Anda di halaman 1dari 22

BAB II

NUSYUZ DALAM PERSPEKTIF FIQIH MUNAKAHAT

A. Pengertian Nusyuz

Menurut terminologis, nusyuz mempunyai beberapa pengertian di antaranya: Menurut

fuqaha Hanafiyah seperti yang dikemukakan Saleh Ganim mendefinisikanya dengan

ketidaksenangan yang terjadi diantara suami-isteri. Ulama mazhab Maliki berpendapat bahwa

nusyuz adalah saling menganiaya suami isteri. Sedangkan menurut ulama Syafi’iyah nusyuz

adalah perselisihan diantara suami-isteri, sementara itu ulama Hambaliyah mendefinisikanya

dengan ketidak-senangan dari pihak isteri atau suami yang disertai dengan pergaulan yang tidak

harmonis. 1 Menurut etimologi berasal dari bahasa Arab yang diambil dari kata nasyaza-

yansyuzu-nusyuuzan yang berarti tinggi atau timbul ke permukaan. 2 Nusyuz juga berarti yaitu

perempuan yang durhaka kepada suaminya. 3

Sedangkan menurut istilah (syara’) adalah meninggalkan kewajiban suami isteri atau

sikap acuh tak acuh yang ditampilkan oleh sang suami atau isteri. Dalam bahasa arab ditegaskan

bahwa nusyuz dalam rumah tangga adalah sikap yang menunjukan kebencian seorang suami

kepada isterinya atau sebaliknya. Namun lazimnya nusyuz diartikan sebagai durhaka atau

kedurhakaan. 4

Adapun Ahmad Warson al-Munawwir dalam kamusnya memberi arti nusyuz dengan arti

sesuatu yang menonjol di dalam, atau dari suatu tempatnya. Dan jika konteksnya dikaitkan

1
Saleh bin Ganim al-Saldani, Nusyuz, alih bahasa A. Syaiuqi Qadri, cet. VI (Jakarta: Gema Insani Press,
2004), h. 25-26
2
Dudung Abdul Rohman, Mengembangkan Etika Berumah Tangga Menjaga Moralitas Bangsa Menurut
Pandangan Al-Quran. h. 93
3
Muhammad Idris Al-marbawi, Kamus Al-Marbawi, (Semarang : Al-Nasyr, 1995). h. 318
4
Dudung Abdul Rohman, Mengembangkan Etika Berumah Tangga …. h. 93
dengan hubugan suami-isteri maka ia mengartikan sebagai sikap isteri yang durhaka, menentang

dan membenci kepada suaminya. 5

Bagi sebagian ulama berpendapat bahwa nusyuz tidak sama dengan syiqaq, karena nusyuz

dilakukan oleh salah satu pasangan dari suami-isteri. Nusyuz berawal dari salah satu pihak, baik

dari isteri maupun suami bukan kedua-duanya secara bersama-sama, karena hal tersebut bukan

lagi merupakan nusyuz melainkan dikategorikan sebagai syiqaq. Begitu pula mereka

membedakan antara nusyuz dan i’radh.6

Menurut mereka, dengan memperbandingkan antara surat an-Nisa’ ayat 34 dengan ayat

128 dapat ditarik sebuah pemahaman bahwa pengertian kata nusyuz lebih menyeluruh dari pada

kata i’radh. Hal ini tentu saja dikarenakan kandungan arti kata nusyuz melingkupi seluruh jenis

perlakuan buruk dari suami dan isteri dalam hidup rumah tangga. Sedangkan i’radh hanya

sebatas beralihnya perhatian suami dari isterinya kepada sesuatu yang lain.

Nusyuz suami mengandung arti pendurhakaan suami kepada Allah karena meninggalkan

kewajibannya terhadap isterinya. Nusyuz suami terjadi apa bila ia tidak melaksanakan

kewajibannya terhadap isterinya baik meninggalkan secara materil maupun non materil.

Sedangkan nusyuz yang mengandung arti luas yaitu segala sesuatu yang dapat disebut menggauli

isterinya dengan cara buruk seperti berlaku kasar, menyakiti fisik dan mental isteri, tidak

5
Achmad Warson Munawwir, Al-Munawwir, (Yogyakarta: Pustaka Progresif, 1997), h. 1418.
6
I’radh ialah kurangnya perhatian seorang suami terhadap isterinya hingga tidak ada komunikasi dan
intraksi yang wajar sebagai pasangan hidup, atau menelantarkan isteri tanpa setatus, diperhatikan tidak, dicerai pun
tidak.(lihat, Saleh bin Ganim, nusyuz, hlm. 29).
melakukan hubungan badaniyah dalam jangka waktu tertentu yang sangat lama dan tindakan lain

yang bertentangan dengan asas pergaulan baik antara suami dan isteri. 7

Dari pengertian di atas, ternyata para ulama memiliki pandangan yang tidak jauh berbeda

antara satu dengan yang lainya. Dan sebagai kesimpulannya, disamping perbuatan nusyuz selain

dilakukan oleh seorang isteri, juga dilakukan oleh seorang suami sebagaimana yang digariskan

oleh ajaran agama.

Nusyuz adalah durhaka. Jadi, nusyuz suami adalah sikap suami yang telah meninggalkan

kewajiban-kewajibannya, bertindak keras kepada isteri, tidak menggaulinya dengan baik, tidak

pula memberikan nafkah dan bersikap acuh tak acuh kepada isteri.8

B. Dasar Hukum Nusyuz Suami

1. Al-Qur’an

Nusyuz tidak hanya dilakukan oleh seorang isteri terhadap suaminya akan tetapi suami

juga bisa melakukan nusyuz terhadap isterinya. Nusyuz mempunyai beberapa ihwal (keadaan)

yang tidak di terangkan Allah SWT dalam Al-Quran yaitu surat An-Nisa’ ayat 34 :

            

        

Artinya : “Perempuan-Perempuan yang kamu khawatirkan nusyuznya, Maka nasehatilah


mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka.
kemudian jika mereka mentaatimu, Maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk
menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar.” (QS. An-Nisa :
34)

7
Amir Syarifuddin, hukum perkawinan islam di indonesia; antara Fiqih munakahat dan Undang-undang
perkawinan, (Jakarta: Kencana, 2006), h. 193
8
M. Abdul Mujieb dkk, Kamus Istilah Fiqih, cet. Ke-1, (Jakrta : Pustaka Firdaus, 1994). h. 251
Didalam ayat 128 :

                  

             

Artinya : “Dan jika seorang Perempuan khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari
suaminya, Maka tidak mengapa bagi keduanya Mengadakan perdamaian yang
sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia
itu menurut tabiatnya kikir. dan jika kamu bergaul dengan isterimu secara baik dan
memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap tak acuh), Maka Sesungguhnya Allah
adalah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. An-Nisa : 128)
Kedua ayat tersebut di atas lazim disebut sebagai ayat-ayat nusyuz dalam beberapa kitab

fikih. Ayat-ayat nusyuz tersebut turun menurut sebagian pendapat para ahli fikih (fuqaha) adalah

dalam konteks masyarakat arab ketika itu yang terbiasa melakukan kekerasan terhadap

perempuan (istri). Pemukulan adalah bentuk kekerasan yang paling sering muncul pada masa itu.

Dengan demikian ayat-ayat tersebut turun dalam konteks melarang pemukulan terhadap istri dan

segala bentuk dalam kekerasan rumah tangga.

Ayat ini menerangkan bagaimana cara yang mesti dilakukan oleh suami istri. Apabila

istri merasa takut dan khawatir terhadap suaminya yang kurang mengindahkannya atau kurang

perhatian kepadanya atau mengacuhkannya. 9

2. Hadits

َ‫ ﺗ َﻄْﻌَﻤُ ﮭ َﺎ إذَا أﻛَﻠﺖ‬: ‫ ﻗﺎل‬: ِ‫ ﯾ َﺎرَ ﺳُﻮلَ ﷲ ِ ﻣَ ﺎﺣ ﱡﻖ زَ وجَ ا َﺣَ ﺪِﻧﺎ َ ﻋﻠﯿﮫ‬: ُ‫ ﻗ ُﻠْﺖ‬: َ‫ﻣُﻌَﺎوﯾ َﺔِ ﻋَﻦ أﺑ ِ ﯿْﮫِ ﻗ َﺎل‬
ِ ُ‫ﻋَﻦْ ﺣَ ﻜِ ﯿْﻢ اﺑْﻦ‬
‫َﻓﻰ ْاﻟﺒ َﯿْﺖِ )رواه اﺣﻤﺪ واﺑﻮ داود واﻟﻨﺴﺎئ واﺑﻦ‬ ِ ‫وﺗ َﻜ ُﺴﮭ َﺎ إذَا اﻛْ ﺘ َ َﺴﯿْﺖَ وﻻﺗ َﻀْ ﺮِبِ ا َﻟْﻮَ ﺟْ ﮫ َ وﻻﺗ ُ َﻘﺒﱢﺢْ وﻻﺗ َ ْﮭﺠُﺮَ إ ِﻻ‬
(‫ﻣﺎﺟﮫ وﻋﻠﻖ اﻟﺒﺨﺎري ﺑﻌﻀﮫ وﺻﺤﺤﮫ اﺑﻦ ﺣﺒﺎن واﻟﺤﺎﻛﻢ‬
Artinya : Dari hakim bin Mu’awiyah dari bapaknya, ia berkata : Saya bertanya : Ya Rasulullah
! Apa kewajiban seseorang dari kami terhadap isterinya? Rasulullah bersabda :
“Engkau beri makan dia apabila engkau makan, engkau beri pakaian kepadanya
apabila engkau berpakaian, jangan mukul mukanya, jangan engkau jelek-jelekan dia
dan jangan engkau jauhi (seketiduran) melainkan di dalam rumah. (Diriwayatkan

9
Abdul Halim Hasan Binjai, Tafsir Al-Ahkam, (Medan: Kencana Prenada Media Group, 1962) h.316
oleh Ahmad, Abu Daud, Nasa’i, Ibnu Majah dan Bukhori sebagiannya dan
dishohihkan oleh Ibnu Hibban dan Hakim).10
Berkata dan berlaku kasar kepada isteri seperti menghardik, menghina dan memukul

tanpa sebab sedangkan isteri taat dan tidak durhaka kepada suaminya juga dianggap sebagai

nusyuz. Berdasarkan nash-nash Al-Qur’an dan sunnah diatas maka jelaslah menunjukkan nusyuz

tidak hanya berlaku kepada isteri saja tetapi suami juga dapat dikategorikan nusyuz.

Nusyuz merupakan tindakan yang tidak memenuhi hak dan kewajiban oleh suami atau

isteri dalam berumah tangga. Hubungan antara suami dan isteri dalam rumah tangga bahwa

seorang suami mempunyai hak dan begitu pula dengan seorang isteri. Di balik itu suami

mempunyai beberapa kewajiban begitu pula dengan isteri. Adanya hak dan kewajiban antara

suami isteri dalam rumah tangga dapat dilihat dalam fiman Allah :

              

Artinya :“Dan Para Perempuan mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut
cara yang ma'ruf. akan tetapi Para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan
daripada isterinya. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”11

Ayat ini menjelaskan bahwa isteri mempunyai hak dan kewajiban. Kewajiban isteri

merupakan hak bagi suami. Hak isteri seperti hak suami yang diindikasikan dalam ayat ini

mengandung keserataan dan keseimbangan kedudukan hak dan kewajiban tersebut namun suami

memiliki kedudukan setingkat lebih tinggi, yaitu sebagai kepala keluarga.

Kemudian Allah berfirman, { ِ‫“ }وَ ﻟ َﮭُﻨ ﱠﻤِﺜ ُْﻼﻟ ﱠ ﺬِﯾﻌَﻠ َﯿْﮭِﻨ ﱠﺒ ِﺎﻟْﻤَ ْﻌﺮُوف‬Dan para wanita mempunyai hak

yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf “, maksudnya, para wanita

memiliki hak yang wajib atas suami-suami mereka sebagaimana para suami memiliki hak yang

10
Al-Hafidz Ahmad bin Ali bin Hajar Al-Asqalani, Bulughul Maram min Jami’i Adillatul Ahkam,
(Qahirah: Darul Hadits, 2003), Hadits ke- 955, h. 175
11
Q.S Al-Baqarrah : 228
wajib maupun yang sunnah atas mereka, dan patokan bagi hak-hak di antara suami istri adalah

pada yang ma’ruf yaitu menurut adat yang berlaku pada negeri tersebut dan pada masa itu dari

wanita yang setara untuk laki-laki yang setara, dan hal itu berbeda sesuai dengan perbedaan

waktu, tempat, kondisi, orang dan kebiasaan. Di sini terdapat dalil bahwa nafkah, pakaian,

pergaulan dan tempat tinggal, demikian juga berjima’, semua itu kembali kepada yang ma’ruf,

dan ini juga merupakan konsekuensi dari akad yang mutlak, adapun bila dengan syarat, maka

menurut syarat tersebut kecuali syarat yang menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang

halal.

{ ٌ ‫“ } وَ ﻟ ِﻠﺮﱢﺟَ ﺎﻟ ِﻌَﻠ َﯿْﮭِﻨ ﱠﺪَرَ ﺟَ ﺔ‬Akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan lebih daripada istrinya”,

artinya, ketinggian, kepemimpinan dan hak yang lebih atas dirinya, sebagaimana Allah

berfirman,

{34} … ْ‫ْﺾ وَ ﺑ ِﻤَ ﺂأ َﻧﻔ َﻘ ُﻮا ﻣِﻦْ أ َﻣْﻮَ اﻟ ِﮭِﻢ‬


ٍ ‫ﱠاﻣُﻮنَ ﻋَﻠ َﻰ اﻟﻨ ﱢﺴَﺂءِ ﺑ ِﻤَ ﺎ ﻓ َﻀﱠﻞَ ﷲ ُ ﺑ َﻌْﻀَ ﮭُﻢْ ﻋَﻠ َﻰ ﺑ َﻌ‬
‫اﻟﺮﱢ ﺟَ ﺎ ُل ﻗ َﻮ‬

Artinya :“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, karena Allah telah melebihkan
sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka
(laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka…” (An-Nisa': 34)

Perkataan “ dan wanita mempunyai hak sebanding dengan kewajiban mereka dengan cara

yang baik” itu, adalah omongan singkat (ijaz) dan indah (ibda’), yang sudah dikenal oleh ahli

ilmu Bayan, dengan dibuang yang pertama dengan qarinah kedua, dan dibuang yang kedua

dengan qarinah yang pertama. Yakni seolah – olah allah mengatakan : perempuan mempunyai

hak atas laki – laki, sebanding dengan hak laki – laki atas perempuan. Susunan seperti ini dalam

ilmu badi’ dinamakn ilmu “thibaq” (persesuaian) antara dua lafal “ lahunna” dan “ alaihinna”.12

Derajat yang dimaksud dalam ayat diatas, bukan derajat kemulyaan; tetapi derajat tanggung

12
Hamidy, Muammal dan Imron A.Manan. Terjemah Ayat Ahkam Ash – Shabuni. (Surabaya: Bina Ilmu,
2008), h. 226
jawab. Hal ini diperjelas dalam surat an-nisa’ yang mengatakan:laki laki adalah pengurus atas

perempuan.

Pengurus yang dimaksud ialah tentang penyantunan, pertanggungan jawab dan nafaqah.

Sedang untuk maslah kemulyaan, Allah telah menetapkan neraca tersendiri, yaitu taqwa dan

amal shaleh. Seperti firman Allah:

                  

   

Artinya : Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan
seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku
supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara
kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah
Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.(QS.hujarat:13)
Dalam Islam baik laki-laki maupun perempuan mempunyai derajat yang sama. Dan

dengan persamaan tersebut, laki-laki dan perempuan mempunyai hak yang sama dalam

menikmati hidup, termasuk memperoleh pendidikan, mengeluarkan pendapat, memperoleh

lapangan kerja, kesejahteraan, perlindungan hukum, dan sebagainya. Keduanya setara karena

amal perbuatan, intelektual, dan spiritualnya.

Nusyuznya suami ialah acuh terhadap istrinya, tidak mencintainya. 13 Seorang istri diberi

hak oleh Islam untuk mengobati nusyuz suaminya, namun tentunya ia tidak bisa menempuh cara

hajr atau pukulan sebagaimana hak ini diberikan kepada suami, karena perbedaan tabiat wanita

dengan laki-laki dan lemahnya kemampuan serta kekuatannya. Seorang istri yang cerdas akan

mampu menyabarkan dirinya guna mengembalikan suaminya sebagai suami yang baik

13
Agus Salim, Risalah Nikah Hukum Perkawinan Islam, Jakarta: Pustaka Amani, 1985, h. 160.
sebagaimana sedia kala, sebagai pasangan yang lembut penuh kasih sayang. Ketika mendapati

nusyuz suaminya ia bisa melakukan hal-hal berikut ini:

a. Mencurahkan segala upayanya untuk menyingkap rahasia di balik nusyuz suaminya.

Kenapa suamiku berbuat demikian? Apa yang terjadi dengannya? Ada apa dengan

diriku?

b. Menasehati suami dengan penuh santun, mengingatkannya terhadap apa yang Allah

wajibkan padanya berupa keharusan membaguskan pergaulan dengan istri dan

sebagainya.

c. Sepantasnya bagi istri untuk selalu mencari keridhaan suaminya dan berupaya mencari

jalan agar suaminya senang padanya. Maka ketika ia mendapati suaminya menjauh

darinya, ia bisa melakukan bimbingan Alquran:

“Dan apabila seorang istri khawatir akan nusyuz suaminya atau khawatir
suaminya akan berpaling darinya maka tidak ada keberatan atas keduanya untuk
mengadakan perbaikan/perdamaian dengan sebenar-benarnya.” (An-Nisa’: 128)
Al-Imam Ath-Thabari rahimahullah berkata bahwa istri yang khawatir suaminya berbuat

nusyuz atau berpaling darinya maka dibolehkan baginya untuk mengadakan perdamaian dengan

suaminya, dengan cara ia merelakan tidak dipenuhi hari gilirannya atau ia menggugurkan

sebagian haknya yang semestinya dipenuhi oleh suami dalam rangka mencari simpati dan rasa

ibanya, juga agar ia tetap dalam ikatan pernikahan dengan suaminya (tidak dicerai). Hal senada

juga dikatakan oleh Ibnu Qudamah rahimahullah. Ia berkata:

“Tidak apa-apa ia (istri) merelakan sebagian haknya dalam rangka mencari ridha
suaminya dan kapan saja istri mengadakan perdamaian dengan suaminya dengan cara
meninggalkan sesuatu dari hak gilirannya atau nafkahnya atau kedua-duanya, maka hal ini
dibolehkan.”14

14
Http://fadhlihsan.wordpress.com/2010/08/05/mengobati-istrisuami-yang-berbuat-nusyuz/
Sedangkaan Imam Al-Qurthubi mengatakan bahwa semua bentuk perdamaian itu

diperbolehkan, yaitu dalam bentuk suami memberikan sebagian hartanya dengan konsekwensi

istri harus bersabar, atau istri memberikan sebagian hartanya dengan konsekwensi suami harus

mengutamakannya, atau perdamaian ini terjadi dengan kesabaran atau pengutamaan dengan

tanpa memberi sesuatupun. 15

Dari pengertian nusyuz sebagaimana yang telah dijelaskan di atas yaitu sebagai sikap

pembangkanggan terhadap kewajiban-kewajiban dalam kehidupan perkawinan.16 sebenarnya

para ulama telah mencoba melakukan klasifikasi tentang bentuk-bentuk perubuatan nusyuz itu

sendiri.

Sebagaimana isteri, nusyuz suami pun dapat berupa ucapan, perbuatan atau juga dapat

berupa kedua-duanya sekaligus. Dan hal ini sebagaimana diuraikan secara rinci oleh Saleh bin

Ganim sebagai berikut:17

1. Mendiamkan isteri, tidak diajak bicara. Meskipun bicara tapi selalu menggunakan kata-

kata yang kasar dan menyakitkan.

2. Mencela dengan menyebut-nyebut keaiban jasmani atau jiwanya.

3. Berburuk sangka terhadap isteri, dan tidak mengajak isteri tidur bersama.

4. Menyuruh isteri melakukan maksiat dan melangar larangan Allah.

Sementara itu, bentuk nusyuz yang berupa perbuatan dapat berupa:

1. Tidak mengauli isterinya tanpa uzur atau sebab-sebab yang jelas.

15
Imam Al-Qurthubi, Tafsir Al-Qurthubi bagian 5(Terjemah Al-Jami’ Li Ahkami Al-Quran karya Imam Al-
Qyrthubi ), cet 1, Jakarta: Pustaka Azzam, 2008 h. 959
16
Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam, (Yogyakarta: UUI Press, 1995), h. 81.
17
Saleh bin Ganim, Nusyuz Saleh bin Ganim al-Saldani, Nusyuz, alih bahasa A. Syaiuqi Qadri, cet. VI
(Jakarta: Gema Insani Press, 2004)., h. 33-34.
2. Menganiaya isteri, baik dengan pukulan, hinaan, atau celaan dengan tujuan hendak

mencelakakan isteri.

3. Tidak memberi nafkah sandang, pangan dan lain-lain.

Hal ini banyak dibicarakan dalam fiqih imamiyah yaitu tentang pelanggaran terhadap

kewajiban nafkah yaitu tidak memberi nafkah dengan sengaja padahal ia tahu dan ia mampu

untuk menafkahi keluarganya. Hal ini sebagaimana yang tersirat dalam firman Allah SWT.

                      

     

Artinya :“Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. dan orang
yang disempitkan rezkinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan
Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan
sekedar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan
kelapangan sesudah kesempitan”( Qs. At-Thalaq : 7)

4. Menjahui isteri karena penyakit yang dideritanya.

5. Bersenggama dengn isteri melalui duburnya.

Dalam kehidupan rumah tangga, tidak selalu terjadi keharmonisan, meskipun jauh dari

sebelumnya, sewaktu melaksanakan perkawinan dikhutbahkan agar suami-isteri bisa saling

menjaga untuk dapat terciptanya kehidupan yang mawaddah warahmah diantara mereka. Akan

tetapi, dalam kenyataanya konflik dan kesalah-pahaman diantara mereka kerap kali terjadi

sehingga melunturkan semua yang diharapkan.

C. Faktor-faktor penyebab terjadinya Nusyuz suami

Sebab-sebab yang melatarbelakangi nusyuz suami ada 11 yaitu sebagai berikut :18

18
Muhammad Thalib, 20 perilaku durhaka suami terhadap isteri , cet Ke-1, (Bandung,: Irsyad Baitus
Salam, 1997), h. 33
1. Kurangnya pendidikan agama, sehingga suami tidak mengetahui hak dan kewajibannya

dalam berumah tangga.

2. Karena isteri lebih dari satu, sedangkan syarat-syaratnya tidak mencukupi dan suami

lebih condong kepada salah satu dari isterinya sehingga mengabaikan isterinya yang lain.

Sikap tidak adil suami kepada para istrinya (khusus pelaku poligami) yaitu suami yang

beristri 2 atau sampai 4 orang terkena kewajiban untuk berlaku adil kepada istrinya. Keadilan

yang dimaksud adalah memperlakukan sama dalam hal hal yang bersifat dhahir yaitu dalam

pemberian nafkah, pergaulan dan kebutuhan seksual. Sedangkan dalam hal cinta yang bersifat

bathin, suami tidaklah dituntut seperti halnya perlakuannya dalam urusan dhahir. Hal ini yang

tertuang dalam firman Allah SWT.

                 

      

Artinya :“Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat Berlaku adil di antara isteri-isteri(mu),
walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu
cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-
katung. dan jika kamu Mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari
kecurangan), Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang
(QS. An-Nisa :129)

3. Pihak ketiga, dalam hal ini pihak ketiga yang dimaksud adalah adanya Perempuan

idaman lain suami selain isteri. Suami tertarik kepada perempuan lain sehingga ia lupa

kepada isteri dan keluarganya.

4. Cemburu yang berlebihan, apabila kecemburuan tidak dikelola dengan baik maka akan

menimbulkan permusuhan antara suami dan isteri.

5. Suami seorang yang pemalas yang tidak mau memikul tanggung jawab sebagai kepala

keluarga, jika isteri bekerja untuk menyediakan kebutuhan ekonomi keluarga bukan
berarti suami bebas secara penuh atas nafkah yang menjadi yang menjadi tanggung

jawabnya terhadap keluarga.

6. Rasa bosan, hal ini akan muncul dalam sebuah hubungan jika tidak didasarkan atas cinta

yang dalam dan mulai timbul rasa jenuh.

7. Karena suami menganggap isterinya tersebut tidak lagi menarik atau sudah tua atau sakit-

sakitan dan tidak dapat memenuhi seleranya, sehingga suami enggan untuk memenuhi

kebutuhan isterinya.

8. Tidak tertarik lagi kepada isterinya karena isterinya kurang memeperhatikan perawatan

fisik.

9. Emosi yang tidak stabil karena tekanan di luar keluarga.

10. Kesal atas perlakuan isteri yang dirasakan tidak menyenangkan dirinya.

11. Karena pengaruh kebiasaannya yang buruk dalam pergaulan di luar rumah tangga

misalnya kebiasaan main judi, minum-minuman keras, dan melakukan ahklak buruk

lainnya.

D. Kewajiban Suami Terhadap Isteri

Kewajiban suami terhadap isteri telah diatur sedemikian rupa dalam Kompilasi Hukum Islam

yaitu pasal 80 telah dinyatakan bahwa :

1) Suami adalah pembimbing, terhadap isteri dan rumah tangganya, akan tetap

mengenai hal-hal urusan rumah tangga yang penting-penting diputuskan oleh sumai

isteri bersama.

2) Suami wajib melidungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup

berumah tangga sesuai dengan kemampuannya.


3) Suami wajib memberikan pendidikan agama kepada isterinya dan memberi

kesempatan belajar pengetahuan yang berguna dan bermanfaat bagi agama, nusa dan

bangsa.

4) Sesuai dengan penghasilannya suami menanggung :

a) Nafkah, kiswah dan tempat kediaman bagi isteri.

b) Biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan bagi isteri dan anak.

c) Biaya pendididkan bagi anak.

5) Kewajiban suami terhadap isterinya seperti tersebut pada ayat (4) huruf a dan b di

atas mulai berlaku sesudah ada tamkin sempurna dari isterinya.

6) Isteri dapat membebaskan suaminya dari kewajiban terhadap dirinya sebagaimana

tersebut pada ayat (4) huruf a dan b.

7) Kewajiban suami sebagaimana dimaksud ayat (5) gugur apabila isteri nusyuz. 19

Selanjutnya dalam pasal 81 Kompilasi Hukum Islam mengatur tentang kewajiban suami untuk

menyediakan tempat tinggal dan kediaman bagi isterinya yaitu :

a) Suami wajib menyediakan tempat kediaman bagi isteri dan anak-anaknya atau bekas

isteri yang masih dalam iddah.

b) Tempat kediaman adalah tempat tinggal yang layak untuk isteri selama dalam ikatan

perkawinan, atau dalam iddah talak atau iddah wafat.

c) Tempat kediaman disediakan untuk melindungi isteri dan anak-anaknya dari gangguan

pihak lain, sehingga mereka merasa aman dan tenteram. Tempat kediaman juga

berfungsi sebagai tempat, menyimpan harta kekayaan, sebagai tempat menata dan

mengatur alat-alat rumah tangga.

19
Kompilasi Hukum Islam, Pasal 80. h, 29
d) Suami wajib melengkapi tempat kediaman sesuai dengan kemampuannya serta

disesuaikan dengan keadaan lingkungan tempat tinggalnya, baik berupa alat

perlengkapan rumah tanggal maupun sarana penunjang lainnya.

1. Kewajiban suami menurut Hukum Islam

Kewajiban suami terhadap isteri menurut hukum Islam terbagi menjadi 2 bagian, yaitu

berupa kewajiban materi dan non materi. Kewajiban materi lazim disebut dengan nafkah yang

lahiriah (yang berwujud) sedangkan kewajiban non materi lazim disebut juga dengan nafkah

batiniah (yang tersembunyi). “Nafkah dalam konteks dalam istilah fiqih mempunyai dua makna

yaitu nafkah yang bersifat materi seperti : makanan, pakaian, tempat tinggal, dan nafkah yang

bersifat non materi sepaerti kasih sayang dan penyaluran hasrat biologis. 20

a. Memberikan Nafkah Materi

Nafkah merupakan kewajiban suami terhadap isteri. Nafkah menurut etimologi berasal

dari bahasa arab yang diambil dari kata nafaqoh bentuk jamaknya nafaqoh yang berarti barang

yang dibelanjakan, menafkahkan rejeki dan belanja buat hidup. Nafkah juga bisa berarti biaya

belanja dan pengurangan uang.21 Kamus Besar Bahasa Indonesia menjelaskan bahwa yang

dimaksud dengan nafkah ialah belanja untuk hidup kepada isterinya, bekal hidup sehari-hari,

rejeki. 22

Ulama berbeda pendapat tentang kapan munculnya kewajiban nafkah bagi suami

terhadap isteri, sebagian ulama berpendapat munculnya kewajiban nafkah bagi suami terhadap

isteri adalah setelah adanya akad nikah. Sayyid sabiq lebih mempertegas lagi penyebab

munculnya kewajiban nafkah bagi suami terhadap isteri, antara lain :

20
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah Jilid 3, (Jakarta : Pena Pundi Aksara, 2006). h. 55
21
Ahmad Warson Munawwir, Kamus Al-Munawwar Arab-Indonesia Terlengkap, (Surabaya : Pustaka
Progressif, 1997). h. 1548.
22
Kamus Besar Bahasa Indonesia, h. 770
1. Setelah adanya akad nikah yang sah.

2. Isteri menyerahkan dirinya kepada suami

3. Suami dapat menikmati dirinya

4. Isteri tidak menolak bila diajak suami (selamatidak bermaksud merugikan ister)

5. Keduanya dapat saling menikmati (kehidupan rumah tangga)

b. Memberikan nafkah non materi

Pada uraian sebelumnya telah disebutkan bahwa nafkah terbagi menjadi 2 jenis, yaitu

nafkah yang bersifat materi dan non materi. Nafkah yang bersifat materi antara lain berupa

makanan, pakaian, uang belanja, tempat tinggal, obat-obatan dan lainnya yang berwujud,

sedangkan nafkah yang bersifat non materi adalah nafkah yang bersifat batiniyah termasuk

sebagai hak-hak non materi isteri seperti yang dibahas pada bab sebelumnya, yaitu :

1. Mempraktikan Kasih Sayang.

Perempuan merupakan sumber kasih sayang dan perwujudan perasaan secara total.

Kehidupannya selalu dipenuhi dengan kecintaan dan ketergantungan. Karenanya,ia selalu

menginginkan orang lain mencintai dirinya. Apabila dirasakan bahwa seseorang mencintainya ia

pasti akan berbahagia.

2. Menghormati isteri.

Setiap isteri berharap akan lebih dihormati suaminya dari pada orang lain. Harapannya ini

jelas dibenarkan. Sebab, suami adalah teman hidup penghibur terbaik bagi hatinya. Karena

sepanjang hari dirinya bekerja dan berbuat demi kesenangan anak-anak suami. Menghormati

isteri pada dasarnya tidak akan mengurangi kewibawaan suami, bahkan sebaliknya dapat

mengukuhkan kesetiaan dan kecintaan isteri sekaligus tanda terima kasih.


3. Berakhlak baik.

Kewajiban lain suami terhadap isteri adalah mempergauli isteri dengan akhlak sebaik-

baiknya dalam kehidupan sehari-hari baik dalam lisan maupun perbuatan, termasuk pergaulan di

atas ranjang ketika menyalurkan hasrat biologisnya.23 Allah SWT berfirman :

                  

                

 

Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai Perempuan
dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak
mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali
bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata. dan bergaullah dengan mereka
secara patut. kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena
mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, Padahal Allah menjadikan padanya kebaikan
yang banyak.” (QS. An-Nisa’ : 19 )
4. Menyetubuhi isteri.

Dalam hadits shahih ditegaskan bahwa suami yang menyetubuhi isterinya itu termasuk

perbuatan sedekah dan mendapat pahala dari Allah. Dan disunnahkan bercumbu rayu, saling

bersenda gurau, merayu, mencium dan suami mestilah menahan ejakulasi sehingga isteri juga

merasakan kepuasan (orgasme).

5. Menjaga dan mendidik isteri dengan baik.

Fungsi suami sebagai imam dalam mendidik dan menjaga isterinya akan sangat diharapkan

kebijaksanaannya dan sikap adilnya dalam memutuskan setiap persoalan terutama masalah

konflik yang terjadi antara isteri dengan ibu mertua yang lazim terjadi di tengah-tengah

23
Hasan Langgulung, Dasar-Dasar Pendidikan Islam, (Jakarta : Al-Husna, 1988). h. 42
masyarakat. Satu hal yang dapat mengusik ketentraman dari lingkungan keluarga, bahkan

menyebabkan terjadinya perceraian adalah campur tangan ibu dari pihak suami ( ibu mertua)

yang serba berlebihan dalam uruasan intern keluarga anaknya.

2. Nusyuz Suami Menurut Hukum Perkawinan Islam

Pada intinya nusyuz suami terjadi bila ia tidak melaksanakan kewajibannya terhadap

isterinya, baik meninggalkan kewajiban yang bersifat materi atau nafaqah dan atau

meninggalkan kewajiban yang bersifat non materi diantaranya, Mu’asyarah bil ma’ruf atau

menggauli isterinya dengan baik sebagaimana yang kewajiban suami yang telah d uraikan di

atas.

Islam benar-benar melarang terjadinya kekerasan, jangankan terhadap isteri sendiri

kepada orang lain pun dilarang untuk melakukan kekerasan. Secara konseptual Islam

mengajarkan untuk berbuat baik kepada isteri. Perkawinan sebagai lembaga yang mengikat

suami dan isteri dengan tujuan untuk mendatangkan sakinah, mawaddah, dan warahmah. Untuk

tujuan itu Al-Qur’an mengajarkan suami berkewajiban untuk mendidik isteri di dalam rumah

tangga. Salah satu bentuk pendidikan tersebut adalah seperti yang tertuang dalam Al-Qur’an

dalam surat An-Nisa’ ayat 34 yaitu memberi nasihat, memisahkan ranjang dan memukul dengan

tidak menyakiti. Lebih lanjut Allah mengunci permasalahan di atas dengan kata bahwa apabila

isteri kembali baik, maka hendaklah kamu tidak berlebihan. Ayat ini melarang terjadinya

kekerasan terhadap isteri dan jika terjadi penganiyaan isteri diperbolehkan mengajukan gugatan

ke pengadilan
Permasalahan apapun yang terjadi dan berkembang dewasa ini maka tidak bisa tidak,

harus dikembalikan kepada Al-Qur’an dan Hadits sebagaimana yang tertuang dalam Al-Qur’an.

Allah SWT berfirman :

                  

           

Artinya : Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri
di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka
kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-
benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama
(bagimu) dan lebih baik akibatnya. (QS. An-Nisa’ : 59)
Demikian juga halnya dengan permasalahan kekerasan yang dilakukan oleh suami

terhadap isterinya. Apabila merujuk kepada Al-Qur’an yang mengandung asas-asas atau prinsip-

prinsip dasar yang tidak akan berubah-ubah diantaranya :

a) Prinsip persamaan hak.

Yang tertuang dalam Al-Qur’an :

                  

   

Artinya : “Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan
seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku
supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara
kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah
Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS Al-Hujarat : 13)
b) Prinsip keadilan.

Yang tertuang dalam Al-Qur’an :


                   

          

Artinya “ Dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan
yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah Perempuan-Perempuan
(lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan
dapat Berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu
miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.” (QS. An-
Nisa’ : 3)
c) Prinsip kepatutan atau berprilaku yang wajar.

             

Artinya : “Dan bergaullah dengan mereka secara patut. kemudian bila kamu tidak menyukai
mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, Padahal
Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (QS. An-Nisa’ : 19 )

E. Akibat Hukum Nusyuz Suami

Di dalam melanggengkan hubungan suami isteri diperlukan adanya kesepahaman dan

kesrataan dalam menjalankan roda rumah tangga melalui rambu-rambu “hak dan kewajiban

suami isteri”, tanpa harus ada yang menjadi superioritas di satu tetapi muncul subordinasi di

pihak lain. 24 Maka ketika suami melalaikan kewajibannya dan isterinya berulangkali

mengingatkannya namun tetap tidak ada perubahan, seperti yang terdapat dalam Al-Qur’an surah

An-Nisa’:128 menganjurkan perdamaian dimana isteri diminta untuk lebih bersabar menghadapi

suaminya dan merelakan hak-haknya dikurangi untuk sementara waktu. Namun jika jalan

perdamaian tidak berhasil maka dapat diambil jalan cerai, baik cerai talaq yang akan dilakukan

suami atau cerai gugat yang dilakukan oleh pihak isteri.

24
Anik farida dkk, Perempuan Dalam Sistim Perkawinan Dan Perceraian di Berbagai Komunitas Adat,
(Jakarta : Balai Penelitian dan Pengembangan Agama, 2007), h. 18
Dalam hal akibat hukum bagi nusyuznya suami maka tidak ada ketentuan yang secara

jelas mengatur tentang kewenangan atau hak isteri dalam menindak suaminya tersebut.

Walaupun seorang isteri memiliki kewenangan untuk ikut menanggulangi kekeliruan dan

penyelewengan yang dilakukan suami, hal itu sebatas tanggung jawabnya sebagai seorang isteri.

Seorang isteri tidak dibenarkan menjalankan atau menerapkan metode pengacuhan atau

pemukulan seperti yang dilakukan suami kepadanya saat ia nusyuz, hal ini disebabkan oleh

karena adanya perbedaan qodrat antara laki-laki dan Perempuan, serta lemahnya isteri untuk

dapat menanggulangi suami. 25

Seorang isteri dalam menyikapi nusyuznya suami hendaknya berusaha sekuat tenaga

untuk menasihati suaminya akan tanggung jawabnya atas isteri dan anak-anaknya. Hal ini tentu

saja ia lakukan dengan cara musyawarah secara damai dengan tutur kata lembut dan halus. Tidak

lupa ia juga harus mengintropeksi diri atas segala kemungkinan dirinya sebagai pemicu

suaminya dalam melakukan penyimpangan tersebut.26

Apabila dengan jalan musyawarah tidak tercapai perdamaian juga, maka menurut imam

Malik sebagaimana dikutip oleh Nurjannah Ismail isteri boleh mengadukan suaminya kepada

hakim (pengadilan). Hakimlah yang akan memberikan nasihat kepada sang suami. Apabila tidak

dapat dinasihati, hakim dapat melarang sang isteri untuk taat kepada sang suami, tetapi suami

tetap wajib memberi nafkah. Hakim juga membolehkan sang isteri untuk pisah ranjang, bahkan

tidak kembali ke rumah suaminya. Jika dengan cara demikian pun, sang suami belum sadar juga,

maka hakim dapat menjatuhkan hukuman pukulan kepada sang suami. Setelah pelaksanaan

hukuman tersebut, sang suami belum juga memperbaiki diri, maka hakim boleh memutuskan

25
Saleh Ganim, Nusyuz, Saleh bin Ganim al-Saldani, Nusyuz, alih bahasa A. Syaiuqi Qadri, cet. VI
(Jakarta: Gema Insani Press, 2004) hlm. 60.
26
Saleh Ganim, Nusyuz., hlm. 61.
perceraian dintara keduanya jika isteri menginginkannya. Pendapat imam Malik ini seimbang

dengan sikap yang harus diambil atau ditempuh oleh suami saat menghadapi isteri nusyuz,

sebagaimana dijelaskan dalam surat an-nisa’ Ayat 34, bedanya dalam kasus nusyuznya suami ini

yang bertindak adalah hakim. 27

Begitu pula akibat hukum yang berupa perceraian, hal ini dimungkinkan jika kedua belah

pihak sudah tidak mungkin untuk berdamai lagi, hal ini juga sesuai dengan ketentuan yang ada

dalam Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang hukum perkawinan pada Pasal 39 Ayat (2)

jo. Inpres Nomor 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam dalam Pasal 116 huru f.

Berikut ini adalah Akibat dari nusyuz suami :28

1. Terlantarnya isteri dan anak

2. Retaknya hubungan suami isteri atau terjadinya ketegangan diantara mereka karena isteri

selalu merasa tertekan.

3. Isteri dapat mengajukan gugatan cerai

Ketika suami nusyuz dan akibatnya isteri meminta cerai maka terjadilah khulu’.

Syarat sah terjadi khulu’ adalah adanya sesuatu yang diserahkan kepada suami dari

benda-benda yang layak untuk diberikan yang berasal dari pemberian suami sebagai

pihak yang berhak menjatuhkan talak. Akan tetapi seorang suami tidak boleh

memberikan suatu tekanan kepada isteri.

27
Nurjannah, Perempuan Dalam Pasungan; Bias Laki-laki Dalam Penafsiran, cet. I, (Yogyakarta: LkiS,
2003), h. 279.

28
Muhammad Thalib, 20 perilaku durhaka suami terhadap isteri ,cet. Ke-1, (Bandung: Irsyad Baitus
Salam, 1997). h. 39
4. Hilangnya hak untuk mendapatkan tebusan atau kompensasi

Haram hukumnya menyakiti isteri supaya isteri minta khulu’. Suami diharamkan

menahan dan menghalangi sebagian dari hak-hak isterinya dengan cara menyakiti hatinya

supaya isteri tersebut minta lepas dan menebus dirinya dengan khulu’. Suami yang

melakukan hal tersebut akan dikutuk dan dilaknat oleh Allah SWT. 29 Hal ini

sebagaimana Firman Allah :

                  

                

 

Artinya : Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai Perempuan
dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak
mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali
bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata. Dan bergaullah dengan mereka
secara patut. kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena
mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, Padahal Allah menjadikan padanya kebaikan
yang banyak. (QS. An-Nisa’ : 19)

29
Anik farida dkk, Perempuan Dalam Sistim Perkawinan Dan Perceraian di Berbagai Komunitas Adat, h.
24

Anda mungkin juga menyukai