Anda di halaman 1dari 10

1

PEMBANGUNAN PERTANIAN BERKELANJUTAN DI DAERAH RAWAN


LONGSOR LAHAN
(Studi Kasus di Pegunungan Menoreh Kabupaten Kulonprogo DIY)
Oleh:
Kuswaji Dwi Priyono
1)Dosen Fakultas Geografi Universitas Muhammadiyah Surakarta, Email: kuswaji@yahoo.com
2)Disampaian pada PIT IGI XIII & Konggres IGI IV di Jurusan Geografi Fakultas Ilmu Sosial
Universitas Negeri Surabaya, 11-12 Desember 2010

ABSTRAK
Daerah pegunungan merupakan daerah yang potensial untuk kegiatan pertanian,
namun mempunyai kendala adanya ancaman erosi dan longsorlahan. Karakteristik
wilayahnya yang berpegunungan dengan kemiringan lereng lebih 40% dan sifat tanah yang
sedang berkembang memerlukan perlakuan khusus dalam pengelolaan lahannya dengan
menerapkan pembangunan pertanian yang berkelanjutan.
Titik-titik kejadian bencana longsorlahan di Pegunungan Menoreh Kabupaten
Kulonprogo justru terjadi pada luasan lahan dengan kerapatan vegetasi yang relatif tinggi.
Jenis vegetasi yang dominan pada titik kejadian longsorlahan tersebut adalah sengon laut dan
maoni. Jenis tanaman tersebut merupakan tanaman yang bernilai ekonomi tinggi yang
dibutuhkan dalam jumlah besar oleh industri kertas dan meabel. Orientasi bisnis inilah yang
menyebabkan penduduk menanamnya dengan kerapatan tinggi, namun tanaman dengan
kerapatan yang tinggi ini menyebabkan beban massa tanah di lahan yang miring tersebut
menjadi meningkat selanjutnya memicu terjadinya bencana longsorlahan.
Masalah tersebut memerlukan tinjauan ulang sistem pertanian yang berorientasi bisnis
(agribisnis) menjadi agriculture yang dikenal sebagai pertanian berkelanjutan. Pertanian
yang berkelanjutan ini adalah tanaman yang mempunyai sistem perakaran dalam yang dapat
mencegah longsor, namun tetap memungkinkan petani melakukan kegiatan pertanian
musimannya. Pegunungan Menoreh dahulu dikenal sebagai penghasil buah duren dan
manggis, serta pertanian lahan kering dengan ketela pohon dan umbi-umbian harus
diusahakan kembali karena merupakan keunggulan local agriculture di daerah rawan bencana
longsor.
Kata kunci: rawan longsorlahan, pegunungan, pertanian berkelanjutan.

1. Pendahuluan
Pembangunan ekonomi Indonesia sebagai Negara agraris sangat ditentukan oleh
pembangunan pertanian. Pada kondisi krisis moneter yang diikuti krisis ekonomi yang
terjadi akhir-akhir ini, sektor pertanian tumbuh positif sementara sektor lainnya tumbuh
2

negatif, hal tersebut membuktikan bahwa pembangunan pertanian perlu didorong untuk
mendukung keberlanjutan pembangunan ekonomi. Keberhasilan pembangunan pertanian
ini ditentukan oleh lingkungan tumbuh dari komoditas petanian tanaman pangan,
hortikultura, perkebunan, dan peternakan yang dihasilkan di lahan pegunungan. Sekitar
45% wilayah Indonesia berupa perbukitan dan pegunungan yang dicirikan oleh topo-
fisiografi yang sangat beragam, sehingga praktek budidaya pertanian di lahan pegunungan
memiliki posisi strategis dalam pembangunan pertanian nasional (Departan, 2006).
Walaupun berpeluang untuk budidaya pertanian, lahan pegunungan rentan terhadap
longsorlahan dan erosi karena tingkat kemiringannya, curah hujan yang relatif tinggi, dan
tanah yang tidak stabil. Longsorlahan merupakan salah satu proses geomorfologi yang
beroperasi pada suatu lereng perbukitan atau pegunungan. Kajian tentang proses yang
beroperasi pada lereng perbukitan atau pegunungan ini bukanlah hal yang baru. Banyak
geologis pada abad ke-19 telah menyadari bahwa proses ini secara signifikan
mempengaruhi perkembangan bentanglahan (Goudie, 1981). Davis (1850-1934),
mengemukakan bahwa proses geomorfologi sebagai agen erosi berperan penting terhadap
perubahan bentanglahan. Penyelidikan tentang bahaya dan kemungkinan bahaya
longsorlahan hingga akhir dekade ini masih menjadi perhatian utama komunitas peneliti di
dunia (Glade, T., 2005).
Longsorlahan (landslides) mewakili bencana yang luas pada wilayah pegunungan
dan perbukitan di dunia, telah menyebabkan hilangnya nyawa dan kerusakan material
(Kjekstad, 2008). Berdasarkan kajian terbaru dari Bank Dunia (Dilley et al, 2005 dalam
Kjekstad, 2008) diperkirakan longsorlahan telah menyingkap lahan di dunia seluas 3,7 juta
km, mengancam 300 juta (5%) penduduk dunia, luasan lahan yang berisiko tinggi seluas
820.000 km, dan kehidupan penduduk di wilayah risiko tinggi sebanyak 66 juta jiwa.
Sepanjang tahun 2007 di Indonesia telah terjadi 205 kali bencana alam yang
mengakibatkan krisis kesehatan yang tersebar di 28 provinsi dengan frekuensi yang
bervariasi, bencana banjir disertai tanah longsor menempati frekuensi tertinggi yang
menyebabkan kematian sebanyak 265 jiwa (Pusat Penanggulangan Krisis, Dep.Kes., 2007).
Kejadian longsorlahan tersebut akan terus berulang, menurut Direktorat Geologi
dan Mitigasi Bencana Bandung di Pulau Jawa selama 16 tahun ini (1990-2005) telah terjadi
kejadian longsorlahan lebih daripada 1.000 kejadian yang menyebabkan 1.112 penduduk
3

meninggal dan 395 terluka, dengan 62 kejadian setiap tahunnya (Hadmoko, 2007;
Sartohadi, 2008). Bencana alam itu tidak lain adalah bagian dari proses geomorfologi yang
menimbulkan kerugian bagi kehidupan manusia dan pada saat ini semakin sering terjadi
dengan skala akibatnya juga dirasakan semakin besar (Sartohadi, 2007). Oleh karena itu,
pemahaman karakter wilayah rawan longsorlahan sangat diperlukan agar kerusakan yang
dialami dapat diperkecil atau bahkan ditiadakan.
Daerah pegunungan Menoreh merupakan contoh daerah di Indonesia yang rawan
longsorlahan, akibat desakan kebutuhan baik untuk pertanian maupun non pertanian telah
memaksa penduduk yang tinggal di wilayah ini memanfaatkan lahan yang rawan terhadap
longsorlahan. Dari hasil survei yang dilakukan, hingga saat ini telah terjadi 187 kejadian
longsorlahan dengan beberapa tipe longsor yang tersebar pada berbagai kondisi
bentuklahan, yang dominan di daerah penelitian adalah tipe longsorlahan/landslide (Lihat
Tabel 1 dan Peta 1). Kejadian bencana longsorlahan tersebut secara dominan berasosiasi
dengan pemotongan lereng karena adanya pelebaran jalan dan permukiman.
Tabel 1. Sebaran Kejadian Tipe Longsor di Pegunungan Menoreh Kulon Progo
Kecamatan Tipe Longsor
Longsoran Nendatan Jatuhan Batu Rayapan
Pengasih 4 - 3 -
Kokap 99 13 9 5
Girimulyo 21 - 1 1
Samigaluh 15 2 - -
Kalibawang 8 1 - -
Nanggulan 3 - - 2
Total Kejadian: 150 16 13 8
Sumber: Data Kecamatan, 2007 dan survei lapangan, 2009
Berdasarkan analisis pedogeomorfik, Pegunungan Menoreh di Kulon Progo
menunjukkan adanya berbagai fenomena yang menjadi keunikan pedogeomorfik seperti
berikut.
1. Adanya pengaruh proses volkanik dan tektonik yang dinamis pada masa lalu
sehingga terdapat berbagai tipe bentuklahan dengan kondisi lereng yang berbeda.
4

2. Adanya berbagai jenis batuan yang mempunyai tingkat resistensi batuan yang
berbeda sehingga terdapat berbagai tingkat perkembangan tanah.
3. Adanya sebaran kejadian longsorlahan yang berbeda pada setiap bentuklahan.
Dari titik-titik kejadian longsorlahan di Pegunungan Menoreh ini dapat diketahui
tingkat perkembangan tanah yang relatif baru berkembang, dicirikan tipe mineral lempung
yang dominan adalah kaolinit. Sedangkan secara geomorfik, kejadian longsor terjadi pada
lereng tengah dengan bentuk lereng permukaan relatif cekung hingga lurus. Secara
vegetatif, dari 20 titik kejadian longsor di luar pengaruh pemotongan lereng untuk
permukiman dan pelebaran jalan, ternyata mempunyai kerapatan tanaman sengon laut dan
atau maoni yang relatif tinggi. Hal itulah yang menarik untuk kita diskusikan, bahwa usaha
penghijauan/penanaman tanaman keras (maoni dan sengon laut) diduga sebagai penyebab
bencana longsorlahan. Sehingga diperlukan evaluasi terkait pertanian yang berkelanjutan
di daerah rawan longsorlahan tersebut.
2. Pertanian Berkelanjutan
Sementara itu, patut diduga bahwa salah satu akar penyebab krisis ekonomi ialah
penyimpangan pelaksanaan pembangunan dari rencana jangka panjangnya. Sektor industri
dan jasa dibangun tidak padu-padan dengan sektor pertanian. Dengan perkataan lain, krisis
ekonomi merupakan akibat dari kesalahan strategi pembangunan yang berorientasi pada
pembangunan sektor industri berspektrum luas tanpa memperdulikan keterkaitannya
dengan sektor pertanian. Jika hipotesis ini benar maka strategi pembangunan di masa
mendatang haruslah ditinjau ulang. Sektor pertanian harus direposisi dari sektor penunjang
menjadi sektor andalan perekonomian nasional.
Pertanian berkelanjutan (sustainable agriculture) merupakan implementasi dari
konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development) pada sektor pertanian.
Konsep pembangunan berkelanjutan mulai dirumuskan pada akhir tahun 1980an sebagai
respon terhadap strategi pembangunan sebelumnya yang terfokus pada tujuan pertumbuhan
ekonomi tinggi yang terbukti telah menimbulkan degradasi kapasitas produksi maupun
kualitas lingkungan hidup. Konsep pertama dirumuskan dalam Bruntland Report yang
merupakan hasil kongres Komisi Dunia Mengenai Lingkungan dan Pembangunan
Perserikatan Bangsa-Bangsa: Pembangunan berkelanjutan ialah pembangunan yang
5

mewujudkan kebutuhan saat ini tanpa mengurangi kemampuan generasi mendatang untuk
mewujudkan kebutuhan mereka (WCED, 1987).
Bedasarkan definisi pembangunan berkelanjutan tersebut, Organisasi Pangan Dunia
mendefinisikan pertanian berkelanjutan sebagai berikut: manajemen dan konservasi
basis sumberdaya alam, dan orientasi perubahan teknologi dan kelembagaan guna
menjamin tercapainya dan terpuaskannya kebutuhan manusia generasi saat ini maupun
mendatang. Pembangunan pertanian berkelanjutan menkonservasi lahan, air, sumberdaya
genetik tanaman maupun hewan, tidak merusak lingkungan, tepat guna secara teknis, layak
secara ekonomis, dan diterima secara sosial (FAO, 1989). Sejak akhir tahun 1980an
kajian dan diskusi untuk merumuskan konsep pembangunan bekelanjutan yang operasional
dan diterima secara universal terus berlanjut. Pezzy (1992) mencatat, 27 definisi konsep
berkelanjutan dan pembangunan berkelanjutan, dan tentunya masih ada banyak lagi yang
luput dari catatan tersebut. Walau banyak variasi definisi pembangunan berkelanjutan,
termasuk pertanian berkelanjutan, yang diterima secara luas ialah yang bertumpu pada tiga
pilar: ekonomi, sosial, dan ekologi (Munasinghe, 1993). Dengan perkataan lain, konsep
pembangunan berkelanjutan berorientasi pada tiga dimensi keberlanjutan, yaitu:
keberlanjutan usaha ekonomi (profit), keberlanjutan kehidupan sosial manusia (people),
keberlanjutan ekologi alam (planet), atau pilar Triple-P seperti pada Gambar 1.

6

Gambar-1. Segitiga Pilar Pembangunan (Pertanian Berkelanjutan)

Dimensi ekonomi berkaitan dengan konsep maksimalisasi aliran pendapatan yang
dapat diperoleh dengan setidaknya mempertahankan asset produktif yang menjadi basis
dalam memperoleh pendapatan tersebut. Indikator utama dimensi ekonomi ini ialah tingkat
efisiensi, dan daya saing, besaran dan pertumbuhan nilai tambah (termasuk laba), dan
stabilitas ekonomi. Dimensi ekonomi menekankan aspek pemenuhan kebutuhan ekonomi
(material) manusia baik untuk generasi sekarang maupun generasi mendatang. Dimensi
sosial adalah orientasi kerakyatan, berkaitan dengan kebutuhan akan kesejahteraan sosial
yang dicerminkan oleh kehidupan sosial yang harmonis (termasuk tercegahnya konflik
sosial), preservasi keragaman budaya dan modal sosio-kebudayaan, termasuk perlindungan
terhadap suku minoritas. Untuk itu, pengentasan kemiskinan, pemerataan kesempatan
berusaha dan pendapatan, partisipasi sosial politik dan stabilitas sosial-budaya merupakan
indikator-indikator penting yang perlu dipertimbangkan dalam pelaksanaan pembangunan.

3. Keanekaragaman alam hayati dan pengelolaan lahan berkelanjutan
Keanekaragaman alam hayati menunjukkan berbagai variasi dalam bentuk, struktur
tubuh, warna, jumlah, dan sifat lain dari makhluk hidup di suatu daerah. Sumber alam
hayati merupakan bagian dari mata rantai tatanan lingkungan hidup, yang menjadikan
lingkungan ini hidup dan mampu menghidupkan manusia dari generasi ke generasi. Makin
beranekaragam sumber ini, makin banyak hikmah dan pilihan bagi manusia untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya. Begitu banyak jumlah manusia, hewan, dan tumbuhan,
tetapi tidak ditemukan dua individu yang sama persis sekalipun anak kembar identik.
Banyak jenis tumbuhan sebagai sumber produksi pangan, sandang, dan papan-
perumahan maupun kebutuhan lainnya. Demikian pula banyak hewan sebagai produksi
pangan, sandang, bahan industri dan tenaga pengangkut dan bahan hiasan. Kita patut
bersyukur kepada Allah swt., karena alam semesta ini diserahkan kepada manusia untuk
diambil hikmahnya, diolah, dimanfaatkan secara lestari keberadaannya. Semakin banyak
keanekaragaman pada makhluk hidup semakin banyak hikmah bagi manusia.
Indonesia sebagai daerah tropis, erosi oleh air merupakan bentuk degradasi tanah
yang sangat dominan. Praktik deforesterisasi dan alih fungsi lahan merupakan penyebab
utamanya baik di hutan produksi ataupun di hutan rakyat. Disamping itu praktek usaha tani
yang tidak memperhatikan kaidah-kaidah konservasi akan menyebabkan terjadinya
7

kemerosotan sumberdaya lahan yang akan berakibat semakin luasnya lahan kritis kita.
Terbukti pada tahun 1990-an luas lahan kritis di Indonesia 13,18 juta hektar, namun tahun
2005 diperkirakan mencapai lebih dari 23,24 juta hektar, sebagian besar berada di luar
kawasan hutan (65%) yaitu di lahan milik rakyat dengan pemanfaatan yang sekedarnya atau
bahkan cenderung diterlantarkan. Keadaan ini justru akan membawa dampak lahan semakin
kritis dan kekeringan panjang terjadi di musim kemarau. Hal ini menandakan bahwa petani
masih banyak yang belum mengindahkan praktek usaha tani konservasi.
Kondisi lahan dengan keanekaragaman batuan, tanah, air, dan topografi mempunyai
kualitas lahan yang berbeda untuk berbagai peruntukan. Untuk itu diperlukan kajian
evaluasi lahan yang menghasilkan tingkatan kemampuan dan kesesuian lahannya.
Birkeland (1999) menjelaskan bahwa distribusi sifat-sifat tanah pada daerah topografi kasar
dikontrol oleh faktor topografi, variasi sifat tanah terjadi oleh dua hal yaitu pedogenesis dan
geomorfologis. Akibat perbedaan kelembaban tanah dan proses geomorfologi yang terjadi
pada banjar lereng akan membentuk sifat tanah yang berbeda. Kajian geomorfologi yang
merupakan salah satu bagian dari geografi fisik berperan penting dalam evaluasi lahan ini.
Verstappen (1995) menyatakan bahwa secara umum studi geomorfologi dapat
diterapkan menjadi 3 (tiga), yaitu: (1) studi lingkungan (environmental studies), yaitu
hubungan erat dengan aspek-aspek khusus seperti: batuan, tanah, dan air atau penyusun
lingkungan lain secara menyeluruh; (2) studi dampak kegiatan manusia terhadap
lingkungan (studies of human impact on environment); dan (3) studi bahaya lingkungan
terhadap masyarakat (studies on environmental hazards for society), yaitu bahaya yang
datang baik dari dalam maupun luar yang sering berhubungan dengan aktivitas manusia.
Salah satu konsep dalam geomorfologi adalah proses yang pernah terjadi di masa
lampau akan terus berlangsung pada saat ini dan juga pada masa yang akan datang walau
dengan intensitas yang berbeda (Thornbury, 1958). Varnes (1984 dalam AGS, 2000)
menjelaskan konsep kejadian masa lampau dan masa sekarang merupakan petunjuk di masa
mendatang untuk menjelaskan fenomena longsorlahan, yaitu: (1) ada kecenderungan bahwa
longsorlahan akan terjadi dimana longsorlahan itu telah terjadi di masa lampau, dan (2)
longsorlahan cenderung akan terjadi pada kondisi geologi, geomorfologi, dan hidrologi
yang sama seperti yang terjadi di masa lampau.
Sartohadi (2002) telah mengelompokkan faktor penyebab longsor ke dalam topografi
(berkaitan dengan posisi/letak massa batuan dan atau tanah), litologi, struktur geologi,
8

tanah, penutup lahan, dan pengelolaan lahan (berkaitan dengan karakteristik massa
batuan/tanah), serta iklim dan kegempaan (bertindak sebagai pemicu terjadinya longsor).
Sedangkan proses geomorfologi yang berpengaruh terhadap longsorlahan adalah tingkat
pelapukan dan kedalaman pelapukan (Dackombe dan Gardiner, 1983) dan keterdapatan
longsor sebelumnya (Cooke dan Dornkamp, 1994).
Berdasarkan wawancara penduduk di sekitar kejadian bencana longsorlahan, bahwa
bencana longsorlahan di wilayah Pegunungan Menoreh terjadi secara intensif dalam 15
tahun terakhir ini. Dikaitkan dengan perkembangan industri, ditengarai bahwa industri
kertas dan meabel di Purworejo dan Jepara telah merubah orientasi sebagain besar
penduduk daerah Pegunungan Menoreh ini untuk menanam pohon sengon laut dan maoni
untuk industry tersebut. Kejadian bencana longsorlahan justru terjadi pada luasan lahan
yang mempunyai tingkat kerapatan tanaman sengon laut dan maoni yang relative tinggi ini.
Tanaman duren, manggis, dan berbagai tanaman musiman yang menjadi kekhasan daerah
ini tergusur karena orientasi bisnis kayu tersebut.
Konservasi lahan rawan bencana longsoran merupakan salah satu cara mitigasi
bencana alam. Mitigasi adalah suatu tindakan sebelum bencana terjadi untuk mengurangi
semininal mungkin kerugian harta benda dan korban jiwa. Menurut Mustow (1994, dalam
Sutikno, 1994) mitigasi merupakan bagian dalam siklus penanganan bencana. Penanganan
bencana secara keseluruhan meliputi mitigasi, persiapan, pertolongan/bantuan dan respon,
rehabilitasi dan rekonstruksi. Mitigasi merupakan awal dari kegiatan penanganan bencana
dan mitigasi lebih baik daripada pengobatan (Sutikno, 1994). Beberapa cara untuk
mengurangi stabilitas lereng yang memicu longsoran adalah: penggalian dan pengurugan
pada lereng yang mungkin longsor, perbaikan drainase, penataan vegetasi penutup pada
lereng, pembuatan struktur penahan dan metode kimiawi.
4. Penutup

Pengelolaan lahan di Indonesia harus memperhatikan kondisi lahan yang sangat
kompleks, karena kondisi yang beragam dari topografi, tanah, air, iklim, dan batuan dari
sekitar 17.508 pulau. Dalam konteks pengelolaan lahan yang berkelanjutan menghendaki
keanekaragaman hayati yang terkait dengan sistim pertanian yang diusahakan dalam suatu
wilayah. Penguatan potensi local di masing-masing pulau harus diusahakan semaksimal
mungkin bukan dengan penyeragaman pangan. Potensi local selama ini sangat menyatu
dan berjalan selaras dengan kondisi alam setempat sehingga keberlanjutan penggunaan
lahan dapat terjaga. Namun seiiring dengan pertumbuhan jumlah penduduk maka kejadian
9

bencana silih berganti dengan korban jiwa dan harta benda yang semakin besar. Bukan
alam yang tidak bersahabat dengan kita, namun kita tidak pernah belajar bahwa alam
menghendaki perlakuan yang bersahabat dari kita melalui kajian evaluasi penggunaan lahan
yang berkelanjutan. Ingat alam yang kita nikmati saat ini adalah pinjaman anak dan cucu
kita, mereka harus menikmati alam ini untuk kehidupannya mendatang.
Salah satu studi geomorfologi kaitannya dengan aspek lingkungan yang menarik
untuk dikaji adalah terapan geomorfologi untuk studi dan evaluasi kejadian tipe longsoran.
Untuk kajian tipe longsoran, pendekatan geomorfologi analitik dengan penekanan kajian
pada aspek morfologi, morfoproses, morfokronologi, dan morfoarransemen dapat
digunakan untuk mengkaji kejadian tipe longsoran, dan akhirnya dapat digunakan untuk
merumuskan mekanisme terbentuknya berbagai tipe longsoran. Dalam usaha mitigasi
bencana alam akibat longsorlahan, pada dasarnya aspek morfologi memungkinkan aspek
alam akan terulang, aspek morfoproses mencerminkan proses alam yang bekerja pada
bentuklahan, aspek morfokronologi mencerminkan fase pertumbuhan bentuklahan akan
terjadinya bahaya alam, dan adanya struktur batuan yang rentan bahaya alam, sedangkan
morfoarransemen berkaitan bahwa bahaya alam merupakan aspek gabungan antar kejadian
pada berbagai bentuklahan.

Pustaka:
Achmad Suryana, 2005, Pembangunan Pertanian Berkelanjutan Andalan Pembangunan
Nasional, Seminar Sistem Pertanian Berkelanjutan Universitas Sebelas Maret Solo 15
Februari 2005.

Agus Purwanto, 2008, Ayat-ayat Semesta sisi-sisi Al Quran yang terlupakan, Jakarta: Mizan
Media Utama.

Birkeland, W. Peter, 1984, Soils and geomorphology, New York: Oxford University Press.
FAO, 1989, Sustainable Development and Natural Resources Management, Paper C89/2,
Roma: FAO

Glade, Thomas, Anderson, M., dan Crozier, M. (ed), 2005, Landslide Hazard and Risk,
England: John Wiley & Sons.Ltd.
Hadmoko, D.S., 2007, Toward GIS-based Intergrated Landslide Hazard Assessment: A
Critical Overview, Indonesian Journal of Geography, 34 (1): 55-77.
10

Kuswaji Dwi Priyono, 2009, Analisis Morfometri Lereng dan Morfostruktur Batuan untuk
Prevensi Bencana Longsor di Keca-matan Banjarmangu Kabupaten Banjarnegara,
Laporan Penelitian, Surakarta: LPPM-UMS.
Saptana dan Anshari, 2007, Pembangunan Pertanian Berkelanjutan Melalui Kemitraan
Usaha, Jurnal Litbang Pertanian 26(4).
Sartohadi, J., 2008, The Landslide Distribution in Loano Sub-District, Purworejo District,
Central Java Province, Indonesia, Forum Geografi, Vol.22, No.2, Desember 2008:
129-144.
Sutikno, dkk., 2001, Pengelolaan Data Spasial Untuk Penyusunan Sistem Informasi
Penanggulangan Tanah Longsor di kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa
Yogyakarta, Makalah Seminar Dies Fakultas Geografi UGM ke-38 Tanggal 29
Agustus 2001, Yogyakarta: Fakultas Geografi UGM.
Zuidam, R.A. & Zuidam Cancelado, F.I.,1979 and 1985, Terrain Analysis and Classification
Using Areal Photographs, A Geomorphologycal Approach, Netherland, Enschede:
ITC

Anda mungkin juga menyukai