Anda di halaman 1dari 17

21

III. HUJAN DAN PARAMETER IKLIM





Sasaran Pembelajaran/Kompetensi:
1. Mahasiswa mampu menjelaskan proses kejadian hujan
2. Mahasiswa mampu menjelaskan metode pengukuran hujan dan alat ukurnya
3. Mahasiswa mampu mengidentifikasi dan menganalisis karakeristik hujan
4. Mahasiswa mampu menghitung rata-rata hujan wlayah
5. Mahasiswa mampu menjelaskan parameter iklim lain


3.1 Pengertian dan Proses Kejadian Hujan
Presipitasi atau Hujan adalah peristiwa jatuhnya air/es dari atmosfer ke permukaan
bumi dan atau laut dalam bentuk yang berbeda. Hujan di daerah tropis (termasuk
Indonesia) umumnya dalam bentuk air dan sesekali dalam bentuk es pada suatu
kejadian ekstrim, sedangkan di daerah subtropis dan kutub hutan dapat berupa air atau
salju/es.
Besarnya curah hujan adalah volume air yang jatuh pada suatu areal tertentu.
Besarnya curah hujan dapat dimaksudkan untuk satu kali hujan atau untuk masa
tertentu seperti perhari, perbulan, permusim atau pertahun (Sitanala, 1989). Curah
hujan yang diperlukan untuk penyusunan suatu rancangan pemanfaatan air dan
rancangan pengendalian banjir adalah curah hujan rata-rata diseluruh daerah yang
bersangkutan. Distribusi curah hujan adalah berbeda-beda sesuai dengan jangka waktu
yang ditinjau dari curah hujan tahunan, curah hujan bulanan, curah hujan harian dan
curah hujan perjam. Harga-harga yang diperoleh ini dapat digunakan untuk
menentukan prospek dikemudian hari dan akhirnya perancangan sesuai dengan tujuan
yang dimaksud (Sosrodarsono dan Takeda, 1999).
Kejadian hujan menunjukkan suatu variabilitas dalam ruang dan waktu. Salah
satu konsekuensi dari variabliltas hujan adalah terjadinya fluktuasi curah hujan di
setiap wilayah yang dapat menimbulkan kondisi ekstrim berupa kekeringan dan banjir
yang terjadi dengan skala yang berbeda dan tergantung pada periode keberulangannya.
22

Dinamikan Atmosfir: Variabel utama yang digunakan untuk menggambarkan kondisi
dinamik atmosfir adalah are kerapatan udara, tekanan udara, dan suhu. Persamaan lama
menghubungkan variabel atmosfir dengan laju atmosfir melalaui sistem 6 persamaan
(konservasi massa, konservasi energi, hukum gas ideal, dan 3 persamaan konservasi
momentum, komponen masing-masing persamaan memiliki parameter laju) pada enam
parameter (tekanan, temperature, kerapatan, dan 3 komponen laju).
Salah satu komponen siklus hidrologi yang sangat penting dan selalu diukur
adalah hujan. Pengukuran hujan telah dilakukan sejak lama dengan melakukan
penakaran hujan. Penakar hujan pertama berada di Korea tahun 1400an, dan 200 tahun
kemudian, Sir Christopher Wren menginvensi alat penakar hujan otomatis.

Gambar 3.1/2 Standar alat penakar hujan (Dimensi dalam inchi dan millimeter).

23

Data rekaman meteorologi dan hidrologi dimaksudkan untuk penilaian sumber
daya air, evaluasi kejadian banjir puncak di wilayah pertanian dan perkotaan/
permukiman Kebutuhan data dapat bervariasi dari menit ke menit sampai bulanan dan
tahunan.
Proses Kejadian Hujan
Pembentukan hujan merupakan proses fisika awan Sejumlah proses fisik
terdapat dalam proses terjadiinya hujan, dan proses tersebut memiliki hubungan dengan
berbagai issu dari kualitas lingkungan sampai perubahan iklim.
1. Terbentuknya awan
Awan terbentuk ketika udara menjadi sangat jenuh (supersaturated), dimana ketika
teknan uap aktual mencapai atau melebihi tekanan uap jenuh: Supersaturation terjadi
melalui pengembangan dan pendinginan kolom udara yang menyebabkan uap air
terkondensasi pada partikel atmosfir. Proses ini disebut nukleasi (nucleation). Aeroso;
atmosfir yang merupakan suspensipadat atau bahan cair dengan kecepatan jatuh kecil
memegang peranan penting dalam permulaan kondensasi dengan memfasilitasi tempat
proses nukleasi bagi uap air. Dua tipe awan dapat dibedakan atas awan dingin (cold
clouds) dan awan panas (warm clouds). Awan dengan suhu di atas 0
0
C disebut awan
dingin.
2. Struktur Awan
Di awal abad 20, Wegener menyatakan bahwa pada campuran awan yang terbentuk
dari condensasi uap merupakan mekanisme umum terjadinya hujan yang terkadang
juga membentuk salju dan es. Jenis hujan yang terbentuk sangat dipengaruhi oleh suhu
lapisan atmosfir antara terjadinya hujan dan permukaan tanah (lapisan yang dilewati
hujan).
Droplet atau butiran hujan bertumbuh pada awan yang suhunya lebih tinggi
(warm clouds) melalui proses kondensasi, kollisi (collision), dan koalesens
(coalescence). Umumnya awan yang terbentuk di wilayah tropis adalah awan dengan
suhu diatas 0
o
C. Jenis awan ini mencairkan partikel kristal yang terbentuk di wilayah
atmosfir dengan suhu di bawah 0
o
C. Proses ini juga mengecilkan kristal hujan dan
membentuk butiran hujan.
24


Gambar 3.3 Konsentrasi nuklei kondensasi awan di armosfir wilayah kontinental
dan laut

3. Proses Jatuhnya Air Hujan
Mekanisme jatuhnya air hujan secara umum terjadi karena proses konveksi dan
pembentukan awan berlapis (stratiform). Kedua mekanisme ini berbeda dalam
proses pembentukan dan pembesaran ukuran dan berat butiran hujan yang
menyebabkan pergerakan vertikal udara yang berasosiasi dengan awan pembentuk
hujan.
Pada mekanisme stratiform, gerakan vertikal udara lemah, partikel hujan
diinisiasi dekat permukaan atas awan hingga proses terjadinya pengembangan
hujan cukup lama (berjam-jam). Untuk mekanisme konvektif, gerakan udara
vertikal sangat cepat sehingga pembesaran partikel butiran hujan diinisiasi dengan
cepat saat terbentuknya awan. Hal ini menyebabkan proses jatuhnya butiran hujan
sangat cepat (sekitar 45 menit).
Mekanisme lain dalam proses hujan adalah kombinasi konvektif dan
stratiform yang merupakan proses pengangkatan massa udara dan uap air secara
orografis melalui pegungungan dan perbukitan.



25

Ada enam kelas sistem kejadian hujan secara umum yang diuraikan seperti
berikut:
a. Siklon Extratropis
Sirkulasi udara yang terdiri dari massa udara (streams) yang bergerak secara
normal dan stabil mengikuti pola gerakan di atas permukaan bumi. Suhu dan
kelembaban udara sangat tergantung pada asal gerakan udara; masssa udara
kontinental kutub dingin dan kering; massa udara laut tropis panas dan lembab.
Wilayah disekitar daerah tropis sangat berbeda sehingga dua airan udara paralel
dengan suhu berbeda sehingga memicu ketidak stabilan di lapisan antara keduanya
yang cenderung menyebabkan terjadinya siklon.
Kejadian kurva siklon ekstratropis curve dapat mencapai ribuan kilometer.
Pengangkatan vertiakal dalam siklon ekstratropis diasosiasikan dengan posisi kurva
dengan kecepatan kurng dari 0.1 km/jam. Kebanyakan hujan pada siklon ini
didominasi oleh mekanisme stratiform yang dimicu oleh kejadian konvektif seperti
terlihat pada Gambar 3.4.


Gambar 3. 4 Model Konsep Siklon Ekstratropis. (Smidth dalam Maidment, 1989)

b. Midlatitude Thunderstorms
Seperti halnya siklon ekstratropis yang merupakan contoh hujan stratiform, maka
midlatitude thunderstorms merupakan contoh hujan konveksi. Massa udara
thunderstorms terbentuk dari massa udara tak stabil secara konveksi dalam jumlah
yang relatif besar dari kandungan uap rendah dan gesekan angin kecil. Struktur
spasial hujan ditentukan dengan pola acak pada thunderstorm.
Studi pada akhir 1940an memberikan hasil proses kejadian hujan
thunderstorm yang memiliki karakterisrik siklus, (1) membetuk awan cumulus yang
26

membentuk partikel hujan di awan tapi tidak mencapai bumi karena proses
pengangkatan udara yang kuat, (2) tahap pematangan dimana gesekan partikel
hujan menyebabkan gerak ke bumi sehingga butiran hujan jatuh, dan (3) tahap
dissipasi dimana butiran hujan kecil terus jatuh. Umumnya thunderstorms tidak
menghasilkan curah hujan yang tinggi pada wilayah yang luas. Kejadian
thunderstorms dalam skala sedang (mesoscale convective systems, MCS)
merupakan penyebab utama terjadinya banjir di berbagai tempat.

Gambar 3.5 Tahap pengembangan massa udara thunderstorm (Maidment, 1989)

c. Kluster Awan Tropis (Tropical Cloud Clusters)
Gambar 3.6 menunjukkan bahwa secara global curah hujan rata-rata tahunan di
wilayah tropis merupakan yang terbesar. Curah hujan yang maksimum tersebut
berasosiasi dengan kluster awan yang terjadi pada zona putaran angin yang
memusat. Kluster awan, seperti halnya pada sistem awan tropis, konveksi
merupakan pemicu awal kejadian hujan. Meskipun sistem awan tropis meliputi
jangkauan skala yang luas, kebanyakan hujan karena proses kluster awan jatuh
pada luas wilayah yang dapat mencapai 50.000 km
2
. Hujan tropis memainkan
peranan penting dalam sirkulasi global dan berkaitan erat dengan anomali
sirkulasi atmosfir seperti El-Nino.
27


Gambar 3.6 Curah hujan tahunan berdasarkan posisi latitude.

d. Hujan Monsoon ( Monsoon Rainfall)
Akumulasi hujan terbesar selama periode lebih dari 24 jam berasosiasi dengan
Asian monsoon. India dan Asia Tenggara adalah lokasi utama kejadian hujan
monsoon selama musim panas di Asia. Indonesia dan Malaysia sering
mengalami hujan monsoon ekstrim selama periode Winter di Asia. Istilah
monsoon diadopt dari bahasa arab yang berarti musim. Karakteristik umum
iklim monsoon ditandai oleh arah angin yang berlawanan pada dua musim.
Misalnya di Indonesia dikenal dengan Musim Angin Timur (banyak hujan) dan
Musim Angin Barat (kurang hujan).
e. Hujan Badai (hurricanes)
Badai umumnya dikenal di wilayah pasifik yang menyebabkan hujan ektrim di
wilayah pesisir pantai sepanjang Samudra Atlantik dan Pasifik. Kejadian hujan
badai merupakan proses ektrim dari konveksi dan stratiform. Kejadian badai
masih merupakan proses yang diperdebatkan.


28


f. Hujan Orografis
Pengaruh Orografis dapat merubah type kejadian hujan di atas . Hujan orografis
pada prinsipnya memiliki mekanisme: (1) inisiasi konveksi, (2) pengangkatan
dalam skala besar, dan (3) pertumbuhan yang lambat.

1. Karakteristik Hujan
Ada dua faktor fisik yang mempengaruhi curah hujan, yakni kecepatan jatuh butiran
hujan dan distribusi ukuran butiran hujan. Kedua faktor ini mempengaruhi proses yang
terjadi di tanah saat hujan jatuh.
2. Kcepatan jatuh butiran hujan
Kecepatan terminal suatu bola padat butiran hujan merupakan proportional dari
akar pangkat dua dari diameter butiran. Air yang jatuh melewati udara
menimbulkan gaya aerodinamik yang menyebabkan butiran hujan bergetar dan
terdeformasi. Diameter butiran hujan kurang dari 0.35 mm umumnya bulat dan
jatuh ke bumi dengn ukuran yang dapat mencapai diameter 1 mm dengan bentuk
lonjong (oblate spheroid). Butiran yang lebih besar umumnya ujungnya cembung
(flattened concave). Untuk butiran hujan besar, vibrasi dan deformasi seringkali
memecah butirsn hujan.

Gambar 3.7 Bentuk butiran hujan berdasarkan diameter butiran (Maidment, 1989)

Kecepatan jatuh hujan dapat diestimasi dengan rumus Gunn and Kinzer:
v(D) = 3,86 D
0.67
. (3.1)
Keterangan v(D) adalah kecepatan jatuh butiran hujan, dan D adalah diameter
butiran hujan pada kisaran antara 0.8 dan 4.0 mm.
3. Distribusi Ukuran Butiran
Distribusi ukuran butiran hujan dalam volume di atmosfir dikarakterisasi oleh
hubungan densitas butiran (dalam butiran per meter kubik) dan distribusi ukuran
29

butiran (dalam mm). Distribusi ukuran butiran secara khusus dinyatakan sebagai
fungsi N(D) yang menunjukkan densitas butiran hunan sebagai suatu fungsi
diameter butiran hujan. Distribusi butiran hujan umumnya dinyatakan dengan
distribusi Marshall-Palmer:
N(D) = No exp(-D)
dimana N(D) dan No adalah jumlah butiran per meter kubik per mm masing-
masing diameter butiran hujan dan dalam mm. Nilai No adalah 8000 m
-3
mm
-1
.
Marshall dan Palmer menghubungkan parameter dengan laju hujan dengan
rumus:
= 4,1 R
-0,21
R adalah laju hujan (mm/jam). Beberapa peralatan otomatis dikembangkan untuk
mengukur distribusi ukuran butirsn hujan termasuk distrometer dan raindrop
camera.

3.3 Pengukuran Curah Hujan dan Perhitungan Hujan Wilayah
Alat Penakar Hujan
Berbagai alat ukur atau penakar telah dikembangkan untuk menakar hujan. Dua tipe
penakar: terekam dan tak terekam. Alat penakar hujan terekam otomatis menyajikan
data akumulasi curah hujan pada waktu tertentu sampai pada data per menit atau lebih
detail. Perekam data hujan otomatis biasanya dilengkapi dengan telemetri melalui
sistem transmisi real-time dan kelengkapan khusus untuk manajemen sumber daya air.

Ada tiga tipe perekam data hujan:
weighing type, float and siphontype,
dan tipping-bucket type. Gambar 3.8
adalah ilustrasi penakar hujan
weighing type. Alat penakat tak
terekam terdiri dari penadah/wadah
silinder sederhana dan sebuah
batang pengkalibrasi yang
merupakan bagian penakaran.
Gambar 3.8 Alat penakar hujan type weighing

30


Gambar 3.9 Mekanisme internal alat penakar hujan Meteorological Office Tilting-
syphon. A=Collecting chamber; B=Plastic float; C=Knife-edges;
D=Double siphon tubes; E=Trigger;



Gambar 3.10 Prinsip dasar mekanisme tipping-bucket. A, B: buckets. C: magnet. D:
switch.
31



Gambar 3.11. Alat Penakar Hujan (manual dan otomatis)

Curah Hujan Efektif (Re)
Hujan yang diharapkan terjadi selama satu musim tanam berlangsung disebut curah
hujan efektif. Masa hujan efektif untuk suatu lahan persawahan dimulai dari
pengolahan tanah sampai tanaman dipanen, tidak hanya selama masa pertumbuhan
(Pasandaran dan Taylor, 1984).
Curah hujan efektif untuk tanaman lahan tergenang berbeda dengan curah hujan
efektif untuk tanaman pada lahan kering dengan memperhatikan pola periode musim
hujan dan musim kemarau. Perhitungan curah hujan efektif dilakukan atas dasar
prinsip hubungan antara keadaan tanah, cara pemberian air dan jenis tanaman
(Handayani, 1992).
Besarnya curah hujan efektif diperoleh dari pengolahan data curah hujan harian
hasil pengamatan pada stasiun curah hujan yang ada di daerah irigasi/daerah
sekitarnya dimana sebelum menentukan curah hujan efektif terlebih dahulu ditentukan
nilai curah hujan andalan yakni curah hujan rata-rata setengah bulanan (mm/15 hari)
dengan kemungkinan terpenuhi 80% dan kemungkinan tak terpenuhi 20% dengan
menggunakan rumus analisis (Chow, 1994):
. (3.1)
(3.2)
32

Dimana : R80 = Curah hujan andalan tengah bulan (mm/hari) Re = Curah hujan
efektif (mm/hari) n = Jumlah tahun pengamatan curah hujan.
Curah hujan efektif dapat juga dihitung dengan rumus:
Re = Rtot (125 0,2 Rtot)/125 ; Rtot < 250 mm (3.3)
Re = 125 + 0,1 Rtot ; Rtot > 250 mm (3.4)
Dimana : Rtot adalah jumlah curah hujan bulanan (mm/hari)

Curah Hujan Wilayah
Hampir semua analisis hidrologi membutuhkan data distribusi hujan. Biasanya curah
hujan rata-rata yang mewakili suatu DAS atau Sub-DAS dapat ditentukan dengan
beberapa cara.
1. Rata-rata Aritmetik
Nilai curah hujan wilayah dapat ditentukan dari beberapa data curah hujan stasiun
penakar/klimatologi dengan menggunakan nilai rata-rata curah hujan stasiun yang
terdapat di dalam DAS.
(3.5)
Keterangan:
CH = Curah hujan rata-rata wilayah
CH
i
= Curah hujan pada stasiun i
n = Jumlah stasiun penakar hujan

2. Metode Poligon Thiessen
Metode poligon Thiessen adalah cara penentuan hujan wilayah dengan rata-rata
tertimbang. Masing-masing pos penakar hujan mempunyai daerah pengaruh
sendiri-sendiri seperti terlihat pada Gambar 3.12 (d). Metode penggambaran
poligon dapat dilihat pada Gambar 3.12 (a), (b) dan (c).
33


Gambar 3.12 Metode Polgon Thiessen dan prosedur pembuatannya
Nilai curah hujan wilayah dapat ditentukan dengan menggunakan rumus:

(3.6)
Dimana A
i
adalah luas yang diwakili oleh stasiun i.

3. Metode Isohyet
Metode Isohyet adalah metode penentuan curah hujan wilayah berdasarkan kontur
curah hujan berdasarkan data curah hujan yang ada di dalam DAS dan di sekitar
wilayah (lihat Gambar 3.13).

I ntensitas Hujan
Dalam perencenaan bangunan hidrologi dan hidraulik, intensitas hujan merupakan
data atau informasi yang dibutuhkan dalam penentuan debit rencana. Oleh karena
itu perlu disajikan metode penentuan intensitas hujan untuk wilayah yang tidak
memiliki pengamatan intensitas hujan akibat keterbatasan alat ukur.
Ada beberapa metode untuk menghitung intensitas hujan secara empiris yakni:
1. Metode Talbot (1881)
(3.7)
34


Gambar 3.13 Metode Isohyet

2. Metode Sherman (1905); hanya digunakan untuk t < 2 jam
(3.8)


35

3. Metode Ishiguro
(3.9)
4. Metode Mononobe
(3.10)
Keterangan:
i = intensitas hujan (mm/jam)
t = waktu atau durasu hujan (menit: rumus 1-3; jam: rumus 4)
a, b, m = tetapan
d
24
= curah hujan maksimum dalam 24 jam (mm)
n = jumlah pasangan data i dan t
Metode ini lebih teliti dibandingkan dengan metode rata-rata aritmetik.

CONTOH SOAL :
Suatu DAS seperti pada Gambar 3.14 memiliki data curah hujan seperti pada Tabel 3.1.
Hitunglah curah hujan wilayah dengan menggunakan (i) rata-rata aritmetika dan (ii)
metode Poligon Thiessen.
Tabel 3.1 Nilai Luas dan Curah Hujan


Gambar 3.14. Posisi Penakar pada suatu DAS

36

Solusi: (Gunakan Kalulator atau Spreadsheet)
(i) Dengan mengunakan rata-rata aritmetika diperoleh nilai curah hujan 3.20 in.
(ii) Dengan mengunakan metode Poligon Thiessen diperoleh nilai 3.45 in (lihat
Tabel 3.1).

3.4 PENUGASAN
1. Kumpulkan data curah hujan harian suatu wilayah (sub-DAS) selama kurung
satu tahun.
2. Kumpulkan data curah hujan bulanan dari suatu wilayah (sub-DAS) selama
kurung waktu 10 tahun.


3.5 SOAL LATIHAN

1. Apa yang dimaksud dengan:
a. Curah hujan wilayah
b. Intensitas hujan

2. Jelaskan proses terjadinya hujan dan sebutkan tipe-tipe hujan.
3. Gambarkan poligon Thiessen Gambar berikut dan hitung luas masing-masing
bagian dengan planimeter atau dengan screen digitasi pada Arc-GIS. Hitung Curah
hujan wilayah dengan metode aritmetika jika CH di Stasiun A sampai K, adalah:
29,79; 34,97; 25,6; 24,21; 24,60; 42,61; 42,35; 15,51; 39,99; 43,04; dan 28,41.
37


4. Diskusikan metode penentuan curah hujan wilayah, kelebihan dan kekurangan
masing-masing metode.

3.6 DAFTAR PUSTAKA
Chow, VT., Maidment, DR., and Mays, LW. 1988. Applied Hydrology. McGraw-Hills.
New York.
Linsley RK., Kohler, MA., and Paulhus, JLH. 1982. Hydrology for Engineers. McGraw-
Hills. New York.
Maidment, DR. (ed) 1989. Handbook of Hydrology. McGraw-Hill, New York.
Soemartono, CD. 1999. Hidrologi Teknik. Penerbit Erlangga, Jakarta.
Sastrodarsono, Suyono dan Kensaku Takeda. 1999, Hidrologi untuk Pengairan. Pradnya
Pramita. Bandung.
Todd, 1983, Introduction to Hydrology. McGraw-Hill, New York
Viessman, W., Lewis, GL., and Knapp, JW. 1989. Introduction to Hydrology. Harper
Collins Pub. New York.

Anda mungkin juga menyukai