Peran Perempuan Dalam Bidang Sosial
Peran Perempuan Dalam Bidang Sosial
Para mufasir berbeda pendapat tentang makna ayat tersebut. Al-Qurthubi (w.
671 H), salah seorang mufasir yang bercorak hukum, memberi penjelasan: “Makna
ayat tersebut adalah perintah untuk menetap di rumah walaupun redaksi ini
ditunjukkan kepada istri-istri Nabi SWA, tetap selain dari mereka juga tercakup
dalam perintah tersebut.”1 Mufasir ini kemudian menambahkan bahwa agama
dipenuhi oleh tuntutan agar perempuan-perempuan tinggal di rumah dan tidak keluar
rumah kecuali karena darurat.
Pendapat lebih moderat disampaikan oleh Ibnu Katsir (w. 774 H). Dalam
pandangannya ayat tersebut merupakan larangan bagi perempuan khususnya istri
Nabi SAW dan perempuan muslimah lainnya untuk keluar rumah jika tidak ada
kebutuhan yang dibenarkan agama, salat di masjid umpamanya. 2 Dari kelompok
mufasir kontemporer yang berpandangan seperti di atas diantaranya Wahbah az-
Zuhaili yang menyatakan: “Hendaklah perempuan tetap tinggal di rumah, jangan
sering keluar rumah tanpa ada keperluan yang dibolehkan agama”.3
Dari pandangan para ulama di atas ada dua hal yang perlu digarisbawahi
menyangkut sebab perbedaan tersebut: pertama, menyangkut makna kebahasaan dari
kata waqarna. Kedua, di antara izin keluar rumah karena alasan darurat, atau ada
keperluan yang dibenarkan agama atau keperluan apa saja? (apa batasannya).
Kata waqarna dalam ayat di atas oleh para mufasir diperselisihkan akar
katanya. Sementara ulama berpendapat bahwa kata tersebut berasal dari kata qarna
(dibaca fathah pada huruf qaf) seperti yang dibaca oleh Imam ‘Ashim berasal dari
kata iqrirna yang mengandung arti “tinggallah dan beradalah di tempat”. Sementara
ada yang membaca qirna (kasrah pada huruf qaf) yang berasal dari kata qarar yang
berarti “berada di tempat”.8 ‘Abdullah Yusuf ‘Ali menerjemahkan kata tersebut
dengan “stay quietly in your houses”.9 Kata stay oleh AS Hornby dalam kamus
Oxford diberikan arti sebagai “remain, continiously in place or condition (for long or
short time, permanently or temporarily)”.10 Terlepas dari pendapat-pendapat tersebut
Al-Qur’an banyak menggunakan term ini, dengan segala derivasinya terulang
sebanyak 38 kali yang secara umum mengandung arti “tempat” atau “tempat
tinggal”. Di antaranya: kalimat Fi Qararin makin dalam Surah al-Mu’minun/23: 13,
juga kalimat fabi’sal-Qarar dalam Surah Shad/38: 60. Terlepas dari bacaan dan akar
kata yang memang berbeda, maka menjadi jelas kalau kemudian para mufasir
berbeda pendapat dalam memahami ayat tersebut. Dari dua pendapat yang ada
terlihat sama kuatnya. Namun untuk menentukan satu argumen kebahasaan saja
rasanya belum cukup dan inilah yang semestinya dilacak. Dari penelusuran terhadap
sejarah didapati praktik hidup kaum perempuan pada masa Rasulullah SAW, ternyata
banyak yang terlibat dalam aktivitas-aktivitas sosial, bahkan Imam al-Bukhari secara
khusus menuliskan bab tentang beberapa aktivitas sosial kaum perempuan. (secara
khusus akan dibahas dalam bab tersendiri).
Dari realitas sosial tersebut dapat ditarik kesimpulan sementara bahwa ayat
tersebut kurang tepat kalau dijadikan alasan untuk membatasi kiprah kaum
perempuan dalam aktivitas sosial di luar rumah. Secara lugas M. Quraish Shihab
menyatakan, sungguh aneh pendapat ini! Apakah perempuan harus dihukum
sehingga harus terus-menerus berada di rumah dan tidak keluar kecuali adanya
darurat atau kebutuhan yang mendesak? Tidakkah mereka –yang mengharuskan
perempuan tinggal di rumah- tidakkah mereka membaca bahwa keberadaan di rumah
secara terus-menerus dinilai Al-Qur’an sebagai suatu hukuman. Lihat Surah an-
Nisa’/4: 15, yang di dalamnya Allah menetapkan hukuman bagi perempuan yang
berzina untuk menetap di rumah tidak keluar sama sekali sehingga ia wafat atau
diberi jalan keluar lain, yakni adanya ketetapan hukum baru atau dia memperoleh
suami. Jika demikian halnya wajarkah perempuan yang tidak bersalah dijatuhi
hukuman agar terus-menerus tinggal di rumah?11
Ayat 33 Surah al-Ahzab/33 tersebut lebih tepat seperti pandangan sementara
mufasir yang sebagian telah dikutip di atas bahwa tugas utama seorang istri dalam
kehidupan rumah tangga yang diajarkan oleh Al-Qur’an adalah fokus pada urusan
domestik rumah tangga, sementara suami diwajibkan oleh agama untuk memberikan
nafkah kepada keluarga sehingga dia lebih fokus kepada tugas utamanya tersebut.
Jadi masalah utamanya bukan tetap tinggal di rumah atau keluar rumah, tetapi
pelaksanaan akan tugas utama masing-masing tersebut. Ada sementara istri yang
tidak bekerja bahkan mungkin banyak tinggal di rumah tetapi realitasnya mereka
juga tidak fokus dengan rumah tangganya. Di sisi lain banyak istri yang aktif di luar,
namun tetap dapat fokus menjalankan peran utamanya tersebut. Tentu hal ini juga
membutuhkan manajemen waktu yang cerdas, sehingga bukan hanya kualitas
komunikasi yang dipentingkan, tetapi juga mempertimbangkan kuantitas. Karena
sebaik apapun kualitas hubungan sebuah keluarga kalau kuantitasnya minim juga
tidak ideal, sebaliknya kuantitas pertemuannya banyak tetapi tidak berkualitas juga
tidak baik. (Sekadar ilustrasi; makanan yang baik dan bergizi tetapi jumlahnya
sedikit maka tidak akan ada artinya bagi kesehatan tubuh, sebaliknya jumlah
makanannya banyak tetapi tidak bermutu bahkan mungkin sudah kadaluwarsa ini
tentu akan membahayakan kesehatan tubuh).
Dari uraian di atas cukup jelas bahwa Al-Qur’an tidak melarang sama sekali
perempuan untuk keluar rumah. Yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah untuk
hal apa saja perempuan diizinkan beraktifitas di luar tugas pokoknya? Apakah
termasuk untuk bekerja dalam rangka mencari nafkah? Inilah yang akan di bahas
dalam uraian di bawah ini.
Kata shalih yang kadang juga diartikan dengan “baik” terambil dari akar kata
shaluha yang dalam beberapa kamus bahasa Al-Qur’an dijelaskan maknanya sebagai
antonim dari kata fasid, yang berarti “rusak”.15 Sehingga kata shalih diartikan sebagai
“bermanfaat dan sesuai”. Dari sinilah amal saleh dapat diartikan sebagai aktivitas
yang apabila dilakukan, maka suatu kerusakan akan terhenti atau menjadi tiada; atau
dapat juga diartikan sebagai suatu aktivitas yang dengan dilakukannya memperoleh
manfaat dan kesesuaian.16 Seorang yang saleh adalah yang segala aktivitasnya
mengakibatkan terhindarnya mudarat, atau yang pekerjaannya memberi manfaat
kepada pihak-pihak lain.
Kriteria yang menjadkan sebuah aktifitas itu dikatakan shalih tidak dijelaskan
oleh Al-Qur’an sehingga para mufasir berbeda pendapat. Az-Zamakhsyari
mengartikan amal yang saleh adalah “segala perbuatan yang sesuai dengan dalil akal,
Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah SAW.19 Sementara Muhammad ‘Abduh
mendefinisikan amal saleh sebagai “segala perbuatan yang berguna bagi pribadi,
keluarga, kelompok, dan manusia secara keseluruhan”.20
2. Tugas manusia sebagai khalifah Allah di bumi akan sukses kalau memiliki ilmu
pengetahuan.
Hal ini ditegaskan dalam Surah al-Baqarah/2: 30-31:
Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, "Aku hendak menjadikan
khalifah di bumi”. Mereka berkata, "Apakah Engkau hendak menjadikan orang yang
merusak dan menumpahkan darah di sana, sedangkan kami bertasbih memuji-Mu dan
mensucikan nama-Mu?" Dia berfirman, "Sungguh aku mengetahui apa yang tidak kamu
ketahui”. Dan Dia ajarkan kepada Adam nama-nama (benda) semuanya, kemudian Dia
perlihatkan kepada para malaikat, seraya berfirman, "Sebutkanlah kepada-Ku nama semua
benda ini, jika kamu yang benar!" (al-Baqarah/2: 30-31)
Dari ayat di atas tampak jelas bahwa untuk suksesnya tugas kekhalifahan
manusia –dan ini bukan hanya monopoli kaum laki-laki melainkan kaum perempuan
pun mendapat tugas sebagai khalifah- di muka bumi, maka Allah SWT
menganugerahkan kepada manusia potensi untuk dapat mengetahui dan memahami
segala sesuatu yang bermanfaat bagi kehidupannya. Dari rangkaian ayat di atas juga
terlihat bahwa dengan kemampuan untuk memahami dan mengetahui itulah sumber
dan cara mendapatkan ilmu pengetahuan, menjadikan manusia memiliki kelebihan
dibandingkan malaikat.
Pada ayat 31, pengajaran yang diterima oleh manusia pertama tersebut, yaitu
Adam dari Allah SWT adalah tentang nama-nama benda. Hal ini menjadi pelajaran
bahwa pengetahuan dasar yang harus didapatkan oleh manusia adalah tentang nama-
nama benda bukan kata kerja. Maka hal pertama yang harus kita ajarkan kepada
anak-anak kita yang masih kecil (balita) semestinya adalah nama-nama benda
misalnya memperkenalkan ayah, ibu, kemudian nama-nama benda di sekelilingnya
dan lain-lain. Peran ini banyak dilakukan oleh seorang perempuan yang menjadi ibu,
karena biasanya ketika anak-anak masih kecil seorang ibu secara naluriah sangat
ingin selalu bersama anaknya. Apabila ilmu yang dimiliki untuk mendidik anaknya
tidak memadai, maka dapat dibayangkan generasi seperti apa yang nantinya
dihasilkan. Di sinilah pentingnya seorang perempuan terlebih yang menjadi ibu untuk
terus menuntut ilmu.
Penggalan ayat 31 yang berbunyi: “Dan mengajarkan kepada Adam nama-
nama (benda-benda) seluruhnya,” juga mengandung arti bahwa salah satu
keistimewaan manusia adalah kemampuannya mengekspresikan apa yang terlintas
dalam benaknya serta kemampuannya menangkap bahasa sehingga ini mengantarnya
pada mengetahui. Di sisi lain kemampuan manusia merumuskan ide dan memberikan
nama bagi segala sesuatu merupakan langkah menuju terciptanya manusia yang
berpengetahuan dan lahirnya ilmu pengetahuan.
3. Muslim dan muslimah yang baik tidak pernah berhenti untuk menambah ilmu
Ajaran ini tertuang dalam Surah Thaha/20: 114:
Ya Tuhanku, tambahkanlah ilmu kepadaku. (Thaha/20: 114)
Inilah salah satu doa yang harus dipanjatkan oleh seorang muslim/muslimah
yang diajarkan oleh Al-Qur’an. Bahwa memohon kepada Allah SWT agar
ditambahkan ilmu pengetahuan adalah bagian dari kebutuhan hidup. Dari ayat ini
juga dapat dipetik pelajaran bahwa Al-Qur’an mengajarkan menuntut ilmu adalah
salah satu bentuk ibadah yang bernilai tinggi dan harus dilakukan oleh setiap
muslim/muslimah sepanjang hidupnya. Kalau pada masa modern dikenal istilah
pendidikan seumur hidup (long live education), maka Islam sejak awal menekankan
kepada umatnya untuk terus menambah ilmu pengetahuan.
Etos untuk terus menambah ilmu pengetahuan dapat diterjemahkan bahwa
yang disebut belajar atau menuntut ilmu bukan hanya pada usia tertentu atau dalam
formalitas satuan pendidikan tertentu, apalagi hanya untuk jenis tertentu, melainkan
sepanjang hayat masih dikandung badan maka kewajiban untuk terus menuntut ilmu
tetap melekat dalam diri setiap muslim. Salah satu hikmahnya adalah bahwa
kehidupan terus mengalami perubahan dan perkembangan menuju kemajuan, maka
kalau seorang muslim tidak terus menambah pengetahuannya jelas akan tertinggal
oleh perkembangan zaman yang pada gilirannya tidak dapat memberikan konstribusi
bagi kehidupan. Al-Qur’an jelas membedakan antara orang yang berpengetahuan
dengan orang yang tidak berpengetahuan. Hal ini dijelaskan dalam Surah
az-Zumar/39: 9:
(Apakah kamu orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah orang yang beribadah pada
waktu malam dengan sujud dan berdiri, karena takut kepada (azab) akhirat dan
mengharapkan rahmat Tuhannya? Katakanlah: "Apakah sama orang-orang yang
mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?" Sebenarnya hanya orang yang
berakal sehat yang dapat menerima pelajaran. (az-Zumar/39: 9)
Ayat tersebut jelas menegaskan bahwa tentu berbeda antara orang yang
berpengetahuan dengan yang tidak memiliki pengetahuan. Yang dimaksud
pengetahuan dalam ayat ini adalah pengetahuan yang membawa manfaat bagi
kehidupannya di dunia dan akhirat. Maka, bagi yang tidak memiliki pengetahuan
jelas nilainya akan jauh berbeda dengan orang yang memiliki pengetahuan. Hal
inilah yang juga diisyaratkan dalm poin berikut: