0 penilaian0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
738 tayangan17 halaman
Tiga faktor utama kegagalan implementasi sistem informasi adalah kurangnya dukungan manajemen, minimnya keterlibatan pengguna akhir, dan ketiadaan perencanaan yang memadai. Faktor-faktor lain seperti kesenjangan komunikasi dan inkompetensi secara teknologi juga dapat menyebabkan kegagalan.
Tiga faktor utama kegagalan implementasi sistem informasi adalah kurangnya dukungan manajemen, minimnya keterlibatan pengguna akhir, dan ketiadaan perencanaan yang memadai. Faktor-faktor lain seperti kesenjangan komunikasi dan inkompetensi secara teknologi juga dapat menyebabkan kegagalan.
Tiga faktor utama kegagalan implementasi sistem informasi adalah kurangnya dukungan manajemen, minimnya keterlibatan pengguna akhir, dan ketiadaan perencanaan yang memadai. Faktor-faktor lain seperti kesenjangan komunikasi dan inkompetensi secara teknologi juga dapat menyebabkan kegagalan.
Faktor-faktor yang mempengaruhi kesukesan penerapan sistem informasi, antara
lain adanya dukungan dari manajemen eksekutif, keterlibatan end user (pemakai akhir), penggunaan kebutuhan perusahaan yang jelas, perencanaan yang matang, dan harapan perusahaan yang nyata. Sementara alasan kegagalan penerapan sistem informasi antara lain karena kurangnya dukungan manajemen eksekutif dan input dari end-user, pernyataan kebutuhan dan spesifikasi yang tidak lengkap dan selalu berubah-ubah, serta inkompetensi secara teknologi [1]. 1. Kurangnya dukungan dari pihak eksekutif atau manajemen Persetujuan dari semua level manajemen terhadap suatu proyek sistem informasi membuat proyek tersebut akan dipersepsikan positif oleh pengguna dan staf pelayanan teknis informasi. Dukungan tersebut dapat diwujudkan dalam bentuk penghargaan terhadap waktu dan tenaga yang telah dicurahkan pada proyek tersebut. Beberapa resiko dan konsekuensi manajemen yang tidak tepat dalam pengembangan sistem informasi adalah sebagai berikut. Biaya yang berlebih-lebihan sehingga melampaui anggaran. Melampaui waktu yang telah diperkirakan. Kelemahan teknis yang berakibat pada kinerja yang berada dibawah tingkat dari yang diperkirakan. Gagal dalam memperoleh manfaat yang diperkirakan. 2. Kurangnya keterlibatan atau input dari end user (pemakai akhir) Keterlibatan dalam desain dan operasi sistem informasi mempunyai beberapa hasil yang positif. Pertama, jika pengguna terlibat secara mendalam dalam desain sistem, maka user akan memiliki kesempatan untuk mengadopsi sistem menurut prioritas dan kebutuhan bisnis, dan lebih banyak kesempatan untuk mengontrol hasilnya. Kedua, pengguna berkecenderungan untuk lebih bereaksi positif terhadap sistem karena mereka merupakan partisipan aktif dalam proses perubahan itu sendiri. Kesenjangan komunikasi antara pengguna dan perancang sistem informasi terjadi karena pengguna dan spesialis sistem informasi cenderung memiliki perbedaan dalam latar belakang, kepentingan, dan prioritas. Inilah yang sering dikatakan sebagai kesenjangan komunikasi antara pengguna dan desainer (user-designer communication gap).
3. Tidak Memiliki Perencanaan Memadai Sistem informasi sebaiknya harus ditentukan maksud dan tujuannya. Setelah itu, menambahkan komponen-komponen yang sesuai dengan tujuan utama dari sistem informasi tersebut. Perencanaan sistem informasi sebaiknya sejalan dengan tujuan dan komponen-komponen yang telah ditentukan sehingga tidak keluar dari jalur utama yang telah ditetapkan. Sistem informasi yang tidak sesuai dengan kebutuhan akan menghambat tujuan dari perusahaan tersebut. Pengembangan dan penerapan sistem informasi yang tidak didukung dengan perencanaan yang matang tidak akan mampu menjembatani keinginan dan kepentingan berbagai pihak di perusahaan. Hal ini dikarenakan sistem yang dijalankan tidak sesuai dengan arah dan tujuan perusahaan. Oleh karena itu, perusahaan yang tidak memiliki kompetensi inti dalam bidang teknologi informasi sebaiknya menjadi tidak memaksakan untuk menjadi leader dalam investasi teknologi informasi. Sebagian besar penyedia jasa teknologi informasi kurang sensitif terhadap manajemen perusahaan, tetapi hanya fokus pada tools yang akan dikembangkan. Kelemahan inilah yang mengharuskan perusahaan untuk mengidentifikasi secara jelas kebutuhan dan spesifikasi sistem informasi yang akan diterapkan berikut manfaatnya terhadap perusahaan. Kemauan perusahaan dalam merancang penerapan sistem informasi berdasarkan sumberdaya yang dimiliki diyakini dapat meningkatkan keunggulan kompetitif perusahaan. 4. Inkompetensi secara Teknologi Kesuksesan pengembangan sistem informasi tidak hanya bergantung pada penggunaan alat atau teknologinya saja, tetapi juga manusia sebagai perancang dan penggunanya. Sistem informasi yang tidak disosialisasikan akan menyebabkan karyawan tidak dapat menggunakan sistem informasi tersebut. Hal ini akan berdampak pada menurunnya kinerja perusahaan dan kegagalan sistem informasi sehingga sistem informasi yang telah dirancang akan sia-sia serta menyebabkan kerugian materi yang cukup besar. Selain itu, waktu sosialisasi yang singkat dapat menjadi kendala dalam hal penerapan sistem informasi. Karyawan hanya mempelajari sedikit mengenai sistem informasi yang mereka gunakan sehingga kemampuan mereka terbatas. Penyesuaian tertentu dalam menerapkan sistem informasi harus ada. Penyesuaian terhadap strategi penerapan sistem yang baru harus disosialisasikan dengan jelas kepada karyawan. Sistem informasi harus dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan pengguna. Kompleksitas sistem bukanlah merupakan jaminan perbaikan kinerja, bahkan menjadi kontraproduktif jika tidak didukung oleh kesiapan sumber daya manusia dalam tahapan implementasinya. Hal ini sering terjadi terutama pada perusahaan yang pengetahuan teknologi informasinya rendah. Jika pengembangan sistem informasi diserahkan pada orang-orang yang kurang berkompeten di bidangnya maka akan berakibat fatal bagi perusahaan ketika sistem tersebut telah diterapkan. Pengembangan sistem informasi sebagai salah satu sarana pencapaian tujuan perusahaan, sehingga keduanya harus relevan, serta perlu disiapkan dengan baik dan matang. Selain itu, perusahaan harus memiliki harapan yang nyata, yaitu yang ingin dicapai dan berusaha dalam meraihnya, sehingga efektivitas dari pengembangan atau penerapan sistem informasi dapat terjadi. Selain beberapa hal yang disebutkan diatas, riset tentang implementasi sistem informasi juga memberikan beberapa faktor lain yang dapat mempengaruhi kegagalan dan keberhasilan penerapan sistem informasi pada perusahaan seperti: a. Kesenjangan Komunikasi Antara Pengguna dengan Perancang Sistem Informasi Hubungan antara konsultan dengan klien secara tradisional merupakan bidang masalah dalam upaya sistem informasi. Pengguna dan specialist sistem informasi cenderung mempunyai perbedaan dalam latar belakang, kepentingan, dan prioritas. Inilah yang sering dikatakan sebagai kesenjangan komunikasi antara pengguna dan perancang. Perbedaan ini akan menyebabkan adanya perbedaan loyalitas organisasi, pendekatan dalam pemecahan masalah, dan referensi. b. Tingkat Kompleksitas dan Resiko Beberapa proyek pengembangan sistem terdapat kecenderungan gagal karena sistem-sistem tersebut mengandung tingkat resiko yang tinggi dibandingkan yang lain. Para peneliti telah mengidentifikasikan tiga faktor kunci yang memengaruuhi tingkat resiko proyek, yaitu:
a. Ukuran proyek, semakin besar proyek semakin besar pula resikonya. b. Struktur proyek, beberapa proyek strukturnya lebih tinggi di banding yang lain. Persyaratan-persyaratannya jelas dan lugas, sehingga output dan proses dapat secara mudah ditentukan. c. Pengalaman dengan teknologi, resiko proyek akan meningkat jika tim proyek dan staf sistem informasi kurang memiliki keahlian teknis. Semakin tinggi tingkat resiko semakin tinggi pula usaha implementasi akan gagal. d. Manajemen dan proses implementasi, konflik dan ketidakpastian dalam implementasi proyek dikelola dan diorganisasi dengan cara yang tidak sempurna (jelek). Sistem pengembangan proyek tanpa manajemen yang tepat besar kemungkinan akan membawa konsekuensi kerugian sebagai berikut: 1. Biaya yang berlebih-lebihan sehingga melampaui anggaran. 2. Melampaui waktu yang telah diperkirakan. 3. Kelemahan teknis yang berakibat pada kinerja yang berada dibawah tingkat dari yang diperkirakan. 4. Gagal dalam memperoleh manfaat yang diperkirakan.
FAKTOR MANUSIA DALAM KEGAGALAN INTERAKSI 1. Pendahuluan Pada bagian ini, semua bentuk komunikasi antara user dengan sistem didefinisikan sebagai interaksi. Ada beberapa cara user dapat berkomunikasi dengan sistem. Satu bentuk interaksi yang paling minimal adalah batch input, yaitu user memasukkan semua informasi sekaligus dan membiarkan komputer menjalankan proses. Kegagalan yang sering terjadi diakibatkan karena tidak ada peringatan tentang mandatory input apa yang harus diisi oleh user sehingga terkadang menimbulkan missing value dan juga missing link karena misalnya data terkoneksi juga dengan table yang lain pada suatu sistem. Warning dan juga feedback dari sistem perlu diberikan agar user lebih terbiasa dan juga menghindari human error yang mungkin terjadi, baik itu karena kesalahan pemasukan tipe data dan juga kesalahan pengetikan yang dilakukan oleh user. Kebalikannya adalah direct manipulation dengan aplikasi virtual reality merupakan bentuk yang sangat interaktif, user secara terus menerus memberikan instruksi dan menerima feedback. Kegagalan sistem bisa disebabkan bila user tidak merasakan konteks dari virtual reality sehingga tidak mendapatkan pengalaman yang diinginkan untuk dapat memanipulasi sesuatu menurut intuisinya.[2] 2. Model Interaksi Interaksi melibatkan paling sedikit dua pihak yaitu user dan sistem. Keduanya memiliki karakteristik yang kompleks dan berbeda satu dengan lainnya dalam berkomunikasi dan memandang tugas serta domain. Oleh karena itu interface harus bisa menterjemahkan komunikasi diantara keduanya secara efektif untuk menghasilkan interaksi yang efektif. Proses ini dapat mengalami kegagalan karena tidak terjadinya kesepahaman antara user dengan domain aplikasi yang digunakan, misalnya user dari bidang bisnis belum tentu mengerti pemakaian UML dari bidang teknologi informasi untuk memodelkan sesuatu. Faktor yang lain adalah pengalaman dari user itu sendiri, user yang memiliki pengalaman dalam mengoperasikan aplikasi yang baru akan lebih cepat dalam mempelajari mental model dari sebuah aplikasi. Penggunaan model interaksi dapat membantu kita memahami proses interaksi dan mengidentifikasi hal-hal yang dapat menyebabkan kegagalan.[3]
3. Terminologi Dalam Interaksi Sistem interaktif bertujuan untuk membantu user dalam mencapai tujuannya dari beberapa domain aplikasi. Pada model interaksi terdapat beberapa terminologi yang membentuk model ini, yaitu: 1. Domain yang merupakan daerah keahlian dan pengetahuan dalam kegiatan nyata. Setiap domain berisi beberapa konsep yang menjadi titik berat atau aspek pentingnya. 2. Tugas (task), operasi untuk memanipulasi konsep-konsep pada sebuah domain. 3. Tujuan (goal), output yang diinginkan dari sebuah tugas yang dilaksanakan. 4. Rencana (intention), aksi khusus yang disyaratkan untuk memenuhi tujuan. 5. Analisis tugas (task analysis) melibatkan identifikasi ruang masalah (problem space) untuk user dari sistem interaktif dalam aspek domain, tujuan, rencana dan tugas. Kita dapat menggunakan pengetahuan mengenai tugas dan tujuan untuk menilai sistem interaktif. Konsep yang digunakan dalam perancangan sistem dan deskripsi user merupakan hal yang terpisah, sehingga keduanya dikatakan sebagai komponen yang terpisah dan disebut sebagai sistem dan user. Sistem dan user masing-masing dideskripsikan dengan bahasa yang dapat mengekspresikan konsep yang relevan dalam domain aplikasi. Bahasa sistem didefinisikan sebagai core language yang mendeskripsikan atribut komputasi dari domain yang relevan dengan state sistem. Bahasa user didefinisikan sebagai task language yang mendeskripsikan atribut psikologis dari domain yang relevan dengan state user. Sistem diasumsikan sebagai aplikasi yang dikomputasikan, namun model dapat diaplikasikan pada aplikasi non- komputer. Kegagalan bisa terjadi karena dalam menerapkan core languange menjadi task language yang mudah dipahami user. Semakin sederhana task yang ingin dilakukan user maka semakin rumit proses yang harus dilakukan core language. Task yang sederhana akan memakai informasi yang seminim mungkin untuk mendapatkan informasi bahkan korelasinya dengan informasi yang lain. Selain itu untuk melakukan transformasi dari core language menjadi interface yang bisa mewakili task processing, membutuhkan jembatan berupa command untuk melakukan suatu fungsi. Kegagalan juga bisa terjadi bila eksekusi command tidak menimbulkan kesadaran user akan proses yang terjadi pada sistem. Artinya butuh langkah tertentu agar membuat command yang dilakukan menjadi berarti dan tetap menjaga validitas fungsinya secara baik. 4. Fase eksekusi dan evaluasi Model interaksi yang dikemukakan oleh Norman mungkin merupakan model yang paling berpengaruh dalam pembahasan interaksi manusia dan komputer. Ini mungkin disebabkan karena model ini paling dekat dengan pemahaman kita mengenai interaksi antara manusia dan komputer. Pada model ini, siklus interaksi terdiri atas dua fase, yaitu eksekusi dan evaluasi. Kedua fase ini kemudian dibagi menjadi tujuh tahap, yaitu mendefinisikan tujuan, membuat rencana, menentukan urutan aksi, menjalankan aksi, memahami keadaan sistem, menerjemahkan keadaan sistem, dan mengevaluasi keadaan sistem yang terkait dengan tujuan dan rencana yang dibuat. Model ini digunakan untuk menunjukkan mengapa beberapa interface menyebabkan masalah bagi usernya. Norman menyebut kedua jenis masalah ini sebagai gulf of execution dan gulf of evaluation. Gulf of execution adalah perbedaan antara formulasi user mengenai aksi untuk mencapai tujuan dengan aksi yang diperbolehkan sistem. Gulf of evaluation adalah perbedaan antara presentasi fisik sistem state dengan yang diharapkan oleh user.
Gambar 1. Gulf of Evaluation and Gulf of Execution
5. Kerangka Interaksi Kerangka interaksi terdiri dari empat komponen yaitu sistem (S), user (U), input (I), dan output (O) seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.
Gambar 2. Kerangka Interaksi Norman Setiap komponen memiliki bahasa masing-masing. Seperti yang telah dibahas sebelumnya sistem menggunakan core language, user dengan task language, input dan output memiliki bahasa sendiri yang merepresentasikan komponen terpisah meskipun kemungkinan ada overlapping. Input dan output bersama-sama membentuk interface dan berada diantara user dan sistem. Terdapat empat langkah dalam siklus interaktif, masing- masing dihubungkan dengan translasi / perubahan dari satu komponen ke komponen lain, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 3.
Gambar 3. Kerangka Umum Interaksi User memulai siklus dengan memformulasikan tujuan dan tugas yang dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut. Satu-satunya cara agar user dapat memanipulasi komputer adalah melalui input, sehingga tugas yang akan dilakukan user harus disampaikan melalui bahasa input. Bahasa input diterjemahkan ke dalam core language agar sistem dapat melakukan operasi yang diperlukan dalam melaksanakan tugas. Sistem kemudian bertransformasi berdasarkan operasi yang didapatkan dari input. Sampai tahap ini fase eksekusi (execution phase) selesai dan dimulai fase evaluasi (evaluation phase). Pada fase evaluasi, sistem berada pada state yang baru dan harus dikomunikasikan dengan user. Ketidakjelasan transisi dari state satu ke state yang lain dapat menimbulkan misinterpretasi dan kesalahan di satu fase state dapat menyebabkan kemacetan alur sistem informasi. Nilai saat ini (current values) dari sistem disebut sebagai konsep output. Bergantung pada user untuk melihat atau mengobservasi output yang dihasilkan serta menilai hasil interaksi dikaitkan dengan tujuan yang hendak dicapai. Kegagalan juga bisa terjadi karena terjadi hambatan dalam menyampaikan nilai output karena ada proses update transaksional atau sinkronisasi yang terlambat. Hal ini akan terlihat pada sistem balance pada inventory atau juga delay pada sistem simulasi yang menuntut informasi yang realtime, misalnya sistem deteksi objek dan collision detection. Bila simulasi ini diterapkan ke sistem real maka bisa mengakibatkan bottleneck atau terjadinya collision. 6. Kerangka Interaksi dan Interaksi Manusia Komputer (IMK) Model kerangka interaksi ini digunakan untuk menampilkan area yang berbeda yang terkait dengan IMK. Ergonomi mengakomodasi isu interface dari sisi user yang meliputi input dan output. Perancangan dialog dan tipe interface diposisikan pada area input yang mengakomodasi artikulasi dan kinerja (performance). Keseluruhan kerangka ditempatkan dalam konteks sosial dan organisasi yang juga mempengaruhi interaksi. Sistem yang interaktif bisa dinilai dari petunjuk yang jelas dan juga navigasi yang jelas dalam menjalankan suatu fungsi. Menu dan tata layout yang terkonsep juga penting untuk menghindari terjadinya salah pengertian terhadap fungsi dari masing-masing modul. Masing-masing area ini memiliki implikasi yang penting terhadap perancangan sistem interaktif dan kinerja user dan akan dibahas secara singkat berikut ini. Kegagalan terjadi ketika ada beberapa hirarki pada departemen yang bisa menggunakan modul dan fungsional yang sama untuk melakukan manipulasi, sehingga bisa menyebabkan terjadinya redundant data atau data loss karena saling melakukan overlapping update. 7. Ergonomi Ergonomi (faktor manusia) merupakan studi tentang karakteristik fisik dari interaksi, seperti bagaimana membuat kontrol, lingkungan fisik tempat berlangsungnya interaksi, layout dan kualitas fisik dari layar dan sebagainya. Fokus utamanya adalah kinerja user dan bagaimana interface meningkatkan atau menurunkan kinerja tersebut. Untuk mengevaluasi aspek interaksi, ergonomi berkaitan dengan aspek psikologis manusia dan batasan sistem. Berikut ini akan dibahas secara singkat beberapa hal yang berkaitan dengan ergonomi. a. Pengaturan Kontrol dan Display Selain aspek kognitif, aspek fisik juga memiliki peranan yang penting dalam perancangan. Sekumpulan kontrol dan bagian display harus dikelompokkan secara logika agar dapat diakses dengan cepat oleh user. Mungkin hal ini tidak kelihatan terlalu kritis jika aplikasinya sederhana seperti sebuah spreadsheet, namun akan menjadi vital jika digunakan misalnya pada aplikasi kendali pabrik, penerbangan, dan pengatur lalu lintas udara. Penempatan kontrol dan display yang tidak tepat akan mengakibatkan inefisiensi dan frustasi bagi user terutama jika user berada dalam tekanan yang besar dan dihadapkan pada sekumpulan kontrol dan display dalam jumlah yang banyak. Pengorganisasian kontrol dan display bergantung pada domain dan aplikasi yang dibuat, namun akan meliputi hal sebagai berikut: 1. Fungsional yaitu berkaitan dengan kontrol dan display diatur sedemikian rupa sehingga terhubung secara fungsional antara satu dengan lainnya. 2. Sekuensial yaitu kontrol dan display diorganisasikan dengan menunjukkan urutan penggunaannya pada aplikasi tertentu. Hal ini terutama pada domain yang pengerjaan tugasnya secara berurutan, misalnya pada area penerbangan (aviation). 3. Frekuensi yaitu kontrol dan display ditempatkan sesuai dengan frekuensi penggunaannya, dengan fungsi yang paling sering digunakan diletakkan pada lokasi yang mudah diakses. Selain pengaturan kontrol dan display yang saling terkait satu dengan lainnya, keseluruhan interface sistem harus diatur sedemikian rupa sehingga tepat dengan posisi user. b. Lingkungan Fisik dari Interaksi Selain isu fisik pada pengaturan dan layout mesin, ergonomi juga memperhatikan perancangan lingkungan kerja sistem, seperti tempat sistem diimplementasikan, siapa yang menggunakannya, bagaimana user mengoperasikannya, dan sebagainya. Seperti halnya aspek yang lain, hal yang disebut di atas juga bergantung pada domain dan aplikasinya. Isu ini menjadi lebih kritis pada aplikasi kontrol yang khusus dan pengaturan suatu operasi dibandingkan aplikasi umum biasa. Lingkungan fisik sistem ini mempengaruhi penerimaan sistem oleh user dan bahkan aspek kesehatan dan keselamatan user, oleh karenanya perlu dipertimbangkan dalam perancangan sistem interaktif. Salah satu pertimbangan yang terkait dengan lingkungan fisik ini adalah ukuran fisik user. Sistem apapun sebaiknya mudah dijangkau oleh user dengan ukuran tubuh yang kecil (termasuk mereka yang menggunakan kursi roda), dan sebaliknya user dengan ukuran fisik yang besar tidak terjepit dalam setting sistem. Secara khusus, user harus merasa nyaman dan aman. Kegagalan sering terjadi karena sistem dibuat hanya berdasarkan subjektifitas dari domain tertentu sehingga sebaik-baiknya sistem bila user merasa tidak nyaman dan tidak mendapatkan aspek penggunaan sistem yang jelas walaupun sudah menggunakannya berulang-ulang dapat mengakibatkan sistem sering mendapatkan input yang salah. c. Isu Kesehatan Meskipun pekerjaan menggunakan komputer mungkin bukan sesuatu yang membahayakan namun kita juga harus memikirkan dampak perancangan sistem interaktif yang dibuat terhadap kesehatan dan keselamatan user. Ada beberapa faktor lingkungan fisik yang secara langsung mempengaruhi kualitas interaksi dan kinerja user, yaitu sebagai berikut: 1. Posisi fisik User harus dapat menjangkau semua kontrol dengan nyaman dan dapat melihat keseluruhan display, tidak harus berdiri dalam waktu yang panjang, jika duduk dalam waktu lama harus diberikan penyangga punggung, dan sebagainya. 2. Temperatur Suhu yang terlalu panas atau terlalu dingin akan mempengaruhi kinerja dan dalam hal ini juga terhadap kesehatan. Penelitian menunjukkan bahwa kinerja seseorang akan menurun pada suhu yang tinggi atau rendah karena hilangnya konsentrasi. Hal ini bisa dirasakan bila user berada di dua suhu ruangan yang ekstrim, seperti misalnya bekerja di ruang server yang dingin, sementara lokasi kerja adalah di dekat pembangkit lepas pantai. 3. Pencahayaan Tingkat pencahayaan disesuaikan dengan lingkungan kerja. Pencahayaan yang cukup dengan posisi yang tepat harus disediakan untuk memudahkan user melihat layar. 4. Suara / kebisingan Suara yang berlebihan dapat membahayakan kesehatan. Tingkat suara / kebisingan harus dipertahankan pada level yang sesuai / nyaman, dan tidak berarti tidak ada suara sama sekali. Karena suara dapat menjadi stimulus bagi user dan menjadi suatu konfirmasi terhadap aktifitas sistem. 5. Waktu Waktu yang dipergunakan oleh user untuk mengakses sistem juga perlu diperhatikan. Ada beberapa perangkat keras komputer yang dapat membahayakan kessehatan jika diakses dalam waktu yang panjang, seperti misalnya radiasi perangkat bergerak seperti HP, dan juga radiasi display CRT tidak baik bagi wanita yang sedang hamil. 6. Penggunaan Warna Warna yang digunakan pada display harus dapat dibedakan dan tidak mempengaruhi kontras. Jika warna digunakan sebagai indikator, maka harus disertakan informasi lainnya. Warna yang digunakan juga harus berkaitan dengan kesepakatan yang umum dan sesuai dengan harapan user, misalnya merah umumnya digunakan untuk menandai peringatan (warning), hijau untuk menunjukkan sistem berjalan dengan normal, dan sebagainya. 8. Konteks Interaksi Interaksi juga dipengaruhi oleh faktor sosial dan organisasi. Faktor ini mungkin tidak dapat dikendalikan oleh perancang perangkat lunak namun penting untuk diperhatikan untuk dapat memahami user dan domain secara penuh. Kehadiran orang lain mempengaruhi kinerja seseorang. Persaingan, keinginan untuk menunjukkan prestasi di hadapan atasan atau manajer dapat meningkatkan kinerja. Namun pada saat proses mempelajari ilmu baru (skill acqisition), kehadiran orang lain dapat menghambat kinerja karena mereka takut berbuat salah dan diketahui rekan kerjanya. Sehingga privasi menjadi keharusan bagi user untuk bereksperimen. Untuk dapat bekerja dengan baik, motivasi juga menjadi suatu hal yang penting. Banyak cara untuk menumbuhkan motivasi, salah satunya adalah persepsi user terhadap kualitas kerja yang dilakukan. Jika sistem yang digunakan tidak sesuai dengan harapan user, hal ini dapat membuat user menjadi frustasi. Selain itu, tersedianya feedback yang memadai juga menjadi motivasi bagi user. Dengan adanya feedback, user dapat mengetahui apa yang terjadi pada sistem.
STUDI KASUS FAKTOR PENYEBAB KEGAGALAN SISTEM INFORMASI ERP Beberapa penyebab kegagalan implementasi ERP adalah [4]: 1. Manajemen perubahan dan training. Kesulitan terletak pada perubahan praktek pekerjaan yang dilakukan. Training yang melibatkan banyak modul harus dilaksanakan seawal mungkin. 2. To BPR* or not to BPR. Perusahaan harus memilih antara merubah bisnis proses untuk menyesuaikan sistem atau sebaliknya, dengan implikasi berupa biaya dan waktu untuk merubah sistem. (*Business Process Reengineering) 3. Perencanaan yang buruk. Perencanaan harus mencakup beberapa area seperti hal-hal bisnis dan ketersediaan user untuk membuat keputusan pada konfigurasi sistem. 4. Meremehkan keahlian IT. Implementasi ERP membutuhkan keahlian staff ditingkatkan dengan baik. 5. Manajemen proyek yang buruk. Hanya sedikit organisasi yang mengimplementasi ERP tanpa melibatkan konsultan. Namun sering kali konsultan melakukan perbuatan yang merugikan kliennya dengan tidak membagi tanggung jawab. 6. Percobaan-percobaan teknologi. Usaha-usaha untuk membangun interface, merubah laporan-laporan, menyesuaikan software dan merubah data biasanya diremehkan. 7. Rendahnya keterlibatan Eksekutif. Implementasi membutuhkan keterlibatan eksekutif senior untuk memastikan adaya partisipasi yang terdiri dari bisnis dan IT dan membantu penyelesaian konflik-konflik. 8. Meremehkan sumber daya. Sebagian besar budget melebihi target terutama untuk manajemen perubahan dan training user, pengujian integrasi, proses-proses pengerjaan ulang, kustomisasi laporan dan biaya konsultan. 9. Evaluasi software yang tidak mencukupi. Organisasi biasanya tidak cukup memahami apa dan bagaimana software ERP bekerja sampai mereka sepakat untuk membeli. Untuk mengatasi tersebut ada dua cara yang disarankan yaitu melakukan perubahan budaya dan manajemen perubahan yang baik. 10. Beberapa perubahan budaya yang harus dilakukan organisasi diantaranya: Karyawan atau user harus merubah fokus dari pekerjaan miliknya menjadi pekerjaan keseluruhan organisasi. Perubahan budaya biasanya memerlukan waktu beberapa waktu. Perubahan dari sistem lama yang mempunyai fleksibilitas tinggi (misal dalam pengambilan keputusan) dan tidak menaruh perhatian pada konsistensi menjadi sistem baru yang menaruh perhatian pada konsistensi [5][6]. Menurut sebuah kerangka konseptual dan model untuk mengelola perubahan- perubahan dalam implementasi, alasan mengapa implementasi ERP gagal yaitu: 1. Strategi operasi tidak mendorong perencanaan dan pengembangan bisnis proses. 2. Waktu implementasi lebih lama dari yang diharapkan. 3. Aktivitas persiapan pra-implementasi tidak berjalan dengan baik. 4. Orang tidak dipersiapkan dengan baik untuk menerima dan mengoperasikan sistem baru. 5. Biaya implementasi lebih besar daripada yang diantisipasi. 6. Komitmen manajemen agar implementasi berhasil sehingga yang dipertimbangkan tidak lagi apakah software yang dipakai tersebut merupakan kebijakan yang terbaik 7. Proses mapping dilakukan karena bisnis proses sedang berjalan dan akan berjalan. Tahap selanjutnya yang dilakukan adalah mengkaji efek dalam jangka panjang dan pendek terhadap pemilihan bisnis proses yang akan dipakai. 8. Perubahan bisnis proses dan implementasi ERP menyebabkan perubahan- perubahan dalam struktur organisasi berupa bertambahnya job discription dan unit-unit kerja baru yang berfungsi untuk mendukung implementasi ERP. 9. Aplikasi Change Management untuk mengelola perubahan-perubahan yang terjadi dengan adanya implementasi ERP.
FAKTOR LINGKUNGAN DALAM ASPEK PSIKOLOGI KEGAGALAN SECURITY Pada era informasi, kompleksitas dari sistem informasi semakin meningkat sehingga fokus dari kejahatan komputer adalah serangan pada kelemahan dari suatu sistem. Pertahanan sistem terdiri dari orang yang merancang sistem tersebut, orang yang melakukan serangan pada sistem, dan orang yang mengerti psikologi dari sistem informasi [7]. Perkembangan teknologi informasi meningkatkan ketergantungan dan juga kerentanan, yang berhubungan dengan perancangan, perawatan, dan juga operasi dari sistem tersebut. Masing-masing posisi yang berkaitan dengan teknologi informasi akan memegang peranan dan kepercayaan penting yang belum pernah terjadi sebelumnya. Tindakan kriminal dari pihak internal dapat mengakibatkan konsekuensi yang serius, seperti misalnya pemegang hak akses infrastruktur. Masalah ini memang telah berkembang di berbagai bidang seperti militer, telekomunikasi, dan juga sektor energi. Baik dari pihak atau internal, manager seharusnya mengatasi masalah ini secara cepat dan diam-diam untuk menghindari kerugian dari dampak dan pengaruh publik terhadap personal dan organisasi. Masalah yang terjadi pada sektor keamanan ini menyebar dengan sangat cepat sehingga apa yang nampak sebagai kegagalan sistem bisa diikuti oleh kegagalan sistem yang lain. Hal ini diakibatkan karena pelaku kriminal bisa saja berpindah dari satu pekerjaan ke pekerjaan yang lain, sebuah sistem terkait dengan sistem yang lain, kurangnya pengecekan latar belakang personal, kendala pada pengusaha dalam memberikan referensi, dan kurangnya konsekuensi serta komitmen untuk tidak melakukan pelanggaran. Manusia yang terkait dengan hirarki organisasi memiliki kesempatan dan motivasi yang luas dalam melakukan tindakan kriminal baik dalam hal penyalahgunaan informasi maupun serangan terhadap sistem itu sendiri. Tindakan ini bisa terjadi sebagai protes dan juga kemarahan terhadap banyaknya beban kerja, ketidaksesuaian gaji, dan juga berbagai tekanan yang dirasakan. Pada kasus yang lain melibatkan karyawan yang mempunyai keuntungan karena posisinya yang dipercaya secara finansial, hacker yang dipekerjakan dalam infrastruktur akan melakukan ekplorasi yang tidak sah, dan karyawan akan memanfaatkan hal ini seolah-olah bertindak demi kepentingan organisasinya. Pelaku lainnya adalah orang yang masuk ke organisasi dengan tujuan eksplisit untuk memata-matai, menipu, atau menggelapkan. Penelitian menunjukkan bahwa banyak kasus kegagalan sistem karena pihak internal yang membantu melakukan tindakan kriminal melalui komputer atau dunia maya.
Daftar Pustaka [1] OBrien JA, Marakas G. 2009. Management Information sistem. Ninth edition. Boston: Mc Graw Hill, Inc. [2] Yulia Dwi Indriani. Human Course Interaction Course IPB [3] Roth, E. M., Patterson, E.S. & Mumaw, R. J. Cognitive Engineering: Issues in User- Centered System Design. In J. J. Marciniak (Ed.), Encyclopedia of Software Engineering, 2nd Edition. New York: Wiley-Interscience, John Wiley & Sons http://csel.eng.ohio-state.edu/patterson/about%20me_files/cog_eng_def.pdf [4] Amaranti, Reni. 2006, Faktor Kritis Dalam Proyek Implementasi ERP Dan Pengaruhnya Terhadap Perubahan Dalam Organisasi (Studi Kasus: PT Telekomunikasi Indonesia Tbk), Tesis Magister Teknik dan Manajemen Industri; Institut Teknologi Bandung. [5] Compeau, D. R., Higgins, C.A. 1995, Computer Self-Efficacy: Development of a measurement and Initial Tes, MIS Quarterly. [6] Davis, fred D. 1989, Perceived Usefulness, Perceived Ease of Use, and User Acceptance of Information Technology, MIS Quarterly [7] Security Awareness Bulletin No. 2-98, published by Department of Defense Security Institute, September 1998. The research on which this article is based is part of a broader research program conducted by Political Psychology Associates, Ltd., for the Office of the Assistant Secretary of Defense (C3I).