Anda di halaman 1dari 11

Pendahuluan

Hujan asam diartikan sebagai segala macam hujan dengan pH di bawah 5,6. Hujan secara
alami bersifat asam (pH sedikit di bawah 6) karena karbondioksida (CO2) di udara yang larut
dengan air hujan memiliki bentuk sebagai asam lemah. Jenis asam dalam hujan ini sangat
bermanfaat karena membantu melarutkan mineral dalam tanah yang dibutuhkan oleh tumbuhan
dan binatang.
Hujan asam disebabkan oleh belerang (sulfur) yang merupakan pengotor dalam bahan
bakar fosil serta nitrogen di udara yang bereaksi dengan oksigen membentuk sulfur dioksida dan
nitrogen oksida. Zat-zat ini berdifusi ke atmosfer dan bereaksi dengan air untuk membentuk
asam sulfat dan asam nitrat yang mudah larut sehingga jatuh bersama air hujan. Air hujan yang
asam tersebut akan meningkatkan kadar keasaman tanah dan air permukaan yang terbukti
berbahaya bagi kehidupan ikan dan tanaman. Usaha untuk mengatasi hal ini saat ini sedang
gencar dilaksanakan.
Hujan asam sebenarnya dapat mencegah global warming, gas buang seperti SO2
penyebab hujan asam mampu memantulkan sinar matahari keluar atmosfer bumi sehingga dapat
mencegah kenaikan temperatur bumi. Akan tetapi, efek samping dari hujan asam menghasilkan
kerusakan lingkungan yang lebih parah dibandingkan global warming. Sebenarnya hujan asam
merupakan istilah yang kurang tepat untuk menggambarkan jatuhnya asam-asam dari atmosfer
ke permukaan bumi. Istilah yang lebih tepat seharusnya adalah deposisi asam, karena
pengendapan asam dari atmosfir ke permukaan bumi tidak hanya melalui air hujan tetapi juga
melalui kabut, embun, salju, aerosol bahkan pengendapan langsung. Istilah deposisi asam lebih
bermakna luas dari hujan asam.

A. Pengertian Hujan Asam


Hujan asam adalah suatu masalah lingkungan yang serius yang benar-benar difikirkan
oleh manusia. Ini merupakan masalah umum yang secara berangsur-angsur mempengaruhi
kehidupan manusia. Istilah Hujan asam pertama kali diperkenalkan oleh Angus Smith ketika ia
menulis tentang polusi industri di Inggris. Tetapi istilah hujan asam tidaklah tepat, yang benar
adalah deposisi asam.
Deposisi asam ada dua jenis, yaitu deposisi kering dan deposisi basah. Deposisi kering
ialah peristiwa terkenanya benda dan mahluk hidup oleh asam yang ada dalam udara. Ini dapat
terjadi pada daerah perkotaan karena pencemaran udara akibat kendaraan maupun asap pabrik.
Selain itu deposisi kering juga dapat terjadi di daerah perbukitan yang terkena angin yang
membawa udara yang mengandung asam. Biasanya deposisi jenis ini terjadi dekat dari sumber
pencemaran.
Deposisi basah ialah turunnya asam dalam bentuk hujan. Hal ini terjadi apabila asap di
dalam udara larut di dalam butir-butir air di awan. Jika turun hujan dari awan tadi, maka air
hujan yang turun bersifat asam. Deposisi asam dapat pula terjadi karena hujan turun melalui
udara yang mengandung asam sehingga asam itu terlarut ke dalam air hujan dan turun ke bumi.
Asam itu tercuci atau wash out. Deposisi jenis ini dapat terjadi sangat jauh dari sumber
pencemaran. Hujan secara alami bersifat asam karena Karbon Dioksida (CO2) di udara yang
larut dengan air hujan memiliki bentuk sebagai asam lemah. Jenis asam dalam hujan ini sangat
bermanfaat karena membantu melarutkan mineral dalam tanah yang dibutuhkan oleh tumbuhan
dan binatang. Hujan pada dasarnya memiliki tingkat keasaman berkisar pH 5, apabila hujan
terkontaminasi dengan karbon dioksida dan gas klorine yang bereaksi serta bercampur di
atmosphere sehingga tingkat keasaman lebih rendah dari pH 5, disebut dengan hujan asam.
Pada dasarnya Hujan asam disebabkan oleh 2 polutan udara, Sulfur Dioxide (SO2) dan
nitrogen oxides (NOx) yang keduanya dihasilkan melalui pembakaran. Akan tetapi sekitar 50%
SO2 yang ada di atmosfer diseluruh dunia terjadi secara alami, misalnya dari letusan gunung
berapi maupun kebakaran hutan secara alami. Sedangkan 50% lainnya berasal dari kegiatan
manusia, misalnya akibat pembakaran BBF, peleburan logam dan pembangkit listrik. Minyak
bumi mengadung belerang antara 0,1% sampai 3% dan batubara 0,4% sampai 5%. Waktu BBF di

bakar, belerang tersebut beroksidasi menjadi belerang dioksida (SO2) dan lepas di udara. Oksida
belerang itu selanjutnya berubah menjadi asam sulfat (Soemarwoto O, 1992). Kadar SO2
tertinggi terdapat pada pusat industri di Eropa, Amerika Utara dan Asia Timur. Di Eropa Barat,
90% SO2 adalah antrofogenik. Di Inggris, 2/3 SO2 berasal dari pembangkit listrik batu bara, di
Jerman 50% dan di Kanada 63% (Anonim, 2005). Menurut Soemarwoto O (1992), 50% nitrogen
oxides terdapat di atmosfer secara alami, dan 50% lagi juga terbentuk akibat kegiatan manusia,
terutama akibat pembakaran BBF. Pembakaran BBF mengoksidasi 5-50% nitrogen dalam
batubara , 40-50% nitrogen dalam minyak berat dan 100% nitrogen dalam mkinyak ringan dan
gas. Makin tinggi suhu pembakaran, makin banyak Nox yang terbentuk.
Selain itu NOx juga berasal dari aktifitas jasad renik yang menggunakan senyawa organik
yang mengandung N. Oksida N merupakan hasil samping aktifitas jasad renik itu. Di dalam
tanah pupuk N yang tidak terserap tumbuhan juga mengalami kimi-fisik dan biologik sehingga
menghasilkan N. Karena itu semakin banyak menggunakan pupuk N, makin tinggi pula produksi
oksida tersebut.
Senyawa SO2 dan NOx ini akan terkumpul di udara dan akan melakukan perjalanan
ribuan kilometer di atsmosfer, disaat mereka bercampur dengan uap air akan membentuk zat
asam sulphuric dan nitric. Disaat terjadinya curah hujan, kabut yang membawa partikel ini
terjadilah hujam asam. Hujan asam juga dapat terbentuk melalui proses kimia dimana gas
sulphur dioxide atau sulphur dan nitrogen mengendap pada logam serta mongering bersama debu
atau partikel lainnya.
Hujan asam disebabkan oleh belerang (sulfur) yang merupakan pengotor dalam bahan
bakar fosil serta nitrogen di udara yang bereaksi dengan oksigen membentuk sulfur dioksida dan
nitrogen oksida. Zat-zat ini berdifusi ke atmosfer dan bereaksi dengan air untuk membentuk
asam sulfat dan asam nitrat yang mudah larut sehingga jatuh bersama air hujan. Air hujan yang
asam tersebut akan meningkatkan kadar keasaman tanah dan air permukaan yang terbukti
berbahaya bagi kehidupan ikan dan tanaman. Usaha untuk mengatasi hal ini saat ini sedang
gencar dilaksanakan.

B. Pembentukan hujan asam


Bukti terjadinya peningkatan hujan asam diperoleh dari analisa es kutub. Terlihat
turunnya kadar pH sejak dimulainya Revolusi Industri dari 6 menjadi 4,5 atau 4. Informasi lain
diperoleh dari organisme yang dikenal sebagai diatom yang menghuni kolam-kolam. Setelah
bertahun-tahun, organisme-organisme yang mati akan mengendap dalam lapisan-lapisan sedimen
di dasar kolam. Pertumbuhan diatom akan meningkat pada pH tertentu, sehingga jumlah diatom
yang ditemukan di dasar kolam akan memperlihatkan perubahan pH secara tahunan bila kita
melihat ke masing-masing lapisan tersebut.
Sejak dimulainya Revolusi Industri, jumlah emisi sulfur dioksida dan nitrogen oksida ke
atmosfer turut meningkat. Industri yang menggunakan bahan bakar fosil, terutama batu bara,
merupakan sumber utama meningkatnya oksida belerang ini. Pembacaan pH di area industri
kadang-kadang tercatat hingga 2,4 (tingkat keasaman cuka). Sumber-sumber ini, ditambah oleh
transportasi, merupakan penyumbang-penyumbang utama hujan asam.
Masalah hujan asam tidak hanya meningkat sejalan dengan pertumbuhan populasi dan
industri tetapi telah berkembang menjadi lebih luas. Penggunaan cerobong asap yang tinggi
untuk mengurangi polusi lokal berkontribusi dalam penyebaran hujan asam, karena emisi gas
yang dikeluarkannya akan masuk ke sirkulasi udara regional yang memiliki jangkauan lebih luas.
Sering sekali, hujan asam terjadi di daerah yang jauh dari lokasi sumbernya, di mana daerah
pegunungan cenderung memperoleh lebih banyak karena tingginya curah hujan di sini.
Terdapat hubungan yang erat antara rendahnya pH dengan berkurangnya populasi ikan di
danau-danau. pH di bawah 4,5 tidak memungkinkan bagi ikan untuk hidup, sementara pH 6 atau
lebih tinggi akan membantu pertumbuhan populasi ikan. Asam di dalam air akan menghambat
produksi enzim dari larva ikan trout untuk keluar dari telurnya. Asam juga mengikat logam
beracun seperi alumunium di danau. Alumunium akan menyebabkan beberapa ikan
mengeluarkan lendir berlebihan di sekitar insangnya sehingga ikan sulit bernafas. Pertumbuhan
Phytoplankton yang menjadi sumber makanan ikan juga dihambat oleh tingginya kadar pH.

Tanaman dipengaruhi oleh hujan asam dalam berbagai macam cara. Lapisan lilin pada
daun rusak sehingga nutrisi menghilang sehingga tanaman tidak tahan terhadap keadaan dingin,
jamur dan serangga. Pertumbuhan akar menjadi lambat sehingga lebih sedikit nutrisi yang bisa
diambil, dan mineral-mineral penting menjadi hilang.
Ion-ion beracun yang terlepas akibat hujan asam menjadi ancaman yang besar bagi
manusia. Tembaga di air berdampak pada timbulnya wabah diare pada anak dan air tercemar
alumunium dapat menyebabkan penyakit Alzheimer.

C. Dampak Hujan Asam


Terjadinya hujan asam harus diwaspadai karena dampak yang ditimbulkan bersifat global
dan dapat menggangu keseimbangan ekosistem. Hujan asam memiliki dampak tidak hanya pada
lingkungan biotik, namun juga pada lingkungan abiotik, antara lain :
Danau
Kelebihan zat asam pada danau akan mengakibatkan sedikitnya species yang bertahan.
Jenis Plankton dan invertebrate merupakan mahkluk yang paling pertama mati akibat pengaruh
pengasaman. Apa yang terjadi jika didanau memiliki pH dibawah 5, lebih dari 75 % dari spesies
ikan akan hilang. Ini disebabkan oleh pengaruh rantai makanan, yang secara signifikan
berdampak pada keberlangsungan suatu ekosistem. Tidak semua danau yang terkena hujan asam
akan menjadi pengasaman, dimana telah ditemukan jenis batuan dan tanah yang dapat membantu
menetralkan keasaman.
Tumbuhan dan Hewan
Hujan asam yang larut bersama nutrisi didalam tanah akan menyapu kandungan tersebut
sebelum pohon-pohon dapat menggunakannya untuk tumbuh. Serta akan melepaskan zat kimia
beracun seperti aluminium, yang akan bercampur didalam nutrisi. Sehingga apabila nutrisi ini
dimakan oleh tumbuhan akan menghambat pertumbuhan dan mempercepat daun berguguran,
selebihnya pohon-pohon akan terserang penyakit, kekeringan dan mati. Seperti halnya danau,
Hutan juga mempunyai kemampuan untuk menetralisir hujan asam dengan jenis batuan dan
tanah yang dapat mengurangi tingkat keasaman.

Pencemaran udara telah menghambat fotosintesis dan immobilisasi hasil fotosintesis


dengan pembentukan metabolit sekunder yang potensial beracun. Sebagai akibatnya akar
kekurangan energi, karena hasil fotosintesis tertahan di tajuk. Sebaliknya tahuk
mengakumulasikan zat yang potensial beracun tersebut. Dengan demikian pertumbuhan akar dan
mikoriza terhambat sedangkan daunpun menjadi rontok. Pohon menjadi lemah dan mudah
terserang penyakit dan hama.
Penurunan pH tanah akibat deposisi asam juga menyebabkan terlepasnya aluminium dari
tanah dan menimbulkan keracunan. Akar yang halus akan mengalami nekrosis sehingga
penyerapan hara dan iar terhambat. Hal ini menyebabkan pohon kekurangan air dan hara serta
akhirnya mati. Hanya tumbuhan tertentu yang dapat bertahan hidup pada daerah tersebut, hal ini
akan berakibat pada hilangnya beberapa spesies. Ini juga berarti bahwa keragaman hayati
tamanan juga semakin menurun.
Kadar SO2 yang tinggi di hutan menyebabkan noda putih atau coklat pada permukaan
daun, jika hal ini terjadi dalam jangka waktu yang lama akan menyebabkan kematian tumbuhan
tersebut. Menurut Soemarmoto (1992), dari analisis daun yang terkena deposisi asam
menunjukkan kadar magnesium yang rendah. Sedangkan magnesium merupakan salah satu
nutrisi assensial bagi tanaman. Kekurangan magnesium disebabkan oleh pencucian magnesium
dari tanah karena pH yang rendah dan kerusakan daun meyebabkan pencucian magnesium di
daun.
Sebagaimana tumbuhan, hewan juga memiliki ambang toleransi terhadap hujan asam.
Spesies hewan tanah yang mikroskopis akan langsung mati saat pH tanah meningkat karena sifat
hewan mikroskopis adalah sangat spesifik dan rentan terhadap perubahan lingkungan yang
ekstrim. Spesies hewan yang lain juga akan terancam karena jumlah produsen (tumbuhan)
semakin sedikit. Berbagai penyakit juga akan terjadi pada hewan karena kulitnya terkena air
dengan keasaman tinggi. Hal ini jelas akan menyebabkan kepunahan spesies.

Kesehatan Manusia
Dampak deposisi asam terhadap kesehatan telah banyak diteliti, namun belum ada yang
nyata berhubungan langsung dengan pencemaran udara khususnya oleh senyawa Nox dan SO2.
Kesulitan yang dihadapi dkarenakan banyaknya faktor yang mempengaruhi kesehatan seseorang,
termasuk faktor kepekaan seseorang terhadap pencemaran yang terjadi. Misalnya balita, orang
berusia lanjut, orang dengan status gizi buruk relatif lebih rentan terhadap pencemaran udara
dibandingkan dengan orang yang sehat.
Berdasarkan hasil penelitian, sulphur dioxide yang dihasilkan oleh hujan asam juga dapat
bereaksi secara kimia didalam udara, dengan terbentuknya partikel halus suphate, yang mana
partikel halus ini akan mengikat dalam paru-paru yang akan menyebabkan penyakit pernapasan.
Selain itu juga dapat mempertinggi resiko terkena kanker kulit karena senyawa sulfat dan nitrat
mengalami kontak langsung dengan kulit.
Korosi
Hujan asam juga dapat mempercepat proses pengkaratan dari beberapa material seperti
batu kapur, pasirbesi, marmer, batu pada diding beton serta logam. Ancaman serius juga dapat
terjadi pada bagunan tua serta monument termasuk candi dan patung. Hujan asam dapat merusak
batuan sebab akan melarutkan kalsium karbonat, meninggalkan kristal pada batuan yang telah
menguap. Seperti halnya sifat kristal semakin banyak akan merusak batuan.
C Upaya Pengendalian Deposisi Asam
Usaha untuk mengendalikan deposisi asam ialah menggunakan bahan bakar yang
mengandung sedikit zat pencemae, menghindari terbentuknya zat pencemar saat terjadinya
pembakaran, menangkap zat pencemar dari gas buangan dan penghematan energi.
a. Bahan Bakar Dengan kandungan Belerang Rendah
Kandungan belerang dalam bahan bakar bervariasi. Masalahnya ialah sampai saat ini
Indonesia sangat tergantung dengan minyak bumi dan batubara, sedangkan minyak bumi
merupakan sumber bahan bakar dengan kandungan belerang yang tinggi.

Penggunaan gas asam akan mengurangi emisi zat pembentuk asam, akan tetapi kebocoran gas ini
dapat menambah emisi metan. Usaha lain yaitu dengan menggunakan bahan bakar non-belerang
misalnya metanol, etanol dan hidrogen. Akan tetapi penggantian jenis bahan bakar ini haruslah
dilakukan dengan hati-hati, jika tidak akan menimbulkan masalah yang lain. Misalnya
pembakaran metanol menghasilkan dua sampai lima kali formaldehide daripada pembakaran
bensin. Zat ini mempunyai sifat karsinogenik (pemicu kanker).
b. Mengurangi kandungan Belerang sebelum Pembakaran
Kadar belarang dalam bahan bakar dapat dikurangi dengan menggunakan teknologi
tertentu. Dalam proses produksi, misalnya batubara, batubara diasanya dicuci untukk
membersihkan batubara dari pasir, tanah dan kotoran lain, serta mengurangi kadar belerang yang
berupa pirit (belerang dalam bentuk besi sulfida( sampai 50-90% ).
c. pengendalian Pencemaran Selama Pembakaran
Beberapa teknologi untuk mengurangi emisi SO2 dan Nox pada waktu pembakaran telah
dikembangkan. Slah satu teknologi ialah lime injection in multiple burners (LIMB). Dengan
teknologi ini, emisi SO2 dapat dikurangi sampai 80% dan NOx 50%.
Caranya dengan menginjeksikan kapur dalam dapur pembakaran dan suhu pembakaran
diturunkan dengan alat pembakar khusus. Kapur akan bereaksi dengan belerang dan membentuk
gipsum (kalsium sulfat dihidrat). Penuruna suhu mengakibatkan penurunan pembentukan Nox
baik dari nitrogen yang ada dalam bahan bakar maupun dari nitrogen udara.
Pemisahan polutan dapat dilakukan menggunakan penyerap batu kapur atau Ca(OH)2.
Gas buang dari cerobong dimasukkan ke dalam fasilitas FGD. Ke dalam alat ini kemudian
disemprotkan udara sehingga SO2 dalam gas buang teroksidasi oleh oksigen menjadi SO3. Gas
buang selanjutnya "didinginkan" dengan air, sehingga SO3 bereaksi dengan air (H2O)
membentuk asam sulfat (H2SO4). Asam sulfat selanjutnya direaksikan dengan Ca(OH)2
sehingga diperoleh hasil pemisahan berupa gipsum (gypsum). Gas buang yang keluar dari sistem
FGD sudah terbebas dari oksida sulfur. Hasil samping proses FGD disebut gipsum sintetis karena
memiliki senyawa kimia yang sama dengan gipsum alam.

d. Pengendalian Setelah Pembakaran


Zat pencemar juga dapat dikurangi dengan gas ilmiah hasil pembakaran. Teknologi yang
sudah banyak dipakai ialah fle gas desulfurization (FGD) (Akhadi, 2000. Prinsip teknologi ini
ialah untuk mengikat SO2 di dalam gas limbah di cerobong asap dengan absorben, yang disebut
scubbing (Sudrajad, 2006). Dengan cara ini 70-95% SO2 yang terbentuk dapat diikat. Kerugian
dari cara ini ialah terbentuknya limbah. Akan tetapi limbah itu dapat pula diubah menjadi gipsum
yang dapat digunakan dalam berbagai industri. Cara lain ialah dengan menggunakan amonia
sebagai zat pengikatnya sehingga limbah yang dihasilkan dapat dipergunakan sebagi pupuk.
Selain dapat mengurangi sumber polutan penyebab hujan asam, gipsum yang dihasilkan melalui
proses FGD ternyata juga memiliki nilai ekonomi karena dapat dimanfaatkan untuk berbagai
keperluan, misal untuk bahan bangunan. Sebagai bahan bangunan, gipsum tampil dalam bentuk
papan gipsum (gypsum boards) yang umumnya dipakai sebagai plafon atau langit-langit rumah
(ceiling boards), dinding penyekat atau pemisah ruangan (partition boards) dan pelapis dinding
(wall boards).
Amerika Serikat merupakan negara perintis dalam memproduksi gipsum sintetis ini.
Pabrik wallboard dari gipsum sintetis yang pertama di AS didirikan oleh Standard Gypsum LLC
mulai November tahun 1997 lalu. Lokasi pabriknya berdekatan dengan stasiun pembangkit
listrik Tennessee Valley Authority (TVA) di Cumberland yang berkapasitas 2600 megawatt.
Produksi gipsum sintetis merupakan suatu terobosan yang mampu mengubah bahan
buangan yang mencemari lingkungan menjadi suatu produk baru yang bernilai ekonomi. Sebagai
bahan wallboard, gipsum sintetis yang diproduksi secara benar ternyata memiliki kualitas yang
lebih baik dibandingkan gipsum yang diperoleh dari penambangan. Gipsum hasil proses FGD ini
memiliki ukuran butiran yang seragam. Mengingat dampak positifnya cukup besar, tidak
mustahil suatu saat nanti, setiap PLTU batu bara akan dilengkapi dengan pabrik gipsum sintetis.

d. Mengaplikasikan prinsip 3R (Reuse, Recycle, Reduce)


Hendaknya prinsip ini dijadikan landasan saat memproduksi suatu barang, dimana
produk itu harus dapat digunakan kembali atau dapat didaur ulang sehingga jumlah sampah atau
limbah yang dihasilkan dapat dikurangi. Teknologi yang digunakan juga harus diperhatikan,
teknologi yang berpotensi mengeluarkan emisi hendaknya diganti dengan teknologi yang lebih
baik dan bersifat ramah lingkungan. Hal ini juga berkaitan dengan perubahan gaya hidup, kita
sering kali berlomba membeli kendaraan pribadi, padahal transportasilah yang merupakan
penyebab tertinggi pencemaran udara. Oleh karena itu kita harus memenuhi kadar baku mutu
emisi, baik di industri maupun transportasi.

Makalah Pengetahuan Lingkungan


Hujan Asam

Disusun oleh :

Rani Melati Fadilah (132090009)


Yeyet Ratnasari (132090013)

Program Studi Teknologi Industri Pertanian


Institut Teknologi Industri Pertanian
Serpong
2011

Anda mungkin juga menyukai