Anda di halaman 1dari 17

TEORI PERKEMBANGAN PSIKOSOSIAL

I. PENDAHULUAN Psikososial adalah setiap perubahan yang terjadi dalam kehidupan individu, baik yang bersifat psikologik maupun sosial yang mempunyai pengaruh timbal balik. Teori perkembangan psikososial dikembangkan oleh Erik H. Erikson. Siklus kehidupan adalah proses perubahan (progresi berkembang) yang terjadi selama tahun-tahun kehidupan manusia, dari lahir hingga akhir hayatnya, mencakup berbagai perubahan kebutuhan yang dapat dikelompokkan dalam aspek-aspek fisik, psikoseksual, psikososial, kognitif dan moral.1 Sebelum lahir, seorang anak memiliki lingkungan sosial berupa sang ibu. Setelah lahir juga kecenderungan hhubungan dengan satu pengasuh, biasanya ibu. Saat fokus penglihatan seorang anak dan keterampilannya melakukan sesuatu berkembang, dunia sosialnya juga meluas sehingga mancakup berbagai benda dan lebih banyak orang. Dunia sosial ini akan semakin meluas melalui perkenalan dengan orang-orang yang bukan keluarga inti. Anak akan mulai menyadari adanya peristiwa dan kegiatan diluar rumah. Ketika usianya bertambah, anak-anak dari keluarga lain diperkenalkan dan hubungan ini akan menjadi lebih formal dalam tempat penitipan anak, taman kanak-kanan atau playgroup. Perkenalan dengan sekolah akan menghasilkan lingkungan pergaulan yang lebih luas lagi. Perkenalan-perkenalan ini, dapat melalui televisi dan media lain, ini akan menyajikan pengetahuan mengenai dunia yang lebih luas.2

Penelitian menunjukkan bahwa interaksi antar sebaya penting untuk perkembangan normal sebagai media pengembangan keterampilan sosial, kepercayaan diri, dan untuk melatih hubungan di masa depan. Seiring bertambahnya usia, pentingnya suatu lingkungan sosial cenderung berubah. Pada masa remaja dan dewasa muda, pergaulan sebaya biasanya melebihi pergaulan dengan keluarga dekat. Seiring bertambahnya usia, lingkungan sosial cenderung berubah. Pada masa remaja dan dewasa muda, pergaulan sebaya biasanya melebihi pergaulan dengan keluarga dekat. Saat transisi dari sekolah atau perguruan tinggi kelingkungan kerja, sering terjadi pengerucutan kontak sosial kekelompok orang yang lebih sedikit.2

II. TENTANG ERIK ERIKSON (1902-1994) Erik Erikson lahir di Franfrurt Jerman, pada tanggal 15 Juni 1902 adalah ahli analisa jiwa dari Amerika, yang membuat kontribusi-kontribusi utama dalam pekerjaannya di bidang psikologi pada pengembangan anak dan pada krisis identitas. Ayahnya (Danish) telah meninggal dunia sebelum ia lahir. Hingga akhirnya saat remaja, ibunya (yang seorang Yahudi) menikah lagi dengan psikiater yang bernama Dr. Theodor Homberger. 3

Erikson kecil bukanlah siswa pandai, karena ia adalah seorang yang tidak menyenangi atmosfer sekolah yang formal. Ia oleh orang tua dan teman-temannya dikenal sebagai seorang pengembara hingga ia pun tidak sempat menyelesaikan program diploma. Tetapi perjalanan Erikson ke beberapa negara dan perjumpaannya dengan beberapa penggiat ilmu menjadikannya seorang ilmuwan

sekaligus seniman yang diperhitungkan. Pertama ia berjumpa dengan ahli analisa jiwa dari Austria yaitu Anna Freud. Dengan dorongannya, ia mulai mempelajari ilmu tersebut di Vienna Psychoanalytic Institute, kemudian ia mengkhususkan diri dalam psikoanalisa anak. Terakhir pada tahun 1960 ia dianugerahi gelar profesor dari Universitas Harvard.3

Setelah menghabiskan waktu dalam perjalanan panjangnya di Eropa Pada tahun 1933 ia kemudian berpindah ke USA dan kemudian ditawari untuk mengajar di Harvad Medical School. Selain itu ia memiliki pratek mandiri tentang psiko analisis anak. Terakhir, ia menjadi pengajar pada Universitas California di Berkeley, Yale, San Francisco Psychoanalytic Institute, Austen Riggs Center, dan Center for Advanced Studies of Behavioral Sciences.3

Selama periode ini Erikson menjadi tertarik akan pengaruh masyarakat dan kultur terhadap perkembangan anak. Ia belajar dari kelompok anak-anak Amerika asli untuk membantu merumuskan teori-teorinya. Berdasarkan studinya ini, membuka peluang baginya untuk menghubungkan pertumbuhan kepribadian yang berkenaan dengan orangtua dan nilai kemasyarakatan.3

Keinginannya untuk meneliti perkembangan hidup manusia berdasarkan pada pengalamannya ketika di sekolah. Saat itu anak-anak lain menyebutnya Nordic karena ia tinggi, pirang, dan bermata biru. Di sekolah grammar ia ditolak karena berlatar belakang Yahudi.3

Buku pertamanya adalah Childhood dan Society (1950), yang menjadi salah satu buku klasik di dalam bidang ini. Saat ia melanjut pekerjaan klinisnya dengan anak-anak muda, Erikson mengembangkan konsep krisis perasaan dan identitas sebagai suatu konflik yang tak bisa diacuhkan pada masa remaja. Buku-buku karyanya antara lain yaitu: Young Man Luther (1958), Insight and Responsibility (1964), Identity (1968), Gandhi's Truth (1969): yang menang pada Pulitzer Prize and a National Book Award dan Vital Involvement in Old Age (1986).1,3

III. PERKEMBANGAN PSIKOSOSIAL Teori perkembangan psikososial dikembangkan oleh Erik H. Erikson, menurut Erik H. Erikson, manusia berpotensi mengalami perkembangan psikologi yang sehat dan mampu mengatasi kesulitan, dapat mengikuti masa dan peringkat perkembangan tertentu. Dalam bukunya Childhood and Society (1963) dan Identity, Youth and Crisis (1968), Erikson menggambarkan siklus kehidupan manusia itu sebagai suatu proses yang terdiri dari delapan fase dari bayi hingga usia lanjut, pandangannya bertolak dari prinsip epigenetic yang menganggap bahwa segala sesuatu yang berkembang, mempunyai suatu pola dasar, dari pola dasar itu akan berkembang bagian-bagian yang masing-masing menurut waktunya yang spesifik hingga mencapai titik yang tertinggi dan kemudian membentuk suatu kesatuan yang fungsional yang menyeluruh. Masing-masing fase itu memiliki krisisnya sendiri yang khas. Berhasil tidaknya seorang individu menyelesaikan konflik-konflik yang terkait krisis di satu fase, akan menentukan

apakah seseorang akan siap untuk selanjutnya mencapi maturasi kepribadian yang sesuai dengan harapan budaya atau masyarakatnya.1 Masa remaja merupakan saat pencapaian keberhasilan atau kegagalan fase-fase sebelumnya, akan melebur dan membentuk suatu landasan menuju masa depan dengan kepribadian mantap dalam identitas dan kehidupan emosionalnya.1 Erikson melihat perkembangan manusia dalam konteks individu didalam matriks sosialnya ; suatu proses yang terjadi melalui interaksi individu dengan lingkunag sekitanya, antara nature dan nurture. Krisis perkembangan menurut Erikson bersumber pada krisis yang terjadi dalam usaha individu mencapai tujuan-tujuan peribadinya agar sesuai dengan apa yang diharapkan oleh masyarakat sosialnya dan bukan sekedar hambatan atau tidak terpuaskannya doronga-dorongan seksual.1 Erikson menganggap bahwa perkembangan psikososial manusia adalah suatu proses seumur hidup. Krisis-krisis yang tidak terselesaikan akan berakibat pada timbulnya psikopatologi kepribadian yang dapat menetap dimasa dwwasa dan usia lanjut.1 Pusat dari teori Erikson mengenai perkembangan ego ialah sebuah asumpsi mengenai perkembangan setiap manusia yang merupakan suatu tahap yang telah ditetapkan secara universal dalam kehidupan setiap manusia. Proses yang terjadi dalam setiap tahap yang telah disusun sangat berpengaruh terhadap Epigenetic Principle yang sudah dewasa/matang. Dengan kata lain, Erikson

mengemukakan persepsinya pada saat itu bahwa pertumbuhan berjalan berdasarkan prinsip epigenetic.4 Erikson dalam teorinya mengatakan melalui sebuah rangkain kata yaitu : 4 1. Pada dasarnya setiap perkembangan dalam kepribadian manusia mengalami keserasian dari tahap-tahap yang telah ditetapkan sehingga pertumbuhan pada tiap individu dapat dilihat/dibaca untuk mendorong, mengetahui, dan untuk saling mempengaruhi, dalam radius soial yang lebih luas. 2. Masyarakat, pada prinsipnya, juga merupakan salah satu unsur untuk memelihara saat setiap individu yang baru memasuki lingkungan tersebut guna berinteraksi dan berusaha menjaga serta untuk mendorong secara tepat berdasarkan dari perpindahan didalam tahap-tahap yang ada.

IV. FASE-FASE PERKEMBANGAN PSIKOSOSIAL

Delapan tahap/fase perkembangan kepribadian menurut Erikson memiliki ciri utama setiap tahapnya adalah di satu pihak bersifat biologis dan di lain pihak bersifat sosial, yang berjalan melalui krisis diantara dua polaritas. Adapun tingkatan dalam delapan tahap perkembangan yang dilalui oleh setiap manusia Kedelapan tahapan perkembangan kepribadian dapat digambarkan sebagai berikut ini :5

Bayi Anak dibawah tiga tahun Usia Pra-Sekolah

Kepercayaan Dasar vs Kecurigaan Otonomi vs Perasaan malu Ana Inisiatif versus Kesalahan

Anak Usia Sekolah Anak Remaja Dewasa Muda Usia pertengahan Usia Lanjut

Kerajinan versus Inferioritas Identitas versus Kekacauan Identitas Keintiman versus Isolasi Generativitas versus Stagnasi Integritas versus Keputusasaan

1. Kepercayaan Dasar versus Kecurigaan Dasar. Masa Bayi, berlangsung antara 0 1 tahun, kepercayaan dasar yang paling awal terbentuk selama tahap sensorik oral yang ditunjukkan oleh bayi lewat kapasitasnya untuk tidur dengan tenang, menyantap makanan dengan nyaman dan membuang kotoran dengan santai. Setiap hari jam jam jaganya meningkat, bayi itu menjadi semakin biasa dengan kebiasaannya dan pengalaman pengalaman inderawi yang dibarengi dengan perasaan yang menyenangkan dan orang orang yang bertanggung jawab menimbulkan kenyamanan ini menjadi akrab dan dikenal oleh bayi. Berkat kepercayaan dan keakrabannya dengan orang yang menjalankan fungsi keibuan ini, maka bayi tersebut mampu menerima bahwa orang tersebut mungkin tidak ada untuk sementara waktu. Prestasi sosial pertama yang dicapai bayi tersebut mungkin karena ia mengembangkan suatu kepastian dan kepercayaan dalam dirinya bahwa orang bersifat keibuan itu akan kembali. Kebiasaan kebiasaan, konsistensi, dan kontinuitas sehari hari dalam lingkungan bayi merupakan dasar paling awal bagi berkembangnya suatu identitas psikososial. Perkembangan pada masa ini, sangat tergantung pada kualitas pemiliharaan ibu. Apabila kualitas

pemeliharaan atau pengetahuan tentang perawatan anak ibu cukup maka akan dapat menumbuhkan kepribadian yang penuh kepercayaan, baik terhadap dunia luar maupun terhadap diri sendiri. Sebaliknya, jika tidak terpenuh anak akan memungkinkan jadi penakut, ragu ragu dan khawatir terhadap dunia luar, terutama kepada manusia yang lain.6,7 2. Otonomi versus Perasaan Malu dan Keragu raguan. Masa Kanak- Kanak Permulaan, berlangsung pada usia 2 3 tahun yang menentukan tumbuhnya kemauan baik dan kemauan keras, anak mempelajari apakah yang diharapkan dari dirinya, apakah kewajiban kewajiban dan hak haknya disertai apakah pembatasan pembatasan yang dikenakan pada dirinya, inilah tahap saat berkembangnya kebebasan pengungkapan diri dan sifat penuh kasih sayang, rasa mampu mengendalikan diri akan menimbulkan dalam diri anak rasa memiliki kemauan baik dan bangga yang bersifat menetap, jika orang tua dapat menolak anak untuk melakukan apa yang dapat dilakukannya, tetapi tidak patut dilakukan. Sebaliknya, orang tua dapat mendorong atau memaksa anak melakukan yang patut, sesuai batas kemampuannya. Hal ini akan menumbuhkan rasa percaya diri pada anak. Apabila orang tua melindungi anak berlebihan atau tidak peka terhadap rasa malu anak di hadapan orang lain dapat menumbuhkan pribadi pemalu dan ragu ragu yang bersifat menetap.6,7

3. Inisiatif versus Kesalahan.

Masa Bermain, berlangsung pada usia 4 tahun sampai usia sekolah. Tahap ini menumbuhkan inisiatif, suatu masa untuk memperluas penguasaan dan tanggung jawab. Selama tahap ini anak menampilkan diri lebih maju dan lebih seimbang secara fisik maupun kejiwaan, jika orang tua mampu mendorong atau memperkuat kreativitas inisiatif dari anak. Akan tetapi jika orang tua tidak memberikan kesempatan anak untuk menyelesaikan tugas tugasnya atau terlalu banyak menggunakan hukuman verbal atas inisiatif anak, maka anak akan tumbuh sebagai pribadi yang selalu takut salah. Masa bermain ini bercirikan ritualisasi dramatik, anak secara aktif berpartisipasi dalam kegiatan bermain, memakai pakaian, meniru kepribadian kepribadian orang dewasa, dan berpura pura menjadi apa saja mulai dari ekor kucing sampai seorang astronot. Jika pada masa bermain ini terjadi keterasingan batin yang dapat timbul pada tahap kanak -kanak ini ialah suatu perasaan bersalah.6,7

4. Kerajinan versus Inferioritas. Masa Usia Sekolah, berlangsung antara usia 6 11 tahun, pada masa ini berkembang kemampuan berfikir deduktif, disiplin diri dan kemampuan berhubungan dengan teman sebaya serta rasa ingin tahu akan meningkat. Ia mengembangkan suatu sikap rajin dan mempelajari ganjaran dari ketekunan dan kerajinan, perhatian pada alat alat permainan dan kegiatan bermain berangsur angsur digantikan oleh perhatian pada situasi situasi

produktif dan alat alat serta perkakas perkakas yang dipakai untuk berkerja. Apabila lingkungan orang tua dan sekitarnya, termasuk sekolah dapat menunjang akan menumbuhkan pribadi yang rajin dan ulet serta kompeten. Akan tetapi lingkungan yang tidak menunjang menumbuhkan pribadi pribadi anak yang penuh ketidakyakinan atas kemampuannya (inkompeten atau inferior ).6,7

5. Identitas versus Kekacauan Identitas. Masa Adolesen, berlangsung pada usia 12/13 20 tahun. Selama masa ini individu mulai merasakan suatu perasaan tentang identitasnya sendiri, perasaan bahwa ia adalah manusia unik, namun siap untuk memasuki suatu peranan yang berarti ditengah masyarakat, entah peranan ini bersifat menyesuaikan diri atau sifat memperbaharui, mulai menyadari sifat sifat yang melekat pada dirinya sendiri, seperti aneka kesukaan dan ketidaksukaannya, tujuan tujuan yang dikejarnya di masa depan kekuatan dan hasrat untuk mengontrol nasibnya sendiri. Inilah masa dalam kehidupan ketika orang ingin menentukan siapakah ia pada saat sekarang dan ingin menjadi apakah ia dimasa yang akan datang ( masa untuk membuat rencana rencana karier ). Freud menamakannya fase genital. Masa ini mengembangkan perasaan identitas ego yang mantap pada kutup positif dan identitas ego yang kacau pada kutub negatif . Erickson menegaskan bahwa ada tiga unsur yang merupakan persyaratan didalam pembentukan identitas ego, yaitu : 6,7

10

a. Individu yang bersangkutan harus menerima atau menggangap dirinya itu sama didalam berbagai situasi pengalaman dengan teman sebayanya. b. Orang orang disekitarnya, dalam satu lingkungan sosial harus memiliki persepsi yang sama terhadap diri individu tersebut.

c. Persepsi diri individu yang bersangkutan harus memdapat uji validitas dalam pengalaman hubungan antara manusia. Jadi, identitas ego positif akan menggambarkan kemampuan pemuda pemudi yang memahami dan menyakini tuntutan norma norma sosial, sehingga tumbuh rasa kesetiaan.

6. Keintiman versus Isolasi. Masa Dewasa Muda, berlangsung antara usia 20 24 tahun. Pada masa ini, mereka mengorientasikan dirinya terhadap pekerjaan dan teman hidupnya. Menurut Erickson, masa ini menumbuhkan kemampuan dan kesediaan meleburkan diri dengan diri orang lain, tanpa merasa takut merugi atau kehilangan sesuatu yang ada pada dirinya yang disebut Intimasi. Ketidakmampuan untuk masuk kedalam hubungan yang menyenangkan serta akrab dapat menimbulkan hubungan sosial yang hampa dan terisolasi atau tertutup ( menutup diri ).6,7

11

7. Generativitas versus Stagnasi. Masa Dewasa Tengah, berlangsung pada usia 25 45 tahun. Generativitas yang ditandai jika individu mulai menunjukkan perhatiannya terhadap apa yang dihasilkan, keturunan, produk produk, ide ide, dan keadaan masyarakat yang berkaitan dengan kehidupan generasi generasi mendatang adalah merupakan hal yang positif. Sebaliknya, apabila generativitas lemah atau tidak diungkapkan maka kepribadian akan mundur dan mengalami pemiskinan serta stagnasi, jika pada usia ini kehidupan individu didominasi oleh pemuasan dan kesenangan diri sendiri saja. Individu negatif tidak menunjukkan fungsi fungsi produktif, baik sebagai perseorangan maupun sebagai anggota masyarakat. 6,7

8. Integritas versus Keputusasaan.

Masa Usia Tua, berlangsung diatas usia 65 tahun. Tahap terakhir dalam proses epigenetis perkembangan disebut Integritas. Integritas paling tepat dilukiskan sebagai suatu keadaan yang dicapai seseorang setelah memelihara benda benda dan orang orang, produk produk dan ide ide, dan setelah berhasil menyesuaikan diri dengan keberhasilan keberhasilan dan kegagalan kegagalan dalam hidup. Sedangkan keputusasaan tertentu menghadapi perubahan perubahan siklus kehidupan individu, terhadap kondisi kondisi sosial dan historis, belum lagi kefanaan hidup dihadapan kematian, ini dapat memperburuk perasaan bahwa kehidupan ini tak berarti, bahwa ajal sudah dekat, ketakutan akan,

12

dan bahkan keinginan untuk mati. Masa ini menunjukkan positif, jika memiliki kepribadian yang bulat utuh yang ditandai sikap bijaksana, rasa puas terhadap masa hidupnya dan tidak takut menghadapi kematian. Sebaliknya, kepribadian yang pecah selalu menunjukkan pribadi yang penuh keraguan, merasa selalu akan menerima kegagalan dan merasa selalu dibayangi kematian.6,7

V. APLIKASI KLINIS TEORI PERKEMBANGAN PSIKOSOSIAL Pentingnya pengertian dan empati dokter dalam usaha menganani (assessment, diagnosis dan terapi) individu, dari bayi sampai usia lanjut bersadarkan fase-fase siklus hidup, diantaranya :1 a. Bayi (usia 0-1 tahun) Keadaan sakit dapat mengubah seseorang happy baby menjadi unhappy baby. Bayi senantiasa menjadi irritable, cemas, ketakutan dan sering menangis. Segala perasaan yang kurang menyenangkan karena sakitbya itu dieksperesikan melalui perilakunya. Dokter yang mengerti akan tingginya sensitivitas dan responsitivitas bayi terhadap rangsang, akan lebih mampu merancang suatu program lingkungan terapeutik yang menyenangkan, tidak menakutkan, yang bebas dari ransangan-ransangan akustik/visual yang tidak perlu. Kebutuhan akan rasa aman terhapa ibu atu pengasuh utama, perlu diusahakan sedapat mungkin tidak terjadi pemisahan dari ibu atau pengasuhnya. Ia memerlukan banyak kontak fisik dan afektif misalnya dengan belaian dan sering berbicara dengannya.

13

Penting bagi dokter untuk mengamati perilaku bayi seperti itu, disamping melakukan assement terhadap keadaan fisiknya. b. Anak dibawah tiga tahun (1-3 tahun) Sifat anak usia ini secara khas ditandai perilaku yang keras kepala, egosentrik, dan melawan (oppositional). Istilah nakal dan ancaman hukuman bila tidak patuh pada orang tua, seringkali dilontarkan padanya. Secara khusus seoranga anak batita yang sakit harus diberitahu bahwa sakitnya itu tidak berhubungan sama sekali dengan kenakalannya atau sebagai hukuman. Walaupun pengertian akan hal itu masih sangat terbatas, namun anak batita sangat sensitive terhadap isyarat-isyarat lingkungan yang mencerminkan sikap menyalahkan seperti itu. Prosedur-prosedur medic, terutama yang menyakitkan,akan merupakan ancaman baik fisik maupun mental bagi anak usia ini. Penjelasan yang sedehana dan benar dan terus terang perlu diberikan walaupun tampaknya anak belum mengerti. Berbohong malah dapat menjadi counter-prodictive karena akan menghilangkan rasa percaya (trust). Disamping rasa bersalah, ketakutanakan hukuman stessor utamaya masih juga berkaitan dengan pemisahan dari ibu; system perawatan dengan rooming in masih tetap diperlukan bagi anak-anak usia ini. c. Anak Usia Pra-Sekolah (3 - 6 tahun) Rasa bersalah yang dihubungkan dengan penyakit, masih menetap pada usia ini. Berkembangnya kemampuan berimajinasi, masih kaburnya batas antara fantsi dan realitas, dan lemahnya pengertian akan sebab-akibat,

14

membuat anak mengasosiasikan sakitnya itu dengan perbuatan-perbutan dan kenakalannya. Rasa bersalah lebih domina dalam alam persaaanya, dan semua prosedur medic yang menyakitkan diartikan sebagai hukuman. Semua prosedur medic yang akan dikerjakan perlu diberikan penjelasan dan anak dipersiapkan terlebih dahulu. Karena anak selalu akan mengalami regresi pada keadaan sakit, maka anak usia inipun masih akan mengalami kecemasan perpisahan yang tinggi; rooming in masih tetap sangat dianjurkan. d. Anak Usia Sekolah (6 12 tahun) Kebutuhan akan persaingan dengan teman sebaya, dan berhasil karya (task completion ability) membuat anak usia sekolah ini selalu membandingkan dirinya dengan teman-temannya. Keadaan sakit membuatnya tertinggal dari teman. Anak-anak seusia ini seringkali menolak pembatasanpembatasan yang melarang mereka beraktivitas seperti anak lainnya; mereka gelisah bila teetinggal pelajaran tau kegiatan lainnya. Tidak jarang kita alami anak yang berkelanjutan menolak sekolah sesudah ia absen untuk waktu lama karena sakit. Penting diketahui bahwa orang tua dan dokter sebaiknya berbicara dan membiarkan anak mengutarakan pendapat dan kekecawaanya. Perhatian dan empati mengenai perasaannya itu harus diakomodasi dan dicarikan alternatif penyelesaian, yang dapat membuat anak lebih tenang, kooperatif dan kurang oposional terhadap usaha pengobatan. e. Anak Remaja (12 - 21 tahun)

15

Khususnya bagi anak remaja, keadaan sakit merupakan ancaman yang sangat berarti, karena hal itu menjadikannya orang yang dependen. justru disaat independensi merupakan hal yang sangat vital baginya. Anak remaja dapat menjadi sangat pemarah, penetang atau pemberontak, dan sangat tidak kooperatif. Pemisahan dari teman-temannya dan kegiatannya dapat menempatkan remaja dalam keadaan stress berat. Dokter yanga sensitive dan inovatif dapat membantu menyalurkan ekspresi

emosionalnya itu secara lebih konstruktif yang dapat membantu usaha pengobatan. f. Dewasa Muda (21 40 tahun) Bila sakit, seorang dewasa mud akan merasakannya sebegai terhenti atau terhambatnya produktivitas. Banyak juga yang mengjawatirkan akan terjadinya perubahan dalam kualitas hubungan intim. Dokter yang mengenali gejal depresi pada pasiennya akan dapt membantu kearah

menanggulanginya selama dalam proses perjalanan sakit kesembuhan. g. Usia pertengahan (40 65 tahun)

Di usia pertengahan, menjadi sakit merupakan hal yang sangat sulit, karena ide-ide dan rencana-rencana kehidupan yang begitu vital baginya harus ditinggalkan/dibatalkan karena sakitnya itu. Penyakit dapat diartikan sebagai deteriosasi karena usia, dan dengan demikian dapat menimbulkan kecemasan dan depresi . lebih-lebih bila anak-anaknya belum mandiri, rasa gagal untuk menyiapkan anak-anaknya itu mulai kian menghantuinya.

16

Ventilasi dan saling berbagi rasa mengenai pikiran dan perasaannya itu, umumnya dapat membantu pasien, dan dokter dapat menjadi fasilitator dalam proses penyembuhan. h. Usia Lanjut (diatas 65 tahun) Penyakit diusia lanjut dapat semakin menurunkan harga diri dan arti diri (dignity) yang sangat vital untuk integritas diri. Dependensi yang semakin besar terhadap orang lain, diartikannya sebagai membebani keluarga dan merasa diri tidak berguna lagi. Iritabilitas, amarah, depresi, kecemasan dapat merupakan ekspresi dari konfliknya itu. Sikap dokter sangat besar peran dan pengaruhnya bagi pasien, agar pasien tidak semakin menuju kepada keputusasaan. Pengertian mengenai silus kehidupan akan membuat dokter lebih siap dan lebih mantap bila menghadapi respon-respon perilaku yang digambarkan diatas. Tanpa pengertian itu, respon perilaku itu dapat dirasakan sebagai hal-hal yang tidak rasional dan menjengkelkan.1 Mengerti dasar-dasar silkus kehidupan itu dan bagaimana hal itu berpengaruh pada perilaku manusia dalam fase-fase kehidupan itu, akan meningkatkan sensitivitas dan empati dokter, tidak hanya terhadap pasien, tetapi juga terhadap keluarga dan teman-teman disekitarnya.1

17

Anda mungkin juga menyukai