Oleh
Kelompok
:1
1214121203
12141212
1214121229
12141212
JURUSAN AGROTEKNOLOGI
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
2014
Pada tahun 1967, Bob dan keluarga kembali ke Indonesia. Ia membawa serta 2
Mercedes miliknya, buatan tahun 1960-an. Salah satunya ia jual untuk membeli
sebidang tanah di Kemang, Jakarta Selatan sementara yang lain tetap ia simpan.
Setelah beberapa lama tinggal dan hidup di Indonesia, Bob memutuskan untuk
keluar dari pekerjaannya karena ia memiliki tekad untuk bekerja secara mandiri.
Suatu hari, temannya menyarankan Bob memelihara ayam untuk melawan depresi
yang dialaminya. Bob tertarik. Ketika beternak ayam itulah muncul inspirasi
berwirausaha. Bob memperhatikan kehidupan ayam-ayam ternaknya. Ia mendapat
ilham, ayam saja bisa berjuang untuk hidup, tentu manusia pun juga bisa.
Sebagai peternak ayam, Bob dan istrinya, setiap hari menjual beberapa kilogram
telor. Dalam tempo satu setengah tahun, ia dan istrinya memiliki banyak
langganan, terutama orang asing, karena mereka fasih berbahasa Inggris. Bob dan
istrinya tinggal di kawasan Kemang, Jakarta, di mana terdapat banyak menetap
orang asing.
Tidak jarang pasangan tersebut dimaki pelanggan, babu orang asing sekalipun.
Namun mereka mengaca pada diri sendiri, memperbaiki pelayanan. Perubahan
drastis pun terjadi pada diri Bob, dari pribadi feodal menjadi pelayan. Setelah itu,
lama kelamaan Bob yang berambut perak, menjadi pemilik tunggal super market
(pasar swalayan) Kem Chicks. Ia selalu tampil sederhana dengan kemeja lengan
pendek dan celana pendek.
Bob percaya bahwa setiap langkah sukses selalu diawali kegagalan demi
kegagalan. Perjalanan wirausaha tidak semulus yang dikira. Ia dan istrinya sering
jungkir balik. Baginya uang bukan yang nomor satu. Yang penting kemauan,
komitmen, berani mencari dan menangkap peluang.
Menurut Bob, banyak orang yang memulai dari ilmu, berpikir dan bertindak serba
canggih, arogan, karena merasa memiliki ilmu yang melebihi orang lain.
Sedangkan Bob selalu luwes terhadap pelanggan, mau mendengarkan saran dan
keluhan pelanggan. Dengan sikap seperti itu Bob meraih simpati pelanggan dan
mampu menciptakan pasar. Menurut Bob, kepuasan pelanggan akan menciptakan
kepuasan diri sendiri. Karena itu ia selalu berusaha melayani pelanggan sebaikbaiknya.
Anak Guru
Kembali ke tanah air tahun 1967, setelah bertahun-tahun di Eropa dengan
pekerjaan terakhir sebagai karyawan Djakarta Lloyd di Amsterdam dan Hamburg,
Bob, anak bungsu dari lima bersaudara, hanya punya satu tekad, bekerja mandiri.
Ayahnya, Sadino, pria Solo yang jadi guru kepala di SMP dan SMA
Tanjungkarang, meninggal dunia ketika Bob berusia 19.
Modal yang ia bawa dari Eropa, dua sedan Mercedes buatan tahun 1960-an. Satu
ia jual untuk membeli sebidang tanah di Kemang, Jakarta Selatan. Ketika itu,
kawasan Kemang sepi, masih terhampar sawah dan kebun. Sedangkan mobil
satunya lagi ditaksikan, Bob sendiri sopirnya.
Suatu kali, mobil itu disewakan. Ternyata, bukan uang yang kembali, tetapi berita
kecelakaan yang menghancurkan mobilnya. Hati saya ikut hancur, kata Bob.
Kehilangan sumber penghasilan, Bob lantas bekerja jadi kuli bangunan. Padahal,
kalau ia mau, istrinya, Soelami Soejoed, yang berpengalaman sebagai sekretaris di
luar negeri, bisa menyelamatkan keadaan. Tetapi, Bob bersikeras, Sayalah kepala
keluarga. Saya yang harus mencari nafkah.
Untuk menenangkan pikiran, Bob menerima pemberian 50 ekor ayam ras dari
kenalannya, Sri Mulyono Herlambang. Dari sini Bob menanjak: Ia berhasil
menjadi pemilik tunggal Kem Chicks dan pengusaha perladangan sayur sistem
hidroponik. Lalu ada Kem Food, pabrik pengolahan daging di Pulogadung, dan
sebuah warung shaslik di Blok M, Kebayoran Baru, Jakarta. Catatan awal 1985
menunjukkan, rata-rata per bulan perusahaan Bob menjual 40 sampai 50 ton
daging segar, 60 sampai 70 ton daging olahan, dan 100 ton sayuran segar.
Saya hidup dari fantasi, kata Bob menggambarkan keberhasilan usahanya. Ayah
dua anak ini lalu memberi contoh satu hasil fantasinya, bisa menjual kangkung Rp
1.000 per kilogram. Di mana pun tidak ada orang jual kangkung dengan harga
segitu, kata Bob.
Om Bob, panggilan akrab bagi anak buahnya, tidak mau bergerak di luar bisnis
makanan. Baginya, bidang yang ditekuninya sekarang tidak ada habis-habisnya.
Karena itu ia tak ingin berkhayal yang macam-macam.
Haji yang berpenampilan nyentrik ini, penggemar berat musik klasik dan jazz.
Saat-saat yang paling indah baginya, ketika shalat bersama istri dan dua anaknya.
Di Kudus Liem berkenalan dengan gadis asal Lasem. Gadis itu sekolah di sekolah
Belanda Tionghoa. Liem melamarnya, tapi orangtua si gadis tidak mengizinkan,
lantaran takut anak gadisnya akan dibawa ke Tiongkok. Kekuatiran itu timbul
melihat tampang Liem yang masih totok. Tapi, Liem tak mau menyerah. Akhirnya
lamarannya diterima dan diizinkan menikah. Pesta pernikahannya, bahkan
dirayakan selama 12 hari. Maklum, keluarga istrinya cukup terpandang. Setelah
menikah, Liem makin ulet bekerja dan berusaha. Usahanya berkembang. Tapi,
ketika awal 1940-an, Jepang menjajah Indonesia, usahanya bangkrut. Ditambah
lagi, dia mengalami kecelakaan. Mobil yang ditumpanginya masuk jurang.
Seluruh temannya meninggal. Hanya Liem yang selamat, setelah tak sadarkan diri
selama dua hari. Kemudian, Liem pindah ke Jakarta.
Seirama dengan masa pemerintahan dan pembangunan Orde Baru, bisnisnya pun
berkembang demikian pesat. Pada tahun 1969, Om Liem bersama Sudwikatmono,
Djuhar Sutanto dan Ibrahim Risjad, yang belakangan disebut sebagai The Gang of
Four, mendirikan CV Waringin Kentjana. Om Liem sebagai chairman dan
Sudwikatmono sebagai CEO. The Gang of Four ini kemudian tahun 1970
mendirikan pabrik tepung terigu PT Bogasari dengan modal pinjaman dari
pemerintah. Bogasari yang memonopoli suplai tepung terigu untuk Indonesia
bagian Barat, yang meliputi sekitar 2/3 penduduk Indonesia, di samping PT.
Prima untuk Indonesia bagian Timur. Hampir di setiap perusahaan Liem Sioe
Liong dia berkongsi dengan Djuhar Sutanto alias Lin Wen Chiang yang juga
seorang Tionghoa asal Fukien. Bogasari sebuah perusahaan swasta yang paling
Setiap divisi
membawahi beberapa arah perusahaan raksasa, berbentuk perseroan-perseroan
terbatas. Pelbagai kemungkinan untuk lebih mengembangkan lajunya perusahaan
sekalipun tidak akan meningkatkan permodalan, seperti go-public di pasar saham
Jakarta, dilangsungkan group Soedono Lem Salim dengan gencar. Halangan
maupun isu bisnis yang mengancam perusahaannya, nampak tak membuat Liem
cemas. Seperti katanya kepada Review,
Jika anda hanya mendengarkan apa yang dikatakan orang, anda akan gila. Anda
harus melakukan apa yang anda yakini.
Bermodal kalimat pendeknya itu pulalah mengantar Liem Sioe Liong muda di
Kudus yang juga terkenal sebagai Lin Shao Liang menjadi Soedono Salim si Raja
Dagang Indonesia, belakangan ini.
Sudono Salim atau Liem Sioe Liong meninggal dunia dalam usia 96 tahun.
Berdasarkan informasi yang beredar, pengusaha kakap itu wafat di Singapura
pada tanggal 10 Juni 2012.
lahan dengan sayuran seperti kubi, kol, brokoli, bawang, dan buncis. Hikmah
Farm bahkan telah menetapkan jadwal berkala untuk penanaman kentang.
Hikmah Farm milik Wildan Mustafa merupakan salah satu produsen benih
bersertifikat terbesar di Indonesia, dan menjadi tempat favorit penelitian para
pakar kentang baik dari Indonesia maupun dari luar negeri seperti Bangladesh,
Taiwan, Belanda, Amerika, dan
lain-lain. Penanaman benih atlantik di kebun Hikmah Farm merupakan
kebanggaan tersendiri yang dimiliki oleh Indonesia, mengingat selama ini
Indonesia selalu mengimpor benih atlantik untuk keperluan kentang industri.
Tahun 2006, Hikmah Farm telah menanadatangani nota kesepahaman dengan PT
Indofood Tbk dalam hal pembudidayaan kentang atlantik, yang nantinya akan
disebarkan kepada petani kentang binaan Indofood di seluruh Indonesia.
Selain pembenihan, Wildan selaku Direktur Operasional Hikmah Farm
juga melakukan kerja sama dengan para petani dalam hal penanaman benih.
Beliau memberikan pupuk, bibit, obat hama, serta penyuluhan-penyulan kepada
petani dengan tujuan menambah pengetahuan petani terkait penanaman dan
perawatan tanaman. Hasil panen petani tersebut dibeli sesuai dengan harga pasar,
dan selanjutnya ditambung untuk didistribusikan. Lebih dari 1000 ton
per bulan, Hikmah Farm mendistribusikan kentang-kentangnya yang memiliki
merk Balados Kentang, ke berbagai supermarket serta pasar di seluruh
Indonesia.
Wildan Mustafa juga mampu menuai panen kentang 3 ton lebih banyak
dari jumlah biasanya yakni 25 ton. Hal tersebut bukan karena penambahan pupuk
kimia, namun sebaliknya yakni strateginya mengurangi penggunaan pupuk kimia
hingga 30%. Pengurangan pupuk kimia diimbangi dengan pemanfaatan 200 kg
pupuk organik. Hal tersebut menyebabkan Wildan hemat Rp 650.000 dalam hal
pemberian pupuk pada tanamannya. Wildan mendapat pendapatan Rp 13.500.000
dari hasil penjualan 3 ton kentang, dengan produksi rata-rata 28 ton/ha. Wildan
mengulangi penanaman tersebut hingga 6 kali, dan hasilnya tetap meningkat.
Hikmah Farm saat ini telah memiliki kurang lebih 50 mitra. Tentu hal
tersebut tidak lepas dari kerja profesional serta perencanaan yang baik oleh
penerus usaha Hikmah Farm, Wildan Mustafa dan timnya. Bagi Wildan Mustafa,
DAFTAR PUSTAKA
http://blogs.unpad.ac.id/srinurlaelah150610090118/2010/06/12/off-farm-yangberkaitan-dengan-seni/
http://bangkittani.com/kiat-sukses/produksi-kentang-dengan-sistem-partnership/
http://www.anneahira.com/profil-wirausahawan-yang-sukses.htm
http://id.wikipedia.org/wiki/Sudono_Salim
http://pontianak.tribunnews.com/2012/06/10/sekilas-kisah-perjalanan-hidupsudono-salim
-http://freddyiriawan.com/succes-story/kisah-sukses-liem-sioe-liong-soedonosalim/
http://pengusahamuda.wordpress.com/biografi/
http://id.wikipedia.org/wiki/Bob_Sadino