk di Jabotabek dan Sekitarnya Tabel 3.13 Kebutuhan Air Permukaan untuk Rumah Tangga, Perkotaan dan Industri di Jabotabek dan Sekitarnya Tabel 3.14 Kebutuhan Air Tanah untuk Rumah Tangga, Perkotaan dan Industri di Jabotabek dan Sekitarnya Tabel 3.15 Kebutuhan Air Total untuk Rumah Tangga, Perkotaan dan Industri di Jabotabek dan Sekitarnya Tabel 3.16 Proyeksi Luas Lahan Irigasi di Jabotabek dan Sekitarnya 3-16 3-18 3-16 3-15 2-10 2-21 2-22 2-23 3-4 3-4 3-4 3-5 3-6 3-6 3-8 3-8 3-9 3-10 3-11 3-15 2-9 2-7 2-7 2-6 2-6 2-4

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

Tabel 3.17 Kebutuhan Air Irigasi di Jabotabek dan Sekitarnya Tabel 3.18 Ketersediaan Air untuk Rumah Tangga, Perkotaan dan Industri Jabotabek dan Sekitarnya Tabel 3.19 Neraca Air di Jabotabek dan Sekitarnya Tabel 3.20 Proyeksi Jumlah Penduduk di Propinsi Jawa Barat Tabel 3.21 Kebutuhan Air Rumah Tangga di Propinsi Jawa Barat Tabel 3.22 Kebutuhan Air Perkotaan di Propinsi Jawa Barat Tabel 3.23 Kebutuhan Air Industri di Propinsi Jawa Barat Tabel 3.24 Kebutuhan Air Peternakan di Propinsi Jawa Barat Tabel 3.25 Kebutuhan Air Perikanan di Propinsi Jawa Barat Tabel 3.26 Proyeksi Luas Lahan Areal Irigasi di Propinsi Jawa Barat Tabel 3.27 Kebutuhan Air Irigasi di Propinsi Jawa Barat Tahun 2003 Tabel 3.28 Kebutuhan Air Irigasi di Propinsi Jawa Barat Tahun 2025 Tabel 3.29 Ketersediaan Air di Propinsi Jawa Barat Tabel 3.30 Neraca Air di Propinsi Jawa Barat Tahun 2003 Tabel 3.31 Neraca Air di Propinsi Jawa Barat Tahun 2025 Tabel 3.32 Jumlah Bulan Defisit di Propinsi Jawa Barat Tabel 3.33 Proyeksi Jumlah Penduduk di Propinsi Jawa Tengah Tabel 3.34 Kebutuhan Air Rumah Tangga di Propinsi Jawa Tengah Tabel 3.35 Kebutuhan Air Perkotaan di Propinsi Jawa Tengah Tabel 3.36 Kebutuhan Air Industri di Propinsi Jawa Tengah Tabel 3.37 Kebutuhan Air Peternakan di Propinsi Jawa Tengah Tabel 3.38 Kebutuhan Air Perikanan di Propinsi Jawa Tengah

3-18 3-21 3-23 3-25 3-26 3-26 3-27 3-28 3-29 3-30 3-31 3-31 3-33 3-34 3-34 3-35 3-37 3-38 3-39 3-40 3-42 3-43

Tabel 3.39 Proyeksi Luas Lahan Areal Irigasi di Propinsi Jawa Tengah 3-45 Tabel 3.40 Kebutuhan Air Irigasi di Propinsi Jawa Tengah Tahun 2003 3-46 Tabel 3.41 Kebutuhan Air Irigasi di Propinsi Jawa Tengah Tahun 2025 3-46 Tabel 3.42 Ketersediaan Air di Propinsi Jawa Tengah Tabel 3.43 Neraca Air di Propinsi Jawa Tengah Tahun 2003 Tabel 3.44 Neraca Air di Propinsi Jawa Tengah Tahun 2025 Tabel 3.45 Jumlah Bulan Defisit di Propinsi Jawa Tengah Tabel 3.46 Proyeksi Jumlah Penduduk di Propinsi DIY Tabel 3.47 Kebutuhan Air Rumah Tangga di Propinsi DIY Tabel 3.48 Kebutuhan Air untuk Perkotaan di Propinsi DIY Tabel 3.49 Kebutuhan Air Industri di Propinsi DIY Tabel 3.50 Kebutuhan Air Peternakan di Propinsi DIY Tabel 3.51 Kebutuhan Air Perikanan di Propinsi DIY 3-48 3-50 3-50 3-51 3-54 3-54 3-54 3-55 3-56 3-56

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

Tabel 3.52 Proyeksi Luas Lahan Areal Irigasi di Propinsi DIY Tabel 3.53 Kebutuhan Air Irigasi di Propinsi DIY Tahun 2003 Tabel 3.54 Kebutuhan Air Irigasi di Propinsi DIY Tahun 2025 Tabel 3.55 Ketersediaan Air di Propinsi DIY Tabel 3.56 Neraca Air di Propinsi DIY Tahun 2003 Tabel 3.57 Neraca Air di Propinsi DIY Tahun 2025 Tabel 3.58 Jumlah Bulan Defisit di Propinsi DIY Tabel 3.59 Proyeksi Jumlah Penduduk di Propinsi Jawa Timur Tabel 3.60 Kebutuhan Air Rumah Tangga di Propinsi Jawa Timur Tabel 3.61 Kebutuhan Air Perkotaan di Propinsi Jawa Timur Tabel 3.62 Kebutuhan Air Industri di Propinsi Jawa Timur Tabel 3.63 Kebutuhan Air Peternakan di Propinsi Jawa Timur Tabel 3.64 Kebutuhan Air Perikanan di Propinsi Jawa Timur Tabel 3.65 Proyeksi Luas Lahan Areal Irigasi di Propinsi Jawa Timur Tabel 3.66 Kebutuhan Air Irigasi di Propinsi Jawa Timur Tahun 2003 Tabel 3.67 Kebutuhan Air Irigasi di Propinsi Jawa Timur Tahun 2025 Tabel 3.68 Ketersediaan Air di Propinsi Jawa Timur Tabel 3.69 Neraca Air di Propinsi Jawa Timur Tahun 2003 Tabel 3.70 Neraca Air di Propinsi Jawa Timur Tahun 2025 Tabel 3.71 Jumlah Bulan Defisit di Propinsi Jawa Timur Tabel 3.72 Cekungan Air Tanah (CAT) di Pulau Jawa dengan Jumlah Alirannya Tabel 3.73 Potensi Air Tanah di Propinsi Banten Tabel 3.74 Potensi Air Tanah di Propinsi DKI Jakarta Tabel 3.75 Potensi Air Tanah di Propinsi Jawa Barat Tabel 3.76 Potensi Air Tanah di Propinsi Jawa Tengah Tabel 3.77 Potensi Air Tanah di Propinsi DIY Tabel 3.78 Potensi Air Tanah di Propinsi Jawa Timur Tabel 4.1 Jumlah Kota/Kabupaten Berdasarkan Klasifikasi Jumlah Bulan Defisit Tabel 4.2 Defisit Rerata dan Defisit Maksimum pada Masing-masing Wilayah Tabel 4.3 Korelasi antara Defisit Ketersediaan Air dengan Kepadatan Penduduk

3-57 3-57 3-58 3-58 3-59 3-60 3-60 3-62 3-63 3-64 3-65 3-66 3-67 3-69 3-70 3-70 3-72 3-73 3-74 3-75 3-78 3-82 3-82 3-82 3-83 3-83 3-84 4-1 4-2 4-6 4-7

Tabel 4.4 Korelasi antara Defisit Ketersediaan Air dengan Keluarga Pra KS I

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

Tabel 4.5 Korelasi antara Defisit Ketersediaan Air dengan Luas Lahan Kritis Tabel 4.6 Korelasi antara Defisit Ketersediaan Air dengan Rasio Luas Lahan Kritis Tabel 4.7 Korelasi antara Defisit Ketersediaan Air dengan Jumlah Balita Busung Lapar Padi Jagung Anggaran Pembangunan Asli Tabel 4.12 Korelasi antara Defisit Ketersediaan Air dengan Jumlah Rumah Tabel 4.13 Korelasi antara Defisit Ketersediaan Air dengan Jumlah KK di Lahan Kritis Tabel 4.14 Korelasi antara Defisit Ketersediaan Air dengan Jumlah Industri Utama 4-16 4-17 Tabel 4.15 Korelasi antara Defisit Ketersediaan Air dengan Penghasilan 4-15 4-15 4-10 4-11 4-12 4-13 4-14 Tabel 4.8 Korelasi antara Defisit Ketersediaan Air dengan Produktivitas Tabel 4.9 Korelasi antara Defisit Ketersediaan Air dengan Produktivitas Tabel 4.10 Korelasi antara Defisit Ketersediaan Air dengan Pengeluaran Tabel 4.11 Korelasi antara Defisit Ketersediaan Air dengan Pendapatan 4-9 4-8

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.1 Gambar 1.2 Gambar 1.3 Gambar 1.4 Gambar 1.5 Gambar 1.6 Ilustrasi proses terbentuknya aliran permukaan. Lengkung debit aliran pada Bulan Agustus di salah satu stasiun pengamatan Sungai Hipotetik. Bagan alir model rainfall-runoff. Bagan alir perhitungan debit dalam Metoda Mock. Sirkulasi air Water surplus merupakan presipitasi yang telah mengalami evapotranspirasi atau limpasan yang ditambah infiltrasi. Gambar 1.7 Gambar 1.8 Gambar 1.9 Perjalanan air hujan sampai terbentuk debit Analisis Neraca Air Skema identifikasi lahan kritis aktual. 1-25 1-29 1-47 1-56 1-57 1-58 2-13 2-15 1-15 1-16 1-17 1-18 1-12

Gambar 1.10 Langkah identifikasi lahan kritis aktual. Gambar 1.11 Skema definisi kondisi kritis dan lahan kritis. Gambar 2.1 Gambar 2.2 Gambar 2.3 Skema sebuah sistem peringatan dini dengan indikator tinggi muka air. Sistem peringatan dini dengan peramalan banjir.

Diagram alir penentuan kategori tingkat bencana banjir. 2-21

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

BAB 1 METODOLOGI

BAB 1 METODOLOGI

1-1

1.1

METODE IDENTIFIKASI MASALAH BANJIR DI PULAU JAWA

Data banjir yang berhasil dikumpulkan berupa data sekunder dari instansiinstansi terkait. Data sekunder mengenai banjir yang terjadi di Pulau Jawa diperoleh antara lain dari: a) Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah melalui Pusat Data Sumber Daya Air (Water Resources Data Center WRDC). b) Kementerian Negara Lingkungan Hidup. c) Dinas-dinas Pengembangan Sumber Daya Air di daerah-daerah. d) Proyek-proyek Induk Wilayah Sungai. e) Balai-balai Pengelolaan Sumber Daya Air dan lain lain. Dari Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah diperoleh 2 macam data banjir. Yang pertama dalam bentuk peta yang diberi nama Peta Sebaran Lokasi Rawan Banjir. Di dalam peta tersebut termuat data-data banjir sebagai berikut: a) Luas genangan (ha). b) Tinggi genangan (m). c) Lama genangan (jam). Bentuk data kedua yang diperoleh dari Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah adalah tabulasi data mengenai kejadiaan banjir dan tanah longsor yang terjadi di Pulau Jawa untuk periode 2001/2002 dan 2002/2003. Dari tabulasi data tersebut dapat diperoleh informasi mengenai banjir yang terjadi meliputi: a) Waktu kejadian. b) Lokasi kejadian. c) Dampak terhadap manusia (meninggal, hilang, mengungsi). d) Dampak terhadap sarana dan prasarana (tergenang, rusak, roboh, hanyut). e) Upaya penanggulangan.

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA Dari Kementerian Negara Lingkungan Hidup diperoleh peta daerah rawan banjir yang didefinisikan berdasarkan kriteria-kriteria antara lain: curah hujan, jenis tanah, formasi batuan dan tata guna lahan. Dari data-data tersebut maka akan diperoleh informasi mengenai banjir yang pernah terjadi di Pulau Jawa baik secara kualitatif maupun secara kuantitatif. Sedangkan untuk dapat mengatasi banjir yang mungkin akan terjadi di masa yang akan datang data tersebut masih perlu dianalisis, dibandingkan dan dicek ulang dengan keadaaan di lapangan.

BAB 1 METODOLOGI

1-2

1.2

INVENTARISASI DATA KETERSEDIAAN DAN KEBUTUHAN AIR

Untuk memperhitungkan ketersediaan dan kebutuhan air, data dan informasi yang dapat diperoleh sangat menentukan keakuratan hasil yang hendak dicapai, baik data hidrologi (curah hujan, muka air sungai, debit) pada suatu pos hidrologi maupun data topografi (peta, luas DAS, kemiringan dll), serta data-data pendukung lain untuk memperhitungkan pemanfaatan air baik dari sisi sumberdaya air, tata guna lahan/penataan ruang, data jumlah dan penyebaran penduduk, pertanian, peternakan, industri dan lain-lain. Pengumpulan data penunjang untuk perhitungan ketersediaan dan kebutuhan air ini hanya meliputi data sekunder, sedangkan data primer sebatas diperlukan untuk pengecekan lapangan di lokasi-lokasi tertentu untuk penempatan bangunan-bangunan pengambilan air utama. Selain pengumpulan data di balaibalai PSDA juga dilakukan wawancara dengan para pelaksana operasional di balai-balai tersebut guna mendukung perolehan informasi kondisi wilayah sungai. Secara rinci peta-peta yang dikumpulkan untuk melakukan perhitungan ketersediaan dan kebutuhan air meliputi: 1. Peta Topografi Peta topografi dapat diperoleh dari Bakosurtanal (Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional). Ada 2 macam peta topografi yang diperoleh. Yang pertama adalah peta dengan skala 1 : 250.000 dalam format digital,

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA sedangkan yang kedua adalah peta dengan skala 1 : 25.000 dalam format cetakan/hard copy. Peta ini menjadi peta dasar dalam pekerjaan ini. Dengan acuan peta ini dilakukan pelacakan terhadap semua daerah aliran sungai (DAS) untuk setiap sungai yang ada di Pulau Jawa dan Madura sesuai dengan letak geografis dan kontur ketinggian di DAS tersebut. Selanjutnya dari data hasil pelacakan DAS ini disusun tabulasi data numeris yang berisi luasan setiap kabupaten yang termasuk dalam suatu DAS dan juga luasan DAS yang termasuk dalam suatu kabupaten. 2. Peta Cekungan Air Tanah Peta cekungan air tanah dapat diperoleh dari Direktorat Tata Lingkungan Geologi dan Kawasan Pertambangan, Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral. Peta ini disusun berdasarkan SK Men ESDM No. 716 K/40/MEM/2003. Dalam peta dengan skala 1 : 250.000 ini digambarkan cekungan-cekungan air tanah yang ada di Pulau Jawa beserta dengan jumlah aliran air tanah untuk tiap cekungannya, baik itu aliran air tanah bebas maupun aliran air tanah tertekan. Dari peta ini dapat diperhitungakan jumlah air tanah yang dapat dieksplorasi oleh suatu daerah dengan luasan tertentu. 3. Peta Prasarana Peta prasarana diperoleh dari Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah. Berhasil diperoleh peta prasarana dalam tingkat propinsi dan kabupaten untuk wilayah di seluruh Pulau Jawa dan Madura. Dalam peta tersebut dicantumkan prasarana-prasarana utama yang terdapat di suatu kabupaten maupun propinsi termasuk juga prasarana sumberdaya air yang meliputi bendung, bendungan, embung, maupun waduk. Dengan bantuan peta ini dapat ditentukan titik-titik pengambilan dengan lebih tepat sesuai dengan kondisi di lapangan.

BAB 1 METODOLOGI

1-3

4. Peta Daerah Irigasi dan Batas Wilayah Sungai Peta daerah irigasi dan batas-batas WS diperoleh dari Pusat Data Sumberdaya Air (Water Resources Data Center-WRDC) Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah. Dari peta ini kita dapat mengetahui

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA sebaran-sebaran daerah irigasi di seluruh Pulau Jawa dan Madura sehingga dapat kita ketahui pula daerah-daerah pertanian dengan tingkat kebutuhan air yang tinggi yang memerlukan perhatian khusus karena sangat rawan terhadap bencana kekeringan. Dari batas-batas wilayah sungai akan kita ketahui pengelola sumberdaya air pada suatu wilayah sungai tertentu berikut dengan batas wilayah tugasnya. 5. Peta Tata Guna Lahan dan Penutupan Lahan Data tata guna lahan dan penutupan lahan sangat penting sifatnya dalam melakukan analisis terhadap kejadian banjir dan kekeringan. Agar data tata guna lahan dan penutupan lahan ini benar-benar sesuai dengan keadaan Pulau Jawa dan Madura saat ini maka data ini dianalisis dari citra satelit Landsat ETM-7 yang diperoleh dari Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) maupun dari Badan Planologi Kehutanan (BAPLAN) Departemen Kehutanan. Citra satelit tersebut diinterpretasi sehingga dihasilkan peta tata guna lahan dan penutupan lahan. 6. Peta Administrasi Peta batas-batas wilayah administrasi diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS). Dengan peta ini maka diperoleh batas-batas wilayah yang administrasi sesuai dengan perkembangannya sampai dengan tahun 2003. Batas-batas ini sangat berguna karena kebijakan biasanya lebih mudah dilaksanakan apabila dibuat sesuai dengan wilayah administrasi yang jelas

BAB 1 METODOLOGI

1-4

Sedangkan data-data sekunder pendukung lainnya yang dikumpulkan meliputi: 1. Data Iklim dan Curah Hujan Data iklim meliputi data temperatur, kelembaban, kecepatan angin, penyinaran matahari dan evaporasi yang umumnya tersedia di BMG (Badan Meteorologi dan Geofisika) yang memiliki banyak stasiun pengamatan iklim yang tersebar di seluruh Pulau Jawa dan Madura. Data curah hujan selain dapat dikumpulkan dari BMG dapat juga dikumpulkan dari Dinas Pengairan dan atau Balai Penyuluh Pertanian. Selain itu tiap balai PSDA biasanya memiliki bagian hidrologi yang juga mengadakan pengamatan curah hujan.

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA Data iklim minimal dengan seri data 5 tahun terakhir dan data hujan dengan seri data minimal 25 tahun pengamatan. 2. Data Debit Aliran Sungai Data debit sungai-sungai yang tersebar di sepanjang Pulau Jawa dan Madura dapat diperoleh dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Air (Pusair) Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah yang mengelola jaringan pos pengamatan muka air sungai-sungai di Jawa dan Madura. Selain itu data tersebut juga dapat diperoleh dari Dinas Pengairan maupun Balai PSDA di daerah-daerah. Data debit tersebut dalam bentuk softcopy terhitung dari tahun 1991-2003 dalam satuan m3/det. Data ini sangat diperlukan untuk menghitung ketersediaan air permukaan. Agar dapat dianalisis debit andalannya maka panjang pengamatan minimal adalah 5 tahun. 3. Data Pemanfaatan Sumber Air Data ini meliputi pemanfaatan sumber air seperti air tanah, air permukaan dan air hujan untuk keperluan domestik (air minum dan rumah tangga), non domestik (perkantoran, perdagangan, hidran umum), industri, irigasi, pertanian, peternakan dan lain sebagainya. 4. Data Potensi Air Tanah Data ketersediaan air tanah umumnya belum banyak tersedia dan memerlukan studi lebih lanjut untuk dapat mengetahui potensi air tanah di tiap-tiap daerah. Untuk dapat menyatakan ketersediaan air tanah pada suatu daerah maka digunakan peta cekungan air tanah yang sudah diperoleh dari Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral. Kapasitas aliran tertekan maupun bebas pada cekungan-cekungan tersebut akan didistribusikan ke wilayah-wilayah yang ada di atasnya dengan volume sesuai dengan perbandingan luasnya. 5. Data Potensi Desa Untuk dapat menghitung kebutuhan air pada suatu daerah, maka kita harus mengetahui data-data penduduk, industri, pertanian, perikanan dan peternakan dari daerah tersebut. Data-data tersebut dapat diperoleh dari

BAB 1 METODOLOGI

1-5

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA hasil Sensus Penduduk tahun 2000 dan Survei Pertanian tahun 2003 yang terangkum dalam Data Potensi Desa tahun 2000 dan 2003. Data Potensi Desa digital tersusun atas file-file data desa di tiap propinsi. Format asli yang disajikan oleh BPS adalah dalam bentuk ASCII (*.txt). Karena banyaknya data yang dimuat dalam file ini maka untuk memudahkan pekerjaan dipakai

BAB 1 METODOLOGI

1-6

software bantu analisis statistik SPSS yang berguna untuk mengolah datadata Potensi Desa tersebut dengan lebih mudah dan cepat. 6. Data Kependudukan Untuk dapat melakukan proyeksi pertumbuhan kebutuhan air untuk masingmasing daerah maka seri data Potensi Desa tahun 2000 dan 2003 masih dirasa kurang panjang maka perlu ditambah seri data lagi. Untuk itu digunakan data statistik dari Propinsi Dalam Angka yang juga oleh dikeluarkan Badan Pusat Statistk (BPS). Buku Propinsi dalam Angka menyajikan data statistik dari berbagai sektor yang berasal dari instansi pemerintah maupun swasta propinsi yang terkait serta beberapa data dari sensus dan survei yang dilakukan oleh BPS. Data Propinsi dalam Angka yang dipergunakan adalah tahun 1990, 1995, 2000 dan 2003.

1.3

INVENTARISASI DATA SEKUNDER LAINNYA

Selain data-data sekunder diatas ada beberapa data lain yang diperoleh dan digunakan dalam pekerjaan. Data-data tersebut sangat membantu dalam mengadakan analisis atas permasalahan sumberdaya air yang terjadi di Pulau Jawa dan Madura. Data-data pendukung tersebut secara lebih rinci daftarnya dapat dilihat pada Tabel 1.1. Data-data sekunder penunjang diperlukan surat resmi. Untuk lain tersebut secara umum diperoleh dari keperluan itu Konsultan mengadakan

instansi-instansi pemerintah yang terkait, oleh karena itu dalam pencarian data korespondensi dengan instansi-instansi tersebut atas nama Pemilik Pekerjaan dengan mengirimkan surat-surat permohonan data. Sudah banyak surat-surat permohonan data yang telah terkirim dan macam-macam respon yang telah didapatkan.

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA


Tabel 1. 1 Daftar Perolehan Data-data Pendukung NO 1 Jenis Data Data Statistik Pengairan (Jawa Timur) Dalam Angka tahun 2003 Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Banten 2003 Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Banten 2002 Draft Final Incremental Capital Output Ratio Banten 2002 Indeks Pembangunan Manusia Banten 2002 Draft Final Indeks Pembangunan Manusia Banten 2003 Jakarta 2003 Jakarta 2002 Penyusunan Data Sosial Ekonomi Daerah (Suseda) 2004 Jawa Barat Penyusunan Data Sosial Ekonomi Daerah (Suseda) 2003 Jawa Barat Ikthisar Data Pembangunan Jawa Barat 2003 Ikthisar Data Pembangunan Jawa Barat 2002 Monografi Jawa Barat 2003 Pesona dan Peluang Jawa Barat Rencana Wilayah Rencana Tata Ruang Jawa Tengah dibuat tahun 2002 Rencana Strategis Jawa Tengah 20032003 Rencana Tata Ruang Wilayah Jawa Timur 1997/19982011/2012 Program Pembangunan Daerah Jawa Timur tahun 2001-2005 Pola Dasar Pembangunan Jangka Panjang Banten 2002-2022 Rencana Strategis Daerah Propinsi Banten 2002-2006 Rencana Tata Ruang Banten 2002-2017 Program Pembangunan Daerah (PROPEDA) DKI Jakarta 2002-2007 Rencana Tata Ruang Wilayah DKI Jakarta 2010 Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi Jawa Barat 2003 Rencana Strategis Kota Tasikmalaya Tahun 20022007 Data Bencana Prakiraan Musim Kemarau di Indonesia 2004 (+ digital) Daftar Inventarisasi Kerusakan dan Penanganan Banjir Balai PSDA Serang Lusi Juana, 2004 Laporan Kekeringan Tahun 2004 Laporan Kekeringan Tahun 2003 Pelaporan dan Evaluasi Kejadian Banjir Musim Hujan Sumber Bappeda Bapeda Bapeda Bapeda Bapeda Bapeda Bapeda Bapeda Bapeda Bapeda Bapeda Bapeda Bapeda Bapeda Ket

BAB 1 METODOLOGI

1-7

Digital

Bappeda Bappeda Bappeda Bappeda Bapeda Bapeda Bapeda Bapeda Bapeda Bapeda Bapeda

Digital

BMG Balai PSDA Serang Lusi Juana Dinas PSDA Jawa Tengah Dinas PSDA Jawa Tengah Dinas PSDA

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA


NO Jenis Data Tahun 2003-2004 Laporan Kejadian Banjir Musim Hujan Tahun 20022003 Daftar Lokasi Kritis Bangunan Air dan Rawan Genangan WS Cimanuk-Cisanggarung 2003 2004 Laporan Daerah Banjir dan Kekeringan Wilayah Propinsi Banten Tahun 2003 Data Kekeringan Tahun 2004 Lokasi Bencana Kekeringan Tahun 2003 Analisa Survey Lapangan Pasca Banjir di Blok Cangab dan Blok Cabang Bungin 4 Air Tanah Peta Hidrogeologi (1:100.000) Dalam dan Permukaan; Lokasi: Anyer (1999 & 2000), Serang (1995), Jakarta (1993), Bogor (1994) Peta Hidrogeologi (1:250.000); Lokasi: Jakarta (1996), Bandung (1983), Semarang (1988). Peta Konservasi Air Tanah (1:100.000); Lokasi: Bandung (2000), Jakarta (2000), Semarang (2000), Surabaya (2000) Penurunan Tanah; Lokasi: Bandung (Grafik 00-02), Jakarta (Peta 82-97), Semarang (Peta 01-03). Hidrograf Muka Air Rata-rata Bulanan; Lokasi: Bandung (Grafik 95-02). Pengambilan Air Tanah; Lokasi: Jakarta, Semarang, Bandung (Grafik 1900-2003). Laporan Pemantauan Kuantitas dan Kualitas Air Tanah; Lokasi: Bandung (2003), Jakarta (2003), Semarang (2003) Data Kualitas Air Laporan Pemantauan dan Pengujian Kualitas Air Sungai Cisadane-Ciliwung Tahun 2001 Laporan Akhir Kegiatan Kualitas Air Balai PSDA Wilayah Ciliwung-Cisadane Tahun 2003 Laporan Pemantauan Kualitas Air Sungai Proyek Operasionalisasi Manajemen DPS dan Hidrologi Wilayah Sungai Ciliwung-Cisadane, Tahun 2002 Laporan Akhir Analisa Kualitas Air SWS Bengawan Solo, 2001 Laporan Akhir Analisa Kualitas Air SWS Serayu Citanduy, 2002 Laporan Akhir Analisa Kualitas Air SWS Jratunseluna, 2001 Laporan Akhir Analisa Kualitas Air SWS Bengawan Solo dan SWS Pemali Comal, 1999 Laporan Akhir Analisa Kualitas Air SWS Bengawan Sumber Jawa Tengah Dinas PSDA Jawa Tengah PIPWS CimanukCisanggarung Balai PSDA Banten PJT II PJT II PJT II Ket

BAB 1 METODOLOGI

1-8

TLGKP Dep. ESDM TLGKP Dep. ESDM TLGKP Dep. ESDM TLGKP Dep. ESDM TLGKP Dep. ESDM TLGKP Dep. ESDM TLGKP Dep. ESDM

Balai PSDA CisadaneCiliwung Balai PSDA CiliwungCisadane Balai PSDA CiliwungCisadane PPSAPB Jratunseluna Proyek Hidrologi Jawa Tengah PPSAPB Jratunseluna PPSAPB Jratunseluna PPSAPB

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA


NO Jenis Data Solo, SWS Sengkareng Sambong, SWS Pemali Comal, 1998 Laporan Pemantauan Kualitas Air Sungai Kaligarang, Bengawan Solo, Sengkareng-Sambong, Serang, Bodri dan Meduri, 1996 Laporan Tahunan Pemantauan Kualitas Air WS Cimanuk-Cisanggarung, 2003 Laporan Tahunan Pengujian Kualitas Air Basin Cisanggarung 1997/1998 Laporan Tahunan Pemantauan Kualitas Air 1998-2002 Sumber Jratunseluna PPSAPB Jratunseluna Balai PSDA CimanukCisanggarung Balai PSDA CimanukCisanggarung Balai PSDA CimanukCisanggarung Balai PSDA CitanduyCiwulan Balai PSDA Citarum PJT II PJT II Balai PSDA GembongPekalen BPS BWRM Dephut Balai PSDA CimanukCisanggarung PIPWS CimanukCisanggarung PIPWS CitanduyCiwulan PIPWS CitanduyCiwulan Balai PDAS CimanukCitanduy Dinas PSDA Jawa Barat PJT II Dinas PSDA Ket

BAB 1 METODOLOGI

1-9

Laporan Teknis Pekerjaan Pengetesan Kualitas Air (Pemantauan Kualitas Air) Sungai Citanduy-Ciwulan, September 2003 Laporan Akhir Proyek Operasionalisasi Manajemen DPS dan Hidrologi T.A. 2003 Kegiatan Pemantauan Kualitas Air Penelitian Kulaitas Air DAS Citarum dan DAS Bekasi, 1993-1995 Data Kualitas Air Sungai Citarum, 1996-2003 Laporan Periodik Pengelolaan Kualitas Air

Data Lain yang Terkait Statistik Lingkungan Hidup Daftar Balai PSDA Urutan DAS Prioritas dan Lahan Kritis 2002 Laporan Tahunan Balai Pengelolaan Sumber Daya Air Wilayah Sungai Cimanuk-Cisanggarung, Desember 2000 Persiapan MenghadapiMusim Kemarau/Kering 2004 dan Musim Hujan/Banjir 2004/2005 Laporan Satgas Penanggulangan Banjir PIPWS Citanduy-Ciwulan, Nopember 2002 Potensi Sumber Air PIPWS Citanduy-Ciwulan

Draft Laporan Akhir Inventarisasi Daerah Rawan Bencana Gerakan Tanah di Satuan Wilayah Pengelolaan (SWP) Daerah Aliran Sungai (DAS) Citanduy, 2004 Pola Pengembangan, Pengusahaan, dan Pemanfaatan Prasarana Sumber Daya Air Wilayah Sungai Citarum, 2002 Daftar Sarana dan Prasarana Kritis yang Memerlukan Rehabilitasi Tahun 2004-2008 Pola Induk Pengelolaan Sumber Daya Air di Jawa

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA


NO Jenis Data Barat, 2001 Rencana Strategis Tahun 2002-2006 Pembangunan Daerah dalam Angka 2003 Pedoman Pembuatan SOP Pengelolaan Banjir Tahun Anggaran 2004 Prosedur Tetap Penanggulangan Bencana Banjir 2003/2004 Sumber Jawa Barat Dnas PSDA Jawa Barat Bappenas Balai PSDA GembongPekalen Balai PSDA GembongPekalen Ket

BAB 1 METODOLOGI

1-10

1.4 1.4.1

METODE IDENTIFIKASI MASALAH KEKERINGAN DI PULAU JAWA Analisis Ketersediaan Air

Salah satu aspek yang harus diketahui sebelum mengadakan analisis neraca air untuk suatu daerah tertentu adalah jumlah ketersediaan air. Ketersediaan air dalam pengertian sumberdaya air pada dasarnya berasal dari air hujan (atmosferik), air permukaan dan air tanah. Hujan yang jatuh di atas permukaan pada suatu Daerah Aliran Sungai (DAS) atau Wilayah Sungai (WS) sebagian akan menguap kembali sesuai dengan proses iklimnya, sebagian akan mengalir melalui permukaan dan sub permukaan masuk ke dalam saluran, sungai atau danau dan sebagian lagi akan meresap jatuh ke tanah sebagai imbuhan (recharge) pada kandungan air tanah yang ada. Ketersediaan air yang merupakan bagian dari fenomena alam, sering sulit untuk diatur dan diprediksi dengan akurat. Hal ini karena ketersediaan air mengandung unsur variabilitas ruang (spatial variability) dan variabilitas waktu (temporal

variability) yang sangat tinggi. Oleh karena itu, analisis kuantitatif dan kualitatif
harus dilakukan secermat mungkin agar dapat dihasilkan informasi yang akurat untuk perencanaan dan pengelolaan sumberdaya air. Air permukaan adalah air yang mengalir secara berkesinambungan atau dengan terputus-putus dalam alur sungai atau saluran dari sumbernya yang tertentu, dimana semua ini merupakan bagian dari sistem sungai yang menyeluruh. Ilustrasi dari proses terbentuknya aliran permukaan disajikan pada Gambar 1.1. Aliran yang terukur di sungai atau saluran maupun danau merupakan potensi

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA debit air permukaan, begitu halnya dengan air yang mengalir ke dalam tanah, kandungan air yang tersimpan dalam tanah merupakan potensi debit air tanah. Dari ketiga sumber air tersebut di atas, yang mempunyai potensi paling besar untuk dimanfaatkan adalah sumber air permukaan dalam bentuk air di sungai, saluran, danau/waduk dan lainnya. Penggunaan air tanah sangat membantu pemenuhan kebutuhan air baku maupun air irigasi pada daerah yang sulit mendapatkan air permukaan, namun pemanfaatan air tanah membutuhkan biaya operasional pompa yang sangat mahal. Untuk analisis ketersediaan air permukaan, yang akan digunakan sebagai acuan adalah debit andalan (dependable flow). Yang paling berperan dalam studi ketersediaan air permukaan adalah data rekaman debit aliran sungai. Rekaman tersebut harus berkesinambungan dalam periode waktu yang dapat digunakan untuk pelaksanaan proyek penyediaan air. Apabila penyadapan air akan dilakukan dari sungai yang masih alami, maka diperlukan rekaman data dari periode-periode aliran rendah yang kristis yang cukup panjang, sehingga keandalan pasok air dapat diketahui. Debit andalan adalah suatu besaran debit pada suatu titik kontrol (titik tinjau) di suatu sungai di mana debit tersebut merupakan gabungan antara limpasan langsung dan aliran dasar. Debit ini mencerminkan suatu angka yang dapat diharapkan terjadi pada titik kontrol yang terkait dengan waktu dan nilai keandalan. Keandalan yang dipakai untuk pengambilan bebas baik dengan maupun tanpa struktur pengambilan adalah 80%, sedangkan keandalan yang dipakai untuk pengambilan dengan struktur yang berupa tampungan atau reservoir adalah sebesar 50%.

BAB 1 METODOLOGI

1-11

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA Untuk data aliran yang terbatas dan data hujan yang cukup panjang maka data aliran tersebut dapat dibangkitkan dengan menggunakan metoda pendekatan modelling hujan-aliran. Model hujan-aliran yang digunakan adalah Metoda Mock. Metoda Mock lebih sering dipakai dibandingkan dengan metoda-metoda yang lain (SMAR, NRECA dll) karena metoda ini dikembangkan di Indonesia, penerapannya mudah dan menggunakan data yang relatif lebih sedikit.
AS I

BAB 1 METODOLOGI

1-12

P VA

OT

RA

P NS

IR

HUJAN

TANAH INFILTRASI

BATU

PERKOLASI
L Pe impa rm sa uk n aa n
Al
ir

an

AIR TANAH

AL IRA N

A IR

T AN AH

Gambar 1. 1 Ilustrasi proses terbentuknya aliran permukaan.

1.4.2

Debit Andalan

Untuk menentukan besarnya debit andalan dibutuhkan seri data debit yang panjang yang dimiliki oleh setiap statiun pengamatan debit sungai. Metoda yang sering dipakai untuk analisis debit andalan adalah metoda statistik (rangking). Menurut Soemarto (1987), pengamatan besarnya keandalan yang diambil untuk penyelesaian optimum penggunaan air di beberapa macam kegiatan dapat dilihat pada Tabel 1.2 berikut ini.

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

Su n ga i

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA Penetapan rangking dilakukan menggunakan analisis frekuensi/probabilitas dengan rumus Weibul. Debit andalan 80% (Q80%) berarti bahwa probabilitas debit tersebut untuk disamai atau dilampaui sebesar 80% yang berarti juga bahwa kegagalan kemungkinan terjadi dengan probabilitas sebesar 100% dikurangi 80% atau boleh dikatakan sebesar 20%. Dapat diartikan juga bahwa dalam 5 tahun ada kemungkinan satu tahun gagal.

BAB 1 METODOLOGI

1-13

Tabel 1. 2 Nilai Debit Andalan untuk Berbagai Macam Kegiatan

Kegiatan Penyediaan air minum Penyediaan air industri Penyediaan air irigasi Daerah beriklim setengah lembab Daerah beriklim kering Pembangkit listrik tenaga air

Keandalan 99% 95-98%

70-85% 80-95% 85-90%

Prosedur analisis dimulai dengan mengurutkan seri data dari urutan terbesar sampai ke yang terkecil. Selanjutnya dirangking dimulai dengan rangking pertama (m=1) untuk data yang paling besar dan seterusnya. Langkah ketiga dibuatkan kolom plotting dengan rumus Weibul. Adapun Rumus Weibul adalah sebagai berikut:

P=

m N +1

dimana : P = probabilitas; m = rangking; dan N = jumlah data. Berikut ini ditampilkan contoh tabel dan grafik perhitungan debit andalan 80% untuk salah satu stasiun pengamatan di suatu sungai hipotetik. Data debit yang dianalisis adalah data untuk bulan Agustus dimulai dari tahun 1982 sampai tahun 2003. Untuk mengetahui debit andalan 80% dilakukan interpolasi diantara data ke-18 dan data ke-19, sehingga didapat nilai debit andalan 80% sebesar 2,09 m3/det. Selain dengan cara interpolasi, debit andalan dapat juga dicari dengan membaca

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA grafik yang disusun berdasarkan data-data debit yang sudah olah sesuai dengan prosedur diatas. Untuk Studi Prakarsa Strategis Sumber daya air untuk mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa ini digunakan debit andalan 80% untuk titik-titik pengambilan air sungai yang dilakukan secara bebas atau dengan struktur sederhana seperti bendung. Sedangkan untuk pengambilan air sungai dengan menggunakan struktur khusus berupa waduk atau reservoir digunakan debit andalan sebesar 50%.
Tabel 1. 3 Perhitungan Debit Andalan pada Bulan Agustus untuk Sungai Hipotetik

BAB 1 METODOLOGI

1-14

Debit (m3/det) 14,46 7,48 6,68 6,37 6,17 5,99 5,96 5,66 5,28 4,75 3,66 3,03 3,02 2,96 2,31 2,24 2,22 2,16 1,98 1,61 1,56 1,30

Rangking 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22

Probabilitas 0,04 0,09 0,13 0,17 0,22 0,26 0,30 0,35 0,39 0,43 0,48 0,52 0,57 0,61 0,65 0,70 0,74 0,78 0,83 0,87 0,91 0,96

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

BAB 1 METODOLOGI

16.00 14.00 12.00 Debit (m3/det) 10.00 8.00 6.00 4.00 2.00 0.00 0 20 40 P(%) 60 80 100

1-15

Gambar 1. 2 Lengkung debit aliran pada Bulan Agustus di salah satu stasiun pengamatan Sungai Hipotetik.

1.4.3

Metoda Mock

Hasil penaksiran atau perkiraan debit limpasan (run off) tidak bisa menggantikan dokumentasi data aliran sungai. Namun dalam hal dimana sangat dibutuhkan tersedianya data tersebut, maka diperlukan adanya penaksiran atau perkiraan. Ada banyak metoda untuk menaksir debit limpasan. Akurasi dari masing-masing metoda tersebut bergantung pada keseragaman dan keandalan data yang tersedia. Salah satu metoda tersebut adalah Metoda Mock. Metoda Mock adalah suatu metoda untuk memperkirakan keberadaan air berdasarkan konsep water balance. Keberadaan air yang dimaksud di sini adalah besarnya debit suatu daerah aliran sungai. Data yang digunakan untuk memperkirakan debit ini berupa data klimatologi dan karakteristik daerah aliran sungai. Metoda Mock dikembangkan oleh Dr. F. J. Mock berdasarkan atas daur hidrologi. Metoda Mock merupakan salah satu dari sekian banyak metoda yang

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA menjelaskan hubungan rainfall-runoff. Secara garis besar model rainfall-runoff bisa dilihat pada Gambar 1.3. Metoda Mock dikembangkan untuk menghitung debit bulanan rata-rata. Data-data yang dibutuhkan dalam perhitungan debit dengan Metoda Mock ini adalah data klimatologi, luas dan penggunaan lahan dari catchment area.

BAB 1 METODOLOGI

1-16

Evapotranspirasi

Rainfall

Surface Storage

Surface Run Off

Infiltrasi

Total Run

Groundwater Storage

Groundwater Run Off

Gambar 1. 3

Bagan alir model rainfall-runoff.

Pada prinsipnya, Metoda Mock memperhitungkan volume air yang masuk, keluar dan yang disimpan dalam tanah (soil storage). Volume air yang masuk adalah hujan. Air yang keluar adalah infiltrasi, perkolasi dan yang dominan adalah akibat evapotranspirasi. Perhitungan evapotranspirasi menggunakan Metoda Penmann. Sementara soil storage adalah volume air yang disimpan dalam pori-pori tanah, hingga kondisi tanah menjadi jenuh. Secara keseluruhan perhitungan debit dengan Metoda Mock ini mengacu pada water balance, dimana volume air total yang ada di bumi adalah tetap, hanya sirkulasi dan distribusinya yang bervariasi. Proses perhitungan yang dilakukan dalam Metoda Mock dijelaskan secara umum dalam Gambar 1.4 berikut ini.

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

BAB 1 METODOLOGI

1-17
Perhitungan Evapotranspirasi Potensial (Metoda Penman)

Perhitungan Evapotranspirasi Aktual

Perhitungan Water Surplus

Perhitungan Base Flow, Direct Run Off, dan Storm Run Off

Gambar 1. 4 Bagan alir perhitungan debit dalam Metoda Mock.

A. Water Balance Dalam siklus hidrologi, penjelasan mengenai hubungan antara aliran ke dalam (inflow) dan aliran keluar (outflow) di suatu daerah untuk suatu perioda tertentu disebut neraca air atau keseimbangan air (water balance). Hubungan-hubungan ini lebih jelas ditunjukkan oleh Gambar 1.5. Bentuk umum persamaan water balance adalah: P = Ea + GS + TRO dengan: P Ea GS TRO = presipitasi. = evapotranspirasi. = perubahan groundwater storage. = total run off.

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

BAB 1 METODOLOGI

Water balance merupakan siklus tertutup yang terjadi untuk suatu kurun waktu
pengamatan tahunan tertentu, dimana tidak terjadi perubahan groundwater

1-18

storage atau GS = 0. Artinya awal penentuan groundwater storage adalah


berdasarkan bulan terakhir dalam tinjauan kurun waktu tahunan tersebut. Sehingga persamaan water balance menjadi: P = Ea + TRO Beberapa hal yang dijadikan acuan dalam prediksi debit dengan Metoda Mock sehubungan dengan water balance untuk kurun waktu (misalnya 1 tahun) adalah sebagai berikut: a. Dalam satu tahun, perubahan groundwater storage (GS) harus sama dengan nol. b. Jumlah total evapotranspirasi dan total run off selama satu tahun harus sama dengan total presipitasi yang terjadi dalam tahun itu. Dengan tetap memperhatikan kondisi-kondisi batas water balance di atas, maka prediksi debit dengan Metoda Mock diharapkan dapat akurat.

Presipitas Evaporas Air Limpasa


Air

Uap

Presipitas

Curah Perkola

Kelembaban Tanah Evaporas Presipitas


Gambar 1. 5 Sirkulasi air

Perkola

B. Data Iklim

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA Data iklim yang digunakan dalam Metoda Mock adalah presipitasi, temperatur, penyinaran matahari, kelembaban relatif dan data kecepatan angin. Secara umum data-data ini digunakan untuk menghitung evapotranspirasi. Dalam Metoda Mock, data-data iklim yang dipakai adalah data bulanan rata-rata, kecuali untuk presipitasi yang digunakan adalah jumlah data dalam satu bulan. Notasi dan satuan yang dipakai untuk data iklim ditabelkan pada Tabel 1.4.
Tabel 1. 4 Notasi dan Satuan Parameter Iklim

BAB 1 METODOLOGI

1-19

Data Meteorologi Presipitasi Temperatur Penyinaran Matahari Kelembaban Relatif Kecepatan Angin

Notasi P T S H W

Satuan Milimeter (mm) Derajat Celcius (0C) Persen (%) Persen (%) Mile per hari (mile/hr)

Sumber: Sudirman (2002). C. Evapotranspirasi Evapotranspirasi merupakan faktor penting dalam memprediksi debit dari data curah hujan dan klimatologi dengan menggunakan Metoda Mock. Alasannya adalah karena evapotranspirasi ini memberikan nilai yang besar untuk terjadinya debit dari suatu daerah aliran sungai. Evapotranspirasi diartikan sebagai kehilangan air dari lahan dan permukaan air dari suatu daerah aliran sungai akibat kombinasi proses evaporasi dan transpirasi. Lebih rinci tentang evapotranspirasi potensial dan evapotranspirasi aktual diuraikan di bawah ini. 1. Evapotranspirasi Potensial Evapotranspirasi potensial adalah evapotranspirasi yang mungkin terjadi pada kondisi air yang tersedia berlebihan. Faktor penting yang mempengaruhi evapotranspirasi potensial adalah tersedianya air yang cukup banyak. Jika jumlah air selalu tersedia secara berlebihan dari yang diperlukan oleh tanaman selama proses transpirasi, maka jumlah air yang ditranspirasikan relatif lebih besar dibandingkan apabila tersedianya air di bawah keperluan.

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA Beberapa rumus empiris untuk menghitung evapotranspirasi potensial adalah rumus empiris dari: Thornthwaite, Blaney-Criddle, Penman dan TurcLangbein-Wundt. Dari rumus-rumus empiris di atas, Metoda Mock menggunakan rumus empiris dari Penman. Rumus empiris Penman memperhitungkan banyak data klimatologi yaitu temperatur, radiasi matahari, kelembaban, dan kecepatan angin sehingga hasilnya relatif lebih akurat. Perhitungan evaporasi potensial Penman didasarkan pada keadaan bahwa agar terjadi evaporasi diperlukan panas. Menurut Penman besarnya evapotranspirasi potensial diformulasikan

BAB 1 METODOLOGI

1-20

sebagai berikut:
E= AH + 0,27D A + 0,27

dengan: H = energy budget, = R (1-r) (0,18 + 0,55 S) - B (0,56 0,092 ed ) (0,10 + 0,9 S) D = panas yang diperlukan untuk evapotranspirasi, = 0,35 (ea ed) (k + 0,01w) A = slope vapour pressure curve pada temperatur rata-rata, dalam mmHg/oF. B = radiasi benda hitam pada temperatur rata-rata, dalam mmH2O/hari. ea = tekanan uap air jenuh (saturated vapour pressure) pada temperatur rata-rata (mmHg). R = radiasi matahari, dalam mm/hari. r = koefisien refleksi, yaitu perbandingan antara radiasi elektromagnetik (dalam sembarang rentang nilai panjang gelombang yang ditentukan) yang dipantulkan oleh suatu benda dengan jumlah radiasi yang terjadi, dan dinyatakan dalam persentasi.
r= radiasi elektromagnetik yang dipantulkan x 100% jumlah radiasi yang terjadi

S = rata-rata persentasi penyinaran matahari bulanan, dalam persen (%). ed = tekanan uap air sebenarnya (actual vapour pressure), dalam mmHg. = ea x h. h = kelembaban relatif rata-rata bulanan, dalam persen (%).

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

BAB 1 METODOLOGI

1-21

= koefisien kekasaran permukaan evaporasi (evaporating surface). Untuk permukaan air nilai k = 0,50 dan untuk permukaan vegetasi nilai k = 1,0.

w = kecepatan angin rata-rata bulanan, dalam mile/hari. Substitusi persamaan-persamaan di atas menghasilkan:
E= A R (1 r )(0,18 + 0,55S ) B 0,5 - 0,092 ed (0,1 + 0,9S ) A + 0,27

} + 0,27 { 0,35 (ea ed ) (k + 0,01w ) }

dalam bentuk lain:


E= A ( 0,18 + 0,55S A + 0,27

) R (1 r )

AB 0,56 0,092 ed A + 0,27

) ( 0,1 + 0,9S ) + 0,27 x 0,35 (ea ed ) ( k + 0,01w )


A + 0,27

jika:
F1 = f(T, S) =
F2 = f(T, h) =

A ( 0,18 + 0,55S A + 0,27

AB 0,56 0,092 ed A + 0,27

F3 = f(T, h) =

0,27 x 0,35

A + 0,27

( e a ed )

maka: E = F1 x R(1 - r) - F2 x (0,1 + 0,9S) + F3 x (k + 0,01w) dan jika: E1 = F1 x R(1 - r) E2 = F2 x (0,1 + 0,9S) E3 = F3 x (k + 0,01w) maka bentuk yang sederhana dari persamaan evapotranspirasi potensial menurut Penman adalah: E = E1 - E2 + E3

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA Formulasi inilah yang dipakai dalam Metoda Mock untuk menghitung besarnya evapotranspirasi potensial dari data-data klimatologi yang lengkap (temperatur, lama penyinaran matahari, kelembaban relatif, dan kecepatan angin). Besarnya evapotranspirasi potensial ini dinyatakan dalam mm/hari. Untuk menghitung besarnya evapotranspirasi potensial dalam 1 bulan maka kalikan dengan jumlah hari dalam bulan itu. Besarnya A, B dan ea tergantung pada temperatur rata-rata. Hubungan temperatur rata-rata dengan parameter evapotranspirasi ini ditabelkan pada Tabel 1.5. Besarnya radiasi matahari tergantung letak lintang. Besarnya radiasi matahari ini berubah-ubah menurut bulan, seperti Tabel 1.6 pada halaman berikut ini. Koefisien refleksi sangat berpengaruh pada evapotranspirasi. Tabel 1.7 memuat nilai koefisien refleksi yang digunakan dalam Metoda Mock.

BAB 1 METODOLOGI

1-22

Tabel 1. 5 Hubungan Temperatur Rata-rata vs Parameter Evapotranspirasi A, B & ea Temperatur 8 10 12 14 16 18 20 22 24 26 28 30 (0C) A (mmHg/0F) 0,304 0,342 0,385 0,432 0,484 0,541 0,603 0,671 0,746 0,828 0,917 1,013 B (mmH2O/hari) 12,60 12,90 13,30 13,70 14,80 14,50 14,90 15,40 15,80 16,20 16,70 17,10 Ea 8,05 9,21 10,50 12,00 13,60 15,50 17,50 19,80 22,40 25,20 28,30 31,80 (mmHg) Sumber: Sudirman (2002). Tabel 1. 6 Nilai Radiasi Matahari pada Permukaan Horizontal Luar Atmosfir (mm/hari) Bulan Jan 5 LU 13,7 00 5 LS
0 0 0

Peb 14,5 15,0 15,4 15,7

Mar 15,0 15,2 15,2 15,1

Apr 15,0 14,7 14,3 13,8

Mei 14,5 13,9 13,2 12,4

Jun 14,1 13,4 12,5 11,6

Jul 14,2 13,5 12,7 11,9

Agu 14,6 14,2 13,6 13,0

Sep 14,9 14,9 14,7 14,4

Okt 14,6 15,0 15,2 15,3

Nop 13,9 14,6 15,2 15,7

Des 13,4 14,3 15,1 15,8

Tahun 14,39 14,45 14,33 14,21

14,5 15,2

10 LS 15,8

Sumber: Sudirman (2002). Tabel 1. 7 No. 1 Permukaan Rata-rata permukaan bumi Koefisien Refleksi, r Koefisien Refleksi [r] 40 %

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA


2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 Cairan salju yang jatuh diakhir musim masih segar Spesies tumbuhan padang pasir dengan daun berbulu Rumput, tinggi dan kering Permukaan padang pasir Tumbuhan hijau yang membayangi seluruh tanah Tumbuhan muda yang membayangi sebagian tanah Hutan musiman Hutan yang menghasilkan buah Tanah gundul kering Tanah gundul lembab Tanah gundul basah Pasir, basah kering Air bersih, elevasi matahari 450 Air bersih, elevasi matahari 200 40 85 % 30 40 % 31 33 % 24 28 % 24 27 % 15 24 % 15 20 % 10 15 % 12 16 % 10 12 % 8 10 % 9 18 % 5% 14 %

BAB 1 METODOLOGI

1-23

Sumber: Sudirman (2002).

2. Evapotranspirasi Aktual Jika dalam evapotranspirasi potensial air yang tersedia dari yang diperlukan oleh tanaman selama proses transpirasi berlebihan, maka dalam evapotranspirasi aktual ini jumlah air tidak berlebihan atau terbatas. Jadi evapotranspirasi aktual adalah evapotranspirasi yang terjadi pada kondisi air yang tersedia terbatas. Evapotranspirasi aktual dipengaruhi oleh proporsi permukaan luar yang tidak tertutupi tumbuhan hijau (exposed surface) pada musim kemarau. Besarnya exposed surface (m) untuk tiap daerah berbedabeda. F.J. Mock mengklasifikasikan menjadi tiga daerah dengan masingmasing nilai exposed surface ditampilkan pada Tabel 1.8.

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA


Tabel 1. 8

BAB 1 METODOLOGI

Exposed Surface, m

1-24

No. 1 2 3

m 0% 10 40 % 30 50 %

Daerah Hutan primer, sekunder Daerah tererosi Daerah ladang pertanian

Sumber: Sudirman (2002). Selain exposed surface evapotranspirasi aktual juga dipengaruhi oleh jumlah hari hujan (n) dalam bulan yang bersangkutan. Menurut Mock rasio antara selisih evapotranspirasi potensial dan

evapotranspirasi aktual dengan evapotranspirasi potensial dipengaruhi oleh

exposed surface (m) dan jumlah hari hujan (n), seperti ditunjukan dalam
formulasi sebagai berikut.
E m = (18 n) EP 20

Sehingga:
m E = EP (18 n ) 20 .

Dari formulasi diatas dapat dianalisis bahwa evapotranspirasi potensial akan sama dengan evapotranspirasi aktual (atau E = 0) jika: a. Evapotranspirasi terjadi pada hutan primer atau hutan sekunder. Dimana daerah ini memiliki harga exposed surface (m) sama dengan nol (0). b. Banyaknya hari hujan dalam bulan yang diamati pada daerah itu sama dengan 18 hari. Jadi yang evapotranspirasi bersangkutan. aktual adalah evapotranspirasi evapotranspirasi potensial aktual yang adalah

memperhitungkan faktor exposed surface dan jumlah hari hujan dalam bulan Sehingga evapotranspirasi yang sebenarnya terjadi atau actual evapotranspiration, dihitung sebagai berikut:
Eactual = EP E

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

BAB 1 METODOLOGI

D. Water Surplus

1-25

Water surplus didefinisikan sebagai air hujan (presipitasi) yang telah mengalami
evapotranspirasi dan mengisi tampungan tanah (soil storage, disingkat SS).

Water surplus ini berpengaruh langsung pada infiltrasi atau perkolasi dan total run off yang merupakan komponen debit. Persamaan water surplus (disingkat
WS) adalah sebagai berikut: WS = (P Ea) + SS Dengan memperhatikan Gambar 1.6, maka water surplus merupakan air limpasan permukaan ditambah dengan air yang mengalami infiltrasi. Tampungan kelembaban tanah (soil moisture storage, disingkat SMS) terdiri dari kapasitas kelembaban tanah (soil moisture capacity, disingkat SMC), zona infiltrasi, limpasan permukaan tanah dan tampungan tanah (soil storage, disingkat SS).

PRESIPITASI

EVAPOTRANSPIRASI

TAMPUNGAN KELEMBABAN TANAH

LIMPASAN PERMUKAAN ZONA INFILTRASI

KAPASITAS KELEMBABAN TANAH

Gambar 1. 6 Water surplus merupakan presipitasi yang telah mengalami evapotranspirasi atau limpasan yang ditambah infiltrasi.

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA Besarnya soil moisture capacity (SMC) tiap daerah tergantung dari tipe tanaman penutup lahan (land cover) dan tipe tanahnya, seperti ditunjukkan dalam Tabel 1.9. Dalam studi yang dilakukan Mock di daerah aliran sungai di Bogor, ditetapkan besarnya kapasitas kelembaban tanah maksimum adalah 200 mm/bulan. Dalam Metoda Mock, tampungan kelembaban tanah dihitung sebagai berikut: SMS = ISMS + (P Ea) dengan: ISMS PEa = initial soil moisture storage (tampungan kelembaban tanah awal), merupakan soil moisture capacity (SMC) bulan sebelumnya. = presipitasi yang telah mengalami evapotranspirasi.

BAB 1 METODOLOGI

1-26

Asumsi yang dipakai oleh Dr. F.J. Mock adalah air akan memenuhi SMC terlebih dahulu sebelum water surplus tersedia untuk infiltrasi dan perkolasi yang lebih dalam atau melimpas langsung (direct run off). Ada dua keadaan untuk menentukan SMC, yaitu: a) SMC = 200 mm/bulan, jika P Ea < 0. Artinya soil moisture storage (tampungan tanah lembab) sudah mencapai kapasitas maksimumnya atau terlampaui sehingga air tidak disimpan dalam tanah lembab. Ini berarti soil storage (SS) sama dengan nol dan besarnya

water surplus sama dengan P - Ea.


b) SMC = SMC bulan sebelumnya + (P Ea), jika P Ea < 0. Untuk keadaan ini, tampungan tanah lembab (soil moisture storage) belum mencapai kapasitas maksimum, sehingga ada air yang disimpan dalam tanah lembab. Besarnya air yang disimpan ini adalah P Ea. Karena air berusaha untuk mengisi kapasitas maksimumnya, maka untuk keadaan ini tidak ada water surplus (WS = 0). Selanjutnya WS ini akan mengalami infiltrasi dan melimpas di permukaan (run

off). Besarnya infiltrasi ini tergantung pada koefisien infiltrasi.

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA


Tabel 1. 9 Nilai Soil Moisture Capacity untuk Berbagai Tipe Tanaman dan Tipe Tanah

BAB 1 METODOLOGI

1-27

Tipe Tanaman

Tipe Tanah Pasir Halus Pasir Halus dan Loam Lanau dan Loam Lempung dan Loam Lempung Pasir Halus Pasir Halus dan Loam Lanau dan Loam Lempung dan Loam Lempung Pasir Halus Pasir Halus dan Loam Lanau dan Loam Lempung dan Loam Lempung Pasir Halus Pasir Halus dan Loam Lanau dan Loam Lempung dan Loam Lempung Pasir Halus Pasir Halus dan Loam Lanau dan Loam Lempung dan Loam Lempung

Zone Akar (dalam m) 0,50 0,50 0,62 0,40 0,25 0,75 1,00 1,00 0,80 0,50 1,00 1,00 1,25 1,00 0,67 1,50 1,67 1,50 1,00 0,67 2,50 2,00 2,00 1,60 1,17

Soil Moisture Capacity (dalam mm) 50 75 125 100 75 75 150 200 200 150 100 150 250 250 200 150 250 300 250 200 250 300 400 400 350

Tanaman Berakar Pendek

Tanaman Berakar Sedang

Tanaman Berakar Dalam

Tanaman Palm

Mendekati Hutan Alam

Sumber: Sudirman (2002).

E. Limpasan Total Air hujan yang telah mengalami evapotranspirasi dan disimpan dalam tanah lembab selanjutnya melimpas di permukaan (surface run off) dan mengalami

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA perkolasi. Berikutnya, menurut Mock besarnya infiltrasi adalah water surplus (WS) dikalikan dengan koefisien Infiltrasi (if), atau: Infiltrasi (i) = WS x if Koefisien infiltrasi ditentukan oleh kondisi porositas dan kemiringan daerah pengaliran. Lahan yang bersifat porous umumnya memiliki koefisien yang cenderung besar. Namun jika kemiringan tanahnya terjal dimana air tidak sempat mengalami infiltrasi dan perkolasi ke dalam tanah, maka koefisien infiltrasinya bernilai kecil. Infiltrasi terus terjadi sampai mencapai zona tampungan air tanah (groundwater

BAB 1 METODOLOGI

1-28

storage, disingkat GS). Keadaan perjalanan air di permukaan tanah dan di dalam
tanah diperlihatkan dalam Gambar 1.7. Dalam Metoda ini, besarnya groundwater storage (GS) dipengaruhi oleh: a. Infiltrasi (i). Semakin besar infiltrasi maka groundwater storage semakin besar pula, dan begitu pula sebaliknya. b. Konstanta resesi aliran bulanan (K). Konstanta resesi aliran bulanan (monthly

flow recession constan) disimbolkan dengan K adalah proporsi dari air tanah
bulan lalu yang masih ada bulan sekarang. Nilai K ini cenderung lebih besar pada bulan basah. c. Groundwater storage bulan sebelumnya (GSom). Nilai ini diasumsikan sebagai konstanta awal, dengan anggapan bahwa water balance merupakan siklus tertutup yang ditinjau selama rentang waktu menerus tahunan tertentu. Dengan demikian maka nilai asumsi awal bulan pertama tahun pertama harus dibuat sama dengan nilai bulan terakhir tahun terakhir. Dari ketiga faktor di atas, Mock merumuskan sebagai berikut: GS = { 0,5 x (1 + K) x i } + { K x GSom }

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

BAB 1 METODOLOGI

1-29
P Ea SRO SROS DRO

Perkolasi GS BF

Channel

TRO

Gambar 1. 7 Perjalanan air hujan sampai terbentuk debit

Seperti telah dijelaskan, metoda Mock adalah metoda untuk memprediksi debit yang didasarkan pada water balance. Oleh sebab itu, batasan-batasan water

balance ini harus dipenuhi. Salah satunya adalah bahwa perubahan groundwater storage
(GS) selama rentang waktu tahunan tertentu adalah nol, atau (misalnya untuk 1 tahun):
bulan ke 12

i = bulan ke 1

GS = 0

Perubahan groundwater storage (GS) adalah selisih antara groundwater

storage bulan yang ditinjau dengan groundwater storage bulan sebelumnya.


Perubahan groundwater storage ini penting bagi terbentuknya aliran dasar sungai (base flow, disingkat BF). Dalam hal ini base flow merupakan selisih antara infiltrasi dengan perubahan groundwater storage, dalam bentuk persamaan: BF = i - GS

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA Jika pada suatu bulan GS bernilai negatif (terjadi karena GS bulan yang ditinjau lebih kecil dari bulan sebelumnya), maka base flow akan lebih besar dari nilai Infiltrasinya. Karena water balance merupakan siklus tertutup dengan perioda tahunan tertentu (misalnya 1 tahun) maka perubahan groundwater storage (GS) selama 1 tahun adalah nol. Dari persaman di atas maka dalam 1 tahun jumlah base flow akan sama dengan jumlah infiltrasi. Selain base flow, komponen debit yang lain adalah direct run off (limpasan langsung) atau surface run off dihitung dengan persamaan: DRO = WS - i Setelah base flow dan direct run off komponen pembentuk debit yang lain adalah (limpasan permukaan). Limpasan permukaan berasal dari water surplus yang telah mengalami infiltrasi. Jadi direct run off

BAB 1 METODOLOGI

1-30

storm run off, yaitu limpasan langsung ke sungai yang terjadi selama hujan
deras. Storm run off ini hanya beberapa persen saja dari hujan. Storm run off hanya dimasukkan ke dalam total run off, bila presipitasi kurang dari nilai maksimum soil moisture capacity. Menurut Mock storm run off dipengaruhi oleh

percentage factor, disimbolkan dengan PF. Percentage factor adalah persen


hujan yang menjadi limpasan. Besarnya PF oleh Mock disarankan 5% - 10%, namun tidak menutup kemungkinan untuk meningkat secara tidak beraturan hingga mencapai 37,3%. Dalam perhitungan debit ini, Mock menetapkan bahwa: i. Jika presipitasi (P) > maksimum soil moisture capacity maka nilai storm run off = 0. ii. Jika P < maksimum soil moisture capacity maka storm run off adalah jumlah curah hujan dalam satu bulan yang bersangkutan dikali percentage factor, atau: SRO = P x PF Dengan demikian maka total run off (TRO) yang merupakan komponen-

komponen pembentuk debit sungai (stream flow) adalah jumlah antara base

flow, direct run off dan storm run off, atau:

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA TRO = BF + DRO + SRO Total run off ini dinyatakan dalam mm/bulan. Maka jika TRO ini dikalikan dengan

BAB 1 METODOLOGI

1-31

catchment area (luas daerah tangkapan air) dalam km2 dengan suatu angka
konversi tertentu didapatkan besaran debit dalam m3/det. F. Parameter Mock Secara umum, parameter-parameter yang dijelaskan berikut ini mempengaruhi besarnya evapotranspirasi, infiltrasi, groundwater storage dan storm run off. a. Koefisien refleksi (r), yaitu perbandingan antara jumlah radiasi matahari yang dipantulkan oleh suatu permukaan dengan jumlah radiasi yang terjadi, yang dinyatakan dalam persen. Koefisien refleksi ini berbeda-beda untuk tiap permukaan bumi. Menurut Mock, rata-rata permukaan bumi mempunyai harga koefisien refleksi sebesar 40%. Mock telah mengklasifikasikan tiap permukaan bumi dengan nilai koefisien refleksinya masing-masing. Koefisien refleksi untuk masing-masing permukaan bumi seperti telah ditabelkan dalam Tabel 1.7. b. Exposed surface (m), yaitu asumsi proporsi permukaan luar yang tidak tertutupi tumbuhan hijau pada musim kering dan dinyatakan dalam persen. Besarnya harga

ini,

tergantung

daerah

yang

diamati.

Mock

mengklasifikasikan menjadi tiga bagian daerah, yaitu hutan primer atau sekunder, daerah tererosi dan daerah ladang pertanian. Besarnya harga

exposed surface ini berkisar antara 0% sampai 50% dan sama untuk tiap
bulan. Harga m untuk ketiga klasifikasi daerah ini telah ditabelkan dalam Tabel 1.8 di atas. c. Koefisien infiltrasi (if), adalah koefisien yang didasarkan pada kondisi porositas tanah dan kemiringan daerah pengaliran. Koefisien infiltrasi mempunyai nilai yang besar jika tanah bersifat porous, sifat bulan kering dan kemiringan lahannya tidak terjal. Karena dipengaruhi sifat bulan maka if ini bisa berbeda-beda untuk tiap bulan. Harga minimum koefisien infiltrasi bisa dicapai karena kondisi lahan yang terjal dan air tidak sempat mengalami infiltrasi.

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA d. Konstanta resesi aliran (K), yaitu proporsi dari air tanah bulan lalu yang masih ada bulan sekarang. Pada bulan hujan Nilai K cenderung lebih besar, ini berarti tiap bulan nilai K ini berbeda-beda. Harga K suatu bulan relatif lebih besar jika bulan sebelumnya merupakan bulan basah. e. Percentage factor (PF), merupakan persentase hujan yang menjadi limpasan. Digunakan dalam perhitungan storm run off pada total run off.

BAB 1 METODOLOGI

1-32

Storm run off hanya dimasukkan kedalam total run off bila P lebih kecil dari
nilai maksimum soil moisture capacity. Besarnya PF oleh Mock disarankan berkisar 5%-10%, namun tidak menutup kemungkinan untuk meningkat secara tidak beraturan sampai harga 37,3%. 1.4.4 Data Kalibrasi

Kalibrasi terhadap parameter Mock yang digunakan perlu dilakukan agar hasil perhitungan debit dengan metoda ini dapat mewakili kondisi aktual seperti di lapangan (dibandingkan dengan debit hasil pengukuran hidrometri yang diperoleh dari data sekunder). Dalam perhitungan debit limpasan dengan menggunakan metoda Mock tersebut, digunakan data debit bulanan hasil pengumpulan data sekunder untuk kalibrasi yang dilakukan pada semua sungai di Pulau Jawa yang memiliki data stasiun pengukuran debit.

1.5

METODOLOGI ANALISIS KEBUTUHAN AIR

Kebutuhan air secara umum dapat dibagi dalam dua kategori yaitu kebutuhan air yang digunakan untuk keperluan irigasi dan kebutuhan air yang digunakan untuk keperluan non irigasi. Untuk kebutuhan air non irigasi sendiri masih dibagi menjadi kebutuhan air untuk keperluan domestik, non domestik, industri, peternakan perikanan dan penggelontoran/perawatan sungai. Untuk memperkirakan kebutuhan air untuk keperluan-keperluan tersebut, digunakan pendekatan berdasarkan batas administrasi.

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA 1.5.1 Proyeksi Kebutuhan

BAB 1 METODOLOGI

1-33

Analisis kebutuhan air yang meliputi kebutuhan air untuk irigasi, domestik, non domestik, industri, peternakan, dan perikanan selain dilakukan untuk kebutuhan air saat ini juga dilakukan untuk kebutuhan air di masa akan datang dimana faktor-faktor utama yang mempengaruhi kebutuhan tersebut akan mengalami perubahan. Jumlah dan penyebaran penduduk menentukan kuantitas kebutuhan air sedangkan laju perubahan penggunaan lahan juga sangat menentukan kuantitas kebutuhan air untuk irigasi dan perikanan. Untuk memproyeksikan jumlah penduduk dan perubahan penggunaan lahan secara tepat adalah sangat sulit. Banyak pendekatan yang dapat dilakukan, salah satunya adalah dengan menggunakan metode pendekatan eksponensial yang telah direkomendasikan di dalam buku Pedoman Perencanaan Sumber Daya Air Wilayah Sungai yang telah diterbitkan Direktorat Jenderal Sumber Daya Air tahun 2001. Metode ini memakai anggapan persentase pertumbuhan penduduk dan perubahan lahan tiap-tiap tahun adalah konstan. Persamaannya dapat dituliskan sebagai berikut:

Pt = P (1 + r )
dimana:

Pt = populasi atau luas lahan t tahun yang akan datang (orang atau ha), P = populasi atau luas lahan waktu dasar yang ditinjau (orang atau ha), r = perkembangan penduduk atau perubahan luas lahan tiap tahun (%), t = banyaknya tahun yang diproyeksikan.

Dalam melakukan analisis penentuan jumlah penduduk dan luas lahan suatu kabupaten dihitung berdasarkan data yang diperoleh dari buku Propinsi dalam Angka dan Potensi Desa yang diperoleh dari BPS. Proyeksi yang dilakukan adalah berdasarkan data tahun 1990, 1995, 2000 dan 2003. Dari keempat data tersebut dilakukan perhitungan untuk memperoleh perkembangan penduduk dan perubahan luas lahan tiap tahunnya. Dengan demikian untuk menghitung proyeksi data jumlah penduduk dan luas lahan tahun-tahun mendatang digunakan nilai perkembangan penduduk dan perubahan luas lahan rata-rata dari tahun 1990 sampai 2003.

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA 1.5.2 Kebutuhan Air Rumah Tangga

BAB 1 METODOLOGI

1-34

Kebutuhan air rumah tangga atau domestik adalah kebutuhan air untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia sehari-hari. Kebutuhan air rumah tangga tersebut antara lain: Minum. Memasak Mandi, cuci, kakus (MCK). Lain-lain seperti cuci mobil, menyiram tanaman dan sebagainya.

Untuk memperkirakan jumlah kebutuhan air domestik saat ini dan di masa yang akan datang dihitung berdasarkan jumlah penduduk, tingkat pertumbuhan penduduk dan kebutuhan air perkapita. Kebutuhan air perkapita dipengaruhi oleh aktivitas fisik dan kebiasaan atau tingkat kesejahteraan. Oleh karena itu, dalam memperkirakan besarnya kebutuhan air domestik perlu dibedakan antara kebutuhan air untuk penduduk daerah urban (perkotaan) dan daerah rural (perdesaan). Adanya pembedaan kebutuhan air dilakukan dengan pertimbangan bahwa penduduk di daerah urban cenderung memanfaatkan air secara berlebih dibandingkan penduduk di daerah rural. Besarnya konsumsi air dapat mengacu pada berbagai macam standar yang telah dipublikasikan. Tabel 1.10 menampilkan angka-angka dari pengalaman pemakaian air di di beberapa bagian dunia. Standar kebutuhan air domestik berdasarkan kriteria jumlah penduduk dan jenis kota seperti disajikan pada Tabel 1.11. Jumlah penduduk yang digunakan dalam standar ini adalah jumlah penduduk yang menetap pada satu wilayah.
Tabel 1. 10 Gambaran Pemakaian Air Rumah Tangga di Beberapa Negara

Negara Amerika Serikat Australia Eropa Tropis

Pemakaian (liter/orang/hari) 150 1050 180 290 50 320 80 185

Sumber: Chatib dkk, hal 16.

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

BAB 1 METODOLOGI

1-35
Tabel 1. 11 Standar Kebutuhan Air Rumah Tangga Berdasarkan Jenis Kota dan Jumlah Penduduk.

Jumlah Penduduk > 2.000.000 1.000.000-2.000.000 500.000-1.000.000 100.000-500.000 20.000-100.000 3.000-20.000

Jenis Kota Metropolitan Metropolitan Besar Besar Sedang Kecil

Jumlah Kebutuhan Air (liter/orang/hari) > 210 150-210 120-150 100-150 90-100 60-100

Sumber: Pedoman Konstruksi dan Bangunan, Dep. PU.

Sedangkan besarnya kebutuhan air untuk tiap orang per hari berdasarkan standar dari Direktorat Jenderal Cipta Karya adalah sebagai berikut: a) Kebutuhan untuk penduduk kota besar sebesar 120 liter/kapita/hari. b) Kebutuhan untuk penduduk kota kecil sebesar 80 liter/kapita/hari. c) Kebutuhan untuk penduduk pedesaan sebesar 60 liter/kapita/hari.

1.5.3

Kebutuhan Air Perkotaan

Kebutuhan air non domestik atau sering juga disebut kebutuhan air perkotaan (municipal) adalah kebutuhan air untuk fasilitas kota, seperti fasilitas komersial, fasilitas pariwisata, fasilitas ibadah, fasilitas kesehatan dan fasilitas pendukung kota lainnya misalnya pembersihan jalan, pemadam kebakaran, sanitasi dan penyiraman tanaman perkotaan. Besarnya kebutuhan air perkotaan dapat ditentukan oleh banyaknya fasilitas perkotaan. Kebutuhan ini sangat dipengaruhi oleh tingkat dinamika kota dan jenjang suatu kota. Untuk memperkirakan kebutuhan air perkotaan suatu kota maka diperlukan datadata lengkap tentang fasilitas pendukung kota tersebut. Cara lain untuk

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA menghitung besarnya kebutuhan perkotaan adalah dengan menggunakan standar kebutuhan air perkotaan yang didasarkan pada kebutuhan air rumah tangga. Besarnya kebutuhan air perkotaan dapat diperoleh dengan prosentase dari jumlah kebutuhan rumah tangga, berkisar antara 25 - 40% dari kebutuhan air rumah tangga. Angka 40% berlaku khusus untuk kota metropolitan yang memiliki kepadatan penduduk sangat tinggi seperti Jakarta. Tabel 1.12 menampilkan standar yang dapat digunakan untuk menghitung kebutuhan air perkotaan apabila data rinci mengenai fasilitas kota dapat diperoleh. Untuk lebih jelasnya, kebutuhan air perkotaan dapat dilihat pada Tabel 1.13 dan Tabel 1.14. Kedua tabel ini digunakan bila tidak ada data rinci mengenai fasilitas kota.

BAB 1 METODOLOGI

1-36

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA


Tabel 1. 12 Besar Kebutuhan Air Perkotaan Berdasarkan Fasilitas Perkotaan
Metropolitan 0,1-1,00 (l/dt) 400 (l/kamar/hari) 1000 (l/kamar/hari) 135-180 (l/orang/hari) 15 (l/orang/hari) 20 15 1-2 (l/siswa/hari) (l/siswa/hari) 3 (m /hari/unit) Besar Sedang

BAB 1 METODOLOGI

1-37
Kecil Mutu Air Kelas Satu

Jenis Kebutuhan Air Untuk Fasilitas Perkotaan Komersial a. Pasar b. Hotel - Lokal - Internasional c. Hostek d. Bioskop Sosial dan Institusi a. Universitas b. Sekolah c. Mesjid d. Rumah Sakit <100 tempat tidur >100 tempat tidur e. Puskesmas f. Kantor g. Militer h. Klinik Kesehatan Fasilitas Pendukung Kota a. Taman b. Road Watering c. Sewer System (air kotor) Fasilitas Transportasi

Kelas Dua

340 (l/tp.tdr/hari) 400-450(l/tp.tdr/hari) 3 1-2 (m /hari/unit) 0,01-45(l/dt/hari) 10 (m3/hari/unit) 135 (l/orang/unit) 1,4 (l/m2/hari) 2 1,0-1,5 (l/m /hari) 4,5 (l/kapita/hari) Ada Fasilitas kamar mandi Tidak ada fasilitas kamar mandi (liter/kapita/hari) 23 45 45 70

40 % dari kebutuhan air baku rumah tangga (domestik)

30 % dari kebutuhan air baku rumah tangga (domestik)

25 % dari kebutuhan air baku rumah tangga (domestik)

a. Stasiun Menengah b. Stasiun Penghubung & Menengah dimana adanya tempat (kotak) surat c. Terminal d. Bandar Udara Lokal dan Internasional

45 70

45 70

Sumber: Pedoman Konstruksi dan Bangunan, Dep. PU.

Tabel 1. 13

Besarnya Kebutuhan Air Non Domestik Menurut Jumlah Penduduk

Kriteria (Jumlah Penduduk) > 500.000 100.000 500.000 < 100.000

Jumlah Kebutuhan Air Non Domestik (% Kebutuhan Air Rumah Tangga) 40 35 25

Sumber: Pedoman Konstruksi dan Bangunan, Dep. PU.

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA


Tabel 1. 14 Besar Kebutuhan Air Perkotaan Menurut Kepadatan Penduduk

BAB 1 METODOLOGI

1-38

Kriteria Kepadatan (jiwa/Ha) > 100 50 100 < 50

Jumlah Kebutuhan Air Perkotaan (% Kebutuhan Air Rumah Tangga) 25 35 20 30 15 30

Sumber: Pedoman Konstruksi dan Bangunan, Dep. PU.

1.5.4

Kebutuhan Air Industri

Kebutuhan air industri adalah kebutuhan air untuk proses industri, termasuk bahan baku, kebutuhan air pekerja industri dan pendukung kegiatan industri. Namun besar kebutuhan air industri ditentukan oleh kebutuhan air untuk diproses, bahan baku industri dan kebutuhan air untuk produktifitas industri. Sedangkan kebutuhan air untuk pendukung kegiatan industri seperti hidran dapat disesuaikan untuk jenis industrinya. Industri perlu diklasifikasikan untuk menentukan jumlah air yang dibutuhkan seperti disajikan pada Tabel 1.15 berikut ini.
Tabel 1. 15 Klasifikasi Industri

Jumlah Tenaga Kerja 1 4 orang 5 19 orang 20 99 orang > 100 orang

Klasifikasi Industri Rumah Tangga Kecil Sedang Besar

Besarnya kebutuhan air industri dapat diperkirakan dengan menggunakan standar kebutuhan air industri. Kebutuhan air industri ini berdasarkan pada proses atau jenis industri yang ada pada wilayah kawasan industri yang ada dan jumlah pekerja yang bekerja pada industri tersebut. Besarnya standar kebutuhan industri adalah sebagai berikut:

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA Untuk pekerja industri, kebutuhan air merupakan kebutuhan air domestik yang telah disesuaikan dengan kebutuhan pekerja pabrik. Adapun kebutuhan air tersebut adalah 60 liter/pekerja/hari. Untuk proses industri, kebutuhan air diklasifikasi sesuai dengan Tabel 1.16 berikut ini.
Tabel 1. 16 Kebutuhan Air Industri Berdasarkan Beberapa Proses Industri Jenis Proses Industri Kebutuhan Air (liter/hari)

BAB 1 METODOLOGI

1-39

Jenis Industri Industri rumah tangga Industri kecil Industri sedang

Belum ada, rekomendasi dapat disesuaikan dengan kebutuhan air rumah tangga. Minuman ringan. Industri es. Kecap. 1.600 11.200 18.000 67.000 12.000 97.000 65.000 7,8 juta 225.000 1,35 juta 400 700 liter/kapita/hari

Industri besar

Minuman ringan. Industri pembekuan ikan dan biota perairan lainnya.

Industri tekstil

Proses pengolahan tekstil.

Sumber: Pedoman Konstruksi dan Bangunan, Dep. PU.

Apabila data industri yang diperoleh adalah data luas lahan areal industri maka kita dapat menggunakan Kriteria Perencanaan Air Baku yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Cipta Karya (1994) sebagai berikut: Industri berat membutuhkan air sebesar 0,50-1,00 liter/detik/ha. Industri sedang membutuhkan air sebesar 0,25-0,50 liter/detik/ha. Industri kecil membutuhkan air sebesar 0,15-0,25 liter/detik/ha.

Banyak cara untuk memprediksikan kebutuhan air industri tergantung pada ketersediaan data yang ada. Jabotabek Water Resources Management Study JWRMS (1994) telah melakukan studi terhadap lebih dari 6.000 industri dari skala kecil sampai besar untuk mendapatkan korelasi antara jumlah karyawan dengan kebutuhan air untuk industri. Meskipun demikian ditemukan bahwa

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA keanekaragaman parameter produksi sangat besar sehingga hubungan tersebut tidak dapat ditemukan. Akhirnya dipakai angka kebutuhan sebesar 500 liter/karyawan/hari untuk memperhitungkan kebutuhan air untuk sektor industri.

BAB 1 METODOLOGI

1-40

1.5.5

Kebutuhan Air Peternakan

Kebutuhan air rata-rata untuk ternak ditentukan dengan mengacu pada hasil penelitian dari FIDP yang dimuat dalam Technical Report National Water

Resources Policy tahun 1992. Rinciannya dapat dilihat pada Tabel 1.17. Secara
umum kebutuhan air untuk ternak dapat diestimasikan dengan cara mengkalikan jumlah ternak dengan tingkat kebutuhan air.

Tabel 1. 17 Kebutuhan Air untuk Ternak

Jenis Ternak Sapi/kerbau/kuda Kambing/domba Babi Unggas

Kebutuhan air (lt/ekor/hari) 40 5,0 6,0 0,6

Sumber: Technical Report National Water Policy, 1992.

1.5.6

Kebutuhan Air Perikanan

Banyak metoda yang dapat dipakai untuk memperkirakan kebutuhan air perikanan. Kebutuhan ini meliputi untuk mengisi kolam pada saat awal tanam dan untuk penggantian air. Penggantian air bertujuan untuk memperbaiki kondisi kualitas air dalam kolam. Intensitas penggantiannya tergantung pada jenis ikan yang dipelihara. Jenis ikan gurami (Osphronemus gouramy) dan karper (Cyprinus) membutuhkan penggantian air minimal 1 kali dalam seminggu, sedangkan ikan lele dumbo (Clarias glariepinus) hanya membutuhkan minimal 1 bulan sekali. Estimasi besarnya kebutuhan air untuk perikanan ditentukan sesuai dengan studi yang dilakukan oleh FIDP. Ditetapkan bahwa untuk kedalaman kolam ikan

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA kurang lebih 70 cm, banyaknya air yang diperlukan per hektar adalah 35-40 mm/hari, air tersebut nantinya akan dimanfaatkan untuk pengaliran/pembilasan. Namun karena air tersebut tidak langsung dibuang, tetapi kembali lagi, maka besar kebutuhan air untuk perikanan yang diperlukan hanya sekitar 1/5 hingga 1/6 dari kebutuhan yang seharusnya, dan ditetapkan angka sebesar 7 mm/hari/ha sebagai kebutuhan air untuk perikanan. 1.5.7 Kebutuhan Air Penggelontoran/Pemeliharaan Sungai

BAB 1 METODOLOGI

1-41

Kebutuhan air untuk pemeliharaan sungai bisa diestimasi berdasarkan studi yang dilakukan oleh IWRD (The Study for Formulation of Irrigation Development

Program in The Republic of Indonesia (FIDP), Nippon Koei Co., Ltd., 1993), yaitu
perkalian antara jumlah penduduk perkotaan dengan kebutuhan air untuk pemeliharaan per kapita. Menurut IWRD, kebutuhan air untuk pemeliharaan sungai untuk saat ini adalah sebesar 360 liter/kapita/hari, sedangkan untuk tahun 20152020 diperkirakan kebutuhan air untuk pemeliharaan sungai akan berkurang menjadi 300 liter/kapita/hari dengan pertimbangan bahwa pada tahun 2015 akan semakin banyak penduduk yang mempunyai/memanfaatkan sistem pengolahan limbah. Mengingat bahwa dibutuhkan struktur penampungan air khusus yang dapat mengeluarkan debit air dalam jumlah besar seperti waduk dan reservoir serta nilai ekonomis air yang diperlukan untuk melakukan penggelontoran apabila dibandingkan dengan jika air waduk dipakai sebagai air baku untuk bahan air minum maka pada Studi Prakarsa Strategis Sumber daya air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan ini kebutuhan air untuk penggelontoran atau pemeliharaan sungai tidak diperhitungkan. 1.5.8 Kebutuhan Air Irigasi

Kebutuhan air irigasi ini meliputi pemenuhan kebutuhan air keperluan untuk lahan pertanian yang dilayani oleh suatu sistem irigasi teknis, setengah teknis maupun sederhana. Kebutuhan air untuk irigasi diperkirakan dari perkalian antara luas lahan yang diairi dengan kebutuhan airnya per satuan luas.

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA Kebutuhan air irigasi dipengaruhi oleh beberapa faktor: a. Kebutuhan untuk penyiapan lahan. b. Kebutuhan air konsumtif untuk tanaman. c. Kebutuhan air untuk penggantian lapisan air. d. Perkolasi. e. Efisiensi air irigasi. f. Luas areal irigasi.

BAB 1 METODOLOGI

1-42

g. Curah hujan efektif. Kebutuhan total air di sawah mencakup faktor a sampai dengan f, sedangkan untuk kebutuhan bersih air irigasi di sawah mencakup faktor a sampai g. Persamaan untuk menghitung kebutuhan bersih air irigasi di sawah:

IG =
dengan: IG IR Etc

( IR + Etc + RW + P ER) xA IE

= kebutuhan air (m3), = kebutuhan air untuk penyiapan lahan (mm/hari), = kebutuhan air konsumtif (mm/hari),

RW = kebutuhan air untuk penggantian lapisan air (mm/hari), P ER EI A = perkolasi (mm/hari), = hujan efektif (mm/hari), = efisiensi irigasi, = luas areal irigasi (m2).

A. Kebutuhan Air untuk Penyiapan Lahan (IR) Kebutuhan air untuk penyiapan lahan umumnya sangat menentukan kebutuhan maksimum air irigasi. Bertujuan untuk mempermudah pembajakan dan menyiapkan kelembaban tanah guna pertumbuhan tanaman. Metode ini didasarkan pada kebutuhan air untuk mengganti kehilangan air akibat evaporasi

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA dan perkolasi di sawah yang sudah dijenuhkan selama periode penyiapan lahan. Faktor-faktor penting yang menentukan besarnya kebutuhan air untuk penyiapan lahan adalah lamanya waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan penyiapan lahan dan jumlah air yang diperlukan untuk penyiapan lahan. Untuk perhitungan kebutuhan air irigasi untuki penyiapan lahan dapat digunakan metode yang dikembangkan van de Goor dan Zijlstra (1968). Persamaannya ditulis sebagai berikut.

BAB 1 METODOLOGI

1-43

ek IR = M ek 1
dengan: IR M = kebutuhan air irigasi di tingkat persawahan (mm/hari), = kebutuhan air untuk mengganti kehilangan air akibat evaporasi dan perkolasi di sawah yang telah dijenuhkan, = Eo + P, Eo P k T S = 1,1 x Eto, = perkolasi (mm/hari), = M x (T/S), = jangka waktu penyiapan lahan (hari), = kebutuhan air untuk penjenuhan ditambah dengan lapisan air 50 mm.

Perhitungan kebutuhan air untuk penyiapan lahan digunakan T = 30 hari dan S = 250 mm untuk penyiapan lahan padi pertama dan S = 200 mm untuk penyiapan lahan padi kedua. Ini sudah termasuk banyaknya air untuk penggenangan setelah transplantasi, yaitu sebesar sebesar 50 mm serta kebutuhan untuk persemaian. B. Kebutuhan Air untuk Konsumtif (Etc) Kebutuhan air konsumtif diartikan sebagai kebutuhan air untuk tanaman di lahan dengan memasukkan faktor koefisien tanaman (kc). Persamaan umum yang digunakan sebagai berikut:

Etc = Eto x kc

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA dengan: Etc Eto kc = kebutuhan air konsumtif (mm/hari), = evapotranspirasi (mm/hari), = koefisien tanaman.

BAB 1 METODOLOGI

1-44

Kebutuhan air konsumtif ini dibutuhkan untuk mengganti air yang hilang akibat penguapan. Air dapat menguap melalui permukaan air atau tanah maupun melalui tanaman. Bila kedua proses tersebut terjadi bersama-sama, terjadilah proses evapotranspirasi, yaitu gabungan antara penguapan air bebas (evaporasi) dan penguapan melalui tanaman (transpirasi). Dengan demikian besarnya kebutuhan air konsumtif ini adalah sebesar air yang hilang akibat proses evapotranspirasi dikalikan dengan koefisien tanaman. Evapotranspirasi dapat dihitung dengan metoda Penman berdasarkan data klimatologi setempat. Sebagai alternatif nilai evapotranspirasi (Eto) dapat juga diambil dari Tabel

Reference Crop Evapotranspiration

sesuai

dengan

rekomendasi Standar Perencanaan Irigasi (1986). Nilai koefisien tanaman (kc) mengikuti cara FAO seperti tercantum dalam Standar Perencanaan Irigasi (1986), yaitu varietas unggul dengan masa pertumbuhan tanaman padi selama 3 bulan dan dapat dilihat pada Tabel 1.18.

Tabel 1. 18 Koefisien Tanaman, kc

Bulan 0,5 1,0 1,5 2,0 2,5 3,0

kc Menurut FAO 1,10 1,10 1,05 1,05 0,95 0,00

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA C. Kebutuhan Air untuk Penggantian Lapisan Air (RW) Kebutuhan air untuk penggantian lapisan air ditetapkan berdasarkan Standar Perencanaan Irigasi (1986). Penggantian lapisan air dilakukan sebanyak dua kali dalam sebulan, masing-masing dengan ketebalan 50 mm (50 mm/bulan atau 3,3 mm/hari) dan dua bulan setelah transplantasi. D. Perkolasi (P) Perkolasi adalah masuknya masuknya air dari daerah tak jenuh ke dalam daerah jenuh air, pada proses ini air tidak dapat dimanfaatkan oleh tanaman. Laju perkolasi sangat tergantung pada pada sifat tanah daerah tinjauan yang dipengaruhi oleh karakteristik geomorfologis dan pola pemanfaatan lahannya. Menurut Standar Perencanaan Irigasi (1986), laju perkolasi berkisar antara 1-3 mm/hari. Angka ini sesuai untuk tanah lempung berat dengan karakteristik pengolahan yang baik. Pada jenis-jenis tanah yang lebih ringan, laju perkolasi bisa lebih tinggi. E. Hujan Efektif (ER) Hujan efektif diperoleh dari data hujan data stasiun pengamatan hujan terdekat. Data hujan diolah dengan metoda statistik distribusi Gumbel sehingga diperoleh hujan andalan 80%. Sedangkan hujan efektif harian yang dipakai adalah sebesar 70% dari hujan andalan 80% seperti diberikan pada Standar Perencanaan Irigasi (1986). F. Efisiensi Irigasi (EI) Efisiensi irigasi merupakan indikator utama dari unjuk kerja suatu sistem jaringan irigasi. Efisiensi irigasi didasarkan pada asumsi bahwa sebagian dari jumlah air yang diambil akan hilang, baik di saluran maupun di petak sawah, maka efisiensi irigasi dibagi menjadi dua bagian: Efisiensi saluran pembawa (conveyance efficiency), yang dihitung sebesar kehilangan air dari saluran primer sampai ke saluran sekunder. Efisiensi sawah (in farm efficiency), yang dihitung sebesar kehilangan air dari saluran tersier sampai ke petak sawah.

BAB 1 METODOLOGI

1-45

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA Dari berbagai macam studi dan penelitian didapatkan data bahwa efisiensi ratarata pengaliran di jaringan utama berkisar antara 70-80%. Selanjutnya dari beberapa data yang ada dapat diperoleh bahwa efisiensi di jaringan sekunder berkisar kurang lebih 70%. Mengacu pada data-data tersebut maka untuk studi ini diambil efisiensi irigasi sebesar 0,6. G. Luas Areal Irigasi (A) Yang dimaksud dengan luas areal irigasi disini adalah luas semua lahan pertanian yang kebutuhan airnya dilayani oleh suatu sistem irigasi tertentu. Yang termasuk dalam sistem irigasi mencakup irigasi teknis, irigasi setengah teknis, irigasi sederhana maupun irigasi desa.

BAB 1 METODOLOGI

1-46

1.6

APLIKASI ANALISIS NERACA AIR

Analisis neraca air sangat terkait dengan sifat dari sumber daya air yang selalu berubah-ubah menurut waktu, ruang, jumlah dan mutu. Oleh karena itu, pada setiap daerah akan memiliki karakteristik yang khas. Perhitungan neraca air dilakukan dengan didasarkan pada perbandingan antara ketersediaan air permukaan dengan memperhatikan adanya titik-titik pengambilan (misalnya: bendung atau waduk) dengan total kebutuhan air di wilayah yang dilayaninya, dengan belum memperhitungkan adanya optimasi pemanfaatan jika terjadi defisit air. Langkah-langkah analisis keseimbangan air dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. Menghitung ketersediaan air pada masing-masing DAS yang akan melayani wilayah administrasi tertentu sebagai titik-titik pusat kebutuhan yang juga dihitung kebutuhan airnya. 2. Menghitung keseimbangan air antara titik-titik kebutuhan dengan wilayahwilayah DAS yang melayaninya. 3. Melakukan proyeksi terhadap kebutuhan sehingga dapat diperkirakan kebutuhan air di masa yang akan datang.

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA Ilustrasi dari analisis neraca air dapat dilihat pada Gambar 1.8. Skematisasi wilayah sungai hendaknya disusun sedemikian rupa sehingga ketersediaan air pada setiap bangunan kontrol dan bangunan pengambilan utama telah terwakili. Biasanya sub wilayah sungai hulu digabungkan di titik tersebut. Untuk skematisasi tersebut perlu dibedakan sistem sumberdaya air yang mempunyai pengaruh besar terhadap wilayah tersebut dan titik-titik pengambilan yang banyak dan kecil-kecil. Wilayah sungai yang besar diperlukan pengelompokan setiap titik yang kecil-kecil, dengan tujuan penyederhanaan permasalahan.

BAB 1 METODOLOGI

1-47

SURPLUS atau DEFISIT ?

KEBUTUHAN AIR

KETERSEDIAAN AIR

X
CADANGAN AIR TANAH ALIRAN PERMUKAAN DEBIT ANDALAN

X
AIR HUJAN (ATMOSFERIK)

Gambar 1. 8 Analisis Neraca Air

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

KEBUTUHAN AIR PENGGELONTORAN

KEBUTUHAN AIR PETERNAKAN

KEBUTUHAN AIR PERIKANAN

KEBUTUHAN AIR PERKOTAAN

KEBUTUHAN AIR IRIGASI

KEBUTUHAN AIR INDUSTRI

KEBUTUHAN AIR RUMAH TANGGA

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA 1.7 1.7.1 ANALISIS KEKRITISAN LAHAN Erosi Lahan

BAB 1 METODOLOGI

1-48

Penggunaan tanah dan pengolahan tanah yang buruk, dapat menyebabkan percepatan erosi, dan secara langsung akan menyebabkan menurunnya produktivitas tanah. Permasalah erosi sangat terkait dengan perencanaan Sumber Daya air. Adanya erosi akan menyebabkan terjadinya peningkatan beban sedimen di dalam sistem sungai dan menghasilkan perubahan pada kondisi hidro-morfologi (pengendapan sedimen pada waduk, danau dan saluransaluran yang berakibat pada naiknya permukaan dasar sungai, terutama pada bagian hilir). Jika erosi berlangsung cepat, maka akan memacu perubahan unsur hidrologi sungai, yaitu meningkatnya aliran permukaan dan menurunnya aliran dasar (base flow). Oleh karena itu, daerah-daerah kritis dengan tingkat erosi yang tinggi perlu diidentifikasi, dan perlu dipikirkan program-program konservasi (pengawetan) tanah, dengan harapan dapat dicapai suatu laju erosi pada tingkat yang minimum. Departemen Kehutanan dan Perkebunan merupakan institusi yang bertanggung jawab terhadap Program Penghijauan dan Penghutanan kembali dimana program tersebut dapat diprioritaskan pada lahan-lahan kritis, terutama yang berada di bagian hulu daerah aliran sungai. Meskipun program konservasi tidak berada dibawah tanggung jawab

Departemen Permukiman dan Pengembangan Wilayah (yang bertanggung jawab terhadap kegiatan perencanaan Sumber Daya air) tetapi merupakan suatu hal yang penting untuk diidentifikasi, karena usaha konservasi tanah merupakan hal yang dapat memberikan keuntungan dari sudut pengelolaan Sumber Daya air.

1.7.2

Degradasi Lingkungan Daerah Aliran Sungai

Di Indonesia, dan pulau Jawa khususnya, meningkatnya masalah banjir dan masalah yang terkait dengan banjir diakibatkan oleh degradasi daerah lingkungan sungai, terutama sejak awal krisis ekonomi di tahun 1997. Penggundulan hutan menyebabkan peningkatan aliran permukaan di banyak daerah aliran sungai (DAS) yang menyebabkan peningkatan banjir di daerah

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA aliran sungai bagian hilir. Hal ini juga disertai sering disertai longsor dan lumpur yang menyebabkan bencana besar bagi alam. Penggunaan lahan di daerah bagian hulu DAS secara intensif sering digunakan untuk kegiatan pertanian dengan menggunakan bantuan bahan kimia. Hal ini menyebabkan penurunan kesuburan tanah, degradasi struktur tanah dan produksi pertanian menjadi sangat tidak efektif dan ekonomis, terutama untuk para petani. Beberapa DAS seperti Grindulu di bagian selatan pulau Jawa (GGWRM, 2004), Sapi di Jawa Tengah (SJFCSP E - 2001) dan Bengawan Solo bagian hulu di Jawa Tengah merupakan contoh daerah lahan kritis aktual. Daerah seperti disebutkan diatas hampir tidak tertutupi vegetasi selama transisi dari musim kemarau ke musim hujan. Selain sedimentasi dan tingginya aliran permukaan, karakteristik daerah tersebut ditandai dengan antara lain rendahnya pendapatan penduduk dan kemiskinan. Situasi ini mengindikasikan bahwa prioritas rehabilitasi DAS dan aplikasi manajemen banjir dan kontrol banjir harus dilakukan di pulau Jawa. Pulau Jawa mempunyai populasi terbesar, disamping tingkat kepadatan penduduk tertinggi dan tingkat kebutuhan Sumber Daya air dan tanah yang tinggi. Hal ini menyebabkan tingginya tingkat permintaan pada Sumber Daya air dan tanah. Selain itu, menyebabkan terjadinya ekspansi penggunaan lahan pertanian dari dataran rendah menuju daerah pegunungan yang lebih tinggi. Kebutuhan tanah mengakibatkan pemanfaatan tanah curam dengan kemiringan sampai 40% masih digunakan untuk pertanian. Area luas di daerah DAS bagian hulu yang tutupan vegetasinya minim atau bahkan gundul pada lereng yang curam banyak ditemukan di daerah aliran sungai seperti di Sungai Serayu, Bengawan Solo bagian hulu, Grindulu, Sapi dan Wadas Lintang. Pada tahap transisi antara musim kemarau dan musim hujan, daerah tersebut mengalami peningkatan erosi yang besar dengan tingkat erosi mencapai 100 hingga 300 ton/ha/tahun.

BAB 1 METODOLOGI

1-49

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA 1.7.3 Lahan Kritis dan Ketersediaan Bahan Pangan

BAB 1 METODOLOGI

1-50

Selama bertahun-tahun, para petani di Pulau Jawa menggunakan sistem aliran irigasi secara gravitasi pada daerah yang lebih rendah dan di kaki gunung untuk mengairi sawahnya. Selama beberapa dekade, penggundulan hutan terjadi di bagian hulu sungai di pegunungan, sehingga petani tidak dapat lagi menggunakan lahan di daerah yang lebih rendah dan melakukan usaha penanaman bahan pangan seperti jagung dan ubi di lahan kering. Pemindahan lahan pertanian ke daerah yang lebih tinggi mengakibatkan pemindahan vegetasi permanen. Hal ini menyebabkan kehilangan tanah lapisan atas dan degradasi area yang luas tersebut menjadi lahan kritis. Area pertanian seperti ini menghasilkan panen yang kurang dan kandungan nutrisi tanaman yang dihasilkan juga kurang baik. Lahan kritis juga sangat rentan terhadap kekeringan, sehingga area tersebut tidak cocok digunakan untuk bercocok tanam dan juga berpotensi dalam timbulnya bencana alam. Namun demikian, daerah yang kekurangan bahan pangan selalu ditemukan di dataran rendah, walau di daerah irigasi sekalipun. Keadan iklim akhir-akhir ini ditandai dengan perioda kekeringan dan kekurangan air irigasi pada musim kemarau dan perioda banjir pada musim hujan di dataran rendah. Kondisi lahan kritis aktual di pulau Jawa memberikan efek negatif pada produksi beras dan menyebabkan berkurangnya nilai efisien irigasi. Banjir akan menyebabkan kegagalan panen atau puso sehingga mengurangi hasil produksi tanaman pangan, selain itu juga menyebabkan kerusakan pada infrastruktur karena sedimentasi yang diakibatkannya akan mengurangi kapasitas penyimpanan dam, reservoir dan kanal utama irigasi. Indonesia dahulu pernah mengalami swasembada beras tetapi sekarang mengalami kekurangan dalam produksi beras dan mengimpor beras dari Thailand dan Vietnam. Salah satu penyebab perubahan ini adalah penurunan luas lahan area irigasi karena ekspansi urbanisasi yang terjadi di dataran rendah. Dengan rehabilitasi irigasi diperkirakan akan dapat akan dapat meningkatkan hasil produksi hingga 20-25% (Monenco/CIDA, Proyek Pengembangan Solo Bagian Hilir, 1986).

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA Pulau Jawa merupakan penghasil produksi beras untuk bahan pangan nasional. Di Pulau Jawa, daerah irigasi teknis yang besar berada di lokasi alluvial, dataran rendah di daerah aliran sungai bagian hilir dan di daerah pantai. Daerah irigasi ini juga sangat dipengaruhi oleh degradasi daerah aliran sungai bagian hulu. Karenanya Pulau Jawa membutuhkan prioritas rehabilitasi lahan kritis di daerah aliran sungai dan aplikasi pengelolaan dan pengendalian banjir. Salah satu faktor yang menentukan dalam identifikasi prioritas rehabilitasi daerah aliran sungai adalah penentuan skema irigasi yang efisien. Dengan demikian, rehabilitasi di bagian hulu daerah aliran sungaipengelolaan dan pengendalian banjir harus bersamaan dengan rehabilitasi daerah irigasi yang luas untuk meningkatkan produksi sawah di bagian hilir daerah aliran sungai. Hal ini harus diformulasikan sebagai program strategi nasional untuk meningkatkan kecukupan bahan pangan dan mengurangi bahaya dan degradasi lingkungan di Pulau Jawa.

BAB 1 METODOLOGI

1-51

1.7.4

Metoda Penaksiran Degradasi Daerah Aliran Sungai

Penaksiran degradasi DAS di Pulau Jawa dilakukan untuk mengetahui perkembangan kondisi kritis dan untuk melindungi infrastruktur yang ada di DAS tersebut. Lahan kritis aktual adalah lahan dengan kemiringan lebih 8%, dalam kondisi penutupan vegetasi yang minim selama musim kemarau. Lahan kritis tersebut menjadi sumber terjadinya erosi dan sedimentasi di bagian hilir sungai, serta meningkatkan debit aliran permukaan. Hal ini akan menyebabkan terjadinya banjir dan banjir bandang di daerah aliran sungai bagian hilir. Keberadaan lahan kritis aktual juga ditandai dengan terjadinya bencana tanah longsor. Citra satelit Landsat ETM-7 saat musim kemarau antara tahun 2001 dan 2003 (saluran 5,4,2) digunakan untuk menginterpretasikan kondisi penutupan vegetasi dari lahan-lahan yang akan diidentifikasi kekritisannya. Citra satelit yang diambil saat musim kemarau tersebut sangat tepat digunakan untuk menginterpretasikan lahan dengan kondisi penutupan vegetasi yang kurang ataupun gundul (nantinya akan didefinisikan sebagai lahan kritis aktual) di daerah lereng dengan kemiringan lebih dari 8%. Penaksiran kondisi lahan juga didasarkan kepada

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA pengalaman dari verifikasi lahan oleh proyek sejenis, yang memakai citra satelit yang diambil pada perlintasan satelit antara Jawa Barat dan Jawa Tengah pada tahun 2003/2004. Peta unit lahan dari RePPProT (Regional Physical Planning Programme for

BAB 1 METODOLOGI

1-52

Transmigration) tersedia dalam bentuk digital. Peta ini membedakan luasan


lahan kritis aktual dengan membagi dalam 3 daerah, yakni daerah dataran dengan kemiringan < 8%, daerah berbukit dengan kemiringan antara 8-35% dan daerah pegunungan dengan kemiringan > 35%. Lahan dengan kemiringan kurang dari 8% merupakan area yang cocok untuk irigasi tanaman pangan dan pada umumnya digunakan sebagai lahan produksi sawah. Lahan dengan kemiringan kurang dari 8% tidak diperhitungkan dalam penilaian kekritisan lahan, meskipun lahan tersebut dalam kondisi penutupan vegetasi yang buruk atau bahkan gundul. Hampir dalam semua kasus di Pulau Jawa, lahan seperti ini digunakan untuk sebagai lahan pertanian. Lahan dengan kemiringan lebih dari 8 % dan dengan kondisi vegetasi yang kurang atau lahan gundul merupakan sumber terjadinya erosi. Erosi ini dapat meningkat sejalan dengan meningkatnya nilai kemiringan. Dalam mengevaluasi daerah aliran sungai, diidentifikasi area dengan penutupan vegetasi yang buruk dengan menggunakan citra satelit untuk musim kemarau tahun 2002/2003 dan memetakannya sebagai lahan kritis aktual. Lahan dengan kemiringan lebih dari 8 % mempresentasikan daerah yang berbukit-bukit dan bergunung-gunung. Pada gambar citra satelit, kondisi lahan kritis aktual ditunjukkan dengan area berwarna coklat, coklat kemerahan, dan coklat kekuningan. Daerah ini mengindikasikan lahan dengan penutupan vegetasi yang buruk atau bahkan lahan gundul.

1.7.5

Identifikasi Data yang Dibutuhkan

Data yang relevan dengan pengelolaan wilayah sungai dan banjir dikumpulkan terlebih dahulu. Data-data tersebut antara lain citra satelit, peta-peta, hasil statistik, dan laporan-laporan yang sejenis. Perbandingan antara perluasan lahan kritis dengan lahan berpenutupan vegetasi buruk pada tahap awal tersedianya data satelit dibuat untuk data kronologis.

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA Data-data yang digunakan untuk memperkirakan kekritisan lahan antara lain adalah: 1. Peta dasar topografi. 2. Infrastruktur transportasi. 3. Penggunaan lahan. 4. Daerah irigasi . 5. Wilayah sungai (WS). 6. Batas-batas administrasi (propinsi, kabupaten, dan kecamatan). 7. Curah hujan tahunan. 8. Unit tanah. 9. Geologi. 10. Populasi dan kepadatan populasi (setiap kabupaten dan kecamatan). 11. Distribusi kemiskinan (setiap kabupaten dan kecamatan). 12. Bahaya lingkungan (longsor, dll). 13. Sumber degradasi lingkungan dan polusi. 14. Zona banjir. 15. Industri. 16. Status tanah. 17. Status perhutanan. 18. Sistem pertanian.

BAB 1 METODOLOGI

1-53

1.7.6

Definisi Lahan Kritis

Pengumpulan dan pemetaan lahan kritis aktual di Pulau Jawa ini dilakukan berdasarkan pengalaman dan pengetahuan dari studi terdahulu pada wilayah sungai Bengawan Solo, Brantas, Citanduy, Serayu, Progo, dan Grindulu serta dari beberapa lahan yang telah diverifikasi berada dalam kondisi kritis. Definisi dan identifikasi lahan kritis merupakan salah satu tujuan prinsip pengelolaan daerah aliran sungai yang terintegrasi dan kegiatan rehabilitasi lahan. Indikator dan parameter dari kondisi kekritisan lahan ini antara lain adalah keadaan biophysical dan sosial-ekonomi.

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA Dibutuhkan penelitian untuk membedakan kondisi kritis di lapangan antara kondisi kritis aktual atau kondisi kritis potensial. Kondisi kritis aktual mengindikasikan situasi peringatan dini untuk melakukan intervensi dan hal ini tercermin dari prioritas yang lebih tinggi untuk pemeliharaan daripada untuk lahan kritis potensial. Lahan kritis potensial hanya membutuhkan pemeliharaan tanah yang baik dengan perawatan dan perbaikan penutupan vegetasi.

BAB 1 METODOLOGI

1-54

A. Lahan Kritis Potensial Lahan seperti ini secara umum mempunyai vegetasi yang baik serta kondisi lahan yang baik. Lahan ini biasanya disertai dengan adanya tindakan konservasi seperti adanya terasering. Konservasi tersebut berupa bentuk perawatan untuk melindungi lahan dari kondisi kritis aktual, degradasi dan kerusakan alam. Contoh konservasi ini adalah adanya pembentukan vegetasi permanen menuju penghijauan daerah pada lahan yang curam dan tanah yang mudah tererosi. Ciri kondisi lahan kritis potensial adalah: 1. Kemiringan lahan lebih dari 40%. 2. Tanah mediterranean. 3. Tingkat erosi tinggi (high inherent geologic erodibility). 4. Adanya endapan vulkanik akibat erupsi (contoh: Citanduy).

B. Lahan Kritis Aktual Lahan kritis aktual merupakan area dimana kondisi kritis yang sedang terjadi sekarang menyebabkan degradasi yang serius pada tanah, komponen lingkungan (klimatologi, hidrologi) atau kondisi sosial-ekonomi. Akibat dan efek dari kondisi kritis ini dapat dilihat dengan jelas, dapat teridentifikasi secara empirik, dan memberikan efek negatif pada penggunaan Sumber Daya alam (tanah, air, Sumber Daya manusia). Keuntungan ekonomi yang didapat dari penggunaan Sumber Daya alam dari lahan yang teridentifikasi sebagai lahan kritis adalah rendah atau bahkan negatif. Jenis-jenis lahan kritis aktual adalah sebagai berikut (dimodifikasi dari SJFCSP-E, 2001):

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA 1. Kritis Ekstrim (Extremely Critical). Vegetasi pada area ini sangat buruk (penutupan vegetasi < 20%), dengan kemiringan lahan > 8%, aliran permukaan yang sangat tinggi, tingkat erosi yang tinggi hingga sangat tinggi dan kemungkinan terjadinya erosi pada anak sungai sangat besar. 2. Sangat Kritis Sekali (Very Highly Critical). Vegetasi area ini sangat kurang (penutupan vegetasi berkisar antara 20 sampai 40%), dengan kemiringan lahan > 8%, aliran permukaan yang sangat tinggi, tingkat erosi yang tinggi hingga sangat tinggi dan kemungkinan terjadinya erosi pada anak sungai besar. 3. Sangat Kritis (Highly Critical) . Vegetasi area ini kurang (penutupan vegetasi berkisar antara 40 sampai 60%), dengan kemiringan > 8%, aliran permukaan yang sangat tinggi, tingkat erosi yang tinggi hingga sangat tinggi dan kemungkinan terjadinya erosi pada anak sungai besar. 4. Kritis (Critical). Vegetasi area ini cukup (penutupan vegetasi berkisar antara 60 sampai 80%), dengan kemiringan > 8%, aliran permukaan tinggi, tingkat bahaya erosi tinggi, dan kemungkinan terjadinya erosi pada anak sungai besar. 5. Cukup Kritis (Moderately Critical). Vegetasi area ini baik (penutupan vegetasi berkisar antara 80 sampai dengan 95%), aliran permukaan cukup tinggi, tingkat bahaya erosi cukup tinggi, dan kemungkinan terjadinya erosi pada anak sungai cukup besar. 6. Lahar. Vegetasi area ini cukup baik (penutupan vegetasi lebih dari 80%), berada di daerah aliran lahar dengan aliran permukaan yang tinggi dan bahaya aliran lava vulkanik. 7. Tidak Kritis (Non Critical). Vegetasi area ini sangat baik (penutupan vegetasi lebih dari 95%). 8. Kritis Morfoerosi (Morphoerosion Critical)

BAB 1 METODOLOGI

1-55

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA Tingkat morfoerosi yang sangat tinggi, kemiringan biasanya > 8% (sering terjadi pada dataran dengan jenis tanah yang sangat mudah tererosi atau pada saat terjadi debit dengan kecepatan tinggi seperti pada bagian sungai yang berliku-liku), aliran sedimen tinggi. Kondisi penutupan vegetasi dinilai berdasarkan kondisi penetapan vegetasi pada saat musim kemarau. Hampir semua kejadian erosi terjadi pada saat transisi dari musim kemarau menuju musim hujan. Tertutupnya vegetasi pada musim hujan membuat citra satelit susah menginterpretasikan kondisi lahan kritis aktual. Pada saat seperti ini, hampir semua sedimentasi terjadi di bagian hilir dan tanda-tanda erosi tertutupi dengan vegetasi ini. Pada saat musim hujan, di hampir semua bagian di Pulau Jawa, lahan kritis aktual yang ada dipakai untuk bercocok tanam tanaman ubi-ubian dan jagung. Hal ini membuat identifikasi citra satelit menjadi lebih sulit karena tertutupinya tanda-tanda erosi. Kecuali jika pada daerah tersebut sudah diobservasi dan sudah terekam proses erosi yang terjadi pada lahan tersebut selama musim hujan. Pada Gambar 1.9 disajikan skema untuk melakukan identifikasi lahan kritis aktual. Pada Gambar 1.10 disajikan langkahlangkah yang ditempuh dalam mengidentifikasi lahan kritis aktual. Pada Gambar 1.11 disajikan definisi kondisi kritis dan lahan kritis.
Rem ote Sensing S atellite
ea so n mS to ag ery fro 250.000 atellite Im S m a rs old 1: ye 5 io n < 30 en ial re so lut (Le ss th at sp e m ende d) sc al 1:50.000 ion im a ge ry re c om lut n hig h re so ro sio w Rill E d Flo y& ll n La n u io G ve r ro s et E &O f f o She nh Ru Hig

BAB 1 METODOLOGI

1-56

Hard Copy Imagery Interpretation of areas with poor vegetative cover on hilly to mountainous land

Boundary Clearly Identifiable on Satellite Im agery

Non Critical

V .P oor V ege tative Cov er Actually Critical

Very Goo

d Vege ta tiv Non Critic e Cover al

Hand Held Camera and GPS Rapid Field Apprisal (RFA) Description of % of canopy and ground cover, Dominant Slope % Geology, Slope S t a b i l i t y, S o i l Ty p e ( Te x t u r e & D e p t h ) . Type Source and Frequency of Erosion (Accelerated & Land Slides) Farming System Data Recorded a Field D esc rip tio n Sh ee t
T ransport of sediment and source of flooding downstream

Identification of Actual Critical Lands .........Highly Erodible Geologic Materials & Soil

Gambar 1. 9 Skema identifikasi lahan kritis aktual.

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

BAB 1 METODOLOGI

1-57
LAPAN JAKARTA BAKOSURTANAL BAPPEDA TK I BPN PERHUTANI Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi

Citra Satelit Landsat TM SPOT atau citra lainnya dengan resolusi tinggi Foto udara skala 1:50 000 hingga 1:20 000 Bentuk cetak skala 1:250 000 berwarna pada musim kemarau atau banjir Saluran 5,4,2 atau 4,3,2

Peta Geologi

Bentuk cetak atau digital skala 1: 100 000

Interpretasi area bervegatasi burukk dan lahan kritis aktual

Diperbesar skala hingga 1: 50.000 dan menginterpretasikan unit lahan yang tererosi

Mengecilkan hingga 1:250 000 dan interpretasi tingkat erosi Interpretasi unit lahan & dan Identifikasi area bervegetasi buruk, tingkat erosi tinggi dan kondisi tanah kritis Perencanaan Screening Makro & prioritas rangking sub DAS POLA RLKT

Memperbesar area bervegetasi buruk dan lahan kritis aktual hingga skala 1:50 000

Perencanaan Studi Kelayakan -sub DAS RTL

Gambar 1. 10 Langkah identifikasi lahan kritis aktual.

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

BAB 1 METODOLOGI

1-58
Kondisi Kritis dan Lahan Kritis

Bio-fisika

Sosial ekonomi

Lahan kritis aktual

Lahan kritis potensial

Efek di lokasi (pertanian) atau daerah hilir

Efek diluar lokasi daerah hilir

Rehabilitasi

Manajemen banjir

Perlindungan dan preventif

Koordinasi perencanaan

Gambar 1. 11 Skema definisi kondisi kritis dan lahan kritis.

1.8

METODE ANALISIS KONDISI DEFISIT AIR DI PULAU JAWA

Total Kota/Kabupaten se Pulau Jawa berjumlah 107, dengan pembagian Wilayah Barat terdiri dari DKI Jakarta, Propinsi Jawa Barat dan Propinsi Banten, Wilayah Tengah terdiri dari Propinsi Jawa Tengah dan DI Yogyakarta, sedangkan Wilayah Timur adalah Propinsi Jawa Timur. Wilayah Barat terdiri dari 30 Kodya/Kabupaten, Wilayah Tengah terdiri dari 40 Kota/Kabupaten, dan Wilayah Timur terdiri dari 38 Kota/Kabupaten.

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA Berdasarkan hasil analisis data diperoleh hasil jumlah Kota/Kabupaten yang mengalami defisit tinggi sebanyak 36 buah, defisit sedang 33 buah, dan defisit rendah sebanyak 39 buah. Adapun pembangian perwilayah dapat dilihat pada Tabel 1.19 berikut ini:

BAB 1 METODOLOGI

1-59

Tabel 1. 19 Jumlah Kota/Kabupaten Berdasarkan Klasifikasi Jumlah Bulan Defisit

No

Keterangan

Jumlah

Persen

Catatan Wilayah Barat = 10

Defisit tinggi

36

33,65

Wilayah Tengah = 13 Wilayah Timur = 12 Wilayah Barat =9

Defisit sedang

33

30,84

Wilayah Tengah = 17 Wilayah Timur = 7 Wilayah Barat = 11

Defisit rendah

39

36,45

Wilayah Tengah = 10 Wilayah Timur = 18

Sumber: Hasil Prakarsa Strategis SDA Tahun 2004.

Selain bulan defisit ukuran ketersediaan sumber daya air adalah defisit rerata dan defisit maksimum. Berdasarkan data defisit rerata tertinggi sebesar -33,90 m3/det, yang terjadi di Kabupaten Indramayu, dengan rerata defisit sebesar 5,34 m3/det. Sedangkan defisit maksimum sebesar -56,23 m3/det, terjadi di Kabupaten Lamongan, dengan rerata defisit maksimum sebesar 9,27 m3/det.

1.9

ASUMSI-ASUMSI PERHITUNGAN NERACA AIR

Dalam sub-bab ini dijelaskan mengenai beberapa asumsi yang dipakai dalam melakukan perhitungan neraca air. Beberapa asumsi yang dipakai tersebut adalah sebagai berikut: 1. Data kependudukan dan luas lahan yang dipergunakan untuk

memperhitungkan kebutuhan air tiap kabupaten dan kota di Pulau Jawa dan

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA Madura diambil dari data Potensi Desa tahun 2000 dan 2003 serta dilengkapi dengan data dari buku Propinsi dalam Angka tahun 1990, 1995, 2000, dan 2003. 2. Proyeksi perkembangan jumlah penduduk dan perubahan luas lahan dilakukan dengan metode pendekatan eksponensial dengan menggunakan angka pertumbuhan penduduk dan perubahan luas lahan rata-rata dari tahun 1990 sampai dengan tahun 2003. 3. Tingkat kebutuhan air domestik dan non domestik untuk daerah

BAB 1 METODOLOGI

1-60

perkotaan/urban dibedakan dengan tingkat kebutuhan untuk daerah pedesaan/rural. Tingkat kebutuhan daerah pedesaan diambil satu tingkat dibawah tingkat kebutuhan daerah perkotaan didekatnya. 4. Untuk perhitungan kebutuhan air industri daerah Jabodetabek dan sekitarnya yang menggunakan data jumlah karyawan, jumlah karyawan yang bekerja di sektor industri diambil sebagai persentasi dari jumlah karyawan total, jumlah karyawan total diambil sebagai persentasi dari jumlah angkatan kerja, dan jumlah angkatan kerja diambil sebagai persentasi dari jumlah penduduk. Besarnya persentasi-persentasi yang dipakai tersebut disesuaikan dengan tingkat perkembangan penduduk dan industri wilayah yang bersangkutan. Hal ini sesuai dengan asumsi yang dipakai oleh Jabotabek Water Resources

Management Study - JWRMS (1994).


5. Perhitungan kebutuhan air untuk irigasi dilakukan dengan memperhitungkan musim tanam dan intensitas tanam. Intensitas tanam untuk padi dibedakan menjadi satu kali tanam dan dua kali tanam atau lebih. Data luas lahan pertanian beririgasi dengan intensitas tanam tertentu diambil dari buku Luas Lahan Menurut Penggunaannya di Indonesia yang diterbitkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2002. 6. Debit andalan yang digunakan dalam perhitungan ketersediaan air adalah sebesar 80% (Q80) untuk titik-titik pengambilan bebas tanpa struktur (free

intake) maupun titik-titik pengambilan dengan struktur sederhana seperti


bendung dan pompa. Sedangkan untuk titik-titik pengambilan yang berupa

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA tampungan atau reservoir seperti waduk, nilai debit andalan yang digunakan adalah sebesar 50% (Q50). 7. Titik-titik pengambilan air disesuaikan dengan struktur-struktur yang sudah ada. Untuk beberapa struktur pengambilan yang berdekatan, untuk menyederhanakan perhitungan, debit andalan yang diperhitungkan adalah debit pada struktur yang berada di bagian paling hilir dari sungai tersebut. 8. Dalam perhitungan ketersediaan air ini tidak diperhitungkan ada penurunan kinerja dari struktur-struktur pengambilan air yang sudah ada dan belum memperhitungkan kemungkinan-kemungkinan intervensi struktural yang mungkin dilakukan untuk meningkatkan ketersediaan air, sehingga besarnya debit yang tersedia adalah sama dari tahun ke tahun.

BAB 1 METODOLOGI

1-61

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

BAB 2 IDENTIFIKASI MASALAH BANJIR DI PULAU JAWA

BAB 2 IDENTIFIKASI MASALAH BANJIR DI PULAU JAWA


ETODOLOGI 2.1 PENYEBAB TERJADINYA BANJIR

2-1

Banyak faktor yang bisa menjadi penyebab banjir, misalnya, curah hujan yang tinggi, kapasitas alur sungai yang tidak mencukupi, adanya endapan sedimen (delta) di muara sungai, atau karena daerah banjir yang memang merupakan daerah dataran rendah, dan lain lain. Untuk mengatasi permasalahan banjir yang sesungguhnya perlu diketahui secara pasti faktor-faktor yang menjadi penyebab terjadinya banjir. Dengan demikian, upaya pengendalian banjir pada suatu wilayah bisa berbeda dengan wilayah yang lain.

Beberapa penyebab utama terjadinya banjir antara lain adalah: 1. Pendangkalan/Agradasi Dasar Sungai (Sedimentasi) Hampir semua sungai di Jawa membawa sedimen dalam jumlah yang banyak dari hulunya dan mengikis lahan di DAS-nya sampai ke muara. Di daerah muara, kemiringan dasar sungai menjadi relatif datar akibat endapan pasir dan material-material yang lain, sehingga kapasitas tampungan sungainya menjadi berkurang. Di penambangan pasir di sungai-sangat besar sehingga di beberapa tempat degradasi dasar sungai banyak di jumpai. Namun di sisi lain, permasalahan sedimentasi juga banyak terjadi, terutama pada sungai-sungai di bagian hilir. 2. Meluapnya Aliran Sungai melalui Tanggul Di daerah pantai/muara, meluapnya air sungai dari tanggul yang ada sering terjadi selama musim penghujan. Meluapnya aliran sungai ini mengakibatkan tergenanginya daerah-daerah yang relatif datar dan lahan-lahan pertanian di sekitarnya. Penyebab meluapnya aliran sungai ini sangat banyak, tetapi yang paling besar kontribusinya adalah sebagai berikut ini:

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

BAB 2 IDENTIFIKASI MASALAH BANJIR DI PULAU JAWA

kemiringan sungai yang relatif datar. adanya sedimentasi/pendangkalan sungai, bertambahnya debit sungai dan material sedimen yang terbawa akibat terjadinya perubahan kondisi di hilir.

2-2

Tanggul-tanggul yang telah dibangun di sebagian besar sungai tidak cukup tinggi untuk menampung debit banjir yang terjadi. Selain itu kondisi tanggul yang buruk karena tidak memadainya pemeliharaan tanggul yang dilakukan. Tanggul-tanggul sungai di hulu memang dapat mengurangi banjir-banjir yang terjadi di daerah hulu, akan tetapi, di sisi lain justru dapat menyebabkan bertambahnya luasnya area yang terkena banjir di daerah hilir. 3. Kondisi Saluran Drainase yang Kurang Baik Beberapa permasalahan yang menjadi penyebab drainase yang tidak lancar sebagai berikut ini: tidak berfungsinya pintu-pintu air sebagaimana mestinya, kapasitas tampungan yang tidak memadai dari saluran drainase dan sungai-sungai. Beberapa dari sungai-sungai digunakan untuk lahan pertanian, lahan pertanian produktif selalu berada di depresion area di titik terendah dari dataran pantai (tidak terlalu jauh dari muara), lokasi ini umumnya terendam banjir selama terjadi hujan lokal dan tingginya muka air selama musim hujan. 4. Efek dari Backwater pada Daerah-Daerah Penyempitan dan Elevasi Hilir Sungai yang Lebih Tinggi Penyempitan pada sungai bisa disebabkan oleh tertutupnya muara sungai pada awal musim hujan dan karena penyempitan pada jembatan dan bangunan-bangunan struktur lainnya. Penyempitan ini bisa menyebabkan banjir di hulu karena dampak dari backwater. Backwater juga bisa terjadi pada pertemuan antara anak sungai dan sungai utamanya. Naiknya muka air dapat menyebabkan meluapnya aliran sungai dan menggenangi lahan pertanian disekitarnya. Yang perlu diperhatikan adalah bahwa akibat dari

backwater dapat memperpanjang besarnya jarak penyempitan di hulu.

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

BAB 2 IDENTIFIKASI MASALAH BANJIR DI PULAU JAWA

Misalkan, penutupan muara sungai dapat memperpanjang aliran di beberapa anak sungai di daerah dataran banjir. 5. Kurang Berfungsinya Pintu Pengendali Banjir pada Sungai Pintu air sangat sering tidak bisa berfungsi sebagaimana mestinya karena tertutup oleh tanaman atau endapan pasir. Masalah ini lebih sering terjadi pada pintu air otomatis, karena operasionalnya secara otomatis maka pengamatan/pemeliharaan di lapangan jarang dilakukan. Tabulasi data peta sebaran lokasi rawan banjir untuk Propinsi Banten disajikan dalam Tabel 2.1. Tabulasi data peta sebaran lokasi rawan banjir untuk Daerah Khusus Ibukota Jakarta disajikan dalam Tabel 2.2. Tabulasi data peta sebaran lokasi rawan banjir untuk Jawa Barat disajikan dalam Tabel 2.3. Tabulasi data peta sebaran lokasi rawan banjir untuk Propinsi Jawa Tengah disajikan dalam Tabel 2.4. Tabulasi data peta sebaran lokasi rawan banjir untuk Daerah Istimewa Yogyakarta disajikan dalam Tabel 2.5. Tabulasi data peta sebaran lokasi rawan banjir untuk Propinsi Jawa Timur disajikan dalam Tabel 2.6.

2-3

Tabel 2. 1 Tabulasi Data Peta Sebaran Lokasi Rawan Banjir untuk Propinsi Banten

No 1 2 3 4 5

Lokasi S. Cilegon S. Ciujung S. Cidurian S. Cibungur S. Ciliman

Dampak Nasional Nasional Nasional Lokal Lokal

Luas (Ha) 11.000 982 12.000 3.966

Genangan Tinggi (m) 3,00 1,00 3,00 3,00

Lama (jam) 12 16 12 24

Sumber: Pekerjaan Umum (1998).

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

BAB 2 IDENTIFIKASI MASALAH BANJIR DI PULAU JAWA

Tabel 2. 2 Tabulasi Data Peta Sebaran Lokasi Rawan Banjir Propinsi DKI Jakarta

2-4

No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40

Lokasi Kapuk Muara Kp. Jawa Tanah Sareal Krendang Muara Karang; Pluit Barat Bandengan Teluk Gong / Kmp Gusti Jembatan Tiga Bimoli Jemb Merah; Gn Sahari Keb. Jeruk Kota Jl. Lodan Rel KA Pademangan Barat Jl Angkasa Kemayoran Kp. Warakas; Tg Priuk Kb. Bawang Jl. Mengkudu Semper Rawa Badak Kp. Malang Plumpang Kp. Dewa Ruci Cilincing Semper SD Dewa Kembar Koja Kp. S Bambu PT Gaya Motor Pulo Besar Sunter Jl. D Sunter Podomoro Sunter (Blk. Honda) Bendungan Jago I Ht. Kelapa Gading Jl Perintis Kemerdekaan Palad Pulo Gadung Pulo Gadung (TL) Pompa Pulo Mas KODAM Sumur Batu Kaw. Industri Pulogadung Harapan Jaya/Jl. Suprapto Utan Kayu Cipinang Elok Cipinang Pulo/Prumpung Kb. Nanas By Pass Kebon Pala Halim Kp. Bina Lindung Pd.

Dampak Nasional Nasional Nasional Nasional Nasional Nasional Nasional Nasional Nasional Nasional Nasional Nasional Nasional Nasional Nasional Nasional Nasional Nasional Nasional Nasional Nasional Nasional Nasional Nasional Nasional Nasional Nasional Nasional Nasional Nasional Nasional Nasional Nasional Nasional Nasional Nasional Nasional Nasional Nasional Nasional

Genangan Tinggi Luas (Ha) (m) 65,00 0,80 29,30 0,38 93,00 0,65 165,00 85,30 111,30 183,00 28,30 61,00 185,00 129,00 14,30 58,30 100,00 144,00 126,00 136,00 87,00 118,00 256,30 38,30 32,00 13,00 8,30 76,00 34,00 75,00 13,63 136,30 226,00 18,00 22,00 21,00 17,00 31,00 43,30 10,00 0,79 0,47 1,60 0,45 0,27 0,30 0,95 0,70 0,30 0,67 0,85 0,90 0,76 1,10 0,40 4,00 0,25 0,35 0,23 0,30 0,30 1,00 1,66 4,00 1,05 1,05 0,79 0,40 0,00 0,80 4,00 0,90 7,25 0,40

Lama (jam) 144 24 24 144 144 144 72 24 24 144 144 48 144 72 144 144 72 72 144 48 48 72 48 48 24 24 24 48 48 24 48 0 48 48 24 48 72

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

BAB 2 IDENTIFIKASI MASALAH BANJIR DI PULAU JAWA

No

Lokasi Gede Kp. Makasar Cipinang Rambutan Kampung Melayu S. Ciliwung Kalibata Pondok Karya/Kpl. Polri Jagakarsa Lt. Agung Depdagri Hang Lekir Tarakanita/Pulo Raya Kpl. Bank Prapanca Kepa Duri; Batu Sari Antilop Maju Kembangan Jl. Semeru Grogot Pos Pengomben Sarinah Thamrin Bendungan Hilir Petamburan; Pd. Bandung Pal Merah Gang Sentiong Cipulir IKPN Bintaro Pademangan Timur Tomang Barat Cengkareng Mookervat Gn. Macan Tmn Batu Stasiun Duri Rawa Buaya Jembatan Genit Jl. Tanah Abang I

Dampak

Luas (Ha) 22,00 10,00 162,00 22,00 14,00 6,30 45,00 34,30 15,00 130,60 70,60 38,30 31,00 58,00 45,00 73,00 35,00 20,00 55,00 13,00 128,30 260,00 62,60 17,00 23,30 131,00 189,00 26,00

Genangan Tinggi (m) 1,00 1,00 3,82 2,80 2,07 0,50 0,35 0,54 0,73 0,86 0,70 0,88 0,65 0,38 0,35 0,32 1,81 0,40 0,90 4,75 0,45 0,34 0,81 0,50 0,30 0,45 0,73 0,69

Lama (jam) 72 72 48 24 72 24 24 72 72 48 24 48 24 24 24 24 48 24 48 144 144 48 144 48 24 48 144 24

2-5

41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69

Nasional Nasional Nasional Nasional Nasional Nasional Nasional Nasional Nasional Nasional Nasional Nasional Nasional Nasional Nasional Nasional Nasional Nasional Nasional Nasional Nasional Nasional Nasional Nasional Nasional Nasional Nasional Nasional Nasional

Sumber: Pekerjaan Umum (1998).

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

BAB 2 IDENTIFIKASI MASALAH BANJIR DI PULAU JAWA

Tabel 2. 3 Tabulasi Data Peta Sebaran Lokasi Rawan Banjir Propinsi Jawa Barat

2-6

No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11

Lokasi S. Cimanuk Hulu S. Cimanuk Hilir S. Pekik; S. Condong S. Kanci; S. Ciberes S. Cikapundung Kolot S. Citarik S. Citarum S. Citanduy S. Ciseel S. Kalipucang S. Bangkaderes

Dampak Regional Nasional Lokal Lokal Lokal Nasional Nasional Regional Regional Regional Lokal

Luas (Ha) 600 3.856 383 586 105 210 7.249 180 3.635 430 640

Genangan Tinggi (m) 1,30 0,60 0,60 0,40 0,60 0,60 1,00 1,50 1,50 1,20 0,75

Lama (jam) 4 18 24 0,95 13,5 13,5 16 72 720 430 17

Sumber: Pekerjaan Umum (1998). Tabel 2. 4 Tabulasi Data Peta Sebaran Lokasi Rawan Banjir Propinsi Jawa Tengah

No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22

Lokasi S. Tanjung Kulon; S. Babakan; S. Kabuyutan S. Pemali S. Gangsa; S. Wadoa; S. Gung S. Waluh K. Comal S. Sragi S. Sengkarang; S. Pekalongan S. Kuto S. Blukar; S. Bulanan S. Bodri S. Kendal; S. Blorong K. Garang K. Babon; S.Sayung S. Dolok; S. Setu ; S. Cabean K. Jajar K. Wulan K. Tuntang S. Tayu S. Juana S. Lusi; S. Glugu S. Donan S. Serayu

Dampak Nasional Nasional Nasional Nasional Nasional Nasional Nasional Nasional Nasional Nasional Nasional Nasional Nasional Nasional Regional Regional Regional Lokal Nasional Regional Nasional Regional

Luas (Ha) 2.450 2.915 1.365 300 1.182 760 1.500 625 1.500 3.023 4.075 350 4.610 6.500 125 570 500 1.006 5.320 1.800 1.000 1.220

Genangan Tinggi (m) 0,75 1,50 0,75 1,50 1,50 0,80 2,00 1,00 1,00 1,40 0,50 0,45 1,00 0,75 0,50 0,60 0,80 1,00 0,50 1,50 1,50

Lama (jam) 18 9 6 6 6 10 24 6 10 6 27 8.5 24 12 30 10 72 12 0 84

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

BAB 2 IDENTIFIKASI MASALAH BANJIR DI PULAU JAWA

No 23 24 25 26 27 28 29

Lokasi S. Tipar S. Ijo S. Telomoyo S. Luluko S. Wawar S. Cokroyosan S. Bogowonto

Dampak Nasional Nasional Regional Nasional Nasional Lokal Nasional

Luas (Ha) 7.000 3.455 3.500 2.540 4.000 4.213 3.000

Genangan Tinggi (m) 1,50 1,50 1,00 1,50 0,60 1,50 1,00

Lama (jam) 180 60 168 24 48 36 24

2-7

Sumber: Pekerjaan Umum (1998). Tabel 2. 5 Tabulasi Data Peta Sebaran Lokasi Rawan Banjir Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta

Genangan No 1 Lokasi S. Serang Dampak Regional Luas (Ha) 1.040 Tinggi (m) 0,40 Lama (jam) 32

Sumber: Pekerjaan Umum (1998). Tabel 2. 6 Tabulasi Data Peta Sebaran Lokasi Rawan Banjir Propinsi DKI Jawa Timur

No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20

Lokasi B. Solo Bojonegoro B. Solo Tuban K. Maibit K. Plalangan B. Solo Lamongan B. Solo Gresik K. Lamong K. Kebon Agung K. Perbatasan K. Sadar; K. Kambing K. Porong K. Widas K. B. Solo K. Madiun K. Jerowan K. Madiun K. Madiun K. Slahung K. Grindulu K. Jelok

Dampak Nasional Nasional Lokal Nasional Nasional Nasional Lokal Nasional Nasional Nasional Nasional Nasional Regional Regional Regional Lokal Lokal Lokal Lokal Lokal

Luas (Ha) 17.000 6.500 350 25 16.000 11.300 300 1.807 1.600 6.213 1.763 600 500 2.400 375 1.150 2.950 3.750 300

Genangan Tinggi (m) -

Lama (jam) -

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

BAB 2 IDENTIFIKASI MASALAH BANJIR DI PULAU JAWA

No 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32

Lokasi K. Kenyang K. Termas K. Ngobo ; K. Darmo ; K. Toyoaning K. Konto K. Serinjing K. Putih K. Lekso ; K. Semut K. Glidik K. Rejali K. Mujur K. Bondoyodo K. Tanggul

Dampak Regional Lokal Lokal Regional Lokal Regional Lokal Lokal Lokal Lokal Lokal Lokal

Genangan Tinggi Luas (Ha) (m) 1.700 2.897 1,00 671 839 1.525 2.235 860 1.701 1.531 8.717 0,50 1,00 0,50 0,50 1,00 1,00 1,00 -

Lama (jam) 72 48 48 48 48 48 48 48 -

2-8

Sumber: Pekerjaan Umum (1998).

2.2

KEJADIAN BANJIR

Banyak faktor yang bisa menjadi penyebab banjir, misalnya, curah hujan yang tinggi, kapasitas alur sungai yang tidak mencukupi, adanya endapan sedimen (delta) di muara sungai, atau karena daerah banjir yang memang merupakan daerah dataran rendah, dan lain lain. Untuk mengatasi permasalahan banjir yang sesungguhnya perlu diketahui secara pasti faktor-faktor yang menjadi penyebab terjadinya banjir. Dengan demikian, upaya pengendalian banjir pada suatu wilayah bisa berbeda dengan wilayah yang lain. Banjir yang terjadi adalah sebagai akibat dari fenomena alam, bisa juga sebagai akibat akibat dari kelalaian manusia manusia yang tidak dapat mengantisipasi fenomena tersebut, sehingga hal ini dapat menelan korban jiwa manusia maupun mengakibatkan kerusakan pada infrastruktur lainnya. Selain mengungkap lokasi dan penyebab dari kejadian banjir, diungkap pula kerugian yang ditimbulkan oleh kejadian banjir dan tanah longsor tersebut, baik itu kerugian terhadap manusia maupun terhadap infrastruktur yang ada. Berikut ini juga disajikan Tabel 2.7 yang berisi rekapitulasi kejadian banjir dan tanah longsor musim hujan 2001/2002 dan Tabel 2.8 yang berisi rekapitulasi kejadian banjir dan tanah longsor musim hujan 2002/2003.

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

Manusia Tergenang Mengungsi (jiwa) 384,296 0 0 0 2,649 0 386,945 39,632 28,771 945 192 15 41,491 221 600 3,288 16877 4,464 414 79 14 34,131 0 10 1367 3,688 14,668 16 107 0 2,839 211 210 271 0 0 0 0 0 474 0 0 0 0 0 0 0 2246 2,106 40 4 0 3,526 0 380 1,645 0 56 6 128 23 229 780 7,533 1 0 0 995 10 0 2 0 16 16,041 0 0 2 1 0 0 0 3 0 0 0 0 1 0 4 3 8 (ha) (buah) (buah) (km) (buah) (ha) (ha) (ha) (buah) (buah) (km) (buah) Permukiman Rumah Fasum Jalan Jembatan Sawah Perkebunan Perikanan Rumah Fasum Jalan Jembatan Hilang (jiwa) 0 0 0 0 6 6 12 (jiwa) 21 2 2 0 12 60 97

Rusak/Roboh/Hanyut Bendung (buah) 0 0 0 0 0 15 15 Saluran Tanggul (m) 0 0 0 0 0 3,500 3,500 (m) 0 30 0 0 811 12,335 13,176 Bang. SDA, Irigasi (buah) 0 0 0 0 0 0 0

No

Propinsi

Kejadian (frekuensi)

Meninggal

1 DKI Jakarta

2 Banten

3 Jawa Barat

4 DIY

5 Jawa Tengah

30

6 Jawa Timur

25

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

Tabel 2. 7 Rekapitulasi Kejadian Banjir dan Tanah Longsor Musim Hujan 2001-2002 Per 15 Mei 2002

Total

72

2-9

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

BAB 2 IDENTIFIKASI MASALAH BANJIR DI PULAU JAWA

Tergenang Permukiman (ha) 50 4,045 0 0 1,460 938 6,493 27,210 67 122 0 76,263 8,212 147 2,221 8,267 19 65 0 8,948 8,212 130 593 7,113 0 27 0 14,409 0 0 193 0 1 11 115 0 0 0 0 0 0 0 1 3,096 47 30 0 49,344 0 10 1,432 9 7 0 0 8 15 7,786 0 0 0 3,562 0 7 3 0 0 833 1 0 0 0 0 0 0 0 0 (buah) (buah) (km) (buah) (ha) (ha) (ha) (buah) (buah) (km) (buah) 0 2 9 0 0 1 12 Rumah Fasum Jalan Jembatan Sawah

Rusak/Roboh/Hanyut Perkebunan Perikanan Rumah Fasum Jalan Jembatan Bendung Saluran Tanggul (buah) 0 1 0 0 0 6 7 (m) 0 0 0 0 0 1,018 1,018 (m) 0 60 0 0 920 3,217 4,197 Bang. SDA, Irigasi (buah) 0 0 0 0 0 10 10

No 0 2 36 0 8 36 82 36 25,741 0 842 0 6,932 0 0 36 8,700 0 0 0 9,267

Propinsi

Manusia Kejadian Meninggal Hilang Mengungsi (frekuensi) (jiwa) (jiwa) (jiwa)

1 DKI Jakarta

10

2 Banten

3 Jawa Barat

22

4 DIY

5 Jawa Tengah

29

6 Jawa Timur

33

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

Tabel 2. 8 Rekapitulasi Kejadian Banjir dan Tanah Longsor Musim Hujan 2002-2003 Per 30 Juli 2003

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

Total

104

BAB 2 IDENTIFIKASI MASALAH BANJIR DI PULAU JAWA

2-10

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

BAB 2 IDENTIFIKASI MASALAH BANJIR DI PULAU JAWA

2.3

UPAYA PENGENDALIAN BANJIR

2-11

Sistem pengendalian bahaya banjir umumnya sudah dilakukan untuk sungaisungai di Jawa, dimana banjir tersebut dapat menyebabkan dampak ekonomi dan sosial yang cukup berarti. Daerah sungai yang biasanya terkena banjir secara langsung seperti permukiman, pusat-pusat industri, lahan pertanian, atau jalan-jalan utama akan sangat membutuhkan adanya sistem pengendalian bahaya banjir. Upaya pengendalian banjir terdiri dari beberapa langkah, yaitu sebagai berikut: 1. Langkah pertama adalah mengumpulkan dokumen dan rekaman atas peristiwa banjir yang telah terjadi dari sumbernya. Pemetaan banjir yang ada tidak cukup dan tidak disusun sistematik oleh badan-badan yang ada. Peta banjir biasanya disusun berdasarkan hasil pemodelan banjir dan biasanya tidak cocok dengan kejadian banjir yang sebenarnya, atau peta banjir yang didapat menggunakan metoda interpolasi dari peta penggunaan lahan dengan resiko banjir. Evaluasi banjir yang terjadi sebelumnya harus menyertakan rekaman spasial banjir sebelumnya dari satelit, foto udara, rekaman yang berhubungan dengan kerusakan banjir dan curah hujan pada WS. 2. Langkah kedua adalah membuat rangking prioritas WS berdasarkan frekuensi/tingkat bahaya banjir pada tingkat nasional. Prioritas diberikan pada WS dengan karakteristik sebagai berikut: Area dengan populasi tinggi. Area pertanian, irigasi pertanian dan perkebunan. Infrastruktur bendungan, reservoir dan saluran pengambil air. Infrastruktur industri. Produksi perikanan yang kompleks. Area lingkungan sensitif yang luas. Lahan kritis di DAS bagian hulu dan hilir luas.

3. Langkah ketiga adalah memodelkan banjir pada peta perluasan banjir untuk kejadian banjir yang spesifik pada WS tertentu yang dibandingkan dengan

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

BAB 2 IDENTIFIKASI MASALAH BANJIR DI PULAU JAWA

peta eksisting dan kejadian banjir sebelumnya. Pada fasa ini, perlu dievaluasi faktor alam dan manusia yang turut berperan serta dalam penyebab banjir. 4. Langkah keempat adalah melakukan studi mengenai zona penyimpan banjir pada bagian hulu, tengah dan hilir DAS. Pada langkah ini masterplan manajemen dan pengendalian banjir untuk setiap WS harus disiapkan. Masterplan ini mengindikasikan strategi manajemen banjir pada DAS bagian hulu dan hilir. Selain itu, masterplan ini juga perlu mengindikasi struktur yang dibutuhkan dalam manajemen dan pengendalian banjir. Beberapa sistem pengendali banjir sering berjalan kurang efektif, yang disebabkan karena kurangnya waktu peringatan tanda bahaya banjir ketika banjir akan terjadi. Beberapa sistem peringatan tanda bahaya banjir umumnya terdiri atas 3 komponen sebagai berikut: 1. Sistem pengamatan/monitoring banjir sepanjang waktu yang mengukur curah hujan (rainfall station) dan ketinggian muka air (AWLR) di lokasi-lokasi tertentu yang kemudian data tersebut ditransfer ke pusat pengendalian banjir. 2. Sistem perkiraan banjir yang memonitor waktu dan besarnya debit banjir yang akan terjadi. 3. Sistem peringatan tanda bahaya banjir yang mampu menyampaikan informasi perkiraan banjir yang akan terjadi ke masyarakat yang akan terkena dampak banjir tersebut.

2-12

2.4

PENGAMATAN INDIKATOR BANJIR

Kegiatan ini sering disebut dengan peringatan dini yaitu memberikan peringatan kepada masyarakat sesegera mungkin sejak diketahui bahwa banjir akan terjadi. Hakekat pengamatan dan peringatan siaga adalah memanfaatkan waktu perjalanan banjir dari hulu ke hilir untuk penyelamatan. Kemungkinan banjir akan terjadi dapat diamati dari indikator-indikator yang telah terpasang. Terdapat dua indikator banjir yaitu (1) tinggi muka air dan (2) curah hujan. Indikator ini diamati secara terus-menerus dan beroperasi penuh di musim penghujan. Pada saat musim kemarau, indikator beroperasi minimal sebagai

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

BAB 2 IDENTIFIKASI MASALAH BANJIR DI PULAU JAWA

pengumpul data. Pencatatan data yang terjadwal akan memberikan sumbangan data yang berkualitas.

2-13

A. Indikator Tinggi Muka Air Skema sistem pengamatan menggunakan indikator tinggi muka air ditunjukkan oleh Gambar 2.1. Sistem peringatan dini terdiri dari komponen sebagai berikut: 1. Pusat Pengendali yang akan memberikan antisipasi menghadapi banjir apabila diperkirakan banjir akan terjadi. 2. Stasiun Pengamat Hulu dan Hilir yang ditempatkan pada lokasi-lokasi strategis. Di tiap Stasiun Pengamat dipasang papan duga (peilsschaal) yang sudah dikalibrasi sebelumnya. 3. Diagram Penelusuran Banjir (flood routing) disusun spesifik per sistem daerah/kota. Dari diagram ini dapat dibaca lama perjalanan banjir dari hulu ke hilir.
Pusat Pengendali Stasiun Hulu
Komunikasi
Grafik Penelusuran Banjir Peilskal Hulu
2 jam 4 jam 6 jam

Stasiun Hilir

Selisih Waktu untuk Penyelamatan Perjalanan Air Banjir


Peilskal Hilir

Laut
Muka Air Banjir Muka Lahan Muka Air Normal Dasar Sungai

Gambar 2. 1 Skema sebuah sistem peringatan dini dengan indikator tinggi muka air.

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

BAB 2 IDENTIFIKASI MASALAH BANJIR DI PULAU JAWA

B. Indikator Curah Hujan Sistem indikator curah hujan terdiri dari beberapa sub-sistem berikut ini yang keterkaitannya diilustrasikan pada Gambar 2.2. 1. Sub-sistem Pengamatan Data Hidrologi akan menghasilkan informasi perkiraan data hidrologi terutama curah hujan, durasi hujan, dan daerah sebarannya. Informasi ini akan diberikan kepada sub-sistem Peramalan Banjir. 2. Sub-sistem Survei Kondisi Lahan berfungsi untuk mengumpulkan data dari daerah aliran sungai seperti: topografi wilayah, tata-guna lahan, geologi, dan jaringan hidrolika yang ada secara berkala. Informasi ini akan diberikan kepada sub-sistem Peramalan Banjir. 3. Sub-sistem Peramalan Banjir bertugas untuk memperkirakan data banjir (waktu, tinggi, dan lokasi). Informasi ini akan diberikan kepada sub-sistem Antisipasi Peringatan Dini. 4. Sub-sistem Antisipasi Peringatan Dini bertugas untuk melakukan antisipasi menghadapi banjir apabila diperkirakan banjir akan terjadi.

2-14

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

BAB 2 IDENTIFIKASI MASALAH BANJIR DI PULAU JAWA

2-15
Permukiman

Batas DPS

Pengamatan Data Hidrologi

Survei Kondisi Lahan

Peramalan Banjir

Antisipasi Peringatan Dini Gambar 2. 2 Sistem peringatan dini dengan peramalan banjir.

C. Perangkat Komunikasi Perangkat komunikasi akan menghubungkan antara komponen pengamat dan pengambil antisipasi di atas. Komunikasi terdiri dari beberapa moda perangkat telekomunikasi (saluran telepon tetap, saluran telepon bergerak, radio SSB (single side band) sekaligus untuk mendapatkan efek cadangan. Ketiga moda tersebut sudah tersedia luas dan terbukti berjalan baik pada umumnya di kota di Indonesia. Dalam pengendalian banjir diperlukan adanya sistem komunikasi yang handal. Kegunaan sistem komunikasi selain untuk pemberitahuan kondisi darurat juga untuk sarana laporan hasil pemantauan reguler. Jalur komunikasi disusun secara rinci pada Standar Operation Procedure (SOP) yang merupakan bagian dari

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

BAB 2 IDENTIFIKASI MASALAH BANJIR DI PULAU JAWA

RTD (Rencana Tindak Darurat). Perangkat ini mengatur informasi apa harus disampaikan oleh siapa, kapan dan kepada siapa saja. Penyebarluasan berita tahap siaga kepada masyarakat luas dapat menggunakan siaran radio RRI atau Radio Khusus Pemerintah Daerah maupun radio-radio swasta.

2-16

2.5

TAHAP SIAGA BANJIR

Upaya penanggulangan banjir adalah aksi yang terencana dan terkoordinir dimana segera dilaksanakan sejak banjir diperkirakan akan terjadi hingga banjir berakhir untuk menyelamatkan jiwa manusia yang terkena banjir dan meminimalkan kerugian materi dan dampak lingkungan. Keadaan darurat banjir akan dapat terjadi dari kondisi tidak berbahaya menjadi sangat berbahaya secara tiba-tiba. Dalam kondisi demikian diperlukan reaksi cepat dari instansi yang berwenang untuk mengatasinya. Penyusunan Upaya Penanggulangan Banjir adalah salah satu komponen yang harus dijadwalkan dalam rencana induk pengembangan sebuah DAS atau WS. Didalamnya akan diatur siapa melakukan apa, dimana, dan bagaimana mulai saat banjir diperkirakan akan terjadi hingga banjir berakhir. Langkah-langkah yang dilakukan dalam upaya penanggulangan banjir adalah sebagai berikut: A. Mobilisasi Sumber Daya Menghadapi Banjir Mobilisasi pertama adalah pengerahan sumber daya untuk mengungsikan penduduk. Keperluan pengungsian segera dikerahkan ke daerah-daerah rawan banjir Dengan demikian penduduk dapat segera diungsikan apabila memasuki tahap siaga I. Mobilisasi kedua adalah pengerahan sumber daya kebutuhan pengungsi di tempat penampungan. Mobilisasi ini segera dilakukan apabila pengungsi telah tiba di tempat penampungan (tahap siaga I). B. Pengungsian Penduduk Pengungsian penduduk segera dilakukan jika memasuki tahap Siaga I yaitu dipastikan banjir akan terjadi. Proses pengungsian mulai dari perencanaan

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

BAB 2 IDENTIFIKASI MASALAH BANJIR DI PULAU JAWA

sampai dengan pelaksanaan dilakukan oleh Pemerintah dengan instansinya yang terkait. Daerah yang harus diungsikan adalah daerah-daerah yang diperkirakan akan mengalami banjir dengan kedalaman banjir atau kecepatan aliran yang membahayakan. Perencanaan waktu pemindahan penduduk berhubungan dengan waktu tiba banjir. Berdasar data waktu tiba banjir maka waktu evakuasi yang aman untuk masing-masing daerah dapat direncanakan. Hal-hal yang perlu mendapat perhatian pada proses pemindahan penduduk adalah sebagai berikut: a. Pengumpulan Pengungsi. Jumlah total penduduk yang terkena resiko banjir sudah harus diketahui sebelumnya. Setelah Keadaan Siaga I diumumkan, maka penduduk yang berada di daerah yang diprediksi akan terkena banjir harus segera diberitahu dan segera berkumpul untuk diungsikan ke tempat-tempat yang lebih aman. Untuk memudahkan proses pengungsian, penduduk dapat dikumpulkan di lapangan terbuka atau kantor desa, baru kemudian dilakukan proses pemindahan atau pengungsian ke lokasi yang aman dan melalui rute yang telah ditetapkan sebelumnya di peta banjir. b. Pengangkutan Pengungsi. Ketersediaan sarana transportasi adalah sangat penting pada proses pengungsian atau evakuasi penduduk. Kebutuhan alat angkut untuk pengungsian bergantung pada kapasitas dari jenis alat angkut yang digunakan. Truk Mini bus Mikrolet Sebagai asumsi kapasitas angkut masing-masing jenis kendaraan adalah sebagai berikut:
1) 2) 3) 4)

2-17

: 50 orang/unit : 25 orang/unit : 12 orang/unit

Sedan/Jeep : 6 orang/unit

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

BAB 2 IDENTIFIKASI MASALAH BANJIR DI PULAU JAWA

c.

Pelayanan di Pengungsian Lokasi pengungsian adalah tempat yang aman untuk menampung penduduk korban bencana banjir, untuk beberapa waktu atau hanya bersifat sementara memenuhi sampai keadaan dinyatakan untuk aman dihuni. kembali Untuk (deklarasi itu lokasi pengakhiran banjir). Walaupun hanya bersifat sementara, lokasi ini harus syarat-syarat kelayakan pengungsian tersebut harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1) 2) 3)

2-18

Bebas dari genangan banjir. Ketersediaan prasarana: jalan masuk, air bersih, listrik dan MCK. Ketersediaan logistik: tenaga medis, obat-obatan, bahan makanan maupun dapur umum.

Beberapa tempat yang dapat dijadikan tempat penampungan pengungsi adalah berikut ini:
1) 2) 3) 4)

Tanah lapang dengan mendirikan tenda. Fasilitas ibadah seperti mesjid dan gereja. Fasilitas sosial seperti rumah sakit dan sekolah. Bangunan lain seperti gudang dan gedung olahraga.

Untuk kelangsungan hidup para pengungsi, perlu disediakan kebutuhan dasar logistik yaitu berupa ruang untuk berteduh, beras, lauk pauk, dan air minum. Berdasarkan informasi waktu banjir surut maka lamanya waktu dapat diperkirakan. Selanjutnya total biaya selama pengungsian

pengungsian dapat dianggarkan.

C. Perbaikan Darurat Prasarana Banjir Perbaikan darurat bertujuan memulihkan fungsi awal kerusakan prasarana banjir secepat mungkin untuk mengurangi dampak negatip dari banjir. Kerusakan dapat mengakibatkan air keluar dari sungai dengan jumlah yang sangat besar dan tidak terkendali. Daerahdaerah yang terlewati luapan air akan kebanjiran dan membahayakan jiwa penduduk dan materi di daerah tersebut.

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

BAB 2 IDENTIFIKASI MASALAH BANJIR DI PULAU JAWA

D. Pencarian dan Pertolongan Orang Hilang Keppres 136/1999 Tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Departemen Pasal 5 Ayat 10 menyebutkan bahwa Departemen Perhubungan yang berwewenang dalam penetapan kebijakan dan pelaksanaan search and rescue (SAR). PP 12/2000 tentang Pencarian dan Pertolongan telah mengatur bahwa dalam hal terjadi bencana dan musibah, potensi SAR dapat dikerahkan untuk membantu penanggulangannya (pasal 18). Badan SAR Nasional yang selanjutnya disebut Basarnas adalah instansi pelaksana tugas di bidang pencarian dan pertolongan yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Menteri. Dalam Keputusan Menteri Perhubungan No. KM 30/2001 telah mengatur tentang Tata Cara Pelaksanaan Siaga SAR) dan Penggantian Biaya Operasi SAR. E. Pelayanan Kesehatan Korban Banjir Kesehatan masyarakat baik yang tidak diungsikan dan yang berada di tempat pengungsian perlu mendapat perhatian. Pada kondisi bencana banjir biasanya penyakit menular mudah berkembang dan akan menjangkiti sesama pengungsi secara cepat. Perhatian khusus perlu diberikan kepada penduduk berusia di bawah 15 tahun atau di atas 60 tahun atau penyandang cacat. Hal ini disebabkan bahwa golongan umur tersebut lebih rentan terhadap penyakit. Sebagai upaya pencegahan berkembangnya penyakit di antara para pengungsi, maka upaya pencegahan yang dapat dilakukan antara lain:
1) 2) 3) 4) 5)

2-19

Pengadaan air bersih. Menjaga kebersihan makanan. Pengadaan fasilitas pembuangan sampah dan MCK. Pengadaan obat-obatan. Pengadaan tenaga medis.

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

BAB 2 IDENTIFIKASI MASALAH BANJIR DI PULAU JAWA

F. Deklarasi Pengakhiran Keadaan Darurat Pengakhiran keadaan darurat akan dinyatakan oleh Pemerintah sesuai tingkatan bencana banjir (nasional/regional/lokal). Dasar-dasar penetapan berakhirnya keadaan darurat di daerah terkena banjir dan dinyatakan sudah cukup aman/layak untuk ditempati kembali, adalah sebagai berikut:
1) 2)

2-20

Banjir susulan dari hulu tidak akan ada lagi sesuai hasil indikator banjir. Air yang menggenang di daerah hilir telah surut dengan kedalaman di bawah 0,50 m dan telah dilakukan pembersihan limbah banjir sehingga cukup layak untuk dihuni kembali.

Pengakhiran keadaan darurat ini harus disepakati bersama oleh Pihak Dinas PU Pengairan selaku pengelola pengairan dengan pihak Pemerintah Daerah. Selanjutnya Pemerintah melalui Bagian Humas menyampaikan berita pengakhiran keadaan darurat banjir kepada masyarakat lewat media massa. G. Pemulangan Pengungsi Pemulangan pengungsi adalah rangkaian kegiatan setelah Pemerintah

mendeklerasikan bahwa bencana banjir telah berakhir. Proses pemulangan penduduk ke lokasi tempat tinggal awal dapat dilakukan secara berangsurangsur dengan sebelumnya memperhatikan kondisi daerah setempat setelah pasca-banjir. H. Penilaian & Deklarasi Tingkat Bencana Pernyataan tingkat bencana banjir yang terjadi akan diterbitkan oleh Pemerintah. Kategori tingkat bencana banjir ditentukan berdasarkan prosedur kategori prioritas penanganan yang ditetapkan oleh DepPekerjaan Umum (Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah), yaitu Nasional, Regional dan Lokal. Ketiga kategori ini ditentukan berdasarkan kategori nilai asset (strategis, urgen dan biasa) dan kategori intensitas gangguan bencana banjir (berat, sedang, ringan). Penetapan kategori tingkat bencana banjir ditentukan dengan alur seperti pada Gambar 2.3 yaitu mempertimbangkan faktor-faktor berikut ini:
1) 2)

Kriteria nilai intensitas gangguan banjir dapat dilihat pada Tabel 2.9. Kriteria nilai aset yang dilanda banjir dapat dilihat pada Tabel 2.10.

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

BAB 2 IDENTIFIKASI MASALAH BANJIR DI PULAU JAWA

3)

Dari kedua kriteria penilaian di atas maka skala banjir dapat ditentukan seperti pada Tabel 2.11.

2-21

Kategori Nilai Aset (Strategis, Urgen, Biasa)

Kategori Intensitas Gangguan Bencana Banjir

Kategori Tingkat Bencana Banjir (Nasional, Regional, Lokal) Gambar 2. 3 Diagram alir penentuan kategori tingkat bencana banjir.

Tabel 2. 9 Kategori Intensitas Gangguan Bencana Banjir

No . 1.

Gangguan Korban & Penderitaan Manusia a) Meninggal b) Luka-luka c) Mengungsi

Tingkat Intensitas Gangguan Berat Sedang Ringan

2. 3.

Kerugian Fisik*

> 10 orang, atau > 50 orang, atau > 1.000 orang > Rp. 5 milyar

0 10 orang 30 50 orang 500 1.000 Orang Rp. 1 5 milyar

< 30 orang < 500 orang < Rp. 1 milyar

Genangan Banjir a) Frekuensi dalam 1 >2 12 <1 tahun b) Lama genangan > 12 jam 6 12 jam < 6 jam c) Tinggi genangan - Bandara > 0,5 m 0,2 0,5 m < 0,2 m - Kawasan Lain > 1,5 m 0,75 1,5 m < 0,75 m *) Kerugian fisik adalah rumah, prasarana transpotasi (jalan, jembatan), sarana umum (pasar, sekolah, tempat ibadah), sarana produksi (pertanian, industri, perdagangan) yang rusak.
Sumber: Dep. Pekerjaan Umum.

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

BAB 2 IDENTIFIKASI MASALAH BANJIR DI PULAU JAWA

Tabel 2. 10 Kategori Nilai Aset

2-22
Biasa Bandara Perintis

No.

Kawasan Yang Dilindungi 1. Prasarana Transpotasi a. Bandara dan Jalan Aksesnya b. Pelabuhan dan Jalan Aksesnya

Strategis Bandara Internasional Pelayaran Internasional (Outlet Ekspor dan Impor) Jalan Negara dan Jalan Tol Antar Propinsi & Strategis

Nilai Aset Urgen Bandara Nasional

Pelayaran Domestik Pelabuhan Perintis (Antar Pulau)

c. Jalan Raya d. Jalan Kereta Api

e. Stasiun Kereta Api

f. Terminal Bus

Jalan Kabupaten/ Lingkungan Antar Kota Penghubung Pabrik Sumber Bahan Baku Stasiun Kereta Api Stasiun Kereta Api Tempat Klas I Klas II Pemberhentian Kereta Api Terminal Antar Terminal Antar Kota Tempat Kota Propinsi Pemberhentian Bus Luas = 500 ha 2.000 ha Luas = 200 ha 1.000 ha Luas = 100 ha 500 ha Luas = 200 ha 1.000 ha Luas < 500 ha Luas < 200 ha Luas < 100 ha Luas < 200 ha

Jalan Propinsi

2. Industri dan Perdagangan a. Kawasan Industri Luas > 2.000 ha b. Kawasan Luas > 1.000 ha Perdagangan/ Pelayaran c. Kawasan Perkantoran Luas > 500 ha

d. Kawasan Luas > 1.000 ha Pergudangan 3. Permukiman dan Pariwisata a. Kawasan Perkotaan Luas > 5000 ha Luas = 1.000 ha ( Urban ) 5.000 ha Penduduk > 1 Juta Penduduk 0,5 1 Juta b. Kawasan Perdesaan Luas > 10.000 ha Luas = 5.000 ha ( Rural ) 10.000 ha c. Kawasan Pariwisata Daerah Tujuh Daerah Tujuh Wisata Wisata ( DTW ) Nasional Regional d. Kawasan Cagar Cagar Budaya Cagar Budaya Budaya Nasional Regional e. Permukiman Jml. Trans. > Jml Trans. 1.000 Transmigrasi 10.000 KK 10.000 KK 4. Pertanian a. Sawah (Lahan Basah) Luas > 15.000 ha Luas = 500ha 15.000 ha b. Ladang (Lahan Luas > 25.000 ha Luas = 10.000 ha

Luas < 1.000 ha Penduduk < 0.5 Juta Luas < 5000 ha Daerah Tujuh Wisata Lokal Cagar Budaya Lokal Jml. Trans. < 10.000 KK Luas < 5.000 ha Luas < 10.000 ha

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

BAB 2 IDENTIFIKASI MASALAH BANJIR DI PULAU JAWA

No.

Kawasan Yang Dilindungi Kering) c. Perkebunan d. Tembok

Strategis Luas > 20.000 ha Luas > 10.000 ha

Nilai Aset Urgen 25.000ha Luas = 5.000 ha 20.000 ha Luas = 3.000 ha 10.000 ha

Biasa Luas < 5.000 ha Luas < 3.000 ha

2-23

Sumber: Dep. Pekerjaan Umum.

Tabel 2. 11 Kategori Tingkat Bencana Banjir

No. 1. 2. 3.

Kategori Banjir Nasional Banjir Regional Banjir Lokal

Aset yang Dilanda Intensitas Gangguan Strategis Strategis Urgen Urgen Biasa Berat, Sedang Ringan Berat, Sedang Ringan Berat, Sedang, Ringan

Sumber: Dep Pekerjaan Umum.

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

BAB 3 IDENTIFIKASI MASALAH KEKERINGAN DI PULAU JAWA

BAB 3 IDENTIFIKASI MASALAH KEKERINGAN DI PULAU JAWA


3.1 ANALISIS NERACA AIR

3-1

Analisis neraca air merupakan bagian dari kegiatan pengembangan sumber daya air. Menurut Sri Harto (1999) pengembangan sumber daya air dapat diartikan secara umum sebagai upaya pemberian perlakuan terhadap fenomena alam agar dapat dimanfaatkan secara optimal untuk kepentingan umat manusia. Sedangkan neraca air merupakan suatu gambaran umum mengenai kondisi ketersediaan air dan pemanfaatannya di suatu daerah. Konsep fokus kajian pengembangan sumber daya air dapat meliputi kegiatan: a. Perhitungan potensi sumber daya air. b. Analisis kebutuhan air baik tahun eksisting maupun masa yang akan datang dan sekaligus pembuatan analisis neraca sumber daya airnya. c. Pemberian alternatif sumberdaya alam yang dapat dimanfaatkan. Analisis neraca air atau keseimbangan air adalah suatu analisa yang menggambarkan pemanfaatan sumber daya air suatu daerah tinjauan yang didasarkan pada perbandingan antara kebutuhan dan ketersediaan air. Faktorfaktor yang digunakan dalam perhitungan dan analisis neraca air ini adalah ketersediaan air dari daerah aliran sungai yang dikaji (yang merupakan ketersediaan air permukaan) dan kebutuhan air dari tiap daerah layanan yang dikaji (yang meliputi kebutuhan air untuk domestik, perkotaan, industri, perikanan, peternakan dan irigasi). Persamaan yang dapat digunakan untuk menghitung neraca air dapat dinyatakan sebagai berikut: Neraca = Qketersediaan - Qkebutuhan dengan:

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA Neraca

BAB 3 IDENTIFIKASI MASALAH KEKERINGAN DI PULAU JAWA

= neraca air, surplus jika hasil persamaan adalah positif dan defisit apabila hasil persamaan adalah negatif.

3-2

Qketersediaan = debit ketersediaan air. Qkebutuhan = debit kebutuhan air.

Dari persamaan tersebut maka dapat didefinisikan arti dari kekeringan. Kekeringan yang dimaksud disini adalah saat dimana total kebutuhan air untuk berbagai sektor lebih besar daripada jumlah air yang tersedia untuk mencukupi kebutuhan tersebut. Atau juga dapat pula dikatakan bahwa kekeringan terjadi saat neraca air mengalami defisit atau memiliki nilai negatif. Kepincangan antara jumlah ketersediaan dengan kebutuhan air dapat

menimbulkan permasalahan yang kompleks. Hal ini

akan semakin diperumit

dengan mengingat hubungan tersebut akan selalu berubah setiap saat dengan kondisi perubahan dari kedua aspek tersebut. Oleh karena itu, kedepan dirasa sangat perlu untuk mencari solusi penyelesaian masalah tersebut dengan mengupayakan pengaturan terhadap pola pemanfaatan sumber daya air maupun kebutuhannya selain tetap memperhatikan aspek efisiensi dan konservasi. Berikut ini akan disajikan analisis neraca air untuk seluruh Pulau Jawa-Madura. Pendekatan wilayah yang dipakai adalah wilayah administrasi dengan batasbatasnya. Kebutuhan akan dihitung untuk tiap-tiap kabupaten dan kota sedangkan titik-titik pengambilan akan diambil sesuai dengan batas wilayah dan kontur ketinggian serta struktur-struktur pengambilan air eksisting yang sudah ada yang dirasa dapat mensuplai air untuk memenuhi kebutuhan air di kabupaten yang bersangkutan.

3.1.1

Banten

Propinsi Banten terdiri dari 4 kabupaten dan 2 kota yaitu: Kabupaten Serang, Kabupaten Pandeglang, Kabupaten Lebak, Kabupaten Tangerang, Kota Tangerang dan Kota Cilegon. Dalam sub bab ini hanya akan dibahas analisa neraca air untuk 2 kabupaten saja, yaitu: Kabupaten Pandeglang dan Kabupaten Lebak. Sedangakan 4 kabupaten/kota yang lain akan dibahas pada sub bab

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

BAB 3 IDENTIFIKASI MASALAH KEKERINGAN DI PULAU JAWA

berikutnya. Hal ini karena analisis neraca air pada sub bab berikutnya, yaitu untuk daerah Jabotabek dan sekitarnya, diambil dari Jabotabek Water

3-3

Resources Management Study (JWRMS) yang dipandang sudah sangat


komprehensif dalam melakukan analisa kebutuhan dan ketersediaan airnya. A. Kebutuhan Air

Pemanfaatan air di Propinsi Banten bervariasi dengan kecenderungan terus meningkat dari waktu ke waktu, yang meliputi kebutuhan untuk rumah tangga, perkotaan, industri, peternakan, perikanan dan irigasi. Secara umum, kebutuhan air untuk irigasi jauh lebih besar apabila dibandingkan dengan kebutuhan air untuk sektor lainnya. Kondisi ini akan semakin sulit apabila tidak didukung dengan adanya usaha untuk melakukan perbaikan terhadap kondisi sumber daya air, diantaranya dengan konservasi daerah tangkapan hujan dan efisiensi dalam penggunaan air. Dalam pengembangan dan pengelolaan sumber daya air, prioritas utama adalah untuk pemenuhan kebutuhan air minum/rumah tangga, yang kedua adalah untuk pemenuhan kebutuhan jasa perkotaan dan industri, yang ketiga adalah untuk untuk pemenuhan kebutuhan air irigasi dan sisanya dimanfaatkan untuk kegiatan lain termasuk untuk pengelolaan kualitas air sungai dan pembangkit listrik tenaga air. Seiring dengan perkembangan kebutuhan air untuk rumah tangga, perkotaan dan industri maka kebutuhan untuk irigasi seringkali menjadi tidak tercukupi terutama untuk musim tanam kedua atau ketiga dimana hujan yang turun sudah tidak terlalu banyak. Konflik sering terjadi karena adanya perbedaan kepentingan antar departemen atau instansi pengelola sumber daya air sehingga perlu adanya suatu pengelolaan sumber daya air yang terpadu.

1. Kebutuhan air untuk keperluan rumah tangga, perkotaan dan industri. Kebutuhan air untuk keperluan rumah tangga, perkotaan dan industri di Propinsi Banten cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Kebutuhan air untuk rumah tangga dihitung sebagai kebutuhan air 24 jam untuk 1 (satu) orang yang meliputi air untuk minum, masak, mandi cuci dan sanitasi. Kebutuhan ini sangat dipengaruhi oleh kebiasaan hidup masyarakat dan iklim

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

BAB 3 IDENTIFIKASI MASALAH KEKERINGAN DI PULAU JAWA

di daerah tersebut. Kebutuhan air untuk rumah tangga dapat dihitung dengan mengkalikan standar kebutuhan air per orang per hari dengan jumlah penduduk di wilayah tersebut. Kebutuhan air untuk keperluan perkotaan (municipal) adalah kebutuhan air untuk fasilitas kota, seperti fasilitas komersial, fasilitas pariwisata, fasilitas ibadah, fasilitas kesehatan dan fasilitas pendukung kota lainnya misalnya pembersihan jalan, pemadam kebakaran, sanitasi kota dan penyiraman tanaman perkotaan. Besarnya kebutuhan air non domestik dapat ditentukan oleh banyaknya fasilitas perkotaan. Kebutuhan ini sangat dipengaruhi oleh tingkat dinamika kota dan jenjang suatu kota. Kebutuhan air untuk perkotaan diambil sebagai proporsi dari kebutuhan air untuk rumah tangga dengan persentasi antara 25-40% tergantung dari kemajuan daerah itu sendiri. Berikut ini disajikan jumlah penduduk untuk tiap-tiap kabupaten di Propinsi Banten berikut proyeksinya serta kebutuhan air untuk rumah tangga dan perkotaan sampai tahun 2025 pada Tabel 3.1, Tabel 3.2, dan Tabel 3.3.

3-4

Tabel 3. 1 Proyeksi Jumlah Penduduk di Propinsi Banten


No 1 2 Kabupaten Pandeglang Lebak Jumlah Penduduk (jiwa) 2003 1.082.012 1.122.228 2005 1.120.841 1.188.226 2010 1.224.118 1.370.705 2015 1.336.912 1.581.209 2020 1.460.099 1.824.039 2025 1.594.636 2.104.162

Sumber: hasil analisis Tim Dinamaritama. Tabel 3. 2 Kebutuhan Air Rumah Tangga di Propinsi Banten
No 1 2 Kabupaten Pandeglang Lebak Kebutuhan Air Domestik (m3/det) 2003 1,190 1,234 2005 1,232 1,306 2010 1,346 1,507 2015 1,470 1,739 2020 1,605 2,006 2025 1,753 2,314

Sumber: hasil analisis Tim Dinamaritama. Tabel 3. 3 Kebutuhan Air Perkotaan di Propinsi Banten No 1 Kabupaten Pandeglang Kebutuhan Air Non Domestik (m3/det) 2003 0,357 2005 0,370 2010 0,404 2015 0,441 2020 0,482 2025 0,526

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA


2 Lebak 0,370 0,392 0,452 0,522 0,602 0,694

BAB 3 IDENTIFIKASI MASALAH KEKERINGAN DI PULAU JAWA

3-5

Sumber: hasil analisis Tim Dinamaritama.

Kebutuhan air industri adalah kebutuhan air untuk proses industri, termasuk sebagai bahan baku, kebutuhan air pekerja industri dan pendukung kegiatan industri. Jadi besar kebutuhan air industri ditentukan oleh kebutuhan air untuk diproses, bahan baku industri dan kebutuhan air untuk pekerjaan industri. Sedangkan kebutuhan air untuk pendukung kegiatan industri seperti hidran dapat disesuaikan untuk jenis industrinya. Kebutuhan air untuk keperluan industri sangat dipengaruhi oleh jenis dan skala (ukuran) industri yang ada. Misalnya industri tekstil dan logam berat tentu akan memerlukan air yang lebih banyak apabila dibandingkan dengan industri perakitan. Semakin modern peralatan dan teknologi yang digunakan oleh suatu industri akan semakin efisien air yang digunakan. Untuk menghitung kebutuhan air industri di Propinsi Banten ini akan digunakan pendekatan sederhana yang dikembangkan oleh Jabotabek Water Resources Management Study (1994) yaitu penggunaan air industri berdasarkan jumlah karyawan yang bekerja di sektor industri yaitu sebesar 500 liter/karyawan/hari. Berikut ini disajikan Tabel 3.4 yang berisi kebutuhan air industri untuk tiap kabupaten di Propinsi Banten berikut proyeksinya sampai tahun 2025..

Tabel 3. 4 Kebutuhan Air untuk Industri di Propinsi Banten No 1 2 Kabupaten Pandeglang Lebak Kebutuhan Air Industri (m3/det) 2003 0,119 0,094 2005 0,127 0,110 2010 0,149 0,163 2015 0,176 0,240 2020 0,207 0,353 2025 0,243 0,521

Sumber: hasil analisis Tim Dinamaritama.

2. Kebutuhan air untuk keperluan peternakan dan perikanan. Kebutuhan air untuk keperluan peternakan dihitung dengan mengkalikan jumlah ternak yang ada di kabupaten tersebut dengan kebutuhan air untuk tiap jenis ternak. Ternak berkaki 4 besar seperti sapi, kerbau dan kuda rata-

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

BAB 3 IDENTIFIKASI MASALAH KEKERINGAN DI PULAU JAWA

rata memerlukan air sebesar 40 liter/ekor/hari. Ternak berkaki 4 kecil seperti kambing atau domba rata-rata memerlukan air sebanyak 5 liter/ekor/hari. Sedangkan unggas seperti ayam memerlukan air rata-rata 0,6 liter/ekor/hari. Kebutuhan air untuk perikanan adalah kebutuhan air untuk mengisi kolam pada saat awal tanam dan kebutuhan untuk penggantian air. Dipakai standar sebesar 7 mm/hari sebagai kebutuhan air untuk perikanan. Berikut ini disajikan Tabel 3.5 dan Tabel 3.6 yang berisi kebutuhan air untuk peternakan dan perikanan untuk tiap kabupaten di Propinsi Banten berikut proyeksinya sampai tahun 2025.

3-6

Tabel 3. 5 Kebutuhan Air Peternakan di Propinsi Banten No 1 2 Kabupaten Pandeglang Lebak Kebutuhan Air Peternakan (m3/det) 2003 0,057 0,063 2005 0,057 0,065 2010 0,058 0,072 2015 0,060 0,081 2020 0,062 0,093 2025 0,066 0,107

Sumber: hasil analisis Tim Dinamaritama. Tabel 3. 6 Kebutuhan Air Perikanan di Propinsi Banten No 1 2 Kabupaten Pandeglang Lebak Kebutuhan Air Perikanan (m3/det) 2003 0,998 0,390 2005 1,059 0,405 2010 1,229 0,448 2015 1,427 0,494 2020 1,655 0,546 2025 1,921 0,603

Sumber: hasil analisis Tim Dinamaritama.

3. Kebutuhan air untuk keperluan irigasi. Kebutuhan air untuk irigasi sangat mendominasi kebutuhan air di Propinsi Banten apabila dibandingkan dengan kebutuhan untuk keperluan rumah tangga, perkotaan dan industri serta kebutuhan untuk keperluan peternakan dan perikanan. Pola ini masih terus berlangsung sampai di masa yang akan datang selama masih ada pembukaan lahan pertanian beririgrasi yang baru.

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

BAB 3 IDENTIFIKASI MASALAH KEKERINGAN DI PULAU JAWA

Kebutuhan air untuk irigasi tergantung pada beberapa faktor antara lain seperti luas tanam, jenis tanaman, keadaan iklim (curah hujan dan evapotranspirasi), jenis tanah (untuk memperkirakan laju perkolasi dan kelembaban), cara bercocok tanam dan praktek irigasi untuk tanaman padi (kebutuhan air untuk pengolahan lahan dan penggantian lapisan air), sistem golongan dan efisiensi irigasi. Secara umum pola tanam yang ada di wilayah studi adalah padi-padipalawija, namun untuk beberapa daerah tertentu pola tanam yang diterapkan adalah padi-padi-padi apabila memang ketersediaan air mencukupi untuk pola tersebut. Ada juga daerah lain yang hanya bisa menanam padi satu kali dalam satu tahun karena air yang tersedia hanya cukup untuk sekali tanam padi. Untuk mengurangi puncak kebutuhan air untuk irigasi khususnya pada masa awal musim tanam, maka dilakukan penjadwalan masa awal tanam secara bergiliran yang didasarkan pada besarnya luasan areal maupun lokasi areal. Pembagian penjadwalan waktu tanam tersebut dikelompokkan ke dalam beberapa golongan, masing-masing golongan dibagi berdasarkan ketersediaan air dan luas areal tanam untuk kebutuhan air masa awal pengolahan lahan. Data luas lahan areal irigasi didapatkan dari buku Propinsi Dalam Angka yang dikeluarkan oleh BPS. Dari data luasan lahan areal irigasi tersebut lalu dilakukan proyeksi untuk dapat menentukan luasan lahan areal irigasi di masa yang akan datang sehingga perkiraan kebutuhan air di waktu yang akan datang dapat diperhitungkan pula. Berikut ini disajikan Tabel 3.7 dan Tabel 3.8 yang berisi luas lahan areal irigasi untuk tiap-tiap kabupaten di Propinsi Banten berikut proyeksinya serta kebutuhan air untuk irigasi sampai tahun 2025.

3-7

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA


Tabel 3. 7 Proyeksi Luas Lahan Areal Irigasi di Propinsi Banten

BAB 3 IDENTIFIKASI MASALAH KEKERINGAN DI PULAU JAWA

3-8
2025 61.703 46.032

No 1 2

Kabupaten Pandeglang Lebak

Luas Lahan Areal Irigasi (Ha) 2003 61.014 45.822 2005 61.077 45.841 2010 61.233 45.889 2015 61.389 45.936 2020 61.546 45.984

Sumber: hasil analisis Tim Dinamaritama. Tabel 3. 8 Kebutuhan Air Irigasi di Propinsi Banten
No 1 Kab/ Tahun Jan Feb 15,242 15,257 15,296 15,335 15,375 15,414 Mar 15,559 15,575 15,614 15,654 15,694 15,734 Apr 5,512 5,518 5,532 5,546 5,560 5,575 Pandeglang 2003 7,740 2005 2010 2015 2020 2025 2 Lebak 2003 2005 2010 2015 2020 2025 7,128 7,131 7,139 7,146 7,154 7,161 11,556 11,560 11,572 11,585 11,597 11,609 12,267 12,272 12,285 12,298 12,311 12,323 3,893 3,894 3,898 3,902 3,907 3,911 7,468 7,471 7,479 7,487 7,494 7,502 9,173 9,176 9,186 9,196 9,205 9,215 10,408 10,413 10,423 10,434 10,445 10,456 5,657 5,660 5,666 5,672 5,678 5,683 0,507 0,507 0,508 0,508 0,509 0,509 11,776 11,781 11,793 11,806 11,818 11,830 13,494 13,500 13,514 13,528 13,542 13,556 7,137 7,140 7,147 7,155 7,162 7,170 7,748 7,768 7,787 7,807 7,827 Kebutuhan Air Irigasi (m3/det) Mei 10,232 10,242 10,268 10,295 10,321 10,347 Jun 11,827 11,840 11,870 11,900 11,930 11,961 Jul 12,387 12,399 12,431 12,463 12,495 12,527 Agu 6,527 6,533 6,550 6,567 6,583 6,600 Sep 0,639 0,640 0,641 0,643 0,644 0,646 Okt 12,604 12,617 12,649 12,682 12,714 12,747 Nov 16,550 16,567 16,610 16,652 16,695 16,737 Des 8,929 8,938 8,960 8,983 9,006 9,029

Sumber: hasil analisis Tim Dinamaritama.

B.

Ketersediaan Air

Wilayah administrasi Propinsi Banten yang dibahas dalam sub bab ini meliputi 2 kabupaten yaitu Kabupaten Pandeglang dan Lebak yang termasuk dalam wilayah 2 WS yaitu WS Ciujung-Ciliman dan WS Cisadea-Cikuningan. Sungaisungai utama yang diambil airnya untuk dimanfatkan guna mencukupi kebutuhan air di WS Ciujung-Ciliman adalah Sungai Ciujung, Cibungur, Ciliman dan Ciseukeut. Sedangkan sungai-sungai utama di WS Cisadea-Cikuningan yang diambil airnya guna mencukupi kebutuhan air di WS Cisadea-Cikuningan adalah Sungai Cibaliung, Cimadur dan Cibareno.

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

BAB 3 IDENTIFIKASI MASALAH KEKERINGAN DI PULAU JAWA

Besarnya debit sungai sangat dipengaruhi oleh besarnya curah hujan, sehingga ketersediaan air akan sangat bervariasi tergantung musim. Biasanya di musim penghujan air yang tersedia berupa debit aliran di sungai akan sangat banyak dan melimpah dan sebaliknya saat musim kemarau air yang tersedia sebagai debit aliran di sungai akan sedikit sekali. Besarnya debit andalan yang dipakai sebagai ketersediaan air dari berbagai titik pengambilan untuk masing-masing kabupaten dapat dilihat pada Tabel 3.9 berikut ini.

3-9

Tabel 3. 9 Ketersediaan Air di Propinsi Banten


No 1 Titik Pengambilan Pandeglang Cibaliung Ciliman Cibungur Ciseukeut Cimoyan Cisata Rangkasbitung Cikoncang Total Lebak Cibinuangeun Cimadur Bojongmanik Cilaki Cibareno Total Jan 15,080 25,644 17,650 11,732 7,899 5,592 12,110 10,573 106,28 7,423 10,806 21,638 5,666 8,986 54,52 Feb 13,130 22,329 21,312 10,215 6,878 4,869 11,769 9,206 99,71 6,463 9,835 18,840 5,507 8,179 48,82 Mar 11,308 19,230 12,625 8,798 5,924 4,193 9,941 7,928 79,95 5,567 9,628 16,226 4,651 8,007 44,08 Apr 15,895 27,032 15,223 12,367 8,327 5,894 15,107 11,145 110,99 7,825 7,491 22,809 7,068 6,230 51,42 Ketersediaan Air (m3/det) Mei 7,955 13,528 10,709 6,189 4,167 2,950 11,789 5,577 62,86 3,916 7,712 11,414 5,516 6,414 34,97 Jun 4,031 6,855 9,049 3,136 2,112 1,495 6,477 2,826 35,98 1,984 4,388 5,784 3,030 3,649 18,84 Jul 2,088 3,551 4,939 1,624 1,094 0,774 2,868 1,464 18,40 1,028 5,013 2,996 1,342 4,168 14,55 Agu 0,612 1,041 4,152 0,476 0,321 0,227 2,903 0,429 10,16 0,301 5,726 0,878 1,358 4,762 13,03 Sep 0,415 0,705 2,236 0,323 0,217 0,154 1,870 0,291 6,21 0,204 7,324 0,595 0,875 6,090 15,09 Okt 0,398 0,676 4,812 0,309 0,208 0,147 3,353 0,279 10,18 0,196 6,163 0,570 1,569 5,125 13,62 Nov 2,430 4,133 15,457 1,891 1,273 0,901 12,438 1,704 40,23 1,196 13,618 3,487 5,820 11,325 35,45 Des 7,505 12,763 31,979 5,839 3,932 2,783 10,192 5,262 80,25 3,695 12,666 10,770 4,768 10,533 42,43

Sumber: hasil analisis Tim Dinamaritama.

C.

Neraca Air

Dalam studi neraca air atau keseimbangan air perlu diketahui jumlah kebutuhan air dari wilayah yang ditinjau dan jumlah ketersediaan air dari titik-titik pengambilan di sungai-sungai yang melayaninya. Air yang tersedia tergantung dari input yang berupa hujan yang jatuh di daerah tangkapan hujan dan respon masing-masing sungai. Respon masing-masing sungai dipengaruhi oleh jenis penggunaan lahan, kondisi geologi dan kondisi tanah. Sedangnya besarnya kebutuhan tergantung pada jumlah penduduk dan kondisi serta aktifitas masyarakat di masing-masing daerah.

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

BAB 3 IDENTIFIKASI MASALAH KEKERINGAN DI PULAU JAWA

Beberapa kriteria yang dipakai dalam analisis neraca air ini adalah sebagai berikut: 1. Hitungan keseimbangan air dilakukan untuk setiap wilayah kabupaten atau kota berikut dengan ketersediaan air di titik-titik pengambilan di sungaisungai yang melayaninya. 2. Ketersediaan air di titik-titik pengambilan di sungai-sungai tersebut dianggap tetap. 3. Kebutuhan dan proyeksi kebutuhan air dihitung berdasarkan data-data jumlah penduduk dan luas lahan yang didapat. 4. Kebutuhan air untuk irigasi dihitung dengan memasukkan faktor intensitas tanam dan pergiliran awal musim tanam untuk mereduksi puncak-puncak kebutuhan air irigasi yang sangat besar. Selengkapnya hasil analisa neraca air untuk Propinsi Banten sampai dengan tahun 2025 disajikan dalam Tabel 3.10 dan jumlah bulan defisit disajikan pada Tabel 3.11.
Tabel 3. 10 Neraca Air di Propinsi Banten
No 1 Kabupaten/ Tahun Pandeglang 2003 2005 2010 2015 2020 2025 Lebak 2003 2005 2010 2015 2020 2025 Jan 95,82 95,69 95,33 94,92 94,46 93,94 45,24 45,11 44,74 44,30 43,77 43,12 Feb 81,74 81,60 81,22 80,80 80,32 79,78 35,12 34,98 34,61 34,16 33,63 32,98 Mar 61,67 61,53 61,15 60,72 60,24 59,70 29,66 29,53 29,15 28,70 28,17 27,52 Apr 102,76 102,63 102,27 101,87 101,42 100,91 45,38 45,25 44,88 44,44 43,92 43,27 Mei 49,91 49,78 49,41 49,00 48,53 48,01 25,35 25,22 24,85 24,41 23,88 23,23 Neraca Air(m3/det) Jun 21,43 21,29 20,92 20,51 20,04 19,51 7,51 7,38 7,01 6,56 6,03 5,38 Jul 3,30 3,16 2,78 2,37 1,90 1,37 1,99 1,85 1,48 1,04 0,50 -0,15 Agu 0,91 0,78 0,42 0,02 -0,44 -0,95 5,22 5,09 4,72 4,28 3,75 3,10 Sep 2,85 2,72 2,38 1,99 1,55 1,05 12,43 12,30 11,94 11,50 10,98 10,34 Okt -5,14 -5,28 -5,65 -6,07 -6,54 -7,07 -0,30 -0,44 -0,81 -1,26 -1,79 -2,44 Nov 20,96 20,81 20,43 20,00 19,52 18,98 19,80 19,67 19,29 18,84 18,30 17,65 Des 68,61 68,47 68,11 67,70 67,24 66,72 33,14 33,01 32,64 32,20 31,67 31,02

3-10

Sumber: hasil analisis Tim Dinamaritama.

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA


Tabel 3. 11 Jumlah Bulan Defisit di Propinsi Banten No 1 2 Kabupaten/Kota Pandeglang Lebak 2003 1 1 2005 1 1 2010 1 1 2015 1 1 2020 2 1 2025 2 2

BAB 3 IDENTIFIKASI MASALAH KEKERINGAN DI PULAU JAWA

3-11

Sumber: hasil analisis Tim Dinamaritama.

3.1.2

Jabotabek dan Sekitarnya

Dalam sub bab ini akan disajikan tentang analisis neraca air untuk daerah Jabotabek dan sekitarnya. DKI Jakarta sebagai ibukota Indonesia memiliki peran yang sangat penting sebagai pusat pemerintahan dan perekonomian di Indonesia. Besarnya peran dan perkembangan DKI Jakarta ini menuntut daya dukung sumberdaya terutama sumber daya air untuk menunjang segala kegiatan di DKI Jakarta dan sekitarnya. Untuk itu Pemerintah Republik Indonesia melalui Direktorat Jenderal

Pengembangan Sumber daya air Departemen Pekerjaan Umum pada tahun 1991 melaksanakan studi yang diberi nama Jabotabek Water Resources

Management Study (JWRMS) yang merupakan sebuah studi mengenai


pengelolaan sumber daya air yang terpadu untuk daerah Jabotabek di Propinsi DKI Jakarta dan Jawa Barat (serta Banten). Studi ini berfokus pada aspek kualitas dan kuantitas dari sumber daya air permukaan dan air tanah dan hasilnya adalah sebuah master plan dari penyediaan air untuk Jabotabek. Wilayah dari studi ini meliputi semua kota di Propinsi DKI Jakarta, Kabupaten Bogor, Kabupaten Bekasi, Kota Depok, Kota Bogor dan Kota Bekasi di Propinsi Jawa Barat serta Kabupaten Tangerang dan Kota Tangerang di Propinsi Banten (dahulu Jawa Barat). Jabotabek mengandalkan sumber daya air tanah yang berada di wilayahnya sendiri serta sumber daya air permukaan yang terletak baik di dalam maupun di luar wilayahnya. Oleh karena itu, wilayah studi diperluas hingga meliputi Kabupaten Serang di Propinsi Banten dan Kabupaten Karawang dan Kabupaten Purwakarta di Propinsi Jawa Barat. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, Jabotabek mengandalkan sumber daya air yang berada baik di dalam maupun di luar wilayahnya. Di sebelah timur

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

BAB 3 IDENTIFIKASI MASALAH KEKERINGAN DI PULAU JAWA

Jabotabek terdapat suatu sistem waduk (Jatiluhur, Cirata dan Saguling) yang berada di Sungai Citarum dan berfungsi sebagai penyedia air baku utama untuk DKI Jakarta dan penyedia air irigasi untuk areal pertanian di dalam dan di luar wilayah Jabotabek. Di sebelah selatan dan barat Jabotabek terdapat Sungai Cisadane, Cidurian dan Ciujung sebagai sumber daya air permukaan utama. Konflik antar kepentingan antara pengguna air untuk keperluan irigasi, perkotaan dan industri semakin sering terjadi dengan intensitas yang terus meningkat. Kelangkaan air yang terus meningkat diperparah oleh pencemaran air sebagai akibat dari semakin meningkatnya aktifitas penduduk dan industri. Aktifitas ini sangat mempengaruhi kualitas air dalam arti yang negatif. Sumber daya air tanah kebanyakan dipakai di wilayah utara dari Jabotabek, terutama di DKI Jakarta. Meskipun pengambilan sumber daya air tanah adalah kecil apabila dibandingkan dengan air permukaan, saat ini ada pertimbangan aspek ekonomi dan sosial yang sangat penting karena 70% dari penduduk DKI Jakarta dan sebagian besar industri di Jabotabek mengandalkan sumber daya air tanah ini. Walaupun demikian, pengambilan air tanah yang berlebihan di DKI Jakarta, Tangerang dan Bekasi berakibat pada penurunan permukaan tanah, hal ini akan menjadi masalah yang sangat serius apabila tidak segera diambil tindakan yang tepat. Konsultan memandang tidak ada lagi studi yang lebih mendetail dan komprehensif mengenai penyediaan air untuk Jabotabek dan sekitarnya dibanding dengan JWRMS. Maka, berbeda dari daerah-daerah lainnya, konsultan akan mengadopsi metoda perhitungan yang dipakai dalam JWRMS dan memuthakirkan datanya dengan kondisi terkini yaitu tahun 2003. Dari tiga skenario yang dipakai dalam JWRMS, konsultan memilih menggunakan skenario ketiga (C) seperti yang disarankan oleh JWRMS yaitu proyeksi yang mengacu pada asumsi bahwa akan terjadi pertumbuhan ekonomi yang tinggi, keterlibatan pemerintah yang kuat dalam pengelolaan sumber daya air, pembatasan penggunaan air tanah dan lebih mengandalkan pada air permukaan.

3-12

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA A. Kebutuhan Air

BAB 3 IDENTIFIKASI MASALAH KEKERINGAN DI PULAU JAWA

3-13

Pembangunan di wilayah Jabotabek telah menyebabkan peningkatan luas areal perumahan dan industri. Terlepas dari masalah untuk dapat memenuhi kebutuhan air untuk keperluan rumah tangga, perkotaan dan industri, urbanisasi telah menyebabkan menurunnya kualitas air permukaan di wilayah Jabotabek dan dapat mempengaruhi kehidupan dari jutaan orang yang hidup di wilayah tersebut, terutama DKI Jakarta. Karena kelangkaan sumber daya air di wilayah ini, alokasi air untuk berbagai sektor yang terus berkembang menjadi sangat rumit. Hal ini memerlukan suatu sistem pengelolaan sumber daya air yang terintegrasi antar sektor kebutuhan dan juga antar sumber ketersediaan. Sektor kebutuhan air yang diperhitungakan antara lain meliputi sektor pertanian, rumah tangga, perkantoran, hotel, jasa, industri, penggelontoran dan perawatan sungai, perikanan serta pembangkit listrik tenaga air dengan prioritas utama untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga, perkotaan dan industri lalu untuk kebutuhan irigasi. 1. Kebutuhan air untuk keperluan rumah tangga, perkotaan dan industri. Kebutuhan air rumah tangga didasarkan pada jumlah orang yang hidup di wilayah studi. Dalam rangka untuk memperkirakan jumlah penduduk yang akan memanfaatkan jaringan penyediaan air, dilakukan penelitian terhadap kesediaan penduduk untuk memanfaatkan jaringan penyediaan air, kesediaan untuk membayar biasa sambungan dan kesediaan untuk membayar biaya air bulanan. Kebutuhan air dari jaringan penyediaan air sangat dipengaruhi oleh kondisi air tanah di wilayah tersebut. Faktor ini memberikan pengaruh yang sangat penting kepada ketergantungan pada ketersediaan air baku melalui sistem pemipaan. Diasumsikan bahwa wilayah yang akan terhubung dengan sistem pemipaan air umum adalah dalam kasus sebagai berikut: Air tanah yang tersedia sangat terbatas atau dalam kualitas yang buruk dan kepadatan penduduk diatas 30 orang per hektar. Air tanah yang tersedia sangat terbatas atau dalam kualitas yang meragukan dan kepadatan penduduk diatas 50 orang per hektar.

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

BAB 3 IDENTIFIKASI MASALAH KEKERINGAN DI PULAU JAWA

Air tanah tersedia dalam kualitas yang baik dan kepadatan penduduk di atas 100 orang per hektar.

3-14

Informasi yang tersedia tentang kebutuhan air untuk perkotaan sangat sedikit sekali. Estimasi kebutuhan air perkotaan didasarkan pada estimasi kebutuhan air rumah tangga. Diasumsikan bahwa ada korelasi positif antara jumlah penduduk yang tinggal di suatu wilayah tertentu dengan tingkat aktifitas perkotaan. Juga diasumsikan bahwa besarnya kebutuhan air perkotaan menunjukkan suatu perkembangan tertentu dari luas wilayah permukiman dimana aktifitas perkotaan ini terjadi. Lebih jauh lagi juga diasumsikan bahwa kebutuhan air total untuk perkotaan ini didistribusikan antara air permukaan dan air tanah sama seperti kebutuhan air rumah tangga. Melakukan estimasi untuk kebutuhan air industri adalah bukan suatu hal yang mudah. Dalam banyak kasus, data yang diperoleh sangat kurang untuk dapat menghitung kebutuhan air industri di masa dahulu kala maupun masa sekarang. Hal ini membuat perkiraan kebutuhan industri di masa yang akan datang menjadi sangat sulit. Kebutuhan air industri jauh lebih rumit dibandingkan dengan kebutuhan air rumah tangga karena sangat beragamnya proses produksi itu sendiri. Hal ini menyebabkan sulitnya untuk mengumpulkan data dan melakukan analisis yang konsisten serta untuk memperkirakan kebutuhan di masa yang akan datang secara rinci. Dengan menggunakan data lebih dari 6.000 industri dari kecil sampai besar, sebuah usaha dilakukan untuk menemukan hubungan yang dapat digunakan dalam menghitung kebutuhan air industri. Walaupun demikian keberagaman dari parameter-parameter produksi sangat besar sehingga tidak dapat ditemukan suatu hubungan dari parameter-parameter tersebut yang dapat digunakan dalam perhitungan kebutuhan air industri. Akhirnya diputuskan untuk menggunakan sebuah angka rata-rata per karyawan untuk membuat relasi antara kebutuhan total air industri dengan jumlah karyawan yang bekerja di sektor industri. Digunakan angka sebesar 500 liter/karyawan/hari untuk menghitung kebutuhan total air industri

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

BAB 3 IDENTIFIKASI MASALAH KEKERINGAN DI PULAU JAWA

Tabel 3.12 berikut akan menyajikan proyeksi jumlah penduduk sesuai dengan skenario yang terpilih, sedangkan Tabel 3.13, Tabel 3.14 dan Tabel 3.15 menyajikan kebutuhan air total untuk keperluan rumah tangga, perkotaan dan industri baik itu yang bersumber dari air permukaan, air tanah maupun total keduanya.

3-15

Tabel 3. 12 Proyeksi Jumlah Penduduk di Jabotabek dan Sekitarnya


No
1 2 3 4 5 6

Wilayah
DKI Jakarta Bogor Tangerang Bekasi Serang Karawang Purwakarta Total

Proyeksi Jumlah Penduduk JWRMS (x 1.000) 1990


8.210 3.949 2.724 2.073 1.471 2.055 20.482

Riil 2025
12.902 9.961 9.227 6.774 5.518 7.137 51.519

1995
8.758 4.507 3.243 2.455 1.777 2.455 23.194

2000
9.342 5.144 3.860 2.908 2.146 2.933 26.332

2005
9.965 5.871 4.595 3.443 2.592 3.504 29.970

2010
10.630 6.700 5.470 4.078 3.131 4.186 34.195

2015
11.339 7.647 6.511 4.830 3.782 5.001 39.110

2020
12.095 8.728 7.751 5.720 4.568 5.974 44.836

2003
7.457 5.894 4.649 3.704 2.103 2.628 26.435

Sumber: JWRMS dan hasil analisis Tim Dinamaritama.

Tabel 3. 13 Kebutuhan Air Permukaan untuk Rumah Tangga, Perkotaan dan Industri di Jabotabek dan Sekitarnya No 1 2 3 4 5 6 Wilayah DKI Jakarta Bogor Tangerang Bekasi Serang Karawang Purwakarta Total Kebutuhan Air Permukaan RKI (m3/det) 1990 9,0 1,4 2,3 1,6 2,2 1,0 17,5 1995 13,8 2,4 3,4 2,2 3,3 1,5 26,6 2000 18,9 3,7 4,8 3,1 4,4 2,9 37,8 2005 27,9 5,8 7,3 4,2 6,9 4,9 57,0 2010 36,1 9,5 11,1 7,4 9,1 7,7 80,9 2015 37,5 13,2 15,1 10,2 12,2 11,4 99,6 2020 38,5 16,6 19,1 13,6 14,3 14,6 116,7 2025 42,1 19,5 22,3 16,2 17,3 18,1 135,5 Riil 2003 24,3 5,9 7,5 5,5 4,3 2,0 49,6

Sumber: JWRMS dan hasil analisis Tim Dinamaritama.

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA


Tabel 3. 14 Kebutuhan Air Tanah untuk Rumah Tangga, Perkotaan dan Industri di Jabotabek dan Sekitarnya No 1 2 3 4 5 6 Wilayah DKI Jakarta Bogor Tangerang Bekasi Serang Karawang Purwakarta Total Kebutuhan Air Tanah RKI (m3/det) 1990 15,1 6 4,4 3,4 2,6 3,5 15,1 1995 15,2 7,3 5,6 4,5 3,2 4 15,2 2000 14,8 8,7 6,7 5,5 4 4,7 14,8 2005 13,4 9,8 7,6 6,5 4,6 5,4 13,4 2010 11,1 10,3 7,9 6,8 5 5,7 11,1 2015 10,8 10,7 8,1 7,1 5,1 5,7 10,8 2020 10,4 11,2 8,2 7,2 5,2 5,6 10,4 2025 10,1 11,6 8,4 7,3 5,3 5,6 10,1

BAB 3 IDENTIFIKASI MASALAH KEKERINGAN DI PULAU JAWA

3-16

Riil 2003 5,8 9,8 7,6 6,6 3,9 4,3 5,8

Sumber: JWRMS dan hasil analisis Tim Dinamaritama. Tabel 3. 15 Kebutuhan Air Total untuk Rumah Tangga, Perkotaan dan Industri di Jabotabek dan Sekitarnya No 1 2 3 4 5 6 Wilayah DKI Jakarta Bogor Tangerang Bekasi Serang Karawang Purwakarta Total Kebutuhan Air RKI (m3/det) 1990 24,1 7,4 6,7 5,0 4,9 4,5 52,6 1995 28,9 9,8 9,0 6,7 6,5 5,6 66,5 2000 33,7 12,4 11,5 8,6 8,4 7,6 82,2 2005 41,3 15,7 14,8 10,7 11,5 10,3 104,3 2010 47,2 19,9 19,1 14,1 14,2 13,4 127,9 2015 48,2 23,9 23,2 17,2 17,3 17,1 146,9 2020 49,0 27,8 27,3 20,8 19,5 20,2 164,6 2025 52,2 31,1 30,6 23,5 22,5 23,7 183,6 Riil 2003 30,2 15,7 15,2 12,1 8,2 6,3 87,6

Sumber: JWRMS dan hasil analisis Tim Dinamaritama.

B.

Kebutuhan Air untuk keperluan irigasi.

Kebutuhan air untuk irigasi adalah pengguna air tebesar untuk saat ini dan hal yang sama tetap akan terjadi di masa yang akan datang. Perubahan yang berarti diharapkan akan terjadi pada luasan areal sawah beririgrasi di wilayah studi

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

BAB 3 IDENTIFIKASI MASALAH KEKERINGAN DI PULAU JAWA

karena laju urbanisasi yang tinggi dan perubahan pada cara bercocok tanam. Pola tanam di masa yang akan datang akan dipengaruhi oleh keinginan untuk meningkatkan pendapatan petani sesuai dengan meningkatnya pendapatan nasional di masa yang akan datang. Jumlah produksi juga akan menyesuaikan diri dengan perubahan pola permintaan terhadap hasil produksi pertanian sebagai hasil dari meningkatnya jumlah penduduk yang tinggal di perkotaan. Pertumbuhan jumlah penduduk akan meningkatkan permintaan akan sayurmayur dan buah-buahan. Hal ini akan menyebabkan munculnya kesempatan untuk mengintensifkan dan membuka lapangan kerja baru yang berbasis pada pertanian. Penekanan dalam proyeksi ini adalah untuk menyediakan air yang cukup untuk keperluan pertanian sehingga perkembangan pertanian di masa yang akan datang dapat didukung. Dalam hal ini yang terpenting adalah proporsi antara antara penanaman padi (yang banyak memerlukan air) dan penanaman tanaman pertanian bukan padi (yang memerlukan air relatif lebih sedikit). Perubahan yang diharapkan terjadi dalam cara bercocok tanam akan memberikan pengaruh kepada kebutuhan air sebagai berikut: Reduksi luas lahan beririgrasi, menyebabkan reduksi kebutuhan air secara keseluruhan. Perubahan ke pola penanaman tanaman pertanian bukan padi, menyebabkan reduksi kebutuhan air total juga menyebabkan reduksi kebutuhan air puncak. Meningkatnya intensitas penanaman, menyebabkan naiknya kebutuhan air terutama pada saat musim kemarau. Langkah pertama dalam menghitung kebutuhan air untuk irigasi adalah memperkirakan luas lahan irigasi yang tersisa di masa yang akan datang sesuai dengan rencana penataan ruang di wilayah studi. Selanjutnya pola tanam yang lebih intensif yang mengarah pada penanaman tanaman pertanian bukan padi juga diperhitungkan dalam studi ini.

3-17

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

BAB 3 IDENTIFIKASI MASALAH KEKERINGAN DI PULAU JAWA

Tabel 3.16 berikut ini akan menyajikan proyeksi luas lahan pertanian sesuai dengan skenario yang terpilih, sedangkan Tabel 3.17 menyajikan kebutuhan air untuk keperluan irigasi beserta proyeksinya untuk tahun 2025.

3-18

Tabel 3. 16 Proyeksi Luas Lahan Irigasi di Jabotabek dan Sekitarnya No 1 2 3 4 5 6 7 Daerah Irigasi Ciujung Cidurian Cisadane Empang Katulampa Kanal Tarum Barat Kanal Tarum Utara Total Sumber: JWRMS. Tabel 3. 17 Kebutuhan Air Irigasi di Jabotabek dan Sekitarnya No 1 2 3 4 5 6 7 Daerah Irigasi Ciujung Cidurian Cisadane Empang Katulampa Kanal Tarum Barat Kanal Tarum Utara Total Sumber: JWRMS. Keb. Air Irigasi (m3/det) 1990 14,0 4,2 18,9 1,4 1,5 33,6 57,5 131,1 2025 11,1 3,7 17,2 0,8 1,0 28,6 48,4 110,8 Luas Lahan Irigasi (Ha) 1990 22.988 10.805 31.156 5.791 3.853 65.845 85.723 226.161 2025 18.862 8.873 27.489 3.266 2.387 52.032 72.417 185.326

C.

Ketersediaan Air

Wilayah Jabotabek ini termasuk dalam 3 wilayah sungai yaitu WS CiujungCiliman, WS Ciliwung-Cisadane dan WS Citarum. Sungai-sungai utama yang

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

BAB 3 IDENTIFIKASI MASALAH KEKERINGAN DI PULAU JAWA

dapat menyediakan air untuk wilayah ini adalah Sungai Ciujung, Cidurian, Cisadane, Ciliwung, Bekasi dan Citarum. Debit aliran dari sungai-sungai tersebut saat ini sudah sedikit banyak dimanfaatkan untuk berbagai macam kebutuhan, terutama untuk kebutuhan air irigasi. Dalam JWRMS telah dilakukan analisis terhadap data hidrologi dan pemodelan komputer untuk mengevaluasi ketersediaan air pada sungai-sungai tersebut. Tabel 3.18 berikut ini menyajikan hasil dari analisis tersebut. Kenaikan potensi sebagai akibat dari pembangunan infrastruktur tambahan dan peningkatan pengelolaan operasional juga sudah dimasukkan ke dalam analisis ini supaya didapatkan pandangan yang menyeluruh mengenai potensi dari ketersediaan air. Tabel ini menyajikan potensi ketersediaan air untuk keperluan rumah tangga, perkotaan dan industri setelah kebutuhan air untuk irigasi di masa yang akan datang telah terpenuhi. Tabel ini pada dasarnya menyajikan kontribusi dari tiaptiap struktur di tiap-tiap sungai. Interaksi antar struktur dalam satu sungai juga dipertimbangkan, misalnya di Sungai Ciujung interaksi antara Waduk Karian dan Pasirkopo menghasilkan ketersediaan air untuk rumah tangga, perkotaan dan industri sebesar 31 m3/det, debit ini didasarkan pada kerja sama antara dua waduk tersebut. Hasil dari analisis ini juga juga telah digunakan untuk menyeleksi berbagai macam pilihan dan menyusun berbagai macam konfigurasi kebutuhan dan ketersediaan. Konfigurasi kebutuhan dan ketersediaan tersebut lebih jauh lagi telah dilakukan simulasi untuk menentukan pengaruhnya terhadap wilayah yang bersangkutan dan untuk menganalisis interaksi antar daerah aliran sungai. Struktur yang dianggap sulit atau tidak mungkin dibangun tidak dimasukkan dalam analisis ini. Untuk mengindikasikan kemungkinan pertukaran ketersediaan air antar pengguna air, pada beberapa sungai potensi ketersediaan air untuk rumah tangga, perkotaan dan industri telah dihitung baik dengan kebutuhan air untuk irigasi maupun tidak. Potensi ketersediaan air untuk rumah tangga, perkotaan dan industri saat ini mencapai 71,5 m3/det. Volume ini sebagian besar berasal dari Sungai Citarum. Potensi ini bisa ditingkatkan menjadi 155 m3/det yang sebesar 95 m3/det berasal dari Sungai Citarum. Potensi yang besar dari Sungai Citarum ini sebagian besar

3-19

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

BAB 3 IDENTIFIKASI MASALAH KEKERINGAN DI PULAU JAWA

diakibatkan oleh peningkatan pengelolaan operasional Waduk Saguling, Cirata dan Jatiluhur. Intervensi struktural untuk meningkatkan ketersediaan air di wilayah studi hanya dipertimbangkan untuk meningkatkan ketersediaan air untuk rumah tangga, perkotaan dan industri, baik untuk meningkatkan kuantitas dari ketersediaan air maupun untuk meningkatkan kualitas air di titik-titik pengambilan. Untuk kebutuhan irigasi, reduksi kebutuhan air di masa yang akan datang dipandang akan mengakibatkan kebutuhan air irigasi akan tercukupi oleh struktur yang sudah ada. Tidak ada intervensi struktural baru untuk mendukung kebutuhan air irigasi. Tabel 3.18 juga menampilkan lokasi dari rencana pembangunan struktur baru untuk meningkatkan ketersediaan air di wilayah studi. Usaha peningkatan potensi ketersediaan air dapat dibedakan menjadi: Intervensi struktural, termasuk pembangunan waduk/reservoir baru beserta dengan sistem saluran pembawanya. Intervensi non struktural, peningkatan ketersediaan air melalui peningkatan operasional dari fasilitas yang sudah ada sehubungan dengan peningkatan efisiensi dari penggunaan air.

3-20

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

BAB 3 IDENTIFIKASI MASALAH KEKERINGAN DI PULAU JAWA

Tabel 3. 18 Ketersediaan Air untuk Rumah Tangga, Perkotaan dan Industri Jabotabek dan Sekitarnya Sungai Ciujung (Pamarayan) + Karian + Pasirkopo + Bojongmanik Cidurian (Rancasumur) + Tanjung Cilawang Cisadane **) Saat ini: * Hulu ( Bogor) * Hilir (Serpong) Masa datang: * Hulu + Kanal Salak + Genteng * Hilir Ciliwung **) * Hulu (Bogor) * Hilir (Depok) Sungai Bekasi Narogong Sistem Citarum - Saat ini: + Pengelolaan operasional + Waduk Cipunegara Pilihan yang kurang menarik: Pasiranji Nameng Pilihan yang sulit dilaksanakan: Parungbadak Sodong Pangkalan Depok Total Eksisting Potensi Tanpa Struktur Dengan Irigasi Tanpa Irigasi 9 13 Dengan Struktur Dengan Irigasi Tanpa Irigasi 24 31 33 3 3 10 4 1,5 5 2 8 4 1 2 6 50 90 95 11 5 12 2 14 31 33 Potensi Max Dengan Irigasi

3-21

14 3 6

95 (11) (5)

21,5

50

71,5 155 (16)

*) kebutuhan air irigasi di masa yang akan datang. **) ketersediaan air sangat tergantung aliran balik. Sumber: JWRMS.

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

BAB 3 IDENTIFIKASI MASALAH KEKERINGAN DI PULAU JAWA

D.

Neraca Air

3-22

Dalam analisis neraca air untuk daerah Jabotabek dan sekitarnya akan dihitung berdasarkan pemanfaatan sumber daya air yang berlaku pada saat ini (tahun 2003) dan proyeksinya nanti pada tahun 2025. Hal lain yang perlu dipertimbangkan dalam analisis neraca air ini adalah kapasitas dari struktur yang sudah ada terutama sistem saluran pembawa seperti Kanal Tarum Barat, sehingga meskipun air yang tersedia di Bendung Curug melimpah tetapi air yang bisa dimanfaatkan oleh DKI Jakarta hanya sebesar kapasitas dari Kanal Tarum Barat itu sendiri. Asumsi-asumsi lain yang dipakai untuk memperhitungkan besarnya kebutuhan air sesuai dengan asumsi yang dipakai oleh JWRMS pada skenario terpilih dengan pemutakhiran pada jumlah populasi yang ada pada saat ini. Neraca air ini hanya akan memperhitungkan kebutuhan dan ketersediaan dari air permukaan, sedangkan untuk air tanah tidak dibahas. Berbeda dengan neraca air wilayah lain yang ditampilkan dalam skala waktu bulanan, JWRMS hanya menampilkan satu angka rata-rata untuk tiap tahun, maka dalam studi Prakarsa Strategis Sumber daya air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan yang mengadopsi metoda perhitungan JWRMS ini analisis neraca airnya juga akan menampilkan satu angka untuk tiap tahunnya. Angka ini menurut JWRMS adalah angka debit di musim kemarau. Untuk ketersediaan air dianggap bahwa upaya peningkatan potensi ketersediaan air baik itu melalui intervensi struktural maupun non struktural yang direncanakan belum dilaksanakan. Asumsi ini diambil dengan melihat kondisi lapangan saat ini bahwa memang tidak ada pembangunan struktur-struktur baru seperti yang direncanakan di sungai-sungai yang disebutkan diatas. Selengkapnya hasil analisa neraca air untuk Jabotabek dan daerah sekitarnya sampai dengan tahun 2025 disajikan dalam Tabel 3.19 berikut ini.

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA


Tabel 3. 19 Neraca Air di Jabotabek dan Sekitarnya No 1 2 3 4 5 6 Daerah Irigasi DKI Jakarta Bogor Tangerang Bekasi Serang Karawang Purwakarta Surplus/Defisit 2003 -0.2 -2.5 -0.3 10.7 3.0 0.3 (m3/det) 2025 -18.0 -15.0 -14.3 0.0 -8.3 0.0

BAB 3 IDENTIFIKASI MASALAH KEKERINGAN DI PULAU JAWA

3-23

Sumber: JWRMS dan hasil analisis Tim Dinamaritama.

3.1.3

Jawa Barat

Propinsi Jawa Barat terdiri dari 16 kabupaten dan 8 kota yaitu: Kabupaten Bogor, Sukabumi, Cianjur, Bandung, Garut, Tasikmalaya, Ciamis, Kuningan, Cirebon, Majalengka, Sumedang, Indramayu, Subang, Purwakarta, Karawang dan Bekasi serta Kota Bogor, Sukabumi, Bandung, Cirebon, Depok, Cimahi, Tasikmalaya dan Bekasi. Dalam sub bab ini hanya akan dibahas analisa neraca air untuk 12 kabupaten dan 5 kota saja. Sedangkan 4 kabupaten dan 3 kota yang lain telah dibahas pada sub bab sebelumnya. Kabupaten dan kota tersebut adalah Kabupaten Bogor, Bekasi, Karawang dan Purwakarta serta Kota Bogor, Depok dan Bekasi. Hal ini karena analisis neraca air pada sub bab sebelumnya, yaitu untuk daerah Jabotabek dan sekitarnya, diambil dari Jabotabek Water Resources Management Study (JWRMS) yang dipandang sudah sangat komprehensif dalam melakukan analisa kebutuhan dan ketersediaan airnya. Sumber daya air di Propinsi Jawa Barat ini selain untuk mencukupi kebutuhan rumah tangga, perkotaan, industri, peternakan dan perikanan juga dipakai sebagai pembangkit listrik tenaga air. Disamping itu sumber daya air di Propinsi Jawa Barat ini juga dipakai untuk memenuhi kebutuhan di luar wilayahnya yaitu untuk mencukupi kebutuhan di Jabotabek dengan transfer antar daerah aliran

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

BAB 3 IDENTIFIKASI MASALAH KEKERINGAN DI PULAU JAWA

sungai melalui Kanal Tarum Barat dari Bendung Curug di Sungai Citarum sampai ke Sungai Ciliwung di Jakarta. A. Kebutuhan Air

3-24

Dengan semakin meningkatnya populasi yang disertai dengan perkembangan sektor-sektor lainnya di Propinsi Jawa Barat, berdampak pula pada peningkatan akan kebutuhan sumber daya air. Di sisi lainnya, jumlah air yang ada tidak mungkin bertambah dan ketersediaanya cenderung tidak merata dari waktu ke waktu dan juga cenderung terus berkurang. Pemanfaatan air di Propinsi Jawa Barat meliputi kebutuhan untuk rumah tangga, perkotaan, industri, peternakan perikanan dan irigasi. Secara umum kebutuhan air untuk irigasi jauh lebih besar apabila dibandingkan dengan kebutuhan air untuk sektor lainnya. Kondisi ini akan semakin sulit apabila tidak didukung dengan adanya usaha untuk melakukan perbaikan terhadap kondisi sumber daya air diantaranya konservasi daerah tangkapan hujan dan efisiensi dalam penggunaan air. Dalam pengembangan dan pengelolaan sumber daya air, prioritas utama adalah pemenuhan kebutuhan air minum/rumah tangga, yang kedua adalah pemenuhan kebutuhan jasa perkotaan dan industri, dan yang ketiga adalah untuk pemenuhan kebutuhan air irigasi dan sisanya dimanfaatkan untuk kegiatan lain termasuk untuk pengelolaan kualitas air sungai dan pembangkit listrik tenaga air. Seiring dengan perkembangan kebutuhan air untuk rumah tangga, perkotaan dan industri maka kebutuhan untuk irigasi seringkali menjadi tidak cukup terutama untuk musim tanam kedua atau ketiga dimana hujan yang turun sudah tidak terlalu banyak. Konflik sering terjadi karena adanya perbedaan kepentingan antar departemen atau instansi pengelola sumber daya air sehingga perlu adanya suatu pengelolaan sumber daya air yang terpadu. 1. Kebutuhan air untuk keperluan rumah tangga, perkotaan dan industri. Kebutuhan air untuk keperluan rumah tangga, perkotaan dan industri di Propinsi Jawa Barat cenderung meningkat dari tahun ke tahun sesuai dengan perkembangan jumlah penduduknya yang juga terus meningkat. Kebutuhan air untuk rumah tangga dihitung sebagai kebutuhan air 24 jam

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

BAB 3 IDENTIFIKASI MASALAH KEKERINGAN DI PULAU JAWA

untuk 1 (satu) orang yang meliputi air untuk minum, masak, mandi cuci dan sanitasi. Kebutuhan ini sangat dipengaruhi oleh kebiasaan hidup masyarakat dan iklim di daerah tersebut. Kebutuhan air untuk rumah tangga dapat dihitung dengan mengkalikan standar kebutuhan air per orang per hari dengan jumlah penduduk di wilayah tersebut. Kebutuhan air untuk keperluan perkotaan (municipal) adalah kebutuhan air untuk fasilitas kota, seperti fasilitas komersial, fasilitas pariwisata, fasilitas ibadah, fasilitas kesehatan dan fasilitas pendukung kota lainnya misalnya pembersihan jalan, pemadam kebakaran, sanitasi kota dan penyiraman tanaman perkotaan. Besarnya kebutuhan air perkotaan dapat ditentukan oleh banyaknya fasilitas perkotaan. Kebutuhan ini sangat dipengaruhi oleh tingkat dinamika kota dan jenjang suatu kota. Kebutuhan air untuk perkotaan diambil sebagai proporsi dari kebutuhan air untuk rumah tangga dengan persentasi antara 25-40% tergantung dari kemajuan daerah itu sendiri. Berikut ini disajikan jumlah penduduk untuk tiap-tiap kabupaten di Propinsi Jawa Barat berikut proyeksinya serta kebutuhan air untuk rumah tangga dan perkotaan sampai tahun 2025 pada Tabel 3.20, Tabel 3.21, dan Tabel 3.22.

3-25

Tabel 3. 20 Proyeksi Jumlah Penduduk di Propinsi Jawa Barat No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 Kabupaten Sukabumi Cianjur Bandung & Kota Cimahi Garut Tasik & Kota Tasik Ciamis Kuningan Cirebon Majalengka Sumedang Indramayu Subang Kota Sukabumi Kota Bandung Kota Cirebon 2003 2.168.569 2.041.131 4.892.968 2.187.882 2.676.459 1.664.869 1.034.394 2.038.263 1.153.442 1.014.319 1.653.146 1.371.005 267.807 2.228.268 272.673 2005 2.237.175 2.107.018 4.896.813 2.279.915 2.844.562 1.696.558 1.059.657 2.114.148 1.173.280 1.045.684 1.695.899 1.398.267 304.677 2.300.977 282.918 Jumlah Penduduk (jiwa) 2010 2015 2.418.338 2.614.172 2.281.192 2.469.763 4.906.440 4.916.086 2.527.293 2.801.512 3.312.474 3.857.355 1.778.444 1.864.282 1.125.547 1.195.533 2.316.452 2.538.115 1.224.381 1.277.708 1.128.407 1.217.673 1.807.680 1.926.830 1.468.817 1.542.927 420.614 580.668 2.493.298 2.701.694 310.246 340.214 2020 2.825.863 2.673.922 4.925.750 3.105.484 4.491.865 1.954.263 1.269.872 2.780.988 1.333.357 1.314.002 2.053.833 1.620.777 801.627 2.927.508 373.077 2025 3.054.697 2.894.957 4.935.434 3.442.439 5.230.748 2.048.587 1.348.833 3.047.103 1.391.430 1.417.950 2.189.207 1.702.554 1.106.665 3.172.197 409.114

Sumber: hasil analisis Tim Dinamaritama.

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA


Tabel 3. 21 Kebutuhan Air Rumah Tangga di Propinsi Jawa Barat

BAB 3 IDENTIFIKASI MASALAH KEKERINGAN DI PULAU JAWA

3-26

N o 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15

Kabupaten Sukabumi Cianjur Bandung & Kota Cimahi Garut Tasik & Kota Tasik Ciamis Kuningan Cirebon Majalengka Sumedang Indramayu Subang Kota Sukabumi Kota Bandung Kota Cirebon

2003 2,384 2,244 7,645 2,406 3,872 1,831 1,497 2,241 1,268 1,115 2,392 1,984 0,387 4,642 0,394

Kebutuhan Air Domestik 2005 2010 2015 2020 2,460 2,659 2,874 3,107 2,317 2,508 2,716 2,940 7,651 2,507 4,115 1,865 1,533 2,325 1,290 1,150 2,454 2,023 0,441 4,794 0,409 7,666 2,779 4,792 1,955 1,628 2,547 1,346 1,241 2,615 2,125 0,609 5,194 0,449 7,681 3,080 5,581 2,050 1,730 2,791 1,405 1,339 2,788 2,232 0,840 5,629 0,492 7,696 3,415 6,499 2,149 1,837 3,058 1,466 1,445 2,971 2,345 1,160 6,099 0,540

(m3/det) 2025 3,359 3,183 7,712 3,785 7,568 2,252 1,951 3,350 1,530 1,559 3,167 2,463 1,601 6,609 0,592

Sumber: hasil analisis Tim Dinamaritama. Tabel 3. 22 Kebutuhan Air Perkotaan di Propinsi Jawa Barat

N o 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15

Kabupaten Sukabumi Cianjur Bandung & Kota Cimahi Garut Tasik & Kota Tasik Ciamis Kuningan Cirebon Majalengka Sumedang Indramayu Subang Kota Sukabumi Kota Bandung Kota Cirebon

Kebutuhan Air Non Domestik (m3/det) 2003 2005 2010 2015 2020 2025 0,715 0,738 0,798 0,862 0,932 1,008 0,673 0,695 0,752 0,815 0,882 0,955 2,294 0,722 1,162 0,549 0,449 0,672 0,380 0,335 0,718 0,595 0,116 1,393 0,118 2,295 0,752 1,235 0,560 0,460 0,697 0,387 0,345 0,736 0,607 0,132 1,438 0,123 2,300 0,834 1,438 0,587 0,489 0,764 0,404 0,372 0,785 0,638 0,183 1,558 0,135 2,304 0,924 1,674 0,615 0,519 0,837 0,421 0,402 0,836 0,670 0,252 1,689 0,148 2,309 1,024 1,950 0,645 0,551 0,917 0,440 0,433 0,891 0,703 0,348 1,830 0,162 2,313 1,136 2,270 0,676 0,585 1,005 0,459 0,468 0,950 0,739 0,480 1,983 0,178

Sumber: hasil analisis Tim Dinamaritama.

Kebutuhan air industri adalah kebutuhan air untuk proses industri, termasuk sebagai bahan baku, kebutuhan air pekerja industri dan pendukung kegiatan

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

BAB 3 IDENTIFIKASI MASALAH KEKERINGAN DI PULAU JAWA

industri. Jadi besar kebutuhan air industri ditentukan oleh kebutuhan air untuk diproses, bahan baku industri dan kebutuhan air untuk pekerjaan industri. Sedangkan kebutuhan air untuk pendukung kegiatan industri seperti hidran dapat disesuaikan untuk jenis industrinya. Kebutuhan air untuk keperluan industri sangat dipengaruhi oleh jenis dan skala (ukuran) industri yang ada. Misalnya industri tekstil dan logam berat tentu akan memerlukan air yang lebih banyak apabila dibandingkan dengan industri perakitan. Semakin modern peralatan dan teknologi yang digunakan suatu industri maka akan semakin efisien air yang digunakan. Untuk menghitung kebutuhan air industri di Propinsi Jawa Barat ini digunakan pendekatan sederhana yang dikembangkan oleh Jabotabek Water Resources Management Study (1994) yaitu penggunaan air untuk industri berdasarkan jumlah karyawan yang bekerja di sektor industri yaitu sebesar 500 liter/karyawan/hari. Berikut ini disampaikan Tabel 3.23 yang berisi kebutuhan air untuk industri untuk tiap kabupaten di Propinsi Jawa Barat berikut proyeksinya sampai tahun 2025.

3-27

Tabel 3. 23 Kebutuhan Air Industri di Propinsi Jawa Barat

N o 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15

Kabupaten Sukabumi Cianjur Bandung & Kota Cimahi Garut Tasik & Kota Tasik Ciamis Kuningan Cirebon Majalengka Sumedang Indramayu Subang Kota Sukabumi Kota Bandung Kota Cirebon

2003 0,589 0,234 2,505 0,404 0,878 0,422 0,150 0,591 0,494 0,335 0,298 0,184 0,060 1,301 0,057

Kebutuhan Air Industri (m3/det) 2005 2010 2015 2020 0,698 1,066 1,630 2,491 0,247 0,282 0,323 0,370 2,696 0,436 0,955 0,498 0,162 0,656 0,506 0,360 0,349 0,196 0,063 1,327 0,057 3,240 0,526 1,175 0,751 0,199 0,854 0,539 0,430 0,516 0,232 0,073 1,397 0,058 3,893 0,636 1,447 1,134 0,243 1,111 0,573 0,515 0,764 0,273 0,084 1,470 0,059 4,677 0,768 1,782 1,711 0,297 1,446 0,610 0,616 1,131 0,322 0,097 1,547 0,059

2025 3,807 0,423 5,620 0,928 2,194 2,582 0,363 1,882 0,649 0,737 1,674 0,379 0,111 1,628 0,060

Sumber: hasil analisis Tim Dinamaritama.

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

BAB 3 IDENTIFIKASI MASALAH KEKERINGAN DI PULAU JAWA

3-28
2. Kebutuhan air untuk keperluan peternakan dan perikanan. Kebutuhan air untuk keperluan peternakan dihitung dengan mengkalikan jumlah ternak yang ada di kabupaten tersebut dengan kebutuhan air untuk tiap jenis ternak. Ternak berkaki empat besar seperti sapi, kerbau dan kuda rata-rata memerlukan air sebesar 40 liter/ekor/hari. Ternak berkaki empat kecil seperti kambing atau domba rata-rata memerlukan air sebanyak 5 liter/ekor/hari. Sedangkan unggas seperti ayam memerlukan air rata-rata 0,6 liter/ekor/hari. Berikut ini disajikan Tabel 3.24 yang berisi kebutuhan air untuk peternakan untuk tiap kabupaten di Propinsi Jawa Barat berikut proyeksinya sampai tahun 2025.

Tabel 3. 24 Kebutuhan Air Peternakan di Propinsi Jawa Barat

N o 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15

Kabupaten Sukabumi Cianjur Bandung & Kota Cimahi Garut Tasik & Kota Tasik Ciamis Kuningan Cirebon Majalengka Sumedang Indramayu Subang Kota Sukabumi Kota Bandung Kota Cirebon

Kebutuhan Air Peternakan (m3/det) 2003 2005 2010 2015 2020 2025 0,081 0,086 0,101 0,119 0,141 0,168 0,074 0,077 0,087 0,097 0,110 0,124 0,124 0,057 0,079 0,132 0,034 0,022 0,048 0,039 0,041 0,056 0,009 0,005 0,001 0,124 0,059 0,083 0,132 0,035 0,021 0,046 0,040 0,043 0,059 0,009 0,006 0,001 0,125 0,065 0,094 0,133 0,041 0,019 0,042 0,043 0,049 0,067 0,010 0,007 0,001 0,127 0,072 0,107 0,134 0,049 0,018 0,039 0,047 0,058 0,076 0,012 0,009 0,001 0,130 0,080 0,122 0,137 0,059 0,017 0,035 0,053 0,071 0,086 0,013 0,011 0,001 0,134 0,089 0,140 0,139 0,074 0,016 0,032 0,061 0,088 0,097 0,015 0,014 0,001

Sumber: hasil analisis Tim Dinamaritama.

Kebutuhan air untuk perikanan adalah kebutuhan air untuk mengisi kolam pada saat awal tanam dan kebutuhan untuk penggantian air. Dipakai standar sebesar 7 mm/hari sebagai kebutuhan air untuk perikanan. Berikut ini

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

BAB 3 IDENTIFIKASI MASALAH KEKERINGAN DI PULAU JAWA

disajikan Tabel 3.25 yang berisi kebutuhan air perikanan untuk tiap kabupaten di Propinsi Jawa Barat berikut proyeksinya sampai tahun 2025.
Tabel 3. 25 Kebutuhan Air Perikanan di Propinsi Jawa Barat No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 Kabupaten Sukabumi Cianjur Bandung & Kota Cimahi Garut Tasik & Kota Tasik Ciamis Kuningan Cirebon Majalengka Sumedang Indramayu Subang Kota Sukabumi Kota Bandung Kota Cirebon 2003 1,483 0,922 1,128 4,854 3,456 1,912 0,405 4,979 0,355 0,251 11,434 12,270 0,000 0,134 0,000 Kebutuhan Air Perikanan (m3/det) 2005 2010 2015 2020 1,277 0,879 0,604 0,416 0,787 0,529 0,356 0,239 0,956 0,632 0,418 0,276 4,906 5,040 5,177 5,317 2,849 1,757 1,084 0,668 1,552 0,921 0,547 0,325 0,337 0,212 0,133 0,084 5,161 5,644 6,173 6,750 0,299 0,195 0,127 0,082 0,220 0,159 0,114 0,082 11,023 10,059 9,179 8,377 11,484 9,733 8,249 6,991 0,000 0,000 0,000 0,000 0,134 0,134 0,134 0,134 0,000 0,000 0,000 0,000 2025 0,286 0,161 0,182 5,462 0,412 0,193 0,053 7,382 0,054 0,059 7,644 5,925 0,000 0,134 0,000

3-29

Sumber: hasil analisis Tim Dinamaritama.

3. Kebutuhan air untuk keperluan irigasi. Kebutuhan air untuk irigasi sangat mendominasi kebutuhan air di Propinsi Jawa Barat apabila dibandingkan dengan kebutuhan untuk keperluan rumah tangga, perkotaan dan industri serta kebutuhan untuk keperluan peternakan dan perikanan. Pola ini masih akan terus berlangsung sampai di masa yang akan datang selama masih ada pembukaan lahan pertanian beririgrasi yang baru. Kebutuhan air untuk irigasi tergantung pada beberapa faktor antara lain seperti luas tanam, jenis tanaman, keadaan iklim (curah hujan dan evapotranspirasi), jenis tanah (untuk memperkirakan laju perkolasi dan kelembaban), cara bercocok tanam dan dan praktek irigasi untuk tanaman padi (kebutuhan air untuk pengolahan lahan dan penggantian lapisan air), sistem golongan dan efisiensi irigasi. Secara umum pola tanam yang ada di wilayah studi adalah padi-padipalawija, namun untuk beberapa daerah tertentu pola tanam yang diterapkan adalah padi-padi-padi apabila memang ketersediaan air mencukupi untuk

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

BAB 3 IDENTIFIKASI MASALAH KEKERINGAN DI PULAU JAWA

mendukung pola tersebut. Ada juga daerah lain yang hanya bisa menanam padi satu kali dalam satu tahun karena air yang tersedia hanya cukup untuk sekali tanam padi. Untuk mengurangi puncak kebutuhan air untuk irigasi khususnya pada awal musim tanam, maka dilakukan penjadwalan awal musim tanam secara bergiliran yang didasarkan pada besarnya luasan areal maupun lokasi areal irigasi. Pembagian penjadwalan waktu tanam tersebut dikelompokkan ke dalam beberapa golongan, masing-masing golongan dibagi berdasarkan ketersediaan air dan luas areal tanam untuk kebutuhan air masa awal pengolahan lahan. Data luas lahan areal irigasi didapatkan dari buku Propinsi Dalam Angka yang dikeluarkan oleh BPS. Dari data luasan lahan areal irigasi tersebut lalu dilakukan proyeksi untuk dapat menentukan luasan lahan areal irigasi di masa yang akan datang sehingga perkiraan kebutuhan air di waktu yang akan datang dapat diperhitungkan pula. Berikut ini disampaikan Tabel 3.26, Tabel 3.27 dan Tabel 3.28 yang berisi luas lahan areal irigasi untuk tiap-tiap kabupaten di Propinsi Jawa Barat berikut proyeksinya serta kebutuhan air untuk irigasi untuk saat ini dan untuk tahun 2025.
Tabel 3. 26 Proyeksi Luas Lahan Areal Irigasi di Propinsi Jawa Barat No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 Kabupaten Sukabumi Cianjur Bandung & Kota Cimahi Garut Tasik & Kota Tasik Ciamis Kuningan Cirebon Majalengka Sumedang Indramayu Subang Kota Sukabumi Kota Bandung Kota Cirebon 2003 18,687 32,874 30,247 29,682 16,685 25,964 17,520 48,420 30,458 20,302 87,750 70,639 1,760 369 132 Luas Lahan Areal Irigasi (Ha) 2005 2010 2015 2020 18,441 17,841 17,260 16,698 32,699 32,266 31,839 31,417 29,874 28,960 28,074 27,216 29,891 30,419 30,956 31,503 16,425 15,794 15,187 14,603 26,073 26,348 26,626 26,907 17,730 18,265 18,817 19,385 48,760 49,622 50,499 51,391 29,869 28,444 27,088 25,797 20,445 20,806 21,174 21,548 86,596 83,777 81,050 78,412 70,986 71,863 72,750 73,647 1,737 1,680 1,626 1,573 369 369 369 369 133 135 138 140 2025 16,155 31,001 26,383 32,060 14,042 27,191 19,971 52,299 24,567 21,928 75,860 74,556 1,522 369 143

3-30

Sumber: hasil analisis Tim Dinamaritama.

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

BAB 3 IDENTIFIKASI MASALAH KEKERINGAN DI PULAU JAWA

3-31
Tabel 3. 27 Kebutuhan Air Irigasi di Propinsi Jawa Barat Tahun 2003
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 Kabupaten Sukabumi Cianjur Bandung & Kota Cimahi Garut Tasik & Kota Tasik Ciamis Kuningan Cirebon Majalengka Sumedang Indramayu Subang Kota Sukabumi Kota Bandung Kota Cirebon Jan 3,652 6,339 7,806 1,336 0,336 6,653 8,333 24,203 14,679 10,274 43,837 36,088 0,292 0,075 0,061 Feb 10,424 18,526 15,212 11,826 7,561 15,468 15,196 39,415 25,995 16,249 71,486 63,066 1,096 0,229 0,118 Mar 8,904 15,788 19,129 12,303 7,520 13,726 13,255 34,924 22,763 14,460 63,328 54,995 0,914 0,262 0,102 Apr 3,895 6,960 12,609 11,598 7,050 10,141 7,925 20,403 13,532 8,394 37,009 31,783 0,433 0,179 0,062 Kebutuhan Air Irigasi (m3/det) Mei Jun Jul Agu 9,052 10,577 11,276 7,849 16,091 18,723 19,843 13,786 16,956 18,722 11,339 14,521 9,945 25,178 16,911 10,310 45,680 47,221 0,955 0,246 0,078 20,154 21,879 12,864 16,936 10,028 26,114 17,171 10,778 47,360 54,473 1,067 0,273 0,077 22,453 22,786 12,841 16,632 8,942 24,619 15,529 10,312 44,618 52,716 1,066 0,275 0,067 17,962 17,821 9,914 13,216 6,972 19,562 12,169 8,234 35,445 37,114 0,726 0,214 0,052 Sep 2,248 3,960 9,492 10,906 6,153 5,788 0,673 1,795 1,159 0,746 3,254 15,684 0,215 0,117 0,005 Okt 8,020 13,946 27,500 27,180 14,486 17,021 4,760 15,399 8,643 6,697 27,858 49,157 0,656 0,298 0,033 Nov 4,786 8,487 22,860 23,552 13,571 16,305 6,981 18,354 11,982 7,595 33,284 49,126 0,492 0,295 0,054 Des 0,414 0,786 10,451 5,200 3,201 5,500 5,037 13,132 8,627 5,422 23,816 29,232 0,074 0,141 0,039

Sumber: hasil analisis Tim Dinamaritama. Tabel 3. 28 Kebutuhan Air Irigasi di Propinsi Jawa Barat Tahun 2025
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 Kabupaten Sukabumi Cianjur Bandung & Kota Cimahi Garut Tasik & Kota Tasik Ciamis Kuningan Cirebon Majalengka Sumedang Indramayu Subang Kota Sukabumi Kota Bandung Kota Cirebon Jan 3,157 5,978 6,809 1,443 0,283 6,967 9,498 26,142 11,839 11,097 37,897 38,090 0,252 0,075 0,066 Feb 9,012 17,471 13,269 12,773 6,363 16,199 17,322 42,572 20,967 17,551 61,799 66,563 0,948 0,229 0,127 Mar 7,697 14,888 16,686 13,289 6,329 14,375 15,109 37,721 18,360 15,618 54,747 58,045 0,790 0,262 0,110 Apr 3,367 6,564 10,998 12,527 5,933 10,621 9,034 22,038 10,915 9,066 31,994 33,545 0,375 0,179 0,066 Kebutuhan Air Irigasi (m3/det) Mei Jun Jul Agu 7,825 9,144 9,748 6,785 15,174 17,656 18,712 13,001 14,790 20,222 9,543 15,207 11,336 27,195 13,640 11,136 39,491 49,840 0,825 0,246 0,084 17,580 23,631 10,826 17,737 11,430 28,206 13,849 11,641 40,943 57,494 0,922 0,273 0,084 19,584 24,611 10,807 17,418 10,192 26,591 12,526 11,139 38,572 55,639 0,922 0,275 0,073 15,667 19,248 8,343 13,840 7,947 21,129 9,815 8,893 30,642 39,172 0,628 0,214 0,056 Sep 1,944 3,734 8,280 11,780 5,179 6,061 0,767 1,939 0,935 0,805 2,813 16,554 0,186 0,117 0,006 Okt 6,933 13,151 23,987 29,357 12,191 17,825 5,426 16,632 6,971 7,234 24,083 51,883 0,567 0,298 0,036 Nov 4,137 8,004 19,939 25,439 11,421 17,075 7,957 19,825 9,665 8,204 28,774 51,851 0,426 0,295 0,058 Des 0,358 0,741 9,116 5,616 2,694 5,760 5,741 14,184 6,958 5,856 20,589 30,853 0,064 0,141 0,042

Sumber: hasil analisis Tim Dinamaritama.

B.

Ketersediaan Air

Wilayah administrasi Propinsi Jawa Barat yang dibahas dalam sub bab ini meliputi 12 kabupaten dan 5 kota termasuk ke dalam wilayah 5 WS yaitu WS Citarum, WS Cimanuk-Cisanggarung, WS Cisadea-Cikuningan, WS Ciwulan dan

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

BAB 3 IDENTIFIKASI MASALAH KEKERINGAN DI PULAU JAWA

WS Citanduy. Sungai-sungai utama di WS yang diambil airnya untuk dimanfatkan guna mencukupi kebutuhan air adalah adalah Sungai Citarum dengan sistem waduknya yang terdiri dari Waduk Saguling, Waduk Cirata dan Waduk Jatiluhur, Ciwaringin, Cilamaya, Ciasem dan Cipunagara. Sedangkan sungai-sungai utama di WS Cimanuk-Cisanggarung yang diambil airnya guna mencukupi kebutuhan air adalah Sungai Cipancuh dengan Waduk Cipancuh, Sungai Cipanas, Cimanuk dan Cisanggarung. Sedangkan di WS Cisadea-Cikuningan sungai-sungai utama yang diambil airnya guna mencukupi kebutuhan adalah Sungai Cimandiri, Cileuteuh, Cimandiri, Cikaso, Cibuni dan Cisadea. Sungai-sungai utama di WS Ciwulan yang diambil airnya guna mencukupi kebutuhan air adalah Sungai Cilaki, Cikandang, Cipatujah, Ciwulan dan Cimedang. Sedangkan di WS Citanduy sungai utama yang diambil airnya guna mencukupi kebutuhan adalah Sungai Citanduy dengan anak-anak sungainya. Besarnya debit sungai sangat dipengaruhi oleh besarnya curah hujan, sehingga ketersediaan air akan sangat bervariasi tergantung musim. Biasanya di musim penghujan air yang tersedia yang berupa debit aliran di sungai akan sangat banyak dan melimpah dan sebaliknya saat musim kemarau air yang tersedia sebagai debit aliran di sungai akan sedikit sekali. Besarnya debit andalan yang dipakai sebagai ketersediaan air dari berbagai titik pengambilan untuk masingmasing kabupaten dapat dilihat pada Tabel 3.29 pada halaman berikut ini.

3-32

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA


Tabel 3. 29 Ketersediaan Air di Propinsi Jawa Barat
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 Kabupaten Sukabumi Cianjur Bandung & Kota Cimahi Garut Tasik & Kota Tasik Ciamis Kuningan Cirebon Majalengka Sumedang Indramayu Subang Kota Sukabumi Kota Bandung Kota Cirebon Jan 88,91 114,55 54,35 124,21 93,31 129,43 51,20 84,72 96,79 32,19 164,84 136,79 12,25 8,82 4,54 Feb 93,39 114,82 62,13 149,52 87,52 142,97 60,80 118,44 118,40 32,28 211,83 149,58 14,67 9,08 6,16 Mar 89,73 131,04 61,20 141,78 92,83 157,31 68,68 108,92 103,30 27,01 182,02 148,70 12,40 8,38 5,28 Apr 87,27 146,07 54,81 97,43 120,52 118,61 31,87 63,86 52,62 29,26 105,32 143,17 14,96 10,19 3,36 Ketersediaan Air (m3/det) Mei Jun Jul Agu 69,54 32,38 21,68 22,36 90,65 64,08 43,07 32,55 39,98 76,27 73,61 108,57 14,05 34,22 17,58 21,46 47,72 124,44 9,84 8,60 1,85 27,38 48,89 63,41 68,01 6,14 15,22 6,42 10,63 23,01 110,72 3,29 7,15 0,89 26,24 23,71 39,47 23,27 1,76 6,37 3,60 8,24 10,50 78,96 3,13 6,51 0,36 21,13 14,59 26,53 41,04 1,11 2,74 1,81 5,96 4,94 82,20 1,19 6,00 0,15 Sep 20,58 36,82 20,56 18,32 18,50 55,94 0,98 1,20 0,79 5,79 2,22 74,41 1,45 5,97 0,06 Okt 37,78 46,44 32,33 42,09 62,98 66,85 1,18 0,57 1,20 5,21 2,86 70,17 3,20 5,83 0,02

BAB 3 IDENTIFIKASI MASALAH KEKERINGAN DI PULAU JAWA

3-33
Nov 78,79 112,23 42,26 75,90 113,75 97,38 5,37 2,61 10,67 17,45 13,13 83,94 10,11 6,69 0,01 Des 94,58 119,86 51,24 107,36 79,82 143,62 22,53 52,15 31,62 27,13 78,48 106,48 7,67 9,15 2,83

Sumber: hasil analisis Tim Dinamaritama.

C.

Neraca Air

Dalam studi neraca air atau keseimbangan air perlu diketahui jumlah kebutuhan air dari wilayah yang ditinjau dan jumlah ketersediaan air dari titik-titik pengambilan di sungai-sungai yang melayaninya. Air yang tersedia tergantung dari input yang berupa hujan yang jatuh di daerah tangkapan hujan dan respon masing-masing daerah aliran sungai. Respon masing-masing daerah aliran sungai dipengaruhi oleh jenis penggunaan lahan, kondisi geologi dan kondisi tanah. Sedangnya besarnya kebutuhan tergantung pada jumlah penduduk dan kondisi serta aktifitas masyarakat di masing-masing daerah. Beberapa kriteria yang dipakai dalam analisis neraca air ini adalah sebagai berikut: 1. Hitungan keseimbangan air dilakukan untuk setiap wilayah kabupaten atau kota berikut dengan ketersediaan air di titik-titik pengambilan di sungaisungai yang melayaninya. 2. Ketersediaan air di titik-titik pengambilan di sungai-sungai tersebut dianggap tetap. 3. Kebutuhan dan proyeksi kebutuhan air dihitung berdasarkan data-data jumlah penduduk dan luas lahan yang didapat.

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

BAB 3 IDENTIFIKASI MASALAH KEKERINGAN DI PULAU JAWA

4. Kebutuhan air untuk irigasi dihitung dengan memasukkan faktor intensitas tanam dan pergiliran awal musim tanam untuk mereduksi puncak-puncak kebutuhan air irigasi yang sangat besar. Selengkapnya hasil analisa neraca air untuk Propinsi Jawa Barat tahun 2003 disajikan dalam Tabel 3.30, neraca air untuk tahun 2025 disajikan dalam Tabel 3.31 dan jumlah bulan defisit disajikan dalam Tabel 3.32 pada halaman berikut ini.
Tabel 3. 30 Neraca Air di Propinsi Jawa Barat Tahun 2003
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 Kabupaten Sukabumi Cianjur Bandung & Kota Cimahi Garut Tasik & Kota Tasik Ciamis Kuningan Cirebon Majalengka Sumedang Indramayu Subang Kota Sukabumi Kota Bandung Kota Cirebon Jan 80,01 104,07 32,85 114,43 83,53 117,93 40,34 52,02 79,58 19,85 106,13 85,61 11,39 1,27 3,91 Feb 77,71 92,15 33,23 129,26 70,51 122,66 43,07 70,53 89,86 13,96 125,47 71,43 13,00 1,38 5,48 Mar 75,58 111,11 28,38 121,04 75,87 138,75 52,90 65,49 78,00 10,48 103,81 78,62 10,92 0,64 4,61 Apr 78,13 134,97 28,51 77,40 104,02 103,63 21,42 34,96 36,55 18,79 53,43 96,31 13,96 2,54 2,73 Mei 55,24 70,41 9,34 49,11 52,82 89,21 1,57 0,54 -1,88 9,08 -12,84 62,14 8,31 0,88 1,20 Neraca Air (m3/det) Jun Jul 16,55 5,16 41,21 19,09 -6,47 18,57 41,10 46,23 -6,42 -19,40 -13,30 -2,22 -39,23 41,16 1,65 -0,59 0,25 -9,90 -7,51 17,19 1,79 -9,71 -26,75 -14,47 -4,14 -48,99 11,16 1,49 -1,24 -0,27 Agu 9,26 14,62 -10,52 -11,67 7,17 22,98 -8,39 -25,32 -12,90 -4,35 -45,39 30,00 -0,10 -1,68 -0,47 Sep 13,09 28,72 -2,62 -1,03 2,90 45,31 -2,22 -9,10 -2,91 2,97 -15,92 43,64 0,67 -1,62 -0,51 Okt 24,51 28,35 -8,86 6,48 39,05 44,98 -6,11 -23,33 -9,98 -3,55 -39,87 5,92 1,97 -1,94 -0,58 Nov 68,76 99,60 5,71 43,92 90,74 76,23 -4,14 -24,25 -3,86 7,78 -35,03 19,73 9,05 -1,08 -0,61 Des 88,91 114,93 27,10 93,72 67,18 133,28 14,96 30,51 20,45 19,64 39,79 62,16 7,03 1,54 2,22

3-34

Sumber: hasil analisis Tim Dinamaritama. Tabel 3. 31 Neraca Air di Propinsi Jawa Barat Tahun 2025
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 Kabupaten Sukabumi Cianjur Bandung & Kota Cimahi Garut Tasik & Kota Tasik Ciamis Kuningan Cirebon Majalengka Sumedang Indramayu Subang Kota Sukabumi Kota Bandung Kota Cirebon Jan 77,13 103,73 31,58 111,37 80,45 116,62 38,68 44,95 82,24 18,22 113,43 89,10 9,80 -1,62 3,65 Feb 75,75 92,51 32,91 125,36 68,57 120,93 40,45 62,24 94,71 11,85 136,51 73,42 11,51 -1,51 5,21 Mar 73,41 111,31 28,55 117,10 73,92 137,10 50,55 57,56 82,23 8,51 113,75 81,06 9,40 -2,25 4,34 Apr 75,28 134,67 27,86 73,51 102,00 102,16 19,82 28,19 38,99 17,31 59,81 100,03 12,38 -0,35 2,46 Mei 53,09 70,63 9,23 44,65 51,48 87,53 -0,31 -6,61 1,22 7,45 -5,29 65,00 6,81 -2,01 0,94 Neraca Air (m3/det) Jun Jul 14,61 3,31 41,58 19,52 -6,16 13,86 40,00 44,43 -8,31 -26,62 -10,15 -3,89 -31,45 43,63 0,16 -3,48 -0,02 -9,30 -12,29 16,08 0,01 -11,46 -33,85 -11,64 -5,78 -41,59 13,72 0,00 -4,13 -0,54 Agu 6,95 14,70 -10,49 -16,05 5,61 21,36 -9,86 -32,02 -10,73 -5,81 -39,23 33,43 -1,64 -4,58 -0,73 Sep 10,02 28,24 -3,67 -4,86 0,74 44,05 -2,80 -14,37 -2,86 2,10 -14,11 48,25 -0,93 -4,51 -0,77 Okt 22,22 28,45 -7,62 1,34 38,21 43,18 -7,26 -29,70 -8,49 -4,90 -34,74 8,68 0,43 -4,83 -0,84 Nov 66,03 99,39 6,37 39,07 89,75 74,46 -5,61 -30,85 -1,72 6,37 -29,16 22,49 7,48 -3,97 -0,88 Des 85,59 114,28 26,17 90,35 64,55 132,02 13,76 24,33 21,94 18,40 44,38 66,03 5,41 -1,35 1,96

Sumber: hasil analisis Tim Dinamaritama.

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

BAB 3 IDENTIFIKASI MASALAH KEKERINGAN DI PULAU JAWA

3-35
Tabel 3. 32 Jumlah Bulan Defisit di Propinsi Jawa Barat

No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15

Kabupaten/Kota Sukabumi Cianjur Bandung & Kota Cimahi Garut Tasik & Kota Tasik Ciamis Kuningan Cirebon Majalengka Sumedang Indramayu Subang Kota Sukabumi Kota Bandung Kota Cirebon

2003 0 0 5 3 0 0 6 6 7 4 7 0 1 6 5

2005 0 0 5 3 0 0 6 6 7 4 7 0 1 6 5

2010 0 0 5 3 0 0 6 7 7 4 7 0 1 7 5

2015 0 0 5 3 0 0 6 7 7 4 7 0 1 10 5

2020 0 0 5 3 0 0 6 7 6 4 7 0 2 11 5

2025 0 0 5 3 0 0 7 7 6 4 7 0 2 12 6

Sumber: hasil analisis Tim Dinamaritama.

3.1.4

Jawa Tengah

Propinsi Jawa Tengah terdiri dari 29 kabupaten dan 6 kota. 29 Kabupaten tersebut terdiri dari: Kabupaten Cilacap, Banyumas, Purbalingga, Banjarnegara, Kebumen, Purworejo, Wonosobo, Magelang, Boyolali, Klaten, Sukoharjo, Wonogiri, Karanganyar, Sragen, Grobogan, Blora, Rembang, Pati, Kudus, Jepara, Demak, Semarang Temanggung, Kendal, Batang, Pekalongan, Pemalang dan Tegal. Sedangkan keenam kotanya terdiri dari: Kota Magelang, Surakarta, Salatiga, Semarang, Pekalongan dan Tegal. A. Kebutuhan Air

Semakin meningkatnya populasi yang disertai dengan perkembangan sektorsektor lainnya di Propinsi Jawa Tengah akan membawa dampak pada peningkatan kebutuhan sumber daya air. Di sisi lain, jumlah air yang ada tidak mungkin bertambah dan ketersediaanya cenderung tidak merata dari waktu ke waktu dan juga cenderung terus berkurang.

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

BAB 3 IDENTIFIKASI MASALAH KEKERINGAN DI PULAU JAWA

Pemanfaatan air di Propinsi Jawa Tengah meliputi pemenuhan untuk kebutuhan rumah tangga, perkotaan, industri, peternakan, perikanan dan irigasi. Secara umum kebutuhan air untuk irigasi jauh lebih besar apabila dibandingkan dengan kebutuhan air untuk sektor lainnya. Kondisi ini akan semakin sulit apabila tidak didukung dengan adanya usaha untuk melakukan perbaikan terhadap kondisi sumber daya air, diantaranya konservasi daerah tangkapan hujan dan efisiensi dalam penggunaan air. Daam pengembangan dan pengelolaan sumber daya air, prioritas utama adalah untuk pemenuhan kebutuhan air minum/rumah tangga, yang kedua adalah untuk pemenuhan kebutuhan jasa perkotaan dan industri, yang ketiga adalah untuk pemenuhan kebutuhan air irigasi dan sisanya dimanfaatkan untuk kegiatan lain termasuk untuk pengelolaan kualitas air sungai dan pembangkit listrik tenaga air. Seiring dengan perkembangan kebutuhan air untuk rumah tangga, perkotaan dan industri maka kebutuhan untuk irigasi seringkali menjadi tidak tercukupi terutama untuk musim tanam kedua atau ketiga dimana hujan yang turun sudah tidak terlalu banyak. Konflik sering terjadi karena adanya perbedaan kepentingan antar departemen atau instansi pengelola sumber daya air sehingga perlu adanya suatu pengelolaan sumber daya air yang terpadu. 1. Kebutuhan air untuk keperluan rumah tangga, perkotaan dan industri. Kebutuhan air untuk keperluan rumah tangga, perkotaan dan industri di Propinsi Jawa Tengah cenderung meningkat dari tahun ke tahun sesuai dengan perkembangan jumlah penduduk yang juga terus meningkat di propinsi ini. Kebutuhan air untuk rumah tangga dihitung sebagai kebutuhan air 24 jam untuk 1 (satu) orang yang meliputi air untuk minum, masak, mandi cuci dan sanitasi. Kebutuhan ini sangat dipengaruhi oleh kebiasaan hidup masyarakat dan iklim di daerah tersebut. Kebutuhan air untuk rumah tangga dapat dihitung dengan mengalikan standar kebutuhan air per orang per hari dengan jumlah penduduk di wilayah tersebut. Kebutuhan air untuk keperluan perkotaan (municipal) adalah kebutuhan air untuk fasilitas kota, seperti fasilitas komersial, fasilitas pariwisata, fasilitas ibadah, fasilitas kesehatan dan fasilitas pendukung kota lainnya misalnya pembersihan jalan, pemadam kebakaran, sanitasi kota dan penyiraman

3-36

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

BAB 3 IDENTIFIKASI MASALAH KEKERINGAN DI PULAU JAWA

tanaman perkotaan. Besarnya kebutuhan air perkotaan dapat ditentukan oleh banyaknya fasilitas perkotaan. Kebutuhan ini sangat dipengaruhi oleh tingkat dinamika kota dan jenjang suatu kota. Kebutuhan air untuk perkotaan diambil sebagai proporsi dari kebutuhan air untuk rumah tangga dengan persentasi antara 25-40% tergantung dari kemajuan daerah itu sendiri. Berikut ini disajikan jumlah penduduk untuk tiap-tiap kabupaten di Propinsi Jawa Tengah berikut proyeksinya serta kebutuhan air untuk rumah tangga dan perkotaan sampai tahun 2025 pada Tabel 3.33, Tabel 3.34, dan Tabel 3.35.
Tabel 3. 33 Proyeksi Jumlah Penduduk di Propinsi Jawa Tengah No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 Kabupaten Cilacap Banyumas Purbalingga Banjarnegara Kebumen Purworejo Wonosobo Magelang Boyolali Klaten Sukoharjo Wonogiri Karanganyar Sragen Grobogan Blora Rembang Pati Kudus Jepara Demak Semarang Temanggung Kendal Batang Pekalongan Pemalang Tegal Brebes Kota Magelang Kota Surakarta Kota Salatiga Kota Semarang Kota Pekalongan Kota Tegal 2003 1.630.832 1.472.122 795.874 848.317 1.176.102 705.272 750.939 1.127.714 906.530 1.167.613 799.493 974.353 786.557 855.948 1.289.937 821.588 566.288 1.171.785 718.253 999.635 1.009.863 842.242 710.991 859.471 674.307 819.397 1.343.951 1.410.057 1.728.808 116.498 488.168 163.079 1.455.994 265.829 238.059 2005 1.655.140 1.558.659 811.884 865.524 1.263.871 697.942 796.351 1.180.561 928.490 1.159.240 773.176 952.887 742.414 935.449 1.302.690 830.359 576.842 1.188.324 699.001 1.039.863 1.052.983 854.642 732.030 908.908 686.778 842.666 1.372.604 1.446.643 1.732.779 116.445 478.008 169.722 1.526.368 274.711 241.745 Jumlah Penduduk (jiwa) 2010 2015 1.717.508 1.782.225 1.797.916 2.073.898 853.331 896.895 910.085 956.941 1.513.029 1.811.306 679.949 662.420 922.261 1.068.080 1.323.769 1.484.349 985.747 1.046.534 1.138.568 1.118.265 711.113 654.031 901.269 852.447 642.595 556.196 1.168.023 1.458.421 1.335.128 1.368.374 852.700 875.641 604.095 632.635 1.230.699 1.274.586 653.097 610.208 1.147.659 1.266.630 1.169.011 1.297.824 886.447 919.436 787.392 846.941 1.045.303 1.202.166 718.975 752.681 903.771 969.307 1.446.937 1.525.296 1.542.316 1.644.316 1.742.748 1.752.774 116.311 116.178 453.523 430.292 187.539 207.225 1.717.546 1.932.669 298.234 323.772 251.212 261.049 2020 1.849.382 2.392.245 942.682 1.006.208 2.168.385 645.342 1.236.953 1.664.408 1.111.069 1.098.325 601.531 806.269 481.413 1.821.018 1.402.447 899.200 662.524 1.320.038 570.135 1.397.934 1.440.831 953.653 910.993 1.382.569 787.967 1.039.595 1.607.899 1.753.062 1.762.857 116.045 408.251 228.978 2.174.736 351.497 271.271 2025 1.919.068 2.759.459 990.807 1.058.012 2.595.858 628.705 1.432.527 1.866.309 1.179.584 1.078.739 553.246 762.593 416.686 2.273.766 1.437.369 923.392 693.826 1.367.110 532.695 1.542.849 1.599.596 989.143 979.889 1.590.043 824.908 1.114.980 1.694.975 1.868.999 1.772.998 115.912 387.339 253.015 2.447.122 381.597 281.894

3-37

Sumber: hasil analisis Tim Dinamaritama.

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

BAB 3 IDENTIFIKASI MASALAH KEKERINGAN DI PULAU JAWA

3-38
Tabel 3. 34 Kebutuhan Air Rumah Tangga di Propinsi Jawa Tengah

N o 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35

Kabupaten Cilacap Banyumas Purbalingga Banjarnegara Kebumen Purworejo Wonosobo Magelang Boyolali Klaten Sukoharjo Wonogiri Karanganyar Sragen Grobogan Blora Rembang Pati Kudus Jepara Demak Semarang Temanggung Kendal Batang Pekalongan Pemalang Tegal Brebes Kota Magelang Kota Surakarta Kota Salatiga Kota Semarang Kota Pekalongan Kota Tegal

2003 1,888 2,130 1,151 0,933 1,702 0,816 0,869 1,762 1,049 1,689 1,157 0,677 0,910 0,991 1,418 0,903 0,623 1,695 1,039 1,446 1,461 1,316 0,782 1,243 0,780 1,185 1,478 2,203 2,501 0,169 0,763 0,236 3,033 0,385 0,344

Kebutuhan Air Domestik (m3/det) 2005 2010 2015 2020 1,916 1,988 2,063 2,140 2,255 2,601 3,000 3,461 1,175 1,235 1,298 1,364 0,952 1,001 1,052 1,106 1,829 2,189 2,621 3,137 0,808 0,787 0,767 0,747 0,922 1,067 1,236 1,432 1,845 2,068 2,319 2,601 1,075 1,141 1,211 1,286 1,677 1,647 1,618 1,589 1,119 1,029 0,946 0,870 0,662 0,626 0,592 0,560 0,859 0,744 0,644 0,557 1,083 1,352 1,688 2,108 1,432 1,468 1,505 1,542 0,913 0,938 0,963 0,989 0,634 0,664 0,696 0,728 1,719 1,781 1,844 1,910 1,011 0,945 0,883 0,825 1,504 1,660 1,833 2,022 1,523 1,691 1,878 2,085 1,335 1,385 1,437 1,490 0,805 0,866 0,931 1,002 1,315 1,512 1,739 2,000 0,795 0,832 0,871 0,912 1,219 1,308 1,402 1,504 1,509 1,591 1,677 1,768 2,260 2,410 2,569 2,739 2,507 2,521 2,536 2,550 0,168 0,168 0,168 0,168 0,747 0,709 0,672 0,638 0,246 0,271 0,300 0,331 3,180 3,578 4,026 4,531 0,397 0,350 0,431 0,363 0,468 0,378 0,509 0,392

2025 2,221 3,992 1,433 1,163 3,756 0,728 1,658 2,916 1,365 1,561 0,800 0,530 0,482 2,632 1,580 1,015 0,763 1,978 0,771 2,232 2,314 1,546 1,077 2,300 0,955 1,613 1,864 2,920 2,565 0,168 0,605 0,366 5,098 0,552 0,408

Sumber: hasil analisis Tim Dinamaritama.

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA


Tabel 3. 35 Kebutuhan Air Perkotaan di Propinsi Jawa Tengah

BAB 3 IDENTIFIKASI MASALAH KEKERINGAN DI PULAU JAWA

3-39

N o 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35

Kabupaten Cilacap Banyumas Purbalingga Banjarnegara Kebumen Purworejo Wonosobo Magelang Boyolali Klaten Sukoharjo Wonogiri Karanganyar Sragen Grobogan Blora Rembang Pati Kudus Jepara Demak Semarang Temanggung Kendal Batang Pekalongan Pemalang Tegal Brebes Kota Magelang Kota Surakarta Kota Salatiga Kota Semarang Kota Pekalongan Kota Tegal

2003 0,566 0,639 0,345 0,280 0,510 0,245 0,261 0,529 0,315 0,507 0,347 0,203 0,273 0,297 0,426 0,271 0,187 0,509 0,312 0,434 0,438 0,395 0,235 0,373 0,234 0,356 0,443 0,661 0,750 0,051 0,229 0,071 0,910 0,115 0,103

Kebutuhan Air Non Domestik 2005 2010 2015 2020 0,575 0,596 0,619 0,642 0,677 0,780 0,900 1,038 0,352 0,370 0,389 0,409 0,286 0,300 0,316 0,332 0,549 0,657 0,786 0,941 0,242 0,236 0,230 0,224 0,277 0,320 0,371 0,429 0,553 0,621 0,696 0,780 0,322 0,342 0,363 0,386 0,503 0,494 0,485 0,477 0,336 0,309 0,284 0,261 0,199 0,188 0,178 0,168 0,258 0,223 0,193 0,167 0,325 0,406 0,506 0,632 0,430 0,440 0,451 0,463 0,274 0,281 0,289 0,297 0,190 0,199 0,209 0,219 0,516 0,534 0,553 0,573 0,303 0,283 0,265 0,247 0,451 0,498 0,550 0,607 0,457 0,507 0,563 0,625 0,401 0,416 0,431 0,447 0,241 0,260 0,279 0,301 0,394 0,454 0,522 0,600 0,238 0,250 0,261 0,274 0,366 0,392 0,421 0,451 0,453 0,477 0,503 0,530 0,678 0,723 0,771 0,822 0,752 0,756 0,761 0,765 0,051 0,050 0,050 0,050 0,224 0,213 0,202 0,191 0,074 0,081 0,090 0,099 0,954 1,073 1,208 1,359 0,119 0,105 0,129 0,109 0,141 0,113 0,153 0,118

(m3/det) 2025 0,666 1,198 0,430 0,349 1,127 0,218 0,497 0,875 0,410 0,468 0,240 0,159 0,145 0,790 0,474 0,305 0,229 0,593 0,231 0,670 0,694 0,464 0,323 0,690 0,286 0,484 0,559 0,876 0,770 0,050 0,182 0,110 1,529 0,166 0,122

Sumber: hasil analisis Tim Dinamaritama.

Kebutuhan air industri adalah kebutuhan air untuk proses industri, termasuk sebagai bahan baku, kebutuhan air pekerja industri dan pendukung kegiatan industri. Jadi besar kebutuhan air industri ditentukan oleh kebutuhan air untuk

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

BAB 3 IDENTIFIKASI MASALAH KEKERINGAN DI PULAU JAWA

diproses, bahan baku industri dan kebutuhan air untuk pekerjaan industri. Sedangkan kebutuhan air untuk pendukung kegiatan industri seperti hidran dapat disesuaikan untuk jenis industrinya. Kebutuhan air untuk keperluan industri sangat dipengaruhi oleh jenis dan skala (ukuran) industri yang ada. Misalnya industri tekstil dan logam berat tentu akan memerlukan air yang lebih banyak apabila dibandingkan dengan industri perakitan. Semakin modern peralatan dan teknologi yang digunakan oleh industri tersebut maka akan semakin efisien air yang digunakan. Berikut ini disajikan Tabel 3.36 yang berisi kebutuhan air untuk industri untuk tiap kabupaten di Propinsi Jawa Tengah berikut proyeksinya sampai tahun 2025.
Tabel 3. 36 Kebutuhan Air Industri di Propinsi Jawa Tengah

3-40

N o 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28

Kabupaten Cilacap Banyumas Purbalingga Banjarnegara Kebumen Purworejo Wonosobo Magelang Boyolali Klaten Sukoharjo Wonogiri Karanganyar Sragen Grobogan Blora Rembang Pati Kudus Jepara Demak Semarang Temanggung Kendal Batang Pekalongan Pemalang Tegal

2003 0,301 0,086 0,118 0,127 0,214 0,014 0,037 0,137 0,085 0,123 0,156 0,158 0,168 0,091 0,034 0,019 0,064 0,525 0,115 0,243 0,207 0,149 0,039 0,145 0,079 0,079 0,096 0,101

Kebutuhan Air Industri (m3/det) 2005 2010 2015 2020 0,360 0,565 0,886 1,389 0,071 0,045 0,028 0,018 0,129 0,161 0,201 0,251 0,132 0,143 0,156 0,170 0,234 0,292 0,365 0,456 0,013 0,011 0,009 0,007 0,033 0,025 0,019 0,015 0,150 0,188 0,234 0,292 0,077 0,060 0,047 0,037 0,138 0,185 0,249 0,335 0,180 0,254 0,359 0,507 0,165 0,185 0,207 0,231 0,147 0,105 0,075 0,054 0,100 0,124 0,155 0,194 0,033 0,029 0,026 0,023 0,022 0,030 0,041 0,056 0,063 0,061 0,059 0,057 0,574 0,717 0,895 1,118 0,121 0,137 0,155 0,176 0,266 0,332 0,415 0,518 0,226 0,282 0,353 0,440 0,163 0,204 0,254 0,316 0,039 0,040 0,042 0,043 0,139 0,125 0,113 0,102 0,086 0,107 0,134 0,168 0,080 0,081 0,083 0,085 0,104 0,130 0,163 0,203 0,111 0,140 0,177 0,224

2025 2,178 0,011 0,313 0,185 0,569 0,006 0,011 0,365 0,029 0,450 0,717 0,259 0,039 0,242 0,020 0,077 0,055 1,395 0,200 0,647 0,550 0,394 0,045 0,091 0,209 0,087 0,254 0,283

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA N o 29 30 31 32 33 34 35 Kabupaten Brebes Kota Magelang Kota Surakarta Kota Salatiga Kota Semarang Kota Pekalongan Kota Tegal Kebutuhan Air Industri (m3/det) 2005 2010 2015 2020 0,029 0,034 0,039 0,044 0,015 0,019 0,024 0,030 0,068 0,069 0,070 0,071 0,035 0,033 0,031 0,030 0,394 0,618 0,971 1,523 0,020 0,042 0,031 0,054 0,047 0,070 0,072 0,090

BAB 3 IDENTIFIKASI MASALAH KEKERINGAN DI PULAU JAWA

2003 0,028 0,014 0,068 0,036 0,329 0,017 0,038

2025 0,051 0,037 0,072 0,028 2,391 0,110 0,117

3-41

Sumber: hasil analisis Tim Dinamaritama.

2. Kebutuhan air untuk keperluan peternakan dan perikanan. Kebutuhan air untuk keperluan peternakan dihitung dengan mengkalikan jumlah ternak yang ada di kabupaten tersebut dengan kebutuhan air untuk tiap jenis ternak. Ternak berkaki empat besar seperti sapi, kerbau dan kuda rata-rata memerlukan air sebesar 40 liter/ekor/hari. Ternak berkaki empat kecil seperti kambing atau domba rata-rata memerlukan air sebanyak 5 liter/ekor/hari. Sedangkan unggas seperti ayam memerlukan air rata-rata 0,6 liter/ekor/hari. Kebutuhan air untuk perikanan adalah kebutuhan air untuk mengisi kolam pada saat awal tanam dan kebutuhan untuk penggantian air. Dipakai standar sebesar 7 mm/hari sebagai kebutuhan air untuk perikanan. Berikut ini disajikan Tabel 3.37 dan Tabel 3.38 yang berisi kebutuhan air untuk peternakan dan perikanan untuk tiap kabupaten di Propinsi Jawa Tengah berikut proyeksinya sampai tahun 2025.

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA


Tabel 3. 37 Kebutuhan Air Peternakan di Propinsi Jawa Tengah N o 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 Kabupaten Cilacap Banyumas Purbalingga Banjarnegara Kebumen Purworejo Wonosobo Magelang Boyolali Klaten Sukoharjo Wonogiri Karanganyar Sragen Grobogan Blora Rembang Pati Kudus Jepara Demak Semarang Temanggung Kendal Batang Pekalongan Pemalang Tegal Brebes Kota Magelang Kota Surakarta Kota Salatiga Kota Semarang Kota Pekalongan Kota Tegal Kebutuhan Air Peternakan (m3/det) 2003 2005 2010 2015 2020 2025 0,061 0,065 0,078 0,094 0,115 0,141 0,058 0,063 0,077 0,096 0,122 0,157 0,040 0,044 0,056 0,073 0,096 0,129 0,045 0,048 0,058 0,069 0,084 0,103 0,043 0,045 0,051 0,060 0,071 0,085 0,035 0,037 0,045 0,054 0,065 0,080 0,058 0,063 0,079 0,100 0,129 0,168 0,067 0,072 0,084 0,099 0,119 0,145 0,119 0,126 0,145 0,168 0,196 0,231 0,086 0,090 0,102 0,118 0,140 0,169 0,042 0,044 0,051 0,061 0,074 0,091 0,114 0,119 0,131 0,146 0,163 0,184 0,075 0,079 0,092 0,109 0,131 0,161 0,071 0,075 0,084 0,097 0,114 0,136 0,092 0,096 0,111 0,132 0,163 0,207 0,114 0,119 0,131 0,145 0,161 0,178 0,061 0,062 0,064 0,067 0,071 0,075 0,056 0,057 0,060 0,066 0,074 0,086 0,026 0,028 0,038 0,053 0,076 0,112 0,029 0,031 0,036 0,043 0,054 0,071 0,023 0,023 0,024 0,025 0,026 0,028 0,116 0,126 0,155 0,192 0,240 0,301 0,063 0,068 0,083 0,100 0,123 0,151 0,084 0,084 0,084 0,085 0,085 0,086 0,022 0,021 0,020 0,020 0,020 0,020 0,036 0,039 0,047 0,057 0,070 0,085 0,045 0,047 0,053 0,061 0,071 0,082 0,037 0,040 0,054 0,077 0,112 0,167 0,066 0,068 0,074 0,081 0,090 0,099 0,002 0,008 0,011 0,024 0,003 0,002 0,003 0,008 0,011 0,025 0,004 0,003 0,004 0,010 0,013 0,026 0,006 0,004 0,006 0,013 0,016 0,028 0,010 0,006 0,010 0,016 0,019 0,031 0,016 0,008 0,015 0,020 0,024 0,033 0,027 0,013

BAB 3 IDENTIFIKASI MASALAH KEKERINGAN DI PULAU JAWA

3-42

Sumber: hasil analisis Tim Dinamaritama.

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA


Tabel 3. 38 Kebutuhan Air Perikanan di Propinsi Jawa Tengah N o 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 Kabupaten Cilacap Banyumas Purbalingga Banjarnegara Kebumen Purworejo Wonosobo Magelang Boyolali Klaten Sukoharjo Wonogiri Karanganyar Sragen Grobogan Blora Rembang Pati Kudus Jepara Demak Semarang Temanggung Kendal Batang Pekalongan Pemalang Tegal Brebes Kota Magelang Kota Surakarta Kota Salatiga Kota Semarang Kota Pekalongan Kota Tegal Kebutuhan Air Perikanan (m3/det) 2003 2005 2010 2015 2020 0,520 0,541 0,598 0,661 0,731 0,373 0,383 0,409 0,437 0,467 0,156 0,165 0,189 0,217 0,248 0,473 0,567 0,889 1,395 2,188 0,034 0,031 0,025 0,020 0,016 0,125 0,127 0,132 0,136 0,141 0,176 0,170 0,157 0,145 0,133 0,147 0,145 0,139 0,135 0,130 0,031 0,029 0,023 0,019 0,015 0,048 0,053 0,068 0,088 0,114 0,017 0,019 0,026 0,035 0,047 0,007 0,007 0,007 0,007 0,007 0,007 0,006 0,004 0,002 0,001 0,023 0,022 0,018 0,015 0,013 0,016 0,013 0,007 0,004 0,003 0,004 0,004 0,003 0,002 0,002 1,578 1,698 2,040 2,450 2,943 10,97 12,18 13,52 9,477 9,882 2 3 7 0,006 0,006 0,005 0,004 0,003 0,557 0,509 0,406 0,323 0,258 3,617 3,817 4,365 4,991 5,708 0,017 0,018 0,021 0,025 0,029 0,061 0,064 0,070 0,076 0,083 2,288 2,307 2,355 2,403 2,453 0,094 0,097 0,104 0,111 0,119 0,280 0,258 0,210 0,171 0,140 1,243 1,220 1,164 1,110 1,059 0,196 0,189 0,172 0,157 0,143 5,144 5,016 4,711 4,425 4,155 0,003 0,000 0,001 0,476 0,104 0,070 0,004 0,000 0,001 0,407 0,111 0,077 0,004 0,000 0,001 0,275 0,129 0,096 0,004 0,000 0,001 0,186 0,151 0,120 0,004 0,000 0,001 0,125 0,176 0,149 2025 0,808 0,499 0,284 3,434 0,013 0,146 0,123 0,125 0,012 0,148 0,064 0,007 0,001 0,011 0,002 0,002 3,534 15,01 9 0,002 0,205 6,527 0,034 0,091 2,504 0,128 0,114 1,011 0,131 3,902 0,004 0,000 0,001 0,085 0,206 0,186

BAB 3 IDENTIFIKASI MASALAH KEKERINGAN DI PULAU JAWA

3-43

Sumber: hasil analisis Tim Dinamaritama.

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA 3. Kebutuhan air untuk keperluan irigasi.

BAB 3 IDENTIFIKASI MASALAH KEKERINGAN DI PULAU JAWA

3-44

Kebutuhan air irigasi sangat mendominasi kebutuhan air di Propinsi Jawa Tengah apabila dibandingkan dengan kebutuhan untuk rumah tangga, perkotaan dan industri serta kebutuhan untuk peternakan dan perikanan. Kebutuhan air untuk irigasi tergantung pada beberapa faktor antara lain seperti luas tanam, jenis tanaman, keadaan iklim (curah hujan dan evapotranspirasi), jenis tanah (untuk memperkirakan laju perkolasi dan kelembaban), cara bercocok tanam dan dan praktek irigasi untuk tanaman padi (kebutuhan air untuk pengolahan lahan dan penggantian lapisan air), sistem golongan dan efisiensi irigasi. Untuk mengurangi puncak kebutuhan air untuk irigasi khususnya pada awal musim tanam, maka dilakukan penjadwalan awal tanam secara bergiliran yang didasarkan pada besarnya luasan areal maupun lokasi areal. Pembagian penjadwalan waktu tanam tersebut dikelompokkan ke dalam beberapa golongan, masing-masing golongan dibagi berdasarkan ketersediaan air dan luas areal tanam untuk kebutuhan air masa awal pengolahan lahan. Data luas lahan areal irigasi didapatkan dari buku Propinsi Dalam Angka yang dikeluarkan oleh BPS. Dari data luasan lahan areal irigasi tersebut lalu dilakukan proyeksi untuk dapat menentukan luasan lahan areal irigasi di masa yang akan datang sehingga perkiraan kebutuhan air di waktu yang akan datang dapat diperhitungkan pula. Berikut ini disampaikan Tabel 3.39, Tabel 3.40 dan Tabel 3.41 yang berisi luas lahan areal irigasi untuk tiap-tiap kabupaten di Propinsi Jawa Tengah berikut proyeksinya serta kebutuhan air untuk irigasi untuk saat ini dan untuk tahun 2025.

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA


Tabel 3. 39 Proyeksi Luas Lahan Areal Irigasi di Propinsi Jawa Tengah No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 Kabupaten Cilacap Banyumas Purbalingga Banjarnegara Kebumen Purworejo Wonosobo Magelang Boyolali Klaten Sukoharjo Wonogiri Karanganyar Sragen Grobogan Blora Rembang Pati Kudus Jepara Demak Semarang Temanggung Kendal Batang Pekalongan Pemalang Tegal Brebes Kota Magelang Kota Surakarta Kota Salatiga Kota Semarang Kota Pekalongan Kota Tegal 2003 44.523 26.226 17.360 11.399 31.283 26.910 14.658 28.988 12.296 32.383 18.925 22.869 21.404 24.996 27.288 14.391 11.408 36.042 14.649 21.178 28.352 18.510 19.119 25.736 20.832 20.746 32.620 33.923 49.623 221 80 628 1.846 1.472 999 Luas Lahan Areal Irigasi (Ha) 2005 2010 2015 2020 44.533 44.559 44.584 44.610 26.232 26.247 26.262 26.277 17.364 17.374 17.384 17.394 11.402 11.408 11.415 11.421 31.290 31.308 31.326 31.344 26.916 26.932 26.947 26.963 14.661 14.670 14.678 14.687 28.995 29.011 29.028 29.045 12.299 12.306 12.313 12.320 32.390 32.409 32.428 32.446 18.929 18.940 18.951 18.962 22.874 22.887 22.901 22.914 21.409 21.421 21.434 21.446 25.002 25.016 25.030 25.045 27.294 27.310 27.326 27.341 14.394 14.403 14.411 14.419 11.411 11.417 11.424 11.430 36.050 36.071 36.092 36.112 14.652 14.661 14.669 14.678 21.183 21.195 21.207 21.219 28.359 28.375 28.391 28.407 18.514 18.525 18.536 18.546 19.123 19.134 19.145 19.156 25.742 25.757 25.771 25.786 20.837 20.849 20.861 20.873 20.751 20.763 20.775 20.787 32.627 32.646 32.665 32.684 33.931 33.950 33.970 33.989 49.634 49.663 49.691 49.720 221 221 221 221 80 80 80 80 628 629 629 629 1.846 1.847 1.849 1.850 1.472 1.473 1.474 1.475 999 1.000 1.000 1.001 2025 44.636 26.292 17.404 11.428 31.362 26.978 14.695 29.061 12.327 32.465 18.973 22.927 21.458 25.059 27.357 14.427 11.437 36.133 14.686 21.232 28.424 18.557 19.167 25.801 20.885 20.798 32.702 34.009 49.748 222 80 630 1.851 1.476 1.002

BAB 3 IDENTIFIKASI MASALAH KEKERINGAN DI PULAU JAWA

3-45

Sumber: hasil analisis Tim Dinamaritama.

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA


Tabel 3. 40 Kebutuhan Air Irigasi di Propinsi Jawa Tengah Tahun 2003
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 Kabupaten Cilacap Banyumas Purbalingga Banjarnegara Kebumen Purworejo Wonosobo Magelang Boyolali Klaten Sukoharjo Wonogiri Karanganyar Sragen Grobogan Blora Rembang Pati Kudus Jepara Demak Semarang Temanggung Kendal Batang Pekalongan Pemalang Tegal Brebes Kota Magelang Kota Surakarta Kota Salatiga Kota Semarang Kota Pekalongan Kota Tegal Jan 10,433 3,448 2,243 1,946 10,902 6,677 2,295 8,995 4,428 11,962 6,341 10,381 7,232 8,033 11,964 7,596 7,139 5,744 2,561 12,802 13,501 5,525 9,285 8,164 0,000 0,000 0,000 0,000 31,162 0,059 0,026 0,168 0,452 0,000 0,117 Feb 28,671 13,757 9,193 4,996 18,563 7,209 6,880 16,192 7,052 17,915 11,899 8,397 13,325 16,469 24,016 9,834 5,337 22,785 8,763 10,899 22,598 11,600 3,303 15,065 3,369 7,152 11,217 5,135 26,405 0,145 0,053 0,436 1,374 0,513 0,643 Mar 24,957 9,835 6,567 3,625 18,052 5,527 4,962 15,658 7,120 18,316 11,649 10,122 13,087 15,883 23,943 10,755 6,901 29,619 11,709 13,466 23,320 13,102 5,452 17,514 10,415 12,881 20,235 16,727 26,545 0,134 0,051 0,473 1,450 0,918 0,560 Apr 18,636 4,107 2,769 1,214 13,319 0,205 1,826 12,324 5,341 13,683 8,826 7,193 9,905 12,094 18,488 8,107 4,999 23,078 9,091 9,856 17,842 8,826 3,847 11,655 9,074 11,240 17,657 14,572 12,790 0,106 0,039 0,324 1,006 0,801 0,418 Kebutuhan Air Irigasi (m3/det) Mei Jun Jul Agu 26,816 30,371 28,598 22,419 10,986 16,602 15,853 11,582 7,349 11,043 10,497 7,657 3,897 6,607 6,855 5,146 18,824 19,665 21,704 17,338 5,110 12,760 16,018 12,668 5,418 8,778 8,831 6,565 18,244 21,033 22,267 17,090 7,935 9,347 9,923 7,734 20,310 24,210 26,111 20,444 13,145 15,033 15,311 11,785 10,546 14,463 18,287 14,920 14,748 16,920 17,312 13,344 18,032 20,321 20,250 15,481 22,982 23,365 22,634 16,633 9,594 10,570 11,835 9,093 5,412 6,857 9,293 7,487 27,565 27,280 29,330 21,453 10,759 10,780 11,903 8,776 10,931 13,343 17,288 13,787 21,777 22,819 23,432 17,549 11,559 13,372 14,026 11,241 5,452 9,306 14,421 12,108 15,123 17,935 19,463 15,750 10,739 12,879 15,202 11,557 14,082 15,176 15,276 11,079 22,117 23,845 24,018 17,423 17,174 20,755 24,743 18,860 13,322 18,103 24,727 21,635 0,158 0,174 0,171 0,128 0,058 0,065 0,065 0,050 0,430 0,480 0,477 0,377 1,347 1,468 1,407 1,096 1,004 1,080 1,084 0,785 0,602 0,681 0,642 0,503 Sep 9,978 2,669 1,769 1,136 9,751 2,568 1,472 8,833 4,556 11,982 7,038 8,356 7,957 9,314 8,906 4,627 3,607 12,682 5,142 6,720 9,195 6,059 5,643 8,398 6,215 6,283 9,879 10,111 1,493 0,068 0,030 0,207 0,610 0,446 0,224 Okt 27,324 10,311 6,750 5,336 20,148 16,576 6,465 25,158 11,380 30,541 16,608 25,263 18,899 21,282 22,571 14,362 13,519 34,773 14,565 24,236 25,495 17,289 22,997 24,961 20,803 17,421 27,417 34,181 27,927 0,173 0,068 0,550 1,535 1,231 0,613

BAB 3 IDENTIFIKASI MASALAH KEKERINGAN DI PULAU JAWA

3-46
Nov 28,739 6,652 4,434 2,534 14,139 4,317 3,424 21,178 9,451 24,651 14,926 15,864 16,833 19,987 24,886 12,096 8,696 35,202 14,127 16,503 25,001 16,419 11,289 22,443 17,544 18,850 29,629 28,441 13,730 0,169 0,064 0,572 1,716 1,339 0,645 Des 10,086 0,000 0,000 0,000 6,509 0,000 0,000 7,461 4,314 11,160 6,958 6,584 7,829 9,419 11,663 5,287 3,442 17,796 7,081 6,692 11,400 7,682 2,672 10,357 5,318 6,454 10,139 8,553 9,193 0,063 0,030 0,274 0,832 0,460 0,226

Sumber: hasil analisis Tim Dinamaritama. Tabel 3. 41 Kebutuhan Air Irigasi di Propinsi Jawa Tengah Tahun 2025
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 Kabupaten Cilacap Banyumas Purbalingga Banjarnegara Kebumen Purworejo Wonosobo Magelang Boyolali Klaten Sukoharjo Wonogiri Karanganyar Sragen Grobogan Blora Rembang Pati Kudus Jan 10,459 3,457 2,249 1,951 10,929 6,694 2,301 9,018 4,440 11,992 6,357 10,407 7,250 8,054 11,995 7,616 7,157 5,758 2,567 Feb 28,743 13,792 9,216 5,008 18,610 7,227 6,897 16,233 7,070 17,961 11,929 8,418 13,359 16,510 24,076 9,859 5,351 22,843 8,785 Mar 25,020 9,860 6,584 3,634 18,097 5,540 4,975 15,698 7,138 18,362 11,678 10,148 13,120 15,923 24,003 10,782 6,918 29,694 11,739 Apr 18,683 4,117 2,776 1,217 13,353 0,206 1,830 12,355 5,354 13,718 8,849 7,211 9,930 12,125 18,535 8,127 5,012 23,136 9,114 Kebutuhan Air Irigasi (m3/det) Mei Jun Jul Agu 26,883 30,448 28,670 22,475 11,014 16,644 15,893 11,612 7,367 11,071 10,524 7,676 3,907 6,624 6,872 5,159 18,872 19,715 21,759 17,382 5,123 12,792 16,059 12,700 5,432 8,801 8,854 6,582 18,291 21,086 22,323 17,133 7,955 9,371 9,949 7,754 20,361 24,271 26,177 20,495 13,178 15,071 15,350 11,815 10,573 14,500 18,333 14,958 14,785 16,963 17,356 13,378 18,078 20,373 20,301 15,520 23,040 23,424 22,691 16,675 9,618 10,596 11,865 9,116 5,425 6,874 9,317 7,506 27,635 27,349 29,404 21,507 10,787 10,807 11,933 8,798 Sep 10,003 2,676 1,773 1,139 9,776 2,574 1,475 8,855 4,567 12,012 7,056 8,378 7,977 9,338 8,928 4,638 3,616 12,714 5,155 Okt 27,393 10,337 6,767 5,349 20,199 16,618 6,482 25,222 11,409 30,619 16,650 25,327 18,946 21,336 22,628 14,398 13,553 34,861 14,602 Nov 28,811 6,668 4,445 2,540 14,175 4,328 3,433 21,231 9,475 24,714 14,963 15,904 16,875 20,037 24,949 12,126 8,718 35,291 14,163 Des 10,112 0,000 0,000 0,000 6,526 0,000 0,000 7,479 4,325 11,189 6,976 6,601 7,849 9,443 11,692 5,301 3,451 17,840 7,099

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA


No 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 Kabupaten Jepara Demak Semarang Temanggung Kendal Batang Pekalongan Pemalang Tegal Brebes Kota Magelang Kota Surakarta Kota Salatiga Kota Semarang Kota Pekalongan Kota Tegal Jan 12,835 13,535 5,539 9,308 8,185 0,000 0,000 0,000 0,000 31,241 0,059 0,026 0,169 0,453 0,000 0,000 Feb 10,927 22,655 11,629 3,312 15,103 3,378 7,170 11,246 5,148 26,471 0,145 0,053 0,437 1,378 0,514 0,232 Mar 13,500 23,379 13,135 5,466 17,559 10,441 12,914 20,286 16,770 26,612 0,134 0,051 0,474 1,454 0,920 0,547 Apr 9,881 17,888 8,848 3,857 11,684 9,097 11,268 17,701 14,608 12,823 0,107 0,039 0,325 1,009 0,803 0,477 Kebutuhan Air Irigasi (m3/det) Mei Jun Jul Agu 10,958 13,377 17,332 13,821 21,832 22,877 23,491 17,593 11,588 13,406 14,061 11,270 5,466 9,330 14,457 12,139 15,161 17,980 19,512 15,790 10,766 12,912 15,241 11,586 14,117 15,214 15,315 11,107 22,173 23,905 24,079 17,467 17,217 20,808 24,805 18,907 13,356 18,149 24,790 21,689 0,159 0,174 0,171 0,128 0,058 0,065 0,065 0,050 0,431 0,481 0,479 0,378 1,350 1,472 1,410 1,099 1,007 1,083 1,087 0,787 0,579 0,662 0,733 0,548 Sep 6,737 9,218 6,074 5,657 8,419 6,230 6,299 9,904 10,137 1,497 0,068 0,030 0,207 0,611 0,447 0,301 Okt 24,297 25,559 17,333 23,055 25,024 20,856 17,465 27,486 34,267 27,997 0,174 0,068 0,551 1,539 1,235 0,940

BAB 3 IDENTIFIKASI MASALAH KEKERINGAN DI PULAU JAWA


Nov 16,545 25,064 16,461 11,318 22,499 17,588 18,898 29,704 28,513 13,765 0,170 0,064 0,574 1,721 1,343 0,869 Des 6,709 11,429 7,702 2,679 10,384 5,332 6,470 10,165 8,575 9,217 0,064 0,030 0,274 0,835 0,461 0,277

3-47

Sumber: hasil analisis Tim Dinamaritama.

B.

Ketersediaan Air

Wilayah administrasi Propinsi Jawa Tengah yang meliputi 29 kabupaten dan 6 kota termasuk dalam wilayah 7 buah WS yaitu sebagian WS CimanukCisanggarung, sebagian WS Citanduy, WS Pemali-Comal, WS Serayu, WS Jratun-Seluna, sebagian WS Progo-Opak-Oyo, dan WS Bengawan Solo bagian hulu. Sungai utama yang diambil airnya untuk dimanfatkan guna mencukupi kebutuhan air di WS Citanduy adalah adalah Sungai Citanduy dan anak-anak sungainya sedangkan di WS Cimanuk-Cisanggarung yang diambil airnya adalah Sungai Cisanggarung. Sungai-sungai utama di WS Pemali Comal yang diambil airnya guna mencukupi kebutuhan air adalah Sungai Kabuyutan, Pemali, Rambut, Comal, Sengkarang dan Tinap. Sedangkan di WS Serayu sungai-sungai utama yang diambil airnya guna mencukupi kebutuhan adalah Sungai Serayu dengan Waduk Mrica serta anak-anak sungainya, Kali Tipar, Telomoyo dengan Waduk Sempor, Lukulo, Wawar, Ijo dan Bogowonto. Sungai-sungai utama di WS Jratun-Seluna yang diambil airnya guna mencukupi kebutuhan air adalah Sungai Kuto, Blukar, Bodri, Kreo, Garang, Jragung, Tuntang dengan Rawa Pening, Serang dengan Waduk Kedung Ombo, Lusi dan Juwana. Sedangkan di WS Bengawan Solo sungai utama yang diambil airnya

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

BAB 3 IDENTIFIKASI MASALAH KEKERINGAN DI PULAU JAWA

guna mencukupi kebutuhan adalah Sungai Bengawan Solo dengan Waduk Gajahmungkur serta anak-anak sungainya. Besarnya debit sungai sangat dipengaruhi oleh besarnya curah hujan, sehingga ketersediaan air akan sangat bervariasi tergantung musim. Biasanya di musim penghujan air yang tersedia berupa debit aliran di sungai akan sangat banyak dan melimpah dan sebaliknya saat musim kemarau air yang tersedia sebagai debit aliran di sungai akan sedikit sekali. Besarnya debit andalan yang dipakai sebagai ketersediaan air dari berbagai titik pengambilan untuk masing-masing kabupaten dapat dilihat pada Tabel 3.42 berikut ini.
Tabel 3. 42 Ketersediaan Air di Propinsi Jawa Tengah
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 Kabupaten Cilacap Banyumas Purbalingga Banjarnegara Kebumen Purworejo Wonosobo Magelang Boyolali Klaten Sukoharjo Wonogiri Karanganyar Sragen Grobogan Blora Rembang Pati Kudus Jepara Demak Semarang Temanggung Kendal Batang Pekalongan Pemalang Tegal Brebes Kota Magelang Kota Surakarta Kota Salatiga Kota Semarang Kota Pekalongan Kota Tegal Jan 192,48 102,18 80,46 40,44 78,56 44,54 37,82 41,97 50,95 32,87 58,10 104,11 44,57 61,37 65,31 57,33 33,59 88,58 36,06 57,63 104,56 58,65 22,55 93,16 61,73 51,24 50,15 52,71 99,70 1,71 6,12 6,06 20,21 5,06 8,30 Feb 203,38 95,61 93,33 45,53 96,03 57,61 39,89 54,17 64,15 49,45 76,37 110,84 55,04 85,97 85,82 75,47 42,24 112,47 42,57 72,10 125,44 69,23 24,35 133,99 88,79 73,70 67,02 66,60 111,68 2,21 9,21 7,16 23,85 7,28 9,63 Mar 197,14 103,02 94,40 44,11 91,68 56,31 36,86 52,20 72,57 39,73 73,04 146,44 55,99 60,44 76,22 41,69 54,71 143,69 60,29 94,09 173,68 98,04 27,27 107,62 71,31 59,19 70,62 66,83 114,47 2,13 7,40 10,14 31,26 5,84 9,94 Apr 163,51 74,08 71,52 34,42 71,85 43,25 27,80 30,56 56,54 24,81 43,70 78,78 33,12 39,28 75,21 27,90 45,30 118,81 50,40 77,98 144,86 81,96 21,84 81,33 53,89 44,73 64,49 55,37 79,65 1,24 4,62 8,47 25,36 4,41 6,70 Ketersediaan Air (m3/det) Mei Jun Jul Agu 109,57 69,04 41,32 35,25 35,03 17,42 4,66 2,89 60,23 33,97 20,43 20,15 28,10 15,27 12,86 13,10 28,93 14,51 9,07 7,24 13,72 5,95 4,06 2,96 26,01 16,69 13,84 12,96 16,40 9,22 4,75 2,99 32,95 11,64 8,35 5,68 8,06 5,80 2,51 0,88 17,24 14,27 7,70 3,08 38,56 32,54 21,50 8,23 13,87 11,79 6,89 2,83 11,83 7,53 4,11 2,37 52,99 45,16 40,11 36,39 8,55 4,19 3,55 2,83 31,73 17,24 13,81 11,97 84,16 48,75 39,02 34,34 32,87 10,03 8,07 5,71 54,29 28,43 22,77 19,57 96,18 35,20 28,27 21,70 53,46 16,31 13,13 9,28 14,41 10,96 8,70 6,06 35,56 31,05 20,84 11,48 23,56 20,57 13,81 7,61 19,56 17,08 11,46 6,31 54,70 43,13 35,65 30,53 46,12 34,16 26,68 24,02 51,41 28,57 11,33 12,38 0,67 0,37 0,19 0,12 1,50 1,08 0,46 0,16 5,53 1,68 1,35 0,96 16,95 5,64 4,64 3,47 1,93 1,68 1,13 0,62 4,40 2,46 0,92 1,04 Sep 35,32 3,88 17,31 10,96 5,59 1,96 11,70 1,97 6,58 0,25 1,96 6,79 1,91 1,80 33,14 2,71 12,56 35,55 7,16 20,69 25,32 11,65 4,06 11,23 7,44 6,17 29,18 21,81 6,67 0,08 0,04 1,20 4,09 0,61 0,48 Okt 39,88 8,71 32,04 14,81 13,12 5,19 14,40 2,08 7,41 0,42 1,64 5,69 1,80 2,11 42,30 2,75 13,76 38,89 8,06 22,70 28,21 13,11 5,08 14,37 9,52 7,90 30,58 22,03 17,73 0,08 0,08 1,35 4,50 0,78 1,24 Nov 139,38 60,02 83,79 22,92 28,88 10,63 21,30 17,00 15,22 5,94 13,42 28,68 11,14 13,61 47,91 13,51 18,09 50,40 12,48 30,10 41,20 20,30 11,04 35,56 23,56 19,56 30,44 27,54 46,21 0,69 1,10 2,10 6,52 1,93 3,96 Des 196,42 43,81 77,69 32,73 59,55 34,94 27,44 19,96 34,62 12,00 25,81 57,33 20,56 23,77 47,91 24,99 28,57 76,06 28,79 48,76 84,83 46,81 18,82 70,99 47,04 39,05 38,87 39,52 88,57 0,81 2,23 4,84 15,13 3,85 8,09

3-48

Sumber: hasil analisis Tim Dinamaritama.

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA C. Neraca Air

BAB 3 IDENTIFIKASI MASALAH KEKERINGAN DI PULAU JAWA

3-49

Dalam studi neraca air atau keseimbangan air perlu diketahui jumlah ketersediaan dan kebutuhan air dari wilayah yang dilayani dan titik-titik pengambilan di sungai-sungai yang melayaninya. Air yang tersedia tergantung dari input yang berupa hujan yang jatuh di daerah tangkapan hujan dan respon masing-masing daerah aliran sungai. Respon masing-masing daerah aliran sungai dipengaruhi oleh jenis penggunaan lahan, kondisi geologi dan kondisi tanah. Sedangnya besarnya kebutuhan tergantung pada jumlah penduduk dan kondisi serta aktifitas masyarakat di masing-masing daerah. Beberapa kriteria yang dipakai dalam analisis neraca air ini adalah sebagai berikut: 1. Hitungan keseimbangan air dilakukan untuk setiap wilayah kabupaten atau kota berikut dengan ketersediaan air di titik-titik pengambilan di sungaisungai yang melayaninya. 2. Ketersediaan air di titik-titik pengambilan di sungai-sungai tersebut dianggap tetap. 3. Kebutuhan dan proyeksi kebutuhan air dihitung berdasarkan data-data jumlah penduduk dan luas lahan yang didapat. 4. Kebutuhan air untuk irigasi dihitung dengan memasukkan faktor intensitas tanam dan pergiliran awal musim tanam untuk mereduksi puncak-puncak kebutuhan air irigasi yang sangat besar. Selengkapnya hasil analisa neraca air untuk Propinsi Jawa Tengah tahun 2003 disajikan dalam Tabel 3.43, neraca air untuk tahun 2025 disajikan dalam Tabel 3.44 dan jumlah bulan defisit disajikan dalam Tabel 3.45 berikut ini.

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA


Tabel 3. 43 Neraca Air di Propinsi Jawa Tengah Tahun 2003
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 Kabupaten Cilacap Banyumas Purbalingga Banjarnegara Kebumen Purworejo Wonosobo Magelang Boyolali Klaten Sukoharjo Wonogiri Karanganyar Sragen Grobogan Blora Rembang Pati Kudus Jepara Demak Semarang Temanggung Kendal Batang Pekalongan Pemalang Tegal Brebes Kota Magelang Kota Surakarta Kota Salatiga Kota Semarang Kota Pekalongan Kota Tegal Jan 178,72 95,45 76,41 36,64 65,16 36,63 34,13 30,33 44,92 18,46 50,05 92,57 35,91 51,87 51,36 48,42 23,94 70,58 32,01 42,12 85,32 51,13 12,09 80,86 60,52 49,31 46,85 49,52 60,05 1,41 5,03 5,54 14,99 4,44 7,63 Feb 171,38 78,57 82,33 38,68 74,97 49,17 31,62 35,34 55,50 29,09 62,75 101,29 40,29 68,03 59,82 64,33 34,40 77,43 32,31 58,50 97,10 55,64 19,88 114,80 84,21 64,62 52,50 58,27 76,79 1,83 8,10 6,37 17,70 6,14 8,43 Mar 168,86 89,90 86,03 38,63 71,13 49,55 30,51 33,90 63,85 18,97 59,68 135,16 41,48 43,09 50,30 29,63 45,30 101,81 47,08 77,91 144,62 82,95 20,64 85,98 59,69 44,38 47,09 46,91 79,44 1,76 6,29 9,31 25,04 4,31 8,82 Apr 141,54 66,69 66,94 31,35 56,03 41,81 24,58 15,60 49,61 8,68 33,16 70,43 21,78 25,72 54,74 18,48 37,80 83,47 39,81 65,42 121,28 71,14 16,82 65,55 43,61 31,56 43,53 37,61 58,38 0,90 3,52 7,80 19,59 2,99 5,73 Mei 79,42 20,76 51,07 22,35 7,60 7,38 19,19 -4,48 23,42 -14,70 2,38 26,86 -2,31 -7,67 28,03 -2,35 23,82 44,33 20,62 40,65 68,66 39,91 7,78 16,31 11,62 3,54 29,29 25,76 29,60 0,27 0,38 4,75 10,84 0,30 3,25 Neraca Air (m3/det) Jun Jul 35,34 9,39 -2,46 -14,47 21,12 8,13 6,81 4,16 -7,66 -15,13 -8,05 -13,19 6,51 3,61 -14,45 -20,16 0,70 -3,17 -20,86 -26,05 -2,48 -9,32 16,93 2,06 -6,56 -11,85 -14,26 -17,61 19,81 15,49 -7,68 -9,59 7,88 2,01 9,21 -2,57 -2,24 -5,32 12,38 2,78 6,64 -0,90 0,95 -2,89 0,48 -6,90 8,99 -2,75 6,49 -2,60 -0,03 -5,75 15,99 8,33 10,21 -1,25 1,99 -21,88 -0,04 -0,22 -0,05 -0,66 0,85 0,53 -0,60 -1,53 -0,02 -0,58 1,23 -0,28 Agu 9,50 -11,97 10,69 6,10 -12,59 -10,94 5,00 -16,74 -3,65 -22,01 -10,42 -7,84 -11,94 -14,58 17,77 -7,57 1,98 0,63 -4,56 3,08 -1,59 -3,95 -7,23 -8,40 -5,16 -6,70 9,81 1,97 -17,74 -0,24 -0,95 0,23 -2,40 -0,79 -0,02 Sep 22,01 -2,07 13,73 7,97 -6,66 -1,84 8,84 -9,50 0,43 -14,18 -6,79 -2,72 -7,47 -8,98 22,25 -3,22 6,44 10,62 0,53 11,26 10,39 3,60 -2,76 -1,30 0,02 -2,04 16,00 8,50 -3,31 -0,23 -1,05 0,64 -1,29 -0,46 -0,30 Okt 9,23 -4,88 23,48 7,62 -9,53 -12,62 6,53 -25,72 -5,56 -32,57 -16,68 -20,73 -18,52 -20,64 17,75 -12,92 -2,26 -8,14 -8,00 -4,24 -3,03 -6,17 -19,09 -14,72 -12,48 -11,45 -0,13 -15,34 -18,69 -0,33 -1,06 0,45 -1,80 -1,07 0,07

BAB 3 IDENTIFIKASI MASALAH KEKERINGAN DI PULAU JAWA

3-50
Nov 107,31 50,08 77,54 18,53 12,24 5,08 16,48 -6,82 4,17 -21,16 -3,22 11,66 -7,12 -7,85 21,05 0,11 6,89 2,94 -3,14 10,89 10,45 1,89 -1,43 8,99 4,81 -1,22 -2,49 -4,09 23,99 0,29 -0,02 1,17 0,04 -0,03 2,76 Des 183,00 40,52 75,89 30,87 50,54 33,71 26,04 9,86 28,71 -1,61 17,13 49,59 11,30 12,89 34,27 18,39 22,62 46,01 20,21 39,36 67,68 37,14 14,97 56,51 40,52 30,66 25,43 27,77 70,89 0,51 1,14 4,22 9,53 2,77 7,31

Sumber: hasil analisis Tim Dinamaritama. Tabel 3. 44 Neraca Air di Propinsi Jawa Tengah Tahun 2025
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 Kabupaten Cilacap Banyumas Purbalingga Banjarnegara Kebumen Purworejo Wonosobo Magelang Boyolali Klaten Sukoharjo Wonogiri Karanganyar Sragen Grobogan Blora Rembang Pati Kudus Jan 176,01 92,87 75,63 33,26 62,08 36,67 33,07 28,53 44,47 18,09 49,84 92,57 36,50 49,51 51,03 48,14 21,78 63,75 32,18 Feb 168,63 75,97 81,52 35,29 71,87 49,20 30,54 33,52 55,04 28,70 62,53 101,29 40,86 65,65 59,46 64,04 32,24 70,56 32,47 Mar 166,11 87,31 85,23 35,24 68,04 49,60 29,44 32,08 63,39 18,58 59,46 135,16 42,05 40,72 49,94 29,33 43,14 94,92 47,24 Apr 138,81 64,11 66,16 27,98 52,95 41,87 23,52 13,78 49,14 8,30 32,94 70,44 22,36 23,35 54,40 18,20 35,64 76,60 39,97 Mei 76,68 18,17 50,28 18,97 4,51 7,42 18,12 -6,31 22,95 -15,09 2,15 26,86 -1,74 -10,05 27,67 -2,64 21,66 37,45 20,78 Neraca Air (m3/det) Jun Jul 32,58 6,64 -5,08 -17,08 20,31 7,32 3,42 0,76 -10,75 -18,24 -8,02 -13,18 5,43 2,54 -16,29 -22,00 0,23 -3,64 -21,26 -26,46 -2,71 -9,56 16,91 2,04 -6,00 -11,29 -16,65 -20,00 19,46 15,14 -7,97 -9,89 5,72 -0,16 2,33 -9,45 -2,09 -5,17 Agu 6,77 -14,57 9,89 2,72 -15,68 -10,91 3,93 -18,56 -4,11 -22,40 -10,64 -7,86 -11,37 -16,95 17,43 -7,86 -0,18 -6,24 -4,40 Sep 19,31 -4,64 12,95 4,60 -9,73 -1,79 7,78 -11,31 -0,03 -14,55 -7,00 -2,72 -6,89 -11,34 21,93 -3,50 4,29 3,77 0,70 Okt 6,48 -7,48 22,69 4,23 -12,62 -12,60 5,46 -27,57 -6,04 -32,99 -16,91 -20,78 -17,97 -23,03 17,40 -13,22 -4,44 -15,04 -7,86 Nov 104,56 47,50 76,75 15,15 9,16 5,12 15,41 -8,65 3,70 -21,56 -3,45 11,64 -6,56 -10,23 20,69 -0,19 4,73 -3,96 -2,99 Des 180,30 37,95 75,11 27,50 47,48 33,76 24,99 8,06 28,25 -1,98 16,92 49,59 11,89 10,53 33,94 18,12 20,46 39,16 20,38

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA


No 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 Kabupaten Jepara Demak Semarang Temanggung Kendal Batang Pekalongan Pemalang Tegal Brebes Kota Magelang Kota Surakarta Kota Salatiga Kota Semarang Kota Pekalongan Kota Tegal Jan 40,98 80,92 50,37 11,56 79,30 60,13 48,86 46,39 48,34 61,08 1,38 5,22 5,37 10,62 4,00 7,46 Feb 57,35 92,67 54,87 19,36 113,22 83,81 64,15 52,01 57,08 77,83 1,79 8,28 6,20 13,34 5,71 8,55 Mar 76,77 140,20 82,17 20,12 84,39 59,27 43,90 46,57 45,69 80,48 1,72 6,47 9,14 20,67 3,87 8,55 Apr 64,28 116,86 70,37 16,30 63,98 43,20 31,09 43,03 36,39 59,45 0,87 3,71 7,62 15,22 2,56 5,38 Mei 39,51 64,24 39,14 7,26 14,73 11,20 3,06 28,77 24,53 30,67 0,24 0,57 4,57 6,47 -0,14 2,98 Neraca Air (m3/det) Jun Jul 11,23 1,62 2,21 -5,33 0,17 -3,67 -0,05 -7,44 7,40 -4,34 6,07 -3,03 -0,52 -6,23 15,46 7,80 8,98 -2,50 3,04 -20,84 -0,07 -0,25 0,14 -0,48 0,68 0,35 -4,97 -5,90 -0,46 -1,02 0,96 -0,66 Agu 1,93 -6,00 -4,72 -7,76 -9,98 -5,57 -7,17 9,30 0,74 -16,69 -0,28 -0,76 0,05 -6,76 -1,22 -0,35 Sep 10,13 6,00 2,84 -3,28 -2,86 -0,39 -2,50 15,51 7,30 -2,21 -0,26 -0,86 0,47 -5,66 -0,90 -0,66 Okt -5,42 -7,46 -6,96 -19,66 -16,32 -12,93 -11,94 -0,67 -16,61 -17,65 -0,36 -0,87 0,28 -6,17 -1,51 -0,54

BAB 3 IDENTIFIKASI MASALAH KEKERINGAN DI PULAU JAWA


Nov 9,74 6,02 1,10 -1,96 7,39 4,38 -1,72 -3,03 -5,35 25,06 0,25 0,16 1,00 -4,33 -0,47 2,25 Des 38,23 63,29 36,38 14,46 54,94 40,11 30,20 24,94 26,57 71,97 0,48 1,33 4,04 5,16 2,34 6,97

3-51

Sumber: hasil analisis Tim Dinamaritama. Tabel 3. 45 Jumlah Bulan Defisit di Propinsi Jawa Tengah
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 Kabupaten/Kota Cilacap Banyumas Purbalingga Banjarnegara Kebumen Purworejo Wonosobo Magelang Boyolali Klaten Sukoharjo Wonogiri Karanganyar Sragen Grobogan Blora Rembang Pati Kudus Jepara Demak Semarang Temanggung Kendal Batang Pekalongan Pemalang Tegal Brebes Kota Magelang Kota Surakarta Kota Salatiga Kota Semarang Kota Pekalongan Kota Tegal 2003 0 5 0 0 5 5 0 7 3 8 6 3 7 7 0 6 0 2 5 1 3 3 5 4 4 6 2 3 4 5 5 0 6 6 4 2005 0 5 0 0 5 5 0 7 3 8 6 3 7 7 0 6 0 2 5 1 3 3 5 4 4 6 2 3 4 5 5 0 6 6 4 2010 0 5 0 0 5 5 0 7 3 8 6 3 7 7 0 6 0 3 5 1 3 3 5 4 4 6 2 3 4 5 4 0 6 6 4 2015 0 5 0 0 5 5 0 7 3 8 6 3 7 7 0 7 0 4 5 1 3 3 5 4 4 6 2 3 4 5 4 0 6 6 4 2020 0 5 0 0 5 5 0 7 3 8 6 3 7 7 0 7 0 4 5 1 3 3 5 4 4 6 2 3 4 5 4 0 6 6 4 2025 0 5 0 0 5 5 0 7 4 8 6 3 7 7 0 7 1 4 5 1 3 3 6 4 4 6 2 3 4 5 4 0 6 7 4

Sumber: hasil analisis Tim Dinamaritama.

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

BAB 3 IDENTIFIKASI MASALAH KEKERINGAN DI PULAU JAWA

3-52
3.1.5 Daerah Istimewa Yogyakarta Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta terdiri dari 4 kabupaten dan 1 kota, yaitu: Kabupaten Kulon Progo, Bantul, Gunung Kidul, Sleman dan Kota Yogyakarta. Kota Yogyakarta memiliki luas wilayah yang relatif kecil apabila dibandingkan dengan kota-kota lainnya tetapi memiliki kepadatan yang cukup tinggi. A. Kebutuhan Air

Semakin meningkatnya populasi yang disertai dengan perkembangan sektorsektor lainnya berdampak juga pada peningkatan akan kebutuhan sumber daya air. Di sisi lain, jumlah air yang ada tidak mungkin bertambah dan ketersediaanya cenderung tidak merata dari waktu ke waktu dan juga cenderung terus berkurang. Pemanfaatan air di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta meliputi pemenuhan untuk kebutuhan rumah tangga, perkotaan, industri, peternakan, perikanan dan irigasi. Secara umum kebutuhan air untuk irigasi jauh lebih besar apabila dibandingkan dengan kebutuhan air untuk sektor lainnya. Kondisi ini akan semakin sulit apabila tidak didukung dengan adanya usaha untuk melakukan perbaikan terhadap kondisi sumber daya air diantaranya konservasi daerah tangkapan hujan dan efisiensi dalam penggunaan air. Di beberapa wilayah di Propinsi DIY laju pertumbuhan penduduk dari tahun 1990 sampai dengan 2003 menunjukkan nilai yang negatif, hal ini mengakibatkan jumlah penduduk untuk terus berkurang apabila dilakukan proyeksi dengan memakai angka pertumbuhan yang negatif tersebut. Dalam pengembangan dan pengelolaan sumber daya air, prioritas utama adalah untuk pemenuhan kebutuhan air minum/rumah tangga, yang kedua adalah untuk pemenuhan kebutuhan jasa perkotaan dan industri, yang ketiga adalah untuk pemenuhan kebutuhan air irigasi dan sisanya dimanfaatkan untuk kegiatan lain. Seiring dengan perkembangan kebutuhan air untuk rumah tangga, perkotaan dan industri maka kebutuhan untuk irigasi seringkali menjadi tidak tercukupi terutama untuk musim tanam kedua atau ketiga dimana hujan yang turun sudah tidak terlalu banyak. Konflik sering terjadi karena adanya perbedaan kepentingan

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

BAB 3 IDENTIFIKASI MASALAH KEKERINGAN DI PULAU JAWA

antar departemen atau instansi pengelola sumber daya air sehingga perlu adanya suatu pengelolaan sumber daya air yang terpadu. 1. Kebutuhan air untuk keperluan rumah tangga, perkotaan dan industri. Kebutuhan air untuk keperluan rumah tangga, perkotaan dan industri di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta cenderung meningkat dari tahun ke tahun sesuai dengan perkembangan jumlah penduduk yang juga terus meningkat di propinsi ini kecuali untuk daerah yang menunjukkan laju pertumbuhan penduduk yang negatif. Kebutuhan air untuk rumah tangga dihitung sebagai kebutuhan air 24 jam untuk 1 (satu) orang yang meliputi air untuk minum, masak, mandi cuci dan sanitasi. Kebutuhan ini sangat dipengaruhi oleh kebiasaan hidup masyarakat dan iklim di daerah tersebut. Kebutuhan air untuk rumah tangga dapat dihitung dengan mengalikan standar kebutuhan air per orang per hari dengan jumlah penduduk di wilayah tersebut. Kebutuhan air untuk keperluan perkotaan (municipal) adalah kebutuhan air untuk fasilitas kota, seperti fasilitas komersial, fasilitas pariwisata, fasilitas ibadah, fasilitas kesehatan dan fasilitas pendukung kota lainnya misalnya pembersihan jalan, pemadam kebakaran, sanitasi kota dan penyiraman tanaman perkotaan. Besarnya kebutuhan air perkotaan dapat ditentukan oleh banyaknya fasilitas perkotaan. Kebutuhan ini sangat dipengaruhi oleh tingkat dinamika kota dan jenjang suatu kota. Kebutuhan air untuk perkotaan diambil sebagai proporsi dari kebutuhan air untuk rumah tangga dengan persentasi antara 25-40% tergantung dari kemajuan daerah itu sendiri. Berikut ini disajikan jumlah penduduk untuk tiap-tiap kabupaten di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta berikut proyeksinya serta kebutuhan air untuk rumah tangga dan perkotaan sampai tahun 2025 pada Tabel 3.46, Tabel 3.47, dan Tabel 3.48.

3-53

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA


Tabel 3. 46 Proyeksi Jumlah Penduduk di Propinsi DIY
N o 1 2 3 4 5 Kabupaten Kulon Progo Bantul Gunung Kidul Sleman Kota Yogyakarta 2003 375.153 815.667 685.605 940.019 390.941 Jumlah Penduduk (jiwa) 2005 2010 2015 368.766 353.270 338.426 834.469 682.405 973.189 384.102 883.392 674.472 1.061.32 5 367.522 935.183 666.630 1.157.44 4 351.658 2020 324.205 990.010 658.880 1.262.26 7 336.478

BAB 3 IDENTIFIKASI MASALAH KEKERINGAN DI PULAU JAWA

3-54
2025 310.582 1.048.05 1 651.220 1.376.58 4 321.954

Sumber: hasil analisis Tim Dinamaritama. Tabel 3. 47 Kebutuhan Air Rumah Tangga di Propinsi DIY N o 1 2 3 4 5 Kabupaten Kulon Progo Bantul Gunung Kidul Sleman Kota Yogyakarta Kebutuhan Air Domestik (m3/det) 2003 2005 2010 2015 2020 0,521 0,512 0,491 0,470 0,450 1,227 1,256 1,329 1,407 1,490 0,476 0,474 0,468 0,463 0,458 1,414 1,464 1,597 1,742 1,899 0,814 0,800 0,766 0,733 0,701 2025 0,431 1,577 0,452 2,071 0,671

Sumber: hasil analisis Tim Dinamaritama. Tabel 3. 48 Kebutuhan Air untuk Perkotaan di Propinsi DIY N o 1 2 3 4 5 Kabupaten Kulon Progo Bantul Gunung Kidul Sleman Kota Yogyakarta Kebutuhan Air Non Domestik (m3/det) 2003 2005 2010 2015 2020 2025 0,156 0,154 0,147 0,141 0,135 0,129 0,368 0,377 0,399 0,422 0,447 0,473 0,143 0,142 0,141 0,139 0,137 0,136 0,424 0,439 0,479 0,522 0,570 0,621 0,244 0,240 0,230 0,220 0,210 0,201

Sumber: hasil analisis Tim Dinamaritama.

Kebutuhan air industri adalah kebutuhan air untuk proses industri, termasuk sebagai bahan baku, kebutuhan air untuk pekerja industri dan pendukung kegiatan industri. Jadi besar kebutuhan air industri ditentukan oleh kebutuhan air untuk diproses, bahan baku industri dan kebutuhan air untuk pekerjaan industri. Sedangkan kebutuhan air untuk pendukung kegiatan industri seperti hidran dapat disesuaikan dengan jenis industrinya. Kebutuhan air untuk keperluan industri sangat dipengaruhi oleh jenis dan skala (ukuran) industri yang ada. Misalnya industri tekstil dan logam berat tentu akan memerlukan

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

BAB 3 IDENTIFIKASI MASALAH KEKERINGAN DI PULAU JAWA

air yang lebih banyak apabila dibandingkan dengan industri perakitan. Semakin modern peralatan dan teknologi yang digunakan suatu industri maka akan semakin efisien air yang digunakan. Berikut ini disajikan Tabel 3.49 yang berisi kebutuhan air untuk industri untuk tiap kabupaten di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta berikut proyeksinya sampai tahun 2025.
Tabel 3. 49 Kebutuhan Air Industri di Propinsi DIY N o 1 2 3 4 5 Kabupaten Kulon Progo Bantul Gunung Kidul Sleman Kota Yogyakarta 2003 0,008 0,055 0,032 0,095 0,031 Kebutuhan Air Industri (m /det) 2005 2010 2015 2020 0,009 0,012 0,016 0,021 0,066 0,105 0,168 0,267 0,032 0,033 0,034 0,035 0,105 0,137 0,177 0,230 0,031 0,031 0,031 0,031
3

3-55

2025 0,028 0,426 0,036 0,299 0,031

Sumber: hasil analisis Tim Dinamaritama.

2. Kebutuhan air untuk keperluan peternakan dan perikanan. Kebutuhan air untuk keperluan peternakan dihitung dengan mengkalikan jumlah ternak yang ada di kabupaten tersebut dengan kebutuhan air untuk tiap jenis ternak. Ternak berkaki empat besar seperti sapi, kerbau dan kuda rata-rata memerlukan air sebesar 40 liter/ekor/hari. Ternak berkaki empat kecil seperti kambing atau domba rata-rata memerlukan air sebanyak 5 liter/ekor/hari. Sedangkan unggas seperti ayam memerlukan air rata-rata 0,6 liter/ekor/hari. Kebutuhan air untuk perikanan adalah kebutuhan air untuk mengisi kolam pada saat awal tanam dan kebutuhan untuk penggantian air. Dipakai standar sebesar 7 mm/hari sebagai kebutuhan air untuk perikanan. Berikut ini disampaikan Tabel 3.50 dan Tabel 3.51 yang berisi kebutuhan air untuk peternakan dan perikanan untuk tiap kabupaten di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta berikut proyeksinya sampai tahun 2025.

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA


Tabel 3. 50 Kebutuhan Air Peternakan di Propinsi DIY N o 1 2 3 4 5 Kabupaten Kulon Progo Bantul Gunung Kidul Sleman Kota Yogyakarta Kebutuhan Air Peternakan (m3/det) 2003 2005 2010 2015 2020 2025 0,037 0,038 0,038 0,038 0,038 0,039 0,036 0,037 0,039 0,041 0,043 0,046 0,071 0,071 0,073 0,074 0,076 0,078 0,048 0,050 0,057 0,064 0,073 0,082 0,001 0,001 0,001 0,000 0,000 0,000

BAB 3 IDENTIFIKASI MASALAH KEKERINGAN DI PULAU JAWA

3-56

Sumber: hasil analisis Tim Dinamaritama. Tabel 3. 51 Kebutuhan Air Perikanan di Propinsi DIY N o 1 2 3 4 5 Kabupaten Kulon Progo Bantul Gunung Kidul Sleman Kota Yogyakarta Kebutuhan Air Perikanan (m3/det) 2003 2005 2010 2015 2020 0,015 0,015 0,015 0,015 0,015 0,070 0,069 0,068 0,067 0,065 0,145 0,144 0,144 0,143 0,143 0,298 0,297 0,293 0,290 0,286 0,006 0,006 0,006 0,006 0,006 2025 0,015 0,064 0,142 0,283 0,006

Sumber: hasil analisis Tim Dinamaritama.

3. Kebutuhan air untuk keperluan irigasi. Kebutuhan air irigasi sangat mendominasi kebutuhan air di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta apabila dibandingkan dengan kebutuhan untuk rumah tangga, perkotaan dan industri serta kebutuhan untuk peternakan dan perikanan. Kebutuhan air untuk irigasi tergantung pada beberapa faktor antara lain seperti luas tanam, jenis tanaman, keadaan iklim (curah hujan dan evapotranspirasi), jenis tanah (untuk memperkirakan laju perkolasi dan kelembaban), cara bercocok tanam dan dan praktek irigasi untuk tanaman padi (kebutuhan air untuk pengolahan lahan dan penggantian lapisan air), sistem golongan dan efisiensi irigasi. Secara umum pola tanam yang ada di wilayah studi adalah padi-padipalawija, namun untuk beberapa daerah tertentu pola tanam yang diterapkan adalah padi-padi-padi apabila memang ketersediaan air mencukupi untuk mendukung pola tersebut. Ada juga daerah lain yang hanya bisa menanam

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

BAB 3 IDENTIFIKASI MASALAH KEKERINGAN DI PULAU JAWA

padi satu kali dalam satu tahun karena air yang tersedia hanya cukup untuk sekali tanam padi. Untuk mengurangi puncak kebutuhan air untuk irigasi khususnya pada awal musim tanam, maka dilakukan penjadwalan awal tanam secara bergiliran yang didasarkan pada besarnya luasan areal maupun lokasi areal. Pembagian penjadwalan waktu tanam tersebut dikelompokkan ke dalam beberapa golongan, masing-masing golongan dibagi berdasarkan ketersediaan air dan luas areal tanam untuk kebutuhan air masa awal pengolahan lahan. Data luas lahan areal irigasi didapatkan dari buku Propinsi Dalam Angka yang dikeluarkan oleh BPS. Dari data luasan lahan areal irigasi tersebut lalu dilakukan proyeksi untuk dapat menentukan luasan lahan areal irigasi di masa yang akan datang sehingga perkiraan kebutuhan air di waktu yang akan datang dapat diperhitungkan pula. Berikut ini disajikan Tabel 3.52, Tabel 3.53 dan Tabel 3.54 yang berisi luas lahan areal irigasi untuk tiap-tiap kabupaten di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta berikut proyeksinya serta kebutuhan air untuk irigasi untuk saat ini dan untuk tahun 2025.
Tabel 3. 52 Proyeksi Luas Lahan Areal Irigasi di Propinsi DIY No 1 2 3 4 5 Kabupaten Kulon Progo Bantul Gunung Kidul Sleman Kota Yogyakarta 2003 10.886 16.198 7.629 23.361 136 Luas Lahan Areal Irigasi (Ha) 2005 2010 2015 2020 10.880 10.866 10.852 10.838 16.190 16.169 16.148 16.127 7.625 7.615 7.605 7.595 23.349 23.319 23.289 23.259 136 136 136 135 2025 10.824 16.106 7.585 23.229 135

3-57

Sumber: hasil analisis Tim Dinamaritama. Tabel 3. 53 Kebutuhan Air Irigasi di Propinsi DIY Tahun 2003
No 1 2 3 4 5 Kabupaten Kulon Progo Bantul Gunung Kidul Sleman Kota Yogyakarta Jan 3,294 5,700 2,662 7,423 0,042 Feb 6,265 8,803 4,197 14,450 0,086 Mar 6,002 10,877 5,156 16,847 0,100 Apr 4,735 10,193 4,830 15,720 0,093 Kebutuhan Air Irigasi (m3/det) Mei Jun Jul Agu 7,016 8,012 8,369 6,397 12,532 13,095 13,164 10,444 5,948 6,199 6,202 4,913 19,640 19,972 19,049 14,864 0,116 0,118 0,111 0,086 Sep 3,322 5,563 2,621 8,066 0,047 Okt 9,288 15,785 7,390 21,241 0,122 Nov 8,020 14,182 6,698 21,090 0,124 Des 2,858 6,074 2,876 9,295 0,055

Sumber: hasil analisis Tim Dinamaritama.

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

BAB 3 IDENTIFIKASI MASALAH KEKERINGAN DI PULAU JAWA

3-58
Tabel 3. 54 Kebutuhan Air Irigasi di Propinsi DIY Tahun 2025
No 1 2 3 4 5 Kabupaten Kulon Progo Bantul Gunung Kidul Sleman Kota Yogyakarta Jan 3,276 5,668 2,646 7,381 0,042 Feb 6,229 8,753 4,172 14,369 0,086 Mar 5,968 10,815 5,127 16,752 0,099 Apr 4,708 10,135 4,803 15,631 0,092 Kebutuhan Air Irigasi (m3/det) Mei Jun Jul Agu 6,976 7,967 8,321 6,361 12,461 13,021 13,090 10,385 5,914 6,163 6,166 4,885 19,529 19,859 18,941 14,780 0,116 0,117 0,110 0,086 Sep 3,303 5,531 2,606 8,021 0,047 Okt 9,235 15,695 7,348 21,121 0,121 Nov 7,974 14,101 6,659 20,971 0,123 Des 2,842 6,039 2,860 9,242 0,054

Sumber: hasil analisis Tim Dinamaritama.

B.

Ketersediaan Air

Wilayah administrasi Propinsi Jawa Tengah yang meliputi 4 kabupaten dan 1 kota seluruhnya termasuk ke dalam wilayah WS Progo-Opak-Oyo. Sungaisungai utama di WS Progo-Opak-Oyo yang diambil airnya untuk dimanfatkan guna mencukupi kebutuhan air adalah adalah Sungai Progo dan anak-anak sungainya, Opak, Oyo dan Serang dengan Waduk Sermo. Besarnya debit sungai sangat dipengaruhi oleh besarnya curah hujan, sehingga ketersediaan air akan sangat bervariasi tergantung musim. Biasanya di musim penghujan air yang tersedia berupa debit aliran di sungai akan sangat banyak dan melimpah dan sebaliknya pada saat musim kemarau air yang tersedia sebagai debit aliran di sungai akan sedikit sekali. Besarnya debit andalan yang dipakai sebagai ketersediaan air dari berbagai titik pengambilan untuk masingmasing kabupaten dapat dilihat pada Tabel 3.55 berikut ini.
Tabel 3. 55 Ketersediaan Air di Propinsi DIY
No 1 2 3 4 5 Kabupaten Kulon Progo Bantul Gunung Kidul Sleman Kota Yogyakarta Jan 33,328 24,436 15,710 32,921 4,751 Feb 41,897 31,544 23,925 42,497 4,728 Mar 40,701 30,395 18,627 40,949 4,212 Apr 24,320 17,796 15,168 23,976 2,980 Ketersediaan Air (m3/det) Mei Jun Jul Agu 13,110 7,532 3,950 2,529 9,553 5,371 2,766 1,744 9,297 6,422 5,410 4,651 12,870 7,236 3,726 2,349 1,805 1,126 0,752 0,496 Sep 1,711 1,149 3,396 1,548 0,292 Okt 2,469 1,212 2,768 1,633 0,445 Nov 13,855 9,900 4,628 13,338 0,699 Des 16,692 11,624 6,980 15,660 1,435

Sumber: hasil analisis Tim Dinamaritama.

C.

Neraca Air

Dalam studi neraca air atau keseimbangan air perlu diketahui jumlah kebutuhan air dari wilayah yang ditinjau dan jumlah ketersediaan air dari titik-titik

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

BAB 3 IDENTIFIKASI MASALAH KEKERINGAN DI PULAU JAWA

pengambilan di sungai-sungai yang melayaninya. Air yang tersedia tergantung dari input yang berupa hujan yang jatuh di daerah tangkapan hujan dan respon masing-masing daerah aliran sungai. Respon masing-masing daerah aliran sungai dipengaruhi oleh jenis penggunaan lahan, kondisi geologi dan kondisi tanah. Sedangkan besarnya kebutuhan tergantung pada jumlah penduduk dan kondisi serta aktifitas masyarakat di masing-masing daerah. Beberapa kriteria yang dipakai dalam analisis neraca air ini adalah sebagai berikut: 1. Hitungan keseimbangan air dilakukan untuk setiap wilayah kabupaten atau kota berikut dengan ketersediaan air di titik-titik pengambilan di sungaisungai yang melayaninya. 2. Ketersediaan air di titik-titik pengambilan di sungai-sungai tersebut dianggap tetap. 3. Kebutuhan dan proyeksi kebutuhan air dihitung berdasarkan data-data jumlah penduduk dan luas lahan yang didapat. 4. Kebutuhan air untuk irigasi dihitung dengan memasukkan faktor intensitas tanam dan pergiliran awal musim tanam untuk mereduksi puncak-puncak kebutuhan air irigasi yang sangat besar. Selengkapnya hasil analisa neraca air untuk Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta tahun 2003 disajikan dalam Tabel 3.56, neraca air untuk tahun 2025 disajikan dalam Tabel 3.57 dan jumlah bulan defisit disajikan dalam Tabel 3.58 berikut ini.

3-59

Tabel 3. 56 Neraca Air di Propinsi DIY Tahun 2003


No 1 2 3 4 5 Kabupaten Kulon Progo Bantul Gunung Kidul Sleman Kota Yogyakarta Jan 29,30 16,98 12,18 23,22 3,61 Feb 34,89 20,99 18,86 25,77 3,54 Mar 33,96 17,76 12,60 21,82 3,01 Apr 18,85 5,85 9,47 5,98 1,79 Mei 5,36 -4,74 2,48 -9,05 0,59 Neraca Air (m3/det) Jun Jul -1,22 -5,16 -9,48 -12,15 -0,64 -1,66 -15,02 -17,60 -0,09 -0,46 Agu -4,61 -10,46 -1,13 -14,79 -0,69 Sep -2,35 -6,17 -0,09 -8,80 -0,85 Okt -7,56 -16,33 -5,49 -21,89 -0,77 Nov 5,10 -6,04 -2,94 -10,03 -0,52 Des 13,10 3,79 3,24 4,09 0,28

Sumber: hasil analisis Tim Dinamaritama.

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

BAB 3 IDENTIFIKASI MASALAH KEKERINGAN DI PULAU JAWA

3-60
Tabel 3. 57 Neraca Air di Propinsi DIY Tahun 2025
No 1 2 3 4 5 Kabupaten Kulon Progo Bantul Gunung Kidul Sleman Kota Yogyakarta Jan 29,41 16,18 12,22 22,18 3,80 Feb 35,03 20,21 18,91 24,77 3,73 Mar 34,09 16,99 12,66 20,84 3,20 Apr 18,97 5,07 9,52 4,99 1,98 Mei 5,49 -5,49 2,54 -10,02 0,78 Neraca Air (m3/det) Jun Jul -1,08 -5,01 -10,24 -12,91 -0,59 -1,60 -15,98 -18,57 0,10 -0,27 Agu -4,47 -11,23 -1,08 -15,79 -0,50 Sep -2,23 -6,97 -0,06 -9,83 -0,66 Okt -7,41 -17,07 -5,42 -22,84 -0,59 Nov 5,24 -6,79 -2,88 -10,99 -0,33 Des 13,21 3,00 3,28 3,06 0,47

Sumber: hasil analisis Tim Dinamaritama. Tabel 3. 58 Jumlah Bulan Defisit di Propinsi DIY No 1 2 3 4 5 Kabupaten/Kota Kulon Progo Bantul Gunung Kidul Sleman Kota Yogyakarta 2003 5 7 6 7 6 2005 5 7 6 7 6 2010 5 7 6 7 6 2015 5 7 6 7 5 2020 5 7 6 7 5 2025 5 7 6 7 5

Sumber: hasil analisis Tim Dinamaritama.

3.1.6

Jawa Timur

Propinsi Jawa Timur terdiri dari 29 kabupaten dan 9 kota. 29 Kabupaten tersebut terdiri dari: Kabupaten Pacitan, Ponorogo, Trenggalek, Tulungagung, Blitar, Kediri, Malang, Lumajang, Jember, Banyuwangi, Bondowoso, Situbondo, Probolinggo, Pasuruan, Sidoarjo, Mojokerto, Jombang, Nganjuk, Madiun, Magetan, Ngawi, Bojonegoro, Tuban, Lamongan, Gresik, Bangkalan, Sampang, Pamekasan dan Sumenep. Sedangkan kesembilan kotanya terdiri dari: Kota Kediri, Blitar, Malang, Probolinggo, Pasuruan, Mojokerto, Madiun, Surabaya dan Batu. A. Kebutuhan Air

Semakin meningkatnya populasi yang disertai dengan perkembangan sektorsektor lainnya di Propinsi Jawa Timur berdampak juga pada peningkatan akan kebutuhan sumber daya air. Di sisi lain, jumlah air yang ada tidak mungkin bertambah dan ketersediaanya cenderung tidak merata dari waktu ke waktu dan juga cenderung terus berkurang.

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

BAB 3 IDENTIFIKASI MASALAH KEKERINGAN DI PULAU JAWA

Pemanfaatan air di Propinsi Jawa Timur meliputi kebutuhan untuk rumah tangga, perkotaan, industri, peternakan, perikanan dan irigasi. Secara umum kebutuhan air untuk irigasi jauh lebih besar apabila dibandingkan dengan kebutuhan air untuk sektor lainnya. Kondisi ini akan semakin sulit apabila tidak didukung dengan adanya usaha untuk melakukan perbaikan terhadap kondisi sumber daya air diantaranya konservasi daerah tangkapan hujan dan efisiensi dalam penggunaan air. Dalam pengembangan dan pengelolaan sumber daya air, prioritas utama adalah untuk pemenuhan kebutuhan air minum/rumah tangga, yang kedua adalah untuk pemenuhan kebutuhan jasa perkotaan dan industri, yang ketiga adalah untuk pemenuhan kebutuhan air irigasi dan sisanya dimanfaatkan untuk kegiatan lain. Seiring dengan perkembangan kebutuhan air untuk rumah tangga, perkotaan dan industri maka kebutuhan untuk irigasi seringkali menjadi tidak tercukupi terutama untuk musim tanam kedua atau ketiga dimana hujan yang turun sudah tidak terlalu banyak. Konflik sering terjadi karena adanya perbedaan kepentingan antar departemen atau instansi pengelola sumber daya air sehingga perlu adanya suatu pengelolaan sumber daya air yang terpadu. 1. Kebutuhan air untuk keperluan rumah tangga, perkotaan dan industri. Kebutuhan air untuk keperluan rumah tangga, perkotaan dan industri di Propinsi Jawa Timur cenderung meningkat dari tahun ke tahun sesuai dengan perkembangan jumlah penduduk yang juga terus meningkat di propinsi ini. Kebutuhan air untuk rumah tangga dihitung sebagai kebutuhan air 24 jam untuk 1 (satu) orang yang meliputi air untuk minum, masak, mandi cuci dan sanitasi. Kebutuhan ini sangat dipengaruhi oleh kebiasaan hidup masyarakat dan iklim di daerah tersebut. Kebutuhan air untuk rumah tangga dapat dihitung dengan mengalikan standar kebutuhan air per orang per hari dengan jumlah penduduk di wilayah tersebut. Kebutuhan air untuk keperluan perkotaan (municipal) adalah kebutuhan air untuk fasilitas kota, seperti fasilitas komersial, fasilitas pariwisata, fasilitas ibadah, fasilitas kesehatan dan fasilitas pendukung kota lainnya misalnya pembersihan jalan, pemadam kebakaran, sanitasi kota dan penyiraman tanaman perkotaan. Besarnya kebutuhan air perkotaan dapat ditentukan oleh

3-61

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

BAB 3 IDENTIFIKASI MASALAH KEKERINGAN DI PULAU JAWA

banyaknya fasilitas perkotaan. Kebutuhan ini sangat dipengaruhi oleh tingkat dinamika kota dan jenjang suatu kota. Kebutuhan air untuk perkotaan diambil sebagai proporsi dari kebutuhan air untuk rumah tangga dengan persentasi antara 25-40% tergantung dari kemajuan daerah itu sendiri. Berikut ini disajikan jumlah penduduk untuk tiap-tiap kabupaten di Propinsi Jawa Timur berikut proyeksinya serta kebutuhan air untuk rumah tangga dan perkotaan sampai tahun 2025 pada Tabel 3.59, Tabel 3.60, dan Tabel 3.61.

3-62

Tabel 3. 59 Proyeksi Jumlah Penduduk di Propinsi Jawa Timur


No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 Kabupaten Pacitan Ponorogo Trenggalek Tulungagung Blitar & K. Blitar Kediri & K. Kediri Malang, K. Malang & K. Batu Lumajang Jember Banyuwangi Bondowoso Situbondo Probolinggo & K. Probolinggo Pasuruan & K. Pasuruan Sidoarjo Mojokerto & K. Mojokerto Jombang Nganjuk Madiun & K. Madiun Magetan Ngawi Bojonegoro Tuban Lamongan Gresik Bangkalan Sampang Pamekasan Sumenep Kota Surabaya 2003 538.390 869.360 671.080 960.070 1.234.070 1.726.870 3.283.700 999.530 2.231.790 1.539.950 708.650 621.070 1.236.510 1.596.450 1.682.280 1.080.500 1.172.440 1.028.260 826.400 620.750 839.950 1.212.700 1.077.090 1.235.890 1.059.820 886.080 833.640 740.150 1.032.260 2.660.380 2005 542.296 872.874 678.887 970.450 1.245.552 1.762.438 3.369.019 1.017.551 2.285.259 1.567.809 721.322 634.302 1.272.028 1.662.305 1.823.189 1.114.896 1.197.399 1.042.625 826.872 615.193 844.133 1.232.433 1.097.523 1.252.598 1.101.530 916.336 872.711 764.571 1.053.292 2.742.379 Jumlah Penduduk (jiwa) 2010 2015 552.186 562.256 881.721 890.657 698.804 719.305 996.893 1.024.057 1.274.728 1.304.586 1.854.651 1.951.769 3.592.150 3.830.068 1.064.038 1.112.648 2.424.603 2.572.444 1.639.680 1.714.846 754.002 788.162 668.629 704.813 1.365.405 1.465.719 1.839.097 2.034.727 2.229.285 2.725.834 1.205.814 1.304.238 1.262.146 1.330.393 1.079.423 1.117.519 828.211 829.773 601.516 588.143 854.682 865.363 1.283.180 1.336.017 1.150.318 1.205.652 1.295.362 1.339.585 1.213.128 1.336.033 996.575 1.083.839 978.588 1.097.311 829.206 899.305 1.107.764 1.165.054 2.958.606 3.191.882 2020 572.510 899.685 740.408 1.051.961 1.335.145 2.054.057 4.083.756 1.163.480 2.729.299 1.793.458 823.871 742.956 1.573.495 2.251.206 3.332.984 1.410.793 1.402.331 1.156.960 831.553 575.067 876.177 1.391.030 1.263.649 1.385.319 1.471.390 1.178.745 1.230.437 975.330 1.225.307 3.443.550 2025 582.951 908.803 762.130 1.080.625 1.366.419 2.161.793 4.354.258 1.216.633 2.895.719 1.875.673 861.197 783.163 1.689.293 2.490.759 4.075.370 1.526.156 1.478.159 1.197.793 833.548 562.282 887.127 1.448.308 1.324.435 1.432.614 1.620.460 1.281.961 1.379.713 1.057.782 1.288.676 3.715.061

Sumber: hasil analisis Tim Dinamaritama.

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA


Tabel 3. 60 Kebutuhan Air Rumah Tangga di Propinsi Jawa Timur

BAB 3 IDENTIFIKASI MASALAH KEKERINGAN DI PULAU JAWA

3-63
2025 0,405 0,841 0,838 1,188 1,502 2,502 6,300 1,338 3,352 2,062 0,947 0,861 1,955 3,604 6,368 2,208 2,139 1,386 0,917 0,618 1,283 1,592 1,456 1,658 2,344 1,187 1,278 0,979 1,193 7,740

N o 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30

Kabupaten Pacitan Ponorogo Trenggalek Tulungagung Blitar & K. Blitar Kediri & K. Kediri Malang, K. Malang & K. Batu Lumajang Jember Banyuwangi Bondowoso Situbondo Probolinggo & K. Probolinggo Pasuruan & K. Pasuruan Sidoarjo Mojokerto & K. Mojokerto Jombang Nganjuk Madiun & K. Madiun Magetan Ngawi Bojonegoro Tuban Lamongan Gresik Bangkalan Sampang Pamekasan Sumenep Kota Surabaya

2003 0,374 0,805 0,738 1,056 1,357 1,999 4,751 1,099 2,583 1,693 0,779 0,683 1,431 2,310 2,629 1,563 1,696 1,190 0,909 0,683 1,215 1,333 1,184 1,430 1,533 0,820 0,772 0,685 0,956 5,542

Kebutuhan Air Domestik 2005 2010 2015 0,377 0,383 0,390 0,808 0,816 0,825 0,746 0,768 0,791 1,067 1,096 1,126 1,370 1,402 1,434 2,040 2,147 2,259 4,874 1,119 2,645 1,724 0,793 0,697 1,472 2,405 2,849 1,613 1,732 1,207 0,909 0,676 1,221 1,355 1,207 1,450 1,594 0,848 0,808 0,708 0,975 5,713 5,197 1,170 2,806 1,803 0,829 0,735 1,580 2,661 3,483 1,745 1,826 1,249 0,911 0,661 1,237 1,411 1,265 1,499 1,755 0,923 0,906 0,768 1,026 6,164 5,541 1,223 2,977 1,886 0,867 0,775 1,696 2,944 4,259 1,887 1,925 1,293 0,912 0,647 1,252 1,469 1,326 1,550 1,933 1,004 1,016 0,833 1,079 6,650

(m3/det) 2020 0,398 0,833 0,814 1,157 1,468 2,377 5,908 1,279 3,159 1,972 0,906 0,817 1,821 3,257 5,208 2,041 2,029 1,339 0,914 0,632 1,268 1,529 1,389 1,603 2,129 1,091 1,139 0,903 1,135 7,174

Sumber: hasil analisis Tim Dinamaritama.

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA


Tabel 3. 61 Kebutuhan Air Perkotaan di Propinsi Jawa Timur N o 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 Kabupaten Pacitan Ponorogo Trenggalek Tulungagung Blitar & K. Blitar Kediri & K. Kediri Malang, K. Malang & K. Batu Lumajang Jember Banyuwangi Bondowoso Situbondo Probolinggo & K. Probolinggo Pasuruan & K. Pasuruan Sidoarjo Mojokerto & K. Mojokerto Jombang Nganjuk Madiun & K. Madiun Magetan Ngawi Bojonegoro Tuban Lamongan Gresik Bangkalan Sampang Pamekasan Sumenep Kota Surabaya Kebutuhan Air Non Domestik (m3/det) 2003 2005 2010 2015 2020 2025 0,112 0,113 0,115 0,117 0,119 0,121 0,241 0,242 0,245 0,247 0,250 0,252 0,221 0,224 0,231 0,237 0,244 0,251 0,317 0,320 0,329 0,338 0,347 0,356 0,407 0,411 0,420 0,430 0,440 0,451 0,600 0,612 0,644 0,678 0,713 0,751 1,425 0,330 0,775 0,508 0,234 0,205 0,429 0,693 0,789 0,469 0,509 0,357 0,273 0,205 0,365 0,400 0,355 0,429 0,460 0,246 0,232 0,206 0,287 1,663 1,462 0,336 0,793 0,517 0,238 0,209 0,442 0,721 0,855 0,484 0,520 0,362 0,273 0,203 0,366 0,407 0,362 0,435 0,478 0,255 0,242 0,212 0,293 1,714 1,559 0,351 0,842 0,541 0,249 0,221 0,474 0,798 1,045 0,523 0,548 0,375 0,273 0,198 0,371 0,423 0,379 0,450 0,527 0,277 0,272 0,230 0,308 1,849 1,662 0,367 0,893 0,566 0,260 0,232 0,509 0,883 1,278 0,566 0,577 0,388 0,274 0,194 0,376 0,441 0,398 0,465 0,580 0,301 0,305 0,250 0,324 1,995 1,772 0,384 0,948 0,592 0,272 0,245 0,546 0,977 1,562 0,612 0,609 0,402 0,274 0,190 0,380 0,459 0,417 0,481 0,639 0,327 0,342 0,271 0,340 2,152 1,890 0,401 1,005 0,619 0,284 0,258 0,587 1,081 1,910 0,662 0,642 0,416 0,275 0,185 0,385 0,478 0,437 0,497 0,703 0,356 0,383 0,294 0,358 2,322

BAB 3 IDENTIFIKASI MASALAH KEKERINGAN DI PULAU JAWA

3-64

Sumber: hasil analisis Tim Dinamaritama.

Kebutuhan air industri adalah kebutuhan air untuk proses industri, termasuk sebagai bahan baku, kebutuhan air pekerja industri dan pendukung kegiatan industri. Jadi besar kebutuhan air industri ditentukan oleh kebutuhan air untuk diproses, bahan baku industri dan kebutuhan air untuk pekerjaan industri. Sedangkan kebutuhan air untuk pendukung kegiatan industri seperti hidran dapat disesuaikan dengan jenis industrinya. Kebutuhan air untuk keperluan industri sangat dipengaruhi oleh jenis dan skala (ukuran) industri yang ada. Misalnya industri tekstil dan logam berat tentu akan memerlukan air yang

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

BAB 3 IDENTIFIKASI MASALAH KEKERINGAN DI PULAU JAWA

lebih banyak apabila dibandingkan dengan industri perakitan. Semakin modern peralatan dan teknologi yang digunakan suatu industri tersebut akan semakin efisien air yang digunakan. Berikut ini disajikan Tabel 3.62 yang berisi kebutuhan air untuk industri untuk tiap kabupaten di Propinsi Jawa Timur berikut proyeksinya sampai tahun 2025.

3-65

Tabel 3. 62 Kebutuhan Air Industri di Propinsi Jawa Timur N o 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 Kabupaten Pacitan Ponorogo Trenggalek Tulungagung Blitar & K. Blitar Kediri & K. Kediri Malang, K. Malang & K. Batu Lumajang Jember Banyuwangi Bondowoso Situbondo Probolinggo & K. Probolinggo Pasuruan & K. Pasuruan Sidoarjo Mojokerto & K. Mojokerto Jombang Nganjuk Madiun & K. Madiun Magetan Ngawi Bojonegoro Tuban Lamongan Gresik Bangkalan Sampang Pamekasan Sumenep Kota Surabaya 2003 0,022 0,033 0,030 0,088 0,339 0,150 0,617 0,114 0,192 0,306 0,081 0,079 0,323 0,701 0,917 0,318 0,069 0,040 0,064 0,016 0,080 0,083 0,265 0,075 1,012 0,051 0,036 0,025 0,065 0,871 Kebutuhan Air Industri (m3/det) 2005 2010 2015 2020 0,025 0,033 0,044 0,059 0,040 0,063 0,099 0,157 0,032 0,037 0,042 0,049 0,092 0,102 0,113 0,126 0,376 0,490 0,639 0,836 0,157 0,175 0,195 0,219 0,645 0,118 0,210 0,316 0,086 0,083 0,330 0,742 1,064 0,388 0,082 0,044 0,067 0,016 0,082 0,088 0,281 0,089 1,019 0,052 0,036 0,025 0,066 0,928 0,720 0,129 0,264 0,343 0,102 0,096 0,347 0,854 1,541 0,639 0,128 0,055 0,077 0,019 0,085 0,102 0,326 0,133 1,035 0,055 0,037 0,025 0,069 1,088 0,803 0,140 0,330 0,373 0,119 0,110 0,365 0,984 2,231 1,054 0,200 0,068 0,090 0,021 0,088 0,118 0,378 0,199 1,052 0,058 0,038 0,025 0,071 1,275 0,896 0,153 0,413 0,404 0,140 0,127 0,384 1,134 3,232 1,737 0,311 0,084 0,106 0,023 0,092 0,137 0,438 0,298 1,068 0,062 0,039 0,025 0,073 1,494 2025 0,078 0,249 0,056 0,140 1,096 0,246 1,000 0,166 0,518 0,439 0,164 0,146 0,404 1,307 4,681 2,862 0,484 0,104 0,126 0,026 0,096 0,159 0,507 0,447 1,086 0,065 0,040 0,025 0,076 1,751

Sumber: hasil analisis Tim Dinamaritama.

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA 2. Kebutuhan air untuk keperluan peternakan dan perikanan.

BAB 3 IDENTIFIKASI MASALAH KEKERINGAN DI PULAU JAWA

3-66

Kebutuhan air untuk keperluan peternakan dihitung dengan mengkalikan jumlah ternak yang ada di kabupaten tersebut dengan kebutuhan air untuk tiap jenis ternak. Ternak berkaki empat besar seperti sapi, kerbau dan kuda rata-rata memerlukan air sebesar 40 liter/ekor/hari. Ternak berkaki empat kecil seperti kambing atau domba rata-rata memerlukan air sebanyak 5 liter/ekor/hari. Sedangkan unggas seperti ayam memerlukan air rata-rata 0,6 liter/ekor/hari. Kebutuhan air untuk perikanan adalah kebutuhan air untuk mengisi kolam pada saat awal tanam dan kebutuhan untuk penggantian air. Dipakai standar sebesar 7 mm/hari sebagai kebutuhan air untuk perikanan. Berikut ini disajikan Tabel 3.63 dan Tabel 3.64 yang berisi kebutuhan air untuk peternakan dan perikanan untuk tiap kabupaten di Propinsi Jawa Timur berikut proyeksinya sampai tahun 2025.

Tabel 3. 63 Kebutuhan Air Peternakan di Propinsi Jawa Timur N o 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 Kabupaten Pacitan Ponorogo Trenggalek Tulungagung Blitar & K. Blitar Kediri & K. Kediri Malang, K. Malang & K. Batu Lumajang Jember Banyuwangi Bondowoso Situbondo Probolinggo & K. Probolinggo Pasuruan & K. Pasuruan Sidoarjo Mojokerto & K. Mojokerto Jombang Nganjuk Madiun & K. Madiun Magetan Ngawi Bojonegoro Kebutuhan Air Peternakan (m3/det) 2003 2005 2010 2015 2020 2025 0,033 0,034 0,035 0,037 0,038 0,040 0,085 0,084 0,085 0,087 0,090 0,093 0,032 0,032 0,034 0,037 0,042 0,047 0,065 0,069 0,081 0,100 0,128 0,171 0,168 0,171 0,180 0,189 0,200 0,211 0,082 0,084 0,091 0,101 0,114 0,130 0,139 0,083 0,117 0,070 0,067 0,067 0,049 0,076 0,013 0,043 0,133 0,078 0,026 0,039 0,055 0,072 0,140 0,083 0,118 0,068 0,067 0,067 0,045 0,076 0,013 0,043 0,130 0,081 0,024 0,038 0,057 0,072 0,143 0,086 0,121 0,064 0,070 0,067 0,038 0,076 0,013 0,044 0,124 0,092 0,021 0,035 0,067 0,073 0,147 0,091 0,123 0,060 0,074 0,068 0,033 0,075 0,013 0,044 0,119 0,106 0,018 0,033 0,083 0,075 0,151 0,098 0,127 0,056 0,079 0,068 0,029 0,075 0,014 0,046 0,115 0,125 0,015 0,030 0,110 0,080 0,156 0,107 0,130 0,053 0,087 0,069 0,026 0,075 0,014 0,048 0,111 0,150 0,013 0,028 0,151 0,088

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA


N o 23 24 25 26 27 28 29 30 Kabupaten Tuban Lamongan Gresik Bangkalan Sampang Pamekasan Sumenep Kota Surabaya Kebutuhan Air Peternakan (m3/det) 2003 2005 2010 2015 2020 2025 0,092 0,091 0,089 0,088 0,086 0,084 0,034 0,032 0,028 0,025 0,023 0,022 0,040 0,041 0,044 0,048 0,055 0,066 0,075 0,074 0,071 0,070 0,071 0,074 0,090 0,091 0,093 0,096 0,099 0,103 0,055 0,055 0,055 0,056 0,057 0,059 0,124 0,123 0,121 0,119 0,118 0,117 0,001 0,001 0,001 0,001 0,001 0,001

BAB 3 IDENTIFIKASI MASALAH KEKERINGAN DI PULAU JAWA

3-67

Sumber: hasil analisis Tim Dinamaritama. Tabel 3. 64 Kebutuhan Air Perikanan di Propinsi Jawa Timur No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 Kabupaten Pacitan Ponorogo Trenggalek Tulungagung Blitar & K. Blitar Kediri & K. Kediri Malang, K. Malang & K. Batu Lumajang Jember Banyuwangi Bondowoso Situbondo Probolinggo & K. Probolinggo Pasuruan & K. Pasuruan Sidoarjo Mojokerto & K. Mojokerto Jombang Nganjuk Madiun & K. Madiun Magetan Ngawi Bojonegoro Tuban Lamongan Gresik Bangkalan Sampang Pamekasan Sumenep Kota Surabaya 2003 0,011 0,024 0,078 0,105 0,107 0,080 3,417 0,164 0,220 1,598 0,020 1,001 1,044 3,310 12,611 0,390 0,047 0,058 0,039 0,014 0,015 0,207 0,527 1,387 14,815 1,232 3,336 0,571 1,078 1,538 Kebutuhan Air Perikanan (m3/det) 2005 2010 2015 2020 0,011 0,011 0,011 0,012 0,008 0,001 0,000 0,000 0,075 0,068 0,062 0,057 0,122 0,174 0,250 0,359 0,132 0,220 0,370 0,620 0,092 0,132 0,188 0,269 3,292 3,003 2,744 2,515 0,207 0,372 0,670 1,206 0,247 0,330 0,442 0,592 1,622 1,684 1,748 1,815 0,022 0,028 0,035 0,044 0,943 0,813 0,701 0,604 0,986 0,855 0,743 0,645 3,309 3,388 3,496 3,611 12,768 13,166 13,578 14,002 0,375 0,340 0,308 0,280 0,047 0,047 0,047 0,047 0,063 0,078 0,098 0,122 0,038 0,034 0,032 0,029 0,014 0,014 0,014 0,014 0,013 0,009 0,006 0,004 0,237 0,329 0,458 0,637 0,503 0,446 0,395 0,350 1,511 1,873 2,320 2,875 15,037 15,607 16,199 16,813 1,151 0,970 0,818 0,689 3,667 4,644 5,882 7,449 0,550 0,501 0,456 0,415 1,038 0,945 0,860 0,783 1,300 0,853 0,560 0,368 2025 0,012 0,000 0,051 0,514 1,040 0,385 2,318 2,170 0,792 1,885 0,056 0,521 0,560 3,730 14,439 0,254 0,047 0,152 0,027 0,014 0,003 0,885 0,311 3,562 17,451 0,581 9,434 0,378 0,713 0,241

Sumber: hasil analisis Tim Dinamaritama.

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA 3. Kebutuhan air untuk keperluan irigasi.

BAB 3 IDENTIFIKASI MASALAH KEKERINGAN DI PULAU JAWA

3-68

Kebutuhan air irigasi sangat mendominasi kebutuhan air di Propinsi Jawa Timur apabila dibandingkan dengan kebutuhan untuk rumah tangga, perkotaan dan industri serta kebutuhan untuk peternakan dan perikanan. Kebutuhan air untuk irigasi tergantung pada beberapa faktor antara lain seperti luas tanam, jenis tanaman, keadaan iklim, (curah hujan dan evapotranspirasi), jenis tanah (untuk memperkirakan laju perkolasi dan kelembaban), cara bercocok tanam dan dan praktek irigasi untuk tanaman padi (kebutuhan air untuk pengolahan lahan dan penggantian lapisan air), sistem golongan dan efisiensi irigasi. Secara umum pola tanam yang ada di wilayah studi adalah padi-padipalawija, namun untuk beberapa daerah tertentu pola tanam yang diterapkan adalah padi-padi-padi apabila memang ketersediaan air mencukupi untuk mendukung pola tersebut. Ada juga daerah lain yang hanya bisa menanam padi satu kali dalam satu tahun karena air yang tersedia hanya cukup untuk sekali tanam padi. Untuk mengurangi puncak kebutuhan air untuk irigasi khususnya pada awal musim tanam, maka dilakukan penjadwalan awal tanam secara bergiliran yang didasarkan pada besarnya luasan areal maupun lokasi areal. Pembagian penjadwalan waktu tanam tersebut dikelompokkan ke dalam beberapa golongan, masing-masing golongan dibagi berdasarkan ketersediaan air dan luas areal tanam untuk kebutuhan air masa awal pengolahan lahan. Data luas lahan areal irigasi didapatkan dari buku Propinsi Dalam Angka yang dikeluarkan oleh BPS. Dari data luasan lahan areal irigasi tersebut lalu dilakukan proyeksi untuk dapat menentukan luasan lahan areal irigasi di masa yang akan datang sehingga perkiraan kebutuhan air di waktu yang akan datang dapat diperhitungkan pula. Berikut ini disajikan Tabel 3.65, Tabel 3.66 dan Tabel 3.67 yang berisi luas lahan areal irigasi untuk tiap-tiap kabupaten di Propinsi Jawa Timur berikut

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

BAB 3 IDENTIFIKASI MASALAH KEKERINGAN DI PULAU JAWA

proyeksinya serta kebutuhan air untuk irigasi untuk saat ini dan untuk tahun 2025.

3-69

Tabel 3. 65 Proyeksi Luas Lahan Areal Irigasi di Propinsi Jawa Timur No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 Kabupaten Pacitan Ponorogo Trenggalek Tulungagung Blitar & K. Blitar Kediri & K. Kediri Malang, K. Malang & K. Batu Lumajang Jember Banyuwangi Bondowoso Situbondo Probolinggo & K. Probolinggo Pasuruan & K. Pasuruan Sidoarjo Mojokerto & K. Mojokerto Jombang Nganjuk Madiun & K. Madiun Magetan Ngawi Bojonegoro Tuban Lamongan Gresik Bangkalan Sampang Pamekasan Sumenep Kota Surabaya 2003 6.123 33.117 10.269 21.061 31.537 47.288 48.117 35.432 84.868 65.736 30.950 31.450 37.573 37.753 24.683 32.617 44.078 38.014 30.812 27.570 46.572 28.871 27.261 50.731 7.618 8.294 4.708 7.037 9.119 367 Luas Lahan Areal Irigasi (Ha) 2005 2010 2015 2020 6.045 5.856 5.672 5.494 32.955 32.552 32.155 31.762 10.384 10.677 10.978 11.288 20.995 20.830 20.666 20.503 31.186 30.325 29.489 28.675 47.297 47.328 47.371 47.426 48.213 48.454 48.699 48.947 36.946 41.019 45.541 50.562 83.793 81.166 78.621 76.156 65.663 65.480 65.298 65.116 31.777 33.944 36.259 38.731 32.038 33.557 35.148 36.814 37.648 37.838 38.035 38.238 37.518 36.937 36.366 35.803 24.370 23.606 22.866 22.149 32.952 33.808 34.694 35.612 43.520 42.155 40.834 39.553 38.056 38.161 38.267 38.373 30.712 30.463 30.217 29.972 27.783 28.322 28.871 29.431 48.107 52.169 56.574 61.351 28.866 28.855 28.843 28.831 26.885 25.966 25.079 24.223 50.089 48.518 46.997 45.523 7.717 7.970 8.232 8.502 8.359 8.522 8.689 8.860 4.689 4.641 4.594 4.547 7.016 6.963 6.910 6.858 9.022 8.783 8.550 8.324 362 351 340 329 2025 5.322 31.374 11.606 20.342 27.884 47.496 49.199 56.136 73.768 64.935 41.372 38.559 38.447 35.250 21.455 36.563 38.313 38.479 29.730 30.002 66.532 28.820 23.395 44.096 8.781 9.033 4.501 6.807 8.104 319

Sumber: hasil analisis Tim Dinamaritama.

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA


Tabel 3. 66 Kebutuhan Air Irigasi di Propinsi Jawa Timur Tahun 2003
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 Kabupaten Pacitan Ponorogo Trenggalek Tulungagung Blitar & K. Blitar Kediri & K. Kediri Malang, K. Malang & K. Batu Lumajang Jember Banyuwangi Bondowoso Situbondo Probolinggo & K. Probolinggo Pasuruan & K. Pasuruan Sidoarjo Mojokerto & K. Mojokerto Jombang Nganjuk Madiun & K. Madiun Magetan Ngawi Bojonegoro Tuban Lamongan Gresik Bangkalan Sampang Pamekasan Sumenep Kota Surabaya Jan 3,347 12,607 4,170 7,931 13,779 21,527 18,889 12,639 35,781 36,394 11,708 11,084 18,259 16,147 7,028 14,652 20,755 14,517 15,609 18,180 23,902 15,571 16,527 32,292 5,158 5,093 3,377 6,050 7,352 0,126 Feb 3,730 17,498 4,104 9,782 10,460 13,778 20,655 19,702 39,654 37,032 15,739 17,783 10,313 15,093 15,492 8,665 9,610 15,731 24,827 12,944 36,847 21,183 15,989 26,373 3,281 6,294 2,503 1,536 3,062 0,182 Mar 4,364 18,186 4,798 10,742 13,318 18,709 23,423 25,030 44,947 42,986 20,892 22,413 19,479 22,771 16,805 14,404 18,076 20,509 23,137 14,575 34,524 20,305 16,520 28,508 3,832 6,504 2,985 3,004 4,602 0,218 Apr 3,685 13,515 3,246 7,451 8,726 11,978 16,040 21,917 33,574 39,690 18,291 19,625 17,039 19,929 14,692 12,561 15,756 17,909 20,286 12,771 30,269 17,801 14,479 24,982 3,357 4,410 1,882 1,533 2,609 0,191 Kebutuhan Air Irigasi (m3/det) Mei Jun Jul Agu 3,298 4,066 4,807 3,741 20,035 24,249 26,673 21,001 4,543 6,252 7,575 6,230 10,535 13,667 15,584 12,623 12,039 17,874 23,185 19,376 16,351 25,620 34,696 29,270 22,558 25,931 42,262 37,781 21,339 23,280 17,963 22,366 19,571 15,328 18,839 22,888 25,217 14,292 37,511 21,773 16,978 28,578 3,685 5,221 2,009 1,036 2,299 0,248 30,177 28,357 51,712 37,601 23,860 25,353 23,456 26,563 20,955 20,383 26,245 27,241 25,568 17,139 38,226 22,670 18,922 33,119 4,553 5,809 2,636 2,575 4,000 0,282 35,543 29,234 60,484 42,243 25,483 25,959 30,616 30,937 20,421 26,560 35,817 31,158 25,870 22,814 39,078 24,165 22,673 42,072 6,293 6,881 3,868 5,702 7,427 0,302 29,031 23,452 50,141 37,045 20,653 20,783 26,082 25,658 16,108 22,625 30,813 25,730 20,049 18,991 30,380 19,022 18,416 34,655 5,281 5,651 3,329 5,226 6,651 0,245 Sep 1,481 12,233 2,952 6,088 9,012 13,466 13,867 14,396 22,603 19,469 12,539 12,786 15,001 15,193 9,909 12,802 17,248 15,060 11,690 10,230 17,653 10,902 10,195 18,888 2,819 3,544 1,985 2,913 3,801 0,146 Okt 4,789 31,949 9,865 19,046 32,155 49,869 44,983 38,376 77,140 68,964 34,798 33,807 49,972 46,011 23,630 41,475 57,872 43,448 29,398 34,354 45,024 29,352 31,199 60,995 9,749 9,943 6,572 11,738 14,280 0,393

BAB 3 IDENTIFIKASI MASALAH KEKERINGAN DI PULAU JAWA

3-70
Nov 3,802 24,911 6,086 12,979 17,914 26,168 29,037 34,645 49,277 60,719 29,729 30,859 32,858 34,772 24,794 28,476 37,719 35,232 29,558 23,081 44,431 26,941 23,981 43,400 6,270 8,361 4,358 5,713 7,792 0,351 Des 1,716 11,162 1,417 3,322 3,697 4,963 7,073 16,155 13,284 28,009 13,663 14,429 13,873 15,415 11,127 11,104 14,365 14,658 14,699 10,326 22,010 13,139 11,183 19,779 2,763 4,235 2,078 2,433 3,480 0,151

Sumber: hasil analisis Tim Dinamaritama.

Tabel 3. 67 Kebutuhan Air Irigasi di Propinsi Jawa Timur Tahun 2025


No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 Kabupaten Pacitan Ponorogo Trenggalek Tulungagung Blitar & K. Blitar Kediri & K. Kediri Malang, K. Malang & K. Batu Lumajang Jember Banyuwangi Bondowoso Situbondo Probolinggo & K. Probolinggo Pasuruan & K. Pasuruan Jan 2,910 11,944 4,713 7,660 12,181 21,627 19,338 20,024 31,101 35,951 15,651 13,590 18,618 15,087 Feb 3,242 16,577 4,638 9,448 9,254 13,828 21,067 31,214 34,467 36,580 21,039 21,802 10,676 14,070 Mar 3,794 17,229 5,422 10,376 11,778 18,784 23,915 39,656 39,069 42,462 27,928 27,479 20,028 21,246 Apr 3,203 12,804 3,669 7,197 7,719 12,025 16,370 34,724 29,183 39,207 24,451 24,062 17,519 18,594 Kebutuhan Air Irigasi (m3/det) Mei Jun Jul Agu 2,867 3,534 4,178 3,252 18,981 22,973 25,270 19,896 5,134 7,066 8,561 7,041 10,175 13,201 15,052 12,192 10,649 15,806 20,500 17,132 16,413 25,726 34,849 29,400 23,018 41,083 36,735 37,320 28,525 28,543 18,510 20,863 30,822 44,927 44,949 37,142 31,895 31,084 24,091 24,788 36,340 46,317 52,574 41,728 34,065 31,828 31,334 28,885 29,689 37,156 43,583 36,594 27,607 25,481 26,672 23,959 Sep 1,287 11,590 3,336 5,880 7,969 13,525 14,177 22,808 19,647 19,232 16,761 15,676 15,354 14,185 Okt 4,162 30,268 11,149 18,395 28,426 50,098 46,040 60,800 67,051 68,124 46,516 41,449 51,009 42,980 Nov 3,305 23,600 6,879 12,536 15,841 26,279 29,670 54,889 42,832 59,979 39,740 37,835 33,675 32,459 Des 1,491 10,575 1,601 3,208 3,271 4,981 7,216 25,595 11,547 27,667 18,264 17,691 14,240 14,386

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA


No 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 Kabupaten Sidoarjo Mojokerto & K. Mojokerto Jombang Nganjuk Madiun & K. Madiun Magetan Ngawi Bojonegoro Tuban Lamongan Gresik Bangkalan Sampang Pamekasan Sumenep Kota Surabaya Jan 6,108 16,362 18,040 14,695 15,063 19,784 34,145 15,544 14,183 28,068 5,945 5,547 3,228 5,852 6,533 0,110 Feb 13,466 9,850 8,353 15,923 23,952 14,085 52,640 21,146 13,722 22,924 3,782 6,854 2,393 1,486 2,721 0,159 Mar 14,608 16,236 15,712 20,760 22,323 15,861 49,320 20,269 14,178 24,780 4,417 7,084 2,854 2,906 4,089 0,190 Apr 12,770 14,160 13,695 18,128 19,572 13,897 43,242 17,770 12,426 21,715 3,870 4,803 1,799 1,483 2,319 0,166 Kebutuhan Air Irigasi (m3/det) Mei Jun Jul Agu 17,011 18,214 17,750 14,001 17,303 16,375 23,169 24,329 15,553 53,587 21,734 14,571 24,841 4,248 5,687 1,921 1,002 2,043 0,216 22,933 22,812 27,575 24,668 18,651 54,609 22,630 16,238 28,787 5,248 6,327 2,520 2,490 3,554 0,245 29,778 31,133 31,539 24,962 24,827 55,826 24,122 19,458 36,570 7,254 7,495 3,697 5,515 6,600 0,262 25,347 26,783 26,045 19,345 20,666 43,401 18,988 15,805 30,122 6,087 6,155 3,183 5,055 5,910 0,213 Sep 8,613 14,354 14,993 15,244 11,280 11,133 25,218 10,883 8,749 16,418 3,250 3,860 1,898 2,817 3,378 0,127 Okt 20,539 46,374 50,303 43,980 28,369 37,384 64,320 29,300 26,775 53,018 11,238 10,829 6,283 11,354 12,690 0,341

BAB 3 IDENTIFIKASI MASALAH KEKERINGAN DI PULAU JAWA


Nov 21,551 31,970 32,785 35,664 28,520 25,117 63,473 26,893 20,581 37,723 7,228 9,106 4,166 5,526 6,924 0,305 Des 9,672 12,489 12,486 14,838 14,182 11,237 31,444 13,116 9,597 17,192 3,185 4,612 1,986 2,354 3,092 0,131

3-71

Sumber: hasil analisis Tim Dinamaritama.

B.

Ketersediaan Air

Wilayah administrasi Propinsi Jawa Timur yang meliputi 29 kabupaten dan 9 kota termasuk ke dalam wilayah 4 WS yaitu WS Bengawan Solo bagian hilir, WS Brantas, WS Pekalen-Sampean dan WS Madura. Sungai utama yang diambil airnya untuk dimanfatkan guna mencukupi kebutuhan air di WS Bengawan Solo adalah adalah Sungai Bengawan Solo beserta dengan anak-anak sungainya. Sungai-sungai utama di WS Brantas yang diambil airnya guna mencukupi kebutuhan air adalah Sungai Brantas dengan Waduk Karangkates, Kesamben dan Wlingi berikut dengan anak-anak sungainya. Sungai-sungai utama di WS Pekalen-Sampean yang diambil airnya guna mencukupi kebutuhan air adalah Sungai Rejoso, Welang, Kedungbajul, Pekalen, Rondoningu, Deluwang, Sampean, Setail, Baru, Sanen, Bedadung dan Bondoyudo. Sungai-sungai utama di WS Madura yang diambil airnya guna mencukupi kebutuhan air adalah Sungai Pejagan, Pandean, Klampis, Sampang, Patemon, Tarokam dan Saroka. Besarnya debit sungai sangat dipengaruhi oleh besarnya curah hujan, sehingga ketersediaan air akan sangat bervariasi tergantung musim. Biasanya di musim penghujan air yang tersedia berupa debit aliran di sungai akan sangat banyak

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

BAB 3 IDENTIFIKASI MASALAH KEKERINGAN DI PULAU JAWA

dan melimpah dan sebaliknya saat musim kemarau air yang tersedia sebagai debit aliran di sungai akan sedikit sekali. Besarnya debit andalan yang dipakai sebagai ketersediaan air dari berbagai titik pengambilan untuk masing-masing kabupaten dapat dilihat pada Tabel 3.68 berikut ini.

3-72

Tabel 3. 68 Ketersediaan Air di Propinsi Jawa Timur


No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 Kabupaten Pacitan Ponorogo Trenggalek Tulungagung Blitar & K. Blitar Kediri & K. Kediri Malang, K. Malang & K. Batu Lumajang Jember Banyuwangi Bondowoso Situbondo Probolinggo & K. Probolinggo Pasuruan & K. Pasuruan Sidoarjo Mojokerto & K. Mojokerto Jombang Nganjuk Madiun & K. Madiun Magetan Ngawi Bojonegoro Tuban Lamongan Gresik Bangkalan Sampang Pamekasan Sumenep Kota Surabaya Jan 58,23 53,19 29,47 93,10 90,20 200,00 114,92 92,23 165,07 140,68 113,32 76,09 103,97 121,03 84,35 136,86 256,33 140,58 38,33 42,32 90,42 80,90 82,61 80,03 66,75 39,75 64,43 29,36 37,76 30,45 Feb 62,07 50,09 37,53 108,84 150,00 270,00 181,76 95,41 158,94 140,00 109,19 73,25 102,59 123,22 92,05 178,70 350,70 229,17 35,10 38,75 119,28 90,65 100,09 89,78 68,56 23,93 38,85 17,67 22,73 31,53 Mar 47,57 63,16 40,60 120,00 139,00 261,50 155,15 75,20 172,10 108,14 107,03 71,71 97,61 113,00 78,44 171,15 327,30 242,19 45,31 50,03 71,21 72,62 67,37 69,40 53,53 8,56 17,08 6,32 8,13 24,14 Apr 43,30 50,34 39,62 132,00 136,00 272,00 158,87 51,07 124,03 94,25 99,43 66,64 91,72 107,75 110,31 165,70 344,04 225,65 36,26 40,04 48,75 50,95 45,95 47,51 83,11 26,56 44,47 19,61 25,22 39,48 Ketersediaan Air (m3/det) Mei Jun Jul Agu 10,31 3,84 2,18 1,75 18,49 8,25 3,13 2,88 20,43 12,06 6,72 6,72 76,50 53,10 48,76 47,70 74,60 65,70 63,00 57,30 121,40 94,35 88,50 69,45 95,87 55,69 76,71 63,80 66,50 44,71 73,71 108,27 54,65 94,71 114,03 112,28 13,04 14,40 13,11 19,14 20,71 17,91 41,31 3,83 6,83 2,83 3,64 19,30 82,51 56,27 53,90 45,62 47,18 31,47 60,22 104,28 37,79 101,44 61,60 89,86 5,55 6,13 6,71 14,33 12,98 12,88 29,70 3,01 5,14 2,22 2,86 14,00 74,86 52,72 42,59 46,39 37,22 24,87 53,40 100,00 22,84 59,40 49,24 55,98 1,97 2,17 4,96 9,04 7,762 11,01 19,02 0,54 0,86 0,40 0,51 8,64 68,23 49,40 44,39 36,68 37,82 25,44 52,76 95,18 22,19 47,04 58,93 55,78 1,87 2,07 4,32 6,70 7,05 8,55 18,32 0,33 0,52 0,24 0,31 8,33 Sep 0,82 1,21 4,76 41,06 45,10 56,10 66,19 50,41 36,89 31,89 32,99 22,06 47,72 89,88 19,40 52,99 38,33 46,76 0,79 0,88 4,40 5,90 6,40 6,75 16,71 0,33 0,53 0,24 0,32 7,64 Okt 0,95 4,20 5,43 40,04 49,70 58,75 53,04 54,68 44,63 39,18 39,90 26,78 54,25 96,57 25,06 62,14 48,92 56,61 2,44 2,69 4,47 5,99 6,74 8,11 21,68 0,28 0,62 0,21 0,27 10,10 Nov 9,66 31,82 19,41 49,00 50,00 76,45 62,34 95,42 59,42 39,19 50,29 33,69 60,75 99,08 39,07 52,90 67,36 72,46 21,10 23,29 23,26 36,21 20,601 30,15 27,75 5,74 10,22 4,24 5,46 12,28 Des 21,22 17,48 32,18 51,62 59,10 103,15 86,68 92,61 81,73 52,87 66,11 43,97 74,28 116,15 64,77 79,87 130,08 80,38 11,02 12,17 37,30 49,49 42,36 40,92 44,04 14,79 23,98 10,92 14,05 20,35

Sumber: hasil analisis Tim Dinamaritama.

C.

Neraca Air

Dalam studi neraca air atau keseimbangan air perlu diketahui jumlah kebutuhan air dari wilayah yang ditinjau dan jumlah ketersediaan dari titik-titik pengambilan di sungai-sungai yang melayaninya. Air yang tersedia tergantung dari input yang berupa hujan yang jatuh di daerah tangkapan hujan dan respon masing-masing

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

BAB 3 IDENTIFIKASI MASALAH KEKERINGAN DI PULAU JAWA

daerah aliran sungai. Respon masing-masing daerah aliran sungai dipengaruhi oleh jenis penggunaan lahan, kondisi geologi dan kondisi tanah. Sedangnya besarnya kebutuhan tergantung pada jumlah penduduk dan kondisi serta aktifitas masyarakat di masing-masing daerah. Beberapa kriteria yang dipakai dalam analisis neraca air ini adalah sebagai berikut: 1. Hitungan keseimbangan air dilakukan untuk setiap wilayah kabupaten atau kota berikut dengan ketersediaan air di titik-titik pengambilan di sungaisungai yang melayaninya. 2. Ketersediaan air di titik-titik pengambilan di sungai-sungai tersebut dianggap tetap. 3. Kebutuhan dan proyeksi kebutuhan air dihitung berdasarkan data-data jumlah penduduk dan luas lahan yang didapat. 4. Kebutuhan air untuk irigasi dihitung dengan memasukkan faktor intensitas tanam dan pergiliran awal musim tanam untuk mereduksi puncak-puncak kebutuhan air irigasi yang sangat besar. Selengkapnya hasil analisa neraca air untuk Propinsi Jawa Timur tahun 2003 disajikan dalam Tabel 3.69, neraca air untuk tahun 2025 disajikan dalam Tabel 3.70 dan jumlah bulan defisit disajikan dalam Tabel 3.71 berikut ini.

3-73

Tabel 3. 69 Neraca Air di Propinsi Jawa Timur Tahun 2003


No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 Kabupaten Pacitan Ponorogo Trenggalek Tulungagung Blitar & K. Blitar Kediri & K. Kediri Malang, K. Malang & K. Batu Lumajang Jember Banyuwangi Bondowoso Situbondo Probolinggo & K. Probolinggo Pasuruan & K. Pasuruan Sidoarjo Jan 54,33 39,40 24,20 83,54 73,99 175,47 85,05 77,81 125,41 100,11 100,43 62,98 82,36 97,79 60,37 Feb 57,80 31,40 32,33 97,43 137,11 253,22 150,12 73,92 115,40 98,80 92,27 53,44 88,93 101,04 59,61 Mar 42,66 43,79 34,71 107,63 123,25 239,79 120,75 48,39 123,27 60,98 84,96 47,27 74,78 83,15 44,68 Apr 39,06 35,65 35,28 122,92 124,84 257,02 131,85 27,36 86,58 50,39 79,97 44,99 71,34 80,74 78,67 Mei 6,47 -2,73 14,79 64,33 60,13 102,04 62,34 27,98 30,56 21,85 43,98 19,40 52,40 78,82 18,13 Neraca Air (m3/det) Jun Jul -0,77 -3,18 -17,18 -24,72 4,71 -1,95 37,80 31,55 45,39 37,38 65,72 50,80 41,35 26,13 -1,70 3,85 22,14 4,08 33,41 70,64 -0,12 28,34 21,70 -21,78 -0,03 10,56 -3,12 19,44 61,98 -14,53 Agu -2,54 -19,30 -0,61 33,45 35,49 37,17 28,22 24,16 -9,63 -4,53 15,99 2,62 23,33 62,44 -10,87 Sep -1,21 -12,21 0,71 33,34 33,65 39,63 41,35 34,23 10,40 8,25 19,28 7,25 29,38 67,60 -7,46 Okt -4,39 -28,93 -5,53 19,36 15,11 5,88 -2,92 14,52 -36,40 -33,95 3,93 -9,05 0,93 43,47 -15,53 Nov 5,31 5,73 12,23 34,39 29,65 47,28 22,32 58,99 6,26 -25,70 19,38 0,80 24,54 57,22 -2,68 Des 18,96 5,13 29,67 46,67 52,97 95,18 68,63 74,67 64,56 20,69 51,27 27,51 57,06 93,65 36,69

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA


No 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 Kabupaten Mojokerto & K. Mojokerto Jombang Nganjuk Madiun & K. Madiun Magetan Ngawi Bojonegoro Tuban Lamongan Gresik Bangkalan Sampang Pamekasan Sumenep Kota Surabaya Jan 119,43 233,13 124,35 21,33 23,19 64,80 63,24 63,66 44,39 43,73 32,24 56,59 21,77 27,90 20,71 Feb 167,25 338,64 211,72 8,89 24,86 80,71 67,37 81,68 60,06 47,43 15,21 31,89 14,60 17,16 21,74 Mar 153,96 306,77 219,96 20,79 34,51 34,96 50,22 48,43 37,54 31,84 -0,36 9,64 1,78 1,03 14,31 Apr 150,36 325,84 206,02 14,59 26,32 16,76 31,06 29,05 19,17 61,89 19,73 38,12 16,54 20,11 29,68 Mei 76,60 92,74 87,67 -13,56 -0,84 -26,12 -4,73 1,31 -14,02 19,77 -3,81 0,36 0,25 -1,16 9,44 Neraca Air (m3/det) Jun Jul 78,28 32,91 60,90 -21,40 -11,96 -33,24 -10,43 -8,36 -23,59 7,29 -5,22 -1,96 -1,89 -3,64 4,11 30,06 10,97 23,11 -25,29 -21,60 -35,84 -17,22 -17,33 -34,42 -5,13 -8,76 -7,47 -6,84 -9,42 -1,27 Agu 21,64 25,66 28,33 -19,56 -17,87 -27,78 -14,42 -13,79 -29,46 -4,81 -7,74 -7,27 -6,52 -8,84 -1,52 Sep 37,40 18,64 29,98 -12,28 -10,31 -14,98 -7,09 -6,21 -15,49 -3,97 -5,63 -5,92 -4,21 -5,99 -2,12 Okt 17,89 -11,41 11,45 -28,34 -32,62 -42,28 -25,46 -26,87 -56,23 -5,93 -12,08 -10,42 -13,07 -16,52 0,09

BAB 3 IDENTIFIKASI MASALAH KEKERINGAN DI PULAU JAWA


Nov 21,65 27,19 35,51 -9,84 -0,74 -22,89 7,18 -5,80 -16,60 3,62 -5,04 1,41 -3,01 -4,84 2,32 Des 65,99 113,26 64,00 -5,06 0,89 13,57 34,26 28,76 17,79 23,42 8,13 17,45 6,95 8,06 10,59

3-74

Sumber: hasil analisis Tim Dinamaritama. Tabel 3. 70 Neraca Air di Propinsi Jawa Timur Tahun 2025
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 Kabupaten Pacitan Ponorogo Trenggalek Tulungagung Blitar & K. Blitar Kediri & K. Kediri Malang, K. Malang & K. Batu Lumajang Jember Banyuwangi Bondowoso Situbondo Probolinggo & K. Probolinggo Pasuruan & K. Pasuruan Sidoarjo Mojokerto & K. Mojokerto Jombang Nganjuk Madiun & K. Madiun Magetan Ngawi Bojonegoro Tuban Lamongan Gresik Bangkalan Sampang Pamekasan Sumenep Kota Surabaya Jan 54,67 39,82 23,52 83,07 73,66 174,25 83,07 68,03 128,18 99,67 96,13 60,65 81,71 96,15 50,84 114,46 234,88 123,69 21,84 21,67 54,36 62,16 65,63 45,78 39,16 31,95 49,97 21,77 28,77 18,29 Feb 58,18 32,08 31,65 97,02 136,38 252,05 148,18 60,02 118,68 98,37 86,61 49,60 88,28 99,35 51,18 162,82 338,93 211,04 9,73 23,80 64,73 66,30 83,58 60,68 43,14 14,82 25,23 14,45 17,55 19,32 Mar 43,12 44,49 33,94 107,26 122,86 238,59 118,72 31,37 127,24 60,62 77,57 42,38 73,94 81,96 36,43 148,88 308,17 219,22 21,57 33,31 19,98 49,15 50,40 38,43 27,47 -0,78 3,00 1,69 1,59 11,90 Apr 39,44 36,11 34,71 122,43 123,92 255,85 129,99 12,16 89,06 49,99 73,45 40,73 70,56 79,37 70,13 145,51 326,93 205,32 15,27 25,27 3,60 29,98 30,74 19,61 57,59 19,50 31,44 16,40 20,45 27,26 Mei 6,79 -1,92 14,06 63,96 59,59 100,86 60,34 10,43 34,18 21,43 36,44 14,31 51,56 77,62 10,23 71,37 94,24 86,91 -12,70 -2,02 -42,39 -5,80 3,35 -13,11 15,42 -4,11 -6,33 0,10 -0,86 7,04 Neraca Air (m3/det) Jun Jul -0,34 -2,65 -16,15 -23,57 3,75 -3,08 37,53 31,34 45,53 38,14 64,50 49,53 39,17 7,17 3,16 3,42 13,75 -1,47 32,49 69,70 -7,84 72,48 35,37 60,08 -20,54 -13,39 -49,81 -11,50 -6,05 -22,09 2,81 -5,57 -8,61 -2,00 -3,15 1,70 26,01 2,22 -15,78 -0,40 1,62 -8,81 18,43 61,32 -22,31 23,59 14,69 22,24 -24,42 -23,52 -52,78 -18,28 -14,49 -31,74 -9,88 -9,21 -14,07 -6,85 -8,54 -3,67 Agu -2,16 -18,45 -1,56 33,14 35,81 35,93 26,03 8,06 -4,98 -4,96 8,68 -1,90 22,45 61,43 -19,22 15,66 28,73 27,53 -18,89 -19,46 -40,99 -15,49 -11,55 -27,76 -9,41 -8,09 -13,89 -6,55 -8,05 -3,93 Sep -1,12 -11,81 0,18 32,81 32,77 38,45 39,50 23,43 11,45 7,61 14,70 4,54 28,73 65,90 -16,62 32,60 19,92 29,31 -11,91 -11,12 -22,74 -8,18 -5,14 -15,85 -8,19 -5,79 -12,60 -4,30 -5,52 -4,54 Okt -3,86 -27,50 -6,96 19,28 16,91 4,53 -5,51 -10,29 -28,22 -34,00 -8,15 -16,52 -0,40 43,80 -22,89 9,74 -4,80 10,43 -27,35 -35,56 -61,77 -26,51 -22,82 -51,09 -11,21 -12,81 -16,90 -12,88 -14,88 -2,30 Nov 5,70 6,79 11,29 34,10 29,80 46,05 20,15 36,35 10,80 -25,85 9,02 -6,00 23,44 56,83 -9,89 14,90 31,15 34,59 -8,84 -2,69 -42,13 6,12 -2,77 -13,76 -1,12 -5,62 -5,17 -3,02 -3,92 -0,08 Des 19,08 5,47 29,34 46,04 51,47 94,05 66,96 62,84 64,39 20,15 46,31 24,42 56,40 91,97 27,69 61,35 114,17 63,34 -4,58 0,06 3,95 33,18 29,97 17,55 19,21 7,92 10,77 6,84 8,50 8,17

Sumber: hasil analisis Tim Dinamaritama.

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA


Tabel 3. 71 Jumlah Bulan Defisit di Propinsi Jawa Timur No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 Kabupaten/Kota Pacitan Ponorogo Trenggalek Tulungagung Blitar & K. Blitar Kediri & K. Kediri Malang, K. Malang & K. Batu Lumajang Jember Banyuwangi Bondowoso Situbondo Probolinggo & K. Probolinggo Pasuruan & K. Pasuruan Sidoarjo Mojokerto & K. Mojokerto Jombang Nganjuk Madiun & K. Madiun Magetan Ngawi Bojonegoro Tuban Lamongan Gresik Bangkalan Sampang Pamekasan Sumenep Kota Surabaya 2003 5 6 3 0 0 0 1 0 4 4 0 2 0 0 6 0 1 0 8 7 7 6 6 7 4 8 5 6 7 3 2005 5 6 3 0 0 0 1 0 4 4 0 2 0 0 6 0 1 0 8 7 7 6 6 7 4 8 6 6 7 3 2010 5 6 3 0 0 0 1 0 3 4 0 3 0 0 6 0 1 0 8 7 7 6 6 7 4 8 7 6 7 4 2015 5 6 3 0 0 0 1 0 3 4 1 3 0 0 6 0 1 0 8 7 7 6 6 7 4 8 7 6 7 4 2020 5 6 3 0 0 0 1 1 3 4 1 5 1 0 6 0 1 0 8 7 7 6 6 7 4 8 7 6 7 4

BAB 3 IDENTIFIKASI MASALAH KEKERINGAN DI PULAU JAWA

3-75
2025 5 6 3 0 0 0 1 1 3 4 1 5 1 0 6 0 1 0 8 7 7 6 6 7 4 8 7 6 7 5

Sumber: hasil analisis Tim Dinamaritama.

3.2

ANALISIS POTENSI AIR TANAH

Pemanfaatan sumber daya air tanah mempunyai peranan penting dalam menunjang kehidupan masyarakat, terutama sebagai sumber pasokan alternatif untuk kebutuhan akan air bersih dan air minum sehari-hari penduduk (rumah tangga), kegiatan industri, dan usaha komersial lainnya. Pemanfaatan air tanah ini biasanya akan mempunyai kecenderungan semakin meningkat seiring dengan pesatnya laju perkembangan penduduk dan kemajuan pembangunan.

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

BAB 3 IDENTIFIKASI MASALAH KEKERINGAN DI PULAU JAWA

Air tanah terdapat di dalam suatu lapisan batuan pengandung air (akuifer) yang dipengaruhi oleh sifat fisik batuan, yaitu kesarangan (porosity) dan kelulusan (permeability) batuan. Batuan yang mempunyai kesarangan efektif dan kelulusan tinggi akan mempunyai potensi air yang lebih besar. Karena tingkat kesarangan dan kelulusan batuan itu ditentukan terutama oleh tingkat konsolidasinya, dalam kaitannya dengan hidrogeologi, batuan-batuan dikelompokkan menjadi bahan lepas atau setengah padu dan batuan padu. Bahan lepas berukuran butir pasir atau lebih kasar dan batuan padu memiliki celahan atau rekahan dapat bertindak sebagai akuifer, sedangkan bahan lepas berbutir lempung dan batuan padu yang tak bercelah tidak dapat bertindak sebagai akuifer (non akuifer). Hidrogeologi merupakan ilmu tentang keterdapatan, sebaran, dan pergerakan air tanah dengan tekanan pada hubungannya terhadap kondisi geologi suatu daerah. Sebaran dan pergerakan air tanah dipengaruhi oleh beberapa faktor terutama jenis dan sifat fisik batuan, curah hujan, morfologi dan tutupan lahan (land coverage). Pemanfaatan air tanah dalam di daerah Jakarta, menurut catatan yang ada, telah dimulai sejak abad ke 19, yaitu sejak dilakukannya pemboran pertama pada tahun 1848 pada masa pemerintahan Hindia Belanda, di Fort Prins Hendrik (sekitar Mesjid Istiqlal) Jakarta. Setelah pemboran pertama tersebut sukses, maka pemanfaatan air tanah untuk penyediaan air bersih mengalami peningkatan yang berarti. Dalam perkembangannya, pengambilan air tanah dalam jumlah yang cukup berarti dan dianggap sebagai awal pemanfaatan air tanah dimulai pada tahun 1879. Pada saat itu tercatat jumlah pengambilan air tanah dari 13 sumur bor yang ada di Kota Jakarta kurang lebih 3,4 juta m3/tahun. Sedangkan di daerah Bandung dan sekitarnya air tanah dalam mulai dimanfaatkan sejak tahun 1893, setelah pengeboran di Hoofdienschool (sekarang kira-kira di Tegalega). Sejak saat itu pemanfaatan air tanah dalam untuk penyediaan air bersih mengalami peningkatan sampai dengan saat ini. Pemanfaatan air tanah dalam menunjang kegiatan pembangunan pada masa sekarang ini dirasakan semakin meningkat sehingga menuntut adanya upaya pengelolaan sumberdaya tersebut secara utuh yang berlandaskan fungsi sosial dan ekonomi, kemanfaatan, keterpaduan dan keserasian, keseimbangan,

3-76

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

BAB 3 IDENTIFIKASI MASALAH KEKERINGAN DI PULAU JAWA

kelestarian, keadilan, kemandirian, serta transparansi dan akuntabilitas publik. Tujuannya agar ketersediaan dan pemanfaatan air tanah dapat menjamin kelangsungan pembangunan secara berkelanjutan untuk generasi sekarang dan mendatang. Di beberapa daerah, pemanfaatan sumber daya air tanah tersebut bahkan digolongkan strategis karena telah menjadi komoditi ekonomi yang memiliki peran penting dalam meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD). Dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah sebagaimana diamanatkan oleh UndangUndang No. 22 Tahun 1999 dan Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 2000, daerah memiliki kewenangan dalam pengelolaan air tanah yang tersedia di wilayahnya dan bertanggungjawab memelihara kelestarian lingkungan. Hal tersebut mengandung arti pelaksanaan kewenangan pengelolaan air tanah tetap harus berlandaskan azas pengelolaan yang muaranya adalah ketersediaan sumber daya air tanah secara berkelanjutan (sustainable groundwater resource) yang dapat menjamin pemanfaatannya yang berkelanjutan (sustainable

3-77

groundwater

development). Kendala yang dihadapi oleh sebagian besar

pemerintah daerah otonom saat ini adalah terbatasnya data dan informasi potensi air tanah yang diperlukan sebagai acuan dasar dalam pengelolaan air tanah secara utuh.

3.2.1

Pembagian Cekungan Air Tanah

Cekungan air tanah adalah suatu wilayah yang dibatasi oleh batas-batas hidrogeologi, tempat berlangsungnya semua kejadian hidrogeologi seperti pengimbuhan, pengaliran dan pelepasan air tanah. Pembagian cekungan air tanah untuk Pulau Jawa dan Madura didasarkan pada Peta Cekungan Air Tanah yang diperoleh dari Direktorat Tata Lingkungan Geologi dan Kawasan Pertambangan, Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral. Peta ini merupakan lampiran dari Surat Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral No. 716 K/40/MEM/2003.

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

BAB 3 IDENTIFIKASI MASALAH KEKERINGAN DI PULAU JAWA

Pada Tabel 3.72 berikut ini disajikan nama-nama cekungan air tanah beserta dengan jumlah alirannya baik itu jumlah aliran tertekan maupun jumlah aliran bebas.

3-78

Tabel 3. 72 Cekungan Air Tanah (CAT) di Pulau Jawa dengan Jumlah Alirannya No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 Nama CAT CAT Labuhan CAT Rawadanau CAT Serang-Tangerang CAT Malingping CAT Jakarta CAT Bogor CAT Sukabumi CAT Cianjur CAT Jampangkulon CAT Bekasi-Karawang CAT Subang CAT Ciater CAT Lembang CAT Batujajar CAT Bandung-Soreang CAT Cibuni CAT Banjarsari CAT Tasikmalaya CAT Garut CAT Malangbong CAT Sumedang CAT Sukamantri CAT Ciamis CAT Kawali CAT Kuningan CAT Majalengka CAT Indramayu CAT Sumber-Cirebon CAT Majenang CAT Sidareja CAT Tegal-Brebes CAT Lebaksiu CAT Purwokerto-Purbalingga CAT Cilacap CAT Nusakambangan CAT Kroya CAT Banyumudal CAT Pekalongan-Pemalang CAT Kebumen-Purworejo CAT Karangkobar CAT Subah CAT Wonosobo CAT Magelang-Temanggung Luas (km2) 725,91 396,32 2.809,45 719,05 1.432,85 1.305,07 864,24 451,98 382,21 3.567,56 1.492,52 525,74 207,47 70,13 1.702,12 618,77 603,78 1.218,23 893,43 510,89 484,39 150,85 571,63 299,32 506,12 699,00 1.255,90 1.390,21 108,33 480,95 1.614,26 663,75 1.294,87 225,03 47,10 439,11 70,17 1.688,10 1.108,41 300,14 851,56 657,76 1.674,85 Jumlah Aliran (juta m /th) Bebas Tertekan Total 836 27 863 180 13 193 1.075 18 1.093 384 2 386 803 40 843 1.019 37 1.056 759 34 793 451 16 467 276 0 276 1.483 6 1.489 428 3 431 413 30 443 164 16 180 103 1 104 795 117 912 595 28 623 550 30 580 978 69 1.047 691 87 778 415 30 445 519 28 547 98 13 111 448 14 462 224 7 231 445 21 466 554 5 559 362 46 408 638 4 642 18 0 18 46 0 46 248 11 259 366 3 369 503 10 513 43 0 43 23 0 23 65 0 65 49 0 49 644 17 661 130 0 130 153 4 157 427 8 435 210 8 218 872 14 886
3

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA


No 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72 73 74 75 76 77 78 79 80 Nama CAT CAT Yogyakarta-Sleman CAT Wates CAT Kendal CAT Sidomulyo CAT Rawapening CAT Ungaran CAT Salatiga CAT Semarang-Demak CAT Karanganyar-Boyolali CAT Eromoko CAT Wonosari CAT Kudus CAT Jepara CAT Pati-Rembang CAT Lasem CAT Watuputih CAT Randublatung CAT Ngawi-Ponorogo CAT Surabaya-Lamongan CAT Tuban CAT Panceng CAT Brantas CAT Bulukawang CAT Sumberbening CAT Pasuruan CAT Probolinggo CAT Lumajang-Jember CAT Besuki CAT Bondowoso-Situbondo CAT Wonorejo CAT Banyuwangi CAT Blambangan CAT Bangkalan CAT Ketapang CAT Sampang-Pamekasan CAT Sumenep CAT Toranggo K/40/MEM/2003. Luas (km2) 842,12 172,08 399,15 198,19 287,63 401,85 335,52 1.925,05 3.930,86 237,37 1.538,98 1.230,83 555,87 1.060,89 422,75 32,51 279,91 4.066,97 2.387,25 576,39 180,50 10.123,6 8 607,02 741,10 1.649,73 1.807,14 4.004,52 516,90 2.505,55 564,10 1.890,23 420,52 398,95 616,75 1.196,17 487,23 107,31

BAB 3 IDENTIFIKASI MASALAH KEKERINGAN DI PULAU JAWA

Jumlah Aliran (juta m3/th) Bebas Tertekan Total 504 9 513 38 0 38 79 2 81 42 0 42 133 13 146 145 8 153 10 2 12 783 19 802 1.338 21 1.359 10 0 10 463 0 463 436 11 447 176 4 180 273 4 277 107 9 116 3 0 3 23 9 32 1.547 66 1.613 843 37 880 160 0 160 27 41 68 3.674 163 238 628 711 2.625 446 1.426 406 1.163 124 77 137 238 130 21 175 0 0 43 124 131 33 172 27 70 0 0 0 57 0 0 3.849 163 238 671 835 2.756 479 1.598 433 1.233 124 77 137 295 130 21

3-79

Sumber: Surat Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral No. 716

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

BAB 3 IDENTIFIKASI MASALAH KEKERINGAN DI PULAU JAWA

3.2.2

Jenis Aquifer Air Tanah

3-80

Dalam pembahasan hidrogeologi dan potensi air tanah sering dijumpai istilahistilah berikut: a. Aquifer. Satuan geologi yang mempunyai permeabilitas tinggi, mempunyai kapasitas debit yang ekonomis untuk sumur produksi. b. Aquitard. Satuan geologi yang memiliki permeabilitas rendah, mempunyai kapasitas debit yang tidak ekonomis untuk sumur produksi. c. Aquiclude. Satuan geologi yang bersifat kedap air, tidak dapat mengalirkan air sama sekali. d. Major Aquifer. Akuifer dengan permeabilitas dan cadangan yang cukup besar, dimana hasil dari sumur produksinya cukup untuk melayani kebutuhan rumah tangga, industri dan irigasi. e. Minor Aquifer. Akuifer dengan permeabilitas dan cadangan yang terbatas, dimana hasil dari sumur produksinya cukup untuk melayani kebutuhan rumah tangga, sedangkan untuk industri dan irigasi layanannya terbatas. f.

Poor Aquifer. Merupakan akuifer lokal dengan permeabilitas dan cadangan


yang hanya cukup untuk melayani kebutuhan rumah tangga saja.

Peta cekungan air tanah tersebut diatas mengungkapkan bahwa air tanah di Pulau Jawa dan Madura dijumpai dalam 2 (dua) sistem akuifer, yakni sistem akuifer tak tertekan (unconfined aquifer system) yang sering disebut sistem akuifer dangkal (shallow aquifer system) dan sistem akuifer tertekan (confined

aquifer system) yang sering disebut akuifer tertekan (deep aquifer system).

Akufer tak tertekan yang dimaksud adalah akuifer yang dibatasi di bagian atasnya oleh muka air bertekanan sama dengan tekanan udara luar dan di bagian bawahnya oleh lapisan batuan yang secara nisbi bersifat kedap air. Jenis litologi akuifer tak tertekan diperoleh secara langsung dari singkapan batuan dan pengamatan terhadap dinding sumur gali yang dipakai untuk penyelidikan

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

BAB 3 IDENTIFIKASI MASALAH KEKERINGAN DI PULAU JAWA

geologi. Sebaran akuifer tertekan secara vertikal diketahui berdasarkan hasil analisis data geolistrik dan data-data pengeboran yang tersedia. Data tersebut meliputi jenis litologi, kedudukan akuifer dan sifat air tanah yang dikandungnya.

3-81

3.2.3

Potensi Air Tanah

Untuk dapat mengetahui potensi air tanah yang dimiliki oleh tiap wilayah kabupaten atau kota maka digunakan suatu metoda perhitungan dengan memanfaatkan data yang ada dengan langkap-langkah sebagai berikut: 1. Meng-overlay peta cekungan air tanah yang sudah diperoleh dari Direktorat Tata Lingkungan Geologi dan Kawasan Pertambangan Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral dengan peta batas wilayah administrasi yang diperoleh dari BPS. 2. Membagi luasan daerah cekungan air tanah tersebut ke dalam wilayah administrasi kabupaten atau kota sesuai dengan batas wilayah administrasi dari kabupaten atau kota yang meliputinya. 3. Membagi jumlah aliran yang dimiliki oleh setiap cekungan air tanah ke dalam wilayah-wilayah administrasi kabupaten atau kota yang meliputinya sebanding dengan perbandingan luas daerah cekungan air tanah yang telah dibagi sebelumnya. 4. Menjumlahkan aliran-aliran dari cekungan-cekungan air tanah yang berada dalam tiap kabupaten dan kota, hasilnya adalah potensi air tanah yang dimiliki oleh tiap kabupaten atau kota. Hasil dari perhitungan potensi air tanah untuk tiap kabupaten dan kota tersebut di tiap propinsi disajikan dalam Tabel 3.73 sampai dengan Tabel 3.78 pada halaman berikut ini.

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA


Tabel 3. 73 Potensi Air Tanah di Propinsi Banten No 1 2 3 4 5 6 Kabupaten Pandeglang Lebak Tangerang Serang Kota Tangerang Kota Cilegon Potensi Air Tanah (m3/detik) (juta m3/tahun) 1.112,34 35,27 345,40 10,95 451,23 14,31 631,35 20,02 101,09 3,21 54,65 1,73

BAB 3 IDENTIFIKASI MASALAH KEKERINGAN DI PULAU JAWA

3-82

Sumber: hasil analisis Tim Dinamaritama. Tabel 3. 74 Potensi Air Tanah di Propinsi DKI Jakarta No 1 2 3 4 5 Kabupaten Jakarta Selatan Jakarta Timur Jakarta Pusat Jakarta Barat Jakarta Utara Potensi Air Tanah 3 3 (juta m /tahun) (m /detik) 89,95 2,85 111,36 3,53 30,75 0,97 72,77 2,31 79,28 2,51

Sumber: hasil analisis Tim Dinamaritama. Tabel 3. 75 Potensi Air Tanah di Propinsi Jawa Barat No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 Kabupaten Bogor Sukabumi Cianjur Bandung Garut Tasikmalaya Ciamis Kuningan Cirebon Majalengka Sumedang Indramayu Subang Purwakarta Karawang Bekasi Kota Bogor Kota Sukabumi Kota Bandung Kota Cirebon Kota Bekasi Kota Depok Potensi Air Tanah (m3/detik) (juta m3/tahun) 1.122,29 35,59 1.034,35 32,80 849,96 26,95 1.514,95 48,04 1.528,81 48,48 771,38 24,46 907,64 28,78 391,62 12,42 342,94 10,87 781,67 24,79 883,07 28,00 731,53 23,20 707,25 22,43 253,83 8,05 638,68 20,25 482,66 15,31 87,72 2,78 32,82 1,04 80,76 2,56 10,48 0,33 119,63 3,79 124,70 3,95

Sumber: hasil analisis Tim Dinamaritama.

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA


Tabel 3. 76 Potensi Air Tanah di Propinsi Jawa Tengah No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 Kabupaten Cilacap Banyumas Purbalingga Banjarnegara Kebumen Purworejo Wonosobo Magelang Boyolali Klaten Sukoharjo Wonogiri Karanganyar Sragen Grobogan Blora Rembang Pati Kudus Jepara Demak Semarang Temanggung Kendal Batang Pekalongan Pemalang Tegal Brebes Kota Magelang Kota Surakarta Kota Salatiga Kota Semarang Kota Pekalongan Kota Tegal Potensi Air Tanah (m3/detik) (juta m3/tahun) 131,75 4,18 242,94 7,70 160,41 5,09 302,72 9,60 124,18 3,94 58,21 1,85 220,69 7,00 560,79 17,78 245,06 7,77 227,35 7,21 163,76 5,19 348,72 11,06 282,55 8,96 224,62 7,12 342,69 10,87 38,67 1,23 105,64 3,35 329,50 10,45 144,86 4,59 326,67 10,36 380,72 12,07 242,80 7,70 407,06 12,91 288,19 9,14 337,67 10,71 352,16 11,17 301,48 9,56 197,20 6,25 250,40 7,94 5,14 0,16 29,44 0,93 12,64 0,40 146,23 4,64 32,95 1,04 6,68 0,21

BAB 3 IDENTIFIKASI MASALAH KEKERINGAN DI PULAU JAWA

3-83

Sumber: hasil analisis Tim Dinamaritama. Tabel 3. 77 Potensi Air Tanah di Propinsi DIY No 1 2 3 4 5 Kabupaten Kulonprogo Bantul Gunungkidul Sleman Kota Yogyakarta Potensi Air Tanah (m3/detik) (juta m3/tahun) 59,75 1,89 167,08 5,30 297,79 9,44 311,88 9,89 19,41 0,62

Sumber: hasil analisis Tim Dinamaritama.

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA


Tabel 3. 78 Potensi Air Tanah di Propinsi Jawa Timur No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 Kabupaten Pacitan Ponorogo Trenggalek Tulungagung Blitar Kediri Malang Lumajang Jember Banyuwangi Bondowoso Situbondo Probolinggo Pasuruan Sidoarjo Mojokerto Jombang Nganjuk Madiun Magetan Ngawi Bojonegoro Tuban Lamongan Gresik Bangkalan Sampang Pamekasan Sumenep Kota Kediri Kota Blitar Kota Malang Kota Probolinggo Kota Pasuruan Kota Mojokerto Kota Madiun Kota Surabaya Potensi Air Tanah (m3/detik) (juta m3/tahun) 65,71 2,08 421,73 13,37 10,70 0,34 315,34 10,00 460,27 14,60 595,20 18,87 1.178,00 37,35 1.088,80 34,53 1.695,89 53,78 1.642,60 52,09 1.034,75 32,81 1.170,37 37,11 833,08 26,42 615,85 19,53 264,09 8,37 360,32 11,43 380,47 12,06 454,63 14,42 441,68 14,01 288,28 9,14 441,29 13,99 254,97 8,09 320,71 10,17 319,06 10,12 233,58 7,41 191,21 6,06 154,55 4,90 115,55 3,66 193,59 6,14 26,44 0,84 14,20 0,45 28,52 0,90 23,87 0,76 16,43 0,52 6,80 0,22 12,23 0,39 114,39 3,63

BAB 3 IDENTIFIKASI MASALAH KEKERINGAN DI PULAU JAWA

3-84

Sumber: hasil analisis Tim Dinamaritama.

3.2.4

Prospek Pengembangan Air Tanah

Peningkatan kebutuhan akan air bersih untuk rumah tangga dan industri yang cenderung meningkat pada akhirnya akan meningkatkan pengambilan air tanah sebagai salah satu pilihan untuk mencukupinya. Pengambilan air tanah dapat menimbulkan dampak negatif bagi sumber daya air tanah dan lingkungan

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

BAB 3 IDENTIFIKASI MASALAH KEKERINGAN DI PULAU JAWA

sekitarnya apabila tidak dilakukan dengan tepat, apalagi kalau daerah yang akan dikembangkan tersebut terletak di daerah pantai karena rentan terhadap terjadinya kontaminasi air laut. Salah satu indikasi perubahan kondisi air tanah di suatu daerah adalah adanya penurunan muka air tanah dan juga penurunan kualitas yang disebabkan oleh pengambilan air tanah secara berlebihan atau sebab-sebab lain, misalnya karena adanya alih fungsi lahan. Agar pengambilan air tanah dapat dilakukan secara optimal, dalam arti kelestarian ketersedian dan kualitas air tanah tetap terjaga, pengembangan pemanfaatannya perlu mempertimbangkan skala prioritas peruntukannya. Penduduk di Pulau Jawa yang terletak di daerah perkotaan, sebagian besar sudah dilayani jaringan pemipaan air baku oleh PDAM dan sebagian lainnya masih memanfaatkan air tanah untuk memenuhi berbagai kebutuhan rumah tangganya dengan cara membuat sumur gali atau sumur pantek. Untuk penduduk yang menempati daerah pebukitan, air tanah sulit didapat dengan cara membuat sumur gali karena kedudukan muka air tanah relatif dalam. Untuk keperluan industri yang tidak terlalu menuntut syarat kualitas air tanah, daerah dataran pantai merupakan pilihan utama, yakni yang termasuk dalam wilayah potensi air tanah tinggi. Di daerah yang pengambilan air tanahnya belum intensif, pengembangan pemanfaatan air tanah masih memungkinkan dilakukan. Meskipun demikian, pengambilan air tanah mungkin akan dapat menimbulkan resiko kemerosotan kualitas air tanah dengan adanya penyusupan air laut atau pencemaran oleh bahan pencemar lainnya. Oleh karena itu, upaya pengawasan dan pemantauan kuantitas dan kualitas air tanah secara periodik oleh pemerintah daerah setempat perlu dilakukan secara dini. Beberapa cara untuk mengoptimalkan pemanfaatkan air tanah yang masih tersedia di daerah yang pengambilan air tanahnya belum intensif adalah sebagai berikut: a. Pembuatan sumur gali atau sumur pantek untuk mendapatkan air tanah dari sistem akuifer tak tertekan.

3-85

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

BAB 3 IDENTIFIKASI MASALAH KEKERINGAN DI PULAU JAWA

b. Pembuatan sumur bor untuk mendapatkan air tanah dari sistem akuifer tertekan atau sistem akuifer dalam. c. Penurapan mata air berdebit besar (Q > 50 l/detik) terutama yang banyak dijumpai di daerah hulu sungai di pegunungan, sistem pengaliran air dari lokasi sumber mata air ke lokasi yang membutuhkan dapat dilakukan secara gravitasi. Pemanfaatan air tanah dengan berbagai cara di atas perlu dilakukan dalam kerangka pengelolaan air tanah secara utuh melalui kegiatan inventarisasi potensi, perencanaan pendayagunaan, konservasi, peruntukan pemanfaatan, perizinan, pembinaan dan pengendalian, serta pengawasan air tanah..

3-86

3.2.5

Permasalahan Penggunaan Air Tanah

Pengambilan air tanah yang intensif mengakibatkan berbagai dampak yang bersifat langsung maupun tidak langsung. Dampak langsung pengambilan air tanah tersebut telah menyebabkan penurunan muka air tanah sehingga membentuk kerucut depresi muka air tanah di sekitar daerah yang pengambilan air tanahnya intensif. Selanjutnya pada kondisi yang lebih lanjut penurunan muka air tanah menyebabkan dampak berupa penurunan muka tanah/amblesan yang mengakibatkan terjadinya penggenangan atau banjir pada daerah yang ambles tersebut. Selain itu penurunan muka air tanah juga memicu terjadinya kontaminasi air asin atau intrusi air laut. A. Penurunan Muka Air Tanah

Kemerosotan kuantitas air tanah ditunjukkan oleh penurunan kedudukan muka air tanah. Perubahan jumlah air tanah yang terdapat dalam cekungan maka akan diikuti oleh perubahan kedudukan muka air tanah, oleh karena itu untuk mengetahui perubahan kuantitas maka kita dapat dilakukan melalui observasi penurunan muka air tanah. Kedudukan muka air tanah dapat diperoleh dari pengukuran muka air tanah pada sumur gali dan sumur bor terpilih. Sedangkan untuk mengetahui

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

BAB 3 IDENTIFIKASI MASALAH KEKERINGAN DI PULAU JAWA

perubahan kedudukan muka air tanah secara menerus, dilakukan melalui analisis data rekaman muka air tanah otomatis (Automatic Water Level

3-87

Recorder-AWLR) pada sumur pantau.


Dalam suatu cekungan air tanah, muka air tanah selalu dalam keadaan dinamis. Apabila besar imbuhan air tanah sama dengan jumlah lepasan atau jumlah pengambilan air tanah, maka terjadi suatu keseimbangan. Dalam kondisi ini muka air tanah relatif tetap atau tidak berubah oleh waktu, dengan fluktuasi musiman pada kedudukan sekitar rata-ratanya. Kemudian akibat dari jumlah pengambilan air tanah yang melampaui kemampuan imbuhannya, maka akan terjadi penurunan muka air tanah yang dapat membentuk kerucut muka air tanah (cone of depression) pada daerah dimana pengambilan air tanah intensif. Perubahan kedudukan muka air tanah tak tertekan/dangkal sangat dipengaruhi oleh musim dan besarnya curah hujan, karena daerah imbuhnnya di tempat itu juga. Hal ini ditunjukkan oleh naiknya muka air tanah dangkal sebagai akibat proses pengisian kembali pada musim hujan dan penurunan muka air tanah secara gradual berlangsung pada musim kemarau. Sehingga indikasi adanya perubahan pola muka air tanah dangkal sebagai akibat pengambilan tidak dapat terlihat jelas. Sedangkan perubahan pola muka air tanah tertekan umumnya disebabkan oleh adanya pengambilan air tanah yang terus meningkat, terutama di daerah padat industri. Berikut ini disajikan penurunan muka air tanah di beberapa wilayah yang sudah sangat kritis. 1. Wilayah Bandung Di daerah Cimahi dan Margaasih penurunan muka air tanah berkisar antara 1,61 6,26 m/tahun, di Dayeuhkolot berkisar antara 0,55 2,77 m/tahun, daerah RancaekekCimanggung penurunan berkisar antara 0,84 3,95 m/tahun, kemudian daerah Majalaya penurunan muka air tanah berkisar antara 0,55 2,62 m/tahun, dan di Kota Bandung penurunan berkisar antara 0,01 4,28 m/tahun. Sedangkan kedudukan muka air tanah akuifer dalam berikut perubahan yang terjadi dapat diuraikan sebagai berikut:

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

BAB 3 IDENTIFIKASI MASALAH KEKERINGAN DI PULAU JAWA

Daerah Cimahi Tengah, berdasarkan hasil analisis data hidrograf dari sumur pantau di PT Trisulatex, muka air tanah rata-rata tahun 2003 adalah 61,66 m bmt (di bawah muka tanah). Sedang tahun 1999 muka air tanah rata-rata sebesar 51,34 m bmt. Hal ini menunjukkan kecenderungan penurunan muka air tanah rata-rata 2,58 m/tahun.

3-88

Kedudukan muka air tanah di Cimahi Selatan tahun 2003 pada kedalaman 45,40 99,54 m bmt. Kedalaman muka air tanah pada tahun 2000 berkisar antara 42,16 m 78,96 m bmt. Pada tahun 1995 muka air tanah di daerah ini pada kedalaman 39,55 53,31 m bmt. Kecenderungan penurunan muka air tanah rata-rata 0,44 5,64 m/tahun.

Daerah Dayeuhkolot, kedalaman muka air tanah tahun 2003 sebesar 64,05 m bmt. Pada tahun 2000 muka air tanah berkisar antara 28,02 91,05 m bmt. Pada tahun 1995 muka air tanah di daerah ini berada pada 20,17 84,50 m bmt. Muka air tanah pada sumur bor produksi di daerah ini mengalami penurunan rata-rata 0,09 2,77 m/tahun.

Kedalaman muka air tanah tahun 2003 di Cikeruh dan Rancaekek adalah 24,98 60,39 m bmt, pada tahun 2000 pada kedalaman 16,86 42,16 m bmt. Muka air tanah di daerah ini mengalami penurunan rata-rata 1,87 3,51 m bmt.

2. Wilayah Jakarta Kedudukan muka air tanah pada dekade 60an, tercatat umumnya masih berada di atas muka laut, namun setelah dekade 70an muka air tanah pisometrik dari akuifer tengah turun relatif tajam. Sehingga kondisi seperti itu (muka pisometrik di atas muka laut), saat ini di wilayah CAT Jakarta dapat dikatakan tidak akan dijumpai lagi. Muka air tanah tertekan di wilayah CAT Jakarta pada saat ini menunjukkan telah berada di bawah muka laut, bahkan di beberapa tempat sudah mencapai lebih dari 40 m di bawah muka laut (bml). Kedudukan muka air tanah tertekan yang telah berada di bawah muka laut sebarannya meliputi hampir seluruh wilayah CAT Jakarta, di mana garis kontur muka air tanah tertekan nol meter yang ditarik dengan acuan muka

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

BAB 3 IDENTIFIKASI MASALAH KEKERINGAN DI PULAU JAWA

laut dari barat ke timur kurang lebih melewati Kota Tangerang, Bintaro, Kebayoran, Cawang, Pondokgede dan berlanjut ke timur hingga ke Kota Bekasi. Daerah dengan kedudukan muka air tanah terdalam ditunjukkan oleh adanya kerucut penurunan muka air tanah, dengan bentuk menyerupai elips. Kondisi tersebut dijumpai di daerah Jatiuwung, Bumi Serpong Damai, Lippo Karawaci, Batuceper, Daan Mogot-Kalideres, Kapuk-Jelambar, Ancol, Cakung-Pulogadung, Cawang-Sunter, Narogong dan Tambun-Cibitung. Terjadinya kerucut penurunan muka air tanah tertekan tersebut, akibat adanya peningkatan pengambilan air tanah yang intensif, yang menyebabkan penurunan muka air tanah hingga pada kedudukan lebih dari 40 m bml, di mana kedudukan muka air tanah terdalam telah mencapai lebih dari 50 m di bawah muka tanah setempat, dijumpai pada sumur pantau Tegalalur (No. 8915), PT. Sinar Sosro (No. 8911), Mess Tongkol (No. 1892), PT. Sari Sedap (No. 6076), Kapuk (No. 1880), PT. Cusson (No. 5565), PT. Pasir Sariraya (No. 5317), PT. Migro (No. 5545), PT. Cengkareng Permai (No. 5501), PT. Aqua (No. 7178), PT. Nagamas (No. 5562), Hotel Bumi Wiyata (No. 6098) dan PT GT. Petrochem (No. 5268). Kerucut penurunan muka air tanah tertekan akuifer tengah di daerah Jl. Daan Mogot mencapai kedalaman 50 m bml, di daerah Jelambar dan Kapuk mencapai kedalaman 40 m bml, di daerah Cakung mencapai kedalaman 40 m bml, di daerah Rawamangun dan Tanjungpriok mencapai kedalaman 30 m bml. Kerucut penurunan muka air tanah tertekan akuifer bawah di daerah Jl. Daan Mogot dan Kapuk mencapai kedalaman 40 m bml, di daerah Cakung mencapai kedalaman 20 m bml. Kedudukan muka air tanah tertekan pada tahun 2003 ini bila dibandingkan dengan kondisi pada tahun 2001 terjadi peningkatan penurunan antara 1,37 12,30 m. 3. Wilayah Semarang

3-89

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

BAB 3 IDENTIFIKASI MASALAH KEKERINGAN DI PULAU JAWA

Pola kedudukan muka air tanah tertekan selain dipengaruhi oleh topografi juga sangat dipengaruhi oleh intensitas pengambilan air tanah. Di daerah dataran Semarang kedudukan muka air tanah tertekan pada dekade 70an umumnya masih berada di atas muka tanah setempat (positif) atau artesis. Pada saat ini kedudukan muka air tanah di dataran Semarang telah mencapai 27,7 m di bawah muka tanah setempat atau sekitar 26,7 m di bawah muka laut. Areal kedudukan muka air tanah tertekan telah berada di bawah muka laut dengan cakupan hampir sebagian besar daerah dataran pantai meliputi daerah Brangsong, Kaliwungu, Mangkang, Guntur dan Demak. Daerah dengan kedudukan muka air tanah tertekan terdalam ditandai oleh adanya kerucut penurunan muka air tanah dengan bentuk menyerupai elips yang terpotong oleh garis pantai. Kondisi ini terdapat di daerah Semarang Utara, yaitu daerah Pelabuhan Tanjungmas, Pengapon, Kaligawe, Terboyo, Genuk, Bangetayu, Tambakbulusan dan Nolokerto. Kerucut penurunan muka air tanah tertekan tersebut terjadi akibat pengambilan air tanah yang intensif sehingga mengakibatkan penurunan muka air tanah mencapai 26,7 m di bawah muka laut, dengan kedudukan terdalam di daerah Nolokerto mencapai sekitar 31 m dibawah muka laut. Kedudukan muka air tanah tahun 2003 dibandingkan dengan keadaanya pada tahun 2000 pada umumnya bertambah dalam sekitar 0.33 hingga 17,5 m. Penurunan terbesar terjadi di sekitar daerah Peterongan mencapai 17,5 m, sedangkan di daerah pantai yakni sekitar pelabuhan dan Tambakbulusan terjadi penurunan masing-masing 6,7 dan 7,75 m. Tempat lainnya yang juga mengalami penurunan berarti antara lain daerah Candisari (4,3 m), Bringin di sebelah barat dan Sumurboto dan Sumberrejo di bagian selatan, dan Purwasari di bagian utara (3,9 m).

3-90

B.

Penurunan Kualitas Air Tanah

Kualitas air tanah dipengaruhi oleh 3 (tiga) komponen yaitu: material (tanah dan batuan) yang mengandung atau yang dilewati air tanah, macam aliran dan

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

BAB 3 IDENTIFIKASI MASALAH KEKERINGAN DI PULAU JAWA

proses perubahan akibat dari pencemaran yang sesuai dengan hukum fisika, kimia dan biologi. Oleh karena itu kualitas air tanah dapat berbeda antara satu tempat dengan tempat yang lain. Untuk mengetahui gambaran mengenai kualitas air tanah, dilakukan pengukuran suhu dan daya hantar listrik (DHL), serta analisis beberapa unsur kimia (nitrat dan amonium) secara langsung di lapangan. Selain itu dilakukan analisis sifat fisika, kimia dan biologi dari contoh air tanah terpilih di laboratorium. Metode analisis yang digunakan pada analisis fisika, kimia dan logam berat yaitu metode analisis yang berpedoman pada buku pedoman Standard Methods (APHA-AWWA-WEF, 1985) dan Standar Nasional Indonesia (BAPEDAL, 1994), yaitu: volumetri tritasi, spektrofotometri, spektrofotometri serapan atom, flame fotometri, elektrometri dan ravimetri. Metode analisis untuk penetapan bakteri coli yaitu dengan menggunakan Indeks JPT/MPN dalam 100 ml contoh dengan sistem 3 tabung, yang meliputi tes perkiraan, tes penetapan dan tes penentuan jenis coli. Parameter-parameter hasil analisis laboratorium kemudian dibandingkan dengan baku mutu yang sesuai dengan peruntukannya. Untuk baku mutu sumber air minum mengacu kepada PERMENKES RI No: 907/MENKES/SK/VII/2002 tentang syarat-syarat dan pengawasan kualitas air minum. Berikut ini disajikan penurunan kualitas air tanah di beberapa wilayah yang sudah sangat kritis. 1. Wilayah Bandung Dalam pemantauan kualitas air tanah dangkal telah dilakukan pengambilan contoh air sebanyak 53 contoh yang berasal dari sumur gali dan sumur pantek di daerah pemukiman dan daerah industri, kemudian dari mata air. Air tanah dangkal di daerah pegunungan dan jauh dari pemukiman umumnya memenuhi syarat untuk sumber air minum, ditunjukkan dari hasil analisis laboratorium contoh air dari mata air Palasari dan mata air Sasaklemah yang terletak di lereng Gunung Manglayang (utara Ujungberung). Hasil analisis laboratorium contoh air dari mata air Palasari dan mata air Sasaklemah menunjukkan tingkat kekeruhan: 3 FTU, warna kurang dari 1 PtCo, Daya

3-91

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

BAB 3 IDENTIFIKASI MASALAH KEKERINGAN DI PULAU JAWA

Hantar Listrik: 83 243 mikromhos/cm, pH: 6,91 6,60, kesadahan 56,01 128,02 mg/l CaCO3, Ca2+: 6,55 16,85 mg/l, Mg2+: 20,61 35,89 mg/l, Fe3+: 0,11 0,13 mg/l, K+: 2,5 6 mg/l, Na+: 4 8 mg/l, Li+: 0,2 0,4 mg/l, HCO3-: 60,04 174,50 mg/l, CO22-: 44,35 26,61 mg/l, Cl-: 8,32 12,07 mg/l, SO42-: 1,3, NO3-: 3,1 3,2 mg/l, SiO2: 12,80 19,20 mg/l, TDS: 56 190 mg/l, Cu kurang dari 0,01 mg/l, Pb: 0,23 0,25 mg/l, Zn: 0,01 0,02 mg/l dan Cd: 0,08 0,09 mg/l. Air tanah dangkal di daerah pemukiman dan industri umumnya tidak memenuhi syarat sebagai sumber air minum. Beberapa parameter yang tidak sesuai persyaratan untuk sumber air minum antara lain: kekeruhan melebihi 5 FTU, warna lebih dari 15 PtCo, pH kurang dari 6,5, Fe3+ lebih dari 0,3 mg/l, Mn2+ lebih dari 0,1 mg/l, NH4+ lebih dari 1,5 mg/l, Cl- lebih dari 250 mg/l, dan NO3- lebih dari 50 mg/l, serta mengandung bakteri coli tinja. Rendahnya kualitas air tanah dangkal di daerah pemukiman dan industri ini kemungkinan disebabkan oleh litologi akuifer yang merupakan endapan danau dan pencemaran dari buangan limbah domestik. Kekeruhan dan warna dapat terjadi karena adanya zat-zat koloid berupa zatzat yang terapung serta terurai secara halus sekali, kehadiran zat organik, lumpur atau karena tingginya kandungan logam besi dan mangan. Kehadiran amoniak dalam air bisa berasal karena adanya rembesan dari lingkungan yang kotor, dari saluran air pembuangan domestik. Amoniak terbentuk karena adanya pembusukan zat organik secara bakterial atau karena adanya pencemaran pertanian. Kandungan besi dan mangannya tinggi (>0,3 mg/l untuk besi dan >0,1mg/l untuk mangan) disebabkan batuan akuifer yang banyak mengandung logam besi dan mangan. Pada umumnya senyawa besi dan mangan sangat umum terdapat dalam tanah dan mudah larut dalam air terutama bila air bersifat asam. Hasil pemeriksaan dari 23 contoh air dari sumur gali dan sumur pantek menunjukkan bahwa kandungan bakteri coli tinja hanya berkembang pada sumur gali, sedang pada sumur pantek umumnya tidak mengandung bakteri coli tinja. Pencemaan coli tinja kemungkinan disebabkan oleh septic tank

3-92

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

BAB 3 IDENTIFIKASI MASALAH KEKERINGAN DI PULAU JAWA

dibuat terlalu berdekatan dengan sumur atau sumur berdekatan dengan sungai yang telah tercemar oleh tinja manusia. 2. Wilayah Semarang Penurunan kuantitas biasanya akan diikuti oleh penurunan kualitas seperti yang terjadi di daerah Semarang. Hal ini terlihat dari peningkatan nilai Daya Hantar Listrik (DHL) dan jumlah unsur klorida (Cl-) Pada pengukuran tahun 2003 perubahan DHL berkisar antara 6 hingga 151 mikromhos/cm2 dan di beberapa tempat terjadi perubahan yang sangat besar antara 450 hingga 2.260 mikromhos/cm2, yang diperkirakan terjadi akibat kerusakan konstruksi sumur bor bukan diakibatkan oleh penurunan kualitas air tanah. Hal yang menarik adalah bahwa di bagian utara sekitar Tegalrejo, Randu, Wonodadi dan Karangtengah, penurunannya hampir merata maksimum 40 mikromhos/cm2. Demikian pula ke arah tenggara yaitu searah dengan jalan raya jurusan Solo, terjadi peningkatan yang lebih besar dari harga rata-rata antara 75 hingga 151 mikromhos/cm2. Berdasarkan data pada tahun 80an dimana kedudukan muka air tanah tertekan sekitar 2 - 7,5 m maka kedudukan saat ini yang telah mencapai kedalaman 18 - 27 m berarti laju penurunan muka air tanah tertekan di dataran Semarang selama 25 tahun terakhir rata-rata mencapai 0,7 0,8 m/tahun.

3-93

C.

Penyebaran Air Tanah Payau/Asin

Kualitas air tanah yang terdapat di berbagai kelompok akuifer di Pulau Jawa dan Madura pada umumnya kondisi alamiahnya sangat bagus, artinya cukup memenuhi persyaratan sebagai sumber air bersih, kecuali pada endapan di daerah dataran pantai. Namun akibat pengambilan air tanah yang cenderung terus meningkat telah mengubah kondisi hidrolika air tanah, yang berdampak terjadinya penurunan kualitas air tanah, yaitu meningkatnya kegaraman air tanah.

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

BAB 3 IDENTIFIKASI MASALAH KEKERINGAN DI PULAU JAWA

Berikut ini disajikan penyebaran air tanah payau/asin di beberapa wilayah yang sudah sangat kritis. 1. Wilayah Jakarta Kriteria air tanah payau/asin didasarkan pada harga daya hantar listrik (DHL) 1500 mhos/cm, kadar khlorida (Cl-) 500 mg/l, dan atau zat padat terlarut (TDS) 1000 mg/l. Berdasarkan hasil pengukuran di lapangan dan analisis laboratorium terhadap contoh air tanah yang diambil, serta telaah beberapa data terdahulu, diketahui bahwa penyebaran air tanah payau/asin pada air tanah tak tertekan meliputi daerah Daan Mogot, Cengkareng dan Kapuk-Jelambar (Jakarta Barat), Penjaringan, Pademangan, Kamal, dan Cilincing (Jakarta Utara), Rawarengas (Jakarta Timur), serta Kebon Jamali, Rawa Jeruk dan Rawa Bokor (Kota Tangerang) yang kesemuanya merupakan daerah dataran pantai. Sedangkan penyebaran air tanah payau/asin pada air tanah tertekan dijumpai di daerah Penjaringan, Ancol, Cilincing, Marunda, Pasar Ikan, dan Tanjungpriok (Jakarta Utara), Daan Mogot, Cengkareng, Kapuk Kamal, Pluit, dan Jelambar (Jakarta Barat), Pulogadung, Cakung, dan Sunter (Jakarta Timur), Gambir (Jakarta Pusat), Pondok Ungu (Kota Bekasi), serta Batuceper (Kota Tangerang). Daerah ini merupakan akuifer air tanah tertekan yang berdekatan dengan garis pantai. Kualitas air tanah di daerah pemantauan pada tahun 2003 ini apabila dibandingkan dengan kondisi pada tahun 2001 terjadi penurunan kualitas. Hal ini ditunjukkan oleh adanya peningkatan nilai DHL dan jumlah kandungan ion khlorida. Peningkatan nilai DHL berkisar antara 70 319 mhos/cm, sedangkan peningkatan kandungan ion khlorida berkisar antara 2,1 7,0 mg/liter. 2. Wilayah Semarang Kualitas air tanah dangkal di dataran rendah SemarangDemak umumnya bersifat payau akibat pengaruh batuan endapan laut sebagai penyusun utama alluvium pantai. Kriteria air tanah payau/asin didasarkan atas nilai daya hantar listrik lebih dari 1500 mikromhos/cm atau kadar ion Cl- lebih dari 600 mg/l.

3-94

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA Berdasarkan pengukuran lapangan diketahui penyebaran air

BAB 3 IDENTIFIKASI MASALAH KEKERINGAN DI PULAU JAWA


tanah

3-95

payau/asin terdapat di daerah rawa, tambak, bekas pantai lama, dan sebagian daerah aliran sungai lama. Daerah tersebut meliputi pantai utara Semarang sekitar Kaligawe, pantai utara dan bagian barat Demak sekitar Wonosalam, Gajah, dan Rejosari.

D.

Penurunan Muka Tanah

Penurunan muka tanah (land subsidence) adalah fenomena alam yang banyak terjadi di kota-kota besar yang berdiri di atas lapisan batuan sedimen. Faktor penyebab terjadinya penurunan tanah yaitu: pengambilan air tanah yang berlebihan, penurunan karena beban bangunan, penurunan karena adanya konsolidasi alamiah dari lapisan-lapisan tanah, serta penurunan karena gayagaya tektonik. Dari beberapa faktor penyebab penurunan tanah ini, penurunan tanah akibat pengambilan air tanah yang berlebihan dipercaya sebagai penyebab utama terjadinya penurunan tanah. Berikut ini disajikan penurunan muka tanah di beberapa wilayah yang sudah sangat kritis.. 1. Wilayah Bandung Di daerah padat industri gejala penurunan tanah diindikasikan dari kerusakan pada lantai sumur pantau atau pondasi sumur bor yang menggantung, sehingga fondasi sumur bor kelihatan lebih menonjol dibanding muka tanah sekitarnya. Hal ini dapat dijumpai antara lain di sumur bor PT. Tridharmatex, PT Dewantex, Leuwigajah, Kec. Cimahi Selatan dan PT. Pan Asia, PT. Safilindo, Kec. Dayeuhkolot di wilayah Kab. Bandung, serta lantai sumur bor PT Vonex Indonesia dan PT Sunsonindo Textile, Kec. Rancaekek, serta PT Bintang Agung, Kec. Ujungberung. Beberapa lokasi di CAT Bandung - Soreang memang mengalami penurunan tanah, dalam periode 2000 2002 besarnya penurunan tanah berkisar antara 7 cm sampai sekitar 52 cm, dengan kecepatan penurunan berkisar anatara 2 18 mm/bulan.

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

BAB 3 IDENTIFIKASI MASALAH KEKERINGAN DI PULAU JAWA

Dalam periode tersebut, lokasi-lokasi Cimahi (Leuwigajah), Dayeuhkolot, Rancaekek merupakan lokasi yang mengalami penurunan tanah yang relatif lebih besar, yaitu masing-masing sebesar 52 cm, 46 cm dan 42 cm. Besarnya penurunan tanah di beberapa lokasi di CAT BandungSoreang tidak selalu berkorelasi positif dengan volume pengambilan air tanah, tetapi dapat juga dipengaruhi oleh besarnya produktivitas akuifer dan keragaman tanah penyusunnya. 2. Wilayah Jakarta Di daerah dataran pantai Jakarta, gejala penurunan muka tanah atau yang lebih dikenal dengan amblesan tanah telah nyata terjadi. Gejala ini telah diketahui sejak beberapa tahun terakhir ini. Meskipun faktor penyebab utama belum dapat diketahui secara pasti, namun faktor penurunan muka air tanah akibat pengambilannya ikut berperan dalam amblesan tanah tersebut. Pengambilan air tanah yang telah melebihi batas aliran alamiahnya, akan mengakibatkan terjadinya kekosongan ronggarongga (pori-pori) akuifer yang semula terisi oleh air tanah dan terperasnya air tanah dalam lapisan penutup akuifer tertekan, sehingga mengakibatkan hilangnya (penurunan) tekanan hidrostatis serta pengkerutan lapisan penutup, maka terjadilah pemampatan dan pemadatan tanah, yang refleksinya adalah penurunan permukaan tanah. Daerah yang terkenan amblesan tanah ini meliputi daerah yang luas dan tidak dapat dilihat seketika, namun harus dalam kurun waktu yang lama. Indikasi adanya amblesan tanah di daerah Jakarta ini ditunjukkan antara lain oleh: Retaknya bangunan gedung Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral serta gedung Sarinah di Jl. M.H. Thamrin. Terjadinya genangan air laut pasang di daerah Kapuk Cengkareng, yang semakin meluas dan semakin tinggi air genangannya. Miringnya Menara Museum Bahari di daerah Pasar Ikan. Kenampakan terangkatnya konstruksi pondasi sumur bor di Kantor DTLGKP Jl. Tongkol, Jakarta Utara.

3-96

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

BAB 3 IDENTIFIKASI MASALAH KEKERINGAN DI PULAU JAWA

Akibat adanya amblesan tanah tersebut, maka sangatlah mungkin bila beberapa tempat di daerah Jakarta ini, yang semula ketinggiannya masih berada di atas muka laut, kini ketinggiannya menjadi sama dengan muka laut, atau bahkan telah berada di bawah muka laut, sehingga apabila air laut pasang menjadi tergenang. Oleh karena itu, fenomena tergenangnya beberapa wilayah bagian Kota Jakarta ini dapatlah disimpulkan, yaitu akibat adanya amblesan tanah, seperti terlihat di daerah Kapuk, Kamal dan Cengkareng. Berdasarkan hasil pengkajian dan perhitungan matematis yang dilakukan oleh DTLGKP, prediksi laju amblesan tanah di daerah Jakarta ini berkisar antara 1,3 - 12,0 cm/tahun yang meliputi daerah Kapuk-Kamal-Cengkareng, sepanjang Jl. Daan Mogot, daerah Pasar Ikan - Jl. Tongkol, daerah SenenSunter, sepanjang Jl. Thamrin, dan daerah Cakung-Pulogadung. Adapun daerah yang mempunyai intensitas amblesan tanah tertinggi, terjadi di daerah Kapuk-Kamal-Cengkareng, dan daerah sepanjang Jl. Daan Mogot dengan intensitas amblesan tanah mencapai 12,0 cm/tahun. 3. Wilayah Semarang Berdasarkan hasil penelitian oleh DTLGKP, daerah yang mengalami penurunan dengan laju lebih dari 8 cm/tahun terbentang di sepanjang pantai mulai dari Pelabuhan Tanjungmas ke arah timur hingga wilayah pantai Demak Utara. Daerah paling barat yang mengalami amblesan terletak disekitar PRPP dengan laju penurunan 2 - 4 cm/tahun. Daerah paling selatan yang mengalami amblesan mencapai jalan raya Semarang-Purwodadi dengan laju penurunan muka tanah 2 cm/tahun. Amblesan tanah tersebut membentuk pola kerucut dengan laju amblesan terbesar 4 - 6 cm/tahun di daerah sekitar sebelah timur jalan tol lingkar timur. Berdasarkan hasil pengamatan lapangan gejala amblesan tanah ditunjukkan antara lain dengan kenampakan sebagai berikut: Lantai bangunan Sekolah Pelayaran di Jl. Singosari retak dan terkesan menggantung akibat permukaan tanah ambles.

3-97

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

BAB 3 IDENTIFIKASI MASALAH KEKERINGAN DI PULAU JAWA

Kompleks perkantoran Pelabuhan Tanjungmas tergenang air laut pasang. Stasiun kereta api Tawang dengan elevasi + 2 m di atas muka laut kini tergenang oleh air laut pasang. Konstruksi pondasi sumur pantau di STM Perkapalan Jl. Kokrosono, sumur bor PDAM di Kampung Peres Jl. Hasanudin, sumur bor PDAM di Jl. Erowati dan pipa sumur pantau di Pelabuhan Tanjungmas yang terkesan terangkat sekitar 20 cm.

3-98

Gejala tersebut menunjukkan adanya amblesan tanah dan bila daerah tersebut dihubungkan dengan pola muka air tanah ternyata daerah dengan gejala amblesan tanah tersebut berada pada daerah depresi muka air tanah terutama daerah dengan kedudukan muka air tanahnya sudah berada di bawah muka laut. Sehingga diperkirakan amblesan tanah tersebut terjadi akibat pengambilan air tanah yang intensif.

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

BAB 4 ANALISIS KONDISI DEFISIT AIR DI PULAU JAWA


BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

BAB 4 ANALISIS KONDISI DEFISIT AIR DI PULAU JAWA


ETODOLOGI Berdasarkan hasil analisis data diperoleh hasil jumlah Kota/Kabupaten yang mengalami defisit tinggi sebanyak 36 buah, defisit sedang 33 buah, dan defisit rendah sebanyak 39 buah. Adapun pembagian perwilayah dapat dilihat pada Tabel 4.1 berikut ini:
Tabel 4. 1 Jumlah Kota/Kabupaten Berdasarkan Klasifikasi Jumlah Bulan Defisit

4-1

No 1

Keterangan Defisit tinggi

Jumlah 36

Persen 33,65

Catatan Wilayah Barat = 10 Wilayah Tengah = 13 Wilayah Timur = 12 Wilayah Barat = 9 Wilayah Tengah = 17 Wilayah Timur = 7 Wilayah Barat = 11 Wilayah Tengah = 10 Wilayah Timur = 18

Defisit sedang

33

30,84

Defisit rendah

39

36,45

Sumber: Hasil Analisis Prakarsa Strategis Sumber Daya Air Tahun 2004.

Selain bulan defisit ukuran ketersediaan sumber daya air adalah defisit rerata dan defisit maksimum. Berdasarkan data defisit rerata tertinggi sebesar -33,90 m3/det, yang terjadi di Kabupaten Indramayu, dengan rerata defisit sebesar 5,34 m3/det. Sedangkan defisit maksimum sebesar -56,23 m3/det, terjadi di Kabupaten Lamongan, dengan rerata defisit maksimum sebesar 9,27 m3/det.

Sedangkan untuk wilayah barat yang terdiri dari Propinsi DKI, Banten, dan Jawa Barat, dimana rerata defisit sebesar -3,43 m3/det, dan rerata defisit maksimum sebesar -5,29 m3/det. Dibandingkan dengan kedua wilayah lain, wilayah ini memiliki tingkat difisit paling kecil/rendah, baik rerata defisit maupun defisit maksimum. Wilayah Barat defisit tertinggi terjadi di wilayah Kabupaten

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

BAB 4 ANALISIS KONDISI DEFISIT AIR DI PULAU JAWA


BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA Indramayu, wilayah ini juga memiliki tingkat defisit maksimum yang paling tinggi, dengan rerata tertinggi sebesar -33,90 m3/det, dan defisit maksimum sebesar 48,99 m3/det.

4-2

Untuk wilayah Tengah yang terdiri dari Propinsi Jawa Tengah, dan DIY, memiliki defisit yang relative lebih tinggi dibandingkan dengan wilayah Barat. Kabupaten yang memiliki defisit rerata tertinggi dan defisit maksimum tertinggi adalah Kabupaten Klaten, dengan defisit rerata sebesar -19,14 m3/det dan rerata defisit maksimum sebesar -32,57 m3/det.

Wilayah timur yang terdiri dari Jawa Timur, memiliki defisit yang paling tinggi dibandingkan dengan kedua wilayah lain. Defisit rerata wilayah timur sebesar 6,78 m3/det, sedangkan defisit Kabupaten Lamongan. maksimum sebesar -12,20. Defisit rerata tertinggi terjadi di Kabupaten Ngawi, sedangkan defisit maksimum terjadi di

Untuk lebih jelasnya rerata defisit dan defisit maksimum pada masing-masing wilayah dapat dilihat pada Tabel 4.2 berikut.
Tabel 4. 2 Defisit Rerata dan Defisit Maksimum pada Masing-masing Wilayah

No 1 2 3 4

Keterangan Total Wilayah Barat Wilayah Tenggah Wilayah Timur

Defisit Rerata Tertinggi -33,90 -33,90 -19,14 -29,02 Rerata -5,34 -3,43 -5,43 -6,78

Defisit Maksimum Tertinggi -56,23 -48,99 -32,57 -56,23 Rerata -9,27 -5,29 -9,56 -12,20

Catatan DRT = Indramayu DRM = Lamongan DRT = Indramayu DRM = Indramayu DRT = Klaten DRM = Klaten DRT = Ngawi DRM = Lamongan

Sumber: Hasil Prakarsa Strategis SDA Tahun 2004. Ket: DRT (Defisit Rata-rata Tertinggi), dan DRM (Defisit Rata-rata Maksimum).

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

BAB 4 ANALISIS KONDISI DEFISIT AIR DI PULAU JAWA


BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA Berdasarkan indikator ekonomi, wilayah yang memiliki defisit ketersediaan sumber air tidak terdapat korelasi antara defisit air dengan kepadatan penduduk. Korelasi kedua variabel tersebut terjadi di wilayah Kabupaten Lamongan yang memiliki defisit maksimum tertinggi memiliki tingkat kepadatan di atas rerata yaitu 0,14 (kepadatan rerata 0,11). Keadaan yang sama juga terjadi pada wilayah timur dan pada wilayah rerata defisit sedang, yang memiliki tingkat kepadatan yang cukup tinggi yaitu 0,14 dan 0,12 diatas rerata total dengan tingkat kepadatan 0,11. Sedangkan pada wilayah lainnya tidak terjadi korelasi pada kedua variabel tersebut.

4-3

Untuk indikator jumlah keluarga pra sejahtera umumnya kota/kabupaten yang memiliki defisit air tinggi memiliki jumlah keluarga pra sejahtera relatif tinggi. Hal ini terjadi di Kabupaten Klaten, Lamongan dan Ngawi, dengan jumlah prasejahtera masing-masing sebesar 125.134 KK, 120.905 KK, dan 159.859 KK. Umumnya kemiskinan terjadi pada wilayah-wilayah yang memiliki kontribusi pertanian cukup tinggi, yaitu di Kabupaten Padeglang, Cianjur, Brebes, Bojonegoro, dan Kabupaten Malang. Apabila dibandingkan dengan ketiga wilayah, justru wilayah barat memiliki jumlah prasejahtera yang relatif tinggi dibandingkan dengan kedua wilayah lain (yaitu wilayah tengah dan timur). Pada pembagian berdasarkan ketersediaan air, wilayah yang memiliki defisit rerata tinggi memiliki jumlah prasejahtera yang lebih sedikit dibandingkan dengan kedua wilayah lainnya.

Luas lahan kritis di wilayah timur memiliki luasan yang cukup tinggi yaitu sebesar 829 ha, atau diatas rata-rata total 675 ha. Wilayah yang memiliki lahan kritis yang cukup tinggi terjadi diwilayah timur dengan rerata sebesar 829 ha. Sedangkan untuk Kabupaten Indramayu dan Lamongan memiliki luas lahan kritis yang sangat luas, yaitu sebesar 743,9 ha, dan 1.016 ha. Kedua kabupaten ini memiliki karakteristik yang relative sama, yaitu kabupaten yang berdekatan dengan kota besar. Karakteristik tersebut menyebabkan banyak terjadi urbanisasi dari kota tersebut ke kota besar, sehingga banyak lahan pertanian yang ditinggalkan.

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

BAB 4 ANALISIS KONDISI DEFISIT AIR DI PULAU JAWA


BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA Analog dengan permasalahan diatas, pada rasio lahan kritis terhadap luas lahan wilayah timur memiliki rasio yang relatif lebih besar, dibandingkan dengan rasio rerata total. Untuk Kabupaten Indramayu dan Lamongan memiliki rasio yang cukup tinggi, terutama Kabupaten Indramayu dengan rasio sebesar 0,010 (rasio rerata total sebesar 0,006).

4-4

Pada indikator jumlah bayi busung lapar, Kabupaten Lamongan, Klaten dan Ngawi memiliki jumlah bayi busung lapar yang relative tinggi. Untuk wilayah timur jumlah bayi busung lapar relatif tinggi dan tersebar merata pada semua kabupaten, dengan rerata sebesar 657 (rerata total 632). Seperti halnya jumlah keluarga prasejahtera, umumnya jumlah bayi busung lapar terjadi pada daerahdaerah pertanian. Hal ini disebabkan pada daerah tersebut pendapatan perkapita rendah dan dengan tingkat pendidikan yang rendah pula, sehingga pengetahuan akan kesehatan sangat kurang.

Untuk produktivitas padi, korelasi dengan ketersediaan air sangat kecil atau cenderung tidak berkorelasi. Hal ini dapat dilihat dari data dimana wilayah wilayah timur memiliki tingkat produktivitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan wilayah tengah dan barat, dimana wilayah timur memiliki tingkat produktivitas sebesar 5,49 ton/ha. Demikian juga pada pembagian wilayah berdasarkan ketersediaan air, dimana wilayah yang memiliki rerata defisit rendah memiliki tingkat produktivitas yang cukup tinggi, yaitu sebesar 5,08 ton/ha (rerata total 4,72 ton/ha).

Analog dengan produktivitas padi, tingkat produktivitas jagung memperlihatkan tidak terjadi korelasi dengan ketersediaan air. Pada wilayah timur yang notabennya memiliki defisit ketersediaan air tinggi justru memiliki tingkat produktivitas yang relatif tinggi, yaitu sebesar 4,01 ton/ha (rerata total sebesar 3,59 ton/ha).

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

BAB 4 ANALISIS KONDISI DEFISIT AIR DI PULAU JAWA


BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA Untuk indikator pengeluaran anggaran pembangunan dan pendapatan asli daerah memiliki perilaku yang sama terhadap ketersediaan air. Pada wilayah barat memiliki jumlah anggaran pembangunan dan PAD yang lebih besar dibandingkan dengan wilayah tengah dan timur. Demikian juga pembagian wilayah berdasarkan ketersediaan air, wilayah rerata defisit tinggi memiliki jumlah anggaran pembangunan dan PAD yang lebih tinggi dibandingkan dengan wilayah dengan rerata defisit sedang dan rendah. Berdasarkan data tersebut dapat dikatakan bahwa ketersediaan air tidak berkorelasi dengan keadaan ekonomi suatu daerah.

4-5

Berdasarkan indikator jumlah rumah, wilayah barat memiliki jumlah rumah yang relative besar dibandingkan dengan kedua wilayah lainnya, dengan jumlah rumah sebesar 313.031 buah, (rerata total sebesar 240.299 buah). Sedangkan untuk wilayah dengan pembangian berdasarkan ketersediaan air, rerata defisit rendah memiliki jumlah rumah yang relatif besar dibandingkan dengan kedua wilayah, yaitu sebesar 267.788 buah. Hal ini menunjukkan bahwa ketersediaan air menjadi salah satu pertimbangan menentukan rumah tinggal.

Ketersediaan air dengan jumlah industri memiliki hubungan yang nyata, sebagaimana halnya jumlah rumah. Pada wilayah dengan rerata defisit rendah jumlah industri yang relative lebih besar dibandingkan dengan kedua wilayah lain, yaitu 7.078, (rerata total jumlah industri sebesar 6.816). Sedangkan pembangian wilayah berdasarkan administrasi, wilayah tengah memiliki jumlah industri yang lebih besar, dibandingkan wilayah lain. Hal ini disebabkan wilayah tersebut terdapat wilayah dengan jumlah industri besar, yaitu DIY.

Sebagaimana keberadaan jumlah rumah pada suatu wilayah dimana air menjadi salah satu pertimbangan, wilayah dengan rerata defisit rendah memiliki jumlah KK yang tinggal di lahan kritis lebih besar dibandingkan kedua wilayah lainnya. Dengan demikian ketersediaan air menjadi pertimbangan seseorang untuk menentukan rumah tinggal.

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

BAB 4 ANALISIS KONDISI DEFISIT AIR DI PULAU JAWA


BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA Kebutuhan air untuk memenuhi aktivitas penduduk makin meningkat,

4-6

peningkatan itu terjadi bukan hanya karena penduduk yang bertambah, tetapi juga karena aktivitas yang membutuhkan air meningkat, seperti kawasan industri, perdagangan, pendidikan, pariwisata, dan sebagainya. Menurut Syamsuri (1997) peningkatan kebutuhan air mencapai 4-8% pertahun. Peningkatan tersebut perlu diantisipasi secara baik agar tidak terjadi krisis air dimasa mendatang, seperti yang telah terjadi di beberapa wilayah Indonesia. Minimnya air yang layak dikonsumsi, baik untuk konsumsi maupun untuk kegiatan produksi pada prinsipnya disebabkan oleh keterbatasan air yang memiliki kualitas baik. Untuk menghadapi meningkatnya kebutuhan air dan kompetisi penggunaaan air yang semakin ketat maka diperlukan pengelolaan sumber daya air yang memadai. (Sutikno,1997).
Tabel 4. 3 Korelasi antara Defisit Ketersediaan Air dengan Kepadatan Penduduk

No 1 2 3 4 5 6 7
Ket.

Keterangan Total Wilayah Barat Wilayah Tengah Wilayah Timur Defisit Parah Defisit Sedang Defisit Rendah
: * signifikan

Jumlah Bulan Defisit 0,022 0,035 0,116 0,002 0,184 0,067 0,283

Rerata Defisit 0,046 0,010 0,377* 0,060 0,387* 0,086 0,323

Defisit Maks 0,046 0,014 0,319* 0,040 0,449* 0,037 0,414*

Sumber: Hasil Analisis SPSS, Prakarsa Strategis SDA Tahun 2004.

Peningkatan kebutuhan atau demand terhadap air secara umum dapat dibagi menjadi 3 kelompok, yaitu: 1. Air untuk keperluan konsumsi domestik atau rumah tangga misalnya untuk mandi, mencuci, memasak, dan minum. 2. Air untuk keperluan pengairan lahan pertanian misalnya untuk irigasi, mengairi sawah Perikanan, dan usaha tani lainnya. 3. Air untuk kegiatan industri misalnya untuk pembangkit listrik, proses produksi, transportasi, dan kegitan yang lainnya.

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

BAB 4 ANALISIS KONDISI DEFISIT AIR DI PULAU JAWA


BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA Diperkirakan kebutuhan rata-rata air bersih setiap individu adalah sekitar 27 hingga 200 liter perhari. Kebutuhan dasar tersebut bisa berbeda-beda tergantung keadaan geografis dan karakteristik individu yang bersangkutan. Namun, secara keseluruhan, baku minimum untuk memenuhi kebutuhan dasar minum, sanitasi, mandi, dan memasak rata-rata sebanyak 50 liter per orang per hari (Gleick, 1996) dalam Wisana (2001). Secara partial ketersediaan air di pulau Jawa khususnya di Jawa Tengah ratarata jumlah volume defisit kebutuhan air terhadap ketersediaan air serta angka defisit maksimalnya berkorelasi secara positif dan signifikan terhadap kepadatan penduduk. Bahkan di kawasan yang dikategorikan defisit parah erat korelasinya dengan defisit kepadatan penduduk. Hal ini mengindikasikan bahwa masalah neraca air. Hal ini mengindikasikan bahwa kepadatan penduduk di kepadatan penduduk khususnya di Jawa Tengah mempunyai potensi membuat wilayah tersebut sudah melampaui ambang bats ketersediaan air yang ada. Hal ini disebabkan oleh kebutuhan air untuk keperluan komersial baik industri, maupun perusahaan air minum sudah pada tingkat kompetitif yang yang kurang sehat.

4-7

Tabel 4. 4 Korelasi antara Defisit Ketersediaan Air dengan Keluarga Pra KS I

No 1 2 3 4 5 6 7
Ket.

Keterangan Total Wilayah Barat Wilayah Tengah Wilayah Timur Defisit Parah Defisit Sedang Defisit Rendah
: * signifikan

Jumlah Bulan Defisit 0,184 0,421* 0,367* 0,165 0,076 0,408* 0,160

Rerata Defisit 0,136 0,027 0,183 0,290 0,217 0,676* 0,041

Defisit Maks 0,159 0,054 0,145 0,295 0,327 0,638* 0,080

Sumber: Hasil Analisis SPSS, Prakarsa Strategis SDA Tahun 2004.

Di kawasan kota seperti Jakarta, Bandung, Bogor, Depok dan merupakan kawasan dengan kategori defisit sedang

Semarang

Di kawasan tersebut

umumnya merupakan kawasan kantong-kantong kemiskinan di kota. Di lain pihak di kawasan kota tersebut juga terjadi komersialisasi sumber daya air. Hal

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

BAB 4 ANALISIS KONDISI DEFISIT AIR DI PULAU JAWA


BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA ini membuat ketersediaan air sangat erat korelasinya dengan bertambahnya jumlah keluarga miskin, di kategori indikator ketersediaan air seperti jumlah bulan defisit air, jumlah rata-rata volume defisit maupun angka rata-rata defisit air tertinggi. Di kawasan barat yang terdiri dari Jawa Barat, DKI serta Banten jumlah bulan defisit juga mempunyai korelasi positif terhadap jumlah keluarga miskin. Salah satu penyebabnya di duga adalah di kawasan tersebut intensitas kompentisi air semakin tinggi dari keperluan sosial ke komersial. Sehingga keluarga yang tidak mampu mempunyai daya beli untuk membeli air yang sehat untuk keperluan hidup baik untuk keprluan pokok hingga kesehatan semakin kurang mampu diakses.

4-8

Tabel 4. 5 Korelasi antara Defisit Ketersediaan Air dengan Luas Lahan Kritis

No 1 2 3 4 5 6 7
Ket.

Keterangan Total Wilayah Barat Wilayah Tengah Wilayah Timur Defisit Parah Defisit Sedang Defisit Rendah
: * signifikan

Jumlah Bulan Defisit 0,028 0,370* 0,144 0,186 0,091 0,029 0,157

Rerata Defisit 0,042 0,208 0,047 0,061 0,194 0,106 0,080

Defisit Maks 0,058 0,178 0,081 0,035 0,222 0,101 0,047

Sumber: Hasil Analisis SPSS, Prakarsa Strategis SDA Tahun 2004.

Kemiskinan secara teoritis membuat orang lapar lahan, hutan hingga secara umum degradasi lingkungan, Hal ini satu satu penyebabnya adalah semakin menipisnya daya dukung lingkungan. Penduduk miskin cenderung kurang mampu melakukan aktivitas konservasi baik air tanah hingga udara. Ketidak mampuan ini cenderung disebabkan oleh rendahnya wawasan disertai lemahnya kemampuan ekonomi serta rendahnya kesadaran bahwa barang publik tersebut merupakan barang kebutuhan bersama yang harus dipelihara untuk kepentingan bersama baik sekarang maupun masa depan.

Secara empirik di jawa daya dukung lingkungan yang semakin melemah adalah di kawasan barat pulau Jawa . Sehingga dugaan bahwa ketersediaan air sangat

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

BAB 4 ANALISIS KONDISI DEFISIT AIR DI PULAU JAWA


BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA signifikan terhadap meluasnya lahan kritis di pulau Jawa bagian barat tersebut. Ketersediaan air tersebut khususnya pada indikator semakin panjangnya bulan defisit cenderung akan memperbesar jumlah luasan lahan kritis. Sebaliknya jumlah volume rata-rata defisit ketersediaan air dibandingkan kebutuhan air tidak mempunyai korelasi dengan luasan lahan kritis. Hal ini disebabkan kemampuan mengelola air pada saat musim melimpah air dan saat musim kekurangan air belum optimal. Sehingga pada saat terjadi kelimpahan air di musim hujan tidak bisa dialokasikan ke waktu musim kemarau supaya stabilitas kebutuhan air sepanjang tahun terjaga.
Tabel 4. 6 Korelasi antara Defisit Ketersediaan Air dengan Rasio Luas Lahan Kritis

4-9

No 1 2 3 4 5 6 7
Ket.

Keterangan Total Wilayah Barat Wilayah Tengah Wilayah Timur Defisit Parah Defisit Sedang Defisit Rendah
: * signifikan

Jumlah Bulan Defisit 0,068 0,207 0,046 0,214 0,071 0,036 0,285

Rerata Defisit 0,091 0,601* 0,044 0,045 0,215 0,033 0,129

Defisit Maks 0,112 0,538* 0,081 0,019 0,231 0,036 0,166

Sumber: Hasil Analisis SPSS, Prakarsa Strategis SDA Tahun 2004.

Ada satu fenomena yang dihasilkan dari hasil analisis bahwa besarnya rata-rata defisit kebutuhan air dan jumlah maksimum defisit kebutuhan air cenderung meningkatkan rasio luasan lahan kritis di kawasan barat. Secara ratarata kebutuhan sumber daya air per kapita di kawasan barat cenderung paling tinggi.

Sebagaimana jumlah jumlah KK prasejahtera, hubungan ketersediaan air dengan jumlah balita busung lapar memiliki hubungan yang relatif tinggi (signifikan). Hal ini menunjukkan bahwa air menjadi suatu kebutuhan pokok dalam kehidupan manusia dan makluk hidup.

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

BAB 4 ANALISIS KONDISI DEFISIT AIR DI PULAU JAWA


BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA
Tabel 4. 7 Korelasi antara Defisit Ketersediaan Air dengan Jumlah Balita Busung Lapar

4-10

No 1 2 3 4 5 6 7
Ket.

Keterangan Total Wilayah Barat Wilayah Tengah Wilayah Timur Defisit Parah Defisit Sedang Defisit Rendah
: * signifikan

Jumlah Bulan Defisit 0,079 0,428* 0,127 0,249 0,186 0,234 0,167

Rerata Defisit 0,299* 0,177 0,430* 0,301 0,483* 0,585* 0,138

Defisit Maks 0,313* 0,197 0,410* 0,328* 0,592* 0,498* 0,132

Sumber: Hasil Analisis SPSS, Prakarsa Strategis SDA Tahun 2004.

Kondisi sanitasi yang buruk khususnya kualitas air yang kurang terjaga cenderung mempengaruhi kesehatan anak-anak. Di wilayah barat jumlah bulan defisit cenderung mempunyai korelasi dengan jumlah balita yang terkena busung lapar. Hal ini beralasan Karena seperti alasan di atas manajemen air yang kurang baik cenderung memperparah kondisi bulan defisit air. Sebaliknya di wilayah Jawa Tengah dan Yogyakarta rata-rata defisit dan defisit air maksimum berkorelasi dengan jumlah balta yang terkena busung lapar. Hal serupa terjadi pada kluster daerah yang mempunyai defisit air yang parah dan sedang terutama dilihat dari sisi rata-rata jumlah volume air defisit sedang parah cenderung berkorelasi dengan jumlah balita terkena penyakit busung lapar.

Hubungan ketersediaan air dengan kemiskinan signifikan dan positif, artinya semakin besar ketersediaan air justru membuat jumlah keluarga miskin semakin bertambah. Hal ini mempunyai makna sebagai berikut. Pertama, karakteristik kemikinan di Jawa lebih bersifat non alamiah, artinya tidak berkaitan dengan kualitas dan kwantitas sumber daya alam, termasuk dalam hal ini adalah ketidaktersediaan sumber daya air. Sehingga diduga kemiskinan di Jawa cenderung bersifat struktural atau bahkan cultural. Kemiskinan struktural adalah kemiskinan karena struktur masyarakat akibat kebijakan atau kemiskinan

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

BAB 4 ANALISIS KONDISI DEFISIT AIR DI PULAU JAWA


BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA karena masyarakat menjadi sub ordinat dari kekuasaan. Hal ini seiring juga dengan hubungan ketersediaan sumber daya air terhadap produktivitas padi maupun produktivitas jagung selain signifikan juga pola hubungannya positif. Artinya ketersediaan sumber daya air biasa meningkatkan produktivitas padi maupun jagung yang termasuk kategori tanaman pangan. Tetapi karekteristik dua komoditas tersebut adalah : margin terbatas, leveling off, kinerja nilai tukarnya cenderung turun terus menerus, sehingga bukan merupakan komoditas komersial sehingga lebih bersifat sosial. Padahal setiap 1 ha budidaya padi hingga panen membutuhkan investasi cukup besar hingga Rp 9,27 juta.

4-11

Tabel 4. 8 Korelasi antara Defisit Ketersediaan Air dengan Produktivitas Padi

No 1 2 3 4 5 6 7
Ket.

Keterangan Total Wilayah Barat Wilayah Tengah Wilayah Timur Defisit Parah Defisit Sedang Defisit Rendah
: * signifikan

Jumlah Bulan Defisit 0,111 0,295 0,031 0,006 0,439* 0,088 0,323

Rerata Defisit 0,200* 0,157 0,267 0,091 0,423* 0,200 0,220

Defisit Maks 0,192 0,150 0,251 0,065 0,460* 0,154 0,107

Sumber: Hasil Analisis SPSS, Prakarsa Strategis SDA Tahun 2004.

Saat sebagian orang tertarik untuk menjual air langsung sebagai barang komoditi, beberapa pemakai air lainnya mulai terganggu, karena bagi sebagian orang lain (petani), air adalah bahan suatu proses produksi yang menunjang pangan, sandang dan lingkungan. Bagi budidaya pertanian, air dibutuhkan untuk pengolahan tanah, untuk proses pertumbuhan, proses pengangkutan unsur hara dari tanah hingga menjadi bulir-bulir padi. Kebutuhan air bagi keperluan pertanian di beberapa Negara Asia hampir mencapai 90% dari tingkat ketersediaan air demikian juga di Indonesia. Hal ini karena sebagian besar masyarakatnya hidup dari pertanian dan ketahanan pangan menjadi komponen utama bagi ketahanan bangsa. Kebutuhan beras bangsa Indonesia adalah

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

BAB 4 ANALISIS KONDISI DEFISIT AIR DI PULAU JAWA


BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA 123kg/kapita/tahun dengan luas daerah pertanian sawah sebesar 9 juta hektar dan melibatkan 23,5 juta keluarga petani.
Tabel 4. 9 Korelasi antara Defisit Ketersediaan Air dengan Produktivitas Jagung

4-12

No 1 2 3 4 5 6 7
Ket.

Keterangan Total Wilayah Barat Wilayah Tengah Wilayah Timur Defisit Parah Defisit Sedang Defisit Rendah
: * signifikan

Jumlah Bulan Defisit 0,146 0,260 0,208 0,228 0,225 0,111 0,336

Rerata Defisit 0,112 0,075 0,504* 0,109 0,285 0,211 0,305

Defisit Maks 0,099 0,072 0,505* 0,119 0,310 0,201 0,231

Sumber: Hasil Analisis SPSS, Prakarsa Strategis SDA Tahun 2004.

Pembangunan jaringan irigasi memerlukan dana cukup besar, yang hanya mampu disediakan oleh pemerintah. Secara umum, penyediaan anggaran/ budget oleh pemerintah untuk pembangunan diharapkan akan memberikan pengaruh (dampak) terhadap perekonomian. Indikator pengaruh pada perekonomian tersebut antara lain: 1. Distribusi pendapatan, 2. Alokasi sumber daya, 3. Efisiensi ekonomi, dan 4. Constraint on the economy.

Dari segi ekonomi, air (irigasi) merupakan salah satu faktor produksi penting dalam usahatani padi sawah, disamping lahan, modal (benih, pupuk, dan pestisida), tenaga kerja, dan manajemen. Secara agronomis, benih padi varietas unggul sangat responsif terhadap pemupukan, dengan syarat apabila tersedia air yang cukup. Hal ini berarti, tersedianya air yang cukup akan mampu meningkatkan produktivitas padi sawah. Peningkatan produktivitas terjadi apabila setiap satu satuan input variabel akan menghasilkan output yang lebih tinggi. Secara teoritis, hal ini berarti akan terjadi pergeseran fungsi produksi ke atas. Peningkatan produktivitas diharapkan akan mampu meningkatkan pendapatan petani padi sawah, yang pada gilirannya akan mampu meningkatkan kesejahteraan petani dan keluarganya, serta masyarakat desa pada umumnya. Kesejahteraan masyarakat desa tercermin dari semakin meningkatnya

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

BAB 4 ANALISIS KONDISI DEFISIT AIR DI PULAU JAWA


BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA pendapatan mereka dan dengan distribusi pendapatan yang makin merata di antara mereka. Hal ini memperkuat dugaan mengapa ketersediaan air sangat siginifikan terhadap peningkatan produktivitas padi maupun jagung. Tetapi kondisi ini juga memperbesar kemiskinan yang cenderung bersifat struktural. Hal ini dikarenakan kenaikan produktivitas padi tidak identik peningkatan kesejahteraan atau pendapatan petani karena masalah struktur pasar hasil padi serta pasar input untuk sarana produksi pertanian.

4-13

Kalau kita lihat kebutuhan air sebagai bahan proses produksi (tabel di bawah), maka seseorang yang senang mendapatkan keuntungan langsung secara ekonomi, akan mengatakan bahwa kita telah membuang-buang air terlalu boros, karena untuk memproduksi 1 kg beras dibutuhkan 2300 liter air (untuk keperluan irigasi selama masa tanam) atau setara dengan Rp 2760,- kalau harga air Rp. 3000/m3. Apabila harga air tersebut dibandingkan dengan harga berasnya yang hanya Rp 3500/kg, maka pemakaian air untuk persawahan (padi) dapat dikatakan merugi.
Tabel 4. 10 Korelasi antara Defisit Ketersediaan Air dengan Pengeluaran Anggaran Pembangunan

No 1 2 3 4 5 6 7
Ket.

Keterangan Total Wilayah Barat Wilayah Tengah Wilayah Timur Defisit Parah Defisit Sedang Defisit Rendah
: * signifikan

Jumlah Bulan Defisit 0,042 0,267 0,204 0,308 0,129 0,136

Rerata Defisit 0,099 0,023 0,476* 0,246 0,030 0,113 0,026

Defisit Maks 0,87 0,041 0,521* 0,286 0,078 0,116 0,073

Sumber: Hasil Analisis SPSS, Prakarsa Strategis SDA Tahun 2004.

Namun orang berpikiran seperti itu tidak menyadari bahwa dengan adanya irigasi, petani dapat bekerja memproduksi padi yang merupakan pendukung ketahanan pangan nasional dan ketersediaan lapangan kerja. Sehingga dapat

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

BAB 4 ANALISIS KONDISI DEFISIT AIR DI PULAU JAWA


BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA dikatakan bahwa air lebih mempunyai nilai sosial dibanding nilai ekonomi langsung.

4-14

Pada saat seorang pengelola sumber daya air harus mengatur prioritas pemanfaatan air, maka dia akan dihadapkan pada pilihan, mana yang harus didahulukan air sebagai barang ekonomi atau air sebagai barang sosial. Apabila tidak ada aturan yang membela kepentingan masyarakat banyak, seperti yang diamanatkan oleh UUD 1945 pasal 33, bahwa air dikuasai oleh negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, maka akan sangat mungkin terjadi bahwa air tersebut hanya dimanfaatkan untuk kepentingan yang lebih membela kepentingan air sebagai barang ekonomi.

Resiko bisnis akibat kelangkaan air yang terjadi di banyak negara berkembang baik kualitas maupun kuantitasnya, telah menjadi bahan bahasan penting bagi para investor internasional seperti yang direlease oleh The United Nations

Environment Programme Finance Initiative (UNEP FI) dan Stockholm International Water Institute (SIWI) dalam publikasinya Challenges of Water Scarcity, a Business Case for Finansial Institutions. Selain resiko atas
kelangkaan air, yang sangat ditakuti oleh para investor adalah resiko perubahan kondisi politik dan perundangan.
Tabel 4. 11 Korelasi antara Defisit Ketersediaan Air dengan Pendapatan Asli

No 1 2 3 4 5 6 7
Ket.

Keterangan Total Wilayah Barat Wilayah Tengah Wilayah Timur Defisit Parah Defisit Sedang Defisit Rendah
: * signifikan

Jumlah Bulan Defisit 0,026 0,358* 0,163 0,247 0,187 0,183 0,158

Rerata Defisit 0,161 0,017 0,359* 0,398* 0,142 0,288 0,109

Defisit Maks 0,160 0,012 0,396* 0,425* 0,188 0,286 0,123

Sumber: Hasil Analisis SPSS, Prakarsa Strategis SDA Tahun 2004.

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

BAB 4 ANALISIS KONDISI DEFISIT AIR DI PULAU JAWA


BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA Sumber-sumber daya air dunia saat ini didominasi dan dikuasai oleh 2 badan hukum, yakni Perusahaan Vivendi SA (yang memiliki anak perusahaan Generale

4-15

des Eaux) dan Perusahaan Suez Lyonnaise des Eaux. Kedua korporasi
multi/transnasional ini memiliki dan mengontrol penyediaan air bersih di sekitar 120 negara di 5 benua yang menjadi anggota Dewan Air Dunia bersama-sama dengan Suez, Biwater dan juga Bank Dunia.
Tabel 4. 12 Korelasi antara Defisit Ketersediaan Air dengan Jumlah Rumah

No 1 2 3 4 5 6 7
Ket.

Keterangan Total Wilayah Barat Wilayah Tengah Wilayah Timur Defisit Parah Defisit Sedang Defisit Rendah
: * signifikan

Jumlah Bulan Defisit 0,159 0,400* 0,154 0,058 0,193 0, 339* 0,105

Rerata Defisit 0,062 0,074 0,373* 0,180 0,084 0,572* 0,128

Defisit Maks 0,062 0,054 0,338* 0,207 0,039 0,573* 0,103

Sumber: Hasil Analisis SPSS, Prakarsa Strategis SDA Tahun 2004.

Di Indonesia pada tahun 1997 saja sedikitnya 20 investor asing dan nasional telah antri dan menanti untuk melakukan investasi di sektor penyediaan air bersih di berbagai kota di Indonesia dengan nilai total Rp.3,68 triliun. Diantara investor asing yang terlibat dan tertarik dalam bisnis ini seperti Suez Lyonnaise

Des Eaux (Perancis) dan Thames Water (Inggris) harian Kompas 23 September
2003.
Tabel 4. 13 Korelasi antara Defisit Ketersediaan Air dengan Jumlah KK di Lahan Kritis

No 1 2 3 4 5 6 7
Ket.

Keterangan Total Wilayah Barat Wilayah Tengah Wilayah Timur Defisit Parah Defisit Sedang Defisit Rendah
: * signifikan

Jumlah Bulan Defisit 0,131 0,413* 0,164 0,095 0,081 0,043 0,062

Rerata Defisit 0,002 0,037 0,151 0,112 0,276 0,136 0,126

Defisit Maks 0,003 0,007 0,175 0,108 0,278 0,109 0,116

Sumber: Hasil Analisis SPSS, Prakarsa Strategis SDA Tahun 2004.

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

BAB 4 ANALISIS KONDISI DEFISIT AIR DI PULAU JAWA


BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA Sedangkan 246 Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) milik negara yang tersebar di 27 provinsi mempunyai hutang kepada World Bank (WB) dan Asian

4-16

Development Bank (ADB) yang tidak dapat dikembalikan. Sejumlah 250


Perusahaan Daerah Air Minum milik negara yang tersebar di 27 provinsi akan diprivatisasi dengan menggunakan dana bantuan dari World Bank (WB) sebesar US $80 juta sebagaimana dinyatakan oleh Direktur Perkotaan dan Pedesaan Wilayah Barat Direktorat Jenderal Perkotaan dan Pedesaan Departemen Pemukiman dan Prasarana Wilayah Totok Supriyanto pada media online Tempo Interaktif tanggal 27 April 2004.
Tabel 4. 14 Korelasi antara Defisit Ketersediaan Air dengan Jumlah Industri

No 1 2 3 4 5 6 7
Ket.

Keterangan Total Wilayah Barat Wilayah Tengah Wilayah Timur Defisit Parah Defisit Sedang Defisit Rendah
: * signifikan

Jumlah Bulan Defisit 0,035 0,198 0,209 0,208 0,312 0,159 0,100

Rerata Defisit 0,144 0,161 0,186 0,148 0,251 0,407* 0,000

Defisit Maks 0,174 0,158 0,186 0,237 0,333 0,371* 0,022

Sumber: Hasil Analisis SPSS, Prakarsa Strategis SDA Tahun 2004.

Dari sejumlah 246 perusahaan AMDK (air minum dalam kemasan) yang beroperasi di Indonesia dengan total produksi sebesar 4,2 miliar liter pada tahun 2001, 65% dipasok oleh 2 badan hukum perusahaan asing yakni: Aqua (Group

Danone) dan Ades (The Coca Cola Company). Sisanya 35% diproduksi oleh 244
perusahaan AMDK lokal.

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

BAB 4 ANALISIS KONDISI DEFISIT AIR DI PULAU JAWA


BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA
Tabel 4. 15 Korelasi antara Defisit Ketersediaan Air dengan Penghasilan Utama

4-17

No 1 2 3 4 5 6 7
Ket.

Keterangan Total Wilayah Barat Wilayah Tengah Wilayah Timur Defisit Parah Defisit Sedang Defisit Rendah
: * signifikan

Jumlah Bulan Defisit 0,071 0,461* 0,015 0,192 0,135 0,310 0,057

Rerata Defisit 0,099 0,001 0,295 0,121 0,046 0,346* 0,168

Defisit Maks 0,98 0,001 0,288 0,130 0,100 0,287 0,144

Sumber: Hasil Analisis SPSS, Prakarsa Strategis SDA Tahun 2004.

Dari analisis yang diuraikan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa: 1. Kota/kabupaten di Pulau Jawa umumnya mengalami defisit walaupun tingkatannya berbeda, 2. Defisit sumber daya air umumnya tidak berpengaruh secara signifikan terhadap beberapa indikator ekonomi, namun ada kecenderungan defisit sumber daya air mempengaruhi kinerja ekonomi, 3. Defisit sumber daya air, khususnya di Pulau Jawa tidak disebabkan oleh besarnya demand dari pada supply, tetapi lebih disebabkan manajemen ketersediaan air. Hal ini nampak dari rendahnya korelasi antara ketersediaan air dengan beberapa indikator ekonomi.

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

BAB 5 ANALISIS MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

BAB 5 ANALISIS KAJIAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA


ETODOLOGI Kajian mengenai sumber daya air di Pulau Jawa-Madura sudah banyak dilakukan, namun kebanyakan kajian-kajian tersebut ruang lingkupnya terbatas dan hanya memperhitungkan kondisi setempat. Dengan demikian kajian sumber daya air yang telah dilakukan tersebut hanya bersifat setempat dan belum terintegrasi untuk seluruh wilayah sungai di seluruh Pulau Jawa-Madura.

5-1

Analisis terhadap kajian-kajian terdahulu serta laporan-laporan proyek yang relevan merupakan salah satu mata rantai yang penting dalam rangka penyelesaian Studi Prakarsa Strategis Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa ini. Dengan mempelajari berbagai kajian yang sudah ada dapat diperoleh perkembangan terakhir dari wilayah studi. Karena kegiatan pembangunan bersifat dinamis dan rekursif, maka kegiatan pembangunan yang dilakukan sekarang ini harus mengacu pada kegiatan pembangunan yang telah lalu. Kelebihan maupun kekurangan yang terdapat pada kajian/proyek terdahulu dapat diambil sebagai masukan agar studi yang dilakukan saat ini dapat lebih terarah sesuai dengan kebutuhan, sekaligus tidak mengulang kesulitan dan kesalahan yang sama dengan kajian yang sudah dilakukan. Berikut ini disajikan gambaran tentang beberapa kajian mengenai sumber daya air di Pulau Jawa-Madura yang berhasil dikumpulkan.

1. Cisadane-Cimanuk Intergrated Water Resources Development (BTA155), Direktorat Jenderal Pengairan Departemen Pekerjaan Umum (September 1989). Tujuan studi ini adalah untuk meningkatkan kapabilitas Departemen Pekerjaan Umum agar dapat mandiri dalam melakukan studi dan perencanaan untuk mengatasi permasalahan sumber daya air yang kompleks melalui pendekatan sistem analisis. Hal ini dicapai dengan

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

BAB 5 ANALISIS MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

membuat unit operasional di Pusat Litbang Air di Bandung. Tujuan yang lain adalah untuk mengoptimalkan pendekatan dalam pengembangan sumber daya air yang terintergrasi di daerah Cisadane-Cimanuk untuk mendukung keputusan Pemerintah tentang pengembangan daerah tersebut.

5-2

Tujuan jangka panjang proyek BTA-155 adalah menciptakan kapasitas analisa sumber daya air untuk meningkatkan kondisi sumber daya air di Indonesia serta mencapai kondisi yang optimal dalam penggunaan sumber daya air yang ada.

Laporan ini disiapkan oleh Direktorat Jenderal Pengairan Departemen Pekerjaan Umum dibantu oleh Delft Hydraulics, Rijkswaterstaat, dan Euroconsult.

2. Studi Potensi dan Pengembangan Sumber daya air Tersebar di Propinsi Banten, Proyek Studi Potensi dan Pengembangan Sumber daya air Dinas Pekerjaan Umum Pemerintah Propinsi Banten (November 2002). Studi ini mengidentifikasi potensi sumber daya air, baik kualitas maupun kuantitas, dan rencana alternatif fasilitas-fasilitas yang berhubungan dengan air dan infrastrukturnya seperti bendung, bendungan, embung, bendung pengontrol, bangunan pengendali banjir dan lainnya agar cukup tersedianya air untuk berbagai kebutuhan dan pengendalian terhadap banjir. Tujuan dari studi adalah untuk menyediakan model dan pemanfaatan yang efektif dan efisien, pengembangan, perlindungan dan pengendalian sumber daya air di Propinsi Banten. Hasil akhirnya dimasukkan ke dalam Rencana Induk Pengembangan Sumber Daya Air Propinsi Banten.

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

BAB 5 ANALISIS MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

3. Rencana Pengembangan Sumber Daya Air Wilayah Sungai Ciujung-Ciliman, Direktorat Jenderal Pengairan Departemen Pekerjaan Umum (April 1999). Maksud penyusunan perencanaan pengembangan sumber daya air wilayah sungai Ciujung-Ciliman mengacu kepada GBHN 1993, dimana untuk Repelita VI pengembangan sumber daya air diajukan dengan cara memperkuat bidang infrastruktur pengairan, optimasi penggunaan air, jaminan perlindungan terhadap lingkungan dan memberdayakan lembagalembaga pengairan.

5-3

4. Penyusunan/Pembuatan Buku Sungai Ciujung dan Sungai Cidurian, Proyek Pengembangan dan Konservasi Sumber daya air Ciujung-Ciliman Bagian Proyek Pengelolaan Sumber Daya Air Ciujung-Ciliman (September 1999). Maksud studi ini adalah mengadakan survei inventarisasi infrastruktur sungai untuk mendapatkan data-data kondisi infrastruktur tersebut dengan menggunakan beberapa macam formulir dengan tujuan untuk dapat menyusun Program Pemeliharaan Prasarana Sungai Ciujung dan Sungai Cidurian yang digunakan sebagai pedoman pemeliharaan prasarana sungai.

5. Feasibility Study On Karian Multipurpose Dam Construction Project, Direktorat Jenderal Pengairan Departemen Pekerjaan Umum (Maret 1995). Studi kelayakan proyek pembangunan Dam Serbaguna Karian merupakan hasil kerja sama Direktorat Jenderal Pengairan Departemen Pekerjaan Umum dan Japan International Cooperation Agency (JICA). Studi kelayakan ini bertujuan sebagai berikut: 1. Mengatur dan menyimpan debit Sungai Ciujung dengan membuat sebuah tampungan/reservoir yaitu Dam Karian dan terowongan antar DAS Ciberang-Cibeureum yang juga berfungsi untuk mengontrol debit banjir. 2. Mengatur dan menyimpan debit Sungai Cibeureum dengan membuat sebuah tampungan/reservoir yaitu Dam Cilawang dan terowongan antar

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

BAB 5 ANALISIS MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

DAS Ciberang-Cibeureum yang juga berfungsi untuk mengontrol debit banjir. 3. Mensuplai kebutuhan air irigasi pada saat musim kemarau untuk daerah irigasi Ciujung dan Cicinta. 4. Mensuplai kebutuhan air irigasi sepanjang tahun untuk daerah KopoCicande-Carenang dengan menyiapkan saluran irigasi baru dan fasilitas drainase. 5. Mengurangi bahaya banjir di Rangkasbitung dengan pekerjaan perbaikan sungai pada sungai Ciujung dan pengendalian efek banjir terhadap Dam Karian sebagai pekerjaan tambahan. 6. Menyiapkan ketersediaan air untuk kebutuhan domestik dan industri di masa akan datang. Kebutuhan ini meliputi daerah Rangkasbitung, 17 ibukota kabupaten, industri-industri di Cilegon, dan kota Cilegon.

5-4

6. Invetarisasi/Penataan Situ/Rawa/Danau di Wilayah SWS Ciujung-Ciliman, Proyek Induk Pengembangan Wilayah Sungai Ciujung-Ciliman Proyek Pengembangan dan Konservasi Sumber Air Ciujung-Ciliman Bagian Proyek Pengelolaan Sumber Daya Air Ciujung-Ciliman (Maret 2000). Maksud dari studi ini adalah melakukan inventarisasi untuk mengetahui potensi, kondisi serta pemanfaatan yang ada termasuk status keberadaannya. Tujuannya adalah melakukan pendataan untuk memperoleh data situ-situ/danau/rawa yang detail termasuk bangunan-bangunan yang ada pada situ tersebut. Data tersebut digunakan dalam rangka menyusun rencana guna pelestarian dan pemanfaatan situ-situ termasuk penyelamatan situ-situ kritis dalam rangka konservasi situ-situ sebagai bagian dari sumber daya air, serta untuk menunjang program peningkatan operasi dan pemeliharaan sungai. Sasaran umum dalam pekerjaan ini adalah melaksanakan pekerjaan survei situ/rawa/danau yang meliputi topografi serta survei invetarisasi mengenai bangunan-bangunan yang ada serta kondisinya untuk menunjang pelaksanaan operasi dan pemeliharaan situ/rawa/danau dan fasilitas lainnya.

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

BAB 5 ANALISIS MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

7. The Study on Ciujung-Cidurian Intergrated Water Resources in Indonesia, Direktorat Jenderal Pengairan Departemen Pekerjaan Umum (Februari 1995). Urbanisasi dan industrialisasi di Jabotabek telah menyebabkan peningkatan kebutuhan air domestik dan industri secara besar-besaran. Tujuan studi ini antara lain adalah menghitung alokasi air untuk kebutuhan air domestik dan industri disekitar Jabotabek, melakukan studi kelayakan pada sistem pengaliran air yang menghubungkan reservoir Karian dan instalasi pengolahan air Serpong, memutakhirkan perencanaan 4 buah dam yaitu Karian, Pasir Kopo, Cilawang, dan Tanjung untuk disesuaikan dengan kondisi sosial ekonomi yang sedang berjalan serta mentransfer teknologi perencanaan dan desain yang relevan kepada ahli-ahli teknik di Indonesia melalui pelatihan.

5-5

8. Jabotabek Water Resources Management Study, Direktorat Jenderal Pengairan Departemen Pekerjaan Umum (Februari 1994).

Jabotabek Water Resources Management Study dimulai pada bulan Juni


1991 oleh konsorsium konsultan IWACO, DHV Consultants, Delft Hydraulics, dan TNO Applied Geoscience bekerja sama dengan PT Indah Karya, PT Wiratman dan PT Kwarsa Hexagon. Tujuan studi ini adalah mengkontribusikan perencanaan pengelolaan sumber daya air yang terintergrasi di daerah Jabotabek untuk jangka menengah dan jangka panjang. Jangka waktu yang direncanakan untuk jangka menengah adalah Repelita VI (1999) dan Repelita VII (2004), sedangkan untuk jangka panjang adalah hingga tahun 2025.

9. Jakarta Flood Control Halim Retention Basin Pilot Project, Direktorat Jenderal Pengairan Departemen Pekerjaan Umum (Maret 1999). Proyek ini merupakan hasil kesepakatan antara pemerintah Indonesia dan Belanda melalui Programme For Co-Operation Indonesia (PSI) 1998. Tujuan utama Halim Retention Basin Pilot Project adalah untuk mengarahkan dan

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

BAB 5 ANALISIS MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

mengurangi masalah banjir ke sungai Sunter di Jakarta serta menarik investasi dan kerjasama untuk Jakarta Flood Control Programme. Kegiatan proyek ini antara lain mengkaji ulang dan memutakhirkan detail desain untuk kolam penyimpanan seluas 5 ha, melakukan analisa ekonomi dan memperkirakan anggaran biaya untuk pengembangan kolam penampungan seluas 55 ha pada tahap selanjutnya serta membangun kolam penampungan seluas 5 ha dengan sistem proyek padat karya.

5-6

10. Preliminary Study on Ciliwung-Cisadane River Flood Control Project (I), Proyek Pengembangan dan Konservasi Sumber daya air Ciliwung-Cisadane Bagian Proyek Pengelolaan Sumber Daya Air dan Pengendalian Banjir Ciliwung-Cisadane (Februari 2001). Studi ini dimaksudkan untuk mengurangi banjir yang terjadi di DKI Jakarta serta Kota dan Kabupaten Tangerang. Untuk maksud ini, dilakukan pengalihan sebagian besar banjir dari Sungai Ciliwung menuju Sungai Cisadane melalui kanal di kota Bogor, serta menyiapkan Sungai Cisadane untuk situasi baru akibat pengalihan banjir dari Sungai Ciliwung. Dalam studi ini direncanakan pembangunan Dam Ciawi di bagian hulu DAS Ciliwung.

11. The Study on Comprehensive River Water Management Plan in Jabotabek, Direktorat Jenderal Pengairan Departemen Pekerjaan Umum (Maret 1997). Studi ini dimaksudkan untuk memformulasikan master plan pengendalian banjir sebagai bagian dari perencanaan manajemen air sungai di Jabotabek dan mengadakan studi kelayakan untuk beberapa prioritas target yang ada di master plan pengendalian banjir tersebut. Studi ini merupakan hasil kerjasama antara Direktorat Jenderal Pengembangan Sumber daya air, Departemen Pekerjaan Umum, Pemerintah Indonesia dan

Japan

International Cooperation Agency (JICA).

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

BAB 5 ANALISIS MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

12. Perencanaan Pengembangan Pemanfaatan Air dan Sumber Air (Paket I) Bagian DPS Cisadane dan DPS Ciliwung, Dinas Pekerjaan Umum Pengairan Pemerintah Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat (Desember 2000). Studi ini dimaksudkan untuk menyediakan data dasar, sebagai bahan perencanaan pengendalian pemanfaatan air dan sumber daya air serta menyusun rencana pengembangan sumber daya air dalam upaya memenuhi kebutuhan air untuk berbagai macam keperluan. Rencana dan jenis pengembangan difokuskan ke dua pokok permasalahan, yaitu: penanggulangan banjir dan penyimpanan kelebihan air. Rencana pengembangan dalam tahap pekerjaan ini masih berupa konsep saja, karenanya untuk keperluan tersebut masih diperlukan tahapan-tahapan mendetail lainnya.

5-7

13. Rencana Pengembangan Sumber Daya Air Wilayah Sungai Citarum, Direktorat Jenderal Pengairan Departemen Pekerjaan Umum (Oktober 1998). Rencana Pengembangan Sumber Air WS Citarum di Propinsi Jawa Barat disiapkan dalam kerangka Basin Water Resources Plan (BWRP) dari Java

Irrigation Improvement and Water Resources Management Project (JIWMP)


yang dibiayai oleh Bank Dunia. Sejalan dengan sasaran dan tujuan nasional, rencana pengembangan sumber daya air ini memperhitungkan sasaran untuk tahun 2025 untuk penyediaan air untuk industri, perkotaan dan domestik, irigasi, pembangkit listrik tenaga air dan perlindungan lingkungan.

14. Jatiluhur

Water

Resources

Management

Project

Preparation

Study

(JWRMP), Direktorat Jenderal Pengairan Departemen Pekerjaan Umum (Maret 1998). Dalam studi ini dilaporkan isu-isu yang terkait dengan masalah

pengembangan sumber daya air Jatiluhur, antara lain: kebutuhan air dan kapasitas kanal utama, kualitas air dan manajemen polusi, aspek yang terkait

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

BAB 5 ANALISIS MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

hukum dan institusi, operasi dan perawatan, serta perkiraan alokasi biaya untuk konservasi sumber daya air.

5-8

15. Identifikasi Potensi Sumber Daya Air di Wilayah Proyek Penyediaan Air Baku Cimanuk-Cisanggarung, Proyek Penyediaan Air Baku CimanukCisanggarung PIPWS Cimanuk-Cisanggarung (Juni 2003). Tujuan dari studi ini adalah memperoleh kajian apakah Master Plan Pengembangan Sumber Daya Air WS Cimanuk-Cisanggarung hasil studi terdahulu masih cocok atau tidak cocok untuk diterapkan pada masa kini dan masa mendatang, dan perbaikannya apabila master plan tersebut sudah tidak cocok lagi, termasuk kajian data potensi sumber daya air di WS Cimanuk-Cisanggarung yang belum dimanfaatkan sehingga dapat diprogramkan langkah-langkah optimalisasi sesuai dengan peruntukannya, serta untuk memperoleh rencana detail pengembangan prasarana dan sarana pemberdayaan sumber daya air pada mata air di hulu-hulu sungai di dataran tinggi bagian hulu wilayah kerja proyek PAB Cimanuk-Cisanggarung sehingga pemanfaatan sumber daya air dari mata air yang berpotensi besar dapat optimal dan lebih terarah sesuai dengan prioritas peruntukannya.

16. Cimanuk River Basin Development Project West Java (Master Plan of Water

Resources Development), Direktorat Jenderal Pengairan Departemen


Pekerjaan Umum (1979). Prioritas program pengembangan sumber daya air Sungai Cimanuk adalah mengkaji ulang studi terdahulu apakah masih layak untuk dipergunakan, mengkaji peta topografi dan foto udara, penelitian hidrologi, pengembangan dan konservasi sumber daya air, membuat konsep dan desain dari pengembangan proyek ini serta memperhitungkan biaya yang dikeluarkan.

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

BAB 5 ANALISIS MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

17. The Citanduy River Basin Development Project Master Plan, Direktorat Jenderal Pengairan Departemen Pekerjaan Umum (Mei 1975). Rencana pengembangan sungai Citanduy dimaksudkan untuk

5-9

mengembangkan dan mengoptimalkan pemanfaatan penggunaan lahan, air dan sumberdaya manusia di wilayah studi. Hal ini termasuk manajemen air, pengendalian banjir, irigasi dan drainase, reklamasi, penampungan air, bangunan serba guna, tata guna lahan dan pertanian, sedimentasi dan erosi, serta sistem pengelolaan. Dalam studi ini dibagi dalam empat bahasan, yakni pengelolaan sumber daya air untuk sistem Sungai Citanduy/Ciseel bagian hilir; pengelolaan sumber daya air untuk sistem Sungai Citanduy/Ciseel bagian hulu, reklamasi Segara Anakan dan lingkungannya, serta pengelolaan sumber daya air untuk daerah Sidareja Timur.

18. The Citanduy River Basin Development Project Flood Warning Study, Direktorat Jenderal Pengairan Departemen Pekerjaan Umum (Oktober 1984). Tujuan studi ini adalah untuk mengembangkan sistem peringatan dini banjir yang dapat diimplementasikan di proyek sungai Citanduy sebagai pelengkap dari program pengendalian banjir bagi sungai Citanduy hilir. Studi ini terdiri dari dua tahap, yakni pengembangan model peramalan banjir untuk Badan Pengendalian Banjir serta mengumpulkan dan mengirimkan data hidrometri kepada Badan Pengendalian Banjir. Dalam pengembangan model peramalan banjir dan sistem pengiriman data hidrometri ditekankan pada penggunaan teknologi sederhana yang tepat guna.

19. Studi Identifikasi Potensi Air Baku di Wilayah Citanduy-Ciwulan, Proyek Induk PWS Citanduy-Ciwulan Proyek PPSA Citanduy-Ciwulan Bagian Proyek Pembinaan dan Perencanaan (Juli 2003). Studi ini dimaksudkan untuk melakukan kajian potensi sumber air baku pada WS Citanduy-Ciliwung yang untuk tepat memperoleh dalam gagasan suatu dan rencana pengembangan menyusun penanganan

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

BAB 5 ANALISIS MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

pengembangan suplai air baku WS Citanduy-Ciliwung. Tujuan dari studi ini antara lain adalah terwujudnya produk studi berupa rekomendasi pengembangan dan pengelolaan air baku di wilayah WS Citanduy-Ciliwung, serta usulan program prioritas termasuk didalamnya detail desain bangunan air baku untuk 2 kabupaten masing-masing 1 bangunan, diperoleh data tentang potensi, permasalahan serta kondisi sumber air baku dalam WS Citanduy-Ciliwung dan terprogramnya pengembangan dan pengolahan air baku pada WS Citanduy-Ciliwung melalui suatu keterpaduan berbagai pihak terkait yang berpedoman pada Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) setempat.

5-10

20. Perencanaan Sumber Daya Air Wilayah Sungai Pemali-Comal (Pekerjaan: Bantuan Teknis Kegiatan Perencanaan Sumber Daya Air Wilayah Sungai), Direktorat Jenderal Sumber Daya Air Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah (Desember 2001). Tujuan studi Perencanaan Sumber Daya Air Wilayah sungai PemaliComal adalah: menyusun dokumentasi sumber daya air Wilayah Sungai (WS) Pemali-Comal, memperkirakan kebutuhan air baik untuk saat ini maupun proyeksinya dimasa mendatang, mengevaluasi alternatif kegiatan untuk memanfaatkan pengelolaan sumber wilayah daya sungai air tersebut secara di lebih masa baik, dan mengidentifikasi berbagai kegiatan yang dapat menghasilkan suatu pedoman Pemali-Comal mendatang. Perencanaan sumber daya air wilayah sungai tersebut berisi program komprehensif pengembangan sumber daya air untuk jangka pendek dan jangka panjang.

21. Rencana Pengembangan Sumber Daya Air Wilayah Sungai Jratunseluna, Dinas Pekerjaan Umum Pengairan Pemerintah Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Tengah (Juli 2000). Laporan ini dipersiapkan dalam rangka telah selesainya kegiatan salah satu komponen perkerjaan dari Proyek Peningkatan Irigasi dan Pengelolaan

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

BAB 5 ANALISIS MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

Sumber daya air di Jawa (Java Irrigation Improvement and Water Resources

5-11

Management ProjectJIWMP). Tujuan dari studi ini adalah untuk membentuk


satu tim perencanaan wilayah sungai di Direktorat Jenderal Pengairan Pusat yang ada di Jakarta dan beberapa Dinas PU Pengairan Propinsi yang terpilih.

Tujuan dari perencanaan WS Jratunseluna adalah untuk mengidentifikasi suatu rencana pengembangan secara optimal. Rencana pengembangan ini merupakan suatu sumbangan pengetahuan dasar untuk pengembangan sumber daya air WS Jratunseluna.

Laporan ini disiapkan oleh Tim Planning Unit Dinas Pekerjaan Umum (DPU) Pengairan Propinsi Jawa Tengah dibantu oleh konsorsium konsultan JIWMPBWRP (Rijkswaterstaat, DHV-Consultant, Delft Hydraulics dan PT Wiratman & Associates).

22. Rencana Pengembangan Sumber Daya Air WS SerayuBogowonto, Dinas Pekerjaan Umum Pengairan Pemerintah Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Tengah (November 2000). Studi ini merupakan perencanaan pengembangan sumber daya air untuk WS SerayuBogowonto dengan menggunakan pendekatan yang sistematis. Studi ini merupakan kerjasama antara beberapa instansi terkait yaitu Tim Planning Unit Dinas Pekerjaan Umum Pengairan Propinsi Jawa Tengah dibantu oleh konsorsium konsultan JIWMP-BWRP (Rijkswaterstaat, DHV Consultant, Delft Hydraulic dan PT Wiratman & Asosociates).

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

BAB 5 ANALISIS MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

23. Penyusunan Program Rencana Pengembangan Sumber Daya Air DIY pada SWS Progo Opak Oyo Daerah Istimewa Yogyakarta, Proyek Pengembangan dan Pengelolaan Sumber Daya Air Yogyakarta Bagian Proyek Pengembangan Sumber Daya Air Progo Opak Oyo (April 2003). Studi ini dimaksudkan untuk mengumpulkan, menyediakan dan

5-12

memutakhirkan data sumber daya air DPS/WS yang ada di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta untuk keperluan pengelolaan sumber daya air. Tujuan dari studi ini adalah untuk menyusun strategi pengelolaan dan pengembangan sumber daya air di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta yang ditinjau secara efisien dan seimbang. Implementasi dari maksud dan tujuan pekerjaan tersebut adalah penilaian status imbangan air, konservasi sumber daya air, penggunaan dan pengelolaan sumber daya air, dan pengembangan sumber daya air. Termasuk dalam strategi tersebut adalah antisipasi terhadap bahaya kekeringan di musim kemarau dan mengurangi kerugian akibat banjir di musim penghujan.

24. The Study on Comperehensive Managament Plan for The Water Resources of The Brantas River Basin in The Republic Of Indonesia, Direktorat Jenderal Pengembangan Sumber Daya Air Departemen Pekerjaan Umum (Oktober 1998). Studi ini dilakukan untuk menyiapkan master plan manajemen sumber daya air di WS Brantas yang komprehensif untuk target tahun 2020. Dalam studi ini diusulkan pendirian organisasi manajemen sumber daya air baru di tahun 2002 untuk memperkuat sistem manajemen sumber daya air yang sudah ada, beserta implementasi yang tepat guna untuk program tiga tahun pra konsolidasi.

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

BAB 5 ANALISIS MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

25. Basin Water Resources Management (BWRM) Sampean Basin, Direktorat Jenderal Pengairan Departemen Pekerjaan Umum (Maret 1999). Tujuan utama proyek manajemen sumber daya air ini adalah mendukung reformasi pembangunan institusi dan operasi yang terfokus pada manajemen sumber daya air. Kegiatan BWRM ini diantaranya pengembangan institusi, membangun data base, operasi pada DAS, alokasi fasilitas O&M, penyediaan sarana pengangkut, prakiraan banjir dan menyediakan sistem peringatan bahaya banjir, memonitor kualitas air sungai, memonitor kondisi air tanah, pemeliharaan infrastruktur dan fasilitas sungai, laporan biaya meliputi alokasi jangka panjang, keperluan, dan panduan untuk biaya pemeliharaan sistem air dan pelatihan.

5-13

26. Laporan Interim Penyusunan Neraca Air Nasional (Tahap1), Direktorat Jenderal Sumber Daya Air Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah (Oktober 2004). Tujuan dari studi ini adalah penyusunan neraca air pada DAS Nasional (lintas propinsi) dan DAS Strategis Nasional (DAS Citarum, Brantas, SerayuBogowonto, dan Jratunseluna) di pulau Jawa sehingga dapat dijadikan pedoman bagi para petugas pengelolaan sumber daya air baik tingkat pusat maupun daerah (propinsi, kabupaten/kota maupun Balai PSDA) dalam memperkirakan ketersediaan dan kebutuhan air di suatu DAS untuk berbagai keperluan dan menyusun manual untuk memperbaharui data dan informasi yang terkait dengan neraca air (kebutuhan dan pasokan air).

Hasil dari studi ini adalah tersusunnya neraca air pada DAS Nasional (lintas propinsi) dan DAS Strategis Nasional (DAS Citarum, Brantas, SerayuBogowonto, dan Jratun-Seluna) di Pulau Jawa sehingga dapat dijadikan pedoman bagi para petugas pengelolaan sumber daya air baik tingkat pusat maupun daerah (propinsi, kabupaten/kota maupun Balai PSDA) dalam memperkirakan ketersediaan dan kebutuhan air suatu DAS untuk berbagai

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

BUKU 2 IDENTIFIKASI MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

BAB 5 ANALISIS MASALAH PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PULAU JAWA

keperluan dan tersusunnya manual untuk memperbaharui data dan informasi yang terkait dengan neraca air (kebutuhan dan pasokan air).

5-14

27. Neraca Sumber Daya Air Spasial Nasional, Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (2001). Tim Neraca Sumber Daya Air Spasial yang terdiri dari Direktorat Jenderal Sumber Daya Air Departemen Kimpraswil, Direktorat Jenderal Tata Lingkungan Geologi dan Kawasan Pertambangan Departemen Pertambangan dan Bidang Neraca Sumber Daya Air Pusat Survei Sumber Daya Alam Darat Bakosurtanal telah mengembangkan konsep evaluasi sumber daya air yang disebut Neraca Air Spasial. Sebagai Instansi Pusat (Bakosurtanal) khususnya Pusat Survei Sumberdaya Alam Darat, menyusun data spasial tersebut secara nasional yakni Neraca Sumber daya air Spasial Nasional. Tujuan studi ini adalah menginvetarisasi potensi sumber daya air nasional secara spasial, mengetahui pemanfaatan air nasional secara spasial, dan menyusun neraca sumber daya air spasial nasional dan menyajikan dalam bentuk data spasial.

LAPORAN AKHIR Prakarsa Strategis Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Mengatasi Banjir dan Kekeringan di Pulau Jawa

Anda mungkin juga menyukai