Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH KEPERAWATAN SISTEM IMUN DAN HEMATOLOGI

REAKSI TRANSFUSI

OLEH :

EKA PUSPO SARI


NIM. 141.0039

PRODI S1 3A

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN HANG TUAH


SURABAYA
PRODI S-1 KEPERAWATAN
2017

KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan
hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul
Makalah Keperawatan Sistem Imun dan Hematologi Reaksi Transfusi dengan
tepat waktu.

Makalah Makalah Keperawatan Sistem Imun dan Hematologi Reaksi


Transfusi disusun untuk melengkapi tugas Mata Kuliah Keperawatan Imun dan
Hematologi. Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada Pembimbing Mata
Kuliah Keperawatan Sistem Imun dan Hematologi serta pihak yang tidak bisa
kami sebutkan satu persatu karena beliau banyak membantu dalam proses
penulisan, penyusunan dan diskusi.

Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan yang mendasar pada


makalah ini. Oleh karena itu kami mengundang pembaca untuk memberikan saran
serta kritik yang dapat membangun kami. Kritik konstruktif dari pembaca sangat
kami harapkan untuk penyempurnaan makalah selanjutnya.

Akhir kata semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi kita sekalian.

Surabaya, 6 Maret 2017

Penulis

A. Definisi Reaksi Transfusi


Reaksi transfusi adalah suatu pengrusakan secara imunologik sel-sel
darah merah yang inkompatibel yang diperoleh melalui transfusi darah.
Reaksi yang terjadi dapat berupa reaksi pirogen, reaksi alergi, reaksi
hemolitik, atau transmisi penyakit-penyakit infeksi.
Reaksi transfuse merupakan semua kejadian yang tidak menguntungkan
penderita, yang timbul selama atau setelah transfusi, dan memang
berhubungan dengan transfuse tersebut.
Transfusi darah kadang menyebabkan reaksi transfusi. Ada jenis reaksi
transfusi yang buruk dan ada yang moderat. Reaksi transfusi bisa segera
terjadi setelah transfusi dimulai, namun ada juga reaksi yang terjadi beberapa
hari atau bahkan lebih lama setelah transfusi dilakukan.
Untuk mencegah terjadinya reaksi yang buruk, diperlukan tindakan
pencegahan sebelum transfusi dimulai. Jenis darah diperiksa berkali-kali, dan
dilakukan cross-matched untuk memastikan bahwa jenis darah tersebut cocok
dengan jenis darah dari orang yang akan mendapatkannya. Setelah itu,
perawat dan teknisi laboratorium bank darah mencari informasi tentang
pasien dan informasi pada unit darah (atau komponen darah) sebelum
dikeluarkan. Informasi ini dicocokkan sekali lagi di hadapan pasien sebelum
transfusi dimulai.

B. Macam-macam Reaksi Transfusi


1. Reaksi akut
Reaksi akut adalah reaksi yang terjadi selama transfuse atau dalam
24 jam setelah transfuse. Reaksi akut dapat dibagi menjadi tiga kategori
yaitu ringan, sedang-berat dan reaksi yang membahayakan nyawa. Reaksi
ringan ditandai dengan timbulnya pruritus, urtikaria dan rash. Reaksi
ringan ini disebabkan oleh hipersensitivitas ringan. Reaksi sedang-berat
ditandai dengan adanya gejala gelisah, lemah, pruritus, palpitasi, dyspnea
ringan dan nyeri kepala. Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan adanya
warna kemerahan di kulit, urtikaria, demam, takikardia, kaku otot. Reaksi
ringan diatasi dengan pemberian antipiretik, antihistamin atau
kortikosteroid, dan pemberian transfuse dengan tetesan diperlambat.
Reaksi sedang-berat biasanya disebabkan oleh hipersensitivitas
sedang-berat, demam akibat reaksi transfuse non-hemolitik (antibody
terhadap leukosit, protein, trombosit), kontaminasi pyrogen dan/ atau
bakteri
Pada reaksi yang membahayakan nyawa ditemukan gejala gelisah,
nyeri dada, nyeri di sekitar tempat masuknya infus, napas pendek, nyeri
punggung, nyeri kepala dan dyspnea. Terdapat pula tanda-tanda kaku otot,
demam, lemah, hipotensi )turun > 20% tekanan darah sistolik), takikardia
(naik >20%), hemoglobinuria dan perdarahan yang tidak jelas. Reaksi ini
disebabkan oleh hemolysis intravascular akut, kontaminasi bakteri, syok
septik, kelebihan cairan, anafilaksis dan gagal paru akut akibat transfuse.
a. Hemolisis intravascular akut
Reaksi hemolysis intravascular akut adalah reaksi yang disebabkan
inkompatibilitas sel darah merah. Antibody dalam plasma pasien akan
melisiskan sel darah merah yang inkompatibel. Meskipun volume
darah inkompatibel hanya sedikit (10-50ml) namun sudah dapat
menyebabkan reaksi berat. Semakin banyak volume darah yang
inkompatibel maka akan semakin meningkatkan risiko.
Penyebab terbanyak adalah inkompatibilitas ABO. Hal ini biasanya
terjadi akibat kesalahan dalam permintaan darah, pengambilan contoh
darah dari pasien ke tabung yang belum diberikan label, kesalahan
pemberian label pada tabung dan ketidaktelitian memeriksa identitas
pasien sebelum transfuse. Selain itu, penyebab lainnya adalah adanya
antibody dalam plasma pasien melawan antigen golongan darah lain
(selain golongan darah ABO) dari darah yang ditransfusikan.
Jika pasien sadar, gejala dan tanda biasanya timbul dalam beberapa
menit awal transfuse, kadang-kadang timbul jika telah diberikan
kurang dari 20 ml. jika pasien tidak sadar atau dalam anesthesia,
hipotensi atau perdarahan yang tidak terkontrol mungkin merupakan
satu-satunya tanda inkompatibilitas transfuse. Pengawasan pasien
dilakukan sejak awal transfuse dari setiap unti darah.
b. Kelebihan cairan
Kelebihan cairan menyebabkan gagal jantung dan edema paru. Hal ini
dapat terjadi bila terjadi banyak cairan yang di transfusikan, transfuse
terlalu cepat, atau penurunan fungsi ginjal. Kelebihan cairan terutama
terjadi pada psien dengan anemia kronik dan mmiliki penyakit dasar
kardiovaskular.
c. Reaksi anafilaksis
Risiko meningkat sesuai dengan kecepatan transfuse. Sitokin dalam
plasma merupakan salah satu penyebab bronkokonstriksi dan
vasokonstriksi pada resipien tertentu. Selain itu, defisiensi IgA dapat
menyebabkan reaksi anafilaksis sangat berat. Hal itu dapat disebabkan
produk darah yang banyak mengandung IgA. Reaksi ini terjadi dalam
bebrapa menit awal transfuse dan ditandai dengan syok (kolaps
kardiovaskular), distress pernafasan dan tanpa demam. Anafilaksis
dapat berakibat fatal bila tidak ditangani dengan cepat dan agresif
dengan antihistamin dan adrenalin.
d. Cedera paru akut akibat transfuse
Cedera paru akut disebabkan oleh plasma donor yang mengandung
antibody yang melawan leukosit pasien. Kegagalan fungsi paru
biasanya timbul dalam 1-4 jam sejak awal transfuse, dengan gambaran
foto toraks kesuraman yang difus. Tidak ada terapi spesifik, namun
diperlukan bantuan pernapasan di ruang rawat intensif.
2. Reaksi Hemolitik
a. Reaksi hemolitik kekebalan akut
Ini adalah jenis yang paling serius dari reaksi transfuse, tetapi sangat
jarang terjadi. Reaksi hemolitik kekebalan akut terjadi ketika
golongan darah donor dan pasien tidak cocok. Antibody pasien
menyerang sel-sel darah merah yang ditransfusikan, menyebabkan
mereka mematahkan dan melepaskan zat-zat berbahaya ke dalam
aliran darah.
Pasien mungkin menggigil, demam, nyeri dada dan punggung
bawah, serta mual. Ginjal dapat rusak parah, dan dialysis mungkin
diperlukan. Reaksi hemolitik dapat mematikan jika transfuse tidak
dihentikan segera saat reaksi dimulai.
b. Reaksi hemolitik tertunda
Reaksi ini terjadi ketika tubuh perlahan-lahan menyerang antigen
(antigen selain ABO) pada sel-sel darah yang ditransfusikan. Sel-sel
darah mengalami pemecahan stelah beberapa hari atau minggu
transfuse dilakukan. Biasanya tidak ada gejala, tetapi sel-sel darah
merah yang ditransfusikan hancur dan jumla sel darah merah pasien
mengalami penurunan. Dalam kasus yang jarang ginjal mungkin akan
terpengaruh, dan pengobatan mungkin diperlukan.
Seseorang mungkin tidak mengalami jenis reaksi seperti ini kecuali
mereka pernah mendapat transfuse di masa lalu. Orang-orang yang
mengalami jenis reaksi hemolitik tertunda ini perlu menjalani tes
darah khusus sebelum menerima transfuse darah kembali. Unit darah
yang tidak memiliki antigen yang menyerang tubuh harus digunakan
3. Reaksi Alergi
Alergi merupakan reaksi yang paling sering terjadi setelah tranfsusi drah.
Hal ini terjadi karena reaksi tubuh terhadap protein plasma dalam darah
donor. Biasanya gejala hanya gatal-gatal, yang dapat diobati dengan
antihistamin seperti diphenhydramine (Benadryl).
- Gejala yang timbul :
Ringan : urtikaria
Berat : sesak nafas, sianosis, hipotensi, syok
- Tindakan :
1) Stop transgusi 4 infus NaCl 0,9%
2) Beri antihistamin
3) Beri mortikosteroid bila perlu
4) Bila terjadi lharynk oedem berikan adrenalin

4. Reaksi demam
Orang yang menerima darah mengalami demam mendadak selama
atau dalam waktu 24 jam sejak transfuse. Sakit kepala, mual, menggigil,
atau perasaan umum ketidaknyamanan mungkin bersamaan dengan
demam. Acetaminophen (Tylenol) dapat merdakan gejala-gejala ini.
Reaksi-reaksi tersebut terjadi sebagai respon tubuh terhadap sel-sel
darah putih dalam darah yang disumbangkan. Hal ini lebih sering terjadi
sebagai respon tubuh terhadap sel-sel darah putih dalam darah yang
disumbangkan. Hal ini lebih sering terjadi pada orang yang pernah
mendapat transfuse sebelumnya dan pada wanita yang pernah beberapa
kali mengalami kehamilan. Jenis-jenis reaksi juga dapat menyebabkan
demam, dan pengujian lebih lanjut mungkin diperlukan untuk
memastikan bahwa reaksi ini hanya demam.
Pasien yang mengalami reaksi demam atau yang beresiko terhadap
reaksi transfuse lainnya biasanya diberikan produk darah yang
leukositnya telah dikurangi. Artinya, sel-sel darah putih telah hilang
setelah melalui filter atau cara lainnya.
5. Reaksi Penularan Penyakit
Transfusi dapat diikuti infeksi berbagai mikroorganisme, hanya
sebagian dapat dideteksi dengan metode skrining yang ada. Risiko
penularan penyakit infeksi melalui transfusi darah bergantung pada
berbagai hal, antara lain prevalensi penyakit di masyarakat, keefektifan
skrining yang digunakan, status imun resipien dan jumlah donor tiap unit
darah. Saat ini dipergunakan model matematis untuk menghitung risiko
transfusi darah, antara lain untuk penularan HIV, virus hepatitis C,
hepatitis B dan virus human T-cell lymphotropic (HTLV). Model ini
berdasarkan fakta bahwa penularan penyakit terutama timbul pada saat
window period (periode segera setelah infeksi dimana darah donor sudah
infeksius tetapi hasil skrining masih negatif).
Diagnosa diperkuat dengan pemeriksaan kultur darah dari sisa
darah yang diberikan dan dari darah penderita. Pada darah yang
mengalami kontaminasi berat akan menyebabkan sepsis akut dan syok
endotoksin dengan didahului demam, menggigil, berkeringat, mual,
muntah, takikardi disusul penurunan tekanan darah. Mikroorganisme yang
bisa didapati dalam komponen darah yaitu: Virus Hepatitis C, Virus
Hepatitis B, Virus Hepatitis G, HIV, Cytomegalo virus, Human T
lymphotrophic virus, Parvovirus B-19, bakteri sifilis, parasit malaria.
Saat ini seluruh darah donor di PMI di Indonesia diperiksa virus hepatitis
C, antigen virus hepatitis B, HIV, dan sifilis.
Untuk mengurangi potensi penularan penyakit, dilakukan
penapisan faktor risiko donor berdasarkan riwayat medis dan pemeriksaan
dengan serangkaian uji laboratorium. Telah digunakan teknik sterilisasi
untuk beberapa komponen plasma dan produk fraksional, namun belum
diciptakannya metode untuk melakukan sterilisasi terhadap komponen sel.

C. Manifestasi Klinik
1 Reaksi segera yang mengancam nyawa terjadi pada ketidakcocokan
ABO. Manifestasinya antara lain adalah:
2 Kemerahan pada wajah yang segera timbul
3 Rasa hangat di vena yang menerima darah
4 Demam dan menggigil
5 Nyeri dada dan pinggang
6 Nyeri abdomen disertai mual dan muntah
7 Penurunan tekanan darah disertai peningkatan kecepatan denyut
jantung
8 Sesak napas (dispnea)
9 Reaksi transfusi terhadap sel darah putih bersifat lebih ringan dan
biasanya berupa demam dan kadang-kadang menggigil.

D. Komplikasi
1. Gagal jantung kongestif yang disebabkan oleh overload sirkulasi
2. Reaksi imunologis, dapat terjadi pada transfuse komponen darah yang
berasal dari sel dan plasma. Transfuse sel darah merah yang ABO nya
tidak kompatibel dapat menyebabkan hemolysis intravascular yang
mengancam jiwa pada sel-sel yang ditransfusikan dengan demam, rigor,
hemoglobinuria, hipotensi, dan gagal ginjal. Antibody atipikal yang
berasal dari transfuse sebelumnya atau kehamilan dapat menyebabkan
hemolysis intravascular atau, yang lebih sering, hemolysis ekstravaskular
yang lambat dengan anemia, icterus, splenomegali, dan demam.
3. Reaksi hipersensitivitas, terhadap komponen plasma mungkin
menyebabkan urtikaria, mengi, edema wajah, dan pireksia, tetapi dapat
menyebabkan syok anafilaktik terutama pada orang-orang dengan
defisiensi IgA.

E. Penatalaksanaan
1. Reaksi pirogen
Pasien harus diselimuti dan bila mungkin berikan air hangat (minum).
Reaksi pirogen biasanya tidak begitu berbahaya.
2. Reaksi alergi
a. Transfusi segera dihentikan.
b. Berikan epinefrin 1:1.000 sebanyak 0,5-1 ml subkutan (bila
perlu berikan 0,5-0,2 ml IV setelah diencerkan dulu).
c. Berikan antihistamin, misalnya difenhidramin 50 mg IM.
d. Preparat kortikosteroid parenteral.
3. Reaksi hemolitik
a. Hentikan transfusi.
b. Berikan diuretik untuk mencegah terjadinya nekrosis tubular
akut.
c. Manitol 10% 10-15 menit diberikan sebanyak 1.000 ml.
d. Jika terdapat anuria, kemungkinan besar terjadi gagal ginjal.
Pengobatan dilakukan terhadap gagal ginjal akut. Penting
diperhatikan keseimbangan cairan dan elektrolit.
e. Lakukan pemeriksaan ulang darah donor dan resipien (cross-
matched).

F. Konsep Asuhan Keperawatan


A. Pengkajian
Kaji adanya reaksi alergi, mis: kemerahan, urtikaria (biduran) atau
gatal-gatal menyeluruh, wheezing, anafilaksis.
Kaji adanya reaksi hemolitik akut, mis:
Kemerahan pada wajah
Rasa hangat di vena yang menerima darah
Demam dan menggigil
Nyeri dada dan pinggang
Nyeri abdomen disertai mual dan muntah
Penurunan tekanan darah disertai peningkatan kecepatan denyut
jantung
Sesak napas (dispnu)
Reaksi hemolitik tertunda:
Biasanya terjadi 2 14 hari
Ditandai dengan demam
Ikterik ringan
Penurunan terhadap Hb.
B. Diagnosa Keperawatan
1 Kekurangan volume cairan b/d perdarahan.
2 Risiko tinggi infeksi b/d jalur akses vaskular.
3 Keracunan b/d toksisitas sitrat.
4 Risiko tinggi perubahan suhu tubuh b/d infeksi.
5 Risiko tinggi cedera b/d reaksi infus ulang.
6 Kurang pengetahuan b/d risiko transfusi.
C. Intervensi
1. Kekurangan volume cairan b/d perdarahan.
Tujuan : TV dipertahankan dalam parameter yang ada untuk
mempertahankan perfusi sistemik.
Intervensi :
1) Monitor dan catat masukan dan haluaran.
2) Kaji dan laporkan tanda dan gejala hipovolemia: penurunan TD
dan haluaran urin, takikardia, kelemahan, nadi halus, keluhan
haus, penurunan CVP, PCWP.
3) Observasi perdarahan dari selang dada.
4) Kolaborasi pemeriksaan laboratorium: Hb dan Ht tiap 4 jam sesuai
indikasi.
2. Risiko tinggi infeksi b/d jalur akses vaskular.
Tujuan : Mencegah infeksi nosokomial.
Intervensi :
1) Gunakan teknik steril ketat selama penampungan dan infus ulang
darah autolog.
2) Infus ulang darah autolog dalam waktu 4-6 jam dari awal
penampungan darah.
3) Kaji gejala infeksi: peningkatan suhu, peningkatan SDP, eritema,
drainase pada sisi akses.
4) Kolaborasi pemberian antibiotik sesuai indikasi.
3. Keracunan b/d toksisitas sitrat.
Tujuan : Mencegah respon toksik pada antikoagulan.
Intervensi :
1) Kaji pasien terhadap peningkatan risiko yang disebabkan oleh
hiperkalemia, hipokalsemia, asidosis, hipotermia, disfungsi
miokard dan disfungsi hepar dan ginjal.
2) Monitor hipotensi, disritmia dan kontraktilitas miokard, bila lebih
dari 2000 ml darah dengan koagulan CPD diberikan lebih dari
periode 20 menit.
3) Kolaborasi pemberian kalsium klorida profilaktik sesuai indikasi.
4) Perlambat dan hentikan infus CPD, perbaiki asidosis.
5) Monitor toksisitas dengan gas darah sering dan kadar kalsium
serum.
4. Risiko tinggi perubahan suhu tubuh b/d infeksi.
Tujuan : Suhu tubuh tetap dalam batas normal.
Intervensi :
1) Kaji tanda-tanda vital.
2) Periksa suhu sebelum dan sesudah infus ulang.
3) Periksa dan catat suhu tiap satu jam.
4) Kolaborasi pemberian antibiotik sesuai indikasi.
5) Pertahankan teknik aseptik pada semua prosedur.
5. Risiko tinggi cedera b/d reaksi infus ulang.
Tujuan : Transfusi akan terjadi tanpa komplikasi.
Intervensi :
1) Periksa format identifikasi pasien dan label sebelum infus ulang.
2) Infus ulang dalam 4-6 jam dari mulainya penampungan.
3) Observasi tanda reaksi hemolitik, mis: demam, menggigil,
hipotensi, nyeri pada akses IV, nyeri punggung, dispnea,
kemerahan pada wajah, hemoglobinuria, penurunan haluaran urin.
4) Kaji pernapasan terhadap frekuensi, kedalaman, regulasi, dan
ekspansi dada.
5) Kaji GDA untuk adanya pertukaran gas adekuat.
6) Observasi dan catat tanda koagulasi, mis: hematuria, peningkatan
perdarahan dari selang dada, rembesan perdarahan luka.
6. Kurang pengetahuan b/d risiko transfusi.
Tujuan : Menyatakan pengetahuan tentang taransfusi autolog dan
hemolog serta risiko yang berhubungan.
Intervensi :
1) Kaji tingkat pengetahuan.
2) Berikan informasi yang relevan pada risiko transfusi dan
keuntungannya.
3) Dorong untuk mengungkapkan masalah tentang risiko dan
prosedur.
4) Beri penyuluhan pada pasien dan keluarga.
5) Kaji tingkat ansietas karena transfusi.
D. Evaluasi
a. TTV dipertahankan dalam parameter yang ada untuk mempertahankan
perfusi sistemik.
b. Mencegah infeksi nosokomial.
c. Mencegah respon toksik pada antikoagulan.
d. Suhu tubuh tetap dalam batas normal.
e. Transfusi akan terjadi tanpa komplikasi.
f. Menyatakan pengetahuan tentang taransfusi autolog dan hemolog
serta risiko yang berhubungan.
Daftar Pustaka

Mehta Atul, Victor Hoffbrand.2006.At a Glance Hematologi Edisi


Kedua.Jakarta : Erlangga
https://www.scribd.com/doc/231291216/REAKSI-TRANSFUSI
https://www.manadonews.co.id/kenali-reaksi-transfusi-darah/
http://ksrpmi-its.blogspot.co.id/2013/06/transfusi-darah-dan-beberapa-
risiko.html#axzz4aPRKdzWl
http://www.ilmukeperawatan.info/2011/10/asuhan-keperawatan-reaksi-
transfusi.html
http://www.atlm.web.id/2014/04/makalah-reaksi-transfusi.html

Anda mungkin juga menyukai