Anda di halaman 1dari 3

Bila istri menolak

"ajakan" suami...
Sebaik-baik kamu adalah yang paling baik kepada istrimu. (HR at-Tirmizi)
Laili, sebut saja begitu, agak tak enak hati menyuguhkan kopi hangat untuk suami
tercintanya pagi itu. Pasalnya, sang suami, Mas Juned, nampak cuek. Wajahnya pun masam
seperti orang kesal. Sebagai istri, Laili yakin muara kemuraman itu karena dia. Sudah tiga hari
belakangan ini ia menampik ajakan Mas Juned untuk berhubungan intim. Pertama, ia merasa
lelah. Esok malamnya merasa tidak mood. Sedang malam ketiga ia tidur lebih awal dari
biasanya.
Untuk menebus rasa bersalahnya, Laili pun tampil cantik dan berusaha bergairah di
depan Mas Juned. Namun karena mungkin terlanjur kesal, sang suami tidak menggubrisnya.
Laili pun jadi meradang karena tidak mendapat tanggapan.
Rasa hati tak karuan itu segera ia bagi pada sahabatnya, Aisyah, yang sudah lebih
lama berumah tangga. Sebagai sahabat, sang teman menasehatinya untuk segera meminta
maaf. Apalagi perbuatan Laili itu termasuk berdosa.
Alasan yang dikemukakan Aisyah itu tentu saja bersandar pada sebuah hadits shahih
riwayat Imam Bukhari, Jika suami memanggil istrinya untuk tidur bersama
(bersenggama), lalu istri menolak sehingga semalam itu suami menjadi jengkel (marah)
pada istrinya, maka para malaikat mengutuk pada istri itu hingga pagi hari.
Sebagai suami dan kepala rumahtangga, tentu Juned punya otoritas penuh atas
istrinya. Tak salah kalau ia marah. Tapi di satu sisi, kadang ia lupa bahwa sang istri tentu
punya alasan di balik penolakannya, dan inilah yang kurang dipahami.
Menurut Syeikh Saad Yusuf Abdul Aziz dalam Shahih Washaya ar-Rasul lin Nisa,
seorang istri boleh saja menolak ajakan suaminya berhubungan badan sepanjanghal itu
merupakan uzur syari atau sesuatu yang dibolehkan agama.
Jika perintah sang suami berbau hal-hal maksiat, seperti menyuruh istri meninggalkan
shalat, membuka jilbab, membolehkan teman-teman suaminya untuk masuk ke dalam
rumahnya ketika suami tidak ada, atau memerintahkannya untuk memutus tali silaturahim,
barulah hal itu tidak perlu didengar atau dipatuhi. Sebab sabda Nabi saw, Tidak ada ketaatan
dalam kemaksiatan kepada Allah, sesungguhnya ketaatan itu hanya pada hal-hal yang baik
saja (maruf). (HR Bukhari dan Muslim)
Senada dengan itu, pendiri Pusat Kajian Hadits, DR. H. Lutfi Fathullah MA, mengatakan
bahwa ketika suami tidak diberi di saat syahwatnya timbul, maka bisa muncul dua
kemungkinan; apakah dia sanggup menahannya, ataukah dia tidak bisa menahan, alih-alih
malah terjerumus ke arah perzinaan. Maka pilihannya kalau tidak mau berzina, istri harus
memberikan haknya, ungkapnya.
Lagi pula, kendati tidak ada asbabul wurud, hadits permintaan bersenggama dari suami
ini sebenarnya bisa saja ditawilkan sebagai senjata untuk menolak permintaan suami.
Mengapa?
Di mata Lutfi, sebagaimana fakta umum di masyarakat, tak dimungkiri bahwa hasrat
terbesar suami terhadap istrinya adalah keinginan menyalurkan nafsu seks.
Maka ketika keinginan tersebut tidak terpenuhi, mereka pun kecewa dan marah. Sedang
kecenderungan hasrat terbesar istri pada suami adalah ekonomi atau yang lainnya, sementara
seks bisa jadi prioritas kesekian. Sebab itu, tatkala keinginan istri tidak terpenuhi, mereka kerap
menggunakan alasan tidak mau memenuhi kebutuhan seks suaminya.

Hak yang Sama
Pada hakikatnya, hubungan dua insan tidak akan terwujud bila salah satunya tidak
menikmati. Keduanya harus saling terlibat berpartisipasi. Badriyah Fayumi, dalam Fikih
Perempuan, Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender mengatakan bahwa muasyarah bi
al-maruf yang dijalankan suami-istri adalah harus saling memberi dan menerima, saling
mengasihi dan menyayangi, tidak saling menyakiti, tidak saling memperlihatkan kebencian, dan
masing-masing tidak saling mengabaikan hak dan kewajibannya. Tak terkecuali dalam
masalah hubungan seks.
Maka, sebenarnya jika istri minta tapi suami tidak memberi, juga dihukumi berdosa. Karena
seks dalam sebuah pernikahan merupakan hak kedua belah pihak. Hanya saja, pihak istri
jarang sekali meminta lebih dulu. Hal ini disinyalir karena umumnya istri lebih kuat untuk
menahan nafsunya ketimbang suami.

Suami kalau sudah minta, kadang harus dituruti, bahkan lepas kendali kalau
tidak dituruti, tegas Luthfi yang menamatkan S2 di Jordan University itu.

Di zaman rasulullah pun pernah terjadi hal serupa. Ketika seorang sahabat bernama
Abdullah bin Amr bin Ash pernah tidak memberikan nafkah kepada istrinya. Rasulullah
menegurnya keras, karena istri pun punya hak yang sama.
Dalam Al-Fiqhul Islami karangan DR. Wahbah az-Zuhaili, ihwal hubungan seks itu
sendiri dalam pandangan mazhab fiqih Islam berbeda-beda. Mazhab Maliki mengatakan bahwa
suami wajib menggauli istrinya, selama tidak ada halangan atau uzur, sebagaimana zahir teks
hadits. Namun dari sini timbul pemahaman, bahwa ketika seorang istri menghendaki hubungan
seks, suami pun wajib memenuhinya.
Sementara mazhab Syafii mengatakan bahwa kewajiban suami menyetubuhi istrinya
pada dasarnya hanyalah sekali saja selama mereka masih menjadi suami-istri. Kewajiban ini
hanyalah untuk menjaga moral istrinya.
Pandangan ini dilatarbelakangi oleh prinsip bahwa melakukan hubungan seks adalah
hak seorang suami. Istri, menurut pendapat ini disamakan dengan rumah atau tempat tinggal
yang disewa. Alasan lain adalah bahwa orang hanya bisa melakukan hubungan seks apabila
ada dorongan syahwat (nafsu), dan ini tidak bisa dipaksakan. Akan tetapi, sebaiknya suami
tidak membiarkan keinginan seks istrinya itu agar hubungan mereka tidak berantakan.
Adapun mazhab Hanbali menyatakan bahwa suami wajib menggauli istrinya paling tidak sekali
dalam empat bulan, apabila tidak ada uzur. Jika batas maksimal ini dilanggar oleh suami, maka
antara keduanya harus diceraikan. Mazhab ini mendasarkan pandangannya pada ketentuan
ila (sumpah untuk tidak menggauli istri).

Keengganan istri melayani suami tentu saja memiliki alasan. Sebab itulah seorang
suami harus bisa memahami alasan dibalik penolakan istrinya. Secara umum, istri kerap
menolak ajakan suami dalam kondisi seperti berikut :


1. Istri Hamil
Postur tubuh istri yang bertambah besar ditambah adanya si jabang bayi di dalam perut tentu
agak menyulitkan melakukan senggama. Karenanya dalam kondisi hamil, hasrat seksual istri
cenderung menurun. Namun hubungan intim selama hamil dibenarkan agama.
Dalam Fatwa-fatwa Kontemporer Tentang Problematika WLailita yang dikarang Musa Shalih
Syaraf, dibolehkan suami-istri melakukan hubungan intim, kecuali jika ada pertimbangan
kesehatan yang melarang sehingga menimbulkan beberapa bahaya bagi istri. Yang demikian
itu bisa saja dilakukan dengan meminta saran kepada dokter spesialis kandungan, karena
masa-masa kehamilan itu dituntut mengikuti nasehat-nasehat medis.

2. Istri Capek/Lelah
Mengurus rumahtangga dan anak bukanlah perkara mudah yang bisa dikerjakan dengan
santai. Selain menguras tenaga dan waktu, pikiran pun harus terfokus penuh pada
perkembangan anak. Mulai dari bangun tidur sampai kembali waktu tidur tiba. Tak heran jika
energi istri pun terkuras tak bersisa. Apalagi istri yang punya peran ganda. Selain sebagai ibu
rumahtangga, istri pun terlibat menopang kehidupan dapur keluarga.
Tak heran ketika ada sedikit kesempatan istirahat, mereka lebih memilih rehat ketimbang
mengurus diri sendiri, bahkan tak jarang keberadaan suami pun terabaikan.
Maka sebagai suami bijak, sudah sepatutnya tak terburu-buru menanggapi sikap istri dengan
amarah. Justru memahami kesulitan sang istri bisa menjadi jalan terbukanya komunikasi yang
baik. Pada akhirnya bahkan hubungan di atas ranjang pun tak mudah terganjal.

3.Istri Sakit
Dalam masalah ibadah apa pun, sakit adalah uzur yang sangat bisa dimaklumi. Kondisi badan
yang tidak fit memang tidak memungkinkan seseorang beraktivitas. Apalagi jika sakit itu sudah
amat membahayakan. Sudah sepatutnya suami memahami kondisi ini.


4. Istri Haid
Bersenggama dalam kondisi istri sedang haid adalah haram, sebagaimana al-Quran
menyatakan, Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah, Haid itu adalah suatu
kotoran. Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wLailita di waktu haid. (QS. al-
Baqarah: 222)
Alasan di balik pengharaman ini dikarenakan darah haid itu memiliki bau yang tidak sedap dan
dapat mendatangkan beberapa penyakit yang berbahaya bagi suami dan istri. Namun, Imam
Ahmad bin Hanbal berpendapat, jika ada orang yang akhirnya melakukan senggama pada
waktu haid, disunnahkan baginya bersedekah setengah atau satu dinar.

Sejatinya hubungan seks bukanlah sekedar penyaluran syahwat. Hubungan seks antar
suami-istri juga merupakan ungkapan cinta kasih agar pondasi rumahtangga semakin
kokoh.

Mengungkapkan rasa cinta tentu saja tidak bisa dengan bahasa kasar dan memaksa.
Sebab itulah hadits terkait menggunakan lafaz daaa (meminta, mengajak). Hal ini, bagi Lutfi,
sekaligus menyanggah anggapan kalangan yang menyatakan bahwa perkosaan dalam
rumahtangga itu ada. Adapun lafaz rajul (laki-laki, suami) sebagai subyek, tak lain merupakan
ungkapan kebiasaan.
Dalam banyak firman-Nya, Allah menggunakan lafaz sesuai kebiasaan, misalnya was
sariqu was sariqatu, laki-laki dan perempuan pencuri, lelaki disebut lebih dulu karena yang
biasa mencuri laki-laki, baru kemudian disusul dengan perempuan, namun di tempat lain
kadang perempuan dulu yang disebutkan, jelas ustadz yang mengenyam studi S3 di
Universitas Kebangsaan Malaysia.
Jika hubungan seks telah sama-sama dipahami sebagai kebutuhan bersama, akan
sangat mudah mengkomunikasikan segala kendala yang datang. Maka saat uzur syari seperti
haid jadi kendala, tentu saja keduanya tetap bisa melakukan hubungan intim selama tidak
memasuki wilayah yang dilarang (antara pusar-lutut).
Bahkan ketika salah satu pasangan tidak mood, bisa saja gairah dibangkitkan selama
keduanya sama-sama mau terbuka membicarakannya. Perbincangan ringan bukan tidak
mungkin melahirkan candaan-candaan mesra, yang pada akhirnya bisa membangkitkan gairah
untuk bercinta.

Anda mungkin juga menyukai