Anda di halaman 1dari 13

ASUHAN KEPERAWATAN TETANUS

Oleh:
SGD 8

Made A. Perama Pradnyani

(1002105009)

Kadek Yunita Pradnyawati

(1002105012)

Kadek Fira Parwati

(1002105017)

Putu Dimas Pramananta Harmaya

(1002105031)

Ni Putu Christin Jayastri

(1002105044)

Ni Made Dewi Ratnasari

(1002105045)

Ni Wayan Mas Utami Garniswari

(1002105054)

Eka Wahyu Ningsih

(1002105069)

Luh Putu Citra Dewi Jayanthi

(1002105071)

Kadek Ana Dwijayanti

(1002105075)

I Gusti Ayu Agung Sri Efriyanthi

(1002105087)

UNIVERSITAS UDAYANA
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
2011

Learning Task
An. D berusia 10 tahun dibawa ke RS dengan keluhan kejang berulang, demam, dan tidak
sadarkan diri. Dari anamnesa didapatkan riwayat tertusuk paku di halaman rumah, dan tidak
dilakukan perawatan luka secara adekuat. Riwayat imunisasi tetanus (-), Tax: 39 0C, TD:

80/50 mmHg, HR: 50x/menit, hyperhidrosis (+), RR: 40x/menit, penggunaan otot bantu nafas
(+), PCH (+), trimus, risus sardonikus, opistotonus, kaku kuduk (+).
1.
2.
3.
4.

Jelaskan jenis gangguan neurologis yang dialami klien!


Jelaskan konsep penyakit (etiologi, pathogenesis, klasifikasi, manifestasi klinis)
Jelaskan penatalaksanaan dan terapi suportif yang perlu diberikan kepada klien!
Jelaskan tindakan pencegahan yang dilakukan untuk mencegah gangguan neurologis

5.
6.
7.
8.

ini!
Jelaskan komplikasi yang mungkin terjadi dan memperberat prognosis klien!
Apakah pengkajian yang harus dilakukan pada An. D?
Apakah masalah keperawatan yang dihadapi klien?
Susunlah tujuan, criteria hasil, intervensi terhadap masalah keperawatan yang dialami
An. D!

Pembahasan
1. Tetanus merupakan salah satu penyakit infeksi yang dapat dicegah dengan imunisasi.
Penyakit ini ditandai oleh kekakuan otot dan spasme yang diakibatkan oleh pelepasan
neurotoksin (tetanospasmin) oleh Clostridium tetani. Tetanus dapat terjadi pada orang
yang belum diimunisasi, orang yang diimunisasi sebagian, atau telah diimunisasi
lengkap tetapi tidak memperoleh imunitas yang cukup karena tidak melakukan
booster secara berkala. (Tolan, 2008)

Tetanus adalah penyakit dengan tanda utama kekakuan otot (spasme) tanpa disertai
gangguan kesadaran yang disebabkan oleh kuman Clostridium tetani. Gejala ini
bukan disebabkan kuman secara langsung, tetapi sebagai dampak eksotoksin
(tetanospasmin) yang dihasilkan oleh kuman pada sinaps ganglion sambungan
sumsum tulang belakang, sambungan neuromuskular (neuromuscular junction) dan
saraf otonom. (Pusponegoro, 2004)
2. Etiologi : Kuman yang menghasilkan toksin adalah Clostridium tetani, kuman
berbentuk batang dengan sifat :
Basil Gram-positif dengan spora pada ujungnya sehingga berbentuk seperti

pemukul genderang
Obligat anaerob (berbentuk vegetatif apabila berada dalam lingkungan

anaerob) dan dapat bergerak dengan menggunakan flagela


Menghasilkan eksotoksin yang kuat
Mampu membentuk spora (terminal spore) yang mampu bertahan dalam suhu

tinggi, kekeringan dan desinfektan.


Bakteri Clostridium tetani ini banyak ditemukan di tanah, kotoran manusia dan hewan
peliharaan serta di daerah pertanian. Bakteri ini peka terhadap panas dan tidak dapat
bertahan dalam lingkungan yang terdapat oksigen. Sebaliknya, dalam bentuk spora
sangat resisten terhadap panas dan antiseptik. Spora mampu bertahan dalam keadaan
yang tidak menguntungkan selama bertahun-tahun dalam lingkungan yang anaerob.
Spora dapat bertahan dalam autoklaf pada suhu 249,8 F (121C) selama 10-15 menit.
Spora juga relatif resisten terhadap fenol dan agen kimia lainnya. Spora dapat
menyebar kemana-mana, mencemari lingkungan secara fisik dan biologik. (Tolan,
2008)
Clostridium tetani biasanya masuk ke dalam tubuh melalui luka. Adanya luka
mungkin dapat tidak disadari, dan seringkali tidak dilakukan pengobatan. Tetanus
juga dapat terjadi akibat beberapa komplikasi kronik seperti ulkus dekubitus, abses
dan gangren. Dapat juga terjadi akibat frost bite, infeksi telinga tengah, pembedahan,
persalinan, dan pemakaian obat-obatan intravena atau subkutan. Tempat masuknya
kuman penyakit ini bisa berupa luka yang dalam yang berhubungan dengan kerusakan
jaringan lokal, tertanamnya benda asing atau sepsis dengan kontaminasi tanah, lecet
yang dangkal dan kecil atau luka geser yang terkontaminasi tanah, trauma pada jari
tangan atau jari kaki yang berhubungan dengan patah tulang jari dan luka pada
pembedahan. (Tolan, 2008)
Pathogenesis : Pada dasarnya tetanus adalah penyakit yang terjadi akibat pencemaran
lingkungan oleh bahan biologis (spora) sehingga upaya kausal menurunkan attack

rate adalah dengan cara mengubah lingkungan fisik atau biologik. Port dentree tak
selalu dapat diketahui dengan pasti, namun diduga melalui :

Luka tusuk, patah tulang, komplikasi kecelakaan, gigitan binatang, luka bakar
yang luas.

Luka operasi, luka yang tidak dibersihkan (debridement) dengan baik.

Otitis media, karies gigi, luka kronik.

Pemotongan tali pusat yang tidak steril, pembubuhan puntung tali pusat
dengan kotoran binatang, bubuk kopi, bubuk ramuan, dan daun-daunan
merupakan penyebab utama masuknya spora pada puntung tali pusat yang
menyebabkan terjadinya kasus tetanus neonatorum. (Sumarmo, 2008)

Spora C. tetani masuk ke dalam tubuh melalui luka. Spora yang masuk ke dalam
tubuh tidak berbahaya sampai dirangsang oleh beberapa faktor (kondisi anaerob),
sehingga berubah menjadi bentuk vegetatif dan berbiak dengan cepat tetapi hal ini
tidak mencetuskan reaksi inflamasi. Gejala klinis sepenuhnya disebabkan oleh toksin
yang dihasilkan oleh sel vegetatif yang sedang tumbuh. C. tetani menghasilkan dua
eksotoksin, yaitu tetanospasmin dan tetanolisin. Tetanolisin menyebabkan hemolisis
tetapi tidak berperan dalam penyakit ini. Gejala klinis tetanus disebabkan oleh
tetanospasmin. Tetanospasmin melepaskan pengaruhnya di keempat sistem saraf: (1)
motor end plate di otot rangka, (2) medula spinalis, (3) otak, dan (4) pada beberapa
kasus, pada sistem saraf simpatis. Diperkirakan dosis letal minimum pada manusia
sebesar 2,5 nanogram per kilogram berat badan (satu nanogram = satu milyar gram),
atau 175 nanogram pada orang dengan berat badan 70 kg. (Cherry, 2004)
Hipotesis bahwa toksin pada awalnya merambat dari tempat luka lewat motor end
plate dan aksis silinder saraf tepi ke kornu anterior sumsum tulang belakang dan
menyebar ke susunan saraf pusat lebih banyak dianut daripada lewat pembuluh limfe
dan darah. Pengangkutan toksin ini melewati saraf motorik, terutama serabut motorik.
Reseptor khusus pada ganglion menyebabkan fragmen C toksin tetanus menempel
erat dan kemudian melalui proses perlekatan dan internalisasi, toksin diangkut ke arah
sel secara ektra aksional dan menimbulkan perubahan potensial membran dan
gangguan enzim yang menyebabkan kolin-esterase tidak aktif, sehingga kadar
asetilkolin menjadi sangat tinggi pada sinaps yang terkena. Toksin menyebabkan
blokade pada simpul yang menyalurkan impuls pada tonus otot, sehingga tonus otot

meningkat dan menimbulkan kekakuan. Bila tonus makin meningkat akan


menimbulkan spasme terutama pada otot yang besar. (Sumarmo, 2008)
Dampak toksin antara lain :

Dampak pada ganglion pra sumsum tulang belakang disebabkan karena


eksotoksin memblok sinaps jalur antagonis, mengubah keseimbangan dan
koordinasi impuls sehingga tonus otot meningkat dan otot menjadi kaku

Dampak pada otak, diakibatkan oleh toksin yang menempel pada gangliosida
serebri diduga menyebabkan kekakuan dan spasme yang khas pada tetanus.

Dampak pada saraf otonom, terutama mengenai saraf simpatis dan


menimbulkan gejala keringat yang berlebihan, hipertermia, hipotensi,
hipertensi, aritmia, heart block, atau takikardia. (Sumarmo, 2008).

Tetanospasmin adalah toksin yang menyebabkan spasme,bekerja pada beberapa level


dari susunan syaraf pusat, dengan cara :
a. Tobin menghalangi neuromuscular transmission dengan cara menghambat
pelepasan acethyl-choline dari terminal nerve di otot.
b. Karakteristik spasme dari tetanus ( seperti strichmine ) terjadi karena toksin
mengganggu fungsi dari refleks synaptik di spinal cord.
c. Kejang pada tetanus, mungkin disebabkan pengikatan dari toksin oleh cerebral
ganglioside.
d. Beberapa penderita mengalami gangguan dari Autonomik Nervous System
(ANS ) dengan gejala : berkeringat, hipertensi yang fluktuasi, periodisiti
takikhardia, aritmia jantung, peninggian cathecholamine dalam urine
Kerja dari tetanospamin analog dengan strychninee, dimana ia mengintervensi fungsi
dari arcus refleks yaitu dengan cara menekan neuron spinal dan menginhibisi terhadap
batang otak. (Adams, 1997)
Klasifikasi : Ada empat bentuk tetanus yang dikenal secara klinis, yakni :
Generalized tetanus (Tetanus umum) : Tetanus umum merupakan bentuk yang
sering ditemukan. Derajat luka bervariasi, mulai dari luka yang tidak disadari
hingga luka trauma yang terkontaminasi. Masa inkubasi sekitar 7-21 hari,
sebagian besar tergantung dari jarak luka dengan SSP. Penyakit ini biasanya
memiliki pola yang desendens. Tanda pertama berupa trismus/lock jaw, diikuti
dengan kekakuan pada leher, kesulitan menelan, dan spasme pada otot
abdomen. Gejala utama berupa trismus terjadi sekitar 75% kasus, seringkali

ditemukan oleh dokter gigi dan dokter bedah mulut. Gambaran klinis lainnya
meliputi iritabilitas, gelisah, hiperhidrosis dan disfagia dengan hidrofobia,
hipersalivasi dan spasme otot punggung. Manifestasi dini ini merefleksikan
otot bulbar dan paraspinal, mungkin karena dipersarafi oleh akson pendek.
Spasme dapat terjadi berulang kali dan berlangsung hingga beberapa menit.
Spasme dapat berlangsung hingga 3-4 minggu. Pemulihan sempurna

memerlukan waktu hingga beberapa bulan.


Localized tetanus (Tetanus lokal) : Tetanus lokal terjadi pada ektremitas
dengan luka yang terkontaminasi serta memiliki derajat yang bervariasi.
Bentuk ini merupakan tetanus yang tidak umum dan memiliki prognosis yang
baik. Spasme dapat terjadi hingga beberapa minggu sebelum akhirnya
menghilang secara bertahap. Tetanus lokal dapat mendahului tetanus umum
tetapi dengan derajat yang lebih ringan. Hanya sekitar 1% kasus yang

menyebabkan kematian.
Cephalic tetanus (Tetanus sefalik) : Tetanus sefalik umumnya terjadi setelah
trauma kepala atau terjadi setelah infeksi telinga tengah. Gejala terdiri dari
disfungsi saraf kranialis motorik (seringkali pada saraf fasialis). Gejala dapat
berupa tetanus lokal hingga tetanus umum. Bentuk tetanus ini memiliki masa

inkubasi 1-2 hari. Prognosis biasanya buruk.


Tetanus neonatorum : Bentuk tetanus ini terjadi pada neonatus. Tetanus
neonatorum terjadi pada negara yang belum berkembang dan menyumbang
sekitar setengah kematian neonatus. Penyebab yang sering adalah penggunaan
alat-alat yang terkontaminasi untuk memotong tali pusat pada ibu yang belum
diimunisasi. Masa inkubasi sekitar 3-10 hari. Neonatus biasanya gelisah,
rewel, sulit minum ASI, mulut mencucu dan spasme berat. Angka mortalitas

dapat melebihi 70%. (Tolan, 2004)


Manifestasi klinis : Manifestasi klinik yang muncul dapat diklasifikasi beratnya
menurut Abblet menjadi :

3. Penatalaksanaan meliputi :
1) Anti Tetanus Serum (ATS).
Dewasa 50.000 U/hari, selama 2 hari berturut-turut, hari I diberikan dalam
infus glukosa 5 % 100 ml, hari II diberikan secara IM lakukan uji kulit

sebelum pemberian.
Anak 20.000 U/hari, selama 2 hari. Pemberian secara drip infus 40.000 U

bisa dilakukan sekaligus melewati IV line.


Bayi 10.000 U/hari, selama 2 hari. Pemberian secara drip infus 20.000 U

bisa dilakukan sekaligus melewati IV line.


2) Fenobarbital : dosis initial 50 mg (umur <1 thn), 75 mg (umur >1 thn) dilanjutkan
5 mg/kgBB/hari dibagi 6 dosis.
3) Diazepam dosis 4 mg/kgBB/hari dibagi dalam 6 dosis.
4) Largactik dosis 4 mg/kgBB/hari.
5) Antimikroba.
Terapi Suportif meliputi :
1) Diet tinggi kalori tinggi protein bila trismus diberi diet cair melalui NGT.
2) Isolasi penderita pada tempat yang tenang, kurangi rangsangan yang membuat
kejang, kolaborasi pemberian obat penenang.
3) Debridemen luka, biarkan luka terbuka.

4) Berikan oksigen 2 lt/menit.


(Arif Muttaqin, 2008:halaman 226)
4. Pencegahan sangat penting, mengingat perawatan kasus tetanus sulit dan mahal.
Untuk pencegahan, perlu dilakukan:
a. Imunisasi aktif
Imunisasi dengan toksoid tetanus merupakan salah satu pencegahan yang
sangat efektif. Angka kegagalannya relatif rendah. Toksoid tetanus pertama
kali diproduksi pada tahun 1924. Imunisasi toksoid tetanus digunakan secara
luas pada militer selama Perang Dunia II. Terdapat dua jenis toksoid tetanus
yang tersedia adsorbed (aluminium salt precipitated) toxoid dan fluid toxoid.
Toksoid tetanus tersedia dalam kemasan antigen tunggal, atau dikombinasi
dengan toksoid difteri sebagai DT atau dengan toksoid difteri dan vaksin
pertusis aselular sebagai DPT. Kombinasi toksoid difteri dan tetanus (DT)
yang mengandung 10-12 Lf dapat diberikan pada anak yang memiliki
kontraindikasi terhadap vaksin pertusis. Jenis imunisasi tergantung dari
golongan umur dan jenis kelamin. Untuk mencegah tetanus neonatorum, salah
satu pencegahan adalah dengan pemberian imunisasi TT pada wanita usia
subur (WUS). Oleh karena itu, setiap WUS yang berkunjung ke fasilitas
pelayanan kesehatan harus selalu ditanyakan status imunisasi TT mereka dan
bila diketahui yang bersangkutan belum mendapatkan imunisasi TT harus
diberi imunisasi TT minimal 2 kali dengan jadwal sebagai berikut : Dosis
pertama diberikan segera pada saat WUS kontak dengan pelayanan kesehatan
atau sendini mungkin saat yang bersangkutan hamil, dosis kedua diberikan 4
minggu setelah dosis pertama. Dosis ketiga dapat diberikan 6 - 12 bulan
setelah dosis kedua atau setiap saat pada kehamilan berikutnya. Dosis
tambahan sebanyak dua dosis dengan interval satu tahun dapat diberikan pada
saat WUS tersebut kontak dengan fasilitas pelayanan kesehatan atau diberikan
pada saat kehamilan berikutnya. Total 5 dosis TT yang diterima oleh WUS
akan memberi perlindungan seumur hidup. WUS yang riwayat imunisasinya
telah memperoleh 3 - 4 dosis DPT/DaPT pada waktu anak-anak, cukup
diberikan 2 dosis TT pada saat kehamilan pertama, ini akan memberi
perlindungan terhadap seluruh bayi yang akan dilahirkan. (Depkes RI, 2009)

Efektivitas vaksin tetanus tidak pernah diuji dalam penelitian. Kesimpulan


bahwa kadar antitoksin bersifat protektif setelah diberikan toksoid tetanus
yang lengkap terlihat manfaatnya secara klinis hingga 100%; jarang
ditemukan kasus tetanus pada orang yang telah diimunisasi secara lengkap
dalam waktu 10 tahun setelah dosis terakhir. Pada beberapa orang, imunitas
dapat terjadi seumur hidup atau pada sebagian besar orang memiliki kadar
antitoksin yang minimal setelah 10 tahun. Akibatnya, diperlukan imunisasi
ulangan (booster) yang rutin dilakukan setiap 10 tahun. (CDC. Tetanus)
Oleh karena itu, peranan pencegahan dengan imunisasi sangatlah penting.
Pada penelitian di Amerika Serikat, ditemukan bahwa kasus tetanus hanya
terjadi pada anak-anak yang tidak diimunisasi karena orang tua menolak
memberikan vaksinasi. Ibu yang mendapat TT 2 atau 3 dosis ternyata
memberikan proteksi yang baik terhadap bayi baru lahir dari tetanus neonatal.
Kadar rata-rata antitoksin 0,01 AU/ml pada ibu cukup untuk memberi proteksi
terhadap bayinya. (Fair E,dkk, 2002)
b. Perawatan luka
Perawatan luka harus segera dilakukan terutama pada luka tusuk, luka kotor
atau luka yang diduga tercemar dengan spora tetanus. Perawatan luka
dilakukan guna mencegah timbulnya jaringan anaerob. Jaringan nekrotik dan
benda asing harus dibuang. Untuk pencegahan kasus tetanus neonatorum
sangat bergantung pada penghindaran persalinan yang tidak aman, aborsi serta
perawatan tali pusat selain dari imunisasi ibu.( Roper, 2007)
Pada perawatan tali pusat, penting diperhatikan hal-hal berikut ini :
Jangan membungkus punting tali pusat/mengoleskan cairan/bahan
apapun ke dalam punting tali pusat

Mengoleskan alkohol/povidon iodine masih diperkenankan tetapi tidak


dikompreskan karena menyebabkan tali pusat lembab (Depkes RI,

2008)
c. Pemberian ATS dan HTIG profilaksis
Profilaksis dengan pemberian ATS hanya efektif pada luka baru (< 6 jam) dan
harus segera dilanjutkan dengan imunisasi aktif. Dosis ATS profilaksis 3000
IU. HTIG juga dapat diberikan sebagai profilaksis luka. Dosis untuk anak < 7
tahun : 4 U/kg IM dosis tunggal, sedangkan dosis untuk anak 7 tahun : 250
U IM dosis tunggal. (Sumarmo, 2008)
5. Komplikasi yang mungkin terjadi:
a. Pada saluran pernapasan
Oleh karena spasme otot-otot pernapasan dan spasme otot laring dan seringnya
kejang menyebabkan terjadinya asfiksia. Karena akumulasi sekresi saliva serta
sukarnya menelan air liur dan makanan atau minuman sehingga sering terjadi
aspirasi pneumoni, atelektasis akibat obstruksi oleh sekret. Pneumotoraks dan
mediastinal emfisema biasanya terjadi akibat dilakukannya trakeostomi.
b. Pada kardiovaskuler
Komplikasi berupa aktivitas simpatis yang meningkat antar lain berupa takikardi,
hipertensi, vasokontriksi perifer dan rangsangan miokardium.
c. Pada tulang dan otot
Pada otot karena spasme yang berkepanjangan bisa terjadi perdarahan dalam otot.
Pada tulang dapat terjadi fraktura columna vertebralis akibat kejang yang terusmenerus terutama pada anak dan orang dewasa. Beberapa peneliti melaporkan
juga dapat terjadi miositis ossifikans sirkumskripta.
d. Komplikasi yang lain:
Laserasi lidah akibat kejang
Dekubitus karena penderita berbaring dalam satu posisi saja
Panas yang tinggi karena infeksi sekunder atau toksin yang menyebar luas
dan menggagu pusat pengatur suhu.
Penyebab kematian penderita tetanus

akibat

komplikasi

bronkopneumonia, cardiac arrest, septicemia, dan pneumotoraks.


6. Pengkajian
Pengkajian umum
1) Pengkajian
a. Identitas pasien
Nama : An.D

yaitu:

Umur : 10 tahun
Jenis kelamin : pria
Alamat : Jalan tukad yeh aye no.3, denpasar
b. Identitas orang tua:
Ayah : Nama, usia, pendidikan, pekerjaan, agama, alamat.
Ibu : Nama, usia, pendidikan, pekerjaan, agama, alamat
2) Keluhan utama/alasan masuk RS : klien mengalami kejang berulang, demam dan
tidak sadarkan diri
3) Riwayat Kesehatan
a. Riwayat kesehatan sekarang
Suhu tubuh klien 39

C, klien mengalami kaku kuduk, opistotunus,

hyperhidrosis, risus sardonikus dan penggunaan otot bantu pernafasan dan


PCH (+)
b. Riwayat kesehatan masa lalu
Klien punya riwayat tertusuk paku di halaman rumah dan tidak dilakukan
perawatan luka secara adekuat , riwayat imunisasi tetanus tidak pernah.

Ante natal care Natal

Post natal care

Riwayat kesehatan keluarga

Riwayat imunisasi

Riwayat tumbuh kembang Pertumbuhan fisik

Perkembangan tiap tahap

4) Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan umum klien

Klien tidak sadarkan diri, demam, kejang berulang, trismus, kaku kuduk,
opistotonus, dan risus sardonikus
b. Tanda-tanda vital
Tax = 390C, TD =80/50 mmHg HR = 50 x / menit, RR = 40 x / menit
Pengkajian Khusus

System pernafasan : dyspnea asfiksia dan sianosis akibat kontraksi oto


pernafasan.

System cardiovascular : disritmia, takicardi, hipertensi dan perdarahan, suhu


tubuh awalnya 38 - 40Catau febris sampai ke terminal 43 - 44C.

System neurologis : irritability (awal), kelemahan, konvulsi (akhir),


kelumpuhan satu atau beberapa saraf otak.

System perkemihan : retensi urine (distensi kandung kemih dan urine output
tidak ada/oliguria)

System pencernaan : konstipasi akibat tidak ada pergerakan usus.

System integument dan muskuloskletal : nyeri kesemutan pada tempat luka,


berkeringatan (hiperhidrasi), pada awalnya didahului trismus, spasme otot
muka dengan peningkatan kontraksi alis mata, risus sardonicus, otot kaku dan
kesulitan menelan.

Sistem saraf : Fungsi cerebral, fungsi kranial, fungsi motorik, fungsi sensorik,
fungsi cerebelum, refleks, iritasi meningen

Apabila hal ini berlanjut terus maka akan terjadi status konvulsi dan kejang umum.
( Marlyn Doengoes, Nursing care Plan, 1993)

DAFTAR PUSTAKA
1. Tolan Jr RW. Tetanus. Available in: www.emedicine.com Last updated Feb 1,
2008. [Tingkat Pembuktian IV].
2. Pusponegoro HD, Hadinegoro ARS, Firmanda D, Tridjaja AAP, et al. Tetanus.
Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak. Edisi I 2004. hal 99-108.
3. Sumarmo SPS, Garna H, Hadinegoro SR, Satari HI. Buku Ajar Infeksi dan
penyakit Tropis : Tetanus. Edisi 2. IDAI. 2008
4. Cherry JD, Harrison RE. Tetanus in Textbook of Pediatric Infections Diseases, 5th
ed., Vol.2. Sauders. 2004;1766-76.
5. CDC. Tetanus
6. Miranda-Filho DB, Ximenes RA, Barone AA, Vaz LV, et al. Randomised
controlled trial of tetanus treatment with antitetanus immunoglobulin by the
intrathecal or intramuscular route BMJ 2004;328:615. [Tingkat Pembuktian Ib].
7. Tetanus neonatorum. Departemen Kesehatan RI Subdirektoraat Surveilans
Epidemiologi Diunduh dari http://www.surveilans.org/general.php?tpl=en&id=12
tanggal 16 Februari 2009.
8. Roper MH, Vandelaer JH, Gasse FL. Maternal and neonatal tetanus. Lancet 2007;
370:1947-59.
9. Pelatihan Klinik Asuhan Persalinan Normal. Revisi 2008. Departemen Kesehatan
Republik Indonesia. Jakarta 2008;126.
10. Adams. R.D,et al : Tetanus in :Principles of New'ology,McGraw-Hill,ed 1997,
1205-1207.
11. Fair E, Murphy TV, Golaz A, Wharton M. Philosophic Objection to Vaccination as
a Risk for Tetanus Among Children Younger Than 15 Years. Pediatrics 109
(1)2002,pp.e2.
12. Marilyn E. Doenges, 1999, Rencana Asuhan Keperawatan, Penerjemah Kariasa I
Made, EGC, Jakarta
13. Munttaqin, arif. 2008. Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem
Persarafan. Jakarta: salemba medika.

Anda mungkin juga menyukai