Anda di halaman 1dari 61

MAKALAH SISTEM KEGAWATDARURATAN 2

KEGAWATAN OBSTETRI

Disusun Oleh :
1. Dina Windiarti (141.0035)
2. Erlina Dwi Jayanti (141.0041)
3. Meilani Sita Dewi (141.0061)
4. Nasa Fasalino (141.0067)
5. Niko Catur S (141.0069)
6. Roy Allam F.N (141.0089)

Dosen Pembimbing : Nur Muji, S.Kep.,Ns.,M.Kep

PROGRAM STUDI S-1 KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN HANG TUAH
SURABAYA
2018
LEMBAR PENGESAHAN

Makalah Seminar Sistem Kegawatdaruratan 2 “Kegawatan Obstetri” disusun oleh:


1. Dina Windiarti (141.0035)
2. Erlina Dwi Jayanti (141.0041)
3. Meilani Sita Dewi (141.0061)
4. Nasa Fasalino (141.0067)
5. Niko Catur S (141.0069)
6. Roy Allam F.N (141.0089)
Telah disahkan oleh Tim Pembimbing

Hari : Rabu
Tanggal : 11 April 2018

Mengetahui,
Surabaya, 5 April 2018
Dosen Pembimbing

Nur Muji, S.Kep.,Ns.,M.Kep

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan

hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul

“Kegawatan Obstetri” dengan tepat waktu.

Makalah “Kegawatan Obstetri” disusun untuk melengkapi tugas Mata

Kuliah Sistem Kegawatdaruratan 2. Penulis mengucapkan banyak terima kasih

kepada Pembimbing Mata Kuliah Sistem Kegawatdaruratan 2 serta pihak yang

tidak bisa kami sebutkan satu persatu karena Beliau banyak membantu dalam

proses penulisan, penyusunan dan diskusi.

Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan yang mendasar pada

makalah ini. Oleh karena itu kami mengundang pembaca untuk memberikan saran

serta kritik yang dapat membangun kami. Kritik konstruktif dari pembaca sangat

kami harapkan untuk penyempurnaan makalah selanjutnya.

Akhir kata semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi kita sekalian.

Surabaya, 1 April 2018

Penulis

ii
DAFTAR ISI
Cover

Lembar Pengesahan ......................................................................................... i


Kata Pengantar ................................................................................................ ii
Daftar Isi .......................................................................................................... iii
BAB 1 PENDAHULUAN ............................................................................... 1

1.1 Latar Belakang .......................................................................................... 1


1.2 Rumusan Masalah ..................................................................................... 2
1.3 Tujuan Penulisan ....................................................................................... 2
1.3.1 Tujuan Umum ..................................................................................... 2
1.3.2 Tujuan Khusus .................................................................................... 3
1.4 Manfaat Penulisan ..................................................................................... 3
1.4.1 Manfaat Mahasiswa ............................................................................ 3
1.4.2 Manfaat Perawat .................................................................................. 3
BAB 2 PEMBAHASAN ................................................................................. 4

2.1 Definisi ...................................................................................................... 4


2.2 Prinsip Dasar Penanganan Kegawatdaruratan Maternal Dan
Neonatal .................................................................................................... 5
2.3 Penanganan Syok Perdarahan .................................................................... 13
2.4 Penanganan Kasus Perdarahan Dalam Obstetri (Kehamilan, Persalinan)
Dan Nifas ) ................................................................................................. 16
2.5 Prinsip Umum Penanganan Infeksi Akut Kasus Obstetric, Sepsis, Dan
Syok Septic ................................................................................................ 22
2.6 Prinsip Umum, Penilaian Dan Penanganan Hipertensi Dalam Obstetric
Dan Pre Eklampsia Dan Eklampsia ........................................................... 29
2.7 Prinsip Umu, Penilaian, Dan Penanganan Asphiksia Neonatorum............ 40
2.8 Prinsip Umum, Penilaian Dan Penanganan Prolaps Tali Pusat ................. 45
2.9 Prinsip Umum, Penilaian Dan Penanganan Ruptura Uterus ...................... 47
2.10 Prinsip Umum Dalam Merujuk Kasus Gawat Darurat Obstetrik ............ 49

iii
BAB 3 PENUTUP................................................................................................................55
3.1 Simpulan..........................................................................................................................55
3.2 Saran..................................................................................................................................55
DAFTAR PUSTAKA

iv
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kegawatan adalah sesuatu yang memerlukan pertolongan cepat, tepat dan
cermat untuk menolong seseorang yang teracam jiwanya. Kasus gawat darurat
obstetri adalah kasus obstetri yang apabila tidak segera ditangani akan berakibat
kematian ibu dan janinnya. Kasus ini menjadi penyebab utama kematian ibu janin
dan bayi baru lahir. (Saifuddin, 2002). Kedaruratan Obstetrik adalah suatu
keadaan klinik yang apabila tidak segera ditangani akan berakibat kesakitan yang
berat bahkan kematian ibu dan janinnya. Secara umum terdapat 4 penyebab utama
kematian ibu, janin dan bayi baru lahir,yaitu (1) perdarahan (2) infeksi, sepsis (3)
hipertensi, preeklampsia, eklampsia (4) persalinan macet (distosia). Persalinan
macet hanya terjadi pada saat persalinan berlangsung, sedangkan ketiga penyebab
lain dapat terjadi dalam kehamilan, persalinan, dan masa nifas (Wantania, 2015).
Kematian maternal merupakan suatu fenomena puncak gunung es karena
kasusnya cukup banyak namun yang nampakdi permukaan hanya sebagian kecil.
Diperkirakan 50.000.000 wanita setiap tahunnya mengalami masalah kesehatan
berhubungan dengan kehamilan dan persalinan. Komplikasi yang ada kaitannya
dengan kehamilan berjumlah sekitar 18 persen dari jumlah global penyakit yang
diderita wanita pada usia reproduksi. Diperkirakan 40 persen wanita hamil akan
mengalami komplikasi sepanjang kehamilannya. Disamping itu 15 persen wanita
hamil akan mengalami komplikasi yang bisa mengancam jiwanya dan
memerlukan perawatan obstetri darurat, dan perawatan tersebut biasanya masih
belum tersedia (Lawn J, Rrian J, McCarthy, Susan Rae Ross, 2002 dalam Hasnah,
Triratnawati, 2003).World Health Organization(WHO) memperkirakan bahwa ada
500.000 kematian ibu melahirkan di seluruh dunia setiaptahunnya, 99 persen
diantaranya terjadi di negara berkembang (WHO, 1992 dalam Hasnah,
Triratnawati, 2003). Dari angka tersebut diperkirakan bahwa hampir satuorang ibu
setiap menit meninggal akibat kehamilan dan persalinan. Angka kematian
maternal di negara berkembangdiperkirakan mencapai 100 sampai 1000 lebih per
100.000 kelahiran hidup, sedang di negara maju berkisar antaratujuh sampai 15

1
2

per 100.000 kelahiran hidup. Ini berarti bahwa di negara berkembang risiko
kematian maternal satudiantara 29 persalinan sedangkan di negara maju satu
diantara 29.000 persalinan.
Setiap kehamilan berpotensi mengalami risiko kedaruratan. Pengenalan
kasus kedaruratan obstetri secara dini sangat penting agar pertolongan yang cepat
dan tepat dapat dilakukan. Mengingat klinis kasus kedaruratan obstetri yang
berbeda-beda dalam rentang yang cukup luas, setiap kasus sebaiknya ditangani
seyogyanya kasus gawat darurat lewat triase awal, sampai pemeriksaan
menunjukkan bahwa kasus tersebut bukan kedaruratan. Dalam menangani kasus
kegawatdaruratan, penentuan permasalahan utama (diagnosis) dan tindakan
pertolongan harus dilakukan dengan cepat, tepat, dan segera mungkin (Wantania,
2015).
Mengenal kasus kegawatdaruratan obstetri secara dini sangat penting agar
pertolongan yang cepat dan tepat dapat dilakukan. Mengingat klinis kasus
kegawatdaruratan obstetri yang berbeda-beda dalam rentang yang cukup luas,
mengenal kasus tersebut tidak selalu mudah dilakukan, bergantung pada
pengetahuan, kemampuan daya pikir dan daya analisis, serta pengalaman tenaga
penolong. Kesalahan ataupun kelambatan dalam menentukan kasus dapat
berakibat fatal. Dalam prinsip, pada saat menerima setiap kasus yang dihadapi
harus dianggap gawatdarurat atau setidaknya dianggap gawatdarurat, sampai
setelah pemeriksaan selesai kasus itu ternyata bukan kasus gawatdarurat.

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana definisi dari kegawatan obstetri ?
2. Bagaimana jenis dari kegawatan obstetri ?
3. Bagaimana penatalaksanaan pada kegawatan obstetri ?

1.3 Tujuan Penulisan


1.3.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui konsep keperawatan kegawatan obsetri serta pertolongan
pertama kegawatdaruratan obstetric dan neonatal.
3

1.3.2 Tujuan Khusus


1. Untuk mengetahui definisi kegawatan obstetri
2. Untuk mengetahui jenis kegawatan obstetri
3. Untuk mengetahui penatalaksanaan pada kegawatan obstetri

1.4 Manfaat Penulisan


1.4.1 Bagi Mahasiswa
Mahasiswa dapat menjadikan makalah ini sebagai salah satu media
pembelajaran tentang kasus kegawatan obstetri serta dapat mengaplikasikannya
ketika praktik di lapangan atau Rumah Sakit.
1.4.2 Bagi Perawat
Perawat dapat memperoleh tambahan ilmu pengetahuan melalui makalah ini
serta dapat meng-update ilmu tentang penatalaksanaan pada kasus kegawatan
obstetri berdasarkan jurnal penelitian yang telah dilampirkan dalam makalah ini.
BAB 2
PEMBAHASAN

2.1 Definisi
Obstetri adalah cabang ilmu kedokteran yang berhubungan dengan
persalinan, hal-hal yang mendahuluinya dan gejala-gejala sisanya, membahas
tentang fonomena dan penatalaksanaan kehamilan, persalinan, peurperium baik
dalam keadaan normal, maupun abnormal. Neunatus adalah organisme yang
berada pada periode adaptasi kehidupan intra uterine. Masa neunatus adalah
periode selama 1 bulan (4 minggu atau 28 hari) (Masruroh, 2016 : 4).
Kegawatdaruratan adalah mencakup diagnosis dan tindakan terhadap semua
pasien yang memerlukan perawatan yang tidak terencanakan dan mendadak atau
terhadap pasien dengan penyakit atau cedera akut untuk menekan angka
kesangkitan dan kematian pasien. Kegawatdaruratan maternal dan neonatal adalah
kejadian yang tidak terduga atau terjadi secara tiba-tiba, seringkali merupakan
kejadian yang berbahaya jiwa ibu dan anak yang baru dilahirkan sampai dengan
umur 1 bulan. Kegawatdaruratan dapat juga didefinisikan sebagai situasi yang
serius dan mendadak serta harus cepat mendapatkan pelayanan dan penanganan
cepat (Masruroh, 2016 : 5).
Dari sisi obstetri 4 penyebab utama kematian ibu, janin, dan bayi baru lahir
menurut Setianingrum dan Sugiarti, 2017 : 151 ialah sebagai berikut
1. Pendarahan
2. Infeksi dan sepsis
3. Hipertensi dan preeklampsia atau eklampsia
4. Persalianan macet atau distosia
Selain keempat penyebab kematian utama tersebut, masih banyak kasus
gawatdarurat obstetri baik yang terkait langsung dengan kehamilan dan
persalinan, misalnya emboli air ketupan, maupun yang tidak terkait langsung
dengan kehamilan dan persalinan, misalnya luka bakar, syok anafilaktik karena
obat, dan cedera akibat kecelakaan lalu lintas.

4
5

Menifestasi klinik kasus gawatdarurat tersebut berbeda-beda dalam


rentang yang cukup luas menurut Setianingrum dan Sugiarti, 2017 : 151 ialah
sebagai berikut
1. Kasus perdarahan, dapat bermenifestasi mulaii dari perdarahan berwujud
bercak, merembes, profus, sampai syok.
2. Kasus infeksi dan sepsis, dapat bermanifestasi mulai dari pengeluaran cairan
pervaginam yang berbau, air ketuban hijau, demam, sampai syok.
3. Kasus hipertensi dan preeklampsia atau eklampsia, dapat bermanifestasi
mulai dari keluhan sakit/pusing kepala, bengkak, penglihatan kabur,
kejang-kejang, sampai koma/pingsan/tidak sadar.
4. Kasus persalinana macet, lebih mudah dikenal yaitu apabila kemajuan
persalinan tidak berlangsung sesuai dengan batas waktu yang normal,
tetapi kasus persalinan macet ini dapat merupakan manifestasi ruptura
uteri
5. Kasus gawatdarurat yang lain, bermanifestasi klinik sesuai dengan
penyebabnya.
2.2 Prinsip Dasar Penanganan Kegawatdaruratan Maternal dan Neonatal
2.2.1 Prinsip Dasar
Prinsip dasar dalam menangani kasus kegawatdaruratan maternal dan
neonatal ini adalah penentuan permasalahan utama (diagnosa) dan tindakan
pertolongannya harus dilakukan dengan cepat, tepat, dan tenang serta tidak panik,
walaupun suasana keluarga pasien ataupun pengantarnya mungkin dalam
kepanikan. Semuanya dilakukan dengan cepat, cermat dan terarah. Walaupun
prosedur pemeriksaan, dan pertolongan dilakukan dengan cepat, prinsip
komunikasi dan hubungan antara tenaga kesehatan dengan pasien dalam
menerima dan menangani pasien harus tetap diperhatikan.
Hal-hal yang tetap harus diperhatikan dalam menangani kasus
kegawatdaruratan adalah:
1. Menghormati hak pasien
Setiap pasien harus diperlakukan dengan rasa hormat, tanpa memandang
status sosial dan ekonominya. Dalam hal ini petugas harus memahami
dan peka bahwa dalam situasi dan kondisi gawatdarurat perasaan cemas,
6

ketakutan, dan keprihatinan adalah wajar bagi setiap manusia dan


keluarga yang mengalaminya.
2. Gentleness
Dalam melakukan pemeriksaan ataupun memberikan pengobatan dalam
setiap langkah harus dilakukan dengan penuh kelembutan, termasuk
menjelaskan kepada pasien bahwa rasa sakit atau kurang enak tidak dapat
dihindari sewaktu melakukan pemeriksaan atau memberikan pengobatn.
3. Komunikatif
Petugas kesehatan harus berkomunikasi dengan pasien dalam bahasa dan
kalimat yang tepat, mudah dipahami, dan memperhatikan nilai norma
kultur setempat. Dalam melakukan pemeriksaan, petugas kesehatan harus
menjelaskan kepada pasien apa yang akan diperiksa dan apa yang
diharapkan. Apabila hasil pemeriksaan normal atau kondisi pasien sudah
stabil, upaya untuk memastikan hal itu harus dilakukan. Menjelaskan
kondisi yang sebenarnya kepada pasien adalah hal yang sangat penting.
4. Memberikan hak pasien
Hak-hak pasien harus dihormati seperti penjelasan informed consent, hak
pasien untuk menolak pengobatan yang akan diberikan dan menjaga
kerahasiaan akan status medik pasien
5. Dukungan keluarga
Dukungan keluarga bagi pasien sangat dibutuhkan. Oleh karena itu,
petugas kesehatan harus mengupayakan hal itu antara lain dengan
senantiasa memberikan penjelasan kepada keluarga yang berkaitan
dengan keterbatasan keuangan, keterbatasab transportasi, dan
sebagainya. Serta mengijinkan keluarga pasien hadir dan memberikan
suport langsung kepada pasien.
6. Yang harus diingat adalah dalam kondisi tertentu, prinsip-prinsip tersebut
dapat dinomer duakan, misalnya apabila pasien dalam keadaan syok, dan
petugas kesehatan kebetulan hanya sendirian, maka tidak mungkin untuk
meminta informed consent kepada keluarga pasien. Prosedur untuk
menyelamatkan jiwa pasien harus dilakukan walaupun keluarga pasien
belum diberi informasi.
7

2.2.2 Penilaian Awal


Dalam menentukan kondisi kasus obstetri yang dihadapi apakah dalam
keadaan gawatdarurat atau tidak, secara prinsip harus dilakukan pemeriksaan
secara sistematis meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik umum, dan pemeriksaan
obstetri. Dalam praktik biasanya pemeriksaan sistematis membutuhkan waktu
yang agak lama, padahal penilaian harus dilakukan secara cepat dan sesegera
mungkin oleh karena itu dilakukanlah penilaian awal.
Penilaian awal adalah langkah untuk menentukan dengan cepat kasus
maternal dan neonatal yang dicurigai dalam keadaan kegawatdaruratan dan
membutuhkan pertolongan segera dengan mengidentifikasi penyulit yang
dihadapi. Dalam penilaian awal ini, anamnesis lengkap belum dilakukan.
Anamnesa awal dilakukan bersama-sama dengan periksa pandang, periksa raba,
dan penilaian tanda vital dan hanya untuk mendapatkan informasi yang sangat
penting berkaitan dengan kasus. Misalnya apakah kasus mengalami perdarahan,
demam, tidak sadar, kejang, sudah mengedan, atau bersalin berapa lama, dan
sebagainya. Fokus utama penilaian adalah apakah pasien mengalami syok
hipovolemik, syok septik, syok jenis lain (syok kardiogenik, syok neurologi dan
sebagainya), koma, kejang-kejang atau koma disertai kejang dan hal itu terjadi
dalam kehamilan, persalinan, atau pasca persalinan.
2.2.3 Penanganan Umum Pada Kondisi Kegawatdaruratan Maternal dan
Neonatal
1. Pastikan jalan napas bebas
Pada tindakan airway harus dilakukan terlebih dahulu membuka jalan
napas, teknik membuka jalan napas yang bisa dilakukan pada pasien yang
tidak mengalami cedera leher, kepala dan tulang belakang adalah:
a. Letakkan tangan pasien di dahi, sebaiknya gunakan tangan yang dekat
dengan dahi
b. Tengadahkan kepala pasien secara perlahan dengan mendorong dahi
kearah belakang
c. Letakkan ujung jari tangan yang satunya pada tulang dagu pasien
d. Angkat dagu bersamaan dengan menengadahkan kepala, usahakan
jangan sampai mulut pasien tertutup
8

e. Pertahankan posisi ini


Hal yang terpenting untuk memastikan jalan napas pasien bebas, tenaga
kesehatan harus menyakini bahwa jalan napas tidak tersumbat. Jangan
lupa cek ada atau tidaknya sumbatan dalam mulut pasien, jika terdapat
sumbatan maka bersihkan dengan dua jari yang telah dibalut dengan kain
atau kasa, usap dari bibir sapu kedalam dan kearah luar. Jangan
memberikan cairan atau makanan ke dalam mulut karena pasien
sewaktu-waktu dapat muntah dan cairan muntahan dapat terhisap masuk
ke dalam paru-paru. Miringkan kepala pasien dan kalau perlu putar juga
badannya kesamping dengan demikian bila ia muntah tidak sampai
terjadi aspirasi. Jagalah agar kondisi badannya tetap hangat karena
kondisi hipotermia berbahaya dan dapat memperberat syok. Naikkanlah
kaki pasien untuk membantu aliran darah balik ke jantung. Jika posisi
berbaring menyebabkan pasien merasa sesak napas, kemungkinan hal ini
dikarenakan gagal jantung dan edema paru-paru. Pada kasus demikian,
tungkai diturunkan dan naikkanlah posisi kepala untuk mengurangi
cairan dalam paru-paru.
Pernapasan dikatakan tidak normal jika kondisi:
1) Sesak napas, terjadi peningkatan jumlah pernapasan dalam 1 menit
2) Cuping hidung ikut mengembang saat bernapas
3) Menggunakan otot-otot bantu pernapasan seperti otot iga, otot leher
atau otot perut
4) Bibir dan ujung-ujung jari tangan berwarna kebiruan
5) Tidak ada suara napas
6) Tidak ada gerakan dada
7) Tidak terasa adanya hembusan napas
8) Pasien tidak sadar dan tidak bernapas
2. Pemberian oksigen
Tujuan pemberian oksigen:
a. Memperbaiki status oksigenasi pasien dan memenuhi kekurangan
oksigen
b. Meningkatkan ekspansi dada
9

c. Membantu kelancaran metabolisme


d. Mencegah hipoksia
e. Menurunkan kerja jantung
f. Menurunkan kerja paru-paru pada pasien dyspnea
g. Meningkatkan rasa nyaman dan efisiensi frekuensi napas pada
penyakit paru

a. Pada pasien yang mengalami gagal napas


b. Pada pasien yang mengalami gagal jantung
c. Pada pasien yang mengalami kelumpuhan alat pernapasan
d. Pada pasien yang mengalami perubahan pola napas yaitu seperti:
1) Hipoksia
2) Dyspnea
3) Sianosis
4) Apnea
5) Bradipnea (pernapasan lebih lambat dari normal dengan frekuesi
kurang dari 16x / menit
6) Takipnea (pernapasan lebih cepat dari normal dengan frekuensi
lebih dari 24x / menit
e. Pada pasien yang mengalami keadaan gawat, misalnya pasien koma
f. Pada pasien yang mengalami trauma paru
g. Pada pasien yang mengalami metabolisme meningkat misalnya pada
pasien luka bakar
h. Pada pasien post operasi
i. Pada pasien yang mengalami keracunan monoksida
Kontra indikasi pemasangan oksigen:
a. Pada pasien dengan penyakit PPOM (Penyakit Paru Obstruktif
Menahun)
b. Face mask tidak dianjurkan pada pasien yang mengalami muntah
c. Jika pada pasien terdapat obstruksi masal maka hindari pemakaian
nasal kanul
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pemberian oksigen:
10

a. Perhatikan jumlah air steril dalam humidifiere, jangan berlebih atau


kurang dari batas, hal ini penting untuk mencegah kekeringan di
membran mukosa dan mengencerkan sekret di saluran pernapasan
pasien
b. Petugas kesehatan harus mengobservasi lebih sering terhadap respon
pasien selama pemberian oksigen pada beberapa kasus seperti:
1) Bayi prematur
2) Pasien dengan penyakit akut
3) Pasien dengan keadaan yang tidak stabil
4) Pasien post operasi
c. Pada beberapa pasien pemakaian oksigen tidak akan nyaman dan
merasa terperangkap, disinilah peran petugas kesehatan untuk
memberi dukungan dan meyakinkan pasien bahwa pemakaian
oksigen sangat penting
d. Pada pasien dengan masalah febris dan diaphoresis, petugas
kesehatan perlu melakukan perawatan kulit dan mulut pasien secara
ekstra, karena pemasangan masker dapat menyebabkan efek
kekeringan disekitar area tersebut
e. Jika terapi oksigen tidak dipakai lagi, posisikan flowmeter dalam
posisi off
f. Beri tahu keluarga pasien tidak boleh merokok diarea sekitar
pemasangan oksigen, karena dapat menyebabkan kebakaran.
3. Pemberian cairan intravena
Cairan intravena diberikan pada tahap awal untuk persiapan
mengantisipasi kalau kemudia penambahan cairan dibutuhkan. Pemberian
cairan infus intravena selanjutnya baik jenis cairan, banyaknya cairan yang
diberikan, dan kecepatan pemberian cairan harus sesuai dengan diagnosis
kasus. Misalnya pemberian cairan untuk mengganti cairan tubuh yang
hilang saat syok hipovolemik seperti pada perdarahan berbeda dengan
pemberian cairan pada syok septik. Pada umumnya dipilih cairan isoton,
misalnya NaCl 0,9% atau Ringer laktat. Jarum infus yang digunakan
sebaiknya nomer 16-18 agar cairan dapat dimasukkan secara cepat.
11

Pengukuran banyaknya cairan infus yang diberikan sangatlah penting.


Berhati-hatilah agar tidak berlebihan memberikan cairan intravena terlebih
lagi pada syok septik. Setiap tanda pembengkakan, napas penddek, dan pipi
bengkak, kemungkinan adalah tanda kelebihan pemberia cairan. Apabila hal
ini terjadi, maka pemberian cairan dihentikan.
4. Pemberian transfusi darah
Pada kasus pendarahan yang banyak, terlebih lagi apabila disertai syok,
tranfusi darah sangat diperlukan untuk menyelamatkan jiwa penderita.
Walaupun demikian tranfusi darah bukan tanpa resiko dan bahkan dapat
berakibat fatal dan menimbulkan komlikasi. Oleh karena itu, keputusan
untuk memberikan tranfusi darah harus dilakukan dengan sangat hati-hati.
Resiko yang serius berkaitan dengan transfusi darah mencakup penyebaran
mikroorganisme infeksius (HIV dan virus hepatitis).
5. Pasang kateter kandung kemih
Pemasangan kateter merupakan tindakan medis dengan cara
memasukkan kateter kedalam kandung kemih melalui uretra yang bertujuan
membantu memenuhi kebutuhan eliminasi dan sebagai pengambilan bahan
pemeriksaan.
Tindakan pemasangan kateter urin dilakukan dengan memasukkan
selang plastik atau karet melalui uretra kedalam kandung kemih. Kateter
memungkinkan mengalirnya urin pada pasien yang tidak mampu
mengontrol perkemihan atau pasien yang mengalami obstruksi. Kateter
kandung kemih juga dipasang untuk mengukur banyaknya urin yang keluar
guna menilai fungsi ginjal dan keseimbangan intake output jaringan tubuh.
Tujuan pemasangan kateter:
a. Untuk mengeluarkan urin
b. Menghilangkan ketidaknyamanan karena distensi kandung kemih
c. Mendapatkan urin steril untuk spesimen
d. Pengkajian residu urin
e. Penatalaksanaan pasien yang dirawat karena trauma medula spinalis,
gangguan neuro muskular, incompetent kandung kemih serta pasca
operasi besar
12

f. Mengatasi obstruksi aliran urin


g. Mengatasi retensi perkemihan
h. Melancarkan pengeluaran urin pada pasien yang tidak dapat mengontrol
miksi
i. Memantau pengeluaran urin pada pasien yang mengalami gangguan
hemodinamik.
Jika produksi urin mula-mula rendah kemudian semakin bertambah, hal
ini menunjukkan bahwa kondisi pasien membaik. Diharapkan produksi urin
paling sedikit 100 ml/4 jam atau 30 ml/jam.
6. Pemberian antibiotika
Antibiotika harus diberikan apabila terdapat infeksi, misalnya pada
kasus sepsis, syok septik, cidera intraupdominal, dan perforasi uterus.
Pada kasus syok, pemberian antibiotika intravena lebih diuatamakan
sebab lebih cepat menyebarkanobat ke jaringan yang terkena infeksi.
Apabila pemberian intravena tidak memungkinkan, obat dapat diberikan
intramuskular. Pemberian antibiotika peroral diberikan jika pemberian
intravena dan intramuskular tidak memungkinkan, yaitu pasien dalam
keadaan syok, pada infeksi ringan, atau untuk mencegah infeksi yang belum
timbul, tetapi diantisipasi dapat terjadi sebagai komplikasi. Resiko
penggunaan antibiotika berlebihan ialah retensi kuman, efek samping,
toksisitas, reaksi alergi dan biaya yang tidak perlu dikeluarkan. Profilaksis
antibiotika adalah pemberian antibiotika untuk mencegah infeksi pada kasus
tanpa tanda dan gejala infeksi.
7. Obat pengurang rasa nyeri
Pada beberapa kasus kegawatan obstetri, penderita dapat mengalami
rasa nyeri yang membutuhkan pengobatan segera. Pemberian obat
pengurang rasa nyeri jangan sampai menyembunyikan gejala yang sangat
penting untuk menentukan diagnosis. Hindarilah pemberian antibiotika pada
kasus yang dirujuk tanpa didampingi petugas kesehatan.
8. Penanganan masalah utama
Penyebab utama kasus kegawatdaruratan harus ditentukan diagnosisnya
dan ditangani sampai tuntas secepatnya setelah kondisi pasien
13

memungkingkan untuk segera ditindak. Kalau tidak, kondisi


kegawatdaruratan dapat timbul lagi dan bahkan mungkin dalam kodisi yang
lebih buruk.
9. Rujukan
Kebanyakan ibu hamil tampak sehat-sehat saja sampai waktu persalinan
dan melahirkan. Meskipun sebagian besar ibu akan mengalami persalinan
normal namun ada sekitar 10-15% dari mereka, khususnya di Indonesia
akan mengalami masalah selama proses persalinan dan kelahiran dan perlu
dirujuk ketempat dimana mereka bisa menerima pertolongan. Apabila
fasilitas medik di tempat kasus diterima tidak memadai untuk
menyelesaikan kasus dengan tindakan klinik yang adekuat, maka kasus
harus dirujuk kefasilitas kesehatan lain yang lebih lengkap. Sebaiknya
sebelum pasien dirujuk, fasilitas kesehatan yang akan menerima rujukan
dihubungi dan diberi tahu terlebih dahulu sehingga persiapan penanganan
atau rawat inap telah dilakukan.

2.3 Penanganan Syok Perdarahan


2.3.1 Prinsip Dasar Penanganan Syok
1. Menstabilkan kondisi pasien
2. Memperbaiki volume cairan sirkulasi darah
3. Mengefesiensikan sistem sirkulasi darah
4. Setelah pasien stabil tentukan penyebab syok
2.3.2 Penanganan Awal
1. Mintalah bantuan. Segera mobilisasi seluruh tenaga yang ada dan siapkan
fasilitas tindakan gawatdarurat.
2. Lakukan pemeriksaan secara cepat keadaan umum ibu bahwa jalan napas
bebas
3. Pantau tanda-tanda vital (nadi, respirasi, tekanan darah, dan suhu tubuh)
4. Baringkan ibu tersebut dalam posisi miring untuk meminimalkan resiko
terjadinya aspirasi jika ia muntah dan untuk memastikan jalan napasnya
terbuka
14

5. Jagalah ibu tersebut tetap hangat tetapi jangan terlalu panas karena hal ini
akan menambah sirkulasi perifernya dan mengurangi aliran darah ke
organ vitalnya.
6. Naikkan kaki untuk menambah jumlah darah yang kembali ke jantung
(jika memungkin tinggikan tempat tidur pada bagian kaki)
2.3.3 Penanganan Khusus
1. Mulailah infus intravena (2 jika memungkinkan dengan menggunakan
kanula atau jarum terbesar no.6 ukuran terbesar yang tersedia). Darah
diambil sebelum pemberian cairan infus untuk pemeriksaan golongan
darah dan uji kecocokan (cross match), pemeriksaan hemoglobin,dan
hematokrit. Jika memungkinkan pemeriksaan darah lengkap termasuk
trombosit, ureum, kreatinin, pH darah dan elektrolit, faal hemostasis, dan
uji pembukuan.
a. Segera berikan cairan infus (garam fisiologik atau ringer laktat)
awalnya dengan kecepatan 1 liter dalam 15-20 menit.
Catatan : hindari penggunaan pengganti plasma (seperti dekstran).
Belum terdapat bukti bahwa pengganti plasma lebih baik jika
dibandingkan dengan garam fisiologik pada resusitasi ibu yang
mengalami syok dan dekstran dalam jumalah banyak dapat berbahaya.
b. Berikan paling sedikit 2 liter cairan ini pada 1 jam pertama. Jumlah ini
melebihi cairan yang dibutuhkan untuk mengganti kehilangan cairan
yang sedang berjalan.
c. Setelah kehilangan dekoreksi, pada cairan infus dipertahankan dalam
kecepatan 1 liter/6-8 jam.
Catatan : infus dengan kecepatan yang lebih tinggi mungkin
dibutuhkan dalam penatalaksaan syok akibat perdarahan. Usahakan
untuk mengganti 2-3 kali lipat jumlah cairan yang diperkirakan hilang.
2. Jika vena perifer tidak dapat dikanulasi, lakukan venous cut down.
3. Pantau terus tanda-tanda vital (setiap 15 menit) dan darah yang hilang.
Apabila kondisi pasien membaik, hati-hati agar tidak berlebihan
memberikan cairan. Napas pendek dan pipi yang bengkak merupakan
kemungkinan tanda kelebihan pemberian cairan.
15

4. Lakukan kateterisasi kandung kemih dan pantau cairan yang masuk dan
jumlah urin yang keluar. Produksi urine harus diukur dan dicatat.
5. Berikan oksigen dengan kecepatan dengan 6-8 liter/menit dengan sungkup
atau kanula hidung.
2.3.4 Penanganan Penyebab Syok
Jika perdarahan hebat dicurigai sebagai penyebab syok :
1. Ambil langkah-langkah secara berurutan untuk menghentikan
perdarahan (seperti oksitoksin, masasse uterus, kompresi bimanual,
kompresi aorta, persiapan untuk tindakan pembedahan).
2. Tranfusi sesegera mungkin untuk mengganti kehilangan darah. Pada
kasus syok karena perdarahan, tranfusidibutuhkan jika Hb <8 g%.
Biasanya darah yang diberikan ialah darah segar yang baru diambil
dari donor darah.
3. Tentukan penyebab perdarahan dan tata laksana
4. Jika perdarahan terjadi pada 22 minggu pertama kehamilan, curigai
abortus, kehamilan ektopik atau mola.
5. Jika perdarahan terjadi setelah 22 minggu atau pada daat persalinan
tetapi sebelum melahirkan, curigai plasenta previa, solusio plasenta
atau robekan dinding uterus (rupture uteri).
6. Jikaperdarahan terjadi setelah melahirkan, curigai robekan dinding
uterus, atonia uteri, robekan jalan lahir, plasenta tertinggal.
7. Nilai ulang keaaan ibu: dalam waktu 20-30 menit setelah pemberian
cairan, nilai ulang keadaan ibutersebut untuk melihat tanda-tanda
perbaikan.
8. Tanda-tanda bahwa kondisi pasien sudah stabil atau ada perbaikan
sebagai berikut antara lain.
a. Tekanan darah mulai naik, sistolik mencapai 100 mmHg
b. Denyut jantung stabil
c. Kondisi mental pasien membaik, ekspresi ketakutan berkurang
d. Produksi urine bertambah. Diharapkan produksi urin paling sedikit
100 ml/4 jam atau 30 ml/jam.
16

2.3.5 Penilaian Ulang


1. Nilai ulang respons ibu terhadap pemeriksaan varian dalam waktu 30
menit untuk menentukan apakah kondisinya membaik. Tanda-tanda
perbaikan meliputi :
a. Nadi yang stabil (90 menit atau kurang)
b. Peningkatan tekanan darah (Sistolik 00 mmHg atau lebih)
c. Perbaikan status mental (berkurangnya kebingungan dan
kegelisahan)
d. Meningkatnya jumlah urin (30 ml/jam atau lebih)
2. Jika kondisi ibu tersebut membaik
a. Sesuaikan kecepatan infuse menjadi 1 liter dalm 6 jam
b. Teruskan penatalaksanaan untuk penyebab syok
c. Jika kondisi ibu tersebut tidak membaik, berarti ia membutuhkan
penanganan selanjutnya.
2.4 Penanganan Kasus Perdarahan dalam Obstetri (Kehamilan,
Persalinan, dan Nifas)
2.4.1 Perdarahan dalam Kehamilan
1. Abortus
a. Bidan melakukan pertolongan hanya jika terjadi perdarahan akibat
gugur-kandung oleh orang lain atau sendirinya.
b. Pasang infus dengan apa saja (Laktat Ringer, glukosa Ringer,
Larutan garam normal atau fisiologis, atau larutan glukosa 5% atau
10%).
c. Lakukan pemeriksaan dalam bila mungkin melakukan pengeluaran
jaringan hasil konsepsi secara manual, sehingga mungkin perdarahan
dapat dihentikan.
d. Beri oksitosin atau uterotonika lainnya, sehingga terjadi kontraksi
yang akan membantu menghentikan perdarahannya. Dengan lebih
bersih.
e. Bila keadaan sedikit sudah dapat diatasi, maka kerimkanlah ke
rumah sakit terdekat untuk tindak lanjut diantaranya dilakukan
kureta sehingga sumber perdarahan dapat dihentikan.
17

f. Bila dipandang perlu, dalam perjalanan, bidan dapat saja memasang


tampon vagina sehingga dapat membantu mengurangi perdarahan
dalam perjalanan kerumah sakit.
Penanganan spesifik kasus
1. Abortus Imminens
a. Tidak diperlukan pengobatan medik yang khusus
b. Anjurkan untuk tidak melakukan aktivitas fisik secara berlebihan
atau melakukan hubungan seksual
c. Bila perdarahan berhenti lakukan asuhan antenatal terjadwal dan
penilaian ulang bila terjadi perdarahan ulang jika perdarahan lagi
d. Perdarahan terus berlangsung nilai kondisi janin, lakukan
konfirmasi kemungkinan adanya penyebab lain, hamil ektopik
atau mola.
2. Abortus Inkomplit
a. Tentukan besar uterus, kenali dan atasi setiap komplikasi semisal
perdarahan hebat, syok, infeksi atau sepsis.
b. Hasil konsepsi yang terperangkap pada serviks yang disertai
perdarahan hingga ukuran sedang, dapat dikeluarkan secara
digital atau cunam ovum. Setelah itu evaluasi perdarahan.
c. Abortus inkomplit biasanya berbahaya, oleh karena itu perlu
diperhatikan
d. Pastikan tidak ada komplikasi berat seperti sepsis, ferporasi uterus
atau cedera intra abdomen.
e. Konseling untuk kontrasepsi pascakeguguran dan pemandatauan
lanjut.
3. Abortus Komplit
Apabila pasien mengalami anemia sedang berikan tablet sulfas
Feresos 600 mg/hari untuk selama 2 minggu disertai dengan anjuran
mengkonsumsi makanan bergizi.
4. Abortus Infeksiosa
18

a. Kasus ini beresiko tinggi untuk terjadi sepsis, apabila fasilitas


kesehatan setempat tidak mempunyai fasilitas yang memadai,
rujuk pasien ke rumah sakit.
b. Sebelum merujuk pasien lakukan pemasangan infus dengan NS
atau RL melalui infus dan antibiotika.
c. Jika ada riwayat abortus tidak aman.
5. Missed Abortion
Missed abortion seharusnya ditangani di rumah sakit atas
pertimbangan :
a. Plasenta dapat melekat sangat erat di dinding rahim, sehingga
prosedur evakuasi (kuretase) akan lebih sulit dan resiko perforasi
lebih tinggi.
b. Pada umumnya kanalis servisis dalam keadaan tertutup sehingga
perlu tindakan dilatasi dengan batang laminaria selama 12 jam.
c. Tingginya kejadian komplikasi hifofibrinogrenemia yang
berlanjut dengan gangguan pembekuan darah.
2. Kehamilan Ektopik
a. Menegakkan diagnosis kehamilan.
b. Segera melakukan rujukan sehingga dapat tertolong segera.
c. Kalau perdarahan banyak dan keluar jaringan mola, atasi syok dan
keadaan umum penderita dengan pemberian cairan dan tranfusi
darah.
d. Pemberian cairan pada penatalaksanaan syok hipovolemik :
1) Untuk memenuhi status polemik, pasang dua jalur infus
intravena, berikan 1-2 L kristaloid seperti NaCl 0,9% atau RL
secara intravena selama 30-60 menit, sambil memantau tanda-
tanda edema paru, dan teruskan pemberian cairan berdasarkan
tanda vital.
2) Berikan komponen sel darah merah untuk mempertahankan
hematokrit 30%.
3) Epakuasi jaringan mola dengan aspirasi vakum.
19

3. Mola Hidatidosa
a. Pengelolahan syok bila terjadi syok
1) Tranfusi darah bila kadar Hb <8 gr%.
2) Lakukan kuretase sebaiknya dengan vakum keretase, kemudian
lanjutkan dengan sendok kuret yang tumpul setelah terjadi
pengecilan uterus dan harus dilindungi dengan oksitosin 10 iu
dalam 500 ml dextrose 5% apabila sondase uterus > 12 cm.
3) Faska kuretase di berika ergo metrin tablet 3 x 1 tablet/hari.
b. Adanya penyulit pre-eklamsia dikelola sesuai dengan protokol pre-
eklamsia.
c. Adanya penyulit tiritoksikosis di kelola dengan konsultasi internis.
d. Pengamatan lanjut dilakukan untuk kemungkinan keganasan faska
mola hidatadosa, selama 1-2 tahun.
e. Untuk tidak mengacaukan pengamatan, pasien di anjurkan
menggunakan kotrasepsi kondom dan tidak hamil selama
prngawasan.
f. Saat melakukan rujukan selanjutnya dilakukan emasangan infus
sebagai pengganti darah yang hilang. Bila mungkin, ikuti atau antar
ke rumah sakit yang dapat memberikan pertolongan operasi.
4. Plasenta Previa
a. Pasang infus dengan cairan pengganti (chloret, laktat ringer, glukosa
ringer).
b. Jangan melakukan pemeriksaan dalam karena akan mengekibatkan
perdarahan bertambah banyak.
c. Segera melakukan tindakan rujukan ke rumah sakit dengan fasilitas
yang cukup untuk tindakan operasi dan sebagainya.
5. Solusio Plasenta
a. Tindakan yang dilakukan menghindari gangguan pembekuan darah
dengan tranfusi masif dan pemberian fibrinogen jumlah cukup.
b. Solusio plasenta ringan dan sedang diupayakan melkukan eksio
sesaria untuk menyelamatkan ibu dan janinnya.
20

c. Solusio plasenta berat dilakukan persalinan dalam waktu singkat 6


jam, menghindari perdarahan karena atonia uteri.
d. Bila terjadi gangguan kuntruksi otot rahim dilakukan histerektomi.
e. Tindakan lainnya meliputi menghindari infeksi dengan pemberian
antibiotik.
2.4.2 Penanganan Perdarahan Persalinan dan Nifas
1. Atonia Uteri
a. Massase uterus dan berikan oksitosin dan ergometrin intravena dan
prostaglandin parental.
b. Bila ada perbaikan dan perdarahan berhenti, oksitosin atau
prostaglandin perinfus diteruskan.
c. Antisipasi kebutuhan darah dan lakukan taransfusi sesui kebutuhan.
d. Pastikan plasenta lahir lengkap, tidak ada sisa plasenta dan lakukan uji
pembekuan darah.
e. Bila tidak ada perbaikan dilakukan kompresi bimanual dan kemudian
dipasang tampon dapat dipertahankan 24-48 jam dan oksitosin
diteruskan.
f. Bila tampon basah segera lakukan tindakan laparatomi, kalau mungkin
dilakukan ligasi arteri uterina dan hipogastrika (khusus untuk penderita
yang masih belum punya anak/masih muda sekali), bila tidak mungkin
lakukan histerektomi.
2. Robekan Jalan Lahir
a. Periksa dengan seksama dan perbaiki robekan.
b. Lakukan uji pembekuan darah sederhana.
3. Retensio Plasenta
a. Plasenta terlihat dalam vagina, mintalah ibu untuk mengedan.
b. Jika anda dapat merasakan plasenta dalam vagina, keluarkan plasenta
tersebut.
c. Pastikan kandung kemih sudah kosong. Jika diperlukan, lakukan
keteterisasi kandung kemih.
d. Jika plasenta belum keluar, berikan oksitosin 10 unit 1M. Jika belum
dilakukan penanganan aktif kala III
21

e. Jika plasenta belum dilahirkan setelah 30 menit pemberian oksitosin


dan uterus terasa berkontraksi, lakukan penarikan tali pusat terkendali.
f. Jika traksi tali pusat terkendali belum berhasil, cobalah untuk
melakukan pengeluaran plasenta secara manual.
g. Jika terdapat tanda-tanda infeksi (demam, sekret vagina berbau)
berikan antibiotika untuk metritis.
4. Sisa Plasenta
a. Raba bagian dalam uterus untuk mencari sisa plasenta.
b. Keluarkan sisa plasenta dengan tangan atau kuret besar.
c. Jika perdarahan berlanjut, lakukan uji pembekuan darah dengan
menggunakan uji pembekuan darah sederhana.
5. Ruptura Uteri
Pasien dengan resiko tinggi haruslah dirujuk agar persalinannya
berlangsung dalam rumah sakit yang mempunyai fasilitas yang cukup dan
diawasi dengan penuh dedikasi oleh petugas berpengalaman. Bila telah
terjadi ruptur uteri maka tindakan terpilih hanyalah histerektomi dan
resusistasi serta antibiotik yang sesuai. Diperlukan infus cairan kristaloid
dan tranfusi darah yang banyak, tindakan anti syok, serta pemberian anti
biotika pektrun luas, dan sebagainya.
6. Inversio Uteri
a. Hindari melakukan prasay Crede untuk melahirkan plasenta sebelum
dipastikan bahwa plasenta telah lepas dari inversionya.
b. Beri kesempatan pada uterus ‘adem/pause’ sebelum mulai kontraksi
dengan baik dan menyebabkan plasenta akan lepas.
c. Bila prasat Crede dirasakan sulit, ada kemungkinan akan menghadapi
perlekatan plasenta lebih dalam.
d. Bila tidak terjadi perdarahan, lakukan rujukan atau konsultasi kerena
besar kemungkinan perlekatannya dalam bentuk plasenta akreta, inkreta
atau perkreta.
e. Bila disertai perdarahan, maka dilakukan plasenta manual dengan
teknik yang benar.
22

f. Ketika menghadapi inversio uteri bidan dapat melakukan reposisi


dengan pemasukkan tangan dan mendorong fundus uteri ke tempatnya.
g. Selanjutnya lakukan masase ringan intraurin dan memberi uterotonika
sampai kontraksi timbul dengan kuat baru tangan yang ada di dalam di
keluarkan.
h. Bila terjadi kontraksi sehingga reposisi sulit dilakukan maka bidan
dapat melakukan pemasangan infus, sehingga memudahkan untuk
memasukkan obat yang diperlukan dan segera konsultasi karena
diperlukan narkosa yang dalam sehingga dapat berhasil melakukan
reposisi uteri.

2.5 Prinsip Umum Penanganan Infeksi Akut Kasus Obstetric, Sepsis, dan
Syok Septic
2.6.1 Obstetrik
1. Pengertian
Suatu keadaan gawat darurat yang memerlukan penanganan segera dan
intensif.
2. Penanganan
a. Nilai kegawatan dengan pemeriksaan tanda-tanda vital.
b. Cegah hipotermi dan miringkan kepala/tubuh untuk mencegah
aspirasi
c. Bebaskan jalan napas, beri O2 6-8 L/menit.
d. Tinggikan tungkai untuk membentu beban kerja jantung.
Catatan : bila tak berhasil atau peralatan tidak memadai rujuk
(pasien/keluarga diberi tahu, buat surat rujukan, ada petugas menemani,
keluarga untuk donor).
2.6.2 Sepsis
1. Pengertian
Merupakan komplikasi sering pada perdarahan hamil muda dan
persalinan traumatik. Infeksi lokal pelvik akan cepat berkembang
menjadi sistemik bila penanganan tidak segera dan memadai.
23

2. Penanganan
a. Infeksi lokal dengan AB i.v/i.m. terhadap Gr +, Gr -, anaerob dan
klamidia
1) Pengobatan segera.
2) Bila telah stabil evakuasi sisa konsepsi.
3) Laparotomi pada trauma intra abdomen, abses pelvis, peritonitis.
4) Perhatikan khusus pada gas gangren/tetanus.
5) Pengamatan tanda-tanda vital, keseimbangan cairan, produksi
urin.
b. Sesuaikan pengobatan dengan kondisi pasien (O2, vasoaktif,
antibiotika)
2.6.3 Septic
1. Riwayat-riwayat ini kadang bersifat pribadi sehingga anamnesa harus
dengan empati :
a. Perdarahan lama > 7 hari.
b. APC.
c. Riwayat trauma atau manipulasi berlebihan organ genitalia/jalan lahir.
d. Demam/gejala seperti influensa
e. Nyeri perut bawah, spasme.
2. Penanganan
a. Lihat penatalaksanaan syok.
b. Bila restorasi cairan belum terjadi perbaikan tanda vital. Tambahkan
obat vasoaktif (dopamin) dengan dosis awal 2.5 ugr/kgBB dalam
garam isotonik. Dosis dinaikkan sampai optimal (maksimal 15-20
ugr/men) dan pertahankan dosis ini. Hentikan bila tanda vital dan
produksi urin normal.
c. Antibotika seperti trople drugs / kombinasi spektru luas.
d. Pada trauma intraabdomen perlu pengenalan dan penanganan segera
dan tepat stabilisasi, rujuk.
24

2.6 Prinsip Umum, Penilaian dan Penanganan Hipertensi dalam Obstetric


dan Pre Eklampsia dan Eklampsia
2.6.1 Hipertensi Kronik
1. Pengertian
Hipertensi yang menetap oleh sebab apapun, yang ditemukan pada umur
kehamilan kurang dari 20 minggum atau hipertensi yang menetap setelah 6
minggu pasca persalinan.
2. Prinsip Umum
Menjaga tekanan darah tetep stabil hingga proses persalinan dan pasca
persalinan.
3. Penilaian
Diagnosis hiperntensi kronik pada kehamilan ditegakkan berdasarkan
gejala-gejala sebagai berikut :
a. Adanya riwayat hipertensi sebelum kehamilan atau didapatkan
hipertensi pada kehamilan kurang dari 20 minggu.
b. Ditemukan kelainan organik, misalnya pembesaran jantung, kelainan
ginjal, dan sebagainya.
c. Umur ibu diatas 30 tahun dan pada umumnya multigravida.
d. Bila terjadi superimposed preeclampsia, maka di dapatkan :
1) Tekanan darah sistolik lebih dari 200 mmHg.
2) Adanya perubahan-perubahan pada pembuluh darah retina berupa
eksudasi, perdarahan, dan penyempitan.
3) Rentensi air dan natrium tidak menonjol. Jarang didapatkan edema
dan proteinuria.
4) Hipertansi masih tetap didapatkan sampai 6 bulan pasca persalinan.
e. Pemeriksaan laboratorim
1) Pemeriksaan urine, seperti sedimen, protein, kultur.
2) BUN, Kreatinin, serum.
3) Elektrolit serum,
4) ECG.
5) Foto thorax.
6)
25

4. Penanganan
a. Pengobatan Medisinal
1) Istirahat dirumah, dengan tirah baring miring, 1 jam pagi hari, 1
jam siang hari.
2) Phenobarbital 3 x 30 mg diazepam 3 x 2 mg sebagai sedasi selama
1 minggu.
3) Bila dengan perawatan di atas tekanan darah diatolik temp diatas
90 mmHg, maka dapat diberi obat-obat hipertensi yaitu
Methyldopa 500-2000 mg/hari atau hydralazine 40-200mg/hari,
atau clonidine (terapi awal:1/2 tablet 2-3 kali sehari).
4) Bila tekanan darah belum turun, dapat ditambah propanolol
(Inderal). Dosis permulaan 10 mg, 4 x sehari, dinaikkan menjadi 40
mg 4 x sehari.
5) Bila terjadi pseudotoleransi terhadap obat-obat antihipertensi, dapat
diberikan HCT 50 mg oral 2 hari sekali.
6) Bila terjadi superimposed preeclampsia leclampsia, maka
pengobatan disesuaikan dengan pengobatan preeklamsia/eklamsia.
b. Pengobatan Obstetrik
Pengobatan hipertensi kronik maupun superimposed, disesuaikan
dengan pengobatan obstetrik pada preeklamsia/eklamsia. Obat anti
hipertensi yang diberikan diantaranya adalah:
1) Tekanan darah diastolik 110 mmHg
2) Tekanan darah sistolik 180 mmHg
3) Tekanan darah tetap > 160/110 mmHg setelah istirahat baring
(bedrest) dan diberi sedativa selama 12-48 jam.
4) Tekanan darah diastolik 90-100 mmHg pada kehamilan trimester
kedua.
5. Komplikasi
Gagal ginjal, gagal jantung, edema paru-paru, kelainan pembekuan darah,
perdarahan otak, kematian janin.
26

2.6.2 Pre Eklampsia Ringan


1. Pengertian
Merupakan timbulnya hipertensi disertai proteinurea atau edema akibat
kehamilan, setelah umur kehamilan 20 minggu atau segera setalah
persalinan. Gejala ini dapat timbul sebelum 20 minggu bila terjadi
penyakit trofoblas.
2. Prinsip Umum
a. Pre-eklamsia ringan bukan berarti risiko kurang terhadap ibu dan
janin, sebab pre eklamsia ringan pun mungkin menjadi pre –eklamsia
berat atau eklamsia pada waktu yang singkat.
b. Tekanan darah saja tidak dapat dipakai sebagai parameter untuk
menentukan ringan-beratnya penyakit, sebab tekanan darah 135/85
pada seorang wanita dapat mengakibatkan kejang, sedangkan wanita
lain dengan tekanan darah 180/120 belum tentu menderita kejang.
c. Sebaiknya pre-eklamsiaringan dirawat di rumah sakit jika fasilitas
memungkinkan.
3. Penilaian
a. Tekanan darah > 140/90 mmHg atau tekanan darah sistolik naik >30
mmHg atau kenaikan tekanan darah diatolik > 15 mmHg tetapi <
160/110 mmHg.
b. Edema
c. Proteinurea +1 +2, setelah kehamilan 20 minggu.
4. Penanganan
Pengobatan
a. Rawat jalan :
1) Banyak istirahat (baring/tidur miring).
2) Makanan cukup protein, rendah karbohidrat, rendah lemak, dan
garam.
3) Sedativa seperti phenobarbital 3 x 30 mg per hari/oral atau
diezepam 3 x 2 mg per hari/oral (7 hari).
4) Raboransia (vitamin dan mineral).
27

5) Tidak boleh diberikan diuretikum seperti Hb,


hematokrit,trombosit, asam urat, urine lengkap (m.s.u), fungsi
hati, fungsi ginjal.
b. Penderita dirawat
1) Setelah 2 minggu pengobatan rawat jalan tidak menunjukkan
adanya perbaikan gejala-ejala pre-eklamsi.
2) Kebaikan berat badan ibu 1 kg per minggu selama 2 kali berturut-
turut.
3) Kalau setelah 1 minggu dirawat tidak jelas terjadi perbaikan,
penderita dimasukkan ke gologan PE berat, atau kalau dijumpai
salah satu atau lebih gejala PE berat.
3. Persalinan
1) Penderita PE ringan yang mencapai normotensi selama perawatan,
persalinannya ditunggu 40 minggu. Lewat TTP dilakukan induksi
partus.
2) Penderita PE ringan yang tekanan darahnya turun selama perawatan
tetapi belum mencapai normotensif, terminasi kehamilan dilakukan
pada kehamilan 37 minggu.
2.6.3 Pre Eklamsia Berat
1. Pengertian
Merupakan timbulnya hipertensi disertai proteinurea atau edema akibat
kehamilan, setelah umur kehamilan 20 minggu atau segera setelah
persalinan. Gejala ini dapat timbul sebelum 20 minggu bila terjadi
trifoblas.
2. Prinsip Umum
Pencegahan pre eklamsia berat menjadi eklampsi
3. Penilaian
Kalau dijumpai satu atau lebih tanda/gejala sebagai berikut :
a. Tekanan darah 160/110 mmHg
b. Proteinuria lebih 5 gram/24 jam atau kualitatif 3+/4+
c. Oligaria 500 ml/24 jam
d. Nyeri kepala frontal atau gangguan penglihatan
28

e. Nyeri epigastrium
f. Edema paru atau sianosis
g. Pertumbuhan janin intrauterin yang terlambat (IUFGR)
h. HELLP syndrom (H = Hymolisi; EL = Elevated Liver enzymes; LP =
Low Platelet Counts)
4. Penanganan
PE berat dengan kehamilan > 37 minggu
a. Pengobatan medisinalis :

1) Istirahat mutlak/isolasi
2) Diet rendah garam
3) Suntikan sulfas magnesikus
Loading dose: 4 g 20% iv. (20% dalam 20 ml) selama 4-5 menit (1
g/menit), dan 8 g 40% dalam 10 ml im., 4 g di bokong kiri dan 4 g di
bokong kanan (sebaiknya dicampur dengan lidonest untuk
mengurangi rasa sakit), yang diteruskan dengan 4 g tiap 4 jam
(maintenance dose)
4) Infus dextrose 5% 1 liter diselingi dengan Ranger laktat 500 ml (2:1)
5) Kateter menetap
6) Empat jam setelah pemberian MgSO4 tekanan darah dikontrol, jika
tekanan darah sistolik 180 mmHg atau diastolik 120 mmHg diberikan
suntikan Catapres* 1 ampul im. Tekanan darah tidak boleh diturunkan
secara drastis, sebaiknya tekanan diastolik berkisar antara 90-100
mmHg
7) Diuretikum tidak diberikan kecuali jika ada :
1) Edema paru
2) Gagal jantung kongesti
3) Edema anasarka

1) Harus tersedianya antidotum MgSO4, yaitu Calsium Gluconas


10% diberikan iv pelan-pelan (3 menit)
2) Reflek patella (+) kuat
29

3) Frekuensi pernapasan > 16 x/menit


4) Produksi urine > 100 ml dalam 4 jam sebelumnya (0,5
ml/kgbb/jam). Pemberian MgSO4 sampai 20 gr tidak perlu
mempertimbangkan diuresis.
b. Pengobatan obstetrik
1) Belum inpartu :
Dilakukan induksi persalinan segera persalianan segera sesudah
pemberian MgSO4 kedua lakukan amniotomi dan drip oksitosin
dengan syarat : pelvik skor bishop 5. SC dilakukan bila :
a) Syarat drip tidak terpenuhi
b) 12 jam sejak drip oksitosin anal (belum lahir)
c) Pada primi cenderung SC
2) Inpartu
a) Fase laten : 6 jam tidak masuk fase aktif, dilakuka SC
b) Fase sktif :
(a) Amniotomi, kalau perlu drip oksitosin
(b) Bila 6 jam pembukaan belum lengkap, dilakukan SC
(c) Kala II dipercepat, bila syarat partus pervaginam dipenuhi,
dilakukan EV/EF
(d) Persalinan harus sudah selesai kurang dari 12 jam setelah
dilakukan amniotomi dan drip oksitosisn; jika dalam 6 jam
tidak menunjukkan kemajuan yang nyata, pertimbangkan SC
(e) Ergometrin tidak boleh diberikan kecuali ada PPH oleh atonia
uteri
(f) Pemberian MgSO4 dapat diberikan sampai 24 jam pasca
persalinan kalau tekanan darah masih tinggi
MgSO4 dihentikan bila :
(a) Ada tanda-tanda intoksikasi
(b) Dalam 8 jam pasca persalinan mudah normotensif

Catatan : pemberian pertama MgSO4 sampai 20 gram


(c) Tidak perlu menilai diuresis
30

PE berat dengan kehamilan < 37 minggu tanpa tanda impending


eklampsia
1) Pengobatan medisinal
Pemberian MgSO4 selama 1 x 24 jam dimulai dengan loading
dose yang diteruskan dengan suntikan 4 g MgSO4 tiap 4 jam
2) Pengobatan obstetrik
Kalau setelah 24 jam tidak terjadi perbaikan maka dilakukan
terminasi kehamilan. MgSO4 dihentikan bila sudah dicapai
tanda-tanda pre-eklamsi ringan. Selama perawatan konservatif,
observasi dan evaluasi sama seperti perawatan pre-eklamsi berat
37 minggu, hanya di sini penderita boleh pulang jika selama 3
hari perawatan tetap dalam keadaan PE rangan.
Impending Eklamsia
Tanda-tanda : PE berat disertai gejala-gejala seperti nyeri kepala
hebat, gangguan visus, muntah-muntah, nyeri epigastrium, kenaikan
prograsif tekanan darah (sistolik > 200 mmHg).
Penanganan : SC
2.6.4 Eklampsia
1. Pengertian
Eklamsia adalah kelainan akut pada wanita hamil, dalam persalinan atau
nifas yang ditandai dengan timbulnya gejala kejang atau koma.
Sebelumnya wanita tadi menunjukkan gejala-gejala pre-eklamsia (kejang-
kejang timbul bukan akibat kelainan neurologik).
2. Prinsip Umum
Penanganan eklamsia sama dengan pre-eklamsia berat. Terminasu
kehamilan dilakukan 4-8 jam setelah stabilisasi.
3. Penanganan
Pengobatan
medisinal MgSO4
a. Loading dose :
(1) 4 g MgSO4 dalam larutan 20 ml (20 %) iv selama 5 menit
31

(2) 8 g MgSO4 dalam larutan 10 ml (40 %) im (bokong kiri 4 g, dan


bokong kanan 4 g)
b. Maintenence dose :
Tiap 4 jam diberikan 4 g im. Bila tidak ada kontra indikasi (24 jam
setelah kejang terakhir/pasca persalinan)
c. Bila kejang berulang diberikan MgSO4 20% 2 g iv; diberikan
sekurang-kurangnya 20 menit setelah pemberian terakhir.
Bila setelah diberi dosis tambahan masih tetap kejang dapat diberikan
amobarbital 3-5/kgbb iv. Secara pelan-pelan
d. Infus Dextrose 5% 1 liter kemudian dilanjutkan dengan Ringer Laktat.
Jumlah dalam 24 jam sekitar 2000 ml, berpedoman kepada diuresis,
insesible water loss dan CVP
(1) Antibiotika : dengan dosis yang cukup
(2) Perawatan pada serangan kejang
(a) Dirawat di kamar isolasi yang cukup terang
(b) Masukkan sudip lidah (tong spatel) ke dalam mulut penderita
(c) Kepala direndahkan, lendir diisap dari daerah orofaring
(d) Fiksasi badan pada tempat tidur harus cukup kendor orofaring
(e) Pemberian O2
(f) Dipasang kateter menetap (foley kateter)

(a) Semua kehamilan dengan eklamsia harus diakhiri tanpa memandang


umur kehamilan dan keadaan janin
(b) Terminasi kehamilan
Sikap dasar :
Bila sudah terjadi “stabilisasi” (pemulihan) hemodinamika dan
metabolisme ibu, yaitu 4-8 jam setelah salah satu atau lebih keadaaan di
baawah ini :
(a) Setelah pemberian obat anti kejang terakhir
(b) Setelah pemberian obat-obat anti hipertensi terakhir penderita mulai
sadar (responsif dan orientasi)
(c) Bila anak hidup. SC dapat dipertimbangkan
32

4. Prognosis
Ditentukan oleh kriteria EDEN :
a. Koma yang lama (6 jam atau lebih)
b. Nadi di atas 120 x permenit
0 0
c. Suhu 30 C (103 F)
d. Tekanan darah sistolik di atas 200 mmHg
e. Proteinurea lebih 10 g/liter
f. Kejang lebih 10 hari
g. Tidak ada edema
h. Kegagalan sistem kardiovaskuler
2.6.5 Prinsip Umum, Penilaian dan Penanganan Persalinan Macet
1. Pengertian
Pertusi macet adalah suatu keadaan dari suatu persalinan yang mengalami
kecacatan dan berlangsung lama sehingga timbul komplikasiibu maupun
janin.
Partus macet adalah persalinan dengan tidak ada penurunan kepala > 1 jam
untuk nulipara dan multipara.
2. Prinsip Umum
a. Memberikan rehidrasi kepada ibu
b. Berikan antibiotika
c. Rujukan segera
d. Bayi harus dilahirkan
e. Selalu bertindak aseptik
f. Perhatikan perawatan kandung kencing
g. Perawatan nifas yang bermutu
3. Penilaian
Gejala dan tanda persalinan macet :
a. Ibu tampak kelelahan dan lemah
b. Kontraksi tidak teratur tetapi kuat
c. Dilatasi serveiks lambat atau tidak terjadi
d. Tidak terjadi penurunan bagian terbawah janin, walaupun kontraksi
adekuat
33

e. Molding-sutura tumpang tindih dan tidak dapat diperbaiki (patograf +


+)
f. Lingkungan retraksi patologis (Lingkungan Bandl) timbul, nyeri di
bawah lingkungan Bandl merupakan tanda akan terjadi ruptura uteri
Tidak adanya his dan syok yang tiba-tiba merupakan tanda ruptura uteri :
a. Meningkatnya denyut nadi, denyut melemah
b. Menurunnnya tekanan darah
c. Nafas cepat dan dangkal atau pernapasan melambat
d. Dehidrasi
e. Gelisah
f. Kontraksi uterus yang terlalu kuat atau terlalu sering
Tanda gejala janin :
DJJ dibawah 1000 kali/ menit atau diatas 180 kali/menit atau DJJ tidak
segera kembali normal setelah his (late decelaration)
4. Penanganan
Bidan harus :
a. Memantau dan mencatatat secara berkala keadaan ibu dan janin, his
dan kemajuan persalinan pada partograf dan catat persalinan
b. Bila terjadi penyimpangan dalam kemajuan persalinan, maka lakukan
palpasi uterus dengan teliti untuk mendetegsi gejala-gejala dan tanda
lingkaran retraksi patologis/lingkungan Bandel
c. Jaga ibu untuk mendapat hidrasi yang baik selama proses persalinan,
anjurkan ibu untuk sering minum
d. Menganjurkan ibu untuk berjalan-jalan dan merubah posisi selama
proses persalinan dan kelahiran. Jangan biarkan ibu berbaring
terlentang selam proses persalinan dan kelahiran
e. Mintalah ibu untuk sering buang air kecil selama proses persalinan.
Kandung kemih yang penuh akan memperlambat penurunan bayi dan
membuat ibu tidak nyaman. Pakailah kateter hanya bila ibu tidak bisa
kencing sendiri dan kandung kemih dapat dipalpasi. Hanya gunakan
kateter dan karet
34

f. Amati tanda-tanda partus macet dan lama dengan melakukan palpasi


abdominal, menilai penurunan janin, dan periksa dalam, menilai
penyusupan janin dan pembukakan serviks paling sedikit setiap 4 jam
selama fase laten dan aktif persalinan. Catat semua temuan pada
partograf
g. Selalu amati tanda-tanda gawat ibu atau gawat janin, rujuk dengan
cepat dan tepat jika hal ini terjadi
h. Cuci tangan dengan sabun dan air bersih yangmengalir kemudian
keringkan, sebelum dan sesudah melakukan kontak dengan pasien.
Gunakan sarung tangan DTT/steril untuk periksa dalam. Selalu
gunakan teknik aseptik pada saat melakukan periksa dala, periksa
dengan teliti vagina dan kondisinya (jika vagina panas/gejala infeksi
dan kering/gejala ketuban minimal, maka menunjukkan ibu dalam
keadaan bahaya). Periksa juga letak janin, pembukaan serviks serta
apakah serviks tipis, tegang atau mengalami edema. Coba untuk
menentukan posisi dan derajat penurunan kepala. Jika ada kelainan
atau bila garis waspada pada partograf dilewati persiapan rujukan yang
tepat
(1) Rujuk dengan tepat untuk fase laten persalinan yang memanjang
(0-4 cm) : berlangsung lebih dari 8 jam
(2) Rujuk dengan tepat untuk fase aktif persalinan yang memanjang
kurang dari 1 cm/jam dan garis waspada pada partograf telah
dilewati
(3) Rujuk dengan tepat untuk kala II persalinan yang memanjang
i. Jika ada tanda dan gejala persalinan macet, gawat janin, atau tanda
bahaya pada ibu, maka ibu dibaringkan miring ke sisi kiri dan berikan
cairan IV. Rujuk segera ke rumah sakit, dampingi ibu untuk menjaga
agar keadaan ibu tetap baik. Jelaskan kepada ibu, suami/keluarganya
apa yang terjadi dan mengapa ibu perlu dibawa ke rumah sakit
j. Jika dicurigai adanya ruptura uteri maka rujuk segera. Berikan
antibiotika dan cairan IV, biasanya diberikan ampisilin 1 gr IM, diikuti
35

pemberian 500 mg setiap 6 jam secara IM. Lalu 500 mg per oral setiap
6 jam setelah bayi lahir
k. Bila kondisi ibu/bayi buruk dan pembukaan sserviks sudah lengkap,
maka bantu kelahiran bayi dengan ekstraksi vakum
l. Bila keterlambatan terjadi sesudah kepala lahir :
(1) Lakukan episiotomi
(2) Dengan ibu dalam posisi berbaring telentang, minta ibu melipat
kedua paaha, dan menekuk lutut ke arah dada sedekat mungkin
(Manuver Mc Robert)
(3) Gunakan sarung tangan steril/DTT. Lakukan tarikan kepala curam
ke bawah untuk melahirkan bahu depan
(4) Pada saat melakukan tarikan pada kepala, minta seseorang untuk
melakukan tekanan supra pubis kebawa untuk membatu kelahiran
bahu
Jika bayi tetap tidak lahir :
(1) Dengan menggunakan sarung tangan steril/DTT, masukkan satu
tangan ke dalam vagina
(2) Berikan tekanan pada bahu anterior ke arah stratum bayi untuk
mengurangi diameter bahu

(1) Masukkan satu tangan ke dalam vagina


(2) Pasang tulang lengan atas yang berada pada posisi posterio, lengan
fleksi dibagian siku, tempatkan lengan melintang di dada. Cara ini
akan memeberikan ruang untuk bahu anterior bergerak di bawah
simpifis pubis
(3) Mematahkan clavikula hanya dilakukan jika semua pilihan lain
telah gagal
m. Isi partograf, kartu ibu, dan catatan kemajuan persalinan dengan
lengkap dan menyeluruh. Jika ibu dirujuk ke rumah sakit atau
puskesmas kirimkan satu copy partograf ibu dan dokumen lain
bersama ibu.
36

2.6.6 Prinsip Umum, Penilaian dan Penanganan Persalinan pre Aterm


1. Pengertian
Premature adalah persalinan yang terjadi pada kehamilankurang dari 37
minggu (antara 20-37 minggu) atau dengan berat janin kurang dari 2500
gram bayi prematur adalah bayi baru lahir dengan umur kehamilan 37
minggu atau kurang saat kelahiran.
2. Prinsip Umum
a. Lakukan evaluasi cepat keadaan ibu
b. Upayakan melakukan konfirmasi umur kehamilan bayi
3. Penilaian
a. Coba hentikan kontraksi uterus atau penundaan kehamilan
b. Persalinan berjalan terus dan siapkan penanganan selanjutnya
Oleh karena usia hamil dan berat lahir merupakan faktor penentu dari
fetal survival, mala yang menjadi tujuan utama pengelolaab persalinan
adalah sebagai berikut.
(1) Meningkatkan usia hamil
(2) Meningkatkan berat lahir
(3) Menurunkan morbiditas dan mortalitas perinatal
c. Pengelolaan persalinan preterm yang membakat adalah bergantung
pada hal-hal berikut ini
d. (1) kondisi ketuban masih utuh atau sudah pecah
e. Usia kehamilan dan perkiraan berat janin
f. Ada atau tidak adanya gejala klinis dari infeksi intrauterine
g. Ada atau tidak petanda-petanda yang meramalkan persalinan dalam
waktu yang relatif dekat (kontraksi, penipisan serviks, dan kadar IL-
dalam air ketuban)
4. Penanganan
Pengelolaan persalinan peterm dengan ketuban yang masih lunak pada
dasarnya apabila tidak aa bahaya untuk ibu dan janin, maka pengelolaan
persalinan [reterm yang membakat adalah konservatif, yaitu sebagai
berikut.
37

a. Menunda persalinan dengan tirah baring dan pemberian obat-obat


tokolitik
b. Memberikan obat-obat untuk memacu pematangan paru janin
c. Memberikan obat-obat antibiotik untuk mencegah risiko terjadinya
infeksi perinatal
d. Merencanakan cara persalinan preterm yang aman dan dengantrauma
yang minimal
e. Mempersiapkan perawatan neonatal dini yang intensif untuk bayi-bayi
prematur

a. Tokolitik untuk menghentikan kontraksi uterus Bermacam-macam


tokolitik yang dikenal dengan titik tangkap dan cara kerja yang
berbeda dapat diberikan baik secara tunggal maupun kombinasi sesuai
dengan prosedur pemberian yang dianjurkan dengan tetap
memperhatikan kemungkinan efek samping yang dapat timbul pada
ibu/janin
(1) Beta 2 agonis
Terbutatin
Prosedur pengobatan dengan terabutalin dalam 500 ml NaCl
sehingga diperoleh konsentrasi 2 mcg/ml atau 0,5 mcg/tetes
(a) Dosis awal diberikan 1 mcg/menit atau 10 tetes/menit. Dosis
dinaikan setiap 15 menit dengan 0,5 mcg (5 tetes) sampai his
menghilang atau timbul tanda-tanda efek samping yang
dirasakan membahayakan ibu atau janin
(b) Dosis maksimum yang dianjukan adalah 5 mcg/menit (5
tetes/menit). Bila his berhenti, maka dosis dipertahankan
pada kecepatan tersebut selama 1 jam, kemudian diturunkan
0,5 mcg atau 5 tetes setiap 15 menit sampai dosis
pemeliharaan (maintenance) sebesar 2 mcg/menit atau 20
tetes/menit dan dipertahankan sampai 8 jam kemudian. Bila
sebelum 8 jam terjadi kontraksi lagi, maka dosis dinaikkan
lagi seperti diatas. Dosis total yang dianjurkan sampai dengan
38

2000 mcg (4 amp) selama 1000 ml NaCl bila tidak timbul his
lagi, setengah jam sebelum pemberian parental dihentikan
(7,5 jam dalam dosis pemeliharaan), penderita boleh mulai
diberikan terbutalin oral (2,5 mg/tab) setiap 8 jam sampai 5
hari atau sampai ada tanda-tanda efek samping yang
membahayakan ibu atau janin.
(c) Beta-2 agonis yang lain dapat diberikan sesuai dengan
prosedur yang dianjurkan pada masing-masing obat
Efek samping pemberian obat tersebut adalah sebagai berikut :
(a) Ibu : efek beta-1 terhadap jantung ibu berupa palpitasi hebat
(b) Janin : gangguan pada sirkulasi feto-plasental yang
mengakibatkan hipoksia janin intrauterin
(2) Non-Steroid anti-inflamasi agents
(a) Cox-2 inhibator (nimesulid) oral dengan dosis 3x100 mg/hari
(b) Obat-obat NSAIAs yang lain (seperti indomethasin dan lain-
lain, saat ini tidak dianjurkan lagi terutama pada kehamilan
>32 minggu karena efek samping penutupan dini duktus
arteoriosus)
(3) Calsium Antagonis
Nifedipine oral dengan dosis 3x100 mg/hari. Pada dasarnya obat
ini cukup aman terhadap ibu dan janin, akan tetapi dalam beberapa
penelitian pernah ditemukan efek samping pada ibu berupa sakit
kepala dan hipotensi
(4) Progesteron
Obat-obat progesteron diberikan parenteral maupun oral sesuai
dosis yang di anjurkan
(5) Oxytocin analog
Atosiban (Belum beredar di Indonesia)
b. Kortikosteroid untuk memacu pematangan paru janin intrauterine.
Betamethason 12-16 mg/hari diberikan selama 2 hari (liggin dan
howie 1972) atau Dexamethason 6 mg/IM, diberikan 4 dosis 4tiap 6
jam sekali (Parkland Hospital, 1994). Pemberian ini hanya dianjurkan
39

sekali saja, tidak dianjurkan untuk mengulangi pemberian setelah ini


karena efek samping terhadap ibu (hipertensi) dan janin (gangguan
perkembangan syaraf)
c. Antibiotik untuk mencegah infeksi perinatal (ibu dan bayi)
Ampisilin Sulbactam parental 2x1,5 g selama 2 hari, kemudian
dilanjutkan oral 3x375 mg/hari selama 5 hari. Obat antibiotik yang
lain sebaiknya dipilih obat-obat golongan B (Klasifikasi FDA untuk
obat-obat untuk ibu hamil) terutama dianjurkan derivat
penisilin/ampisilin mengingat efek teratogenik terhadap janin.
pemberian antibiotik ini masih banyak kontroversi karena satu pihak
berhasil menurunkan kajadian infeksi pada amnion/janin dan
memperpanjang usia kehamilan karena bisa meningkatkan efek obat-
obat tokolitik ini tidak memperbaiki hasil akhir (outcome) janin
seperti kejadian-kejadian Necrotising Enterocolitis (NEC),
Respiratory Distress Syndrome (RDS), dan Intracranial Haemorhage
(Mercer dan Arheart, 1995). Kyle dan turner (1996) menolak
memberikan antibiotik dalam jangka waktu lama karena alasan
meningkatkan resiko terjadinya infeksi dari bakteri lain dan resistensi
bakteri terhadap antibiotik.
d. Cara persalinan
Upayakan persalinan preterm yang man dan non-traumatis, serta
perawatan intensif untuk bayi prematur. Cara persalinan yang
dianjurkan adalah spontan pervaginam atau SC atas indikasi obstetrik
yang ada (Kelaianan letak, gawat janin)
Usia hamil 34 minggu/ lebih
Oleh karena Survival Rate dan jangka kejadian RDS bayi prematur
dengan usia hamil 34 minggu tidak berbeda secara bermakna, maka
pada kasus demikian menunda persalinan untuk meningkatkan usia
hamil tidak terlalu diutamakan. Akan tetapi, pemberian tokolitik
hanya untuk menunda sampai dengan 48 jam yang bertujuan untuk
memberi kesempatan memberikan obat-obat kortikosteroid kecuali
bila pada pemeriksaan ditemukan L/S ratio >2 atau tes lain yang
40

menunjukkan maturitas paru janin. selanjutnya, pemberian antibiotik


dan mengupayakan persalinan yang aman dapat menghindari trauma
persalinan yang berisiko untuk terjadinya ipoksia janin selama
persalinan.

2.7 Prinsip Umum, Penilaian dan Penanganan Asphiksia Neonatorum


2.7.1 Pengertian
Asfiksia neonatorum adalah keadaan gawat bayi yang tidak dapat bernapas
spontan dan teratur, sehingga dapat menurunkan oksigen dan makin meningkatkan
karbon dioksida yang menimbulkan akibat buruk dalam kehidupan lebih lanjut
(Manuaba, 2007 dalam Setiyaningrum & Sugiarti, 2017).
2.7.2 Klasifikasi Asfiksia
Berdasarkan nilai APGAR (Appearance, Pulse, Grimace, Activity,
Respiration) asfiksia diklasifikasikan menjadi 4 menurut Ghai, 2010 dalam
Setiyaningrum & Sugiarti, 2017 yaitu :
1. Asfiksia berat dengan nilai APGAR 0-3
2. Asfiksia ringan sedang dengan nilai APGAR 4-6
3. Bayi normal atau sedikit asfiksia dengan nilai APGAR 7-9
4. Bayi normal dengan nilai APGAR 10
Nilai 0 1 2
Napas Tidak ada Tidak teratur Teratur
Denyut jantung Tidak ada <100 >100
Warna kulit Biru atau pucat Tubuh merah Merah jambu
jambu dan kaki,
tangan biru
Gerakan/tonus Tidak ada Sedikit fleksi Fleksi
otot
Reflex Tidak ada Lemah/lambat Kuat
(menangis)

2.7.3 Etiologi dan faktor risiko asfiksia


Beberapa kondisi tertentu pada ibu hamil dapat menyebabkan gangguan
sirkulasi darah uteroplasenter sehingga pasokan oksigen ke bayi menjadi
berkurang yang mengakibatkan hipoksia bayi di dalam rahim dan dapat berlanjut
41

menjadi asfiksia bayi baru lahir. Beberapa faktor tertentu diketahui dapat menjadi
penyebab terjadinya asfiksia pada bayi baru lahir (Gomella, 2009 dalam
Setiyaningrum & Sugiarti, 2017), diantara adalah :
1. Faktor ibu
a. Pre-eklampsi dan eklampsi
b. Pendarahan abnormal (plasenta previa atau solusio plasenta)
c. Kehamilan lewat waktu (sesudah 42 minggu kehamilan)
d. Partus lama (rigid serviks dan atonia/insersi uteri)
e. Ruptur uteri yang memberat, kontraksi uterus yang terus menerus
mengganggu sirkulasi darah ke plasenta.
f. Perdarahan banyak : plasenta previa dan solusio plasenta
2. Faktor tali pusat
a. Lilitan tali pusat
b. Tali pusat pendek
c. Simpul tali pusat
d. Prolapsus tali pusat
3. Faktor bayi
a. Bayi prematur (sebelum 37 minggu kehamilan)
b. Persalinan dengan tindakan (sungsang, bayi kembar, distosia bahu,
ekstraksi vakum, ekstraksi forsep)
c. Kelainan bawaan (kongenital)
d. Air ketuban bercampur mekonium (warna kehijauan)
2.7.4 Patofisiologi asfiksia pada pre-eklampsi
Ibu yang mengalami pre-eklampsi cenderung akan melahirkan bayi yang
asfiksia. Sesuai yang diungkapkan oleh (Cunningham, 2005 dalam Setiyaningrum
& Sugiarti, 2017) disfungsi endotel akan mengakibatkan gangguan keseimbangan
antara hormon vasokonstriktor (endotelin, tromboksan, angiotensin) dan
vasodilator (nitritoksida, prostasiklin). Vasokontriksi yang meluas menyebabkan
hipertensi. Pada ginjal juga mengalami vasokontriksi pembuluh darah sehingga
menyebabkan peningkatan plasma protein melalui membran basalis glomerulus
yang akan menyebabkan proteinuria.
42

Vasokontriksi pembuluh darah mengakibatkan kurangnya suplai darah ke


plasenta sehingga terjadi hipoksia janin. Akibat lanjut dari hipoksia janin adalah
gangguan pertukaran gas antara oksigen dan karbondioksida sehingga terjadi
asfiksia neonatorum (Winkjosastro, 2007 dalam Setiyaningrum & Sugiarti, 2017).
Pengembangan paru bayi baru lahir terjadi pada menit-menit pertama
kemudian disusul dengan pernapasan teratur dan tangisan bayi. Proses
perangsangan pernapasan ini dimulai dari tekanan mekanik dada pada persalinan,
disusul dengan keadaan penurunan tekanan oksigen arterial dan peningkatan
tekanan karbondioksida arterial, sehingga sinus karotikus terangsang terjadinya
proses bernapas. Bila mengalami hipoksia akibat suplai oksigen ke plasenta
menurun karena efek hipertensi dan proteinnuria sejak intrauterin, maka saat
persalinan maupun pasca persalinan berisiko asfiksia (Winkjosastro, 2007 dalam
Setiyaningrum & Sugiarti, 2017).
Pada awal proses kelahiran setiap bayi akan mengalami hipoksia relatif dan
akan terjadi adaptasi akibat aktivitas bernapas dan menangis. Apabila proses
adaptasi terganggu, maka bayi bisa dikatakan mengalami asfiksia yang akan
berefek pada gangguan sistem organ vital seperti jantung, peru-paru, ginjal dan
otak yang mengakibatkan kematian (Manuaba, 2008 dalam Setiyaningrum &
Sugiarti, 2017).
2.7.5 Manifestasi klinis asfiksia
Manifestasi klinis asfiksia menurut Ghai, 2010 dala Setiyaningrum &
Sugiarti, 2017) adalah sebagai berikut :
1. Denyut jantung janin lebih dari 100x/menit atau kurang dari 100x/menit
dan tidak teratur.
2. Mekonium dalam air ketuban ibu
3. Apnae
4. Pucat
5. Sianosis
6. Penurunan kesadaran terhadap stimulus
7. Kejang
43

2.7.6 Diagnosis asfiksia


Ghai, 2010 dalam Setiyaningrum & Sugiarti, 2017 menjelaskan diagnosis
asfiksia sebagai berikut :
1. Anamnesis
Anamnesis diarahkan untuk mencari faktor resiko terhadap terjadinya
asfiksia neonatorum.
a. Gangguan/kesulitan waktu lahir
b. Cara dilahirkan
c. Ada tidaknya bernapas dan menangis segera setelah dilahirkan
2. Pemeriksaan fisik
a. Bayi tidak bernapas atau menangis
b. Denyut jantung kurang dari 100x/menit
c. Tonus otot menurun
d. Bisa didapatkan cairan ketuban ibu bercampur mekonium, atau sisa
mekonium pada tubuh bayi
e. BBLR (berat badan lahir rendah)
3. Pemeriksaan penunjang
Laboratorium : hasil analisis gas darah tali pusat menunjukkan hasil
asidosis pada darah tali pusat jika :
a. PaO2 < 50 mm H2O
b. PaCO2 > 55 m H2
c. pH < 7,30
2.7.7 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan secara umum pada bayi baru lahir dengan asfiksia menurut
Wiknjosastro, 2005 dalam Setiyaningrum & Sugiarti, 2017 adalah sebagai berikut:

1. Pengawasan suhu
2. Bayi baru lahir secara relatif kehilangan panas yang diikuti oleh
penurunan suhu tubuh, sehingga dapat mempertinggi metabolisme sel
jaringan sehingga dapat mempertinggi metabolisme sel jaringan
sehingga kebutuhan oksigen meningkat, perlu diperhatikan untuk
menjaga kehangatan suhu bayi baru lahir dengan :
44

a. Mengeringkan bayi dari cairan ketuban dan lemak


b. Menggunakan sinar lampu untuk pemanasan luar
c. Bungkus bayi dengan kain kering
d. Pemberian jalan napas
Saluran napas bagian atas segera dibersihkan dari lendir dan cairan
amnion, kepala bayi harus posisi.
Menurut Perinasia, 2006 dalam Setiyaningrum & Sugiarti, 2017, cara
pelaksanaan resusitasi sesuai tingkatan asfiksia, antara lain :
1. Asfiksia ringan (APGAR score 7-
10) Caranya :
a. Bayi dibungkus dengan kain hangat
b. Bersihkan jalan napas dengan menghisap lendir pada hidung
kemudian mulut
c. Bersihkan badan dan tali pusat
d. Lakukan observasi tanda vital dan APGAR score dan masukan ke
dalam inkubator.
2. Asfiksia sedang (APGAR score 4-
6) Caranya :
a. Bersihkan jalan napas
b. Berikan oksigen 2 liter per menit
c. Rangsangan pernapasan dengan menepuk telapak kaki apabila belum
ada reaksi, bantu pernapasan dengan melalui masker (ambubag)
d. Bila bayi sudah mulai bernapas tetapi masih sianosis berikan
natrium bikarbonat 7,5% sebanyak 6cc. Dextrosa 40% sebanyak 4cc
disuntikan melalui vena umbilikus secara perlahan-lahan, untuk
mencegah tekanan intra kranial meningkat.
3. Asfiksia berat (APGAR score 0-3)
Caranya :
a. Bersihkan jalan napas sambil pompa melalui ambubag
b. Berikan oksigen 4-5 liter per menit
c. Bila tidak berhasil lakukan ETT
d. Bersihkan jalan napas melalui ETT
45

e. Apabila bayi sudah mulai bernapas tetapi masih sianosis berikan


natrium bikarbonat 7,5% sebanyak 66cc. Dextrosa 40% sebanyak
4cc.
2.7.8 Pencegahan
1. Pencegahan secara umum
Pencegahan terhadap asfiksia neonatorum adalah dengan
menghilangkan atau meminimalkan faktor risiko penyabab asfiksia.
Derajat kesehatan wanita, khususnya ibu hamil harus baik. Komplikasi
saat kehamilan, persalinan dan melahirkan harus dihindari. Upaya
peningkatan derajat kesehatan ini tidak mungkin dilakukan dengan satu
intervensi saja karena penyebab rendahnya derajat kesehatan wanita
adalah akibat banyak faktor seperti kemiskinan, pendidikan yang
rendah, kepercayaan, adat istiadat dan lain sebagainya. Untuk itu
dibutuhkan kerjasama banyak pihak dan lintas sektoral yang saling
terkait (Perinasia, 2006 dalam Setiyaningrum & Sugiarti, 2017)
2. Pencegahan saat persalinan
Pengawasan bayi yang seksama sewaktu memimpin partus adalah
penting, juga kerja sama yang baik dengan bagian ilmu kesehatan anak.
Yang harus diperhatikan :
a. Hindari forceps tinggi, versi dan ekstraksi pada panggul sempit,
serta pemberian pituitarin dalam dosis tinggi
b. Bila ibu anemis, perbaiki keadaan ini dan bila ada perdarahan
berikan oksigen dan darah segar.
c. Jangan berikan obat bius pada waktu yang tidak tepat, dan jangan
menunggu lama pada kala II.

2.8 Prinsip Umum, Penilaian dan Penanganan Prolapse Tali Pusat


2.8.1 Pengertian
Prolapsus tali pusat adalah keadaan dimana tali pusat keluar mendahului
presentasi. Ketika hal ini terjadi, tali pusat tertekan antara pelvik maternal dan
bagian presentasi pada setiap kontraksi. Akibatnya sirkulasi janin sangat
terganggu dan berkembang menjadi distress.
46

Prolapsus tali pusat terjadi ketika tali pusat terletak dibawah bagian
presentasi janin. Prolaps tali pusat mungkin okultisme (tersembunyi) pada saat
selama persalinan atau saat selaput pecah. Hal ini yang paling umum untuk
melihat prolapse secara jelas (telihat) langsung setelah pecahnya membran. Faktor
yang berkontribusi termasuk tali pusar yang panjang (lebih dari 100cm),
malpresentation (sungsang/melintang), atau bagian dari presentasi unengaged.
Jika bagian presentasi tidak pas kedalam segmen bawah rahim (misalnya,
seperti dalam hidramnion), ketika selaput pecah, tiba-tiba semburan cairan
ketuban dapat menyebabkan tali pusar pindah dibagian bawah. Demikian tali
pusarnya mungkin proleps saat amneotomi jika bagian presentasi yang tinggi.
Sebuah janin kecil mungkin tidak cocok masuk kedalam segmen bawah rahim,
sebagai akibatnya, proleps tali pusat lebih mungkin terjadi.
2.8.2 Etiologi
Tali pusat mengalami prolaps jika ada sesuatu yang mencegah bagian
presentasi tercekat lekat disegmen bawah uterus atau penurunannya kedalam
panggul ibu. Karena itu, malpresentasi dan malposisi janin, disproporsi
sefalopelvic dan kelahiran preterm lebih mungkin disertasi prolaps tali pusat. Tali
pusat juga dapat mengalami prolaps pada amniotomi, sewaktu versi janin dan
pada manipulasi obstetrik lainnya.
2.8.3 Pembagian prolaps tali pusat
1. Tali pusat menumbung disebut juga prolapsus funikuli adalah jika tali
pusat teraba keluar atau berada disamping dan melewati bagian terendah
janin didalam jalan lahir, tali pusat dapat prolaps kedalam vagina atau
bahkan diluar vagina setelah ketuban pecah.
2. Tali pusat terdepan disebut juga tali pusat terkemuka yaitu jika tali pusat
berada di samping bagian besar janin dapat teraba pada kanalis
servicalis, atau lebih rendah dari bagian bawah janin sedangkan ketuban
masih intak atau belum pecah.
3. Occultprolapse adalah keadaan dimana tali pusat terletak disamping
kepala atau didekat pelvis tapi tidak dalam jangkauan jari ada
pemeriksaan vagina.
47

2.8.4 Manifestasi klinis


1. Tali pusat kelihatan menonjol keluar dari vagina.
2. Tali pusat dapat dirasakan atau diraba dengan tangan didalam bagian
yang lebih sempit dari vagina.
3. Keadaan jalan lahir yang berbahaya mungkin terjadi sebagaimana tali
pusat ditekan antara bagian presentase dan tulang panggul.
4. Bradikardia janin (DJJ<100x/menit).
5. Hipoksia janin
6. Penatalaksanaan medis dan keperawatan.
2.8.5 Komplikasi
Prolapsus tali pusat dapat meyebabkan terjadinya asidosis metabolik,
kelahiran prematur, trauma lahir, dan hipoksia janin karena tali pusat akan terjepit
antara bagian terendah janin dan jalan lahir.

2.9 Prinsip Umum, Penilaian dan Penanganan Ruptura Uterus


Ruptura uteri atau robekan rahim merupakan peristiwa yang amat
membahayakan baik untuk ibu maupun untuk janin. Ruptura uteri dapat terjadi
secara komplet dimana robekan terjadi pada semua lapisan miometrium termasuk
peritomeum dan dalam hal ini umumnya janin sudah berada dalam cavum
abdomen dalam keadaan mati: ruptura inkomplet, robekan rahim secara parsial
dan peritoneum masih utuh.
Angka kejadian sekitar 0,5. Ruptura uteri dapat terjadi secara spontan atau
akibat trauma dan dapat terjadi pada uterus yang utuh atau yang sudah mengalami
cacat rahim (pasca miomektomi atau pasca sectio caesar) serta dapat terjadi dalam
ibu yang sedang inpartu (awal persalinan) atau belum inpartu (akhir kehamilan).
Kejadian ruptura uteri yang berhubungan dengan cacat rahim adalah sekitar
40% ; ruptura uteri yang berkaitan dengan lowsegmen caesarean section (insisi
transversal) adalah kurang dari 1% dan pada classical caesarean section (insisi
longitudinal) kira-kira 4%-7%.
2.9.1 Faktor resiko
1. Pasca sectio caesar (terutama classical caesarean section)
48

2. Pasca miomektomi (terutama miomektomi intramural yang sampai


mengenai seluruh lapisan miometrium)
3. Disfungsi persalinan (partus lama, distosia)
4. Induksi atau akselerasi persalinan dengan oksitosin drip atau
prostaglandin
5. Makrosomia
6. Grande multipara
2.9.2 Diagnosis dan penatalaksanaan
Gejala dan tanda ruptura uteri sangat bervariasi. Secara klasik, ruptura uteri
ditandai dengan nyeri abdomen akut dan perdarahan pervaginam berwarna merah
segar serta keadaan janin yang memburuk.
1. Gejala ruptura uteri “iminen” :
a. Lingkaran retraksi patologis Bandl
b. Hiperventilasi
c. Gelisah-cemas
d. Takikardia
2. Gejala ruptura uteri
a. Setelah terjadi ruptura uteri, nyeri abdomen hilang untuk sementara
waktu dan setelah itu penderita mengeluh adanya rasa nyeri yang
merata dan disertai dengan gejala dan tanda :
1) Abnormalitas detik jantung janin (gawat janin sampai mati)
2) Pasien jatuh kedalam syok
3) Bagian terendah janin mudah didorong keatas
4) Bagian janin mudah diraba melalui palpasi abdomen
5) Contour janin dapat dilihat melalui inspeksi abdomen
Bila sudah diagnosa dugaan ruptura uterisudah ditegakkan maka tindakan
yang harus diambil adalah segera memperbaiki keadaan umum pasien (resusitasi
cairan dan persiapan transfusi) dan persiapan tindakan laparotomi atau persiapan
rujukan ke sarana fasilitas yang lebih lengkap.
Sebagai bentuk tindakan definitif maka bila robekan melintang dan tidak
mengenai daerah yang luas dipertimbangkan tindakan histerorafia ; namun bila
49

robekan uterus mengenai jaringan yang sangat luas serta sudah banyak bagian
yang nekrotik maka tindakan terbaik adalah histerektomi.
2.9.3 Pencegahan
Resiko absolut terjadinya ruptura uteri dalam kehamilan sangat rendah
namun sangat bervariasi tergantung pada kelompok tertentu :
1. Kasus uterus utuh
2. Uterus dengan kelainan kongenital
3. Uterus normal pasca miomektomi
4. Uterus normal dengan riwayat sectio caesar satu kali
5. Uterus normal dengan riwayat sectio lebih dari satu kali
Pasien dengan uterus normal dan utuh memilik resiko mengalami ruptura
uteri paling kecil (0.013% atau 1:7449 kehamilan).
Strategi pencegahan kejadian ruptura uteri langsung adalah dengan
memperkecil jumlah pasien dengan resiko, kriteria pasien dengan resiko tinggi
ruptura uteri adalah :
1. Persalinan dengan SC lebih dari satu kali
2. Riwayat SC classic (midline uterine incision)
3. Riwayat SC dengan jenis “low vertical incision”
4. LSCS dengan jahitan uterus satu lapis
5. SC dilakukan kurang dari 2 tahun
6. LSCS pada uterus dengan kelainan kongenital
7. Riwayat SC tanpa riwayat persalinan spontan per vaginam
8. Induksi atau akselerasi persalinan pada pasien dengan riwayat SC
9. Riwayat SC dengan janin makrosomia
10. Riwayat miomektomi per laparoskop atau laparotomy
Ibu hamil dengan 1 kriteria diatas akan memiliki resiko 200 kali besar
dibandingkan ibu hamil umumnya.

2.10 Prinsip Umum dalam Merujuk Kasus Gawat Darurat Obstetrik


2.10.1 Pengertian
Rujukan adalah penyerahan tanggungjawab dari satu pelayanan kesehatan
ke pelayanan kesehatan yang lain. Sistem rujukan upaya kesehatan adalah suatu
50

system jaringan fasilitas pelayanan kesehatan yang memungkinkan terjadinya


penyerahan tanggung jawab secara timbal-balik atas masalah yang timbul, baik
secara vertical mauoun horizontal ke fasilitas pelayanan yang lebih kompeten,
terjangkau, rasional, dan tidak dibatasi oleh wilayah administrasi.
2.10.2 Tujuan
Tujuan rujukan adalah dihasilkannya pemerataan upaya kesehatan dalam
rangka penyelesaian masalah kesehatan secara berdaya dan berhasil guna.
Tujuan system rujukan adalah untuk meningkatkan mutu, cakupan dan
efisiensi pelayanan kesehatan secara terpadu.
Tujuan system rujukan adalah agar pasien mendapatkan pertolongan pada
fasilitas pelayanan kesehatan yang lebih mampu sehingga jiwanya dapat
terselamatkan, dengan demikian dapat menurunkan AKI dan AKB.
2.10.3 Jenis Rujukan
1. Rujukan medic yaitu pelimpahan tanggung jawab secara timbal balik
atas satu kasus yang timbul baik secara vertical maupun horizontal
kepada yang lebih berwenang dan mampu menangani secara horizontal.
Jenis rujukan medic antara lain :
a. Transfer of patient. Konsultasi penderita untuk keperluan diagnostic,
pengobatan, tindakan operatif dan lain-lain.
b. Transfer of specimen. Pengiriman bahan (spesimen) untuk
pemeriksaan laboratorium yang lebih lengkap.
c. Transfer of knowledge/personal. Pengiriman tenaga yang lebih
kompeten atau ahli untuk meningkatkan mutu layanan setempat.
2. Rujukan kesehatan yaitu hubungan dalam pengiriman, pemeriksaan
bahan atau specimen ke fasilitas yang lebih mampu dan lengkap. Ini
adalah rujukan uang menyangkut masalah kesehatan yang sifatnya
pencegahan penyakit (preventif) dan peningkatan kesehatan (promotif).
Rujukan ini mencakup rujukan teknologi, sarana dan operasional.
2.10.4 Jalur rujukan
Dalam kaitan ini jalur rujukan untuk kasus gawat darurat dapat dilaksanakan
sebagai berikut :
1. Dari kader
51

Dapat langsung merujuk ke :


a. Puskesmas pembantu
b. Pondok bersalin/bidan desa
c. Puskesmas/puskesmas rawat inap
d. Rumah sakit pemerintah/swasta
2. Dari posyandu
Dapat langsung merujuk ke :
a. Puskesmas pembantu
b. Pondok bersalin/bidan desa
c. Puskesmas/ puskesmas rawat inap
d. Rumah sakit pemerintah/swasta
3. Dari puskesmas pembantu
Dapat langsung merujuk ke rumah sakit tipe D/C atau rumah sakit
swasta
4. Dari pondok bersalin/bidan desa
Dapat langsung merujuk ke rumah sakit tipe D/C atau rumash sakit
swasta
2.10.5 Persiapan rujukan
Persiapan yang harus diperhatikan dalam melakukan rujukan, disingkat
“BAKSOKU” yang di jabarkan menurut Setiyaningrum & Sugiarti, 2017 sebagai
berikut :
1. B (bidan) : pastikan ibu/bayi/klien di dampingi oleh tenaga kesehatan
yang kompeten dan memiliki kemampuan untuk melaksanakan
kegawatdaruratan.
2. A (alat) : bawa perlengkapan dan bahan-bahan yang diperlukan, seperti
spuit, infus set, tensimeter, dan stetoskop
3. K (keluarga) : beritahu keluarga tentang kondisi terakhir ibu (klien) dan
alasan mengapa ia dirujuk. Suami dan anggota keluarga yang lain harus
menerima ibu (klien) ke tempat rujukan
4. S (surat) : beri surat ke tempat rujukan yang berisi identifikasi ibu
(klien), alasan rujukan, uraian hasil rujukan, asuhan, atau obat-obat yang
telah diterima ibu (klien)
52

5. O (obat) : bawa obat-obat esensial diperlukan selama perjalanan


merujuk
6. K (kendaraan) : siapkan kendaraan yang cukup baik untuk
memungkinkan ibu (klien) dalam kondisi yang nyaman dan dapat
mencapai tempat rujukan dalam waktu cepat.
7. U (uang) : ingatkan keluarga untuk membawa uang dalam jumlah yang
cukup untuk membeli obat danbahan kesehatan yang diperlukan di
tempat rujukan.
2.10.6 Keuntungan system rujukan
Menurut Setiyaningrum & Sugiarti, 2017 keuntungan system rujukan adalah
sebagai berikut :
1. Pelayanan yang diberikan sedekat mungkin ke tempat pasien, bearti
bahwa pertolongan dapat diberikan lebih cepat, murah dan secara
psikologis memberi rasa aman padapasien dan keluarga
2. Dengan adanya penataraan yang teratur diharapkan pengetahuan dan
keterampilan petugas daerah makin meningkat sehingga makin banyak
kasus yang dapat dikelola di daerahnya masing-masing
3. Masyarakat dsa dapat menikmati tenaga ahli
2.10.7 Mekanisme Rujukan
Menurut Setiyaningrum & Sugiarti, 2017 mekanisme rujukan sebagai
berikut :
1. Menentukan kegawatdaruratan pada tingkat kader, bidan desa, pustu dan
puskesmas
a. Bila tingkat kader
Bila ditemukan penderita yang tidak dapat ditangani sendiri maka
segera dirujuk ke fasilitas pelayanan kesehatan terdekat karena
mereka belum dapat menetapkan tingkat kegawatdaruratan.
b. Pada tingkat bidan desa, puskesmas pembantu dan puskesmas
Tenaga kesehatan harus dapat menentukan tingkat kegawatdaruratan
kasus yang ditemui. Sesuai dengan wewenang dan tanggung
jawabnya mereka harus menentukan kasus mana yang boleh
ditangani sendiri dan kasus mana yang harus dirujuk
53

2. Menentukan tempat tujuan rujukan


Prinsip dalam menentukan tempat rujukan adalah fasilitas pelayanan
yang mempunyai kewenangan terdekat, termasuk fasilitas pelayanan
swasta dengan tidak mengabaikan kesediaan dan kemampuan penderita.
3. Memberikan informasi kepada penderita dan keluarganya perlu
diberikan informasi tentang perlunya penderita segera dirujuk
mendapatkan pertolongan pada fasilitas pelayanan kesehatan yang lebih
mampu.
4. Mengirimkan informasi pada tempat rujukan yang dituju melalui telepon
atau radio komunikasi pelayanan kesehatan yang lebih mampu
5. Persiapan penderita
Sebelum dikirim keadaan umum penderita harus diperbaiki terlebih
dahulu. Keadaan umum ini perlu dipertahankan selama dalam
perjalanan, surat rujukan harus dipersiapkan sesuai dengan format
rujukan dan seorang bidan harus mendampingi penderita dalam
perjalanan sampai ke tempat rujukan.
6. Pengiriman penderita
Untuk mempercepat sampai ke tujuan, perlu diupayakan
kendaraan/sarana transportasi yang tersedia untuk mengangkut
penderita.
7. Tindak lanjut penderita
a. Untuk penderita yang telah dikembalikan dan memerlukan tindak
lanjut, dilakukan tindakan sesuai dengan saran yang diberikan.
b. Bagi penderita yang memerlukan tindak lanjut tapi tidak melapor,
maka dilakukan kunjungan rumah
2.10.8 Rujukan kebidanan
Sistem rujukan dalam mekanisme pelayanan obtetrik adalah suatu
pelimpahan tanggung jawab timbal balik atas kasus atau masalah kebidanan yang
timbul baik secara vertikal maupun horizontal.
Rujukan vertical maksudnya adalah rujukan dan komunikasi antara satu unit
ke unit yang telah lengkap (Setiyaningrum & Sugiarti, 2017).
Indikasi perujukan ibu yaitu :
54

1. Riwayat sectio sesaria


2. Perdarahan pervaginam
3. Persalinan kurang bulan (usia kehamilan <37 minggu)
4. Ketuban pecah dengan mekonium yang kental
5. Ketuban pecah lama (lebih kurang 24 jam)
6. Ketuban pecah pada persalinan kurang bulan
7. Ikterus
8. Anemia berat
9. Tanda atau gejala infeksi
10. Pre eklamsia/hipertensi dalam kehamilan
11. Tinggi fundus uteri 40cm atau lebih
12. Primipara dalam fase aktif persalinan dengan palpasi kepala janin masuk
5/5
13. Presentasi bukan belakang kepala
14. Kehamilan gemeli
15. Presentasi majemuk
16. Tali pusat menumbung
17. Syok
BAB 3
PENUTUP

3.1 S impulan
Kasus gawat darurat obstetri adalah kasus obstetri yang apabila tidak segera
ditangani akan berakibat kematian ibu dan janinnya. Salah satu komplikasi yang
paling sering terjadi selama kehamilan adalah perdarahan. Perdarahan dapat
terjadi baik pada saat hamil muda, hamil tua, selama persalinan, ataupun setelah
persalinan. Prinsip penanganan perdarahan ini adalah menghentikan perdarahan
sesegera mungkin dan mencegah terjadinya syok serta anemia. Sangat dianjurkan
kepada ibu – ibu hamil dengan faktor risiko untuk lebih rutin dalam melakukan
antenatal care. Untuk yang memiliki faktor risiko tinggi, di anjurkan untuk
melakukan persalinan di RS dan dibantu oleh tim medis yang ahli.

3.2 Saran
Dalam makalah ini tertuang informasi yang dapat digunakan sebagai
kerangka acuan dalam pelayanan kesehatan serta diharapkan pembaca dapat
menerapkan secara nyata penatalaksanaan pada kasus kegawatan obstetri serta
sebagai salah satu referensi dalam meningkatkan pelayanan kesehatan dan
pemberian asuhan keperawatan.

55
DAFTAR PUSTAKA

Hasnah, & Triratnawati, A. (2003). Penelurusan Kasus-kasus Kegawatdaruratan


Obstetri Yang Berakibat Kematian Maternal. Makara Kesehatan, Vol. 7
No.2.

Masruroh. (2016). Buku Ajar Kegawatdaruratan Maternal dan Neonatal.


Yogyakarta: Parama Publishing.

Saifudin. 2006. Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan


Neonatal. Jakarta : YBP-SP

Setiyaningrum, E., & Sugiarti. (2017). Buku Ajar Kegawatdaruratan Maternitas


Pada Ibu Hamil, Bersalin, Nifas. Yogyakarta: Indomedia Pustaka.

Wantania, J. J. (2015). Kedaruratan Obstetrik (Clinical Emergencies In


Obstetrics).

Anda mungkin juga menyukai