Anda di halaman 1dari 58

BURON

CANTIK
Seberkas catatan tentang Cinta, Persahabatan, dan Perjalanan
Sebuah janji 20 tahun
GITA CINTA

Petir itu ?
Hilang
Nafas dan aroma malam yang berdamping
Lelah dan amarah yang bersenyawa
Menyanyikan kehancuran untuk yang keberapa kalinya
Mendatangkan penyesalan yang terus disesalkan
Hilang ….
Datang ….
Dan katakan rambu mana yang dipatuhi
Yang dijalani
Yang dipilih
Untuk berjalan
Mencusuar itu redup
Mungkin tak lama akan mati
Tapi jangan ?
Masih ada yang butuhkan
Aku ….
Beri arti perjalananku
Jangan serukan terlanjur
Kaki belum lumpuh
Belum rapuh
Aku punya tekat, hasrat, niat dan nekat.
28 FEBRUARI

Asap merong-rong
Hentak kaki, musik dan lampu warna-warni
Maskara, sedo, bedak dan alis mata
Tubuh bengkak
Dada sesak
Kepala berjasa menopang raga
Air mata, patah asa dan bibir ternganga
Jerit histeri dan selapan sosok biri-biri
Mimik buram, temaram
Meniti hayalan sebuah impian
Kesombongan membekukan persingan
Demonstran festifal pembawa sial ….. gagal …. Total
Sebal, mual, kesal, semakin tebal, semakin kental
Disebuah gedung putih mengadu kreasi
Mendongak pada delapan batas terali penyesalan
Ketika lutut lemas dimimbar pentas
Ketika gemetar punggung diatas panggung
Melarikan diri dari jerat jelinya mata juri
Oh gusti nu maha suci
Burak ….
Elak dan teriak semakin membengkak
Kuyu, layu, sayu dan malu
Entah kekhilafan atau kealpaan
Pengorbanan
Pelajaran
Pengalaman
Dari sebuah pagelaran
Yang memuakan dan mengesankan
KISAH SEPASANG INDUK SEMANG

Kemelut mengunjungi seluruh ketentraman


Dan kadang-kadang kabut ikut melintas di istana yang
megah
Para budak menjilati telapak kaki tuannya yang tak
kunjung bersih
Akankah esok pagi kau akan mengusap mendung yang
kian merayap
Kemelut nyaris mencabut nyawa robot-robot dunia
Mata berubah menjadi senjata
Dan berusaha berdiri diatas duri-duri lambang kebodohan
Apakah kesabaran bisa menjadi darah daging
Atau senyawa yang mengental
Kisah sepasang mahluk yang lalai akan amanat
Bagai induk semang kehilangan bulunya
Hingga pribadi dan harga diri tidak lagi bisa berkhotbah
Lebih baik hidup jauh atas nama diri sendiri
Dari pada terus merayu emosi
Sebenarnya ingin menunaikan bakti
Tapi bagaimana jika yang terbaik telah bicara ?

DOSA DAN DO’A

Dunia sudah tua


Dimana sembah sujud disambut curiga
Dimana maaf telah lagi tidak lagi murah
Untuk pahit dan getirnya senyum
Ludah serasa getah
Dan setiap saat akan muntah
Bersama makanan dan minuman yang selama ini ditelan
Dan oendidikan yang belum ada oembuktian
Tidaklah semuaalan bersama
Sebagai perwujudan segala harapan
Kesalahan adalah pelajaran
Bagaimana dapat dikatakan bijaksana jika pelajaran
disamakan dengan ganjaran
~~~~
Hasil hambar dari perjuanbgan tidak seimbang
Jangan disesalkan
Takdir selalu bicara apa adanya
FALS

Sore itu dikeramaian metropolitan


Imngin menyaksikan aliran jiwa yang menjadi idola
Bersama sebelas konco-konco yang bernasib sama
Bis kota yang membawa seakan sesak dari nafas-nafas kotor
Berjalan pada kepadatan manusia-manusia di dunia yang mabuk
Sementara para mata menemukan keganjilan
Manusia seperti sampah atau limbah industri yang tak berguna
Berduyun-duyun mendekati gerbang sempit sambil memaki
menginjak, mendorong, menyerbu, menyopet.
Seandainya permata tidak di bawa tentu takkan bingung
memegangnya
Setelah terjepit diantara amarah yang berbaur
Mengumpat, memaki, robot berpangkat dan berbaju hijau
Memamerkan wajah yang garang sebagai tanda kuasa dan wibawa
Kemudian berhasil dengan sesak dan keringat
Masuk di sebuah stadion yang hingar bingar
Dengan musik awal yang tak banyak mendapat sambutan
Kericuhan terjadi di mana-mana
Dan manusia-manusia yang memperagakan keberanian yang
berlebihan
Mereka tak punya prestasi
Mereka tak percaya diri, kalau ada yang mereka bisa selain sensai
Berkelahi sambut menyambut
Telanjang diatas pagar mendemonstrasikan kebodohan
Menaiki tiang bendera yang tinggi
Berjalan ditiang tiang atap yang kokoh
Membakar, menyerbu
Mendobrak pagar besi
Memasuki kelas exekutif dengan emosi
Kasihan !!!!
Dan ketika langit gelap
Lampu-lampu dinyalakan, mengawali serentetan pertunjukan akbar
Sang idola datang bersama gemuruh musik, tari, lagu dan pusisi
Bersama sinat spektakuler yang memancar bersinap berputar-putar
Mengakhiri segala sensasi
Semua terdiam mengikuti arus pelampiasan emosi
Menumpahkan segala gelisah
Berteriak, mengeluarkan amarah yang selama ini tersekat
Bersorak, memuntahkan segala tuntutan yang lama terpendam
Lenyap suara gaduh, lenyap suara berising …. Gelap
Dan berpancaran sinar korek api bagai ribuan kunang-kunang
Seakan penonton mengikuti seorang kondaktur yang dipuja dan
dihormati
Yaitu kekaguman
Gemuruh datang lagi
Memancing untuk mengaktipkan kembali pita-pita suara yang
karatan
Seakan bersaing siapa yang keras, siapa yang kuat
Dalam usaha melupakan sejenak segala beban, segala penderitaan
Dada terasa kosong
Keluarkan segala resah, lelah, jengah, marah dan gelisah
Sebelum berjalan pulang tinggalkan keramaian
AWAL DARI SEGALA AWAL

Berawal dari mata bening penuh harap


Dengan ribuan kejujuran yang disajikan
Bersama kesetiaan yang digenggam terus dan terus
Dan bahagia bila lengan mampu membelai air terjun yang turun
deras
Kaki mungil berusaha berjalan diatas cadas yang beringas
Masih saya percaya bahwa dunia itu seramah dan sepolos wajahnya
Lengannya tak bosan meraih buih pada gelombang di tepi pantai
Senyum selalu membentuk di bibirnya yang tak mengerti kejamnya
dunia
Sendiri di tengah gurun panas bersama pasir yang bagai bara pijar
si terpa sinar
Namun terus jalan ditempuh mengharap ada kerangka kerang yang
lebih bagus di tepi sana
Lantangnya lugu
Cintanya tulus
Tak tau bahwa dunia tak kenal lagi kata percaya
Percaya adalah suku kata baku yang enggan dipakai karena banyak
yang tak mengerti
Percaya bagaikan nilai jam murahan yang disangsikan kebenarannya
Disela keringat dan lelah yang terus mencambuk rasa cintanya
Kepada orang tuanya, saudaranya, teman-teman dan kekasihnya
Terus digenggam kepercayaan dan kesetiaan
Menginginkan agar cintanya akan saling beriring kesatrian dan
wibawa
Namun apa yang ditemukannya ?
Seuntai cinta yang dilampirkan sepanjang usia belia
Secercah gejolak sebagai bekal mencapai gelak tawa yang renyah
Redam bersama telapak kakinya yang terkelupas menahan panas
Bersama air mata tanpa isak yang turunmenutupi pandangan angan-
angannya
Bersama dahaga yang kering tertahan sampai tawa merengkuk
jiwanya
Bersama keringat sebagai saksi tubuh yang lelah merintang jarak
Bersama kobaran harapan yang padam tersiram air yang teramat
dingin
Karna sebuah kata penghianatan yang terulang dan terulang
Hingga ia bosan
Kebosanan yang menjadi phat bagi dendam yang lunak
Kemudian, mengeras, membakar, menyala lalu membara
Membentuk kobaran dari lidah seekor naga yang tergugah dari
istirahat panjangnya
Kemudian tertelah dan tersimpan dengan keyakinan suatu waktu
akan terjulur walaupun menahan mual dari padanya
Menyusun langkah yang memihak pribadi secara mutlak
Disuguhkan kepalsuan dengan harapan lingkungan dan manusia
tidak mengenalnya
Dan terkecoh akan dandanannya
Kepada mereka yang tidak punya peran dalam skenario hidupnya
Mata berubah tajam
Bibir terkatup tertutup dari senyum ramah yang menjamah
Telinga berdiri berjaga-jaga d batas pagar penjara
Wajah kalu dengan seribu guratan sebagai cacat dari pengembaraan
Mereka-mereka yang dicintai, dikasihi dan disayangnya
Dirinya, tuhannya dan sahabatnya.
SIMPONI PAGI

Cinta adalah debaran jantung


Cinta adalah desiran hati
Cinta adalah adonan yang berbumbu cemburu
Cinta adalah anugrah
Cinta itu adalah anugrah
Cinta itu indah
Cinta itu pahit
Cinta itu kejam
Cinta bisa membuat orang menderita
Cinta bisa membuat orang bahagi
Cinta bisa membuat orang takut menghampirinya
Cinta bisa membuat orang jera
Cinta bisa membuat orang gila
Tahun yang lalu
Pernah ada cinta diantara bangku sekolah yang berjanji menjadi saksi
Disana pernah ada tawa yang benar-benar tawa
Disana pernah ada bicara diantara mata-mata curiga
Disana pernah ada cerita diantara mereka yang tak tau apa-apa
Disana, yang tau hanya berdua
Tak ada yang mengerti arti dua pasang mata sedang bicara
Di jumpa pertama aula SMA Satur
Direntetan kisah cerita kelas satu tujuh
Diantara pena, buku, bola dan kata-kata
Dianatar lukisan
Diantara jendela-jendela tanpa tirai
Diantara dering telepon yang datang
Diantara kepura-puraan, kegelisahan, kebahagiaan dan keacuhan yang terus
berpegang
Mata, berikan suatu makna kejujuran
Mata, berikan apa yang selalu jadi pikiran
Berikan suatu dorongan sesaat jadi pikiran
Berikan suatu dorongan sesaat sebelum dimulai pertunjukan
Berikan arti senyuman diantara nyanyian dan tarian
Berikan salam diujung kesuksesan
Dan kita tak pernah perduli pada mereka
Ketika bersama di rumah
Ketika bersama di sekolah
Ketika bersama di pesta
Ketika bersama di penataran
Ketika bersama di jalan
Ketika bersama di swalayan
Ketika bersama di sebuah pertunjukan
Bercerita dan bercerita
Tentang suka duka
Tentang keluarga
Tentang coklat kesukaan saya
Tentang pesawat kesukaannya
Tentang binatang kesukaan kami berdua, kura-kura
Namun tak ada kebahagiaan tanpa kesedihan
Tak ada perjumpaan tanpa perpisahan
Di ujung malam, kala terakhir kita berdua berjumpa
Tak ada air mata kala aku berkata “cukup cerita kita”
Tak ada kata-kata lagi kala jabat tangan erat mulai meregang
Memang tak perlu kata-kata karena mata kita takan berdusta
Memang tak dapat pungkiri kalau diantara kita ada seorang wanita yang
sama-sama kita puja
Kita sama-sama terpaku, terancam waktu
Diatas pasir dan rumput yang seolah ikut serta dalam suasana
Ditempat mengalir air hujan yang membasahi kita saat itu
Diantara batang-batang pohon besar yang memagar
Dihela hembus angin malam yang dingin
Awan hitam bersama malam akhir sebuah kenangan
Yang ditandai sederet kata yang kuucapkan
Disertai sinar matamu yang menyelami sembariku
Biar aku yang pergi tianggalkan kamu
Biar cinta yang kutitipkan padamu selamanya
Jangan jajaki langkahku
Jangan susul aku
Jangan antar aku, seperti sedia kala
Biar aku sendiri kembali
Biarkan aku sendiri nikmati malam ini
Hanya satu pintaku
Jangan lupa kalau kita pernah saling menyinta
KISAH BOCAH
Tuhan …
Bagai sejengkal luas dunia ini bagiku
ataukan memang sejengkal luasnya
Bocah titipanmu
Yang berusaha beranjak dari pojok keterpaksaan
dengan tertatih menggenggam secuil kemampuan
dan membopong sepedati kepengecutan
menghadapi semut berjubah macan
Ach …
Bocah itu berwajah tua
renta
dan beruban menghadapi kenyataan
mata kuyu menantang rembulan
Sayu
hampir hilang dijejal kemunafikan
kuku panjang hitam mencakar gumpalan awan
hingga robek dan berdarah mengotori dunia rawan
Tuhan …
Masih kau picingkan matamu tuk memandang
atau hanya mendamba kemustahilan
Bocah pucat berjingkat
menuju jerat dan biarkan tubuh tersekat
dihinggapi beribu lalat tatkala sekarat
hingga penat melaknat
Tuhan …
masih kau ingat bahwa kau pernah menghadirkan bocah itu ke dunia ?
atau hanya iseng memanfaatkan sisa
Hei bocah …
masih ingatkan kau bahwa kau sedang hidup didunia ?
Atau kau anggap ini alam kedua dari neraka
mungkin tak lama lagi banjir akan tiba dimusim kemarau ini
mungkin samudra akan kering dimusim ini
dan mungkin es dikutub selatan akan mencair dizaman ini
kemungkinan yang mengambang dialam khayalan
kemungkinan yang hanya ada dalam kemungkinan
Hei bocah jangan kau bertumpu pada kemungkinan
Karna kemungkinan tidak menjamin keyakinan
ARCA PUJANGGA
Hei …
Arca pujangga yang maha megah
mengintip gempa dengan senyum merekah
Sebuah mutiara terenyuh
menilik karang ditengah lautan teduh
tegak
tegar
tegap
tanpa suara
tanpa kata-kata
namun cahaya dapat terengkuh juga
Aneh
Katulistiwapun menyempit karenanya
langitpun berlipat karenanya
namun sempat pula meniti kerang menculik mutiara
Hei acra pujangga …
Adakah magnit alam bersenyawa
ataukah mukjijat yang mendakwa
sejuk
menikam ulu hati dengan jemari
Do’a mendidih perih
menghujam deretan mimpi
dan unjuk jari mencibir kerdilnya hati
Hei arca pujangga …
jelmaan pasukan dewa
titisan pangeran terpuja
memaksa mutiara berlayar arungi lautan dimata
lelah
resah
tertidur
dan mendengkur disudut dunia
Hach …
Sungguh angkuh
tubuh penuh peluh
syair tak jua terengkuh
Hei arca pujangga …
Mutiara kau timang ditepi jurang
Mutiara kau timan diujung pedang
hingga retak membayang
Ternyata … Hukum karna tengah berselang
KUMUH

2x Dentang jam dinding berunyi


Aku menelusuri lahan suci
Bagai menyayat lapisan kulit ari
Aku berjalan diatas aspal kemurnian
Ketika air hujan menetas sebelum menguap
menjilat dahaga entah karena apa
Satu-satunya yang kutau yaitu bayangan jumputan rasa
Selapis bayangan dengan berlapis kekaguman
Akan pantulan sinar air telaga
akan kemurnian yang ada
dan akan ksucian lahan yang bersahaja
Malam itu kendaraan tua melintas
Pamerkan cat tubuhnya yang terkelupas
Sombongkan pengalamannya yang tak jelas
Dari daerah pengap bising dan berdebu
Sejak itu
Tiada lagi gema lantang persaudaraan
Tiada lagi celah berteduh yang aman
Yang ada pandangan kosong penuh makian
Dan senyum hambar bersama secercah harapan
Oh, telaga suci …
Oh, lembah ranum
Hancur
Luluh
Suatu yang tak pernah kubayangi
Suatu yang tak pernah kujumpai
Akhirnya pergi
Karna aku, karna aku
Karat lebih lama menghias kulitku
Lumut tlah lama menyelimuti tubuhku
Itulah alasanku
Maafkan aku
Aku hanya ingin menggambarkan itulah dunia yang akan kau tuju.
BUIH

Percikan gelombang menjilat impian


garis lurus yang membentang menghubungkan sgala hayalan
kesan biru yang sejuk meresap ke dalam hati
batang pohon terendam menutupi sebagian kisah hidupnya yang lama
kapal-kapal laut yang besar kokoh tak bergeming dari gelombang
menutupi pulau hijau yang tersembut jauh
rumput dan lumpur-lumpur berdesak melengkapi pandangan mata kosong
telapan kaki yang berjuntai menyentuh air garam yang datang
Cerita tentang anak manusia bersama menaiki tangga kehidupan
di tempat yang ramai akan moleknya alam yang tak menuntut sanjungan
awan yang berderang mengiringi otak dan syaraf
memberi protes kepincangan yang sedemikian kentara
para nelayan berjuang menentang ombak yang berlawanan dengan tujuan
tampak oleng diombang-ambing dan maju sedikit demi sedikit
Perjuangan dalam keadaan damai
peperangan dalam keadaan gontai
mercusuar berkedip-kedip merah di kali kangit sana
memberi isyarat pada kapten-kapten kapal ‘tuk melanjutkan perjalanan
Semakin diteliti kenangan semakin lebur bersama jiwa
dan bersandar pada sebentuk bidang yang agung
saat waktu yang berlalu menumpas rasa ragu
dan kisah cerita yang berkiblat pada rasa percaya
terus berjalan berdampingan dengan ketidakpastian
disaksikan matahari yang rendah bagai hendak jatuh menimpa bumi
memancarkan sinar merah keemasan yang menyilaukan sgala angan
air tenang di tengah sana seakan menyaksikan apa yang terjadi
entah di kala pasang ataupun surut
menghabiskan siang dengan mengagumi pantai yang garang
pantai menghampar kemilau tembaga yang berkilat
memantul di sanubari
meyakinkan kekaguman akan hikmah dari abdi kekuasaan
Semenyara mata pena terus menari di kertas putih
menupahkan kenyataan
keanggunan cakrawala tatkala membuktikan kejayaan masa silam
dan merintih meratapi cerita lama yang telah menjadi sejarah
tanpa penghayatan yang diharapkan
Keabadian yang tergambar di permukaan laut yang labil
seakan meyakinkan sejuta dusta
waktu bulab bertengger cantik diantara awan putih penyanggah
bersaing dengan sinar senja sang surya
perlahan gelap merambah seakan dibelai oleh tangan putih malaikat
kala matahari teridur dan menyembunyikan sinarnya
diiringi bulan yang memperagakan keelokannya
Bersama kekaguman dan langkah kaki yang pergi diiringi deru dan debu
BATAVIA

Gundukan batu berongga


gersang
hampa
menyimpan suatu kata : “Rahasia”
dikota tua tertimbun debu dan sampah
apa mau dikata
merubah atau ikuti realita
dikala aku tiba
gersang mengambang
menembus bola berlapis air mata
seakan disera tuk bersedia berenang disana
menggapai tuk sampai ketepi sana
setelah terhempas temukan sebuah makna
sosok-sosok menyimpan suatu kata ; “rahasia”
Cihc …
jantungku menebal
darahku mengental
tatap sosok beku tanpa rasa
tanpa asa
aku tergolek dalam diam
kupancing fakta yang terbenam didasar kolam
dan berkarat dalam kemunafikan
dadaku terbelah dua
remuk
renyah
resah terbang dengan sayap kupu-kupu
menerawang meniti kehausan
merongrong kealpaan
dan mendarat digundukan baru
kosong
kupatri namaku dirongga angkasa
kucoba rubah mendung jadi cerah
namun aku tak kuasa
semua kekal
semua mengukir sebal
semua melukis sesal
bersama waktu yang bergulir dilatar serupa
tanpa beda
gundukan batu tua
gundukan batu hampa
bilamana mengenyam suka
PERI MATI

Tonggak besi yang kini keropos


Emas murni yang kini berkarat
Sisa dari sebuah kejayaan
Lunglai menggiring semangat
Menghapus cita yang tlah berada dipelupuk mata
Hei gunung es …
Kuyu merekat wajah
Letusan yang membelah jagad raya
melebur lahar lalu jengah
Akibat corengan jelaga dimuka
Oh gusti pangetan …
Gerhana sejengkal tlah beranjak
walau dunia masih berlipat kelam dan berarak
Dan manusia masih bergelimang dosa
Tanpa bergeming menoleh pada Yang Esa
Sabda setan membelai telinga
pamerkan taring yang berlumuran dosa
Oh permaisuri kembalilah keistana mutiara
bermandikan intan permata
Tanpa noda
tanpa jelaga
menunggang kereta kuda melanglang buana
mencabik kejemuan yang mengendap di jiwa
Hei gunung es …
mencairlah
Bukan karna sorot mata
bukan karna suasana
namun karna percik cahaya lentera
mengusik cendawan yang bahagia
Hei permaisuri kembalilah ke surga
bersama para nabi
bersama bidadari
menelan senyum yang terpatri
bersama dahaga yang tak terasa
Oh permaisuri
bahagialah
seraya menyiram bibit-bibit suka ria
tumbuh, berakar lalu berunga
dan peluh membasuh mega
dengan hasrat tuk cerahnya dunia
KECAM I

Mencela dia, mencerca dia, mencaci dia


itu hakmu
itu urusanmu
Aku hanya bisa dengan tanpa komentar
Dalam diri tidak dalam hati
Tapi … jangan sekali-kali kau coba memanjakan aku karena penilaianmu
dia sahabatku
Apapun dia, bagaimanapun dia
dia tetap sahabatku
Sungguh, setengah mati aku memuja dia
Sekali lagi
Jangan kau tanya kenapa aku memuja dia
Jangan kau protes kenapa aku memuja dia
Jangan kau usik hubunganku dengan dia
Aku tak suka
Sungguh aku tak suka
Itu urusanku
Kau tak tau apa-apa
Dan kau tak perlu tau apa-apa

KECAM II

Diam !!!! kataku


Kata-kata junjunganku
Kau tak turut maka hancur seluruh
Bukan penjelasan tapi keadaan
Aku muak pada keadaan saat itu
Maka aku diam
Aku hanya memamerkan penyesalan
Pada simpati yang kuberikan
Ingat ! emosi jangan dibuat kebanggaan
Karena keadaan akibat emosi adalah memuakan
Aku diam saat itu
Karena aku berusaha berdiri dijalanku
Aku bangga akan pedomanku
dan hati nuraniku
KUNCI DIRI

Tutuplah
Angin malam tak begitu ramah
Kuncilah …
Manusia sirik dimana-mana
rapat
rapih
hingga rata seluruh rasa
hingga terselubung seluruh permukaan
nyaman
aman
jangan ada yang masuk dengan kunci ta’ asli
Banyak harta karun yang ta’ patut dijamah
Lari … atau cukup beri senyum pura-pura simpati
Sambil ambil langkah
Kesamping atau mundur
teratur
Kemudian tutup muka dengan cadar
Tutup mata dengan kaca
Tutup hati dengan kepalan tangan
Lalu tunjukan
Inilah kepribadian
Dalam kemunafikan
Dan inilah yang benar-benar pribadi
Pada manusia-manusia tersayang

PICIK

Pertama mata pena bulatnya


Pertama kegelisahan melanda
Takut jika misteri itu terbukti
Oleh saksi ….
Pada mula aku mampu tertawa
Tawa yang lebih mirip sebuah dengus
Usaha tuk membuang kekesalan
Masa lalu
Hilanglah
Enyahlah
Minggat dari diari hatiku yang tamat oleh ceritamu
Masih sempat kukatakan selamat jalan
Atau hanya sekedar ucapan ?
Tidak, diriku adalah sesuatu yang paling berharga dalam hidupku
itu alasanku
AWAL DARI MEMORI

Disaat gerhana reda


petir menyambar menjanjikan hujan yang lebat
Banjir memenuhi ruang sanubari
gelap mencairkan keegoisan
Apakah yang gelap menyimpan kejujuran
Kejujuran yang benar-benar kejujuran
Suatu hal yang baru terlimpah sebagai bibit ketentraman
seakan ambruk menindih tebing hati
meluncur menatap tatapan keagungan
Disaat gerhana reda
gemuruh gelak memekakkan telinga
tersembul bara terkena dimuka
Karena tak punya bekal apa-apa.

ANTARA KENANGAN, KEADAAN DAN KENYATAAN

Terang menjelang menyusul malam


mencabik daging berdarah
dan luka
dan rebah
sejajar keputusasaan yang mendalam
dan sadar akan kekhilafan perasaan penunjuk jalan
seakan redup seakan kuncup
dalam debar jantung yang mengguncang dunia
memancing datangnya bencana
hingga runtuh
hingga hati tersentuh
Sanubari yang tertipu
Rasa dan asa yang tlah tertumpah …. ruah
Tercecar sepanjang kekaguman dan kasih sayang
Jurang adalah penghalang
Tiada saat tuk menerjang
tiada waktu yang terluang
menopang seonggok kehancuran
dan melirik ke bahagiaan disisi raga
disini
disatu batas areal
terpaksa menjinjing sekeranjang keramah tamahan
pada mata …
tanpa dosa
tanpa curiga
hanya satu yang aku tak tahu
aku atau kamu yang berdosa.
GALAU I

Waktu dulu
Masa lalu
Pernah ada seribu bungan mengembang ditaman gersang
Selama dua musim
Hujan dan kemarau
Entah apa yang di rasa
Ternyata bunga itu tetap bercahaya
Warna itu tetap ceria
Dalam hari ke hari
Dalam minggu ke minggu
Dan bulan ke bulan
Datang
Kemudian hilang
Dari rotasi mata yang tengah mencari
Dibelakang pintu atau dibalik hati
Disebuah memori dalam diari terkunci
Terisolasi
Rapih
Di musim ini
Di musim kemarin
Atau dimusim nanti
Kala tak hanya seribu bunga yang kan bersemi
Kala mata pena menari dilembar pertama diari
Ach …
Ternyata hujan tak datang lagi dimusim ini
Entah itu nanti

GALAU II
Genderang mencekik telinga
Putus asa terajut menjadi jumpuyan kehancuran
Angin
Menghembus helai ceria
Menyayat rentetan kisah cinta
Angin
Tlah teriup
Tlah … membawa irisan hati
Tlah membawa satu janji
Untuk selamanya
Angin …
Bertiuplah
Pergilah menuju cita dan tujuanmu
Pergilah menggondol sekeranjang harapan
Jangan lupakan
Mahkota bunga kering
Menunggu saat selamanya berbaring
Entah kapan
Menyandang irisan
Terkurung dipeti ukiran
AKSI DINI

Rebah …
Tengadah rentangkan jemari pafa ilahi
Tenggelam membisu mengekang nafsu
Dua …. Jera …. Tapi …. !
Ach, belenggu mencekik rajutan nyali
Rentetan kendala ditelapak kaki
Dipermukaan kulit ari
Nyeri ….
Sesaat kuingat wajah malaikat
Membengkak jantung membendung suara
serak
Gemetar …
Menarik rairsleting pintu mereka
Menabung dosa
Bangga menggenggam le,baran kemasiatan
Pada manusia jelmaan setan

CELOTEHAN MANUSIA

Manusia
Masih adakah darah murni yang mengalir dari sebuah jantung
Dan berikan sedekah bagi manusia
Tuhan …
Denganceloteh manusia
Mana yang kau pilih tuk kabulkan
Mana ?
Sempurna ?
Memang
Tidak ada
Dunia dan kiamat yang ditunggu
Katakan kuasa-Mu adalah satu

DALAM PENCARIAN

Jubah suci semata kaki


Kerudung putih
Dan kaus kaki
Aku menjinjing kitab ilahi
Dan satu lagi
Hadist nabi
Aku belum menikmati apa yang dicari
Ketika mau ta’ mau harus berhenti
Entah esok hari
Entah lusa nanti
Pasti
CAKRABUANA 2

Lorong yang berujung ruang


Bersih … rapih
Coba berjalan tuk sampai tujuan
Lelah memang
Tapi pagi tidak terlalu pagi
Masih diiringi bekal tuk percaya diri
Yakini
Wajah dalam kisah darah
Dalam tabiat bejat
Tapi kudengar tegar
Diam …
Entah dungu … lugu … atau malah ta’ tau
Terakhir di lembaga pemasyarakatan
Hach …. Selamat jalan kawan
Selamat telan hukuman
Jalan !!?
Didepan memang ta’ aman
Tapi suatu makna mengatakan ada
Dan harapan selalu siap tersedia.

DIBALIK KATA

Seperti rasa yang lalu


Kali ini
Memang membawaku
Menjadi ratu pribadiku
Kalau mungkin benar
Akan kukatakan tidak
Hanya satu suka
Saat mencoba lupa segalanya

TELAGA BENING

Bau busuk, karung dan karpet basah


Dipojok gudang pabrik sampah
Dan batu berserak melukai telapak
Kucoba menyelami telaga bening
Matamu
Dan kubawa aroma tujuh rupa bunga
Tuk ku sebar di pagar kuburmu

KESADARAN
Keringat mengalir ditepi semangat
air mata bersimbah dipucuk harapan
Helai daun kering terayun terlentang dimuka dunia
Mengecoh kenyataan walau sia-sia
tercampak dari kelemah lembutan
Oh dewi
Lupakan …
tinggalkan
Tapakkan langkahmu yang tengah terayun
titipkan cintamu diujung khayalmu
titipkan khayalmu diujung mimpimu
Runcingan kuku jarimu
tancapkan pada sebongkah keputus asaan
Pergilah …
pinjamlah sayap burung garuda
Bahagialah
Pancangkan spanduk kemenangan
coret momentum itu dengan tintamu
petiklah bunga nirwana
pasang dipojok Figura
Entah milik siapa
Rentangkan lagi harapan
Senyumlah ….
Terimalah keelokan anugrah

SESAL KEMUDIAN, SESAL BOSAN


Angin menghembus mengusir redup mataku
Walau sejenak
Piaskan cahaya yang menggantung dimataku
Walau tlah beranjak
Sutas dambaan melayang
Terbang
menghilang
dikerat kebengisan sang senyuman
disayat pandangan sang pujaan
berdiri bertegur digerbang kehancuran
Bertekat membawa langkah
langkah-langkah yang terarah
namun melewati kubu-kubu berdarah
Pada forum perang yang tak pernah musnah
Hingga sesal
Semakin tebal
Semakin kental
Semakin mencerca diri.

BETAWI

Ibu kota ….
Disana pertama kali aku mencium bau dunia
Disana aku pernah bahagia
Disana pula aku kehilangan asa
Terus … kataku
Jajaki sela-sela rel kereta
Untuk sementara atau selamanya
Jalan … pekiku
Ada air mata dikantung selanaku
Kubawa dan kubawa sampai kesana

DURHAKA

Durhaka …. kantong suara guru agama


Dosa, …. teriak salah satu dari mereka
Apa ia ? aku bertanya
Siapa yang salah ? aku atau mereka
Aku cinta pada mereka
Aku muak pada mereka
Aku minggat dari mereka
Hingga kini aku mengembara
Pergi dari mereka
Kelak aku kembali dengan kepala bermahkota
Tunggulah aku di muka gapura

KEMBALI

Kuda besi kendaraannku


Aku rindu …
Antar aku
Jemput aku
Bawa aku
Kembali ke kotaku
Disini bising
Aku asing
Kuda besi kendaraanku
Kosongkan sebuah kursi istimewa untukku
Biarkan aku duduk di situ
Kemudian kendorkan tali kekangmu
Kita kembali
Di sini ? aku ta’ perduli
GUA GILA DAN LENTERA

Tetes embun sejuk memperingati kedatangan


Senja yang temaram menuntut arah melangkah
Sejenak terperangah
Lalu menjadi musim busuk akan terkendali
Jerit histeri yang sulit untuk dilunasi
Kembali pada kriteria pribadi menuju yang terbaik
Meninggalkan puing masa lalu yang berkumuran ludah
Tercabik, keras menyesali masa kanak-kanak yang berlalu cepat
Ketika lentera menyibak dinding-dinding gua yang gelap
Penuh serangga, lumut, batu-batu dan misteri yang enggan terungkap
Hanya sebuah celah untuk masuk dari liang tertutup
Oleh batu besar mengganjal mulut gua yang terangnga
Entah sengaja atau bencana
Yang jelas gua itu kini berusaha beradaptasi dengan sinar surya
Agar didalamnya tercermin tanda-tanda kehidupan
Namun lentera tetap menerangi dasar gua
Tidak redup, terus menyala
Sehingga trerlihatlan apa yang pernah terjadi disana
Ada kerangka manusia yang tergeletak ta’ berdaya
Ada sebilah pedang yang tergenggan diantara tulang-tulang jairnya
Ada harta karun disana
Emas, intan, permata, berlian dan sebagainya
Ada tulisan yang terukir berupa pesan di dinding gua
“Sungguh kejam kau gua, memang aku tak mampu manaklukanmu, tapi suatu saat akan datang
seseorang yang mampu menerobos kegelapanmu. Dan kau akan takluk di sirnanya yang ta’
pernah redup. Hei manusia pembawa lentera. Jagalah baik-baik gua ini. Ia akan rela memberi
harta karun miliknya. Jangan sampai ada lagi manusia seperti aku yang merambah pesona
alaminya.”
Waktu bergeser jauh dari peristiwa ini
dan gua kini terpelihara
Tapi apakah gua itu akan tau maksud si pembawa lentera
Sedangkan mereka hidup dalam takdir yang berbeda
Dapatkah gua itu terus terlindung bagi pesona alaminya
Sedangkan mereka tak punya bahasa untuk berterus terang apa adanya
lalu apa predikat sang gua ?
Walau ia ta mampu bicara, sedikitnya keyakinan dapat melapisi
segala keragu-raguan
Seandainya dapat syair dikumandangkan pada lembah dan jagat raya
Tentu si pembawa lentera pun akan mendengar yang diharapkannya
Seandainya lentera itu menerangi wajah di pembawa
Tentu akan terlihat apa yang tersirat
Biar …. Biar kiamat yang menghancurkan keduanya
Tak perlu tebing tegar, tak perlu air segar
Sepintas terlihat seperti meruntuhkan sebuah zaman yang hilang
Namun segala harapan pun ikut terimbun karang
Sampai suatu saat ada yang benar-benar mengerti apa yang sebenarnya terjadi ?
SERABUT TUA

Serabut tua

Namun kau mampu menggerogoti dada

Diantara barak-barak yang kering dan gersang

Kau beri pupuk pada berbagai macam kemunafikan

Dipundakmu terpancang pangkat yang berdesakan

Tapi dihati kita kau tak lebih dari tikus sawah yang memuakan

Hei serabut tua

Pamerkan usia yang berguling diantara kepura-puraanmu

Kejenuhan

Kebosanan

Kemungkaran dan kemurkaan

Yang kau hidangkan di pinggan bertatah berlian

Kau sediakan dengan sendok garpu ditangan

Siap mencacah dan mencabik sanubari manusia

yang berutak

yang berusaha bertindak menjunjung hasrat

dari sebuah perlindungan yang lebih tepat dikatakan ‘

tahanan yang menjerat

Hei serabut tua

Wiabwamu membawa dera untuk unjuk rasa

Disiplinmu mengundang kita angkat gada

Pada ubun-ubun yang renta

Kau banggakan sebuah spanduk “dilarang masuk”

Kau gembar gemborkan kodok kedisiplinan

Kau acungkan baik-an tata tertib

Yang memancing berekrutnya kulit dahi kita

Panas dada kita dan dendam yang membara di hati kita


SINGA MALANG

Singa malang
Aman pendukungmu
Mana pengabjungmu
Kau tutup kekurangan dengan kesombonganmu
Kecewa ?
Mungkin kata itu yang paling pantas untuk kau sandang
Cinta ? itu ta’ ada
Kau tak tau apa itu cinta
Apa guna cinta
Pada kami
Singa malang
Suksesmu sudah tertutup kain kafan
Kini tinggal kehgancuran
Harus … harus kau hadapi
Jangan kau hindari apalagi menutupi
Singa malang
Bahuku masih kuat untuk menopang tubuhku
Tak perlu kau pikirkan itu
Atau bahkan aku tak butuh kau pikirkan itu
Langit itu terlalu cerah untuk hujan
Ia terlalu egois untuk ikut serta dalam kesedihan
Mari rentangkan tangan
Mari rengganggkan genggaman
Kita punya jalan walau setapak
Kita punya tujuan walau hanya sepetak
Kita perlu pedoman
Mari kita berjalan pada masing-masing pedoman
juga aku
Walau aku tau aku punya kau dan semua
Tapi aku tidak dituntut untuk mengingat semua
Dari aku yang mungkin kau anggap jelmaan setan
Atau dari aku yang tidak pernah minta untuk dilahirkan

PERTEMUAN

Percik hujan di jendela bis kota


Pergi dari dua manusia satu aroma
Untuk sementara atau selamanya
Dan para kuli menjulurkan lidah
Menyamai aku dengan boneka sawah
Sirih neneknya atau lainnya
Ada dua wajah satu darah
Daki, oli dari dahi kek kaki
Pucat pasi diantara mata dan hati
SORE IBU KOTA

Sore ibu kota


Panorama kuli yang berjas dan berdasi
Pemegang kelewang
Mengumpat si pembuang
Ach … masih saja taj ramah
Kendati berjuta dermawan telah sombongkan jasa
Panas !!!
Kenapa bisa berbesa
Sedang matahari kita sama
Bus kota yang mengantar copet ke tempat kerja
Dirikan dan mengaku tak berdosa
Satu saja air mata
Belum cukup untuk makan anak bini di rumah
Rumah ?
Ach … hanya gubuk di pojok jembatan
Dibawah tempat meuncurnya roda sedan-sedan
dari si pembuang
Menuju kantor yang semakin menjulang
Dengan pencakar langit yang benar-benar sangar mencakar
Sebetis besar atau si dada kekar
Yang hanya bisa beli ubi buat si bayi
yang tidak mengerti
Macetnya lift karena kurang oli atau spekulasi
disebuah penjara kelas tinggi
Sabar … dunia masih tau diri
Walau kuli tak sama dengan menteri
BURON CANTIK

Buron cantik
Semua polisi dan detektif akan akui kalau kau cantik
Tapi hanya itu yang kau sandang sebagai senjata
Kau tak punya harta
Buron cilik
Berapa banyak biaya tuk keluarkan kau dari penjara
Namun kau anggap itu istana
Sebab disana kau dapat bertahta bak raja
Kau gila
Buron tengik
Kau curi kedua cinta
Kau rampok hak saudara
Kau rampas hari bahagia
Kau bawa keistana
Kau gila
Buron cantik
Kau cantik
Keluarlah dari istana
Kuberikan kunci borgolmu
Kubuka pintu kerangkengmu
Genggam tanganku
Diluar banyak musush-musuhmu
Gantungkan tubuhmu dibahuku
Aku saudaramu

SRIGALA MALANG
Srigala malang
Tanganmu patah setahun yang lalu
Bersama rontoknya bulu tubuhmu
Jangan kira lidahmu mampu bersihi keringatku
Ludahmu yang melumuri lukaku
Hingga tak sembuh
Tak bosan kusesali itu
Srigala malang
Belangku jelas mengkaitiku bertambahnya siaku
Sangarmu mempertebal cela diwajahmu
Lihat pundakku
Lihat mataku
Lihat dengkul dan sikuku
Tak ada yang sujud didepanmu
Srigala malang
Matahari hampir tenggelam
Apakah tlah mampu kau sinari bumi
Atau kau terhalang awan yang tidak main kompromi
Untuk itu salahmu atau takdir tuhanmu
Tulang itu ? aku tak punya ilmu
Srigala malang
Dulu kau punya banyak bangkai untuk makan anakmu
Dulu kau punya banyak tulang yang kau kubur di tempatmu
Aku tak perlu itu, aku tak butuh itu
Berikan pada anakmu yang besar namun masih menyusu
Aku punya taring sendiri, aku punya otak sendiri, aku punya tenaga sendiri
Dan di sekitarku banyak sekali mangsa-mangsa
Tek sulit untuk ubah menjadi bangkai
Untuk sarapanku hari ini atau esok pagi
DENGAR SOBAT

Kamu dengar saudaraku sobat


Kamu tau apa yang selalu ada diotakku
diceritaku
diceriaku
Entah apa yang ingin ku sembahkan untukmu
Ketika aku dengar kembali suaramu
Sobat
Biarkan kepalaku rebah dibahumu
Biarkan kututup mataku dibalik dadamu
Biarkan aku sembunyi di ketiakmu
merangkul
bersandar ditubuhmu
biarkan …
Hanya itulah cara untuk adukan resahku
Tuk hilangkan gundahku
Karena aku tak sanggup bicara
Aku tak sanggup berkata
Aku tak sanggup cerita
Biarkan sobat
Hanya itulah cara tuk rengkuh kebahagiaannku
Tuk sadarkan aku
Kalau aku tidak sendiri
Seperti yang sering ku hampiri
Ku jalani
Sobat
Kembali aku bersaksi
Aku sayang kamu
Dan kita saling mengerti
Diantara perbedaan yang menghimpit diamana-mana
Dan kita saling oercaya
Diantara kemunafikan yang pasti ada
Mungkin untuk harga diri.

IBU CANTIK
Tuhan
Suara itu datang lagi
Kau tau aliran darahku bagai listrik tegangan tinggi
Rasa takutku menjalar
Melingkar tubuhku
Mengikat tubuhku
Yang tak pernah terikat
Yang liar di dalam sangkar
Saat mulai kerja sangat telinga
Meniti jawaban
Dari pertanyaan atau pernyataan
Dari saran
Seorang ibu cantik yang baik
Teramat baik
Untuk anaknya tercinta
Dan saat itu aku berada di pojok
Posisi yang selalu ku umpat dan ku maki
Menentang kepala tanpa kuasa
maafkan
Mungkin wajahku ta’ cantik
tapi sungguh
Gelap tak kan memakanmu
Kalau dihatimu telah terpancar cahaya
ta' apa
Karna wajah adalah acsesoris hidup
ta’ perlu cantik
Hanya untuk pengenal bagi mereka yang tidak kenal

Mediomart’2001 Aroundmart’2001
Rasa ini masih ada disini Ingin sekali kuisampaikan
Kujaga dalam-dalam Dan sunggu ingin aku dengan
Suatu hari pasti Yang jujur, yang tulus
Aku lebih dewasa menghadapi Dari kamu
Do’aku Sulit sekali rasanya yakin itu hadir
Masih saja seperti dulu Dan sungguh semua itu menggangguku
Dan kucoba selesaikan sendiri
Semua ini Saat ini aku sangat-sangat mengerti
Karna saat ini aku rasakan sekali
Tuhanku Begitu dalam …
Anugrahmu kan kupuja selalu
Walau aku masih belum tau Pernah aku coba untuk pergi sesaat
Bagaimana mensyukurinya Untuk pastikan
Tuhanku – Maafkan aku Semua berjalan sesuai layaknya
Tak perlu dikhawatirkan
Banyak hal yang ingin kutanya Tolong, beri aku tanda
Sampai saat ini Kalau aku tidak salah …
Aku belum menemukan kata-kata

Aroundmart’2001 Aroundmart/2001

Cukup lama untuk menguji diri Cinta adalah deskripsi emosional


Mengunci diri dari senyawa kimia yang bereaksi
Dari kemungkinan kesalahan didalam tubuh dan menghasilkan ebergi
Cukup waktu untuk sadar diri
Aku masih manusia, biasa Trimakasih atas energi ini …
Persis seperti jutaan, yang lainnya

Satu hal yang masih melegakan


Aku sudah berusaha
Bagaimana ku tahu
Bahwa semua ini masih dalam
ambang yang dapat dimengerti ?
Jika jawabannya tidak demikian
Satu hal yang harus diyakini
Aku tidak cukup berusaha , ternyata …
PESAN TEMAN
Terimakasih yang murni
yang tulus
Dengan kelantangan
Tidak seperti biasa
Ketika embun malam menyapa
Hentikan cerita buta
Bersama cemara yang tertawa
Mencerca kulit muka
Yang tipis teramat tipis
Untuk hawa dingin, bukan main
Maafkan
Mungkin banyak janji yang tak ditepati
Teriakan, warna darah itu merah
dan hitam jika t’lah tertikam
hanya satu pintaku
Jangan kau kotori simpati
tidak ada yang bisa bersihi

ALONE
Sendiri kadang jadi surga
jadi prahara
kala muka menghadap kaca
dan mata tak dapat berdusta
ketika mulai bibir mencibir
banyak yang bisa bawa kita ke penjara
hidup dan dunia
dungu yang dipelajri
dihayati
untuk mengunci sampai mati

JAKARTA TUA

Enam belas tahun yang lalu


Ketika bayi kecil lahir terakhir
Menghirup bau dunia yang kotor
disini, di betawi
Sumber keacuhan yang menjadi pribadi
Yang dipuja manudia kecil tuk cari kerja
Yang jadi impian sepanjang malam
Yang tidak punya bukti
Yang tidak punya keyakinan
Yach … hanya hayalan yang dihidangkan
Hawa debu perusak paru-paru
Hawa yang tak ramah seramah garis-garis desa
Seramah sawah
Seramah gunung
Seramah awan
Atau apa saja yang mungkin kita lupa
Dan bayi kecil itu menselik
Pada bocah yang melahirkannya
Dan tetap menjadi bocah walau sudah ubanan
Bayi itu sudah remaja
Tapi dia masih bertanya pada dirinya
Siapa mama saya yang sebenarnya ?
Adakah mereka berdusta ?

DARA GILA TAK BERNYAWA

Sesaat rindu berpacu


Harus laksana bongkah permata
Tebing runcing tertawa nyaring
Hach …
Masih redup mataku
Belum dapat cerita tentang dara gila
Takbernyawa ….
KEDATANGAN

Satu-satu ku sapu
saat itu
Aku hanya terpaku
Inilah sajian sebuah kedatangan
kepulanganmu
Inikah ?
Bibirku tak sudi bicara
Mereka terlalu rendah dimataku
Telinga mereka terlalu kotor untuk jalan masuk suaraku
biadab
Aku bejad
Dari sudtnya …. bukan dari sudtku
Aku agung pada posisiku
Gema takbiran tak ubah bagai syair yang tak merdu
Seru lebaran tak ubah bagai saat yang akhirnya berlalu
Masih haruskah mereka kuberi penghormatan
Aku tak punya waktu
Aku sibuk membersihkan sisa makanan di gigiku
itu lebih berarti
Daripada berdesak diantara manusia-manusia gila
Dan terhimpit diantara kebodohanku suatu kesombong
jariku lima
Dijariku teruang seribu akal
Mereka tak perlu tau
Mereka tak pantas tau
Aku ratu bagi diriku
Satu yang kubawa sebagai identitasku
Mamaku masih ada diurutan terbawah kartu keluarga

BENARKAH ?

Asa itu tlah patah


Kalaupun diperbaiki, itu takkan sempurna
Dan alat atau hasrat untuk memperbaiki itu tidak ada
Atau tidak perlu ada
Sebab usaha itu mungkin akan percuma
Akan sia-sia
Disana aku mencari asa
Tapi disana tak ada, disana langka
Selama ini aku selalu berusaha
Dan sekarang aku takkan lagi berusaha
Aku akan terus mencari, bukan disana tapi dimana saja
Ditempat aku mulai bisa bicara tentang dunia
DO’A

Tuhan … debu itu semakin tebal


Melapisi bola mataku
Menyumpal hidung dan telingaku
Membungkam mulutku
Tuhan …
Datanglah dihatiku
Dan pergilah dijiwaku
Aku bosan dengan gema takdirmu
Tuhan …
Sepuluh hari …
Kala jiwa dikejar dan dituntut oleh kesombongan
Kala pembuktian hanya sekedar bukti
Yang mungkin malah merugikan
Tuhan …
Malam ini, esok, lusa dan nanti
Hari ini, esok, lusa dan nanti
Sunguh … ku mohon pada-Mu beri aku kekuatan
Jalan terang
Agar aku tetap memujamu sebagai Allah tuhanku satu

TEMBANG MALAM

Disekitar celah dikeasingan


gudang kemunafikan
Dihampir semua raga yang tertidur
Pulas
Dan mengigau ungkapan mimpi
Yang mungkin hanya sesaat dan sekejap
Kemudian terjaga
Dan sadar kalau semua sudah ta’ ada
Tinggalkan kita
Tinggalkan harapan kita
Sementara mata masih lelah
Dan luka masih menganga
Coba beli obat merah diapotik yang entah dimana
Diujung sana
Atau bahkan tak ada
Dan ketika ternyata malam semakin tua
hampir dini
Yah … kita ta’ lagi mendnegar
Coba hadapi bahwa selamanya malam akan gelap
Dan akan terang ketika ada pagi dan matahari
Yang datang tanpa janji
Tanpa kompromi
MASA DULU, MASA LALU

Seorang bocah berlari kecil di pematang sawah


dadanya telanjang
Dan wajahnya memancarkan seribu kejujuran
Matanya bersinar dan mulutnya berteriak menyebut “ayah”
Seorang bocah dengan manja meletakan kepala dalam dekapan bapaknya
Jika malam turun merentangkan sayapnua yang gelap
Si bocah tidur dalam usapan kidung ibunda tercinta
Dan roh-roh jahat tak berani menjamah ketentramannya
Malampun lewat tanpa daya
Si bocah terbangun
Dan melihat fajar datang menghampirinya
Masa kanak-kanak adalah masa yang paling indah
Indah bagai bunga-bunga ditaman sari
Indah bagaikan tinggal diistana mimpi
Masa kanak-kanak mengalir bebas dan merdeka
Seperti sungai didaerah pegunungan
Mengalir dengan tenang jujur dan suci

MEMO

Lihat seekor kucing hitam, dia belajar mencakar dari induknya


Seekor macan belajar meraung dari siapa ?
Manusia tidak menjadi besar dengan sendirinya

DUA SAUDARA

Kita takkan pernah bisa melupakan


Kita pernah bersama-sama hidup dalam rahim yang sama
Kita pernah menghirup udara segar yang sama
Kita pernah makan jenis makanan yang sama
Kita pernah minum air susu yang sama
Kita pernah menyusupkan kepada pada laki-laki yang sama
Kita pernah bermain-main di halaman rumah ini
Kita pernah bersenda gurau bersama orang tua kita
Kita pernah bertengkar dan saling memaki sampai suatu saat ibu datang untuk melerai
Kita memang btakkan pernah bisa melupakan

RUMAH DAMAI

Rumah yang damai


Ialah rumah dimana penghuninya dapat hidup dengan tentran dan damai
Ci bapak menghormati istrinya
Si ibu mempersembahkan segalanya untuk keluarga
Rumah yang damai
Ialah rumah dimana anak-anak dapat bernafas dengan hangat
Mereka hidup rukun saling membelai
Tak ada yang sok kuasa
Tak ada yang merasa kurang terhormat
Rumah yang damai
Ialah dimana keluarga dapat hidup bersama dan bersaudara tanpa merasa dikurangi haknya
Mereka dapat makan dan minum dengan tenang
Mereka dapat tidur bersama mimpinya masing-masing
Mereka dapat bekerja tertib tanpa harus tidak merasa merdeka
Rumah yang damai
Ialah rumah yang diidamkan setiap orang
SURAT BUAT SOBAT
Satu langkah lagi
Satu jalan pasti
Satu dinar tertinggal didalam gua
Didalam surga
Biar cinta tertanam
Tertimbun tanah dan terbenam
Biar cinta tetap hidup
Tetap bersemi dalam ilusi
Datanglah hujan
Pengusik kemarau panjang
Perombak kegalauan
Datanglah
Bawalah senyummu
Sambutlah senyumku
Rengkulah jemariku
Bawa aku menuju tujuanmu

UNTUK KAMU

Ada kepahitan yang tertinggal


Ada air zam-zam yang bersimbah
Ada satu kata kagungan
Untuk kamu
Hanya untuk kamu
Ada gejolak tertahan dalam benak
Ada derap jengah menuntun langkah
Untuk kamu
Yach … untuk kamu
Untuk satu utuh dalam sembah nyata
Dalam makna

MUSIM SEMI
Setahun yang lalu
Pernah ku coba melangkah
Dititian tempatku membawa ilmu
Diantara buku dan bangku
Aku terpaku
Cari lagi !!! seru temanku
Hach …aku tak punya rasa
Aku tak punya

BAJINGAN !!!!

Ternyata landak berbulu domba


Ternyata sinar itu pantulan kebejatan
Oh gusti
Bencana itu melimpah lagi
Ternyata bukan hanya kebodohan
Tapi kedunguan yang meraja perasaan
Oh gusti
Malapetaka apa lagi
Genjaran apa lagi
Siksaan apa lagi
Yang kau babankan dibatok kepalaku
Oh gusti
Maafkan dosa hambamu ini

KODRAT

Buku-buku diatas kepala


Hukum-hukum yang menjaga dipintu gerbang
Bisu
Aku sendiri termangun
Puncak teramat tinggi
Jauh menebus awan merdu
TRAUMA

Soneta jelita mengembang sementara


Terlalu merdu untuk dihindari
Alam nyata mengapa
Ulurkan jalan
Lepaskan angan
Air mata terbawa
Ceriita tertunda
Atau binasa
Masalah musim yang kian merajam
Merah padam dendam
Amanat pelak erat
Merangkum mimpi yang mati
Tapak kaki pecah berdarah
Jiwa tak rela
Nyawa unjuk rasa
Kaki tetap melangkah
Walau lelah

AREAL BENGAL

Banyak sekali yang mesti diiringi dengan senyum


Segar atau hambar
Ketika hati mulai penuh terisi jenuh
Seakan dunia mengizinkan lepasnya jiwa
Kuku-kuku yang panjang menentang
Melawan liku-liku yang berintang
Dan selaput mata menebal
Menutup cerita yang mungkin terlaksana
Sesma manusia yang saling asing
PERGI !!!

Laut semakin jauh


Langit jauh
Matahari terik menyala sejengkal kepala
Kemana kaki hendak lari
Tubuh panas, hangat
Kering
Sebelum semua terjadi
Sebelum bencana terjadi
Pergi !!!
Atau mati

SYAIR SEORANG KUSIR, MAHIR ???

Bisikan syair pujangga ketelinga


Janjikan pesona muluk alam surga
Tinggalkan bahana
Bahagia atau kecewa

II

Curi soneta di jalan raya


Lantunkan di jiwa perjaka
Dusta atau dosa
Yang jelas malam merambah malam
Gelap semakin terasa
Dan hati protes akan keadaan

PERJALANA SEMU DAN PENCARIAN TAK TENTU


Jalan hidup yang menjalar tak wajar
Perbaiki kehausan yang telah menfonis takdir
Seandainya pagi tidak teramat pagi
Mungkin banyak mimpi yang diingkari
Tidak ditepati
Ingin ku langkah lurus bersama arus
Namun sampan tenang menentang
Dan sungai yang sempit tidak kuasa mengizinkan
Cuaca tidak menginginkan
Pernajalan yang semu
Atau pencarian yang tak tentu

SALING BERSAING ORANG-ORANG ASING

Saat berajut do’a


Gelombang mengembang diantara samudra
Saling bersaing antara aku dan mereka
Orang-orang asing
Kucoba berpaling
Karena ketentuan tlah menjadi panutan
Tempuh masa
Padahal jiwa kecewa
JALAN I JALAN II

Kabut pagi merayang Perioda bertambah


Kelam sisa malam Usia berambah
Bulan yang terseok diusir mentari Rasa semakin peka
Terang berbayang malang Cinta semakin nyata
Masih keras tak menumpas Hari-hari terlewati untuk pergi
Lewati renungan suci
Lewati kenangan diri
Menjadi dewa
Jagad raya

JALAN III PULANG

Sebatang tubuh terbuang Rindu ramai cerita semu


jauh Rindu teratai seakan beku
Dan tubuh seadanya Rimbun bambu yang rancu
Dan hidup tak sewajarnya Aku terbayang
Rasa yang tercampur tak rata Aku tak ingi pulang
Dan semua hilangkan pesona
Senyum yang urung
Pergi adalah jalan satu-satunya
Bersama keyakinan yang beranjak dari dirinya
Pahit
Dan kupatahkan
YANG KALAH YANG MENGALAH

Sebuah ngarai berkelok


Secercah do’a mati
Sehadap,
Sekibat
Seujung kaki berhimpit
Tinggi
Diantara rimbunan pepohonan
Diladang atau di hutan
Dipelosok dan
Kembali pada awal kota-kota
Terucap dikala geliat
Kembali aku terancam kalah
Biarkan aku mengalah sebelum kalah

PRINSIP

Sangsi adalah racun diri


Percaya adalah racun diri
Curiga adalah senjata diri
Waspada adalah mahkota diri
Kesegala menyebar
Kesegala bersandar
Apa yang mampu sebagai penawar ?
Kejujuran dan keyakinan

PERTANYAAN DAN PERNYATAAN


PANJANG

Siku diantara siku


Marah mengalah
Dapat sendiri beri arti
Hidup yang lantang berang
Adalah ilmu dilahan baru ?
JENUH

Langit terang
Menghembus gelombang pembawa rakit
Menyerah dermaga sepi
Menyerah pasrah
Pada cuaca tambatan nasibnya
Secercah mercusuar disudut bukit
Dari ilusi sebuah mata hati
buta
Bagai bilar mata sang singa lapar
Hingga berdentang lonceng gereja
Bersyarat saat ujung nyawa
Beri tanda saat lapar dan ngantuk !!!

YANG HILANG

Lembah longsor tertindih sebuah bulan


Jatuh dari angkasa terjembab
menangkis
Tembok raksasa retak terbelah kampak
Menyimak rahasia
Ngarai yang kering dimusim hujan
Kini mejadi sebuah kota besar
megah
berlambangkan senyum
menari, meliuk-liuk dipermukaan laut
akhirnya tenggelam

ISYARAT
Temaram menghias wajah
Mencetak dendam
Dan satu janji
Tak ditepati
Jangan beri aku harapan seonggok mutiara
Jangan bawa aku ke puncak nirwana
Sungguh
Sungguh banyak kendala
Sungguh maha bahaya
Menjagal
Mendikte dosa
Menjanjikan terkuaknya pintu neraka
Dan berkata “selamat tiba:

SATU PERMAINAN

Tiang-tiang terpaku kaku


Bagai dihektaran gurun batu
Kusapu jendela hati seorang terkasih
Bersih ….
Kutinggal jejak dilatar berlumpur
Sepi untukku sungi untukmu
Kulewati gerbong-gerbong kebusukan
Yang penuh tumpukan peti mati rongsokan
Hingga sesak
Hingga bangkai berdesak-desak
Yang bertataj nama-nama kabur para mayat
Bila namaku terpahat
MANA ASA ?

Ruas-ruas punggungku pegal


Lorong ini panjang sekali padahal aku sudah lari
tersengal
gelap …
pengap …
berontak dari belenggu yang menjebak
dajn lari mencari kalau-kalau ada cahaya matahari
ach … hanya ada rumput dan lumut
nafasku semakin beringas
perutku kering
Aku lapar !, gema suaraku nanar
Binatang !!
decak lidah yang haus darah
aha …ada segumpal daging diujung sana
Aku memburunya, tapi sayang hanya fatamorgana

RINDU SATU ANTARA LAGU

Lebat rimbun rindu bercermin


Sesaat penat mencekat
Menanti dahaga tersapu rata
Tiada waktu
Riada saat
Tiada tempo
Yang ada hanya renggangan kejemuan
Yang ada hanya lambaian ketamakan
Derap langkah air mata
Terkias angin dan keringat
Jera memandang binatang
Tiada terhalang
Tiada terhadang
Namun ia tetap hilang
TITIPAN

Tabah uang mulai dikapal


Hanya dikapal
Acuh yang lama dilakoni
Bagai bunuh diri
Tunggu dulu
Sedikit tarik langkahmu
Titipkan kerdip matamu
Sebagai janji
Untuk bukan diingari
Sungguh takkan hilang
Takkan kutinggalkan seperti biasa

KOREKSI

Kembali koreksi
Adakah yang berarti
Yang jelas bukan dari pribadi
Tapi kau masih yakin
Percaya adalah pertama
Waspada kedua
Apa yang ketiga ?

BUNDA DAN SURGA

Seandainya ia mengenal aku sebagaimana ia kenal bentuk hidungnya


Seandainya ia mengerti aku sabagaimana ia mengerti perutnya yang lapar
Seandainya ia tak lupa kalau bayinya diberi nama Hermila
Dan seandainya ia tau kalau aku cinta dia
Mungkin waktu terasa bagai suara nyanyian merdu diradio itu
Mungkin bisa tertawa dengan giginya yang terlihat semua
Mungkin dapat kusembah telapak kakinya yang bergambar sura

JALAN AKHIR
Banyak cabang yang berjuntai
Banyak jalan yang memaksa kita untuk memilih
mamastikan
Dan tempatku bersama mereka semua memang takan pernah sempurna
Tempat yang tak jauh dari kuburan
Hanya saja, jalan untuk kesana gelap gulita
Hanya Allah SWT yang mengetahuinya
Tetapi liang-liang lahat sudah gelap gulita
Dan kita semua tengah berjalan disana dan kesana
Setiap saat ada kemungkinan
Setiap saat habis harapan
Saat telapak telah sampai disalah satu lubang
Tuk tutuo dan ditaburi bermacam-macam bunga
Agar busuknya jasad tak ada yang merasa

LHO !!!

Pagi buta
Aksara
Kasihan …
Mengapa buta ?
Ach .. itu urusan mereka
Yang punya
Kita hanya merasa
Meraba
Bodoh
Tidak usah di pikirkan

HAMBA
Magrib
Ada adzan ditelinga
Ada panggilan di batin seekor manusia
Tidak berguna
Menjadi berharga
Tuhan
Si kuku beri peluang cekal-Mu
Mohon sorot matamu
Dan raka’at yang berlalu tanop khusyu
Dan syahadat yang tidak terdengar mata hati sekalipun
Dan do’a disela telapak tanganku
Tengasah mohon anugrah
Tuhan …
Masihkan telinga-Mu dengan teriakku
Masihkan Kau kenal aku hamba-Mu
Dikala otak dan hati yang melarikan diri
Dari takdir yang berdiri
Yang tegak disuratan ilahi
Jalani
Atau maka kau jilat tubuh busukmu
Rongga mulutmu yang penuh sampah
Isi batin yang bersarang binatang
Bersihi
Dengan kerja bakti
Atau dengan kesadaran
Akan kebodohan
Dan ekalpaan
Yang tak menjamin kelegaan
Melainkan kesesatan
Setan !!

PENYESALAN

Benar katamu
73 cabang terlalu banyak
Kita masuk yang mana
Yang mendapat rahmat atau yang sesat
Tapi bukankah sama aliran itu bermula dari satu muara
Dan berakhir di masing-masing pusara
Menunggu apa yang selama ini diburu
Surga atau neraka
DARI SOBAT TENTANG SOBAT

Sama sekali tadi


Selamat pagi
Ach !
Kenapa ?
Karna hampir saja tumpah
Semua
Namun masih ada sisa-sisa
Yang terjaga
Waspada
Karna mereka punya mata
Ketika ada yang menghalang terbang
Tapi mengapa terbang
Bersama warna awan yang pias
Yang tidak mengerti perannya
Apa-apa …
Biar
Selamat jalan sayang
Terlambat datang
Ketika hari tlah petang
Ketika matahari hampir bersatu dengan bumi
Selamat jalan sayang
Jkuhargai
Kuhormati
Karna aku tak bisa lari
Tak akan lari
Walau wajah dibalik topeng arjuna itu berbahaya
Walau aku akan takut karenanya
Takut ia lari jika ia tahu kalau wajahnya ternyata berarti
DATA KITA

Lagi sebuah hal yang total


Kesetiaan memang tidak punya jaminan
Air mata mengalir di anak sungai yang tlah tersedia
Mungkin bicara soal hati sudah tak berguna
Apalagi bau-bau busuk sudah tercium dari borok bocah
Apakah keyakinan dapat berjalan terus tanoa kebenaran ?
Masih ada giliran,
Tapi antrian sudah berderet panjang
Sementara kata pilih sudah jauh dari nominasi
Berilah suatu yang pasti, bukan imitasi atau fantasi
Apa adanya, memang sulit menyalar di pagar harga diri
Hak yang sudah tak tau diri
Sadarkah bahwa jiwa adalah satu
Dan lebih baik kalau bersatu tapi tidak untuk jadi atu
Sepertinya telingan dibuat tuli hanya oleh sekilas desah
Pantangan lebih harus dipegang
Demi citra sebagai apa manusia
Dongengan malam memang suka diundang ke alam mimpi
Terbuai oleh lamunan yang jauh, panjang dan tidak berarti

BOLA-BOLA DAN BULU-BULU MATA

Bola hitam yang dalam


Jatuh aku dalam permainan
Bukan, tapi ketentraman hilir mudik melewati tubuh-tubuh limbung
Mayat-mayat kaku yang hanya menunggu sesuatu
Hujan melewati daerah yang dicengkeram mendung
Turun ….. deras … dingin ….
Bulu mata yang terbuka
Teduh aku pada rimbunnya
Ya, memang terlindung diantara banyak yang tak dimengerti
Tapi berusaha disadari
Ada yang lebih harus kita sadari
Semoga hujan tak terus turun lagi

NILAI
Moleknya dunia beserta variasinya
Banyak yang lupa dan buta
Banyak yang tidak tau apa-apa
Banyak yang hanya mengekor saja
Kesombongan yang menjadi hiasan di pemrukaan badan
Atau kesadaran yang kurang ditancapkan
Sedih memang ….
Bagi mereka yang mati kata hatinya
Bagi mereka yang tak punya kendali
Bagu mereka yang bodoh

COBA LAGI

Secarik janji terucap


Lembar demi lembar
Sepasang mata berbibar menahan bahagia
Untuk apa ?
Satu, dua dan tiga
Terulang dan terulang lagi
Untuk apa ?
Sebatas pandang serasa sempit
Seulas senyum serasa umpan tuk terjepit
pada kenyataan
Mengerikan …
Pergi … dan tuntunlah kakimu menuju tujuanmu
Tapi, disini sunyi
Hanya suara kangkrik yang mekekakan
Anugrah kusambut dalam diri
Tapi tidak dalam hati
Senyum itu mentah
Mata itu tak pernah cerah
Seperti nyata
Biarlah
Kucoba sampai terlimpah anugrah
Yang benar-benar nyata
COBA LAGI II

Segumpal bara membakar tubuh berkeringat


Memancing bergolaknya darah tarekat
Satu … satu
Menyusul mengukir namanya dinisan permata
Kenapa ?
Karena cinta
Cinta ….
Apa itu cinta
Sederet gigi gemeretak menahan dendam
Mencekik alur mimpi yang sempat terhenti
Dari buaian ….. (kosong !!!!!!)
Mata, buaian
Dusta,
Kabut … mendung dan hujan
Tanah longsor terkikis butiran air tajam
Menerkam …
Menghujam
Hingga gersang
Hingga kering
Dari ta’ punya apa yang bernama “Cinta”
Tandus …
Dan tak ada rasa dan asa yang bertahta
Putus asa …
Renda katulistiwa hampir sempurna
Rentang buana mencibir kerdilnya jiwa
Kembalilah pada dunia
Lihat …. Masih ada rentetan kisah asmara

Anda mungkin juga menyukai