BAB 1
Pendahuluan
1.1. Latar Belakang Masalah
Industri operator telepon seluler di Indonesia telah menjadi salah satu
aspek yang penting dalam kehidupan masyarakat. Semakin meningkatnya
kebutuhan masyarakat akan kebutuhan pada sektor telekomunikasi seluler dapat
dilihat dari terus meningkatnya jumlah pelanggan perusahaan operator seluler.
Gambar 1.
penelitian yang dilakukan lembaga ROA (Research On Asia), pada tahun 2010
angka pengguna ponsel di Indonesia pun diprediksikan mencapai angka 133 juta.
Dengan kata lain, sekitar separuh dari seluruh populasi negeri ini yang
diperkirakan mencapai 250 juta jiwa, merupakan pengguna ponsel. Dengan
demikian, Indonesia pun akan menempati peringkat ketiga pasar ponsel terbesar
di Asia setelah Cina dan India (Kristo, 2007).
Salah satu kerangka dasar dalam analisis ekonomi industri adalah
hubungan antara Struktur-Perilaku-Kinerja atau Structure-Conduct-Performance
(S-C-P). Hubungan paling sederhana dari ketiga variabel tersebut adalah
hubungan linier di mana struktur mempengaruhi perilaku kemudian perilaku
mempengaruhi kinerja. Dalam perkembangannya hubungan tersebut menjadi
suatu kerangka yang timbal balik dan saling mempengaruhi, termasuk masuknya
variabel-variabel baru dalam interaksi tersebut antara lain teknologi, progresivitas,
strategi dan usaha-usaha untuk mendorong penjualan (Martin, 1993: 2).
Hubungan linier Struktur-Perilaku-Kinerja tersebut dijelaskan dalam Gambar 1 di
bawah ini;
Gambar 2. Bagan Sederhana Struktur-Perilaku-Kinerja
Bab 2
Tinjauan Teori
2.1. Structure-Conduct-Performance
Dalam peneliian ini digunakan dasar teori organisasi industri dari Stephen
Martin sebagai Grand Theory, yang diback-up dengan dasar teori organisasi
industri dari Chris Britton dan William G. Sheperd. Adapun, teori organisasi
industri mengenai hubungan structure-conduct-performance dari Martin yang
dimaksud sebagai grand theory dalam penelitian dapat dilihat pada gambar 3.
Argumentasi digunakannya model teori Martin adalah bahwa teori ini cukup
sederhana namun, cukup representatif untuk dapat menjelaskan fenomena industri
operator telepon seluler di Indonesia. Selanjutnya, implikasi dasar teori dari
sheperd yang dimaksud dalam penelitian ini dapat dilihat pada tabel 1.
Sedangkan, implikasi dasar teori dari sheperd yang dimaksud dalam penelitian ini
dapat dilihat seperti pada gambar 4. Argumentasi digunakann dasar teori Britton
dan Sheperd ini sebagai pelengkap penjelasan teori dasar dari Martin adalah agar
penjabaran dalam variabel pokok tersebut lebih nampak jelas, sehingga masih
diperlukan penjelasan tambahan yang dimaksud.
Gambar 3. The interactive Structure-Conduct-Performance market framework
Bab 3
Metodologi Penelitian
Penelitian mengenai struktur-perilaku dan kinerja Industri telekomunikasi
seluler ini menggunakan dua metode. Metode pertama adalah metode deskriptif-
analitis yang akan menguraikan struktur-perilaku dan kinerja Industri
telekomunikasi di Indonsia. Metode kedua adalah metode kuantitatif dengan
menggunakan metode regresi linear menggunakan panel random effect.
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder dengan
jenis data panel. Data tersebut terdiri dari kinerja 10 perusahaan operator telepon
seluler di Indonesia dari tahun 2002 hingga tahun 2008 sebagai sampel penelitian
ini. Adapun variabel penelitian dalam metode kuantitatif penelitian ini terdiri dari
EBITDA, marketshare, ARPU, biaya pemasaran dan investasi. Sumber data yang
digunakan dalam penelitian ini adalah berasal dari data statistik POSTEL 2009.
Penelitian ini ditujukan untuk ; 1) mengetahui struktur, perilaku, dan
kinerja industri operator telepon seluler di Indonesia; 2) menganalisis bagaimana
struktur pasar dan perilaku perusahaan mempengaruhi kinerja industri operator
seluler di Indonesia; 3 Melakukan analisis deskriptif atas temuan-temuan dalam
analisis kuantitatif, sehingga diaharapakan diperoleh alternatif solusi pada akhir
penelitian ini.
Model yang akan diestimasi dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
EBITDA = β 0 + β 1 Marketshare + β 2 ARPU + β 3 BiayaPemasaran + β 4 Investasi + ε
Dimana ;
EBITDA ; Pendekatan pendapatan yang dihitung dari penerimaan
operator telepon seluler sebelum dikurangi dengan bunga, pajak, penyusutan
(depresiasi) dan amortisasi.
Marketshare ; Presentase pelanggan suatu perusahaan dibandingkan
seluruh pelanggan di industri.
ARPU ; Pendapatan rata-rata operator dari suatu pelanggan yang
menggunakan produknya.
BiayaPemasaran ; Biaya yang dikeluarkan oleh tiap perusahaan untuk
memasarkan produknya.
Bab 4
Hasil dan Pembahasan
4.1. Deskripsi Obyek Penelitian
4.1.1. Structure
Dari hasil perhitungan ternyata rata-rata konsentrasi industri operator
telepon seluler di Indonesia di atas 40% yaitu 90% untuk perhitungan konsentrasi
industri menurut metode CR3. Dengan demikian, struktur industri operator
telepon seluler di Indonesia dapat digolongkan berstruktur oligopoli. Dari hasil
perhitungan IHH ternyata rata-rata nilainya adalah sebesar 0,37 yang berarti
struktur dari industri operator telepon seluler di Indonesia tidak berstruktur
monopoli karena nilai rata-rata IHH tidak mendekati satu. Dari nilai rata-rata CR3
ternyata industri operator telepon seluler di Indonesia mempunyai nilai
konsentrasi sebesar 90%. Maka berdasarkan klasifikasi struktur industri yang
ditetapkan oleh Bain (1956), struktur industri operator telepon seluler di
Indonesia masuk dalam tipe III yaitu oligopoli dengan tingkat konsentrasi moderat
tinggi. Artinya 3 perusahaan terbesar menguasai sekitar 90% dari total penawaran
suatu barang ke pasar.
Gambar 5.
4.1.2. Conduct
4.1.2.1. Harga
Harga dalam industry operator telepon seluler tiap tahunnya semakin
kompetitif. Semakin kompetitifnya harga dalam industry ini bisa jadi dikarenakan
masuknya teknologi CDMA dan tumbuhnya perusahaan operator telepon seluler
yang pada tahun 2002 masih berjumlah 3 perusahaan dan saat ini telah menjadi 10
perusahaan. 7 perusahaan yang masuk ke dalam industry ini pada rentang waktu
tahun 2003 hingga 2008 antara lain adalah PT Natrindo Telepon Seluler, PT
Hutchison CP Telecommunication, PT Sampoerna Telekomunikasi Indonesia, PT
Smart Telecom, PT Telkom (Flexi), PT Bakrie Telecom, dan PT Mobile-8.
Gambar 6.
Pada gambar 6 kita dapat melihat penurunan rata-rata ARPU dari tahun ke
tahun. ARPU Sendiri adalah Pendapatan rata-rata operator dari suatu pelanggan
yang menggunakan produknya. Dengan asumsi bahwa intensitas penggunaan
telepon seluler oleh setiap pelanggan adalah tetap, maka harga dari tahun ke tahun
turun seiring dengan tumbuhnya jumlah perusahaan dalam industry tersebut. Pada
tahun 2002 rata-arpu masih mencapai Rp 106.909,00 untuk setiap pelanggan,
sedangkan pada tahun 2008 ARPU tersebut turun hingga 71% menjadi Rp
31.152,00 untuk setiap[ pelanggan. Hal ini sejalan dengan teori keseimbangan
pasar yang pertama kali dikemukan oleh Adam Smith dimana penawaran yang
naik pada suatu komoditi dapat menyebabkan turunnya harga komoditi tersebut
Gambar 7. Scatter plot jumlah pelanggan operator telepon seluler dan ARPU
kejernihan suara, paket harga, dan value added service. Produk yang
terdiferensiasi tersebut membuat setiap perusahaan dalam industry operator
telepon seluler memiliki konsumen tersendiri sesuai dengan kebutuhan masing-
masing konsumen
4.1.2.3 Iklan
Gambar 8.
4.1.3. Performance
4.1.3.1. EBITDA
Tingat profitabilitas kami ukur dengan EBITDA yang merupakan
Pendekatan pendapatan yang dihitung dari penerimaan operator telepon seluler
sebelum dikurangi dengan bunga, pajak, penyusutan (depresiasi) dan amortisasi.
Pada gambar 10 kita dapat melihat EBITDA 6 perusahaan dalam industry
operator telepon seluler di Indonesia. Rata-rata EBITDA yang paling tinggi
adalah Telkom dengan nilai Rp 25,892 milyar kemudian Telkomsel pada urutan
kedua dan Indosat pada urutan ketiga dengan nilai Rp 15,660 milyar dan Rp 6,555
milyar.
Gambar 10.
Dimana ;
EBITDA ; Pendekatan pendapatan yang dihitung dari penerimaan
operator telepon seluler sebelum dikurangi dengan bunga, pajak, penyusutan
(depresiasi) dan amortisasi.
Marketshare ; Presentase pelanggan suatu perusahaan dibandingkan
seluruh pelanggan di industri.
ARPU ; Pendapatan rata-rata operator dari suatu pelanggan yang
menggunakan produknya.
BiayaPemasaran ; Biaya yang dikeluarkan oleh tiap perusahaan untuk
memasarkan produknya.
Investasi ; Biaya yang dikeluarkan oleh tiap perusahaan untuk
menambah kapasitas perusahaan.
β0=β1=β2 ; koefisien hasil estimasi
ε ; Koefisien variabel penganggu
Tabel 2. Hasil Regresi
Effects Specification
S.D. Rho
Weighted Statistics
Unweighted Statistics
profitabilitas tinggi. Jika biaya pemasaran naik sebesar Rp 1,00 maka ada
kemungkinan bahwa perusahaan akan mengalami peningkatan profitabilitas
sebesar Rp 12,56; 4) ARPU sebuah perusahaan, akan membawa perusahaan
tersebut untuk memiliki tingkat profitabilitas lebih tinggi. Jika ARPU naik sebesar
Rp 1,00 ada kemungkinan bahwa perusahaan akan mengalami peningkatan
profitabilitas sebesar Rp 0,07.
Bab 5
Kesimpulan dan Implikasi Kebijakan
5.1. Kesimpulan
1. Industri operator telepon seluler di Indonesia memiliki struktur pasar
oligopoli dengan tingkat konsentrasi moderat tinggi dengan perilaku yang
bersaing dalam memperebutkan pelanggan untuk memperbesar market
share dengan mengeluarkan biaya pemasaran yang tinggi diferensiasi
produk dan berbagai tindakan strategis untuk memaksimalkan
profitabilitas. Sedangkan secara keseluruhan kinerja Industri terus
meningkat kecuali pada tahun 2008 mengalami penrunan ketika terjadi
pembubaran kartel pada industri ini.
2. Dari tahun 2002 hingga tahun 2008 terdapat pengaruh yang kuat dari
peningkatan biaya pemasaran dan market share terhadap EBITDA.
Pengaruh yang kuat tersebut menunjukkan peningkatan biaya pemasaran
oleh perusahaan dalam industri operator telepon seluler sebagai tindakan
strategis berhasil meningkatkan kuantitas pasar yang akhirnya juga
meningkatkan profitabilitas.
5.2. Implikasi Kebijakan
1. Selain peningkaatan biaya pemasaran, diferensiasi produk bisa dijadikan
senjata ampuh untuk meningkatkan market share dan tingkat profitabilitas.
Diferensiasi produk dapat membantu konsumen untuk menentukan
pilihannya sesuai dengan kebutuhan masing-masing konsumen.
2. Pemerintah dapat memberikan kebijakan pemakaian infrastruktur secara
bersama untuk meningkatkan efisiensi biaya investasi dan meningkatkan
persaingan secara sehat sekaligus meningkatkan kinerja industri operator
telepon seluler di Indonesia.