Anda di halaman 1dari 13

ORAL SEX ATAU SEX MENURUT ISLAM DALAM HADIS

ini saya dapatkan dari website yang menuangkan akan hadis atau hukum oral sex serta sex suami
istri karena Islam adalah agama fitrah yang sangat memperhatikan masalah seksualitas karena ini
adalah kebutuhan setiap manusia, sebagaimana
firman Allah SWT, ”Isteri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, Maka
datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki. dan kerjakanlah
(amal yang baik) untuk dirimu, dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa kamu kelak
akan menemui-Nya. dan berilah kabar gembira orang-orang yang beriman.” (QS. Al Baqoroh :
223)
Ayat diatas menunjukkan betapa islam memandang seks sebagai sesuatu yang moderat
sebagaimana karakteristik dari islam itu sendiri. Ia tidaklah dilepas begitu saja sehingga manusia
bisa berbuat sebebas-bebasnya dan juga tidak diperketat sedemikian rupa sehingga menjadi suatu
pekerjaan yang membosankan.
Hubungan seks yang baik dan benar, yang tidak melanggar syariat selain merupakan puncak
keharmonisan suami istri serta penguat perasaan cinta dan kasih sayang diantara mereka berdua
maka ia juga termasuk suatu ibadah disisi Allah swt, sebagaimana sabda Rasulullah saw,”..dan
bersetubuh dengan istri juga sedekah. Mereka bertanya,’Wahai Rasulullah, apakah jika diantara
kami menyalurkan hasrat biologisnya (bersetubuh) juga mendapat pahala?’ Beliau
menjawab,’Bukankah jika ia menyalurkan pada yang haram itu berdosa?, maka demikian pula
apabila ia menyalurkan pada yang halal, maka ia juga akan mendapatkan pahala.” (HR. Muslim)
Diantara variasi seksual yang sering dibicarakan para seksolog adalah oral seks, yaitu adanya
kontak seksual antara kemaluan dan mulut (lidah) pasangannya. Tentunya ada bermacam-macam
oral seks ini, dari mulai menyentuh, mencium hingga menelan kemaluan pasangannya kedalam
mulutnya.
Hal yang tidak bisa dihindari ketika seorang ingin melakukan oral seks terhadap pasangannya
adalah melihat dan menyentuh kemaluan pasangannya. Dalam hal ini para ulama dari madzhab
yang empat bersepakat diperbolehkan bagi suami untuk melihat seluruh tubuh istrinya hingga
kemaluannya karena kemaluan adalah pusat kenikmatan. Akan tetapi setiap dari mereka berdua
dimakruhkan melihat kemaluan pasangannya terlebih lagi bagian dalamnya tanpa suatu
keperluan, sebagaimana diriwayatkan dari Aisyah yang mengatakan,”Aku tidak pernah melihat
kemaluannya saw dan beliau saw tidak pernah memperlihatkannya kepadaku.” (al Fiqhul Islami
wa Adillatuhu juz IV hal 2650)
Seorang suami berhak menikmati istrinya, khususnya bagaimana dia menikmati berjima’
dengannya dan seluruh bagian tubuh istrinya dengan suatu kenikmatan atau menguasai tubuh dan
jiwanya yang menjadi haknya untuk dinikmati maka telah terjadi perbedaan pendapat diantara
para ulama kami, karena tujuan dari berjima’ tidaklah sampai kecuali dengan hal yang demikian.
(Bada’iush Shona’i juz VI hal 157 – 159, Maktabah Syamilah)
Setiap pasangan suami istri yang diikat dengan pernikahan yang sah didalam berjima’
diperbolehkan untuk saling melihat setiap bagian dari tubuh pasangannya hingga kemaluannya.
Adapun hadits yang menyebutkan bahwa siapa yang melihat kemaluan (istrinya) akan menjadi
buta adalah hadits munkar tidak ada landasannya. (asy Syarhul Kabir Lisy Syeikh ad Durdir juz
II hal 215, Maktabah Syamilah)
Dibolehkan bagi setiap pasangan suami istri untuk saling melihat seluruh tubuh dari pasangannya
serta menyentuhnya hingga kemaluannya sebagaimana diriwayatkan dari Bahz bin Hakim dari
ayahnya dari kakeknya berkata,” Aku bertanya,’Wahai Rasulullah aurat-aurat kami mana yang
tutup dan mana yang kami biarkan? Beliau bersabda,’Jagalah aurat kamu kecuali terhadap
istrimu dan budak perempuanmu.” (HR. tirmidzi, dia berkata,”Ini hadits Hasan Shohih.”) Karena
kemaluan boleh untuk dinikmati maka ia boleh pula dilihat dan disentuhnya seperti bagian tubuh
yang lainnya.
Dan dimakruhkan untuk melihat kemaluannya sebagaimana hadits yang diriwayatkan Aisyah
yang berkata,”Aku tidak pernah melihat kemaluan Rasulullah saw.” (HR. Ibnu Majah) dalam
lafazh yang lain, Aisyah menyebutkan : Aku tidak melihat kemaluan Rasulullah saw dan beliau
saw tidak memperlihatkannya kepadaku.”
Didalam riwayat Ja’far bin Muhammad tentang perempuan yang duduk dihadapan suaminya, di
dalam rumahnya dengan menampakkan auratnya yang hanya mengenakan pakaian tipis, Imam
Ahmad mengatakan,”Tidak mengapa.” (al Mughni juz XV hal 79, maktabah Syamilah)
Oral seks yang merupakan bagian dari suatu aktivitas seksual ini, menurut Prof DR Ali Al
Jumu’ah dan Dr Sabri Abdur Rauf (Ahli Fiqih Univ Al Azhar) boleh dilakukan oleh pasangan
suami istri selama hal itu memang dibutuhkan untuk menghadirkan kepuasan mereka berdua
dalam berhubungan. Terlebih lagi jika hanya dengan itu ia merasakan kepuasan ketimbang ia
terjatuh didalam perzinahan.
Meskipun banyak seksolog yang menempatkan oral seks ini kedalam kategori permainan seks
yang aman berbeda dengan anal seks selama betul-betul dijamin kebersihan dan kesehatannya,
baik mulut ataupun kemaluannya. Akan tetapi kemungkinan untuk terjangkitnya berbagai
penyakit manakala tidak ekstra hati-hati didalam menjaga kebersihannya sangatlah besar.
Hal itu dikarenakan yang keluar dari kemaluan adalah madzi dan mani. Madzi adalah cairan
berwarna putih dan halus yang keluar dari kemaluan ketika adanya ketegangan syahwat,
hukumnya najis. Sedangkan mani adalah cairan kental memancar yang keluar dari kemaluan
ketika syahwatnya memuncak, hukumnya menurut para ulama madzhab Hanafi dan Maliki
adalah najis sedangkan menurut para ulama Syafi’i dan Hambali adalah suci.
Mufti Saudi Arabia bagian Selatan, Asy-Syaikh Al`Allamah Ahmad bin Yahya An-Najmi
berpenapat bahwa isapan istri terhadap kemaluan suaminya (oral seks) adalah haram dikarenakan
kemaluannya itu bisa memancarkan cairan (madzi). Para ulama telah bersepakat bahwa madzi
adalah najis. Jika ia masuk kedalam mulutnya dan tertelan sampai ke perut maka akan dapat
menyebabkan penyakit.
Adapun Syeikh Yusuf al Qaradhawi memberikan fatwa bahwa oral seks selama tidak menelan
madzi yang keluar dari kemaluan pasangannya maka ia adalah makruh dikarenakan hal yang
demikian adalah salah satu bentuk kezhaliman (diluar kewajaran dalam berhubungan).

Hukum Oral Sex (Mastrubasi) dalam tinjauan Islam (oleh ;


Dosen fak. ush & syari'ah STAID Martapura )
Dalam kamus bahasa Arab, kata “istimna” atau “Jildu” dan “Umairah” berarti
mengeluarkan sperma dengan tangannya, kemudian Istimna, apabila sering
dilakukan akan menjadikannya sebagai adat dan kebiasaan bagi yang
melakukannya, sehingga lahirlah makna baru yaitu “Al-’Adah As-Sirriyah” yang
artinya adat atau kebiasaan yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi.
Onani, masturbasi, coli, main sabun, dan lain-lain, merupakan satu istilah untuk
menyatakan kegiatan yg dilakukan seseorang yang masih muda dalam memenuhi
kebutuhan seksualnya, dengan menggunakan tangan maupun dengan
menambahkan alat bantu berupa sabun atau benda-benda lain, sehingga
dengannya dia bisa mengeluarkan mani dan membuat dirinya (lebih) tenang.
Istilah Onani sendiri, berasal dari kata Onan, salah seorang anak dari Judas, cucu
dari Jacob. Dalam salah satu cerita di Injil, diceritakan bahwa Onan disuruh oleh
ayahnya (Judas) untuk bersetubuh dengan istri kakaknya, namun Onan tidak bisa
melakukannya sehingga saat mencapai puncaknya, dia membuang spermanya
(mani) di luar (di kemudian hari tindakan ini dikenal dengan istilah azl (dalam
bahasa Arab) atau coitus interruptus (dalam istilah kedokterannya). Dari cerita
Onan ini terdapat dua versi. Ada yang berpendapat bahwa Onan berhubungan
badan dengan istri kakaknya lalu membuang maninya di luar. Dan ada juga yang
menyebutkan bahwa Onan tidak menyetubuhi istri kakaknya, malainkan ia
melakukan pemuasan diri sendiri (coli) karena ketidak beraniannya untuk
menyetubuhi sedangkan birahi di dada semakin memuncak, sehingga dari
perbuatan Onan ini lahirlah istilah Onani sebagai penisbahan terhadap
perbuatannya.
Pandangan Islam tentang Onani
Bila kita membaca buku-buku fiqh dan fatawa para ulama, akan dijumpai bahwa
mayoritas ulama seperti Syafi’i, Maliki, Ibnu Taimiyah, Bin Baz, Yusuf Qardhawi dan
lainnya mengharamkannya, dengan menggunakan dalil firman Allah SWT dalam Al-
Qur’an, yang artinya:”Dan orang-orang yang memelihara kemaluan mereka kecuali
terhadap isterinya tau hamba sahayanya, mereka yang demikian itu tidak tercela.
Tetapi barangsiapa berkehendak selain dari yang demikian itu, maka mereka itu
adalah orang-orang yang melewati batas”[Al-Mu’minun : 5-7].
Ayat ini menerangkan bahawa seseorang yang menjaga kehormatan diri hanya
akan melakukan hubungan seksual bersama isteri-isterinya atau hamba-hambanya
yang sudah dinikahi. Hubungan seksual seperti ini adalah suatu perbuatan yang
baik, tidak tercela di sisi agama. Akan tetapi jikalau seseorang itu mencoba mencari
kepuasan seksual dengan cara-cara selain bersama pasangannya yang sah, seperti
zina, pelacuran, onani atau persetubuhan dengan binatang, maka itu dipandang
sebagai sesuatu yang melampaui batas dan salah lagi berdosa besar, karena
melakukannya bukan pada tempatnya. Demikian ringkas penerangan Imam as-
Shafie dan Imam Malik apabila mereka ditanya mengenai hukum onani.
Selain ayat di atas, para ulama juga menggunakan dalil dari hadis Nabi SAW, yang
artinya:”Wahai sekalian para pemuda, barangsiapa di antara kamu yang
mempunyai kemampuan hendaklah segera menikah, karena nikah itu lebih
menundukkan mata dan lebih menjaga kehormatan diri. Dan barangsiapa yang
belum mampu hendakanya berpuasa, karena puasa itu dapat membentenginya”.
Pada hadits tadi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan dua hal,
yaitu : Pertama, Segera menikah bagi yang mampu. Kedua, Meredam nafsu
syahwat dengan melakukan puasa bagi orang yang belum mampu menikah, sebab
puasa itu dapat melemahkan godaan dan bisikan syetan.
Shah Waliullah Dahlawi menerangkan: Ketika air mani keluar atau muncrat dengan
banyak, ia juga akan mempengaruhi fikiran manusia. Oleh sebab itu, seorang
pemuda akan mulai menaruh perhatian terhadap wanita cantik dan hati mereka
mulai terpaut kepadanya. Faktor ini juga mempengaruhi alat jantinanya yang sering
meminta disetubuhi menyebabkan desakan lebih menekan jiwa dan keinginan
untuk melegakan syahwatnya menjadi kenyataan dengan berbagai bentuk. Dalam
hal ini seorang bujang akan terdorong untuk melakukan zina. Dengan perbuatan
tersebut moralnya mulai rusak dan akhirnya dia akan tercebur kepada perbuatan-
perbuatan yang lebih merusak.
Melakukan onani secara keseringan juga banyak membawa mudharat kepada
kesehatan dan seseorang yang membiasakan diri dengan onani akan mengalami
kelemahan pada badan, anggota tubuh yang tergetar-getar atau terkaku,
penglihatan yang kabur, perasaan berdebar-debar dan kesibukan fikiran yang tidak
menentu. Kajian perubatan juga membuktikan bahawa kekerapan melakukan onani
akan memberi dampak negatif kepada kemampuan seseorang untuk menghasilkan
sperma yang sehat dan cukup kadarnya dalam jangka masa panjang. Ini akan
menghalangi seseorang dalam menghasilkan zuriat-zuriat bersama pasangan
hidupnya bahkan lebih dari itu, mengakibatkan inpotensi seksual dalam umur yang
masih muda. Bahkan ada sebagian ulama yang menulis kitab tentang masalah ini,
di dalamnya dikumpulkan bahaya-bahaya kebiasan buruk tersebut.
Pendapat yang membolehkan
Dari hasil bacaan, kebanyakan hukum pengharamannya itu tertuju pada pemuda
yang belum menikah tanpa melihat orang yang telah menikah yang tinggal
berjauhan (long distance), yang mana menurut saya, Onani atau masturbasi bagi
mereka termasuk ke dalam kategori ayat yang dijadikan sebagai dalil
pengharamannya yaitu sebagai pengaplikasian dari memelihara kemaluan mereka
agar terhindar dari hal-hal yang lebih merusak. Karena orang yang pernah
merasakan nikmatnya bersetubuh akan lebih besar kemungkinannya untuk
merasakan yang lain, berbeda dengan orang yang belum pernah, dan hal ini sesuai
dengan kaedah ushul fiqh yang menyatakan bahwa:”Dibolehkan melakukan bahaya
yang lebih ringan supaya dapat dihindari bahaya yang lebih berat”. Dan akan
ditemukan pula hukum yang membolehkan onani pun, tertuju pada remaja dan
pemuda yang belum mampu untuk menikah. Sehingga dapat disimpulkan bahwa
masturbasi yang dilakukan oleh orang yang telah menikah adalah boleh.
Adapun hukum yang membolehkan onani bagi remaja yang belum menikah, dapat
dilihat dari pendapat Imam Ahmad bin Hanbal yang mengatakan bahwa sperma
atau mani adalah benda atau barang lebih yang ada pada tubuh yang mana boleh
dikeluarkan sebagaimana halnya memotong dan menghilangkan daging lebih dari
tubuh. Dan pendapat ini diperkuat oleh Ibnu Hazm. Akan tetapi, kondisi ini
diperketat dengan syarat-syarat yang ditetapkan oleh ulama-ulama Hanafiah dan
fuqaha hanbali, yaitu: Takut melakukan zina, Tidak mampu untuk kawin (nikah) dan
tidaklah menjadi kebiasaan serta adat.
Dengan kata lain, dengan dalil dari Imam Ahmad ini, onani boleh dilakukan apabila
suatu ketika insting (birahi) itu memuncak dan dikhawatirkan bisa membuat yang
bersangkutan melakukan hal yg haram. Misalnya, seorang pemuda yang sedang
belajar di luar negeri, karena lingkungan yang terlalu bebas baginya (dibandingkan
dengan kondisi asalnya) akibatnya dia sering merasakan instingnya memuncak.
Daripada dia melakukan perbuatan zina mendingan onani, maka dalam kasus ini
dia diperbolehkan onani.
Namun apa yang terbaik ialah apa yang ditunjukkan oleh Rasulullah SAW terhadap
pemuda yang tidak mampu untuk kawin, yaitu hendaklah dia memperbanyakkan
puasa, di mana puasa itu dapat mendidik keinginan, mengajar kesabaran dan
menguatkan takwa serta muraqabah kepada Allah Taala di dalam diri seorang
muslim. Sebagaimana sabdanya:”Wahai sekalian pemuda! Barangsiapa di antara
kamu mempunyai kemampuan, maka kawinlah, karen ia dapat menundukkan
pandangan dan memelihara kemaluan, tetapi barangsiapa yang tidak
berkemampuan, maka hendaklah dia berpuasa karena puasa itu baginya
merupakan pelindung.” (HR Bukhari).

HUKUM ORAL SEX DALAM ISLAM


Hukum Oral Seks Suami Isteri. Hingga saat ini, memang tidak sedikit masyarakat muslim yang
masih mempertanyakan tentang halal dan tidaknya jima’ atau berhubungan suami istri dengan
cara oral. Mitos yang banyak berkembang selama ini, melakukan hubungan dengan cara
memasukkan alat kelamin ke dalam mulut pasangan itu dianggap sama seperti kelakuan orang
kafir, sehingga hukumnya haram. Benarkah?
Ibnu Taymiyyah berpendapat, selain ciuman dan rayuan, unsur penting lain dalam pemanasan
adalah sentuhan mesra. Bagi pasangan suami istri, seluruh bagian tubuh adalah obyek yang
HALAL untuk disentuh, termasuk kemaluan. Terlebih jika dimaksudkan sebagai penyemangat
jima’.
Nashirudin Al-Albani, mengutip perkataan Ibnu Urwah Al-Hanbali dalam kitabnya yang masih
berbentuk manuskrip, Al-Kawakbu Ad-Durari, “Diperbolehkan bagi suami istri untuk melihat
dan meraba seluruh lekuk tubuh pasangannya, termasuk kemaluan. Karena kemaluan merupakan
bagian tubuh yang boleh dinikmati dalam bercumbu, tentu boleh pula dilihat dan diraba. Diambil
dari pandangan Imam Malik dan ulama lainnya.”
Berkat kebesaran Allah, setiap bagian tubuh manusia memiliki kepekaan dan rasa yang berbeda
saat disentuh atau dipandangi. Maka, untuk menambah kualitas jima’, suami istri juga
diperbolehkan pula menanggalkan seluruh pakaiannya. Dari Aisyah RA, ia menceritakan, “Aku
pernah mandi bersama Rasulullah dalam satu bejana…” (HR. Bukhari dan Muslim).
Untuk mendapatkan hasil sentuhan yang optimal, seyogyanya suami istri mengetahui dengan
baik titik-titik yang mudah membangkitkan gairah pasangan masing-masing. Maka diperlukan
sebuah komunikasi terbuka dan santai antara pasangan suami istri, untuk menemukan titik-titik
tersebut, agar menghasilkan efek yang maksimal saat berjima’.
Satu hal lagi yang menambah kenikmatan dalam hubungan intim suami istri, yaitu posisi
bersetubuh. Kebetulan Islam sendiri memberikan kebebasan seluas-luasnya kepada pemeluknya
untuk mencoba berbagai variasi posisi dalam berhubungan seks. Satu-satunya ketentuan yang
diatur syariat hanyalah, semua posisi seks itu tetap dilakukan pada satu jalan, yaitu farji (vagina).
Bukan yang lainnya. Allah SWT berfirman, “Istri-istrimu adalah tempat bercocok tanammu,
datangilah ia dari arah manapun yang kalian kehendaki.” QS. Al-Baqarah (2:223).
Demikian halnya dengan Sheikh Muhammad Ali Al-Hanooti, mufty, dalam Islamawarness.net
menegaskan bahwa oral sex diperbolehkan dalam Islam. Ali Al-Hanooti menegaskan bahwa
yang diharamkan dalam jima’ hanya ada tiga hal, diantaramya: Anal sex, berhubungan sex saat
istri sedang haid atau menstruasi dan sex pasca istri melahirkan (masa nifas). Sedangkan di luar
ketiga hal itu, hukumnya halal.
Hal yang sama juga diungkapkan : Ustadz Sigit Pranowo, Lc di eramuslim.com. Dalam sebuah
kajian konsultasi yang membahas tentang sex oral, Sigit mengatakan bahwa Hubungan seksual
antara pasangan suami istri bukanlah hal yang terlarang untuk dibicarakan didalam Islam.
Namun, bukan pula hal yang dibebaskan sedemikian rupa bak layaknya seekor hewan yang
berhubungan dengan sesamanya.
Islam adalah agama fitrah yang sangat memperhatikan masalah seksualitas karena ini adalah
kebutuhan setiap manusia, sebagaimana firman Allah swt,”Isteri-isterimu adalah (seperti) tanah
tempat kamu bercocok tanam, Maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana
saja kamu kehendaki. dan kerjakanlah (amal yang baik) untuk dirimu, dan bertakwalah kepada
Allah dan ketahuilah bahwa kamu kelak akan menemui-Nya. dan berilah kabar gembira orang-
orang yang beriman.” (QS. Al Baqoroh : 223)
Ayat diatas menunjukkan betapa islam memandang seks sebagai sesuatu yang moderat
sebagaimana karakteristik dari islam itu sendiri. Ia tidaklah dilepas begitu saja sehingga manusia
bisa berbuat sebebas-bebasnya dan juga tidak diperketat sedemikian rupa sehingga menjadi suatu
pekerjaan yang membosankan.
Hubungan seks yang baik dan benar, yang tidak melanggar syariat selain merupakan puncak
keharmonisan suami istri serta penguat perasaan cinta dan kasih sayang diantara mereka berdua
maka ia juga termasuk suatu ibadah disisi Allah swt, sebagaimana sabda Rasulullah saw,”..dan
bersetubuh dengan istri juga sedekah. Mereka bertanya,’Wahai Rasulullah, apakah jika diantara
kami menyalurkan hasrat biologisnya (bersetubuh) juga mendapat pahala?’ Beliau
menjawab,’Bukankah jika ia menyalurkan pada yang haram itu berdosa?, maka demikian pula
apabila ia menyalurkan pada yang halal, maka ia juga akan mendapatkan pahala.” (HR. Muslim)
Diantara variasi seksual yang sering dibicarakan para seksolog adalah oral seks, yaitu adanya
kontak seksual antara kemaluan dan mulut (lidah) pasangannya. Tentunya ada bermacam-macam
oral seks ini, dari mulai menyentuh, mencium hingga menelan kemaluan pasangannya kedalam
mulutnya.
Hal yang tidak bisa dihindari ketika seorang ingin melakukan oral seks terhadap pasangannya
adalah melihat dan menyentuh kemaluan pasangannya. Dalam hal ini para ulama dari madzhab
yang empat bersepakat diperbolehkan bagi suami untuk melihat seluruh tubuh istrinya hingga
kemaluannya karena kemaluan adalah pusat kenikmatan. Akan tetapi setiap dari mereka berdua
dimakruhkan melihat kemaluan pasangannya terlebih lagi bagian dalamnya tanpa suatu
keperluan, sebagaimana diriwayatkan dari Aisyah yang mengatakan,”Aku tidak pernah melihat
kemaluannya saw dan beliau saw tidak pernah memperlihatkannya kepadaku.” (al Fiqhul Islami
wa Adillatuhu juz IV hal 2650)
Seorang suami berhak menikmati istrinya, khususnya bagaimana dia menikmati berjima’
dengannya dan seluruh bagian tubuh istrinya dengan suatu kenikmatan atau menguasai tubuh dan
jiwanya yang menjadi haknya untuk dinikmati maka telah terjadi perbedaan pendapat diantara
para ulama kami, karena tujuan dari berjima’ tidaklah sampai kecuali dengan hal yang demikian.
(Bada’iush Shona’i juz VI hal 157 – 159, Maktabah Syamilah)
Setiap pasangan suami istri yang diikat dengan pernikahan yang sah didalam berjima’
diperbolehkan untuk saling melihat setiap bagian dari tubuh pasangannya hingga kemaluannya.
Adapun hadits yang menyebutkan bahwa siapa yang melihat kemaluan (istrinya) akan menjadi
buta adalah hadits munkar tidak ada landasannya. (asy Syarhul Kabir Lisy Syeikh ad Durdir juz
II hal 215, Maktabah Syamilah)
Dibolehkan bagi setiap pasangan suami istri untuk saling melihat seluruh tubuh dari pasangannya
serta menyentuhnya hingga kemaluannya sebagaimana diriwayatkan dari Bahz bin Hakim dari
ayahnya dari kakeknya berkata,” Aku bertanya,’Wahai Rasulullah aurat-aurat kami mana yang
tutup dan mana yang kami biarkan? Beliau bersabda,’Jagalah aurat kamu kecuali terhadap
istrimu dan budak perempuanmu.” (HR. tirmidzi, dia berkata,”Ini hadits Hasan Shohih.”) Karena
kemaluan boleh untuk dinikmati maka ia boleh pula dilihat dan disentuhnya seperti bagian tubuh
yang lainnya.
Dan dimakruhkan untuk melihat kemaluannya sebagaimana hadits yang diriwayatkan Aisyah
yang berkata,”Aku tidak pernah melihat kemaluan Rasulullah saw.” (HR. Ibnu Majah) dalam
lafazh yang lain, Aisyah menyebutkan : Aku tidak melihat kemaluan Rasulullah saw dan beliau
saw tidak memperlihatkannya kepadaku.”
Didalam riwayat Ja’far bin Muhammad tentang perempuan yang duduk dihadapan suaminya, di
dalam rumahnya dengan menampakkan auratnya yang hanya mengenakan pakaian tipis, Imam
Ahmad mengatakan,”Tidak mengapa.” (al Mughni juz XV hal 79, maktabah Syamilah)
Oral seks yang merupakan bagian dari suatu aktivitas seksual ini, menurut Prof DR Ali Al
Jumu’ah dan Dr Sabri Abdur Rauf (Ahli Fiqih Univ Al Azhar) boleh dilakukan oleh pasangan
suami istri selama hal itu memang dibutuhkan untuk menghadirkan kepuasan mereka berdua
dalam berhubungan. Terlebih lagi jika hanya dengan itu ia merasakan kepuasan ketimbang ia
terjatuh didalam perzinahan.
Hal itu dikarenakan yang keluar dari kemaluan adalah madzi dan mani. Madzi adalah cairan
berwarna putih dan halus yang keluar dari kemaluan ketika adanya ketegangan syahwat,
hukumnya najis. Sedangkan mani adalah cairan kental memancar yang keluar dari kemaluan
ketika syahwatnya memuncak, hukumnya menurut para ulama madzhab Hanafi dan Maliki
adalah najis sedangkan menurut para ulama Syafi’i dan Hambali adalah suci.
Mufti Saudi Arabia bagian Selatan, Asy-Syaikh Al`Allamah Ahmad bin Yahya An-Najmi
berpenapat bahwa isapan istri terhadap kemaluan suaminya (oral seks) adalah haram dikarenakan
kemaluannya itu bisa memancarkan cairan (madzi). Para ulama telah bersepakat bahwa madzi
adalah najis. Jika ia masuk kedalam mulutnya dan tertelan sampai ke perut maka akan dapat
menyebabkan penyakit.
Hal itu dikarenakan yang keluar dari kemaluan adalah madzi dan mani. Madzi adalah cairan
berwarna putih dan halus yang keluar dari kemaluan ketika adanya ketegangan syahwat,
hukumnya najis. Sedangkan mani adalah cairan kental memancar yang keluar dari kemaluan
ketika syahwatnya memuncak, hukumnya menurut para ulama madzhab Hanafi dan Maliki
adalah najis sedangkan menurut para ulama Syafi’i dan Hambali adalah suci.
Adapun Syeikh Yusuf al Qaradhawi memberikan fatwa bahwa oral seks selama tidak menelan
madzi yang keluar dari kemaluan pasangannya maka ia adalah makruh dikarenakan hal yang
demikian adalah salah satu bentuk kezhaliman (diluar kewajaran dalam berhubungan).
Dampak Positif dan Negatif?
Dampak positif dari oral seks ini jika dilakukan dengan sukarela oleh pasangan suami istri
tentunya akan menambah kenikmatan dalam berhubungan intim dan pada gilirannya dapat
menjaga keharmonisan rumah tangga. Untuk itu pasangan suami istri harus mengkomunikasikan
masalah ini dengan baik, agar tidak ada pihak yang merasa terpaksa.
Para seksolog mengkategorikan oral seks kedalam permainan seks yang aman, selama betul-
betul dijamin kebersihan dan kesehatannya, baik mulut ataupun kemaluannya. Akan tetapi
kemungkinan untuk terjangkitnya berbagai penyakit manakala tidak ekstra hati-hati didalam
menjaga kebersihannya sangatlah besar.

Oral Sex menurut Ahli Kesehatan


Berhubungan Oral Suami-Istri
Assalamualaikum Dok,
Saya ingin bertanya jika suami-istri melakukan hubungan seks oral. Hukumnya
bagaimana dan apa efek positif dan negatif nya?
Terima kasih, Wassalam.
Bayu
Jawaban
Assalamu’alaikum Wr.Wb.
Hingga saat ini, memang tidak sedikit masyarakat muslim yang masih
mempertanyakan tentang halal dan tidaknya jima' atau berhubungan suami istri
dengan cara oral. Mitos yang banyak berkembang selama ini, melakukan hubungan
dengan cara memasukkan alat kelamin ke dalam mulut pasangan itu dianggap
sama seperti kelakuan orang kafir, sehingga hukumnya haram. Benarkah?
Ibnu Taymiyyah berpendapat, selain ciuman dan rayuan, unsur penting lain dalam
pemanasan adalah sentuhan mesra. Bagi pasangan suami istri, seluruh bagian
tubuh adalah obyek yang HALAL untuk disentuh, termasuk kemaluan. Terlebih jika
dimaksudkan sebagai penyemangat jima’.
Nashirudin Al-Albani, mengutip perkataan Ibnu Urwah Al-Hanbali dalam kitabnya
yang masih berbentuk manuskrip, Al-Kawakbu Ad-Durari, “Diperbolehkan bagi
suami istri untuk melihat dan meraba seluruh lekuk tubuh pasangannya, termasuk
kemaluan. Karena kemaluan merupakan bagian tubuh yang boleh dinikmati dalam
bercumbu, tentu boleh pula dilihat dan diraba. Diambil dari pandangan Imam Malik
dan ulama lainnya.”
Berkat kebesaran Allah, setiap bagian tubuh manusia memiliki kepekaan dan rasa
yang berbeda saat disentuh atau dipandangi. Maka, untuk menambah kualitas
jima’, suami istri juga diperbolehkan pula menanggalkan seluruh pakaiannya. Dari
Aisyah RA, ia menceritakan, “Aku pernah mandi bersama Rasulullah dalam satu
bejana…” (HR. Bukhari dan Muslim).
Untuk mendapatkan hasil sentuhan yang optimal, seyogyanya suami istri
mengetahui dengan baik titik-titik yang mudah membangkitkan gairah pasangan
masing-masing. Maka diperlukan sebuah komunikasi terbuka dan santai antara
pasangan suami istri, untuk menemukan titik-titik tersebut, agar menghasilkan efek
yang maksimal saat berjima’.
Satu hal lagi yang menambah kenikmatan dalam hubungan intim suami istri, yaitu
posisi bersetubuh. Kebetulan Islam sendiri memberikan kebebasan seluas-luasnya
kepada pemeluknya untuk mencoba berbagai variasi posisi dalam berhubungan
seks. Satu-satunya ketentuan yang diatur syariat hanyalah, semua posisi seks itu
tetap dilakukan pada satu jalan, yaitu farji (vagina). Bukan yang lainnya. Allah SWT
berfirman, “Istri-istrimu adalah tempat bercocok tanammu, datangilah ia dari arah
manapun yang kalian kehendaki.” QS. Al-Baqarah (2:223).
Demikian halnya dengan Sheikh Muhammad Ali Al-Hanooti, mufty, dalam
Islamawarness.net menegaskan bahwa oral sex diperbolehkan dalam Islam. Ali Al-
Hanooti menegaskan bahwa yang diharamkan dalam jima' hanya ada tiga hal,
diantaramya: Anal sex, berhubungan sex saat istri sedang haid atau menstruasi dan
sex pasca istri melahirkan (masa nifas). Sedangkan di luar ketiga hal itu, hukumnya
halal.
Hal yang sama juga diungkapkan : Ustadz Sigit Pranowo, Lc di eramuslim.com.
Dalam sebuah kajian konsultasi yang membahas tentang sex oral, Sigit
mengatakan bahwa Hubungan seksual antara pasangan suami istri bukanlah hal
yang terlarang untuk dibicarakan didalam Islam. Namun, bukan pula hal yang
dibebaskan sedemikian rupa bak layaknya seekor hewan yang berhubungan
dengan sesamanya.
Islam adalah agama fitrah yang sangat memperhatikan masalah seksualitas karena
ini adalah kebutuhan setiap manusia, sebagaimana firman Allah swt,”Isteri-isterimu
adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, Maka datangilah tanah
tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki. dan kerjakanlah
(amal yang baik) untuk dirimu, dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa
kamu kelak akan menemui-Nya. dan berilah kabar gembira orang-orang yang
beriman.” (QS. Al Baqoroh : 223)
Ayat diatas menunjukkan betapa islam memandang seks sebagai sesuatu yang
moderat sebagaimana karakteristik dari islam itu sendiri. Ia tidaklah dilepas begitu
saja sehingga manusia bisa berbuat sebebas-bebasnya dan juga tidak diperketat
sedemikian rupa sehingga menjadi suatu pekerjaan yang membosankan.
Hubungan seks yang baik dan benar, yang tidak melanggar syariat selain
merupakan puncak keharmonisan suami istri serta penguat perasaan cinta dan
kasih sayang diantara mereka berdua maka ia juga termasuk suatu ibadah disisi
Allah swt, sebagaimana sabda Rasulullah saw,”..dan bersetubuh dengan istri juga
sedekah. Mereka bertanya,’Wahai Rasulullah, apakah jika diantara kami
menyalurkan hasrat biologisnya (bersetubuh) juga mendapat pahala?’ Beliau
menjawab,’Bukankah jika ia menyalurkan pada yang haram itu berdosa?, maka
demikian pula apabila ia menyalurkan pada yang halal, maka ia juga akan
mendapatkan pahala.” (HR. Muslim)
Diantara variasi seksual yang sering dibicarakan para seksolog adalah oral seks,
yaitu adanya kontak seksual antara kemaluan dan mulut (lidah) pasangannya.
Tentunya ada bermacam-macam oral seks ini, dari mulai menyentuh, mencium
hingga menelan kemaluan pasangannya kedalam mulutnya.
Hal yang tidak bisa dihindari ketika seorang ingin melakukan oral seks terhadap
pasangannya adalah melihat dan menyentuh kemaluan pasangannya. Dalam hal ini
para ulama dari madzhab yang empat bersepakat diperbolehkan bagi suami untuk
melihat seluruh tubuh istrinya hingga kemaluannya karena kemaluan adalah pusat
kenikmatan. Akan tetapi setiap dari mereka berdua dimakruhkan melihat kemaluan
pasangannya terlebih lagi bagian dalamnya tanpa suatu keperluan, sebagaimana
diriwayatkan dari Aisyah yang mengatakan,”Aku tidak pernah melihat kemaluannya
saw dan beliau saw tidak pernah memperlihatkannya kepadaku.” (al Fiqhul Islami
wa Adillatuhu juz IV hal 2650)
Seorang suami berhak menikmati istrinya, khususnya bagaimana dia menikmati
berjima’ dengannya dan seluruh bagian tubuh istrinya dengan suatu kenikmatan
atau menguasai tubuh dan jiwanya yang menjadi haknya untuk dinikmati maka
telah terjadi perbedaan pendapat diantara para ulama kami, karena tujuan dari
berjima’ tidaklah sampai kecuali dengan hal yang demikian. (Bada’iush Shona’i juz
VI hal 157 - 159, Maktabah Syamilah)
Setiap pasangan suami istri yang diikat dengan pernikahan yang sah didalam
berjima’ diperbolehkan untuk saling melihat setiap bagian dari tubuh pasangannya
hingga kemaluannya. Adapun hadits yang menyebutkan bahwa siapa yang melihat
kemaluan (istrinya) akan menjadi buta adalah hadits munkar tidak ada
landasannya. (asy Syarhul Kabir Lisy Syeikh ad Durdir juz II hal 215, Maktabah
Syamilah)
Dibolehkan bagi setiap pasangan suami istri untuk saling melihat seluruh tubuh dari
pasangannya serta menyentuhnya hingga kemaluannya sebagaimana diriwayatkan
dari Bahz bin Hakim dari ayahnya dari kakeknya berkata,” Aku bertanya,’Wahai
Rasulullah aurat-aurat kami mana yang tutup dan mana yang kami biarkan? Beliau
bersabda,’Jagalah aurat kamu kecuali terhadap istrimu dan budak perempuanmu.”
(HR. tirmidzi, dia berkata,”Ini hadits Hasan Shohih.”) Karena kemaluan boleh untuk
dinikmati maka ia boleh pula dilihat dan disentuhnya seperti bagian tubuh yang
lainnya.
Dan dimakruhkan untuk melihat kemaluannya sebagaimana hadits yang
diriwayatkan Aisyah yang berkata,”Aku tidak pernah melihat kemaluan Rasulullah
saw.” (HR. Ibnu Majah) dalam lafazh yang lain, Aisyah menyebutkan : Aku tidak
melihat kemaluan Rasulullah saw dan beliau saw tidak memperlihatkannya
kepadaku.”
Didalam riwayat Ja’far bin Muhammad tentang perempuan yang duduk dihadapan
suaminya, di dalam rumahnya dengan menampakkan auratnya yang hanya
mengenakan pakaian tipis, Imam Ahmad mengatakan,”Tidak mengapa.” (al Mughni
juz XV hal 79, maktabah Syamilah)
Oral seks yang merupakan bagian dari suatu aktivitas seksual ini, menurut Prof DR
Ali Al Jumu’ah dan Dr Sabri Abdur Rauf (Ahli Fiqih Univ Al Azhar) boleh dilakukan
oleh pasangan suami istri selama hal itu memang dibutuhkan untuk menghadirkan
kepuasan mereka berdua dalam berhubungan. Terlebih lagi jika hanya dengan itu ia
merasakan kepuasan ketimbang ia terjatuh didalam perzinahan.
Hal itu dikarenakan yang keluar dari kemaluan adalah madzi dan mani. Madzi
adalah cairan berwarna putih dan halus yang keluar dari kemaluan ketika adanya
ketegangan syahwat, hukumnya najis. Sedangkan mani adalah cairan kental
memancar yang keluar dari kemaluan ketika syahwatnya memuncak, hukumnya
menurut para ulama madzhab Hanafi dan Maliki adalah najis sedangkan menurut
para ulama Syafi’i dan Hambali adalah suci.
Mufti Saudi Arabia bagian Selatan, Asy-Syaikh Al`Allamah Ahmad bin Yahya An-
Najmi berpenapat bahwa isapan istri terhadap kemaluan suaminya (oral seks)
adalah haram dikarenakan kemaluannya itu bisa memancarkan cairan (madzi). Para
ulama telah bersepakat bahwa madzi adalah najis. Jika ia masuk kedalam mulutnya
dan tertelan sampai ke perut maka akan dapat menyebabkan penyakit.
Hal itu dikarenakan yang keluar dari kemaluan adalah madzi dan mani. Madzi
adalah cairan berwarna putih dan halus yang keluar dari kemaluan ketika adanya
ketegangan syahwat, hukumnya najis. Sedangkan mani adalah cairan kental
memancar yang keluar dari kemaluan ketika syahwatnya memuncak, hukumnya
menurut para ulama madzhab Hanafi dan Maliki adalah najis sedangkan menurut
para ulama Syafi’i dan Hambali adalah suci.
Adapun Syeikh Yusuf al Qaradhawi memberikan fatwa bahwa oral seks selama tidak
menelan madzi yang keluar dari kemaluan pasangannya maka ia adalah makruh
dikarenakan hal yang demikian adalah salah satu bentuk kezhaliman (diluar
kewajaran dalam berhubungan).

Dampak Positif dan Negatif?

Dampak positif dari oral seks ini jika dilakukan dengan sukarela oleh pasangan
suami istri tentunya akan menambah kenikmatan dalam berhubungan intim dan
pada gilirannya dapat menjaga keharmonisan rumah tangga. Untuk itu pasangan
suami istri harus mengkomunikasikan masalah ini dengan baik, agar tidak ada
pihak yang merasa terpaksa.
Para seksolog mengkategorikan oral seks kedalam permainan seks yang aman,
selama betul-betul dijamin kebersihan dan kesehatannya, baik mulut ataupun
kemaluannya. Akan tetapi kemungkinan untuk terjangkitnya berbagai penyakit
manakala tidak ekstra hati-hati didalam menjaga kebersihannya sangatlah besar.
(dari berbagai sumber)
Wassalam.

Anda mungkin juga menyukai