kerusakan dengan hatinya, berniat memperbaiki hatinya. Endingnya pun seperti yang sudah di duga. Namun, kemasan yang indah, membuat cerita Rayya ini penuh dengan kejutan. Ada sindiran tentang budaya patron yang belum dan sepertinya tak akan pernah mati. Terasa di adegan ketika Rayya dan Arya tanpa diundang bertamu ke sebuah pernikahan di suatu desa. Pusat perhatian sontak berpindah dari pasangan pemilik hajat ke selebritis ibukota yang mendadak muncul ini. Seorang kepala desa kemudian mengikrarkan bahwa desanya terbuka bagi Rayya untuk mandi, makan, beristirahat, bahkan menetap. Kalau Rayya sampai tidak bahagia di sini, kami semua masuk neraka, tambah si kepala desa. Rayya bahkan bukan seorang pejabat maupun figur otoriter. Ia hanya seorang selebriti yang populer di seantero negeri, namun si kepala desa begitu cepatnya menunduk pada Rayya, sampai mengorbankan acara pernikahan salah satu warganya. Ada selentingan tentang keputusasaan finansial yang ditanggung rakyat kelas bawah, sampai-sampai seorang penjaga hotel nekat mencuri koper Rayya yang berisikan gaun mahal. Rayya hanya bisa menahan isak tangis mengetahui busana mewahnya dijual dengan harga murah ke ibu-ibu penjual ikan di pasar. Namun, Rayya tak melulu pesimis. Satu momen yang cukup mencengangkan adalah ketika uang Rayya dikembalikan oleh seorang ibu penjual kerupuk. Ia berpikir si ibu tak perlu repot-repot mencari uang kembalian, mengingat Rayya sendiri tak merasa jumlahnya signifikan. Si ibu punya pendapat lain. Di hadapan Rayya, ia menegaskan kalau ia sedang berjualan, tak sedang mengemis. KARAKTERISASI : Sebagai seorang penyair andal, ada kemungkinan Cak Nun secara otomatis menulis naskah Rayya, Cahaya di Atas Cahaya dengan begitu puitis. Sayangnya, langkah tersebut tidak cocok untuk diterapkan pada film ini; segalanya jadi terasa terlalu bombastis dan tidak meyakinkan. Sulit untuk membayangkan orang-orang berbicara seperti pada film ini dalam kehidupan nyata. Akting Titi Sjuman pun seringkali terasa terlalu meledak-ledak dan berlebihan. Merupakan hal langka untuk melihatnya berbicara sebagai Rayya dengan suara rendah. Memang, Rayya digambarkan sebagai seorang perempuan yang tidak bahagia dan serba kritis, namun melihatnya protes setiap ada kesempatan merupakan pengalaman yang melelahkan. Di sinilah kehebatan Tio Pakusadewo diuji, menjadi netralisir akting Titi Sjuman yang terlalu meluap-luap. Tio tampil lebih tenang, baris demi baris dialog puitis ia lontarkan dengan natural. Namun sayang, pada dasarnya gaya bicara yang tersebar pada Rayya, Cahaya di Atas Cahaya memang terlalu puitis untuk sebuah film yang memiliki setting urban, sehingga memberikan efek dibuat- buat.
Konten verbal bisa diduga begitu dominan dalam Rayya, yang sebenarnya cukup wajar. Kedua protagonis baru pertama kali bersua, mengenal satu sama lain hanya bisa diusahakan melalui percakapan. Rangkaian percakapan yang terjadi pun sesuai dengan latar belakang psikologis masing-masing tokoh. Biasa dipuja dan mendapat apa yang ia inginkan, Rayya sedang terluka egonya akibat dicampakkan seorang laki-laki. Tak heran ia begitu agresif dan lantang dalam menyatakan pendapatnya. Tak heran juga ia begitu berapi-api dalam memperagakan kekecewaan dan menyuarakan niatnya menegakkan dendam. Berlebihan, kadang menganggu, tapi beralasan. Sementara Arya hanyalah orang biasa. Di hadapan Rayya yang begitu gegap gempita, ia bukan siapa-siapa. Kehilangan bisa jadi adalah santapan sehari-harinya. Terasa pas ketika cara ia bercakap digambarkan jauh lebih santai dan dewasa dibanding Rayya. Penyusunan konten verbal dalam Rayya juga tak buruk. Dialog-dialog yang dirangkai Emha Ainun Najib dan Viva Westi tak sekadar puitis, tapi juga punya fungsi dalam film. Bagi Rayya, jadi penanda dari talenta artistiknya sebagai seorang seniman. Bagi Arya, jadi penanda akan kemampuannya mengimbangi teman perjalanannya. Menariknya, diksi Arya dianggap kampungan oleh Rayya, yang semakin memperkuat perbedaan status keduanya. Sangat disayangkan, dalam beberapa kesempatan menjelang akhir film, konten verbal Rayya seperti diusahakan untuk berpucuk pada suatu pesan moral tentang bersyukur atas apa yang sudah dimiliki, karena di luar sana banyak orang yang hidupnya kurang berkecukupan. Pesan moral tadi menyebabkan pembuat film seperti terlalu menyederhanakan karyanya sendiri, seolah-olah takut penonton akan melewatkan begitu saja esensi cerita. Kesannya malah Rayyahanya bicara tentang para protagonisnya yang melankoli berkepanjangan, tentang gadis kaya nan manja yang matanya dicelikkan oleh kemiskinan di sekitarnya, padahal tidak sesederhana itu juga. Ada semacam gambaran sosial yang terbentuk dari perjalanan Rayya dan interaksinya dengan orang-orang yang ia temui di jalan.