Anda di halaman 1dari 6

Hermeneutik Nashr Hamid Abu Zayd terhad Nusyuz

Pernikahan dalam Islam semata-mata tidak hanya sebagai hubungan antara suami dan istri,
melainkan adanya keharmonisan dalam keluarga. Pernikahan dalam Kompilasi Hukum Islam adalah
akad yang sangat kuat atau disebut dengan mitsaqan ghaliza untuk mentaati perintah yang bertujuan
mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah.Menciptakan tahapan
pernikahan yang baik, tidak cukup hanya kematangan secara fisik, yang tidak kalah penting adalah
persiapan mental, berkomitmen dan mempunyai tanggung jawab bersama, agar terwujud tujuan agama
Islam yang dicita-citakan.

Pada kenyataannya, dalam rumah tangga tidak berjalan dengan apa yang diharapkan. Hal ini
disebabkan karena pasangan suami istri tidak mempunyai komitmen untuk melaksanakan hak dan
kewajiban bersama-sama yang diembannya. Di lain sisi, sering terjadi konflik perceraian yang
disebabkan factor ekonomi, merasa bosan, kurang dalam memberi kasih sayang, tidak saling
menghormati, tidak saling terbuka, atau disebabkan karena kesalahpahaman atau salah satu merasa lebih
tinggi kedudukannya.

Menurut Imam Nawawi Al-Bantani dalam Kitab Tafsir Marah Labid menyebutkan bahwa
kedudukan istri seperti hamba sahaya yang lemah. Tidak berdaya dalam kekuasaan suami. Istri
hendaknya taat kepada suaminya, tidak berani menentang, menundukkan muka, dan pandangan
dihadapan suami. Taat kepada suami ketika diperintah apa saja kecuali berbuat maksiat. Kedudukan istri
seperti ini seakan-akan dinyatakan sebagai hak milik suami sepenuhnya. Istri harus menuruti apa saja
yang diinginkan suaminya. Istri juga tidak diperkenankan menggunakan harta suami dan hartanya sendiri
kecuali atas izin suami.1

Syeikh Nawawi juga mempertegas kedudukan suami istri dalam keluarga dengan memberi sebuah
ringkasan akhir dari pasal hak suami atas istri, bahwa kedudukan suami terhadap istri dalam rumah tangga
ibarat kedudukan orang tua terhadap anaknya, seperti mencari keridhoan ayah kepada ibunya.2 Hal ini lah
yang diperbincangkan pada kasus persetaraan gender antara laki-laki dan perempuan. Seolah-olah
banyaknya perbedaan yang lebih men-domestik-an perempuan dari laki-laki. Hal ini berangkat dari QS.
An-Nisa ayat 34 pada terjemahan kata qawwam yang menyebutkan arti kepemimpinan laki-laki kepada
perempuan. Sehingga istri selalu saja berada dibawah suami.

Ketidak harmonisan dalam sebuah pernikahan membuat salah satu pasangan berbuat nusyuz. Istilah
nusyuz dalam bahasa diartikan sebagai sikap membangkang yang diberikan kepada istri maupun suami
yang melakukan tindakan pembangkangan sehingga menimbulkan kedurhakaan3. Menurut Sayyid Sabiq
dalam Fiqh Sunnah mendefinisikan nusyuz adalah suatu perbuatan ketidakpatuhan atau kebencian suami
kepada istri terhadap apa yang seharusnya dipenuhi, begitu juga sebaliknya. Hal ini bisa disebabkan dari
berbagai alasan, mulai dari rasa ketidakpuasan salah satu pihak atas perlakuan pasangannya, hak-hak
yang tidak terpenuhi atau adanya tuntutan yang berlebihan terhadap pasangannya.4 Persoalan nusyuz

1
Husein Muhammad, Fikih Perempuan : Refleksi atas Wacana Agama dan gender, (Yogyakarta: LKIS,
2002). h.180
2
Syeikh Muhammad Ibnu ‘Umar al-Bantani ,’Uqud al-Lujayyn, ( Semarang: Usaha Keluarga, t.t)
3
Lajnah Pentashihan Mushaf Alquran, Bandan Litbang dan diklat, kementrian agama, RI Membangun
Keluarga Harmonis: Tafsir Alquran dan Tematik , ( Jakarta: Aku Bisa, Cet. II, 2012). h.1
4
Al hukama. The Indonesian journal of Islamic family law. Volume 06. No 02, desemberv 2016.h. 253
tidak hanya dilihat dari persoalan perorangan yang dilakukan salah satu pihak terhadap yang lain, tetapi
juga terkadang dilihat sebagai bentuk dari protes yang dilakukan salah satu pihak.

Sebagaimana yang diungkapkan oleh Abu Ja’far Muhammad dan Ibnu Jarir At-Thobari, Abu
Abdullah Muhammad Alqurtubi5, bahwa perempuan nusyuz adalah perempuan yang durhaka kepada
suainya atau melakukan pembangkangan seperti tidak menjawab panggilan, tidak memperhatikan
pembicaraan, menolak hubungan badan,tidak segera melaksanakan perintah, keluar rumah tanpa seizin
suami, bersikap sombong, dan tidak patuh. 6 Padahal nusyuz tidak hanya ditujukan untuk istri saja,
melainkan juga untuk suami, Namun, nusyuznya istri sering menjadi perbincangan seolah-olah istri
dalam hal ini selalu saja dipersalahkan.

Begitu pula dalam kitab-kitab fiqih klasik , persoalan nusyuz seakan-akan khusus pada perempuan
untuk itu pihak laki-laki diberi kewenangan dalam menyikapi nusyuznya istri tersebut. Sanksi memukul
kepada istri yang berbuat nusyuz, kebanyakan para mufassir mengartikannya secara tekstual bahwa Allah
dalam hal ini mengizinkan suami memukul istri. Sedangkan, makna kata dharaba tidak hanya diartikan
memukul. Perintah memukul ini tidak wajib secara syara’dan juga tidak baik untuk dilakukan. Hanya
saja ini merupakan cara terakhir bagi laki-laki setelah ia ti dak mampu menundukkan istrinya,
mengajaknya dengan bimbingan, nasehat, dan pemisahan. Akan tetapi, hal ini merupakan usaha untuk
menyelamatkan tabiat keluarga dari kehancuran, membersihkan rumah tangga dari keterpecahan yang
dihadapinya. Sanksi memukul yang dilakukan tidak meninggalkan bekas pada tubuh, tidak mematahkan
tulangnya, dan tidak mengakibatkan luka karena yang dimaksud dari pemukulan adalah memperbaiki,
bukan yang lain.7

Menurut M. Quraish Shihab kata dharaba dalam arti memukul tidak selamanya dipahami dalam
arti menyakiti atau selalu melakukan tindakan keras dan kasar. Berjalan melangkahkan kaki digunakan
kata dharaba, walaupun tentunya pejalan tidak memukul dan menghentakkan kaki dengan keras di bumi.
Di dalam Alquran juga menggunakan kata dharaba dalam arti mendendangkan sesuatu secara lemah
lembut ke telinga seseorang agar dia tertidur.8 Secara tekstual kata wadhribuhunna didalam QS, an-Nisa
ayat 34 memang berarti memukul istri. Pemukulan itu dilakukan terhadap istri yang nusyuz setelah
melewati dua tahapan sebelumnya, yaitu memberi peringatan dan pisah tempat tidur. Wahbah Zuhaili
menjelaskan, pendapat ulama fiqih tentang kata wadhribuhunna dengan pukulan yang tidak menyakiti
dan tidak menimbulkan cacat.9 Dalam rangka memberi pendidikan bagi istri yang nusyuz Imam Nawawi
al-Bantani berbeda pendapat bahwa memukul menggunakan sapu tangan.

Walaupun secara tekstual, syariat membolehkan suami memukul istri yang nusyuz, akan tetapi
bagaimana harus diperhatikan penjelasan Nabi Muhammad Saw dalam menetapkan syarat-syarat
diperbolehkannya tindak pemukulan tersebut, yaitu tidak boleh dimaksudkan untuk menghina derajat atau

5
Alqurtubi, al-Jami’ li ahkam al-Quran , hal 112.
6
Abu Ja’far Muhammad bin Jarir At-Thobari, “ al-Jami’ al Bayan fi Ta’wil Alquran”, Jilid 4 (Beirut: Dar
Al-Kutub al-Ilmiyyah, t.th.) hal. 64
7
Islam dan kekerasan: Dilematis kata pemukulan terhadap istri dalam kajian tafsir
8
M. Quraish Shihab. Tafsir Al-Misbah (Pesan, Kesan, dan Keserasian Alquran), ( Jakarta:Lentera Hati, 2006) h. 437
9
Sayyid Sabbiq. Fiqh Islam wa adillatuhu. (Damsiq: Dar al-Fikr , 2008) jilid 7. H. 328
martabat manusia atau martabat wanita, menyakiti istrinya, dan tidak boleh dilakukan dengan motivasi
mengganggu atau tindakan balas dendam. 10

Menurut pendapat Wahbah Zuhaili , nusyuz tidak hanya terletak kepada istri saja. Tetapi wahbah
zuhaili menekankan kepada suami karena lafazh nusyuz termasuk kepada lafazh al-khafi yang masih
samar dan tersembunyi sehingga bisa dininterpretasikan dalam akal dan pikiran. Sanksi dari perbuatan
nusyuz pandangan wahbah zuhaili ada persamaan yaitu: istri nusyuz memberikan nasehat begitu pula
sebaliknya dan perbedaan, yaitu: pisah ranjang (boleh bersetubuh tapi tidak boleh komunikasi lebih dari
tiga hari dan sebaliknya)., pukulan yang tidak membahayakan tapi meninggalkan pukulan lebih baik.
Suami nusyuz kepada istri, berhak memberi nasehat, perdamaian, dan memberikan hak-haknya.

Penafsirn QS. An-Nisa ayat 34 tentang nusyuz istri , ternyata kaum wanita cukup rentan terjadinya
ketidak adilan gender dan tindkaan kekerasan baik tindakan itu dilakukan secara sadar ataupun tidak
sadar. Pandangan yang menganggap wanita sebagai kelas subardinasi kaumpria perlu dibuka dengan
pemahaman bahwa kaum wanita dan pria adalah setara. Jika penanggulan terhadap istri yang nusyuz
kepada suami telah dijelaskan secara gamblang didalam Alquran, perlu dipikirkan untuk menetapkan
sejumlah aturan bagaimana jika suami yang melakukan nusyuz kepada isti seperti menyakiti, dan
melelantarkan istri. Dari itu perlu dilakukan pandangan baru yang selaras dengan prinsip keadilan sampai
pada batasan gender..

M. Qusraish Shihab dan Hamka berpendapat peraturan yang telah ditentukan Allah itulah yang
baik. Perizinan memukul istri merupakan problema kekerasan terhadap istri atau perempuan. Ajaran-
ajaran islam yang terkandung dengan pernyataan seperti diatas, jika disampaikan secara berulang-ulang
akan menjadi budaya agama yang melegitimasi atau setidaknya membiarkan terjadinya kekerasan.. Pada
tahun 2016, ada sebanyak 22.512 kasus kekerasan terhadap perempuan yang terlaporkan dan ditangani
beberapa institusi mitra Komnas Perempuan di berbagai daerah di Indonesia. Kasus terbanyak adalah
kekerasaan dalam rumah tangga (KDRT) sebesar 74 %. Dari kasus KDRT ini, 82 % yang menjadi
korban adalah istri dan anak perempuan, sementara sisanya menimpa anak, pekerja rumah tangga, dan
yang lain.

Pemukulan istri sebagai salah satu bentuk kekerasan dalam rumah tangga tentu disebabkan oleh
berbagai factor yang sangat kompleks, dimana budaya berbasis agama bisa menjadi salah satu bagian.
Ada beberapa hal yang melatar belakangi kasus KDRT, diantaranya adalah Pertama, adanya ketimpangan
hak dan kewajiban antara laki-laki dan perempuan, baik ranah domestic maupun ranah publik. Kedua,
ketergantungan istri secara penuh terhadap suami, terutama dalam masalah ekonomi. Kedudukan ini,
sering menjadi pelampiasan bagi suami, ketika menghadapi persoalan-persoalan yang sebenarnya berada
di luar persoalan rumah tangga. Ketiga, sikap kebanyakan KDRT yang cenderung mengabaikan dan
menganggap sebagai persoalan internal sebuah keluarga.11Disini pandangn penafsiran agama bisa menjadi
salah satu faktor pembiaran kasus kekerasan dalam rumah tangga(KDRT).

Penafsiran ini bisa ditemukan hampir semua kitab-kitab tafsir utama termasuk tafsir Nusantara
seperti Tarjumân al-Mustafîd karya Abd al-Raûf al-Singkel (w. 1105 H/1693 M), al-Tafsîr al-Munîr karya

10
Muhammad Usman Khasit, Sulitnya Berumah Tangg h. 81
11
Komnas Perempuan. Refrensi bagi hakim pengadilan Agama mengenai kekerasan dalam rumah tangga.
2007,h. 13
Syekh Nawawi Banten (w. 1314 H/1897 M), dan al-Ibrîz karya Kyai Bisri Mustofa (w. 1937 H/1977 M).
Salah satu batasan yang sering disebutkan adalah bahwa memukul tidak boleh secara keras, tidak
menyakitkan, tidak boleh meninggalkan bekas luka pada wajah atau tulang, bahkan Syekh Nawawi
menyebutkan alatnya yaitu ‘memukul dengan kain sapu tangan’.Muhammad Syahrur merupakan ulama
tafsir kontemporer dalam menafsirkan kata nusyuz adalah dengan keluarnya seorang pemimpin keluarga
dari garis kepemimpinan kasih sayang dan bertindak otoriter dan dictator. Lawan katanya adalah qunut
yang berarti kerendahan hati, kesabaran dan berlapang dada.12

Menurut kaum feminis, konsep nusyuz dalam tafsir klasik jelas merendahkan martabat
perempuan dan mendorong banyak terjadi kekerasan dalam rumah tangga. Kebanyakan korban kekerasan
ini adalah perempuan dan anak-anak. Oleh karena itu, konsep nusyuz perlu diadakan pengkajian ulang
terhadap nusyuz dan pengkonsepan kembali sesuai dengan nilai dan kesetaraan gender. Persoalan
kekerasan dalam rumah tangga akan semakin marak, apabila makna ayat Alquran terhadap terkait nusyuz
ditafsirkan secara tekstual.

Sejumlah pemikir muslim kontemporer ingin memperkenalkan hermeneutika sebagai pendekatan


dan bahkan pengganti ilmu tafsir Alquran. Mereka menganggap Alquran merupakan refleksi dari dan
respon atas kondisi sosial, budaya, ekonomi, dan politik masyarakat Ara Jahiliyyah, yang masih primitive
dan patriarki. Ilmu-ilmu Alquran dianggap tidak punya kontekstualitas. Penafsiran terdahulu terlalu
mengabaikan realita dan mengutamakan teks. Paradigma tafsir klasik dianggap memaksakan universal
Alquran dalam konteks apapun ke dalam teks Alquran. Akibatnya, pemahaman yang muncul cenderung
tekstualis dan literalis. Dengan demikian, dekonstruksi sekaligus merekontruksi teks adlah suatu
keniscayaan.

Kesadaran ingin membebaskan diri dari himpitan pembacaan tradisional yang mengantarkan
Nashr Hamid Abu Zayd muncul dalam diskursus keagamaan serta mengemukakan ide-ide
kontroversialnya. Menurut Nashr Hamid Abu Zayd, membaca kembali dan membuktikan warisan-
warisan inteltual Islam sebagai teks-teks keagamaan, tidak lepas dari wacana tertentu yang bersifat
ideologis. Kajian epistemology tidak hanya berhenti dari terpahaminya makna literal teks, namun juga
harus melangkah keluar untuk menguak signifikansi sosial, ekonomi, dan politik, sehingga bisa tergambar
ideology yang melatar belakangi yaknipandangan yang memeberikannorma benar dan salah, boleh dan
dilarang dalam pandangan sosiologis.

Untuk mendukung keberhasilandari metode yang ditawarkan Nashr Hamid Abu Zayd, Abu Zayd
menggunakan dua pendekatan sekaligus, yaitu pendekatan hermenutik dan semioika. Pendekatan
hermeneutik berarti memahami teks keagamaan tidak lepas dari konteks sejarah,dimana teks itu muncul,
kepada siapa teks itu berdialog, mengapa teks dibuat, dan yang pasti tidak lepas dari ruang lingkup yang
mengitarinya. Teks adalah produk kebudayaan sehingga yang mengitarinyaharus dipahami dengan kritik
historis. Abu Zayd memandang perlu menggunakan hermeneutika sebagai metodologi interpretasi dengan
mengenalkan konsep ini dalam bukunya yang berjudul “ al-Hirminiyutika wa mu’dilat tafsir an-nash.
Beliau mengatakan, Alquran adalah manhaj Tsaqafi, yaitu produk kebudayaan Alquran adalah kode
manusia yang digunkan Tuhan untuk menurunkan ajaran-Nya agar dipahami manusia.

12
Muhammad Syahrur, Nahwu Ushul Jadidah Li Al-Fiqh Al-Islam Fiqh Al-Mar’ah (Suriah: al-Ahali Li at-
Tauzi’, 2000), h. 316
Selama ini jika teks-teks keagamaaan ditafsirkan secara kaku dan legal-formal tanpa
mempertimbangkan aspek sosila-historis, teks yang melingkupinya dan bahkan tetutupnya pintu ijtihad.
Jelas mengorientasikan umat untuk senantiasa tunduk kepada produk pemahaman keagaaman puluhan
abd silam. Lebih ironis lagi, teks-teks keagamaan yang bersifat interpretative itu kemudian dijadikan
landasan otoritatif –formalistic dalam sebuah penafsiran. Sementara teks-teks yang bersifat otoritatif itu
tidak lebih dari sekedar syarah atau komentar atas teks pertama. Berangkat dari problema ini maka
penulis tertarik dalam membaca pemikiran Nashr Hamid Abu Zayd khususnya yang cukup kontroversial
dan bahkan mendapat kecaman dari ulama mesir. Teori Hermeneutika yang ditawarkan Nashr Hamid Abu
yang bercorak humanis-kritis dapat memberikan kontribusi dalam diskursus pemikiran keislaman. Abu
zayd lebih tertarik pada kritik ideology dalam diskursus keagamaan. Dengan metode penafsiran
hermeneutika Alquran sebagai pisau analisis dalam menginterpretasikan teks secara kontekstual, sesuai
dengan kebutuhan sosial-kultural yang berkembang dan mengindari model pembacaan yan tendensius.

Pembakuan hermeneutika sebagai sebuah perangkat pemahaman tidak bisa dilepaskan pada
perkembangan pemikiran tentang bahasa dalam tradisi Yunani. Bahasa dan hermeneutika adalah dua hal
yang tidak bisa dipisahkan. Hermeneutika penting bagi bahasa, karena hermeneutika dianggap sebagai
salh satu metode untuk memahami bahasa tersebut. Ketertarikan ini menjadikan hermenutika sebagai
metode untuk mengeluarkan amakna kebahasaan sebuah teks. Sebagai teoti hermeneutika berfokus pada
problem sekitar teori interpretasi. Terdapat banyak aliran hermeneutika, misalnya dari segi pemaknaan
terhadap objek penafsiran ada tiga aliran, yaitu: aliran objektivis, aliran subjektives, dan aliran objektivis-
cun-subjektivis.

Adb Maqasith mengkritik ulama Islam yang tunduk kepada makna zhahir teks dengan
mengabaikan fenomena sosial, padahal kondisi masyarakat berbeda-beda antara antara masyarakat awal
saat diturunkan wahyu dengan masyarakat sekarang. Oleh karena itu, para mufassir kontemporer,
menawarkan pembacaan terhadap metode penafsiran Alquran agar pembacaan Alquran tidak lagi
dimaknai literal teks, tetapi dengan mempertimbangkan maqashid syari’ahnya, kemaslahatan, dan akl
public. Dari pemaparan diatas, maka penulis memabahas penelitian terkait Hermeneutik Nashr Hamid
Abu Zaid dalam Nusyuz.

B. Peremusan masalah

Berdasarkan latar belakang, diatas rumusan masalah ini sebagai berikut :

1. Bagaimana tafsir hermeneutic Nashr Hamid Abu Zaid?


2. Bagaimana konsep hermeneutic Nahhr Hamid Abu Zayd terhadap nusyuz ?

C. identifikasi Masalah

Beranjak dari penjelasandari latar belakang masalah di atas yang berkenaan dengan Hermeneutik Nashr
Hamid Abu Zayd memunculkan beberapa identifikasi masalah yang seluruhnya berkaitan sebai berikut :

1. Latar belakang pemikiran Nashr Hamid Abu Zayd


2. Keadaan yang melatar belakangi pemikiran Nashr Hamid Abu Zaud
3. Respon para mufassir terhadap metodologi penafsiran hermenutik Nashr Hamid Zayd terhadap
nusyuz
D. Penelitian Terdahulu Yang Relevan

1. Penelitian yang dilakukan Achmad Nur yang berjudul Perempuan dalam genggaman teks (telaah atas
pemikiran Nashr Hamid Abu Zayd dalam Dawa’irul khauf)., persamaan dari penelitian ini adalah tema
penelitian yang diangkat bertemakan gender dan menggunakan analasis wana kritis Fairlough. Perbedaan
pada penelitian ini adalah produk yang dikaji adalah pemahaman terhadap teks, tidak terelapas dari
praktek wacana yang berhubungan dengan proses produksi teks, praktek sosial kultural, dan analisi teks
menggunakan semiotik. Teks fiqih merupak kreasi antara para fuqaha terhadap teks Alquran maupun
hadis. Pesan-pesan yang disampaikan memuat ideology fuqaha. Dengan menggunakan analisis wacana
kritis tidak lain mengatakan bahwa teks dalam kitab Dawairul Khaufi sangan mendeskriditkan perempuan
dan laki-laki. Dijelaskan bahwa istri wajib mematuhi suami untuk menyerahkan siri sepenuhnya kepada
suami, kecuali yang tidak dihalalkan.

2. konsep Adalah dan musawah menurut Nashr Hamid Abu Zayd

Anda mungkin juga menyukai