Tugas Puu TTG Pelanggaran Pp51 Dan Uu Kesehatan
Tugas Puu TTG Pelanggaran Pp51 Dan Uu Kesehatan
1. OT MENGANDUNG BKO
A.
URAIAN KASUS
Sebuah pabrik obat tradisional Kec. Bumiayu Kab. Brebes Jawa Tengah memproduksi OT
mengandung BKO secara tanpa hak dan kewenangan. Ruang produksi OT TIE dan mengandung BKO
tersebut didesain seperti Bunker yang terletak dibawah tanah dan bertingkat 2 (dua).
Hasil pengujian PPOMN terhadap barang bukti yang ditemukan menunjukkan :
Pemberkasan kasus tersebut dilakukan oleh Penyidik POLDA Semarang dengan menggunakan Saksi
Ahli dari Badan POM RI Dari hasil pemeriksaan terhadap Tersangka :
1. Tersangka mencampur BKO ke dalam produk OT agar lebih manjur
2. Tersangka mencampur sendiri BKO tersebut ke dalam produk OT yang sedang dibuat
3. Tersangka mengetahui bahwa perbuatannya mencampur BKO ke dalam produk OT adalah
melanggar Undang Undang
4. Sumber BKO adalah SUNARKO Rekan kerjasama usaha produk OT, yang juga merupakan
pemodal perusahaan tersebut dengan modal 50%:50%
5. Perusahaan yang dimiliki oleh Tersangka dan SUNARKO tidak memiliki nama dan izin karena
berada di bawah Koperasi Aneka Sari.
B.
Pasal 3
1.
Obat tradisional yang diproduksi, diedarkan diwilayah Indonesia maupun dieksport terlebih
dahulu harus didaftarkan sebagai persetujuan menteri
2.
a. Industri kecil obat tradisional dalam bentuk rajangan, pilis, tapel, dan parem.
b. Usaha jamu racikan
c. Usaha jamu gendong
Melihat dari pasal diatas, kasus ini jelas melanggar pasal 3 ayat 1 dan ayat 2 dimana pabrik tersebut
tidak mempunyai izin dan mendaftarkan pada menteri kesehatan sedangkan pabrik tersebut
memproduksi jamu yang tidak seperti dicantumkan pada ayat 2.
Pasal 6
1.
Pabrik obat tersebut tidak mendaftarkan usaha miliknya ke negara sehingga tidak memiliki NPWP
dan merupakan suatu pabrik yang tidak memiliki badan hukum.
Pasal 7
Industri obat tradisional harus didirikan di tempat yang bebas pencemaran dan tidak mencemari
lingkungan
Melihat dari kasus diatas, sangat jelas melanggar pasal 7 karena industri obat tradisional ini ruang
produksinya berada di bawah tanah dan sangat jauh dari standar ruang produksi yang seharusnya
(menurut SOP)
Pasal 8
Usaha industri obat tradisional harus mempekerjakan secara tetap sekurang-kurangnya seorang
apoteker warga negara indonesia sebagai penanggung jawab teknis
Suatu industri obat tradisional wajib memiliki minimal seorang apoteker dalam mengelola suatu
produksi yang berhubungan dengan obat tradisional. Ditinjau dari kasus di atas, kasus tersebut
sangat jelas melangga pasal 8 dikarenakan tidak adanya apoteker sebagai penanggung jawab teknis.
Pasal 9
1.
Industri obat tradisional dan industri kecil obat tradisional wajib mengikuti pedoman cara
pembuatan obat tradisioanl yang baik (CPOTB)
2.
Pemenuhan persyaratan dimaksud ayat 1 dinyatakan oleh petugas yang berwenang melalui
pemeriksaan setempat
Pabrik X di atas melakukan produksi di dalam bunker (ruang bawah tanah) dengan pencahayaan
yang kurang; sanitasi yang kurang bagus; peralatan yang tidak di standarisasi dan divalidasi (standar
SOP); hasil produksi yang tidak sesuai dengan pedoman CPOTB.
Pasal 23
Untuk pendaftaran obat tradisional dimaksud dalam pasal 3 obat tradisional harus memenuhi
persyaratan:
a.
b.
Bahan obat tradisional dan proses produksi yang digunakan memenuhi persyaratan yang
ditetapkan
c.
Tidak mengandung bahan kimia sintetik atau hasil isolasi yang berkhasiat sebagai obat
d.
Dalam kasus di atas, pabrik X memproduksi obat tradisional dengan campuran bahan kimia obat
yang memiliki khasiat obat dimana obat tradisional yang seharusnya memiliki efek samping yang
lebih ringan dibandingkan obat sintetik. Namun jika melihat kasus di atas, maka obat tradisional hasil
produksi pabrik X yang mengandung bahan kimia obat melanggar pasal tersbut di atas.
Pekerjaan kefarmasian dalam produksi sediaan farmasi harus memiliki apoteker penanggung
jawab
Pasal 9 (2)
Industri obat tradisional dan pabrik kosmetika harus memiliki sekurang-kurangnya 1 (satu) orang
apoteker sebagai penanggung jawab
Dalam kasus tersebut di atas, pabrik obat tradisional tersebut tidak mempekerjakan sekurangkurangnya 1 apoteker sebagai penanggung jawab produksi. Hal ini menyebabkan produksi tersebut
tidak memenuhi persyaratan CPOB (Cara Pembuatan Obat yang Baik). Sehingga pabrik tersebut
melanggar PP 51/2009 Pasal 7 (1) dan Pasal 9 (2).
Polda Bali juga telah memeriksa apoteker Apotek Bersemi Gianyar dan PBF Sempidi yang terbukti
mensuplai obat keras tanpa resep dokter itu kepada tersangka. Bambang Sugiarto sehari setelah
mengungkap kasus obat ilegal itu menegaskan UU Kes. No. 23/1992 yang mengatur pendistribusian
obat keras di masyarakat. Pemberian obat-obatan yang masuk daftar G hanya boleh dilakukan
apotek dan harus disertai resep dokter. ''Pak Suana justru memiliki secara pribadi, berarti melanggar
UU,'' katanya.
Tersangka dinilai melanggar UU Kes. No. 23/1992 pasal 82 ayat 1 huruf d. PNS kesehatan di Pemda
Badung itu dituntut hukuman maksimal lima tahun penjara dan denda Rp 100 juta. Suana mengaku
membeli obat jenis G di Apotek Bersemi Gianyar dan PBF Sempidi, dan sudah menjalankan usaha
ilegal sejak polisi memeriksa tiga bidan desa sebagai saksi, masing-masing Indahwati, Made
Radnyanai, dan Made Metriyani. Dua saksi lagi yang diminta keterangan terkait kasus kepemilikan
obat keras, yakni Klian Dinas Wayan Suatra dan Ni Nyoman Lestari.
Kita belum bisa berikan keterangan karena masih dalam penyelidikan, ucap seorang
penyidik. Untuk kepentingan penyelidikan, sang mahasiswi ini dibawa ke rumah sakit guna
menjalani visum. Agar bisa dipastikan apakah yang digugurkan itu janin atau ari-ari,
tambah petugas penyidik tersebut.
Pembahasan
kasus aborsi di atas merupakan kasus aborsi illegal. Karena dilakukan atas dasar malu atau
takut terhadap keluarga pelaku, bukan dari saran dokter karena janin memiliki kelainan atau
membahayakan kesehatan si ibu. Selain itu, proses aborsi yang dilakukan pun tidak sesuai
bidang kedokteran dengan meminum pil sakit kepala bercampur minuman bersoda.
Berdasarkan asas etik keperawatan, kasus aborsi yang telah disebutkan di atas diperbolehkan
sesuai dengan asas etik autonomy (otonomi) yang dimiliki pelaku aborsi. Pelaku aborsi boleh
memilih dan memutuskan untuk melakukan aborsi tanpa paksaan sebab keputusan itu adalah
hak dia. Tetapi, melanggar asas beneficience (berbuat baik / manfaat). Karena kasus di atas
bukanlah merupakan tindakan yang baik dan tidak memberikan manfaat apa pun, sekalipun
alasannya karena takut atau malu atas janin yang dikandungnya pada keluarga dan orang lain.
Ketika seorang wanita memilih aborsi sebagai jalan untuk mengatasi kehamilan yang tidak
diinginkan, maka wanita tersebut dan pasangannya akan mengalami perasaan kehilangan,
kesedihan yang mendalam, dan/atau rasa bersalah,
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA. NOMOR 36 TAHUN 2009.
TENTANG. KESEHATAN
Pasal 194
Setiap orang yang dengan sengaja melakukan aborsi tidak sesuai dengan ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama
10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
75 ayat (2)
(2) Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapatdikecualikan berdasarkan:
a. indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan, baik yang
mengancam nyawa ibu dan/atau janin, yang menderita penyakit genetik berat dan/atau cacat
bawaan, maupun yang tidak dapat diperbaiki sehingga menyulitkan bayi tersebut hidup di
luar kandungan; atau
b. kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban
perkosaan.