Anda di halaman 1dari 26

KEBOLEHAN SUAMI MEMUKUL ISTRI KARENA NUSYUZ

(Studi Terhadap Pemahaman Masyarakat Tentang surat al-Nisa’ ayat 34 di


Kecamatan Gading Cempaka Kota Bengkulu)
Suryani: suryani@.iainbengkulu.ac.id
Zurifah: zurifah@.iainbengkulu.ac.id

Abstrak
Dalam al-Qur’an dinyatakan bahwa ada kebolehan seorang suami memukul isteri ketika
ia nusyuz, kebolehan tersebut kadang kala dijadikan legitimasi berbuat kekerasan dalam
rumah tangga, tanpa memahami kebolehan tersebut memiliki syarat dan ketentuan yang
ditetapkan oleh al-Qur’an dan hadis. Bahkan ada masyarakat yang memang tidak
mengetahui bahwa ada ayat yang membolehkan pemukulan tersebut, apa bila isteri
nusyuz dengan ketentuan yang ada, mereka hanya berpatokan bahwa suami adalah
pemimpin dan kepala keluarga yang mesti ditaati, oleh karena itu tidak patuh maka suami
berhak untuk memukul isteri. Penelitian ini mencoba mengungkap pemahaman
masyarakat terhadap ayat yang membelehkan suami memukul isteri yang nusyuz dengan
problema rumah tanggga yang ada pada masyarakat dengan mengunakan pendekatan
sosiologis dan psikologis dan pendekatan teks dengan kajian fiqh keluarga. Penelitian ini
diharapkan dapat memberikan wawasan kepada masyarakat dalam memahami ayat-ayat
al-Qur’an untuk menyelesaikan problema rumah tangga.

Kata Kunci: memukul, pemahaman. Nusyuz, al-Nisa’:34

A. Latar Belakang
Islam merupakan agama yang bersumberkan al-Qur’a’n dan hadits
Nabi Saw. Dua sumber ajaran Islam ini sudah diakui dan sangat termashur di
kalangan umat Islam dan juga umat selain Islam. Dalam sebuah hadis Nabi
Saw “Aku tinggalkan untukmu dua perkara, selama kamu berpegang teguh
dengan keduanya, maka kamu tidak akan tersesat, yaitu Kitabullah dan
Sunnah Nabi-Nya yang diriwayatkan Imam Malik. 1 Al-Qur’an merupakan
petunjuk umat manusia dari kesesatan, dan ketergelinciran dalam kegelapan, 2
ajaran dalam Islam yang tertera dalam al Qur’an banyak yang bersifat umum
sehingga menyebabkan umat dapat kendala dalam memahami, oleh karena itu
diperlukan penafsiran dan penjelasan para ahli agar dapat memperoleh pesan
yang sesungguhnya ingin disampaikan oleh Allah swt melalui al Qur’an.
Penafsiran merupakan salah satu ikhtiar untuk memahami pesan yang
disampaikan oleh Allah swt melalui al Qur’an namun pemahaman dari
penafsiran tersebut tidak selalu sama dari waktu kewaktu, karena pemahaman
selalu selaras dengan realita serta kondisi sosial.3 Al-Qur’an baru dapat
dikatakan sebagai Huda li al-nass bila telah dirasakan menjadi problem
solver bagi persoalan kemasyarakatan.4

1
H.R. Malik dalam Al Muwatha Juz 2 hlm: 899 dan Imam Suyuthi dalam Jami’ Ash
Shaghir Hadits No. 2934
2
Ja’far Hadio, Yuk Baca Al-Qur’a>n (Jakarta: Al-Huda, 2007) hlm: 12
3
M. Nuh Kholis Setiawan, Pribumisasi Al-Qur’an (Yogyakarta: Kaukaba Dipantara,
2012) hlm: 1

1
Pemukulan merupakan salah satu solusi yang ditawarkan al-Qur’an
yang seringkali dipahami sebagai suatu landasan melakukan kekerasan dalam
rumah tangga. Faktor kekeliruan memahami ajaran agama inilah yang
berpeluang menimbulkan tindak kekerasan dalam rumah tangga khususnya
terhadap istri.
Terkadang terdapat pemahaman yang kurang tepat atau hanya
memahmi makna tersurat ayat saja, maka dari itu perlu dilakukan kajian
tentang tindakan apa saja yang menjadi kewenangan suami, dan perlu
diberikan batasan-batasan tindakan yang boleh dilakukan oleh suami.
Sehingga pemahaman-pemahaman yang keliru dalam permasalahan ini dapat
diluruskan sesuai dengan Maqasid Asy-Syari’ah. Untuk melihat pemahaman
masyarakat terhadap batasan kebolehan suami melakukan pemukulan
terhadap istri yang nusyuz, sebagaimana firman Allah swt dalam al Qur’an
surat An Nisa’:34,maka peneliti ingin meneliti tentang pemahaman
masyarakat di kecamatan Gading Cempaka Kota Bengkulu.

Penelitian ini sangat berguna dalam rangka untuk mengungkap


bagaimana model masyarakat mendidik istri yang nusyuz dan apakah
kekerasan yang dilakukan terhadap istri ada hubungan dengan pemahaman
masyarakat terhadap ayat al Quran surat an Nisa’ ayat 34 di kecamatan
Gading Cemapaka Kota Bengkulu.

B. Jenis Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian field research dengan menggunakan
pendekatan kualitatif, data dalam penelitian tidak diperoleh melalui prosedur
statistik atau bentuk hitung lainnya.5 Peneliti menentukan informan
menggunakan teknik purposive sampling. Purposive sampling ialah teknik
sampling yang digunakan peneliti jika peneliti mempunyai pertimbangan-
pertimbangan tertentu dalam pengambilan atau penentuan sampel.6
C. Pengertian Nusyuz
Dalam konteks suami istri, makna nusyus yang tepat untuk
digunakan adalah menentang atau durhaka, karena makna inilah yang paling
mendekati dengan persoalan rumah tangga.Sikap tidak patuh dari salah
seorang diantara suami istri.Atau perubahan sikap suami istri. Dalam
pemakaiannya, kata nusyus kemudian berkembang menjadi al-‘is yang berari
durhaka atau tidak patuh.7 Secara bahasa nusyus adalah bentuk mashdar (akar

4
Rosihon Anwar, Pengantar Ulumul Qur’an (Bandung: Pustaka Setia, 2009) hlm:
284
5
Corbin & Strauss, Dasar-Dasar Penelitian Kualitatif (Tatalangkah dan Teknik-Teknik
Teoritisasi Data) Cetakan ke-3 (Yogyakarta : Pustaka Pelajar,2009) h.4
6
Sugiyono, Metode Penelitian Kualitatif (Kualitatif dan R & D) ceakan ke-7 ,(Bandung:
Alfabeta, 2009), h .218

7
Abu Malik Kamul bin Sayyid Salim, Shahih Fikih Sunnah Wanita terj. Deni Suwito (
Solo: Al-Hambra, 2015) hlm: 543

2
kata) dari kata ‫ش ُز‬
ُ ‫ َي ْن‬-‫ نَ َش َز‬yang mempunyai arti tanah yang terangkat tinggi ke
atas.8 Dalam Kamus Al-Munawwir kata ” ‫ش ْو ًزا‬ ُ ُ‫ ن‬-‫ش ُز‬
ُ ‫ َي ْن‬-‫ ”نَ َش َز‬berarti: ”duduk
kemudian berdiri, berdiri dari, menonjol, menentang atau durhaka.9
Sedangkan menurut istilah nusyus adalah pembangkangan seorang
istri terhadap suaminya dalam hal-hal yang diwajibkan oleh Allah swt agar ia
mematuhi suaminya, jadi dengan tindakan itu ia terlihat angkuh terhadap
suaminya.10Nusyus adalah rasa bencinya masing-masing suami dan istri
terhadap pasangannya, istri timbul rasa benci pada suami, dan juga
sebaliknya, suami timbul rasa benci pada suami.11
Dari definisi singkat, baik berdasarkan bahasa atau istilah, dapat
dipahami bahwa nusyus adalah pelanggaran komitmen bersama baik itu
dilakukan oleh suami atau pun istri terhadap apa yang menjadi telah menjadi
kewajiban mereka, sehingga hal tersebut mengakibatkan terganggunya
keharmonisan dalam rumah tangga.

D. Macam-macam dan Batasan Nusyus


Nusyus berupa perkataan atau ucapan adalah apabila biasanya diajak
bicara iabicara dengan sopan dan tetapi kemudian dia berubah menjawab
secara tidak sopan terhadap pembicaraan suami yang bersikap santun
kepadanya, apabila dipanggil tidak mau menjawab, berkata kasar terhadap
suami, meninggikan suara saat berbicara dengan suami, memaki-maki suami.
Nusyus berupa perbuatan seperti apabila biasanya kalau diajak tidur,
maka ia menyambut dengan senyum dan wajah berseri, tapi kemudian
berubah menjadi enggan, menolak dengan wajah yang kecut. Kalau biasanya
apabila suaminya datang ia langsung menyambutnya dengan hangat dan
menyiapkan semua keperluannya, tetapi kemudian berubah jadi tidak mau
peduli lagi.tidak mentaati perintah suami, tidak mensyukuri apa yang telah
diberikan oleh suami, bermuka masam, pergi keluar rumah tanpa izin suami,
selingkuh dengan laki-laki lain, menolak diajak berhubungan badan dengan
alasan yang tidak dibenarkan oleh syari’at Islam, dan lain sebagainya.
Dalam kitab Majmu’ Syarah Muhazzab menjelaskan tanda-tanda
perempuan yang melakukan nusyuz:
‫ُّعلَْي ِه إاَّل َ ُمتََب ِّر َم ٍة َْأو‬ ِ ِ ِ ‫ِع فِى اِج ا بتِ ِه َعلَى غَي ِر َع‬
َ ‫ادَت َه ا َْأو اَل تُظْ ِه ُر ا ْحتِ َرام ِه َواَل َك َر َامتِ ِه َواَل َت ُرد‬ ْ َ َ َ ‫ش ْوز َأ ْن اَل تُ ْسر‬ُ ُّ‫ات الن‬
ُ ‫ََأم َار‬
ِ ‫اع ِة فِى ال ِْف َر‬
.‫اش‬ َ َ‫َعابِ َس ٍة َم َع َأط‬
Tanda-tanda nusyus perempuan (istri) itu antara lain:
1. Tidak cepat menjawab suaminya berdasarkan bukan kebiasaan
2. Tidak nyata atau tidak jelas penghormatan kepada suaminya

8
Ibnu Manzur, Lisan al-Arabi, (Beirut: Dar Lisan al-‘Arabi, tt) hlm: 637
9
Ahmad Warsan Munawir, al-Munawir Kamus Arab Indonesia(Yogyakarta, Pustakan
Progresip, 1994) hlm: 1517
10
Abu Malik Kamul bin Sayyid Salim, Shahih Fikih Sunnah Wanita… hlm: 544
11
Abu Yasid, Fiqh Realitas, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005) hlm: 333

3
3. Tidak mendatangi suami kecuali dengan bosan, jemu atau dengan
muka yang cemberut.12
Ada sebagian ulama menyatakan tanda-tanda nusyus juga bila terlihat
dari seorang istri yang jika diajak untuk berhubungan intim, dia menolak.
Tanda-tanda nusyus yang berkaitan dengan hubungan badan suami istri ini,
bisa merujuk kepada hadits dari Abu Hurairah ra:
ِ ِ َ َ‫ص لَّى اللَّهُ َعلَْي ِه َو َس لَّ َم ق‬
‫اش‬ ْ َ‫ال ِإذَا بَ ات‬
َ ‫ت ال َْم ْرَأةُ َه اج َرةً ف َر‬ َ ‫ِّث َع ْن ُز َر َارةَ بْ ِن َْأوفَى َع ْن َأبِي ُه َر ْي َرةَ َع ْن النَّبِ ِّي‬
ُ ‫ادةَ يُ َح د‬ َ َ‫َقت‬
ْ ُ‫َز ْو ِج َها ل ََعنَْت َها ال َْماَل ِئ َكةُ َحتَّى ت‬
‫صبِ َح‬
Qatadah telah menceritakan dari Zurarah bin Aufa dari Abu Hurairah dari
Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, beliau bersabda: "Apabila seorang istri
enggan bermalam dengan memisahkan diri dari tempat tidur suaminya, maka
Malaikat akan melaknatnya sampai pagi"13
Apabila istri menentang kehendak suami dengan tidak ada alasan yang
dapat diterima menurut hukum syara’ tindakan itu dipandang durhaka, seperti
hal-hal dibawah ini:
1. Suami telah menyediakan rumah yang sesuai dengan keadaan suami,
tetapi istri tidak mau pindah ke rumah itu atau istri meninggalkan rumah
tanpa izin suami.
2. Apabila suami istri tinggal dirumah kepunyaan istri dengan izin iztri,
kemudian pada suatu waktu istri mengusir (melarang) suami masuk
kerumah itu dan bukan karena minta pindah ke rumah yang disediakan
oleh suami.
3. Umpamanya istri menetap di tempat yang disediakan oleh
perusahaannya, sedangkan suami mintak supaya istri menetap dirumah
yang disediakannya, tetapi istri keberatan dengan tidak adanya alasan
yang pantas.14
Jadi nusyus istri memang bentuk kemaksiatan istri kepada suami,
indikasinya bisa berupa tindakan bisa juga berbentuk perkataan.Sehingga istri
yang melakukan nusyus harus menerima beberapa konsekuensi sebagai akibat
dari perbuatan nusyusnya tersebut.Karena konsekuensi dari perbuatan nusyuz
berbagai macam, mulai dari nasehat, pisah ranjang, pemukulan serta
pencegahan nafkah, maka disinilah letak pentingya pengkategorian mengenai
bentuk-bentuk perbuatan nusyuz secara kualitatif, kuantitatif serta
kemungkinan hal yang melatar belakanginya, agar dalam menyikapinya pun
dapat secara proporsional.
Dengan demikian langkah-langkah dalam mendidik isteri yang nusuz
harus dilakukan secara bertahap sesuai dengan tingkat kesalahan istri.Seperti
contoh, sangat tidak adil jika seorang istri yang hanya bermuka masam ketika
suaminya pulang kerja larut malam dianggap nusyus kemudian tidak dikasih
uang untuk belanja pada esok harinya dan bahkan diperbolehkan
memukulnya karena dianggap nusyus. Karena bisa jadi bermuka masamnya
istri terhadap suami disebabkan karena kesalahan suami itu sendiri yang
12
Imam Nawawi, Al-Majmu’ Sayarah Muhazabjuz 17, (Bairut: Dar al-Fikr, tt), hlm: 127
13
Muslim, Shahih Muslim trj. Ahmad Sunarto (Semarang: Asy-Syifa, 1993) hlm: 234
14
Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2015)hlm: 398

4
kebiasaannya pulang malam padahal seharusnya ia tiba dirumah sudah sejak
tadi, namun suami malah pergi ketempat lain yang sebenarnya tidak ada
kepentinganya kecuali hanya untuk menghabiskan waktu bersama teman-
teman perempuannya. Dalam hal ini maka istri tidaklah nusyus melaikan
suami yang hukumi nusyus.
Tahapan menindak istri nusyus haruslah disesuaikan dengan kesalahan
istri, ketika istri terbukti melakukan nusyus ringan misalnya dengan bermuka
masam yang disebabkan karena ia bosan dengan suaminya padahal hak-
haknya telah terpenuhi, maka tahap nasehatlah yang pas untuk terapinya,
dengan mengingatkan akan kewajiban-kewajibannya terhadap suami serta
murka Allah terhadap wanita yang nusyus .Setelah nasehat diberikan namun
ia masih tetap dengan nusyus nya dan bahkan istri mulai berani keluar rumah
tanpa izin suami bahkantidak mau melayani suami tanpa adanya alasan yang
dibenarkan. Misalnya ia pergi bersama teman-temannya dengan tidak
membawa manfaat namun hanya mudharat yang di dapatkan, maka suami
diperbolehkan melakukan hijr (pisah ranjang), ketika hijr telah dilakukan
namun istri tetap pada pembangkangannya dan malah lebih parah, ia mulai
berselingkuh dan bahkan melakukan hal yang keji dengan pria lain maka
suami diperbolehkan melakukan pemukulan (pemukulan yang tidak
menyakiti) karena perbuatan istri tersebut sudah dalam kategori nusyus berat
yakni mengakibatkan ternodainya rumah tangga dan terancamnya kehormatan
suami , maka pemukulan boleh dilakukan.
E. Pandangan Al-Quran Tentang Kebolehan Suami Memukul Istri Yang
Nusyus
Dalam kehidupan berumah tangga tidak akan selalu berjalan
hamonis meskipun sewaktu melaksanakan perkawinan dikhutbahkan agar
suami istri bisa saling menjaga agar dapat terciptanya keluarga yang sakinah
mawaddah wa rahmah, karena pada kenyataannya dalam keluarga dapat saja
terjadi konfik yang disebabkan berbagai macam alasan dan hal tersebut dapat
melunturkan apa yang diharapkan sebelumnya.
Ketika akad nikah telah berlangsung dengan sah dan berkekuatan
hokum maka ketika itu pula telah berlakulah semua konsekuensinya dan hak-
hak suami istri pun jatuh sebagai kewajiban yang harus dipenuhi. 15 Istri yang
sholehah merupakan dambaan bagi setiap lelaki, namun tidak semua wanita
memiliki sifat tersebut, ada saja istri yang memiliki sifat buruk seperti tidak
taat terhadap suami serta tidak menyadari apa yang telah menjadi kewajiban-
kewajibannya atau dikenal dengan istilah nusyuz. Karena Al-Qur’an
memberikan perhatian yang besar pada masalah kehidupan rumah tangga,
maka diberikanlah tuntunan untuk menyelesaikan masalah tersebut, hal ini
disebutkan dalam QS. Al-Nisa (4): 34
           
           
        
           

15
Sayyid Sabiq, Fikih Sunah jil. 2 terj. Asep Sobari, dkk (Jakarta: Al-I’Tishom, 2010),
hlm: 323

5
”Laki-laki (suami) itu pelindung bagi perempuan (istri), karena Allah telah
melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain
(perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah memberikan nafkah dari
hartanya. Maka perempuan-perempuan yang saleh adalah mereka yang taat
(kepada Allah) dan menjaga diri ketika (suaminya) tidak ada, karena Allah
telah menjaga (mereka).16 Perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan
akan nusyuz,17 hendaklah kamu beri nasehat kepada mereka, tinggalkanlah
mereka di tempat tidur (pisah ranjang), dan (kalau perlu) pukullah mereka.
Tetapi jika mereka mentaatimu, Maka janganlah kamu mencari-cari alasan
untuk menyusahkannya. Sungguh, Allah Maha Tinggi, Maha Besar”.18
Ayat di atas adalah dalil yang digunakan sebagai landasan nusyuz istri
terhadap suami, kendati tidak dijelaskan bagaimana berawalnya terjadi
perbuatan nusyuz istri serta batasan-batas yang jelas, namun hanya tuntunan
bagi suami menghadapi nusyuz istri tanpa batasan-batasan yang jelas,
sehingga terkadang ayat ini dijadikan dasar untuk melakukan kekerasan
dalam rumah tangga dengan alasan istri berbuat nusyuz. Pemahaman umat
terhadap teks-teks agama yang ditafsirkan secara tekstual merupakan salah
satu penyebab terjadinya kesewenang-wenangan suami terhadap istri,
karenanya konteks sosial ketika ayat ini turun pun tidak boleh
dikesampingkan supaya mendapatkan pemahaman yang tepat.

1. Asbabun Nuzul Ayat


Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa seorang wanita mengadu
kepada Nabi saw, karena telah ditampar oleh suaminya. bersabdalah
Rasulullah saw: “Dia mesti diqishash (dibalas)”, maka turunlah ayat di atas
QS (4): 34, sebagai ketentuan mendidik istri yang menyeleweng. Setelah
mendengar penjelasan ayat tersebut pulanglah ia dengan tidak melaksanakan
qishash. (Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim yang bersumber dari al-Hasan).
Dalam riwayat lain dikemukakan bahwa, ada seorang istri yang
mengadu kepada Rasulullah saw karena ditampar oleh suaminya (golongan
Anshar) dan menuntut qishash (balas). Nabi mengabulkan tuntutan itu, maka
turunlah ayat ini “wala ta’jal bi al-qurani min qabli an yuqda ilaika
wahyuhu. QS. (20):114” sebagai teguran kepadanya dan QS Al-Nisa (4): 34)
sebagai ketentuan hak suami dalam mendidik istri. (Diriwayatkan oleh Ibnu
Jarir dari beberapa jalur yang bersumber dari al-Hasan, dan dari sumber Ibnu
Jarir dan As-Sudi).19
Ayat tersebut turun sehubungan dengan peristiwa Sa’ad bin Rabi’
dengan istrinya yang bernama Habibah binti Zaid. Sa’ad bi Rabi’ adalah salah

16
Allah telah mewajibkan kepada suami untuk menggauli istrinya dengan baik.
17
Nusyuz yaitu meninggalkan kewajiban selaku istri, seperti meninggalkan rumah tanpa
izin suaminya.
18
Kementrian Agama RI, Alqur’an Dan Terjemahnya (Jakarta: Adhi Aksara Abadi
Indonesia, 2011) hlm: 108-109
19
KH. Qamaruddin Shaleh, dkk, Asbabun Nuzul (Bandung: Diponegoro, 1994), hlm:
130-131

6
seorang dari dua belas naqib20. Baik Sa’ad maupun Habibah kedua-duanya
dari kaum Anshar. Adapun perkaranya ialah bahwa Habibah, istri Sa’ad
melakukan nusyuz terhadap suaminya lalu suaminya menamparnya. Lalu
Habibah bersama ayahnya datang menemui Rasulullah saw, berkata Zaid,
ayah Habibah: “Aku mengawinkannya dengan putriku, lalu ia menamparnya”
Nabi saw berkata: “Habibah boleh melakukan qishas terhadap
suaminya”, Habibah bersama ayahnya pergi meninggalkan majlis Nabi untuk
melakukan qishas terhadap suaminya. Akan tetapi mereka dipanggil kembali
oleh Nabi, sambil mengatakan “ini Jibril datang kepada ku” Allah
menurunkan ayat QS. Al-Nisa: (4): 34 Nabi saw lalu bersabda:
“Kita menghendaki sesuatu dan Alah pun menghendaki sesuatu. Yang
dikehendaki oleh Allah itulah yang terbaik.
Maka dengan itu hukuman qishas terhadap suami Habibah dibatalkan”.21
2. Penafsiran Para Ulama Tentang Ayat Nusyuz
Di dalam buku Tafsir Fenomenologi Kritis Interelasi Fungsional
antara Teks dan Realita karya Dr. Fauzan Zanrif, M.Ag, beliau mengutip
pendapat Ibnu Katsir yang berpendapat bahwa lafadz qowwamun pada ayat
ini ditafsiri dengan pemimpin (rois), penguasa (kabiir), hakim dan pendidik
(muaddib) bagi perempuan hal ini karena kelebihan (fadhhol) yang dimiliki
laki-laki dari pada perempuan. Laki-laki harus didahulukan dari pada
perempuan yang berarti bahwa ia merupakan pimpinan, senior, hakim,
pendidik bagi perempuan, karena laki-laki lebih utama dan lebih baik dari
pada perempuan. Berdasarkan keistimewaan-keistimewaan tersebut, kenabian
dan kepemimpinan besar pun dikhususkan pada laki-laki. 22 Selengkapnya
Ibnu Katsir menyatakan sebagai berikut:
Allah SWT berfirman: { ‫اء‬ ِ ‫ال َق َّوام و َن علَى النِّس‬
َ َ ُ ُ ‫الر َج‬ ِّ }, artinya laki-laki
sebagai pengayom perempuan, dengan kata lain laki-laki sebagai pimpinan,
َ ‫ل اللَّهُ َب ْع‬
senior, membina dan mendidiknya jika menyeleweng. { ‫ض ُه ْم َعلَى‬ َ‫ض‬َّ َ‫بِ َم ا ف‬
‫ْض‬
ٍ ‫}بَع‬, artinya: dikarenakan laki-laki memiliki keutamaan dibandingkan
dengan perempuan, dan laki-laki lebih baik dibandingkan dengan perempuan,
karena keistimewaan laki-laki tersebut kenabian dan kepemimpinan besar
dikhususkan pada laki-laki.23 Sabda Nabi saw: “Tidak akan pernah bahagia
20
Naqib artinya pemuka yaitu orang yang mewakili kaumnya, umpamanya dalam
suatu pertemuan dan berwenang berbicara atas nama kaumnya.
21
Diriwayatkan oleh Muqatil dan dibawa oleh ibnu Jarir, yang dikutip oleh Ali Ash-
Shabuni, Rawai’ul Bayan Tafsir Ayatil Ahkam Minal Qur’an juz 1, terj. Saleh Mahfoed
(Suriah: Maktabah Alghazali,1977) hlm: 278-279
22
Fauzan Zenrif, Tafsir Fenomenologi Kritis Interrelasi Fungsional antara Teks dan
Realita, (Malang: UIN Maliki Press), 2011, hlm: 5
23
Pernyataan Ibnu Katsir dalam kitabnya dengan lafadz asli sebagai berikut:
‫ا‬TTَ‫ا َو ُمَؤ دِّبه‬TTَ‫ َوكبِيْرهَا َو ْال َحا ِك ِم َعلَ ْيه‬T‫ َأيْ ه َُو رَِئ ْي ُسهَا‬،‫ اَلرِّ َجا ُل قَيَّ ُم َعلَى اَ ْل َمرْ أ ِة‬: ْ‫ { الرِّ َجا ُل قَوَّا ُمونَ َعلَى النِّ َسا ِء } أي‬:‫يقول تعالى‬
ْ ‫ان‬TT‫ َذا َك‬T َ‫ َوال َّر ُج ُل خَ ي َْر ِمنَ ْال َمرْ أ ِة؛ َولِه‬،‫ض ُل ِمنَ النِّ َسا ِء‬
‫َت‬ َ ‫ َِألنَّ الرِّ َجال أ ْف‬: ْ‫ْض } أي‬ ٍ ‫ْضهُ ْم َعلَى بَع‬ َ ‫ِإ َذا اعوجَّت { بِ َما فَض ََّل هَّللا ُ بَع‬
‫اري‬TT‫ر ة" رواه البخ‬T ‫َأ‬ َ
َ T‫رهُم ا ْم‬T َّ ْ َ ّ
َ T‫و ٌم َولوا أ ْم‬TT‫ "لن يُفلِ َح ق‬:‫صلى هللا عليه َو َسلم‬ ّ َ
َ ‫َظ ِم؛ لِقوْ لِ ِه‬ ِ ‫ك األع‬ ْ
ِ ‫ك ال ُمل‬ ِ ‫النّبُ َّو ِة مختصة بِالرِّ َج‬
ِ ِ‫ال َو َك َذل‬
.‫ ع َْن أ ِب ْي ِه‬،‫أبي بَكرة‬ِ ٍ ِ ‫ث َع ْب ُد الرَّحْ َم‬
‫ن‬ ‫ب‬ ‫ن‬ ِ ‫ِم ْن َح ِد ْي‬
Lihat: Fauzan Zenrif, Tafsir Fenomenologi Kritis Interrelasi Fungsional antara Teks dan
Realita... hlm: 6

7
sebuah kaum yang menyerahkan permasalahannya pada perempuan”. HR.
Bukhari dari Abi Bakrah dari Ayahnya. { ‫} َوبِ َم ا َأْن َف ُق وا ِم ْن َْأم َوالِ ِه ْم‬, yakni dari
pemberian mahar, nafkah dan beberapa pemberian lain pada perempuan yang
diwajibkan oleh Allah SWT dalam kitab-Nya dan tuntunan Nabi Nya saw,
oleh karenanya, laki-laki sebagai pribadi lebih utama dari perempuan. Dari
sinilah laki-laki pantas membimbing perempuan sebagaimana firman Allah
ِّ ِ‫“ } َول‬tetapi para suami mempuyai kelebihan di atas
ِ ‫لر َج‬
SWT: { ٌ‫ال َعلَْي ِه َّن َد َر َج ة‬
mereka” (QS: Al-Baqarah: 228).24
Sedangkan menurut Rasyyid Ridha pengertian kepemimpinan laki-
laki dalam surat al-Nisa :34 itu adalah memiliki arti menjaga, melindungi,
menguasai dan mencukupi kebutuhan perempuan. Sebagai konsekuensi dari
kepemimpinan itu adalah laki-lai mendapatkan bagian lebih banyak dari pada
perempuan dalam hal kewarisan, karena laki-laki bertanggung jawab terhadap
nafkah mereka. Adapun perbedaan taklif dan hokum antara laki-laki dan
perempuan adalah akibat dari perbedaan fitrah dan kesiapan individu
(potensi), juga sebab lain yang sifatnya kasabi, yaitu member mahar dan
nafkah. Jadi sudah sewajarnya apabila laki-laki (suami) yang memimpin
perempuan (istri) demi tujuan kemaslahatan bersama.25
Al-Maraghi dalam tafsirnya menjelaskan bahwa di antara tugas kaum
lelaki ialah memimpin kaum perempuan dengan melindungi dan memelihara
mereka. Sebagai konsekuensi dari tugas ini, kaum laki-laki diwajibkan untuk
berperang dan kaum wanita tidak, karena perang termasuk perkara
perlindungan yang paling khusus dan kaum laki-laki memperoleh bagian
lebih besar dalam hal harta pusaka daripada kaum wanita, karena kaum laki-
laki berkewajiban memberi nafkah, sedangkan kaum wanita tidak.26
Hamka berpendapat bahwa laki-laki lebih dalam hal tenaga, lebih
dalam kecerdasan, sebab itu lebih pula dalam bertanggung jawab terhadap
wanita. Misalnya berdiri rumah tangga, ada bapak, ada istri, dan ada anak,
dengan sendirinya- meskipun tidak disuruh- laki-lakilah, yaitu si bapak yang
menjadi pemimpin. Diibaratkan batang tubuh manusia, ada kepala, ada
tangan dan kaki, ada perut. Semuanya penting tetapi kepala tetap kepala yang
memberi perintah dan mengendalikan anggota tubuh dalam melakukan setiap
pekerjaan27.
Dalam tafsir Al-Misbah, Quraish Shihab menerangkan, ayat yang lalu
(ayat 32) melarang berangan-angan serta iri menyangkut keistimewaan
24
Pernyataan Ibnu Katsir dalam kitabnya dengan lafadz asli sebagai berikut:
‫ه‬T‫لى هللا علي‬T‫ ِه ص‬T‫نَ ِة نَبِ ْي‬T‫ت َو ْالكلف اَلَّتِي َأوجبهَا هللا َعلَ ْي ِه ْم ِلهنَّ فِي ِكتَابِ ِه َو ُس‬
ِ ‫ َم ِن ْال َمهَر َوالنَّ ْفقَا‬: ْ‫{ َوبِ َما َأ ْنفَقُوا ِم ْن َأ ْم َوالِ ِه ْم } َأي‬
َ
:‫الى‬TT‫ال هللا تَ َع‬T َ َ َ ُ ‫َأ‬ َ
َ T‫ا ق‬TT‫ َك َم‬،‫ا‬TTَ‫ا َعل ْيه‬TT‫وْ نَ قيّ َم‬TT‫ب ْن يَك‬TT‫ فنَاس‬،‫اإلفضال‬ َ ‫ َولَهُ الفضل َعل ْيهَا َو‬،‫ض ُل ِمنَ ْال َمرْ أ ِة فِي نَ ْف ِس ِه‬
َ َ ‫ فَال َّر ُج ُل َأ ْف‬،‫وسلم‬
ٌ
.]228 :‫ اآلية [البقرة‬,‫ال َعلَ ْي ِهنَّ د ََر َجة‬ ِ ‫َولِلرِّ َج‬
Lihat: Fauzan Zenrif, Tafsir Fenomenologi Kritis Interrelasi Fungsional antara Teks dan
Realita... hlm: 6-7
25
Imam Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir al-Qur’an al-Hakim (Tafsir al-Manar),
(Libanon: Dar al-Kotob al-Imliyah-Beirut) hlm: 57
26
Ahmad Mustafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi Juz 5... hlm: 42
27
Abdul Malik Abdul Karim Amrullah (Hamka), Tafsir al-Azhar Juzu’ 5 (Singapura:
Pustaka Nasional PTE LTD, tt), hlm: 1995-1996

8
masing-masing manusia, baik pribadi maupun kelompok atau jenis kelamin.
Keistimewaan yang dianugerahkan Allah itu antara lain karena masing-
masing mempunyai fungsi yang harus diemban dalam masyarakat, sesuai
potensi dan kecendrungan jenisnya. Kini fungsi dan kewajiban masing-
masing jenis kelamin, serta latar belakang perbedaan itu disinggung oleh ayat
ini dengan menyatakan bahwa: Para lelaki, yakni jenis kelamin laki-laki atau
suami adalah qawwamun, pemimpin dan penanggung jawab atas para wanita,
oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka atas sebagian yang lain
dan karena mereka, yakni laki-laki secara umum atau suami telah
menafkahkan sebagian dari harta mereka untuk membayar mahar dan biaya
hidup untuk istri dan anak-anaknya.28
Namun kelebihan laki-laki atas perempuan ini hanya bersifat
keumuman, yakni perbedaan jenis kelamin (al-jins) yang dipandang secara
umum, dan bukannya berlaku bagi setiap individu laki-laki atas individu
perempuan, karena dalam kenyataannya banyak juga perempuan yang
melebihi suaminya dalam hal ilmu, agama atau pekerjaannya. Atas dasar
itulah, maka ayat ini mengungkapkannya dengan kata-kata “bima faddala
Allah ba’dahum ‘ala ba’d” (karena Allah telah melebihkan sebagian mereka
(laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan)), yang diungkapkan secara
abstrak dengan tidak merujuk secara langsung laki-laki dan perempuan, dan
bukan dengan kata-kata “bima faddalahum ‘alaihinna” atau “bi tafdi>lihim
‘alaihinna” (Allah melebihkan mereka laki-laki atas orang-orang
perempuan). Penyebutan ayat seperti itu juga mengandung arti bahwa antara
suami dan istri adalah berfungsi saling melengkapi satu sama lain. Keduanya
seperti bagian-bagian anggota tubuh yang masing-masing memiliki fungsi
ِ ِ
ٌ َ‫اس لَّ ُك ْم َواَْنتُ ْم لب‬
untuk saling melengkapi satu dengan yang lainnya.29 ‫اس ل َُه َّن‬ ٌ َ‫ُه َّن لب‬
“mereka adalah pakaian bagi kamu, dan kamu adalah pakaian bagi
mereka”.30 QS. Al-Baqarah (2): 187. Kata pakaian dalam ayat tersebut ialah
majaz atau kiasan yang intinya harus saling menolong, menutupi kekurangan
dan kelebihan masing-masing, sehingga terbangunlah keluarga yang kokoh.31
Ketetapan hukum semacam ini bukanlah wujud dari sikap otoriter,
akan tetapi merupakan bentuk keadilan yang ditetapkan oleh Fitrah Allah
yang telah menciptakan laki-laki dan wanita berdasarkan atas fitrah masing-
masing. Maka, seorang wanita menurut fitrahnya senang bila berada dalam
lindungan laki-laki, yang selalu memperhatikan dirinya, menjaganya dan
memberikan nafkah kepadanya. Hukum ini tetap akan berlaku selama al-
Qur’an dan Islam masih tetap ada, walaupun wanita pada zaman modern ini
telah belajar dan berkerja, namun wanita tetap akan melangsungkan
pernikahan sekaligus menerima maskawin. Sementara suami akan tetap
28
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishba>h Pesan , Kesan dan Keserasian Al-Qur’an
vol. 2… hlm: 422-423
29
M. Nuh Kholis Setiawan, Pribumisasi Al-Qur’an (Yogyakarta: Kaukaba Dipantara,
2012) hlm: 27
30
Kementrian Agama RI, Alqur’an dan Terjemahnya … hlm: 36
31
Azyumardi Azra dan Abudin Nata, Kajian Tematik Al-Qur’an tentang
Kemasyarakatan (Bandung: Angkasa, 2008) hlm: 191

9
dituntut agar dapat memberikan nafkah kepada istri.32 Maka janganlah antara
laki-laki dan perempuan saling iri hati atas kelebihan yang diberikan oleh
Allah swt, karena kelebihan-kelebihan itu diberikan oleh Allah sesuai dengan
fungsi dan tugas yang diemban oleh masing-masing individu di dalam
kehidupan sehari-hari.
Selanjutnya Allah menjelaskan keadaan kaum wanita (para istri)
dalam kehidupan berumah tangga: adakalanya mereka taat; adakalanya
mereka membangkang (melakukan nusyuz). Kata ‫ب‬ ِ ‫ات َحافظَاةٌ لِ ْلغَْي‬ ُ ‫الصالِ َح‬
ٌ َ‫ت قَانِت‬ َّ َ‫ف‬
َ ‫ بِ َما َح ِف‬merupakan perincian dari keadaan para wanita yang berada dalam
‫ظ اهلل‬
kepemimpinan pria. Allah telah menjelaskan bahwa mereka (para wanita)
tersebut terbagi dalam dua keadaan, yakni:
1) Kelompok wanita shalihah dan taat
2) Kelompok wanita yang bermaksiat dan membangkang (nusyuz).
Wanita shalihah akan senantiasa menaati Allah Swt dan suaminya
selama tidak dalam rangka bermaksiat kepada Allah, senantiasa
melaksanakan kewajiban-kewajibannya, menjaga diri mereka dari melakukan
perbuatan keji, menjaga kehormatan mereka, menjaga harta suami dan anak-
anak mereka, dan menjaga rahasia apa yang terjadi antara mereka berdua
(suami-istri) dalam hal apa pun yang layak dijaga kerahasiaannya.
ُ ُ‫افُوْ نَ ن‬TT‫( َوالَّتِى تَ َخ‬dan perempuan-perempuan yang kamu
Kata ‫وْ َزه َُّن‬T ‫ش‬
khawatirkan akan nusyuz) adalah menunjuk pada kelompok wanita yang
kedua, yakni para wanita yang bermaksiat dan menentang, yakni mereka yang
menyombongkan diri dan meninggikan diri dari melakukan ketaatan kepada
suami. Para mufassir berbeda pendapat dalam mengartikan ‫َوالَّتِي تَ َخافُ ْو َن‬
‫نُ ُش ْو َز هُ َّن‬ (perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan akan nusyuz),
sebagian mufassir mengartikannya dengan: ‫ن‬ ْ ‫َوالَّتِي تَ ْعلَ ُم‬
َّ ُ‫ ْو َزه‬TT‫و َن نُ ُش‬TT
(perempuan-perempuan yang engkau ketahui nusyuz. kata "‫ف‬ ٌ ْ‫ " َخو‬ada yang
mengartikan dengan ‫( ظَ ٌّن‬prasangka) dan ‫( ِع ْل ٌم‬pengetahuan)33, namun para
mufassir lebih condong menggunakan arti yang pertama yakni sangkaan atau
dugaan, seperti Sayyid Qutub menjelaskan bahwa manhaj Islam tidak
menunggu hingga terjadinya nusyuz secara nyata, dikibarkannya bendera
pelanggaran, gugurnya karismatika kepemimpinan, dan terpecahnya
organisasi rumah tangga menjadi dua laskar. Maka pemecahnya sering
kurang bermanfaat kalau keadaan sudah sampai begini. Oleh karena itu perlu
segera dipecahkan ketika nusyuz ini baru tahab permulaan, sebelum menjadi
berat dan sulit. Oleh karena itu, harus segera dilakukan tindakan secara
bertahab untuk mengobati gejala-gejala nusyuz sejak mulai tampak dari
kejauhan.34

32
Yusuf Al-Qardhawi, Ijtuhad Kontemporer Kode Etik dan Berbagai Penyempingan,
(Jakarta: Risalah Gisti, 2005) hlm: 119
33
At-Thabari, Tafsir al-Tabari… hlm: 64
34
Sayyid Qutub, Tafsir Fi Zhilal Qur’an jil. 4… hlm: 242

10
Praktik nusyuz istri bisa berupa ucapan seperti dia tidak merespon
ajakan suami dan tidak bernada rendah ketika berdialog bersama suami dan
bisa berupa tingkah laku seperti dia tidak mau berdiri ketika suami
menghampirinya, atau tidak cepat-cepat melaksanakan perintah suami dan
tidak bergegas saat suami memanggil untuk datang ke tempat tidur. 35Dalam
menyikapai istri yang nusyuz, karena laki-laki menempati posisi kepala
rumah tangga maka ia diberikan wewenang dalam mendidik istri mereka
yang nusyuz tersebut dengan melakukan tiga tahab yang telah disebutkan di
dalam al-Qur’an, sebagai berikut:
1) ‫( فَ ِعظُوْ ه ُّن‬nasehatilah mereka). Kata (‫ )فَ ِعظُوْ ه َُّن‬maksudnya adalah seorang
suami wajib mengingatkan istri-istrinya dari apa-apa yang diwajibkan
Allah atas dirinya, keutamaan menemani suami dan adab bergaul dengan
suami dan memberi tahu akan derajat suami atas dirinya.36 menasehati
istri haruslah pada saat yang tepat dan dengan kata-kata yang menyentuh,
tidak menimbulkan kejengkelan37 serta penuh kelembutan agar hatinya
terketuk dan dapat kembali kejalan yang benar. Suami hendaknya
mengingatkan kembali tentang ikatan janji kuat diantara mereka yang
tidak boleh pudar begitu saja oleh hati maupun akal. Sampaikan juga
akibat buruk yang akan menimpa hubungan mereka apabila ia tetap dan
meneruskan jalan itu. Sebab di antara kaum wanita ada yang cukup
diingatkan akan hukuman dan kemurkaan Allah atas apa yang telah ia
perbuat, maka ia sudah akan kembali kejalan yang benar.
Menurut Rasyid Ridha dalam tafsir Al-Manar nasehat disesuaikan
dengan kondisi istri. Diantaranya ada istri yang terpengaruh dengan ancaman-
ancaman Allah, ada pula yang takut dengan konsekwensi dan sanksi duniawi,
seperti dimusuhi, tidak diberi perhiasan atau pakaian yang indah. Seorang suami
harus arif dalam memilih nasehat yang dapat tertanam di lubuk hati istri. 38
Mau’idah atau nasihat merupakan upaya persuasif yang penting
dan sudah semestinya selalu dikedepankan dalam menyelesaikan setiap
permasalahan yang terjadi dan ini tidak hanya dalam masalah nusyuz saja
namun dalam masalah apapun ketika seseorang melakukan kesalahan
maka orang lain harus menasehatinya terlebih dahulu, dan jika tidak
berhasi maka lakukanlah langkah selanjutnya.
2) ‫اج َع‬ َ ‫ رُوْ ه ُّن في اَ ْل َم‬TTُ‫( اِ ْهج‬Tinggalkanlah mereka di tempat tidur /pisah
ِ TT‫ض‬
ranjang). Lafadz ‫ رُوْ ه َُّن‬T‫ج‬ ُ ‫ اِ ْه‬berasal dari lafadz ‫ َر‬T‫ هَ َج‬yang artinya jauh
(menjauhi) meningalkan, memisahkan dan tidak berhubungan dengan
39,

objek yang dimaksud. Sedangkan kata ‫جع‬ َ ‫ اَ ْل َم‬yang menjadi rangkaian


ِ ‫ضا‬
35
Al-Imam Fakhruddin Ar-Razi, At-Tafsir al-Kabir (Lebanon: Dar Al-Kotob Al-
Ilmiyah-Beirut, 2011) hlm: 73
36
Abi ‘Abdullah Muhammad bin Ahmad Al-Anshari Al-Qurtubi, Al-Jami’ Liahkam
Al-Qur’an... hlm: 150
37
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah vol 2… hlm: 423
38I
mam Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir al-Qur’an al—Hakim (Tafsir Al-Manar)…
hlm: 59
39
Abi ‘Abdullah Muhammad bin Ahmad Al-Anshari Al-Qurtubi, Al-Jami’ Li ahkam
Al-Qur’an... hlm: 150

11
kata hijr berarti tempa tidur atau tempat berebah. Secara epistimologi hijr
adalah seorang suami yang tidak menggauli istrinya, tidak mengajaknya
bicara, tidak mengadakan hubungan atau kerja sama apapun dengannya.
Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa hijr dapat berupa
ucapan atau perbuatan. Hijr dengan ucapan artinya suami tidak memperhatikan
atau memperdulikan perkataan istrinya serta tidak mengajaknya berbicara.
Sedangkan hijr dengan perbuatan berarti suami pisah ranjang dengan istrinya
atau tidak menggauli istrinya. Ibnu Arabi sebagaimana dikutip oleh Rahmaniar
dalam Skripsinya yang berjudul Istri Durhaka (Nusyuz) Sebagai Penyebab
Terjadinya Perceraian Di Pengadilan Agama Kelas IA Kota Bengkulu
menyebutkan bahwa mengenai tahap ini, terdapat empat pendapat:
1) Suami membalikkan punggungnya di kasur, pendapat ini seperti yang
dikatakan oleh Ibnu Abbas.
2) Tidak mempercakapinya walaupun dia mencampurinya, seperti yang
dikatakan oleh Ikrimah dan Abu Al-Dhuha.
3) Tidak mencampuri walau dia tidur di kasur yang sama. Dia tidak
mencampuri istrinya sampai istrinya mau kembali kepada apa yang
dikehendaki. Inilah pendapat Ibrahim, al-Syaa’bi, Qatadah dan Hasan al-
Bashri, yang diriwayatkan oleh Ibn Wahab dan Ibn Al-Qasim dari Malik
dan lain-lain.
4) Mempercakapi dan mencampurinya, tetapi dengan perkataan yang keras
dan tegas. Apabila berkata kepada istrinya, hendaknya dia berkata dengan
suara tinggi, sebagaimana yang dikatakan oleh Syufyan. Syufya berkata:
Kemudian aku dilarang ayat, “jauhkan dia di tempat tidur”.40
Menurut Ibnu Abbas yang dikutip oleh Hamka dalam tafsir al-Azhar
mengatakan secara terang-terangan: maksud hijr ialah jangan dia disetubuhi,
jangan tidur di dekatnya, atau belakangi saat satu tempat tidur dengannya. 41
Sebab pada umumnya perasaan istri akan guncang ketika ditinggal sendiri. 42
Dalam Tafsir Fi Zilalil Qur’an disebutkan bahwa dalam kehidupan rumah
tangga tempat tidur adalah tempat yang sangat menggoda dan menarik. 43 Oleh
sebab itu dalam keadaan seperti ini menurut Imam Al-Qurthubi memalingkan
diri dari tempat tidur (tidak menggauli istri) merupakan suatu cara yang sangat
efektif dalam mengatasi nusyuz yang dilakukan oleh istri.44
M. Quraish Shihab mengatakan yang dimaksud dengan memisahkan
tempat tidur (ranjang) disini bukanlah dengan keluar dari rumah tetapi di
tempat pembaringan kamu berdua, dengan memalingkan wajah dan
membelakangi mereka, kalau perlu tidak mengajak berbicara paling lama tiga

40
Rahmaniar, Istri Durhaka Sebagai Penyebab Terjadinya Perceraian Di Pengadilan
Agama Kelas IA Kota Bengkulu (Skripsi, STAIN BENGKULU: Akhwalusakhsiyyah, 2011)
hlm: 46
41
Abdul Malik Abdul Karim Amrullah (Hamka), Tafsir Al-Azhar juzu’ 5... hlm: 1198
42
Abu Yasid, Fiqh Realitas... hlm: 335
43
Sayyid Qutub, Tafsir Fi Zilalil Qur’an Jilid 4… hlm: 243
44
Abi ‘Abdullah Muhammad bin Ahmad Al-Anshari Al-Qurtubi, Al-Jami’ Liahkam Al-
Qur’an... hlm: 151

12
hari berturut-turut.45Ada saatnya bagi seorang perempuan bahwa hukuman
yang amat mengibakan hati jika suami marah dengan cara memisah tidur,
namun bagi pasangan yang telah membina rumah tangga berpuluh tahun,
hukuman pisah ranjang tidaklah begitu besar artinya, sebab sudah biasa bagi
suami istri yang telah memiliki anak cucu dan sudah tua tidur berpisah tempat
tidur. Namun diwaktu pernikahan yang umurnya masih muda, memisah tempat
tidur karena menunjukkan hati tidak senang dan marah adalah termasuk
hukuman yang agak keras bagi seorang istri. Adapun batas waktu hirj dengan
perkataan tidak boleh lebih dari tiga hari. Berdasarkan Hadits:
‫ول اللَّ ِه‬ ِ ٍِ
َّ ‫ضي اللَّهُ َع ْن ُه‬ ِ َ َ‫ي ق‬ ِّ ‫الز ْه ِر‬ ِ
َ ‫َأن َر ُس‬ َ ‫س بْ ُن َمالك َر‬ ُ َ‫ال َح َّدثَني َأن‬ ُّ ‫ب َع ْن‬ٌ ‫َح َّد َثنَا َأبُو الْيَ َمان َأ ْخَب َرنَا ُش َع ْي‬
َ َ‫اس ُدوا َواَل تَ َد َاب ُروا َو ُكونُ وا ِعب‬
‫اد اللَّ ِه ِإ ْخ َوانً ا َواَل يَ ِح ُّل‬ َ ‫ض وا َواَل تَ َح‬ ُ َ‫ال اَل َتبَاغ‬ َ َ‫ص لَّى اللَّهُ َعلَْي ِه َو َس لَّ َم ق‬ َ
‫لِ ُم ْسل ٍم‬
ِ
‫َأ ْن َي ْه ُج َر َأ َخاهُ َف ْو َق ثَاَل ثَِة َأيَّ ٍام‬
“Telah menceritakan kepada kami Abu Al Yaman telah mengabarkan
kepada kami Syu'aib dari Az Zuhri dia berkata; telah menceritakan
kepadaku Anas bin Malik ra bahwa Rasulullah saw bersabda: "Janganlah
kalian saling membenci, saling mendengki, saling membelakangi, dan
jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara, dan tidak halal
seorang muslim mendiamkan saudaranya melebihi tiga hari”.46
Sedangkan batas waktu hijr dengan perbuatan sebenarnya tidak ada
ketentuan batas waktunya, oleh karena itu para ulama membatasi waktunya
dengan menganalogikannya kepada hukum illa’, yang menurut syara’
ditentukan selama 4 (empat bulan). Sebagaimana disebutkan dalam QS. Al-
Baqarah (2): 226
         
    
“Bagi orang yang mengilla’ istrinya harus menunggu empat bulan.
Kemudian jika mereka kembali (kepada isrtinya), maka sungguh Allah Maha
Pengampun, Maha Penyayang”.
Hanya saja batasan ini bukanlah batasan yang mutlak, artinya boleh
dilakukan suami tanpa batas, selama yang diinginkanya, selagi hal itu
dipandang dapat menyadarkan istri, asal tidak lebih dari empat bulan berturut-
turut, karena jangka waktu empat bulan adalah batasan maksimal yang tidak
boleh dilampaui, sesuai pendapat yang terkuat dari pendapat ahli hukum,
sebagaimana dijelaskan oleh Imam Al-Qurtubi dalam kitab tafsir Al-Jami’ li
Ahkam al-Qur’an dikatakan bahwa suami dibolehkan tidak mengauli isterinya
selama empat bulan dalam upaya menyadarkan istrinya. 47 Perlakuan suami
seperti ini akan menarik istri untuk bertanya tentang sebab-sebab suami
45
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah Pesan Kesan dan Keserasian Al-Quran... hlm:
423
46
Bukhari, Shahih Bukhari, Kitab: Adab, Bab: Larangan Saling Mendengki dan
Menjauhi,terj. Bey Arifin (Semarang: Asy-Syifa, 1993) hlm: 432
47
Abi ‘Abdullah Muhammad bin Ahmad Al-Anshari Al-Qurtubi, Al-Jami’ Liahkam Al-
Qur’an... hlm: 151

13
meninggalkannya dari tempat tidur.48 Sehingga keduanya akan terdorong untuk
saling berdamai satu sama lain.
Mesti hijr diartikan sebagai pisah ranjang, namun pisah ranjang ini
harus tetap dilakukan di dalam kamar, sebab di dalam rumah terdapat anak-
anak yang sedang tumbuh dan berkembang, mereka sangat bergantung pada
kondisi seisi rumahnya, termasuk hubungan ayah ibunya, harmonis atau tidak,
bermasalah atau tidak. Hal tersebut akan berdampak pada psikologis anak-anak
yang menyaksikan kejanggalan ayah-ibunya.
3) ‫( َواضْ ِربُوْ ه َُّن‬Kalau Perlu Pukullah Mereka). Kata ‫ُو‬Tْ ‫ َواضْ ِرب‬berasal dari kata
ُ‫ب– يَضْ ِرب‬ َ ‫ض َر‬
َ yang artinya memukul, bergerak, mendirikan, menjadi sangat
sakit,49mengetuk, menggedor, membunyikan, membikin, mencetak dan
memberi contoh50 dan menjadi fi’il amr (perintah) ْ‫رب‬ ْ ِ‫ ا‬yang artinya
ِ TT‫ض‬
pukullah. ‫ربُوْ ه َُّن‬ ْ ‫( َو‬pukullah mereka) ini merupakan perintah dari Allah
ِ T‫اض‬
kepada kaum laki-laki (suami) agar memukul istri-istri mereka yang durhaka
terhadap Allah dan juga dirinya. Kata ‫ربُوْ ه َُّن‬ ِ ْ‫ َواض‬dalam terjemahan Kementrian
Agama diartika dengan (kalau perlu pukullah mereka).
Sebagian ulama memahami makna “memukul” dalam arti kiasan dan
bukan hakiki dengan kata lain memahaminya dengan makna majazi, namun
sebagian lagi memahami kata “memukul” dalam arti hakiki, yaitu
menggerakkan dan menempatkan tangan dengan kekuatan tertentu pada tubuh
istri.51 Ibnu Katsir berkata: “Memukul yang dimaksud di sini ialah memukul
dengan pukulan yang tidak merusak bagian tubuhnya terutama wajah dan
kepalanya”.52 Ibnu Abbas yang dikutip oleh Hamka memberikan penafsiran:
Pukullah, tetapi jangan yang menyebabkan dia menderita.53
Imam Al-Qurtubi berkata: “Memukul pada ayat ini, memukul yang
bermaksud memperbaiki akhlak (memukul sekiranya saja) bukan secara
terang-terangan yaitu pukulan yang sekiranya tidak sampai melukai tulang dan
tidak membuat luka, jika sampai melukai maka wajib bagimu denda”.54
Pendapat Wahba Al-Zuhaili seperti yang dikutip dalam sebuah tulisan yang
berjudul Penafsiran Kalimat Wadhribuhunna Dalam QS. An-Nisa’ (4): 34 dan
Implementasinya, ia menafsirkan arti wadhribuhunna di sini adalahpemukulan
yang tidak menyakiti dan memukul dengan tangan ke pundaknya tiga kali, atau
memukulnya dengan alat siwak atau ranting pohon, karena tujuan dari
pemukulan itu sendiri adalah untuk islah, bukan yang lainnya. Bahkan apabila
48
Ahmad Mustafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi... hlm: 45
49
Ahmad Warson Al-Munawir, Al-Munawir Kamus Arab-Indonesia... hlm: 815
50
Baalbaki Munir dan Baalbaki Rohi, Kamus al- maurid, trj. Ahmad Sunarto
(Surabaya: Halim jaya,, tt) hlm: 564
51
Prof. Dr. Syahrizal Abbas, Mediasi Dalam Hukum Syariah, Hukum Adat dan Hukum
Nasional cet-2 (Jakarta: Kencana Prenada Media Group), 2011, hlm: 191
52
Ibn Katsir, Terjemah Singkat Tafsir Ibnu Katsier, terj. H Salim Bahreisy dan H Said
Bahreisy, Surabaya: Bina Ilmu, tt, hlm: 389
53
Amrullah, Abdul Malik Abdul Karim Hamka, Tafsir al-Azhar Juzu’ 5 (Singapura:
Pustaka Nasional PTE LTD), hlm: 1201
54
Abi ‘Abdullah Muhammad bin Ahmad Al-Anshari Al-Qurtubi, Al-Jami’ Li Ahkam
Al-Qur’an... hlm: 151

14
suami tersebut melampaui batas dalam memukul istrinya, sehingga istrinya
terluka maka yang bersangkutan dikenakan denda, sebagaimana dikenakannya
denda bagi guru yang memukul muridnya hingga luka, sekalipun yang
diajarkannya adalah ilmu al-Qur’an dan etika. Kesimpulannya, pemukulan
terhadap istri yang nusyuz adalah dibolehkan, meskipun lebih utama hal
tersebut ditinggalkan.55
Ali Ash-Shabuni berkata: “Pukulan yang tidak terlalu keras, yang dapat
memberikan pelajaran tapi tidak terlalu menyakiti. Pemukulan yang tidak
terlalu keras, tidak melukai yang gunanya untuk meluluhkan kesombongannya
dan mengeluarkan syetan pembisik dada dan kepalanya”.56 Rasyid Ridha
berpendapat perintah memukul istri bukanlah sesuatu yang bertentangan
dengan akal dan fitrah. Memukul diperlukan jika keadaan sudah buruk dan
akhlak istri sudah rusak. Suami boleh memukul istri ketika suami melihat
bahwa rujuknya istri hanya dengan cara memukulnya. Akan tetapi, jika
keadaan sudah membaik dan istri sudah tidak nusyuz lagi cukup dengan cara
menasehatinya atau mengasingkannya dari tempat tidur, maka tidak perlu
memukulnya. Setiap keadaan menentukan hukuman yang sesuai, sementara itu
kita diperintahkan menyayangi kaum perempuan, tidak menganiaya,
menjaganya dengan cara yang baik, dan jika menceraikannya harus dengan
cara yang baik pula.57
Al-Maraghi berkata: “Suami boleh memukul, asal pukulan itu tidak
menyakiti atau melukai, seperti memukul dengan tangan atau dengan tongkat
kecil”.58 M. Quraish Shihab juga senada dengan pendapat para ulama di atas,
beliau mengatakan: Memukul di sini pukulan yang tidak menyakitkan agar
tidak mencederainya namun menunjukkan sikap tegas.59 Betapapun kalau ayat
ini dipahami sebagai izin memukul istri, maka harus dikaitkan dengan hadits-
hadits Rasulullah saw yang mensyaratkan tidak menciderainya (istri), tidak
juga pukulan itu ditujukan kepada kalangan yang menilai pemukulan sebagai
suatu penghinaan atau tindakan yang tidak terhormat. Agaknya untuk masa
kini, dan dikalangan keluarga terpelajar, pemukulan bukan lagi satu cara yang
tepat. Karena itu dalam tulisan Muhammad Thahir Ibnu ‘Asyur, berpendapat:
“Pemerintah jika mengetahui bahwa suami tidak dapat menempatkan sanksi-
sanksi agama ini di tempat yang semestinya dan tidak mengetahui batas-batas
yang wajar, maka dibenarkan bagi pemerintah untuk menghentikan sanksi ini
dan mengumumkan bahwa siapa yang memukul istrinya, maka dia akan
dijatuhi hukuman. Ini agar tidak berkembang luas tindakan-tindakan yang
merugikan istri, khususnya di kalangan mereka yang tidak memiliki moral”.60

55
Ibrahim, Penafsiran Kalimat Wadhribuhunna Dalam QS. An-Nisa> (4): 34 dan
Implementasinya, http://pustaka.abatasa.co.id/pustaka/detail/hikmah/allsub/917/nusyuz--
durhaka-.html, hlm: 53, diakses pada Kamis, 25 Juni, 2015 pukul: 15.42 wib
56
Ali Ash-Shabuni, Qabas Min Nurul Al-Qur’a>n, terj. Kathur Suhardi (Jakarta:
Pustaka Al-Kautsar), 2000, hlm: 199-200
57
Imam Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir Al-Manar… hlm: 60
58
Ahmad Mustofa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi Juz 5… hlm: 45
59
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, vol. 2… hlm: 423
60
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah vol.2… hlm: 434

15
Sabda Rasulullah saw:
َ ‫ص لَّى اللَّهُ َعلَْي ِه َو َس لَّ َم َف َق‬
‫ال َذِئْر َن‬ ِ ِ ‫ض ِربوا ِإم اء اللَّ ِه فَج اء ُعم ر ِإلَى رس‬
َ ‫ول اللَّه‬ َُ َُ َ َ
ِ
َ َ ُ ْ َ‫صلَّى اللَّهُ َعلَْيه َو َسلَّ َم اَل ت‬
ِ ُ ‫ال رس‬
َ ‫ول اللَّه‬ ُ َ َ َ‫ق‬
ِ ِ ِ ِ ِ ‫آل رس‬ َ ‫َّص ِفي‬ ِ
َ ‫ص لَّى اللَّهُ َعلَْي ه َو َس لَّ َم ن َس اءٌ َكث ٌير يَ ْش ُكو َن َأ ْز َو‬
‫اج ُه َّن‬ َ ‫ول اللَّه‬ ُ َ ِ ِ‫اف ب‬ َ َ‫ض ْربِ ِه َّن فََأط‬ َ ‫ِّساءُ َعلَى َأ ْز َواج ِه َّن َف َرخ‬ َ ‫الن‬
.‫ك بِ ِخيَا ِر ُك ْم‬َ ‫س ُأولَِئ‬ ِ ٍِ َ َ‫صلَّى اللَّهُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم لََق ْد ط‬
ِ ِ‫اف ب‬
َ ‫آل ُم َح َّمد ن َساءٌ َكث ٌير يَ ْش ُكو َن َأ ْز َو‬
َ ‫اج ُه َّن ل َْي‬ َ ‫ال النَّبِ ُّي‬
َ ‫َف َق‬
“Rasulullah saw bersabda: "Janganlah kalian memukul hamba-hamba wanita
Allah (yakni, istri-istri kalian)!" Kemudian Umar datang kepada Rasulullah
saw dan berkata; para wanita berani kepada suami-suami mereka. Kemudian
beliau memberikan keringanan untuk memukul meraka. Kemudian terdapat
banyak wanita yang mengelilingi keluarga Rasulullah saw, mereka
mengeluhkan para suami mereka. Kemudian Nabi saw bersabda: "Sungguh
telah terdapat wanita banyak yang mengelilingi keluarga Muhammad dan
mengeluhkan para suami mereka. Mereka bukanlah orang pilihan (terbaik)
diantara kalian”.61
Terdapat penjelasan yang menarik dari Rasyid Ridha, yaitu
penolakannya terhadap anggapan orang bahwa Islam menindas kaum perempuan
karena adanya perintah pemukulan ini. Ia menggariskan bahwa pemukulan
dilakukan sebagai langkah terakhir jika langkah-langkah sebelumnya tidak
berhasil, dan itupun harus dalam batas tidak menyakitkan. Lebih lanjut ia
menyatakan: “jangan membayangkan kaum perempuan Islam itu lemah dan
kurus yang dagingnya disobek-sobek oleh cemeti suaminya.” Untuk itu, ia
mengutip hadis Rasulullah SAW; “Apakah salah satu diantara kalian akan
memukul istrinya seperti halnya memukul budak lalu menyetubuhinya di malam
hari?”. Menurut Rasyid Ridha pemukulan adalah obat pahit (‘ilaj murr).62
Imam Ash-Shabuni dalam tafsirnya menjelaskan bahwa sekalipun
memukul ini dibolehkan namun para ulama sepakat bahwa tidak memukul itu
lebih baik, sebab Rasulullah saw bersabda:
‫م‬Tْ ‫ب ِخيَا ُر ُك‬
َ ‫َولَ ْن يَضْ ِر‬
“Orang-orang baik kamu tidak akan memukul” 63

Bagaimanapun keadaannya, Islam telah membuat batas-batas bagi


tindakan ini, yang tidak boleh dilanggar apabila sasaran telah tercapai pada salah
satu tahab. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka jangablah kamu mencari-
cari jalan untuk menyusahkannya.
Sasaran yang berupa ketaatan-itulah yang menjadi tujuan, yaitu ketaatan yang
positif, bukan ketaatan karena tekanan. Karena ketaatan semacam ini tidak layak
untuk membangun organisasi rumah tangga yang merupakan basis jamaah
(masyarakat). Nash ini mengisyaratkan bahwa melakukan tindakan-tindakan itu
setelah terwujudnya ketaatan istri kepada suami adalah perbuatan aniaya dan
melampai batas.64 Imam Atha’ berpendapat sebagaimana yang dikutip oleh M.
Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Mishbah, bahwa suami tidak boleh memukul
istrinya, paling tinggi hanya memarahinya. Ibn Arabi mengomentari pendapat
61
Abu Dawud, Mukhtashar Sunan Abi Dawud terj. Bey Arifin (Semarang: Asy-Syifa,
1992) hlm: 63
62
Imam Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir Al-Manar… hlm: 60
63
Muhammad Ali Ash-Shabuni, Tafsir Ayat-Ayat Ahkam Ash-Shabuni..., hlm: 410
64
Sayyid Qutub¸ Tafsir Fi Zhilal al-Qur’an… hlm: 246

16
Atha’ itu dengan berkata, “Pemahamannya itu berdasarkan adanya kecaman
Nabi saw kepada suami yang memukul istrinya”. Sejumlah ulama sependapat
dengan pendapat Atha’ dan menolak atau memahami secara metafora hadis-
hadis yang membolehkan suami memukul istrinya.65

F. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN


Realitas subordinat yang diinformasikan dalam QS. Al-Nisa:34 tersebut
banyak dipahami sebagai legalitas untuk melakukan kekerasan terhadap istri
apabila istri tidak taat kepada suami, akibat tidak adanya batasan yang tidak
jelas. Jika dilihat sejarahnya, tentu kita akan memahami mengapa Allah Swt
menurunkan ayat ini. Kondisi masyarakat Arab ketika ayat ini turun, mereka
sangat tidak memanusiakan perempuan. Jangankan hanya dipukul,
perempuan pada waktu itu hanya dianggap seperti benda yang bisa dijual
belikan, diwariskan dan bahkan bisa dibunuh sesuai dengan keinginan para
kaum laki-laki.
Pendekatan paling relevan yang digunakan untuk kajian Al-Qur’an,
terutama terkait dengan ayat-ayat yang berhubungan dengan perempuan, adalah
kajian kontekstual. Kajian ini memperhatikan secara cermat aspek konteks turunnya
ayat dengan tetap memperhatikan konteks saat al-Qur’an dipahami pada masa
sekarang ini. Karena pada hakekatnya, al-Qur’an diturunkan dalam rangka merespon
kondisi sosial masyarakat Arab saat itu. Jika kita melihat Asbabun nuzul ayat ini,
yakni Habibah melakukan nusyuz (pembangkangan) terhadap suaminya, lalu
suaminya menamparnya dan Habibah mengadukan perlakuan suaminya kepada
Nabi, maka Nabi memerintahkan untuk memberlakukan Qishash kepada suaminya,
namun Allah menurunkan ayat ini. Karenanya pemukulan dalam ayat ini jangan
diartikan sebagai anjuran kepada suami untuk melakukan kekerasan terhadap
istri, sebab hal tersebut sangatlah bertentangan dengan tujuan agama Islam
sebagai agama yang rahmatan lil ‘alamin. Al-Qur’an menganjurkan untuk
memperlakukan perempuan dengan cara yang baik. Seperti dalam QS. Al-
Baqarah 2: 19   Artinya: “Dan bergaullah dengan
mereka secara patut”.
Dalam masalah perbuatan nusyuz minimal dua alasan mengapa
batasan-batasan kewenangan suami perlu untuk didiskripsikan sacara jelas.
Pertama, hal ini penting agar kemungkinan terjadinya kesewenang-wenangan
suami dalam memperlakukan istri yang nusyuz dapat dicegah. Kedua, untuk
menghindari adanya klaim saling tuduh-menuduh antara suami-istri tentang
siapa yang sebenarnya sedang melakukan nusyuz, sebab tanpa adanya aturan
yang jelas tentang batas-batas kewenangan suami, maka perlakuan suami
terhadap isterinya secara kasar dan dinilai melampaui batas, dengan
memukul, mencela dan mempergauli secara tidak baik, tidak memberikan
hak-hak istri seperti nafkah dan lain sebagainya. Semuanya itu pun dapat
dikaitakan sebagai betuk sikap nusyuznya suami, dalam hal ini istri berhak

65
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran…
hlm: 433

17
mendapatkan perlindungan hukum sekaligus suami harus dikenakan tindakan
secara hukum pula.
Terdapat beberapa parameter yang dapat digunakan dalam menentukan
batasan-batasan suami dalam memperlakukan istri yang nusyuz. Hal ini
menyangkut: a. Prinsip-prinsip dasar pola relasi suami-isteri menurut Islam
dalam kehidupan rumah tangga secara umum. b. Subtansi perbuatan nusyuz itu
sendiri sebagai sebuah perbuatan hukum yang harus dilihat dari segi
kualitatatif maupun kuantitatif serta motifasi yang melatar belakanginya.66

1. Prinsip Dasar Pola Relasi Suami-Istri

Bardasarkan kajian terhadap al-Qur’an dan as-Sunnah sebagaimana


diungkapkan oleh Khoiruddin Nasution terdapat minimal 5 prinsip
perkawinan menyangkut pula di dalamnya adalah mengenai relasi suami-
istri, yaitu: Prinsip musyawarah., prinsip terwujudnya rasa aman, nyaman dan
tentram, prinsip anti kekerasan dan prinsip bahwa relasi suami-isteri adalah
sebagai patner prinsip keadilan.67
Dalam perundang-undangan perkawinan Indonesia juga dapat
ditemukan beberapa prinsip dasar menyangkut relasi suami-isteri:
a. Prinsip kebersamaan, dalam arti keduanya sama-sama berkewajiban dalam
menegakkan rumah tangga.
b. Prinsip musyawarah dalam menyelesaikan persoalan rumah tangga.
c. Keduanya berkedudukan secara seimbang dalam kehidupan rumah tangga
dan pergaulan dalam masyarakat.
d. Mempunyai hak sama di depan hukum.
e. Prinsip saling cinta, hormat-menghormati dan saling membantu.
Sebagai implementasi prinsip-prinsip di atas, dalam menyikapi
persoalan nusyuz harus mempertimbangkan dua hal: pertama, keadilan.
Artinya ketika istri nusyuz mereka harus dipahami tidak hanya pada sisi
ketidakpatuhannya saja, tetapi harus dipahami secara menyeluruh,
misalnya bagaimana perlakuan suami terhadap istrinya, apakah hak-hak
istri sudah dipenuhi suami atau belum. Kedua, prinsip mu’asyarah bil
ma’ruf. Artinya masing-masing harus tetap mempergauli secara baik, tidak
terkecuali dalam menyikapi salah satu pasangan yang sedang nusyuz.68
2. Subtansi Hukum Perbuatan Nusyuz
Dalam menyikapi istri nusyuz, yang terpenting juga adalah harus
dapat melihat persoalan tersebut secara subtantif, artinya, melihat
persoalan itu sebagai suatu permasalahan hukum yang harus memiliki
unsur-unsur tertentu untuk bisa disebut sebagai perbuatan hukum yang

66
Samsul Josh, Hak-hak Suami Atas Istri Nusyuz dan Batasan-Batasannya,
xhttp://syamsuljosh.blogspot.co.id/2012/06/normal-0-false-false-false.html-
emplate.blogspot.com. Kamis, 10 September 2015, pukul: 21.32 wib.
67
Khoiruddin Nasution, Islam: Tentang Relasi Suami Istri, (Yogyakarta: Academia
Tazzafa) 2004, hlm: 53
68
Samsul Josh, Hak-hak Suami Atas Istri Nusyuz dan Batasan-Batasannya,
xhttp://syamsuljosh.blogspot.co.id/2012/06/normal-0-false-false-false.html-
emplate.blogspot.com. Kamis, 10 September 2015, pukul: 21.32 wib

18
dalam hal ini harus memenuhi tiga unsur: 1. Unsur formil, yaitu adanya
undang-undang atau nash yang mengatur hal itu. 2. Unsur matriil. yaitu
adanya sifat melawan hukum dengan berbuat atau tidak berbuat sesuatu. 3.
unsur moril, yaitu pelakunya dapat dimintai pertanggung jawaban secara
hukum.
Seorang suami yang memilih untuk memukul istri dalam rangka
mendidiknya, maka harus memenuhi syarat dan batasan-batasan sebagai
berikut:
a. Alasan Pemukulan
Pemukulan baru dapat dilakukan jika sang istri memang benar-benar
melanggar syari’at yang mengakibatkan ternodainya rumah tangga dan
terancamnya kehormatan suami. Misalnya istri sampai melakukan
perbuatan keji berupa perselingkuhan. Pukulan harus sesuai dengan
kesalahan yang dilakukan istri, kesalahan yang ringan dan tidak terus-
terusan tidaklah menjadikan istri berhak untuk dipukul.

b. Waktu Pemukulan
Pemukulan boleh dilakukan jika kedua langkah sebelumnya telah
dilakukan namun istri masih tetap dengan pembangkangannya. Nasehat
merupakan langkah pertama yang harus diberikan suami kepada
istrinya69 dan jika tidak berhasil maka suami diperintahkan untuk
menghajr (memisahkan tempat tidur) dan jika masih tidak berhasil,
barulah pemukulan boleh dilakukan.
Pemukulan tidak boleh dilakukan dihadapan anak-anak, karena hal
tersebut dapat menjadikan anak-anak berani terhadap ibunya atau
timbul hal-hal yang lain yang merupakan penyakit psikologi pada anak-
anak

c. Alat Yang Digunakan Untuk Memukul


Sebelum memukul istri, suami hendaknya mencari alat yang tidak
menimbulkan bahaya pada tubuh istri. Dalam hal ini, mazhab Hanafi
menganjurkan penggunaan alat berupa sepuluh lidi atau kurang dari itu,
atau dengan alat yang tidak sampai melukai. Hamka dalam tafsir Al-
Azhar mengutip pendapat ahli Fikih, menyatakan: Pukul saja dengan
tangan yang diselubungi saputangan, jangan dengan cambuk dan jangan
dengan tongkat.
d. Bagian Tubuh Yang Tidak Boleh Dipukul
Menurut Muhammad Ali Ash-Shabuni ahli tafsir dan Wahbah Az-
Zuhaili, ahli Fikih kontemporer, ketika melakukan pemukulan harus
dihindari:
1) Bagian muka karena muka adalah bagian tubuh yang paling
terhormat
2) Bagian perut dan bagian tubuh lainnya yang dapat menyebabkan
kematian

69
Syahrizal Abbas, Mediasi Dalam Hukum Syariah, Hukum Adat dan Hukum
Nasional… hlm: 191

19
Memukul hanya pada satu tempat karena akan menambah rasa sakit dan
akan memperbesar kemungkinan timbulnya bahaya.70

e. Etika Pemukulan
Dalam hal pemukulan para mufassir sepakat bahwa pemukulan yang
dibenarkan adalah pemukulan harus dalam batas ‫ح‬ ٍ ‫رْ بًا َغ ْي َر ُمبَ ِّر‬TTT‫ض‬
َ ,
pemukulan tidak boleh sampai menyakiti, tidak mematahkan tulang,
tidak sampai merusak anggota tubuh, dan tidak sampai mengeluarkan
darah. Intinya pemukulan tidak boleh dilakukan sampai dapat
membahayakan tubuh istri.

f. Tujuan Pemukulan
Dalam konteks tersebut jelas bahwa pemukulan yang diperbolehkan
dalam al-Qur’an bukanlah sebuah tindak kekerasan terhadap istri.
Kekerasan bertetangan dengan tujuan pemberlakuan syariat karena pada
hakekatnya diperbolehkan pemukulan terhadap istri bukan didasari
pada sifat emosional dan mengarah pada penganiayaan atau menyakiti,
tetapi lebih kepada pembelajaran untuk mengarahkan istri ke jalan yang
diridhai Allah swt, serta dapat terciptanya kedamaian serta kerukunan
dalam rumah tangga sehingga keluarga yang sakinah, mawaddah wa
rahmah dapat tercapai.
G. Pemahaman Masyarakat tentang Nusyuz
1. Bagi tokoh masyarakat mereka cukup memahami nusyuz suami isteri
dalam terhadap Islam walaupun tidak secara detail, sedangkan masyarakat
pada umumnya tidak terlalu memahami tentang istilah nusyuz, karena
tidak popular bagi mereka. Sementara bagi Pelaku dan korban pemukulan,
mereka tidak kenal istilah nusyuz, mereka mengenal istilah
pembangkangan dan ketidak patuhan.
2. Bagi pemuka masyarakat dan masyarakat umumnya tidak terlalu
memahami kebolehan suami memukul isteri yang nusyuz berdasarkan ayat
Q.S: al-nisa':34, mereka hanya memahami bahwa dalam ajaran agama ada
kebolehan memukul isteri yang melakukan pembangkangan atau tidak
taat. Mereka tidak memahami aturan ataupun cara yang diperbolehkan
memukul isteri yang nusyuz berdasarkan ayat al-Qur'an. Demikian juga
dengan pelaku dan korban, mereka tidak paham hal yang demikian.
3. Tidak ada relevansi antara kekerasan atau pemukulan terhadap isteri
dengan pemahaman ayar Q.S: al-nisa':34:, karena kekerasan tersebut
terjadi dengan sendirinya karena factor ego, kurangnya pengetahuan dan
pemahaman ajaran agama, rendahnya pendidika dan budaya atau tradisi
yang telah mengakan akan pemahaman bahwa laki-laki adalah memiliki
kuasa dan kekuatan dalam rumah tangga.
A. Saran
Diharapkan pada para penyuluh, mubaligh, penceramah, ustadz dan juga kiai
untuk menyampaikan dan memberikan pemahaman tentang nusyuz dengan
70
Abdul Aziz Dahlan, ENSIKLOPEDI Hukum Islam (Jakarta: Ichtiar Baru Van
Hoeve), 2006, hlm: 1354-1355

20
lebih gencar, mendalam dan juga komprehensip dan berimbang. Diharapkan
pada pelaku ataupun masyarakat untuk tidak mudah melakukan pemukulan,
sebab dalam Islam kalau pasangan melakukan perbuatan nusyuz tidak boleh
langsung memukul kepada yang melakukan kesalahan.

DAFTAR PUSTAKA
Al Qur’an al Karim

KHI (Kompilasi Hukum Islam )

Khairuddin Nasution, Hukum Perkawinan dan Kewarisan di Dunia Muslim


Modren, (Yogyakarta; ACAdeMIA, 2012),

Abu al Husain Muslim Ibn al Hajaj al Qusyairi, Shohih Muslim, (Semarang :


Toha Putra, tth), Juj 1

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar bahasa Indonesia,


(Jakarata; Balai Pustaka. 1988),

W.J.S Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai


Pustaka, 1985),

. Bisri Mustofa dan Elisa Vindi Maharani, Kamus Lengkap Sosiologi,


(Jogjakarta; Panji Pustaka, 2008),

Undang-undang Nomor 10 Tahun 1992 tentang kependudukan dan Keluarga

Undang-undang No 1 Tahun 1974

21
Talib Setiady, ”Intisari Hukum Adat Indonesia: dalam kajian Kepustakaan.
(Bandung: Cv ALFABETA, 2013),.

Soerojo Wignjodipoero, Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat, (Jakarta:


Rajawali, 1988),

Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia:menurut perundangan,


hukum adat dan hukum agama,(Bandung:Cv Mandar Maju, 2007)

Departemen Pendidikan dan Kebuadayaan., Sending Delapan dan Undang-


undang adat Lembaga Raja Melayu

Hoesin, Ki Agues, Koempoelan Oendang-oendang Adat Lembaga Dari


Sembilan Onderrafdeelingen (Palembang. Sriwijaya Media Utama 1938),

Ahmad Tholabi Kharlie, Hukum Keluarga Indonesia, (Jakarta, Pt Sinar


Grafika 2013),

Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional P d K, Tata Kelakuan di lingkungan


Keluarga

. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, (Jakarta, Logos Wacana Ilmu, 1997),.

Musthafa Ahmad al Zarqa’, al Maqdal ‘ala al Fiqhi al ‘Am , (Beirut; Darul


Fikr, 1968), Jil 3,

Jalaluddin Abdurahman, Ghayah Ushul ad Daqa’Iq Ilm al Ushul, (Mesir;


Darul Kutub, 1992),

Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh (Mesir; Dar al Fikr al Arabi, 1958),

Abdul Wahab Khalaf, Mashadir al Tasyri’ Fi ma la Nashshah Fih, (Kuwait:


Dar al Qalam, 1983),

Amir Lutfi”, Hukum Perubahan Struktur Kekuasaan; pelaksanaan Hukum


Islam dalam kesultanan Melayu Siak, , (Pekan Baru; Suska Press, 1991),

Ed Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopidia Hukum Islam, (Jakarta: Pt Ikhtiar


Baru Van Hoev, 1999),

Mustafa Ahmad Zarqa’I, Al Madkhal al Fiqh al ‘Am al Addid, (Damasiq;


1978),

22
Muhammad Muslehuddin, Philosophy of Islamic Law and The Orientalis
A Camparativ Study of Islamic Legal System alih bahasa Wahyudi Asmin,
(Yogyakarta; Tiara Wacana, 1991),

Aziz Dahlan. Ensiklopidia Hukum Islam.

Al al Syatibi, al Muwafaqat fi Uhsul al Syari’ah ( Kairo: Mustafa


Muhammad, Tth) jil I,

Fathin al Duraini, al Manahij al Ushuliyyah bi al Ra’yi fi al Tasyri’,


(Damasyik: Dar al Kutub al Hadist, 1975),

Bushar Muhammad, Asas-asas Hukum Adat, suatu Pengantar,(Jakarta;


Pradnya Paramita, 1994),

Van Den Berg: “De Beginselen van het Mohammadaansche Recht,


volgens de Imams Aboe Hanifah en Syafi’i (Dasar-dasar hukum Islam menurut
Imam Hanafi dan Imam Syafi’i), (Batavia, Ernst en Co. S’Gravenhage, M.
Nijhorf, 1883).

Snouck Hurgronje: “ Verspreide geschriften van Snouck Hurgronje”


(Kumpulan karangan Snouck Hurgronje), (Bonn dan Lepzig, 1923) INIS
(Indonesia n-Netherlands Coorporation in Islamic Studies), (Jakarta; INIS, 1995).

Asro Sastroatmodjo dan A. Wasit Aulawi, Hukum perkawinan di


Indonesia, (Jakarta; Bulan Bintang, 1975),

Soepomo dan Djokosutono, Sejarah Politik Hukum Adat,(Jakarta;


Djambatan, 1995). jld II..

Mr. C.W. Margandant “Het Regeerings Reglament van nederlandsch-


Indie,” jilid pertama, , (Batavia, G., Kolff en Co. 1895).

Hazairin, Hukum Kekeluargaan Nasional, ( Jakarta; Tintamas 1986),

Hilam Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia menurut Perundang-


undangan, Hukum Adat, Hukum Agama, (Bnadung;, Mandar Maju, 1990),.

Djamanat Samosir, Hukum Adat Indonesia, Eksistensi dalam Dinamika


Perkembangan Hukum di Indonesia (Bandung, Pt Nuansa Aulia, 2013),

Talib Setiady, ”Intisari Hukum Adat Indonesia: dalam kajian


Kepustakaan. (Bandung: Cv ALFABETA, 2013),

Ahmad Sanusi, Pengantar Ilmu Hukum dan Pengantar Tata Hukum


Indonesia, (Bandung, Tarsito, 1084),

23
Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundang-
undangan, Hukum Adat dan hukum agama.(Badung; Pt Mandar, 2007),

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Kantor wilayah provinsi


Bengkulu, Sending Delapan dan Undang-undang adat Lembaga Raja Melayu
(Bengkulu, Diroktorat Jenderal Kebudayaan, Sejarah dan Nilai Tradisional, 1990)

Kamanto Sunartno, Pengantar Sosiologi.(Jakarta; F. Ekonomi UI, 2014),

Khairuddin Nasution, Pengantar dan Pemikiran Hukum Keluarga


(perdata) Islam Indonesia, (Yogyakarta; ACAdeMIA & TAZZAFA, 2010

Amir Syarifuddin, Pembaharuan Pemikiran Hukum Islam, (Padang:


Angkasa Raya, 1993),.

Hilman Hadikusuma, Hukum Kekerabatan Adat, (Jakarta: Fajar Agung,


1993),.
Khairuddin Nasutioan, Arah Pembangunan Hukum Keluarga Islam
Indonesia; Pendekatan Intergratif dan Interkonektif dalam Pembangunan
Keluarga Sakinah, ASY-SYIR’AH Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum, Vol. 46, No
1, Januari-Juni 2012

Fauzi Nurdin, Budaya Muakhi dan Pembangunan Daerah Menuju


Masyarakat Bermartabat (Jogjakarta: Gama Media, 2009

Soerjono Soekanto, Intisari Hukum Keluarga, (Bandung; Sitra Aditya


Bakti, 1992).,

Talib Setiadi, Intisari Hukum Adat dalam Kajian Kepustakaan (Bandung


Alpabeta, 2013),

Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia, Menurut


Perundangan, Hukum Adat, dan Hukum Agama, (Bandung; Mandar Maju, 2007),

Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Adat (Bandung; lumni, 1983),.

Soerojo Wingjodipuro, Pengantar dan Azas-Azas Hukum Adat (Jakarta:


Haji Masagung, 1989).,

Hazairin, Bab-bab Tentang Hukum Adat (Jakarta, Pradnya Paramiya, 1975),.

Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perdata Indonesia, (Jakarta; Rajawali,


1988),

24
Wahbah Az Zuhali, al Fiqh al Islamy wa Adilatuhu, (Jakarta; Gema Insani,
2011), jil, 9,

Muhammad Abu Zahrah, al Ahwal al Syakhsiyah, (Mesir; Daar al Fikr wa


al Araby, 1369) ,

Wahbah az Zuhaili, al Fiqh al Islamy Wa Adilatuhu ( Jakarta; Darul


Fikir(Gema Insani), 2011), jil, 9

Wahbah az Zuhaili, al Fiqh al Islamy Wa Adilatuhu ( Jakarta; Darul


Fikir(Gema Insani), 2011), jil, 9

Ibnu Rusyd al Qurtub al Andalusi, Bidayatul Mujtahid Wa Nihay al


Muaqtasid, (Mesir; Maktabah al Kulliyah al Azhariyyah, Tth), Jil II,

Muhmmad Ibn Ismail as San’ani, Subulus Salam, (Mesir Mustafa al babi al


Halabi wa Awladuh, 1950). Jil 3.

Abd al Hamid Hakim, Mu’in al Mibi, (Bukit Tinggi; Makatabah Nusantara,


1925),

Abu Daud dan Tirmidzi, Kitab an Nikah, Hadis 9 dan Muhmmad ibn Ismail
as San’ani, Subulus Salam, (Mesir Mustafa al babi al Halabi wa Awladuh, 1950).
Jil 3

Wahbah az Zuhaili, al Fiqh al Islamy waadilatuhu. (Jakarta; Gema Insani,


2011),

Muhmmad ibn Ismail as San’ani, Subulus Salam, (Mesir Mustafa al babi al


Halabi wa Awladuh, 1950). Jil 3,

Ibnu Rusyd al Qurtubi al Andalusi, Bidayatul Mujtahid wa an Nihayah al


Muqtasid.(Mesir; Maktabah al Kuliyah al Azhariyyah, TTh),

Khairuddin Nasution, Hukum Perkawinan I di lengkapi perbandingan UU


Negara Muslim Kontemporer ( Yogyakarta; ACAdeMIA+TAZZAFA, 2013), h.
43
‘Abd al Rahman bin Ali bin al Jawzi, al-ilal al Mutanabiyah (Beirut; Dar
al Kitab al ‘Ilmiyah, 1409),

Kharuddin Nasution, Hukum Perkawinan dan Kewarisan di Dunia


Muslim Modren, (Yogyakarta; ACA deMIA, 2012),

Abdurahman Aljaziri” Kitab al Fiqh a’la Mazhab al Ar Ba’ah (Daar al


Kutub al Islamiyah, Beirut. Th, 1990).

25
Wahbah az Zuhaili”al Fiqh al Islamy Wa Adilatuhu”(persi terjemahan)
( Darul Fikri,) Gema Insani jilid 9 Jakarta.

Ktab Shohih al Bukhari dan Muslim; Alita Aksa Media: Jakarta 2013. H
377
Zakaria Ahmad al Barri, Al Ahkam al Auwdad fi al Islam, (Mesir; Dar al
Qaumiyah li At Taba’ wa an Nasyr, 1964),

Sayyid Qutub, Fi Zilal al Qur’an, (Beirut: Dar al ‘Arabyah, Tth),

Abd al Wahab Khallaf, al Ushul al Fiqh, (Jakarta; DDII, 1974),

Abu Zahrah, Ushul al Fiqh, (Kairo, Dar al Fikr al Arabi, Tth),

Zakiah Darajat, Et al, Ilmu Fiqh, (Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1995),
Juz II,

Abdur Rahman al-ghazali, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2008),

Masdar Farud al-ma’udi, Hak-hak reproduksi Perempuan: Dialog Fikih


Pemberdayaan (Bandung:, Mizan, 1997),

Abdul Mannan, Problematika hadhanah dan hubungannya dengan Praktik


Hukum Acara di Pengadilan Agama, dalam mimbar Hukum, No. 49, th. 2000,.

Satria Effendi M. Zein, Problematika Hukum Keluarga Islam


Kontemporer: Analisis Yurisprudensi dengan Pendekatan Ushuliyah, ( Jakarta:
Prenada media Group, 2010),

Mahmud Syaltut, al Fatawa, (Kairo: Dar al qalam, Tth),

Masfuk Zuhdi, Masailul Fihqiyah, (Jakarta; Masagung, 1991),

26

Anda mungkin juga menyukai