The Wolf of Wall Street memaksa saya untuk menulis lagi.
Film ini terlalu bagus untuk
sekedar menjadi angin lalu. Film ini juga membuat saya semakin sadar, bagaimana piawainya Martin Scorsese menangkap sebuah semangat zaman di Amerika, lantas menyuguhkannya lewat kisah hidup seorang manusia. Bagi kita yang akrab menyuntuki karya Scorsese, tentu lah tak asing dengan pola plot yang selalu disuguhkannya; lambat, mengurai jelas perkembangan karakternya, kejayaan dan kehancuran, hingga kisah terhenti pada ambang titik balik hidup sang tokoh utama. Sebut saja misalnya Taxi Driver, Raging Bull, Aviator, Goodfellas, dan tentu saja The Wolf of Wall Street (TWoWS). Kadang saya berpikir, bahwa lewat film-film tersebut, Scorsesse sedang berusaha merekam semangat zaman yang bergerak di Amerika; pasca Perang Vietnam lewat Taxi Driver, Golden Age Era pada Aviator, dan kriminalitas di medio 80-an lewat Goodfellas. Kadang juga terpikir bahwa budaya Amerika modern sesungguhnya bisa dibongkar cukup dengan mengapresiasi film-film karya Scorsese. Ini mungkin membuat karya Scorsese menjadi penting dalam sejarah film Amerika. Benang merahnya tentu saja tentang Amerika, tentang semangat American Dreams, yang dalam kondisi tertentu selalu mampu mengubah seseorang dari A menjadi Z, atau menjadi Y, atau menjadi apapun demi mimipinya. Dan hal serupa itu pula yang disuguhkan dalam TWoWS. Berporos pada kisah seorang broker saham, Jordan Belfort (Leonardo Dicaprio) yang berusaha menjadi manusia sukses di antara jutaan manusia Amerika yang memiliki mimpi serupa. Jordan Belfort muda yang naif melangkahkan kakinya dalam keganasan Wall Street. Ada salah satu scene yang paling menarik dan penting di film ini, ketika Belfort ditutor oleh Mark Hanna (Matthew McConaughey), salah satu broker senior pada fima di mana Belfort bekerja. Belfort memulai dari nol, dengan cara yang biasa tentunya, dan ia gagal bersamaan dengan marked crash di Wall Street pada 1987. Kejatuhan ini menjadi turning point bagi Belfort ketika merintis usaha kecil penjualan saham di Long Island, lantas mendirikan firma Stratton Oakmont. Menjual saham-saham berpotensi kecil kepada golongan menengah dengan kepandaian bersilat lidah di gagang telepon, membuat Belfort semakin berkembang secara financial dan terasah menggaet pembeli saham. Stratton Oakmont pun merintis jalan menuju Wall Street dengan menggaet potensi-potensi lokal Long Island; para pedagang berpendidikan rendah, guru jujitsu, bodybuilder narsis, dan orang-orang yang lumrahnya tak cocok jadi broker saham. Pada masa-masa penemuan ini Belfort bertemu Donnie Azoff (Jonah Hill) yang dikemudian hari memiliki peran kunci; mengenalkan Belfort pada heroin, obat-obatan macam Quaaludes, dan mengembangkan kejahatan kerah putih di firma Stratton Oakmont. Mengacu pada naskah yang mengadopsi memoir asli dari Jordan Belfort, TWoWS berkutat pada sepak terjang broker-broker Stratton Oakmont yang mengeruk untung dengan menipu. Menjual saham non potensial dengan harga tinggi pada investor, dan membiarkan sang investor merugi di kemudian hari. Teknik tipu di kalangan broker yang dikenal dengan sebutan Pump dan Dumb. Singkatnya, Stratton Oakmont melakukan usaha curang dan illegal demi mengeruk keuntungan besar, termasuk usaha pencucian uang jutaan dollar. Tapi, uniknya TWoWS tak akan membuat pusing dengan apa itu dunia bursa saham, karena toh jalinan kisahnya dbalut secara apik dengan sentuhan komedi yang penuh dengan banalitas, penuh kekacauan yang mengundang gelak tawa, atau bahkan tertawa sinis untuk sadar betapa rakus dan mengerikannys insan kapitalis di dunia modern. Istilah Wolf of Wall Street itu sendiri merupakan sebuah metafor tentang Jason Belfort yang mampu mengeruk untung besar dan membuat kaya orang yang pada awalnya bukan siapa- siapa, seperti Robin Hood membagikan uang pada orang-orang susah. Demikian yang diungkapkan Majalah Forbes dalam film, yang kemudian hari julukan wolfie pun melekat pada Belfort. Saya kira, Jordan Belfort yang disuguhkan dalam TWoWS juga merupakan simbol dari kapitalisme ala America, kejayaan, dan dalam titik tertentu merepresntasikan kerakusan macam biawak lapar. Rumah mewah, kapal pesiar, heli pribadi, komersial tv ala motivator-motivator MLM secara apik mampu menggambarkan semangat jaman di penghujung abad ke-20, sekaligus simbolisasi masa-masa kejayaan Amerika saat itu. Parade hedonisme yang ditampilkan tanpa malu-malu seperti sex, orgy party, drugs addicted, pesta dan pesta juga representasi dari kegilaan manusia, jiwa jiwa liar manusia yang satu nuansa dengan keliaran mereka, kehausan mereka akan kejayaan. Wujud nyata American Dream. Hal in juga disuguhkan secara gamblang lewat orasi-orasi Jordan Belfort dihadapan ratusan broker Stratton Oakmont macam panglima Romawi yang membakar semangat perang tentaranya. jangan tutup teleponnya sampai mereka mengatakan iya, jika kalian tak mampu, tak ingin kaya, kerja saja di McDonald . Banyak Scene yang menampilkan orasi liar Belfort (termasuk memperagakan blowjobs) di depan para brokernya, terlihat sangat bertenanga dan sugestif bagi para pendengarnya. Setelah menonton film ini saya pun jadi berasumsi, Scorsese bukan hanya menagkap semangat zaman di Amerika taun 90-an, tapi juga menangkap realitas yang pada sudut pandang tertentu bisa menjadi sindiran atau bahkan kritikan bagi masyarakat Amerika itu sendiri. Kemasan komedi yang yang dipilih Scorsese boleh jadi adalah cara untuk menghibur, menertawakn Belfort dan kawan-kawannya, dan di sisi lain menertwakan diri sendiri dalam konteks ini masyarakat Barat/Amerika sebagai penontonnya. Hal ini juga menjelaskan kenapa TWoWS bisa memborong banyak nominasi dalam Academy Award tahun ini. Bukankah Argo (film terbaik) dan Lincoln (aktor terbaik oleh Daniel Day Lewis) tahun lalu adalah bukti betapa juri academy punya kecenderungan untuk menilai lebih karya-karya yang sangat Amerika . Tentu menjadi suatu tanda tanya besar apakah film ini mampu menyabet gelar film terbaik, mengingat unsur kesopanannya yang sangat minus. Dan patut dicatat pula, film ini tentu tak akan jadi bagus tanpa performa prima Dicaprio. Seperti film yang sudah-sudah, ia tak pernah mempermalukan dirinya sendiri, all out dan lepas. Demikian pun dengan Jonnah Hill yang mendapat porsi penting dalam film ini.