Anda di halaman 1dari 6

Tinjauan Pustaka

Reaksi Hemolitik Akibat Transfusi

Rizky Adriansyah, Selvi Nafianty, Nelly Rosdiana, Bidasari Lubis


Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran. Universitas Sumatera Utara, Medan

Abstrak: Reaksi hemolitik akibat transfusi merupakan salah satu akibat transfusi yang sering terjadi. Reaksi ini harus dibedakan secara klinis dan laboratoris dengan reaksi transfusi yang lain serta reaksi hemolitik karena penyebab yang lain. Secara umum ada dua kelompok reaksi hemolitik akibat transfusi yaitu reaksi hemolitik yang disebabkan proses imun dan non imun. Reaksi hemolitik yang disebabkan proses imun terdiri dari reaksi hemolitik akut dan reaksi hemolitik lambat. Sedangkan reaksi hemolitik lain yang dapat terjadi selama atau setelah transfusi lebih dikenal sebagai reaksi pseudo-hemolitik. Pemberian transfusi pada anemia hemolitik masih menjadi perdebatan di kalangan ahli. Pada pasien dengan penyakit kritis, keadaan anemia yang berat harus segera diatasi dengan tindakan transfusi. Namun apabila anemia yang terjadi disebabkan proses hemolitik, maka transfusi merupakan tindakan yang kontroversial. Tatalaksana reaksi hemolitik akut akibat transfusi adalah menghentikan segera tindakan transfusi dan melakukan hidrasi. Terapi suportif yang harus tetap dilakukan adalah pemantauan tanda vital seperti jalan napas, tekanan darah, frekuensi jantung, dan jumlah urin. Tatalaksana reaksi hemolitik lambat akibat transfusi adalah menghentikan transfusi atau memberikan transfusi dengan mengganti jenis darah yang lain. Sedangkan pada reaksi pseudohemolitik, tatalaksana berdasarkan penyebab. Kata Kunci: reaksi hemolitik, transfusi, anemia, tatalaksana.

Maj Kedokt Indon, Volum: 59, Nomor: 8, Agustus 2009

387

Reaksi Hemolitik Akibat Transfusi

Transfusion-derived Hemolytic Reaction Rizky Adriansyah, Selvi Nafianty, Nelly Rosdiana, Bidasari Lubis
Department of Child Health, University of South Sumatera, Medan

Abstract: Hemolytic reaction due to transfusion is one of the most occuring adverse effect of a transfusion. Such reaction must be differentiated clinically and laboratorically with other transfusion reaction and hemolytic reaction due to other causes. Generally, there are two groups of hemolytic reaction due to tranfusion: hemolytic reaction because of immunological and nonimmunological processes. Hemolytic reaction due to immunological process comprises of acute hemolytic reaction and delayed hemolytic reaction. Meanwhile, other hemolytic reaction that may occur during or after transfusion are known as pseudo-hemolytic reaction. Transfusion for patient with hemolytic anemia is still a controversy even for the experts. In patient with critical disease, severe anemia must be immediately overcome with a transfusion. However, when anemia occurs due to hemolytic process, then transfusion become controversial. Management of transfusion-derived acute hemolytic reaction is to immediately stop tranfusion and start hidration. Supportive therapy that must continually be performed is observation of vital signs such as airway, blood pressure, heart rate, and volume of urine. Managment of delayed hemolytic reaction due to transfusion is to stop transfusion or replace with other type of blood. On the other hand, for pseudo-hemolytic reaction, management is depending on etiology. Keywords: hemolytic reaction, transfusion, anemia, management

Pendahuluan Transfusi merupakan proses transplantasi paling sederhana, yaitu pemindahan darah dari donor ke resipien. Transfusi hanya dilakukan atas dasar indikasi dan urgensi.1 Jika dilakukan secara tidak tepat dan tidak rasional, dapat menimbulkan berbagai akibat yang fatal. Salah satu akibat transfusi yang dapat terjadi adalah reaksi hemolitik.2,3 Insidens reaksi hemolitik akibat transfusi diperkirakan 1 : 70 000 unit kantong darah.4 Secara umum ada dua kelompok reaksi hemolitik akibat transfusi yaitu reaksi hemolitik yang disebabkan proses imun (immune mediated hemolysis) dan non-imun (non-immune mediated hemolysis). Reaksi hemolitik yang disebabkan oleh proses imun terdiri dari reaksi hemolitik akut (acute hemolytic transfusion reaction, AHTR) dan reaksi hemolitik lambat (delayed hemolytic transfusion reaction, DHTR), sedangkan reaksi hemolitik lain yang dapat terjadi selama atau setelah transfusi lebih dikenal sebagai reaksi pseudo-hemolitik (pseudo-hemolytic transfusion reaction).4 Rerata normal masa hidup eritrosit (mean red cell life, MRCL) adalah 110 sampai 120 hari. Jika suatu penyakit atau keadaan tertentu menghancurkan eritrosit sebelum waktunya, maka sumsum tulang akan berusaha menggantinya dengan mempercepat pembentukan retikulosit sampai sepuluh kali kecepatan normal. Namun jika penghancuran eritrosit telah melebihi usaha pembentukannya dan MRCL menurun menjadi 15 hari atau kurang, maka akan terjadi anemia

hemolitik.5,6 Pemberian transfusi pada anemia hemolitik masih menjadi perdebatan di kalangan ahli. Pada pasien dengan penyakit kritis, keadaan anemia yang berat harus segera diatasi dengan tindakan transfusi. Namun apabila anemia yang terjadi disebabkan proses hemolitik, maka transfusi merupakan tindakan yang kontroversial.7,8 Paul E. Marik, et al. menyatakan bahwa transfusi pada anak yang dirawat di Pediatric Intensive Care Unit (PICU), dengan riwayat trauma atau pembedahan akan meningkatkan angka morbiditas dan mortalitas.8 Reaksi Hemolitik Akut Akibat Transfusi Pada kasus kegawatdaruratan di bidang hematologi, AHTR merupakan masalah yang sangat serius karena terjadi destruksi eritrosit donor yang sangat cepat (kurang dari 24 jam). Pada umumnya AHTR disebabkan oleh kesalahan dalam identifikasi sampel darah resipien atau dalam pencocokan sampel darah resipien dan donor (crossmatch). Sebagian besar terjadi pada saat transfusi whole blood (WB) atau packed red cell (PRC) dan jarang terjadi pada transfusi fresh frozen plasma (FFP), trombosit, imunoglobulin, dan faktor VIII nonrekombinan. Angka kejadian diperkirakan 1 : 250 000 - 600 000.2-4 Umumnya proses hemolitik terjadi di dalam pembuluh darah (intravaskular), yaitu sebagai reaksi hipersensitivitas tipe II. Plasma donor yang mengandung eritrosit dapat

388

Maj Kedokt Indon, Volum: 59, Nomor: 8, Agustus 2009

Reaksi Hemolitik Akibat Transfusi merupakan antigen (major incompatability) yang berinteraksi dengan antibodi pada resipien yang berupa imunoglubulin M (IgM) anti-A, anti-B, atau terkadang antirhesus. Proses hemolitik dibantu oleh reaksi komplemen sampai terbentuknya C5b6789 (membrane attack complex). Pada beberapa kasus juga dapat terjadi interaksi plasma donor sebagai antibodi dan eritrosit resipien sebagai antigen (minor incompatability) . Malah dapat terjadi interaksi plasma donor sebagai antibodi dengan eritrosit donor sendiri sebagai antigen (inter-donor incompatability) pada saat diberikan kepada resipien, tetapi kasus seperti ini jarang sekali.3,4 AHTR juga dapat melibatkan IgG dengan atau tanpa melibatkan komplemen, dan proses ini dapat terjadi secara ekstravaskular. Ikatan antigen-antibodi akan mengaktivasi reseptor Fc dari sel sitotoksik atau sel K (large lymphocytes) yang menghasilkan perforin (antibody dependent cellular cytotoxicity, ADCC) dan mengakibatkan lisis dari eritrosit.4,9 Awal manifestasi klinis umumnya tidak spesifik, dapat berupa demam menggigil, nyeri kepala, nyeri pada panggul, sesak napas, hipotensi, hiperkalemia, dan urin berwarna kemerahan atau keabuan (hemoglobinuria). Pada AHTR yang terjadi di intravaskular dapat timbul komplikasi yang berat berupa disseminated intravascular coagulation (DIC), gagal ginjal akut (GGA), dan syok. Pada pasien yang masih mendapat pengaruh obat-obat anestesi atau koma, DIC merupakan petunjuk yang sangat penting untuk terjadinya AHTR.3,4,9,10 Tata laksana Jika terjadi AHTR, pemberian transfusi harus dihentikan segera dan harus dilakukan hidrasi dengan cairan salin normal (3000 ml/m2/hari). Terapi suportif yang harus tetap dilakukan adalah pemantauan tanda vital seperti jalan napas, tekanan darah, frekuensi jantung, dan jumlah urin. Antihistamin (difenhidramin) dan kortikosteroid (prednisolon) dapat diberikan untuk mengatasi gejala dan tanda klinis. Kejadian AHTR harus dicatat dalam laporan pasien dan darah yang tersisa harus dikembalikan ke unit transfusi darah (UTD) untuk dilakukan investigasi serologis.2-4,10 Selain dilakukan hidrasi, untuk mencegah terjadinya GGA dapat diberikan dopamin dosis rendah (1 sampai 5 mcg/ kg/menit) dan diuretik osmotik berupa manitol (100 ml/m2/ bolus dan selanjutnya 30 ml/m2/hari yang diberikan tiap 12 jam) atau furosemid (1 sampai 2 mg/kgBB). Jika dijumpai tanda DIC maka transfusi FFP, kriopresipitat, dan/atau trombosit dapat dipertimbangkan.3,4,10 Pemeriksaan laboratorium yang harus segera dilakukan adalah melakukan crossmatch ulang. Prinsip dari crossmatch ini adalah mencocokkan jenis darah antara resipien dan donor dengan melihat reaksi kompatabilitas yang ditimbulkannya. Pemeriksaan laboratorium yang lain adalah Direct Antiglobulin Test (DAT), investigasi serologis (Rhesus,
Maj Kedokt Indon, Volum: 59, Nomor: 8, Agustus 2009

Kidd, Kell, Duffy), hemoglobinemia pada plasma, dan hemoglobinuria pada analisis urin.3,10 Untuk mengetahui adanya komplikasi dari reaksi hemolitik akibat transfusi sangat perlu dilakukan pemeriksaan fungsi ginjal dan status koagulasi (prothrombin time, partial thromboplastin time, dan fibrinogen). Konfirmasi laboratorium bahwa telah terjadi reaksi hemolitik akut akibat transfusi dapat dilakukan dengan pemeriksaan Lactate Dehidrogenase (LDH), bilirubin, dan haptoglobin. Pemeriksaan kultur darah dan urin penting dilakukan jika dicurigai sepsis.4,10 Reaksi Hemolitik Lambat Akibat Transfusi Pada DHTR, reaksi hemolitik sering diketahui saat dilakukan evaluasi tentang respons antibodi (Rhesus,Kell, Duffy, Kidd, dan antibodi non-ABO lainnya) setelah terpapar dengan antigen berupa eritrosit donor. Antibodi tidak dikenali pada saat dilakukan crossmatch sebelum transfusi karena interaksi antigen-antibodi merupakan respons imun sekunder yang diketahui setelah 3 sampai 7 hari. Angka kejadiannya diperkirakan 1 : 6 000 sampai 33 000.2-4,11 DHTR diawali dengan reaksi antigen-antibodi yang terjadi di intravaskular, namun proses hemolitik terjadi secara ekstravaskular. Plasma donor yang mengandung eritrosit merupakan antigen (major incompatability) yang berinteraksi dengan IgG dan atau C3b pada resipien. Selanjutnya eritrosit yang telah diikat IgG dan C3b akan dihancurkan oleh makrofag di hati. Jika eritrosit donor diikat oleh antibodi (IgG1 atau IgG3) tanpa melibatkan komplemen, maka ikatan antigen-antibodi tersebut akan dibawa oleh sirkulasi darah dan dihancurkan di limpa.4,9,10 Gejala dan tanda klinis DHTR timbul 3 sampai 21 hari setelah transfusi berupa demam yang tidak begitu tinggi, penurunan hematokrit, peningkatan kadar bilirubin tidak terkonjugasi, ikterus prehepatik, dan dijumpainya sferositosis pada apusan darah tepi. Beberapa kasus DHTR tidak memperlihatkan gejala klinis, tetapi setelah beberapa hari dapat dijumpai DAT yang positif. Haptoglobin yang menurun dan dijumpainya hemoglobinuria dapat terjadi, tetapi jarang terjadi GGA. Kematian sangat jarang terjadi, tetapi pada pasien yang mengalami penyakit kritis, DHTR akan memperburuk kondisi penyakit.4,7,8,10 Tata Laksana Jika tidak dijumpai reaksi hemolitik yang berat, tidak ada pengobatan yang spesifik, dan dapat diberikan terapi suportif untuk mengatasi gejala klinis. Pemberian transfusi dapat dihentikan atau diganti dengan pengganti darah jenis lain. Konfirmasi pemeriksaan laboratorium pada prinsipnya hampir sama dengan reaksi hemolitik akut.4,9 Reaksi Pseudohemolitik Akibat Transfusi Reaksi pseudo-hemolitik akibat transfusi merupakan reaksi hemolitik lain yang terjadi pada darah donor selama
389

Reaksi Hemolitik Akibat Transfusi atau setelah transfusi diberikan, yang bukan merupakan reaksi transfusi. Gejala dan tanda klinis hampir sama dengan reaksi hemolitik akibat reaksi transfusi. Reaksi pseudohemolitik dapat berhubungan dengan proses imun maupun non-imun. Pada reaksi pseudohemolitik akibat transfusi dijumpai reaksi yang compatible pada pemeriksaan crossmatch dan DAT yang negatif. 4,12 Beberapa reaksi pseudohemolitik akibat transfusi dapat terjadi melalui beberapa mekanisme sebagai berikut: Mekanisme Reaksi Pseudohemolitik12 - Transfusion of aged cells - Thermal hemolysis (overheating, freezing) - Osmotic hemolysis (inadequate deglicerolitation, administration with hypotonic solutions or drugs) - Mechanical hemolysis (improper infusion devices, catheters, or needles) - Bacterial/parasitic contamination - Hemolysis due to congenital (G6PD deficiency, sickle trait) Trauma Suhu Trauma ini terjadi oleh karena darah yang diberikan terlalu panas atau masih terlalu dingin. Eritrosit tidak boleh terpapar dengan temperatur melebihi 40oC karena suhu tinggi dapat menyebabkan kerusakan membran eritrosit sehingga mengubah viskositas, ketidakstabilan, perubahan bentuk dan permeabilitas, serta gangguan osmotik. Eritrosit yang telah pecah akibat panas akan dibersihkan dari sirkulasi oleh limpa. Gejala dan tanda klinis mirip dengan AHTR. Standar darah yang dapat diberikan adalah darah yang hangat (sekitar 38oC). Metode yang dapat digunakan untuk menghangatkan darah adalah pemanasan dengan microwaves atau fototerapi, atau juga dapat digunakan air yang hangat.4,9 Paparan darah pada temperatur kurang dari 10oC per menit tanpa cryoprotective agent (seperti gliserol) dapat mengakibatkan trauma dehidrasi (dehydration injury) pada pasien. Namun, temperatur lebih dari 10oC per menit akan mengakibatkan kerusakan pada membran eritrosit oleh kristal es. Pada temperatur yang terlalu dingin, reaksi hemolitik dapat terjadi sebelum dilakukan transfusi, dan ini dapat dideteksi dari perubahan warna pada isi kantong darah.4,9 Trauma Osmotik Eritrosit sangat sensitif terhadap perubahan tekanan osmotik yang dapat mengakibatkan proses hemolitik secara cepat. Degliserolisasi eritrosit (degliserolized red blood cell) yang tidak adekuat dapat mengakibatkan hemolitik karena tekanan osmotik yang lebih rendah (hypotonic solutions) di intravaskular pada saat transfusi. Gejala dan tanda klinis mirip dengan AHTR. Untuk mencegah hal ini, cairan harus tetap isotonis. Setiap kantong darah yang berisi eritrosit, harus mengandung cairan salin normal, ABO-compatible plasma, dan albumin 5%.4,9
390

Eritrosit tidak dapat dicampur dengan obat-obatan dan beberapa cairan hipotonis seperti dekstrosa 5%, dekstrosa 5% dalam salin normal 0,225%, dan dekstrosa 5% dalam salin normal 0,45%. Ringer laktat juga tidak dapat ditambahkan pada eritrosit sebab kalsium yang dijumpai pada cairan ini akan bereaksi dengan senyawa sitrat yang merupakan antikoagulan dan dapat mengakibatkan bekuan darah di dalam kantong darah. Oleh karena itu pemberian cairan sebelum dilakukan transfusi haruslah diperhatikan. Pemberian cairan hipotonis dapat mengakibatkan reaksi hemolitik intravaskular.4.9 Trauma Mekanik Eritrosit dari donor dapat mengalami kerusakan selama proses transfusi oleh karena trauma mekanik seperti saat darah melewati jarum yang terlalu kecil, selang infus yang terlipat, dan adanya penekanan mekanik. Reaksi hemolitik juga dapat disebabkan oleh trauma mekanik pada pembuatan katup jantung dalam operasi jantung, pada tindakan hemodialisis, dan pada plasmapheresis atau cytapheresis. Gejala dan tanda klinis reaksi hemolitik akibat trauma mekanik mirip dengan AHTR.13 Kontaminasi Mikroba Sekitar 0,1- 0,3% darah terkontaminasi saat dikumpulkan dari donor. Kondisi yang berbeda antara proses penyimpanan dan proses transfusi serta kemampuan mikroorganisme untuk dapat hidup pada kondisi tersebut merupakan faktor risiko terjadinya reaksi hemolitik dan sepsis setelah transfusi. Kejadian ini diperkirakan 1 dari 1,5 juta kasus pasien yang mendapat transfusi. Walaupun pada kultur darah tidak dijumpai pertumbuhan bakteri, kontaminasi mikroba masih dapat terjadi jika unit kantong darah mengandung partikel atau bekuan darah, ada perubahan warna dan/atau ada udara.12,14 Pasien yang ditransfusi dengan darah yang terkontaminasi mikroba dapat menunjukkan gejala dan tanda AHTR, seperti demam, menggigil, hipotensi, takikardia, dan hemoglobinuria. Meskipun kejadianny jarang, transfusi darah yang terkontaminasi protozoa malaria dapat menunjukkan gejala demam dalam beberapa hari sampai minggu seperti pada DHTR. Jika dicurigai darah yang diberikan telah terkontaminasi mikroba saat diberikan, maka transfusi harus segera dihentikan, dilakukan pemantauan kondisi klinis pasien, evaluasi kantong darah yang terkontaminasi bakteri, dicatat, dan diberitahukan kepada UTD.14 Anemia Hemolitik Kongenital Eritrosit donor yang diberikan kepada penderita anemia hemolitik kongenital, dapat mengalami reaksi hemolitik yang mirip dengan AHTR atau DHTR. Anemia hemolitik kongenital yang sering dijumpai adalah akibat glucose-6-phosphate dehydrogenase (G6PD) deficiency. Pada defisiensi G6PD, eritrosit donor akan mengalami lisis jika terpapar zat yang menyebabkan oxidant stress.
Maj Kedokt Indon, Volum: 59, Nomor: 8, Agustus 2009

Reaksi Hemolitik Akibat Transfusi


Beberapa Zat yang Bersifat Oxidant Stress pada Defisiensi G6PD15 - Acetanilid - Phenylhydrazine - Furazolidone - Primaquine - Isobutyl nitrite - Sulfacetamide - Nalidixic acid - Sulfamethoxazole - Naphtalene - Sulfapyridine - Niridazole - Thiazolesulfone - Nitrofurantoin - Trinitrotoluene - Phenazopyridine - Urate Oxidase (TNT)

extracorporeal circulation - Thrombotic-thrombocytopenic purpura (Moschcowitz disease) - HELLP syndrome during gravidity - Intoxications - Near drowning Kesimpulan Ada dua kelompok reaksi hemolitik akibat transfusi yaitu reaksi hemolitik yang disebabkan oleh proses imun dan nonimun. Reaksi hemolitik yang disebabkan proses imun terdiri dari AHTR dan DHTR, sedangkan reaksi hemolitik lain yang bukan merupakan reaksi transfusi dikenal sebagai reaksi pseudo-hemolitik. Pemberian transfusi pada anemia hemolitik masih menjadi perdebatan di kalangan ahli. Pada AHTR transfusi harus dihentikan segera, sedangkan pada DHTR transfusi dapat dihentikan atau diganti dengan jenis pengganti darah yang lain. Pada reaksi pseudohemolitik, tata laksana dilakukan berdasarkan penyebab. Reaksi pseudo-hemolitik ini harus dibedakan dengan reaksi hemolitik akibat transfusi. Pada saat terjadi reaksi transfusi, juga harus dipikirkan apakah gejala dan tanda klinis yang timbul berhubungan dengan proses hemolitik atau nonhemolitik. Daftar Pustaka
1. 2. 3. 4. 5. Fasano R, Luban NL. Blood component therapy. Pediatr Clin N Am. 2008;55:421-55. Ness PM. Tranfusion medicine : An overview and update. Clinical Chemistry. 2000;46(8):1270-6. Sandler SG, Johnson VV. Transfusion reaction. Diunduh dari: http:/ /www.emedicine.com/article/206885 [Diakses Mei 2009]. Strobel E. Hemolytic transfusion reaction. Transfus Med Hemother. 2008;35:346-53. Segel BG. Definitons and classification of hemolytic anemias. Dalam: Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB, penyunting. Nelson text book of pediatrics. Edisi ke-18. Philadelpia : Saunders Corporation, 2008.h.2018-20. Dhaliwal G, Cornett PA, Tierney LM. Hemolytic Anemia. Am Fam Physician. 2004;69:2599-606. Drews RE. Critical issues in hematology : anemia, thrombocytopenia, coagulopathy, and blood product transfusions in critically ill patients. Clin Chest Med. 2003;24:607-22. Marik PE, Corwin HL. Efficacy of red blood cell transfusion in the critically ill : A systematic review of the literature. Crit Care Med. 2008;36(9):2667-74. Rosse WF, Hillmen P, Schreiber AD. Immune mediated hemolytic anemia. Hematology. 2004;1:48-62. Wu YY, Mantha S, Snyder D. Transfusion reactions. Dalam: Hoffman, penyunting. Hematology : Basic principles and practices. Edisi ke-5. Philadelphia: Churchill Livingstone, 2008.h. 153 Pineda AA. Trends in the incidence of delayed hemolytic and delayed serologic transfusion reactions. Transfusion. 1999; 39:1097-103. Kicklighter EJ, Klein HG. Hemolytic transfusion reactions. Dalam: Linden JV, Bianco C, penyunting. Blood safety and surveillance. Newyork: Medical, 2001.h.47-70. Shingu Y, Aoki H, Ebuoka N, Eya K, Takigami H, Oba J, et al. A surgical case for severe hemolytic anemia after mitral valve repair. Ann Thorac cardiovascular surg. 2005;11:198-200.

Diagnosis Banding Beberapa reaksi hemolitik yang bukan disebabkan oleh transfusi dapat terjadi ketika atau setelah transfusi diberikan, sehingga menyulitkan identifikasi penyebab reaksi hemolitik. Selain itu, reaksi hemolitik akibat transfusi juga memiliki gejala dan tanda klinis yang hampir sama dengan reaksi transfusi yang lain, sehingga pada saat terjadi reaksi transfusi harus dipikirkan apakah gejala dan tanda klinis yang timbul berhubungan dengan reaksi hemolitik atau non-hemolitik. Reaksi transfusi akut yang bukan merupakan reaksi hemolitik adalah :1,4 1. Transfusion-related acute lung injury (TRALI) 2. Transfusion-associated circulatory overload (TACO) 3. Nonhemolytic febrile transfusion reactions (NFTR) 4. Reaksi alergi 5. Reaksi anafilaksis Diagnosis Banding Reaksi Hemolitik Akibat Transfusi 1. Immunologically caused hemolysis - Autoimmunhemolytic anemia Warm antibody induced hemolytic anemia and Cold hemagglutinin disease - Paroxysmal cold hemoglobinuria - Drug induced immune hemolytic anemia - Passenger lymphocyte syndrome after stem cell or solid organ transplantation - Hemolytic disease of the newborn 2. Acute episodes of non-immunologically caused hemolysis - Hereditary erythrocyte defects - Defects of RBC enzymes (e.g. glucose-6-phosphate dehydrogenase deficiency) - Hemoglobinopathies (e.g. sickle cell disease) - Thalassemia - Defects of RBC membrane - Congenital erythropoietic porphyria - Paroxysmal nocturnal hemoglobinuria - Infections Bacterial (bartonellosis; hemolytic-uremic syndrome caused by enterohemorrhagic Escherichia coli; severe infections by bacteria producing hemolyzing toxins (e.g. Clostridium perfringens) - Protozoal (malaria, babesiosis) - Mechanical hemolysis by artificial heart valves or by
Maj Kedokt Indon, Volum: 59, Nomor: 8, Agustus 2009
4

6. 7.

8.

9. 10.

11.

12.

13.

391

Reaksi Hemolitik Akibat Transfusi


14. Brecher ME, Hay SN. Bacterial contamination of blood components. Clin Microbiol Rev. 2005;18:195-204. 15. Addiego JE, Hurst D, Lubin BH. Congenital hemolytic anemia. Pediatrics in Review. 1985;6:201-8. MS

392

Maj Kedokt Indon, Volum: 59, Nomor: 8, Agustus 2009

Anda mungkin juga menyukai