Sasaran Pembelajaran/Kompetensi: 1. Mahasiswa mampu menjelaskan proses kejadian hujan 2. Mahasiswa mampu menjelaskan metode pengukuran hujan dan alat ukurnya 3. Mahasiswa mampu mengidentifikasi dan menganalisis karakeristik hujan 4. Mahasiswa mampu menghitung rata-rata hujan wlayah 5. Mahasiswa mampu menjelaskan parameter iklim lain
3.1 Pengertian dan Proses Kejadian Hujan Presipitasi atau Hujan adalah peristiwa jatuhnya air/es dari atmosfer ke permukaan bumi dan atau laut dalam bentuk yang berbeda. Hujan di daerah tropis (termasuk Indonesia) umumnya dalam bentuk air dan sesekali dalam bentuk es pada suatu kejadian ekstrim, sedangkan di daerah subtropis dan kutub hutan dapat berupa air atau salju/es. Besarnya curah hujan adalah volume air yang jatuh pada suatu areal tertentu. Besarnya curah hujan dapat dimaksudkan untuk satu kali hujan atau untuk masa tertentu seperti perhari, perbulan, permusim atau pertahun (Sitanala, 1989). Curah hujan yang diperlukan untuk penyusunan suatu rancangan pemanfaatan air dan rancangan pengendalian banjir adalah curah hujan rata-rata diseluruh daerah yang bersangkutan. Distribusi curah hujan adalah berbeda-beda sesuai dengan jangka waktu yang ditinjau dari curah hujan tahunan, curah hujan bulanan, curah hujan harian dan curah hujan perjam. Harga-harga yang diperoleh ini dapat digunakan untuk menentukan prospek dikemudian hari dan akhirnya perancangan sesuai dengan tujuan yang dimaksud (Sosrodarsono dan Takeda, 1999). Kejadian hujan menunjukkan suatu variabilitas dalam ruang dan waktu. Salah satu konsekuensi dari variabliltas hujan adalah terjadinya fluktuasi curah hujan di setiap wilayah yang dapat menimbulkan kondisi ekstrim berupa kekeringan dan banjir yang terjadi dengan skala yang berbeda dan tergantung pada periode keberulangannya. 22
Dinamikan Atmosfir: Variabel utama yang digunakan untuk menggambarkan kondisi dinamik atmosfir adalah are kerapatan udara, tekanan udara, dan suhu. Persamaan lama menghubungkan variabel atmosfir dengan laju atmosfir melalaui sistem 6 persamaan (konservasi massa, konservasi energi, hukum gas ideal, dan 3 persamaan konservasi momentum, komponen masing-masing persamaan memiliki parameter laju) pada enam parameter (tekanan, temperature, kerapatan, dan 3 komponen laju). Salah satu komponen siklus hidrologi yang sangat penting dan selalu diukur adalah hujan. Pengukuran hujan telah dilakukan sejak lama dengan melakukan penakaran hujan. Penakar hujan pertama berada di Korea tahun 1400an, dan 200 tahun kemudian, Sir Christopher Wren menginvensi alat penakar hujan otomatis.
Gambar 3.1/2 Standar alat penakar hujan (Dimensi dalam inchi dan millimeter).
23
Data rekaman meteorologi dan hidrologi dimaksudkan untuk penilaian sumber daya air, evaluasi kejadian banjir puncak di wilayah pertanian dan perkotaan/ permukiman Kebutuhan data dapat bervariasi dari menit ke menit sampai bulanan dan tahunan. Proses Kejadian Hujan Pembentukan hujan merupakan proses fisika awan Sejumlah proses fisik terdapat dalam proses terjadiinya hujan, dan proses tersebut memiliki hubungan dengan berbagai issu dari kualitas lingkungan sampai perubahan iklim. 1. Terbentuknya awan Awan terbentuk ketika udara menjadi sangat jenuh (supersaturated), dimana ketika teknan uap aktual mencapai atau melebihi tekanan uap jenuh: Supersaturation terjadi melalui pengembangan dan pendinginan kolom udara yang menyebabkan uap air terkondensasi pada partikel atmosfir. Proses ini disebut nukleasi (nucleation). Aeroso; atmosfir yang merupakan suspensipadat atau bahan cair dengan kecepatan jatuh kecil memegang peranan penting dalam permulaan kondensasi dengan memfasilitasi tempat proses nukleasi bagi uap air. Dua tipe awan dapat dibedakan atas awan dingin (cold clouds) dan awan panas (warm clouds). Awan dengan suhu di atas 0 0 C disebut awan dingin. 2. Struktur Awan Di awal abad 20, Wegener menyatakan bahwa pada campuran awan yang terbentuk dari condensasi uap merupakan mekanisme umum terjadinya hujan yang terkadang juga membentuk salju dan es. Jenis hujan yang terbentuk sangat dipengaruhi oleh suhu lapisan atmosfir antara terjadinya hujan dan permukaan tanah (lapisan yang dilewati hujan). Droplet atau butiran hujan bertumbuh pada awan yang suhunya lebih tinggi (warm clouds) melalui proses kondensasi, kollisi (collision), dan koalesens (coalescence). Umumnya awan yang terbentuk di wilayah tropis adalah awan dengan suhu diatas 0 o C. Jenis awan ini mencairkan partikel kristal yang terbentuk di wilayah atmosfir dengan suhu di bawah 0 o C. Proses ini juga mengecilkan kristal hujan dan membentuk butiran hujan. 24
Gambar 3.3 Konsentrasi nuklei kondensasi awan di armosfir wilayah kontinental dan laut
3. Proses Jatuhnya Air Hujan Mekanisme jatuhnya air hujan secara umum terjadi karena proses konveksi dan pembentukan awan berlapis (stratiform). Kedua mekanisme ini berbeda dalam proses pembentukan dan pembesaran ukuran dan berat butiran hujan yang menyebabkan pergerakan vertikal udara yang berasosiasi dengan awan pembentuk hujan. Pada mekanisme stratiform, gerakan vertikal udara lemah, partikel hujan diinisiasi dekat permukaan atas awan hingga proses terjadinya pengembangan hujan cukup lama (berjam-jam). Untuk mekanisme konvektif, gerakan udara vertikal sangat cepat sehingga pembesaran partikel butiran hujan diinisiasi dengan cepat saat terbentuknya awan. Hal ini menyebabkan proses jatuhnya butiran hujan sangat cepat (sekitar 45 menit). Mekanisme lain dalam proses hujan adalah kombinasi konvektif dan stratiform yang merupakan proses pengangkatan massa udara dan uap air secara orografis melalui pegungungan dan perbukitan.
25
Ada enam kelas sistem kejadian hujan secara umum yang diuraikan seperti berikut: a. Siklon Extratropis Sirkulasi udara yang terdiri dari massa udara (streams) yang bergerak secara normal dan stabil mengikuti pola gerakan di atas permukaan bumi. Suhu dan kelembaban udara sangat tergantung pada asal gerakan udara; masssa udara kontinental kutub dingin dan kering; massa udara laut tropis panas dan lembab. Wilayah disekitar daerah tropis sangat berbeda sehingga dua airan udara paralel dengan suhu berbeda sehingga memicu ketidak stabilan di lapisan antara keduanya yang cenderung menyebabkan terjadinya siklon. Kejadian kurva siklon ekstratropis curve dapat mencapai ribuan kilometer. Pengangkatan vertiakal dalam siklon ekstratropis diasosiasikan dengan posisi kurva dengan kecepatan kurng dari 0.1 km/jam. Kebanyakan hujan pada siklon ini didominasi oleh mekanisme stratiform yang dimicu oleh kejadian konvektif seperti terlihat pada Gambar 3.4.
Gambar 3. 4 Model Konsep Siklon Ekstratropis. (Smidth dalam Maidment, 1989)
b. Midlatitude Thunderstorms Seperti halnya siklon ekstratropis yang merupakan contoh hujan stratiform, maka midlatitude thunderstorms merupakan contoh hujan konveksi. Massa udara thunderstorms terbentuk dari massa udara tak stabil secara konveksi dalam jumlah yang relatif besar dari kandungan uap rendah dan gesekan angin kecil. Struktur spasial hujan ditentukan dengan pola acak pada thunderstorm. Studi pada akhir 1940an memberikan hasil proses kejadian hujan thunderstorm yang memiliki karakterisrik siklus, (1) membetuk awan cumulus yang 26
membentuk partikel hujan di awan tapi tidak mencapai bumi karena proses pengangkatan udara yang kuat, (2) tahap pematangan dimana gesekan partikel hujan menyebabkan gerak ke bumi sehingga butiran hujan jatuh, dan (3) tahap dissipasi dimana butiran hujan kecil terus jatuh. Umumnya thunderstorms tidak menghasilkan curah hujan yang tinggi pada wilayah yang luas. Kejadian thunderstorms dalam skala sedang (mesoscale convective systems, MCS) merupakan penyebab utama terjadinya banjir di berbagai tempat.
Gambar 3.5 Tahap pengembangan massa udara thunderstorm (Maidment, 1989)
c. Kluster Awan Tropis (Tropical Cloud Clusters) Gambar 3.6 menunjukkan bahwa secara global curah hujan rata-rata tahunan di wilayah tropis merupakan yang terbesar. Curah hujan yang maksimum tersebut berasosiasi dengan kluster awan yang terjadi pada zona putaran angin yang memusat. Kluster awan, seperti halnya pada sistem awan tropis, konveksi merupakan pemicu awal kejadian hujan. Meskipun sistem awan tropis meliputi jangkauan skala yang luas, kebanyakan hujan karena proses kluster awan jatuh pada luas wilayah yang dapat mencapai 50.000 km 2 . Hujan tropis memainkan peranan penting dalam sirkulasi global dan berkaitan erat dengan anomali sirkulasi atmosfir seperti El-Nino. 27
Gambar 3.6 Curah hujan tahunan berdasarkan posisi latitude.
d. Hujan Monsoon ( Monsoon Rainfall) Akumulasi hujan terbesar selama periode lebih dari 24 jam berasosiasi dengan Asian monsoon. India dan Asia Tenggara adalah lokasi utama kejadian hujan monsoon selama musim panas di Asia. Indonesia dan Malaysia sering mengalami hujan monsoon ekstrim selama periode Winter di Asia. Istilah monsoon diadopt dari bahasa arab yang berarti musim. Karakteristik umum iklim monsoon ditandai oleh arah angin yang berlawanan pada dua musim. Misalnya di Indonesia dikenal dengan Musim Angin Timur (banyak hujan) dan Musim Angin Barat (kurang hujan). e. Hujan Badai (hurricanes) Badai umumnya dikenal di wilayah pasifik yang menyebabkan hujan ektrim di wilayah pesisir pantai sepanjang Samudra Atlantik dan Pasifik. Kejadian hujan badai merupakan proses ektrim dari konveksi dan stratiform. Kejadian badai masih merupakan proses yang diperdebatkan.
28
f. Hujan Orografis Pengaruh Orografis dapat merubah type kejadian hujan di atas . Hujan orografis pada prinsipnya memiliki mekanisme: (1) inisiasi konveksi, (2) pengangkatan dalam skala besar, dan (3) pertumbuhan yang lambat.
1. Karakteristik Hujan Ada dua faktor fisik yang mempengaruhi curah hujan, yakni kecepatan jatuh butiran hujan dan distribusi ukuran butiran hujan. Kedua faktor ini mempengaruhi proses yang terjadi di tanah saat hujan jatuh. 2. Kcepatan jatuh butiran hujan Kecepatan terminal suatu bola padat butiran hujan merupakan proportional dari akar pangkat dua dari diameter butiran. Air yang jatuh melewati udara menimbulkan gaya aerodinamik yang menyebabkan butiran hujan bergetar dan terdeformasi. Diameter butiran hujan kurang dari 0.35 mm umumnya bulat dan jatuh ke bumi dengn ukuran yang dapat mencapai diameter 1 mm dengan bentuk lonjong (oblate spheroid). Butiran yang lebih besar umumnya ujungnya cembung (flattened concave). Untuk butiran hujan besar, vibrasi dan deformasi seringkali memecah butirsn hujan.
Gambar 3.7 Bentuk butiran hujan berdasarkan diameter butiran (Maidment, 1989)
Kecepatan jatuh hujan dapat diestimasi dengan rumus Gunn and Kinzer: v(D) = 3,86 D 0.67 . (3.1) Keterangan v(D) adalah kecepatan jatuh butiran hujan, dan D adalah diameter butiran hujan pada kisaran antara 0.8 dan 4.0 mm. 3. Distribusi Ukuran Butiran Distribusi ukuran butiran hujan dalam volume di atmosfir dikarakterisasi oleh hubungan densitas butiran (dalam butiran per meter kubik) dan distribusi ukuran 29
butiran (dalam mm). Distribusi ukuran butiran secara khusus dinyatakan sebagai fungsi N(D) yang menunjukkan densitas butiran hunan sebagai suatu fungsi diameter butiran hujan. Distribusi butiran hujan umumnya dinyatakan dengan distribusi Marshall-Palmer: N(D) = No exp(-D) dimana N(D) dan No adalah jumlah butiran per meter kubik per mm masing- masing diameter butiran hujan dan dalam mm. Nilai No adalah 8000 m -3 mm -1 . Marshall dan Palmer menghubungkan parameter dengan laju hujan dengan rumus: = 4,1 R -0,21 R adalah laju hujan (mm/jam). Beberapa peralatan otomatis dikembangkan untuk mengukur distribusi ukuran butirsn hujan termasuk distrometer dan raindrop camera.
3.3 Pengukuran Curah Hujan dan Perhitungan Hujan Wilayah Alat Penakar Hujan Berbagai alat ukur atau penakar telah dikembangkan untuk menakar hujan. Dua tipe penakar: terekam dan tak terekam. Alat penakar hujan terekam otomatis menyajikan data akumulasi curah hujan pada waktu tertentu sampai pada data per menit atau lebih detail. Perekam data hujan otomatis biasanya dilengkapi dengan telemetri melalui sistem transmisi real-time dan kelengkapan khusus untuk manajemen sumber daya air.
Ada tiga tipe perekam data hujan: weighing type, float and siphontype, dan tipping-bucket type. Gambar 3.8 adalah ilustrasi penakar hujan weighing type. Alat penakat tak terekam terdiri dari penadah/wadah silinder sederhana dan sebuah batang pengkalibrasi yang merupakan bagian penakaran. Gambar 3.8 Alat penakar hujan type weighing
30
Gambar 3.9 Mekanisme internal alat penakar hujan Meteorological Office Tilting- syphon. A=Collecting chamber; B=Plastic float; C=Knife-edges; D=Double siphon tubes; E=Trigger;
Gambar 3.10 Prinsip dasar mekanisme tipping-bucket. A, B: buckets. C: magnet. D: switch. 31
Gambar 3.11. Alat Penakar Hujan (manual dan otomatis)
Curah Hujan Efektif (Re) Hujan yang diharapkan terjadi selama satu musim tanam berlangsung disebut curah hujan efektif. Masa hujan efektif untuk suatu lahan persawahan dimulai dari pengolahan tanah sampai tanaman dipanen, tidak hanya selama masa pertumbuhan (Pasandaran dan Taylor, 1984). Curah hujan efektif untuk tanaman lahan tergenang berbeda dengan curah hujan efektif untuk tanaman pada lahan kering dengan memperhatikan pola periode musim hujan dan musim kemarau. Perhitungan curah hujan efektif dilakukan atas dasar prinsip hubungan antara keadaan tanah, cara pemberian air dan jenis tanaman (Handayani, 1992). Besarnya curah hujan efektif diperoleh dari pengolahan data curah hujan harian hasil pengamatan pada stasiun curah hujan yang ada di daerah irigasi/daerah sekitarnya dimana sebelum menentukan curah hujan efektif terlebih dahulu ditentukan nilai curah hujan andalan yakni curah hujan rata-rata setengah bulanan (mm/15 hari) dengan kemungkinan terpenuhi 80% dan kemungkinan tak terpenuhi 20% dengan menggunakan rumus analisis (Chow, 1994): . (3.1) (3.2) 32
Dimana : R80 = Curah hujan andalan tengah bulan (mm/hari) Re = Curah hujan efektif (mm/hari) n = Jumlah tahun pengamatan curah hujan. Curah hujan efektif dapat juga dihitung dengan rumus: Re = Rtot (125 0,2 Rtot)/125 ; Rtot < 250 mm (3.3) Re = 125 + 0,1 Rtot ; Rtot > 250 mm (3.4) Dimana : Rtot adalah jumlah curah hujan bulanan (mm/hari)
Curah Hujan Wilayah Hampir semua analisis hidrologi membutuhkan data distribusi hujan. Biasanya curah hujan rata-rata yang mewakili suatu DAS atau Sub-DAS dapat ditentukan dengan beberapa cara. 1. Rata-rata Aritmetik Nilai curah hujan wilayah dapat ditentukan dari beberapa data curah hujan stasiun penakar/klimatologi dengan menggunakan nilai rata-rata curah hujan stasiun yang terdapat di dalam DAS. (3.5) Keterangan: CH = Curah hujan rata-rata wilayah CH i = Curah hujan pada stasiun i n = Jumlah stasiun penakar hujan
2. Metode Poligon Thiessen Metode poligon Thiessen adalah cara penentuan hujan wilayah dengan rata-rata tertimbang. Masing-masing pos penakar hujan mempunyai daerah pengaruh sendiri-sendiri seperti terlihat pada Gambar 3.12 (d). Metode penggambaran poligon dapat dilihat pada Gambar 3.12 (a), (b) dan (c). 33
Gambar 3.12 Metode Polgon Thiessen dan prosedur pembuatannya Nilai curah hujan wilayah dapat ditentukan dengan menggunakan rumus:
(3.6) Dimana A i adalah luas yang diwakili oleh stasiun i.
3. Metode Isohyet Metode Isohyet adalah metode penentuan curah hujan wilayah berdasarkan kontur curah hujan berdasarkan data curah hujan yang ada di dalam DAS dan di sekitar wilayah (lihat Gambar 3.13).
I ntensitas Hujan Dalam perencenaan bangunan hidrologi dan hidraulik, intensitas hujan merupakan data atau informasi yang dibutuhkan dalam penentuan debit rencana. Oleh karena itu perlu disajikan metode penentuan intensitas hujan untuk wilayah yang tidak memiliki pengamatan intensitas hujan akibat keterbatasan alat ukur. Ada beberapa metode untuk menghitung intensitas hujan secara empiris yakni: 1. Metode Talbot (1881) (3.7) 34
Gambar 3.13 Metode Isohyet
2. Metode Sherman (1905); hanya digunakan untuk t < 2 jam (3.8)
35
3. Metode Ishiguro (3.9) 4. Metode Mononobe (3.10) Keterangan: i = intensitas hujan (mm/jam) t = waktu atau durasu hujan (menit: rumus 1-3; jam: rumus 4) a, b, m = tetapan d 24 = curah hujan maksimum dalam 24 jam (mm) n = jumlah pasangan data i dan t Metode ini lebih teliti dibandingkan dengan metode rata-rata aritmetik.
CONTOH SOAL : Suatu DAS seperti pada Gambar 3.14 memiliki data curah hujan seperti pada Tabel 3.1. Hitunglah curah hujan wilayah dengan menggunakan (i) rata-rata aritmetika dan (ii) metode Poligon Thiessen. Tabel 3.1 Nilai Luas dan Curah Hujan
Gambar 3.14. Posisi Penakar pada suatu DAS
36
Solusi: (Gunakan Kalulator atau Spreadsheet) (i) Dengan mengunakan rata-rata aritmetika diperoleh nilai curah hujan 3.20 in. (ii) Dengan mengunakan metode Poligon Thiessen diperoleh nilai 3.45 in (lihat Tabel 3.1).
3.4 PENUGASAN 1. Kumpulkan data curah hujan harian suatu wilayah (sub-DAS) selama kurung satu tahun. 2. Kumpulkan data curah hujan bulanan dari suatu wilayah (sub-DAS) selama kurung waktu 10 tahun.
3.5 SOAL LATIHAN
1. Apa yang dimaksud dengan: a. Curah hujan wilayah b. Intensitas hujan
2. Jelaskan proses terjadinya hujan dan sebutkan tipe-tipe hujan. 3. Gambarkan poligon Thiessen Gambar berikut dan hitung luas masing-masing bagian dengan planimeter atau dengan screen digitasi pada Arc-GIS. Hitung Curah hujan wilayah dengan metode aritmetika jika CH di Stasiun A sampai K, adalah: 29,79; 34,97; 25,6; 24,21; 24,60; 42,61; 42,35; 15,51; 39,99; 43,04; dan 28,41. 37
4. Diskusikan metode penentuan curah hujan wilayah, kelebihan dan kekurangan masing-masing metode.
3.6 DAFTAR PUSTAKA Chow, VT., Maidment, DR., and Mays, LW. 1988. Applied Hydrology. McGraw-Hills. New York. Linsley RK., Kohler, MA., and Paulhus, JLH. 1982. Hydrology for Engineers. McGraw- Hills. New York. Maidment, DR. (ed) 1989. Handbook of Hydrology. McGraw-Hill, New York. Soemartono, CD. 1999. Hidrologi Teknik. Penerbit Erlangga, Jakarta. Sastrodarsono, Suyono dan Kensaku Takeda. 1999, Hidrologi untuk Pengairan. Pradnya Pramita. Bandung. Todd, 1983, Introduction to Hydrology. McGraw-Hill, New York Viessman, W., Lewis, GL., and Knapp, JW. 1989. Introduction to Hydrology. Harper Collins Pub. New York.