Anda di halaman 1dari 39

1 | Teguh Hindarto, M a z h a b Y u d e o K r i s t e n : D e f i n i s i , K o n s e p P e m i k i r a n ,

Sejarah, Metodologi Tafsir@IJI 2017

MAZHAB YUDEO KRISTEN (JUDEOCHRISTIANITY)

DEFINISI, KONSEP PEMIKIRAN, SEJARAH, METODOLOGI1

Teguh Hindarto

Kristen Berbasis Yudaisme (Jueochristianity): Pemahaman Terminologis

Apakah yang dimaksud dengan “Judeo-Christianity?” Berikut ini saya menerjemahkan


informasi terkait dengan istilah Judeo-Christianity dalam situs wikipedia sbb:2 “Judeo-Christian”
adalah istilah yang secara luas menggambarkan bagian dari konsep-konsep dan perhatian terhadap
nilai-nilai yang dipertahankan dalam Yudaisme dan Kekristenan. Tradisi ini dianggap berhubungan
dengan peradaban klasik Greko Romawi, sebuah rujukan dasar bagi hukum dan moralitas Barat.

Secara khusus, istilah ini menunjuk pada tradisi moral yang didasarkan pada kitab suci
keagamaan yang dipakai bersama, yaitu menunjuk pada TaNaKh dalam Yudaisme dan Kitab
Perjanjian Lama oleh orang-orang Kristen, termasuk khususnya Sepuluh Perintah (Ten
Commandments). Hal ini menyatakan secara tidak langsung kelanjutan nilai-nilai yang diwakili oleh
warisan agama-agama ini dalam Dunia Barat modern. Michael Novak telah mengidentifikasi nilai
khusus dari tradisi Judeo-Christian sebagai konsep bersama terhadap kebebasan dan kesetaraan yang
didasarkan pada Kitab Kejadian, dimana semua manusia dikatakan telah diciptakan setara dan juga
Kitab Keluaran dimana orang-orang Israel melarikan diri dari tirani untuk memperoleh kebebasan
(Novak, Michael. On Two Wings. Humble Faith and Common Sense at the American Founding.
Encounter Books).

Thomas Cahill telah mendiskusikan kepercayaan Yahudi ini dalam tanggungjawab moral dan
perkembangan sebagai karakteristik kebudayaan Amerika yang dapat ditelusuri pada pembacaan
Kitab Suci Judeo-Christian (Cahill, Thomas, The Gift of the Jews: How a Tribe of Desert Nomads
Changed the Way Everyone Thinks and Feels). Istilah Judeo-Christian telah mengalami kritik oleh
beberapa teolog (Cohen, Arthur, The Myth of the Judeo-Christian Tradition, and Other Dissenting
Essays. Schocken Books. 1971) karena mengusulkan penggunaan komponen bersama terlalu banyak
dibandingkan yang seharusnya ada.

Pengaruh evolusi “Judeo-Christian” pada Amerika sangat menarik perhatian para sejarawan
melihat perkembangan dari republikanisme di Amerika. Akar mendalam dari nilai-nilai Judeo-
Christian mereka gali kembali ke Reformasi Protestan bukan pada peperangan teologi namun
perjuangan berdarah untuk memenangkan hak untuk menerjemahkan Kitab Suci ke dalam bahasa
setempat (Alister Mcgrath, the Beginning: The Story of the King James Bible and How It Changed
a Nation, a Language, and a Culture, Anchor Books, 2002. & Bobrick, Benson. Wide as the
Waters : The Story of the English Bible and the Revolution It Inspired, Simon and Shuster 2001.).
(Band. Kitab Suci Wycliff, Tyndale, King James). Hal ini menuntun kepada mandat keagamaan bagi

1
Naskah ini penggalan dari salah satu bab dalam buku saya yang berjudul, Imanku-Ibadahku-Gaya Hidupku:Merumuskan
Kembali Dogma dan Devosi Dalam Terang Mazhab Judeochristianity, IJI 2015

2
Judeochristian
www.wikipedia.org/judeo-christian.htm diunduh Tgl 7 September 2009
2 | Teguh Hindarto, M a z h a b Y u d e o K r i s t e n : D e f i n i s i , K o n s e p P e m i k i r a n ,
Sejarah, Metodologi Tafsir@IJI 2017

pendidikan publik, sehingga orang awam bisa membaca Kitab Suci. Menurut beberapa pengarang,
perkembangan ini penting bagi kelahiran Pencerahan dan pemberontakan melawan hak ilahi para raja
(Hermon, Arthur, How the Scots Invented the Modern World, Crown, 2001).

Dalam konteks Amerika, para sejarawan menggunakan istilah “Judeo-Christian” untuk


menunjuk pada pengaruh dari Kitab Suci berbahasa Ibrani dan Kitab Perjanjian Baru pada pemikiran
dan nilai-nilai Protestan, khususnya warisan kaum Puritan, Presbiterian dan Evanggelical (Injili). Para
generasi pendiri Bangsa Amerika melihat diri mereka sendiri sebagai pewaris Kitab Suci berbahasa
Ibrani (Perjanjian Lama, TaNaKh) dan ajaran-ajarannya mengenai kebebasan, tanggung jawab, kerja
keras, etika, keadilan, kesetaraan, rasa keterpilihan dan etika misi kepada dunia, yang menjadi
komponen-komponen kunci bagi karakter sejarah orang-orang Amerika yang disebut dengan “Kredo
orang-orang Amerika” (, Patricia U. Bonomi, Under the Cope of Heaven. Religion, Society and
Politics in Colonial America - 'Part One: Religion and Society’. Oxford University Press, 1986).

Gagasan ini berasal dari Kitab Suci berbahasa Ibrani, diusung ke dalam sejarah orang-orang
Amerika melalui kaum Protestan, yang dipandang sebagai tiang fundasi bagi Revolusi Amerika,
Deklarasi Kemerdekaan dan Konstitusi Amerika Serikat. melalui kaum Protestan. Para pengarang
lain menaruh perhatian pada penelusuran berbagai kepercayaan agama para pendiri bangsa, yang
menekankan pengaruh baik Yahudi dan Kristen pada kepercayaan pribadi mereka dan bagaimana hal
tersebut diterjemahkn ke dalam penciptaan karakter dan institusi orang-orang Amerika (Peter A.
George Lillback, Washington's Sacred Fire, Providence Forum Press,2006. Jeffry H.John Morrison,
Witherspoon and the Founding of the American Republic).

Bagi para sejarawan, perhatian terhadap konsep Judeo-Christian bukanlah pada teologi namun
pada kebudayaan nyata dan sejarah sebagaimana yang berkembang di Amerika. Para pengarang
tersebut membedakan percampuran antara pemikiran Yahudi ke dalam ajaran-ajaran Protestan – yang
ditambahkan pada warisan sejarah Inggris dan hukum sipil, sebagaimana pemikiran Pencerahan –
yang muncul pada saat kelahiran demokrasi orang-orang Amerika.

Penggunaan mula-mula dari istilah Judeo–Christian dan Judeo–Christianity dalam makna


yang berbeda dibandingkan hari ini, dikutip oleh Oxford English Dictionary pada tahun 1899 dan
1910 secara berturut-turut, keseluruhannya membicarakan teori-teori munculnya Kekristenan,
sehingga istilah Judeo–Christian bermakna orang-orang Kristen mula-mula yang masih menjadi
bagian dari Yudaisme (Judaeo-, Judeo- in the Oxford English Dictionary, Second Edition).

Arti kata ini muncul pertama kali pada Tgl 27 Juli 1939 pada rangkaian kalimat, “The Judaeo-
Christian scheme of morals” (perencanaan moral kaum Judaeo Christian) dalam “New English
Weekly” (Peter Novick, Holocaust in American Life). Istilah tersebut berkembang lebih besar dari
peredaran uang khususnya dalam bidang politik dari tahun 1920 dan 1930-an, yang dipromosikan
oleh kelompok-kelompok liberal yang mengembangkan ke dalam Konferensi Kristen dan Yahudi di
Amerika Serikat, untuk melawan Antisemitsme dengan menampilkan gagasan yang lebih inklusif
dari Amerika Serikat dibandingkan retorika kenegaraan sebelumnya yang lebih dominan seperti
layaknya negara Kristen Protestan (Mark Silk (1984), Notes on the Judeo–Christian Tradition in
America, American Quarterly 36(1), 65-85 & Sarna, 2004, p.266). Pada tahun 1952 Pesiden terpilih,
Dwight Eisenhower mengucapkan “konsep Judeo-Christian” saat berbicara pada the Freedoms
Foundation di New York menjadi “sikap keimanan yang mendalam” pada “kesadaran kita terhadap
3 | Teguh Hindarto, M a z h a b Y u d e o K r i s t e n : D e f i n i s i , K o n s e p P e m i k i r a n ,
Sejarah, Metodologi Tafsir@IJI 2017

pemerintah…ditemukan”. Selengkapnya pernyataan Eisenhower:"Our sense of government has no


sense unless it is founded in a deeply religious faith, and I don't care what it is. With us of course it
is the Judeo–Christian concept, but it must be a religion that all men are created equal." Pernyataan
ini dikutip oleh Silk (1984).

Istilah ini menjadi sangat khusus dihubungkan dengan hak konservatif dalam berbagai politik
orang-orang Amerika, yaitu mempromosikan agenda “nilai-nilai Judeo-Christian” yang disebut
“peperangan budaya”, sebuah pemakaian yang menggelora pada perioede tahun 1900-an. Kaum
Liberal Sekular menolak penggunaan Judeo-Christian sebagai kitab undang-undang bagi hal-hal
khusus dari orang-orang Kristen Amerika (Martin E. Marty, A Judeo–Christian Looks at the Judeo–
Christian Tradition, in The Christian Century, 1986), yang kurang memperhatikan Yahudi modern,
Katholik ataupun tradisi-tradisi Kristen liberal.

Penggunaan istilah ini kembali bergeser. Menurut Hartman, jika pada tahun 2001, khususnya
semenjak serangan 11 September oleh teroris, istilah ini mengalami pengurangan makna, dalam
rangka mengkarakterisasi Amerika sebagai negara multikultural. Dan pergeseran makna istilah
inipun didukung oleh peran media mapan. Penggunaan istilah ini sepertinya digunakan kelompok
liberal dalam menghubungkan dengan diskusi-diskusi keislaman dan Muslim dan perdebatan baru
mengenai pemisahan gereja dan negara (Douglas Hartmann, Xuefeng Zhang, William Wischstadt
(2005). One (Multicultural) Nation Under God? Changing Uses and Meanings of the Term
"Judeo–Christian in the American Media. Journal of Media and Religion 4(4), 207-234). Istilah
inipun digunakan oleh para pemikir onservatif dan para jurnalis yang memperbincangkan mengenai
serangan Islam terhadap Amerika, bahaya-bahaya multikulturalisme dan kemerosotan morak ke
dalam materialisme dan zaman sekular.

Dennis Prager, pengarang buku-buku populer mengenai Yudaisme dan Antisemitisme dalam
bukunya, Nine Questions People ask about Judaism (bersama Joseph Telushkin) dan Why the Jews?
The Reason for Antisemitism, dan komentator radio telah menerbitkan 19-seri penjelasan dan
promosi konsep kebudayaan Judeo–Christian, berjalan selama tiga tahun yaitu tahun 2005 sampai
tahun 2008, mencerminkan perhatian terhadap konsep ini kepada para pendengarnya. Dia percaya
bahwa perspektif Judeo Christian dalam posisi diserang oleh kebudayaan yang tidak bermoral, “…
only America has called itself Judeo–Christian. America is also unique in that it has always combined
secular government with a society based on religious values. Along with the belief in liberty—as
opposed to, for example, the European belief in equality, the Muslim belief in theocracy, and the
Eastern belief in social conformity—Judeo–Christian values are what distinguish America from all
other countries. … Yet, for all its importance and its repeated mention, the term is not widely
understood. It urgently needs to be because it is under ferocious assault, and if we do not understand
it, we will be unable to defend it”

Dari kutipan di atas nampak bahwa terminologi “Judeo-Christiany” dipahami secara


beragam dan mengalami pergeseran. Istilah tersebut semula menunjuk pada suatu istilah teologi
yang mengistilahkan warisan bersama yang diterima oleh Kekristenan maupun Yudaisme, yaitu Kitab
Suci TaNaKh (Perjanjian Lama). Dalam perkembangannya istilah ini bergeser ke arah politik.
4 | Teguh Hindarto, M a z h a b Y u d e o K r i s t e n : D e f i n i s i , K o n s e p P e m i k i r a n ,
Sejarah, Metodologi Tafsir@IJI 2017

Abuna DR. Jusufroni pendiri Gereja Kemah Abraham memberikan ulasan mengenai makna
Judeo-Christianity yang dia pergunakan sbb:3

1. Judeo-Christianity bukanlah suatu bentuk sinkretisme antara Yudaisme dengan Kekristenan,


seperti pandangan sebagian teolog anti Judeo-Christianity, baik dari kalangan Yudaisme
maupun kalangan Kristen
2. Judeo-Christianity bukanlah upaya untuk membendung gerakan anti-semitisme dan bukan
juga upaya untuk membersihkan Kekristenan dari kepahitan holocaust, sebagaimana
kecurigaan sejumlah teolog dan politikus Yahudi
3. Judeo-Christianity adalah bagian dari kesadaran historis dan teologis dari Kekristenan sebagai
agama yang mewarisi tradisi, teologi dan konsep-konsep Yudaisme
4. Judeo-Christianity bukan dimaksudkan untuk men-Yahudi-kan Kristen atau meng-Kristen-
kan Yahudi, tetapi merupakan upaya untuk me-rethinking Kekristenan untuk kembali kepada
akar historis dan teologisnya, yaitu Yudaisme
5. Judeo-Christianity sama sekali tidak meniscayakan perkembangan-perkembangan teologis
Kekristenan di zaman sesudah para Rasul, yaitu Zaman Bapak-bapak Apostolik, Zaman
Kaum Apologis, Zaman Kaum Teolog hingga Konsili-konsili Oikumene. Perkembangan-
perkembangan tersebut adalah kekayaan tersendiri dalam perkembangan pemikiran
Kekristenan, tetapi hendaknya tidak mencabut Kekristenan dari akar induknya, yaitu
Yudaisme
6. Pada dasarnya, Yudaisme dan Kekristenan adalah dua paham yang berakar dari tradisi
Abrahamik, tetapi mengalamai perkembangan yang berbeda, masing-masing dengan
kekayaannya sendiri-sendiri

Saya sendiri lebih mendefinisikan Judeo Christianity atau Yudeo Kristen sebagai, Kekristenan
yang menghargai dan mewujudkan nilai-nilai Yudaisme dan budaya Semitik sebagai akar
Kekristenan mula-mula. Nilai-nilai Yudaisme tersebut diwujudkan dalam pokok kepercayaan, dalam
ibadah dan dalam etika.

Yudaisme manakah yang dimaksudkan sebagai akar Kekristenan? Yudaisme Klasik atau
Yudaisme Modern? Bukan Yudaisme Modern yang telah mengalami perkembangan dan dipengaruhi
berbagai teori yang menolak Yesus sebagai Mesias, melainkan Yudaisme Klasik yang dimulai sejak
orang Yahudi pulang dari pembuangan Babilonia pada Abad VI SM4. Dengan pernyataan Yudaisme
sebagai akar awal Kekristenan menimbulkan pertanyaan berikutmya. Apakah Yesus seorang Kristen?
Bukan! Yesus secara kemanusiaan terlahir sebagai orang Yahudi (Ibr 7:14) dari orang tua Yahudi
(Mat 1:1-17; Luk 2:1-5) dan dibesarkan dalam tradisi Yahudi serta melayani dalam bingkai Yahudi
dan Yudaisme al., beribadah pada hari Sabat (Luk 4:16), merayakan perayaan Yahudi (Luk 2:41-42,
Yoh 7:1-13), mengajar dengan gaya rabbi Yahudi (Mat 5:1-48). Apakah bukti bahwa Yesus seorang
Yahudi? Yesus disunat pada hari kedelapan (Lukas 2:21-24), Yesus mengikuti upacara Bar Mitswah
(Lukas 2:41-52), Yesus menggunakan pakaian khas Yahudi dengan Tsit-tsit (Matius 9:20), Yesus
mengajar dengan gaya khas seorang rabbi Yahudi –perumpamaan, cerita, amsal, dll (Mat 5:1-48)5.

3
Judeo-Christianity, disampaikan pada Retreat Gereja Kemah Abraham, Bogor, Tgl 29-30 Juni 2009
4
Teguh Hindarto, Apakah Yahudi dan Kekristenan Berbeda?
http://teguhhindarto.blogspot.com/2011/10/apakah-kekristenan-berbeda-dengan.html
5
Teguh Hindarto, Yesus-Yahudi-Yudaisme
http://teguhhindarto.blogspot.com/2011/03/yesus-yahudi-yudaisme.html
5 | Teguh Hindarto, M a z h a b Y u d e o K r i s t e n : D e f i n i s i , K o n s e p P e m i k i r a n ,
Sejarah, Metodologi Tafsir@IJI 2017

Apakah Yudeo Kristen adalah percampuran ajaran Yudaisme dan Kristen? Bukan! Yudeo
Kristen tetap membedakan antara Yudaisme dan Kekristenan. Yudaisme berpusat pada Yahweh dan
Torah. Kekristena berpusat pada Yesus dan Injil. Yudeo Kristen berpusat pada Yahweh dan Torah
sekaligus pada Yesus dan Injil. Dengan istilah “Judeochristianity” atau “Yudeo Kristen” saya
maksudkan sebagai bentuk respon dan refleksi kritis atas kehadiran Messianic Judaism yaitu gerakan
diantara orang Yahudi dan Yudaisme yang telah menerima Yesus (dengan sebutan Yeshua atau
Yahshua atau Yehoshua serta Yahushua) sebagai Mesias Ibrani dan tetap mempertahankan budaya
Ibrani.

Karena Messianic Judaism adalah sebuah gerakan yang tumbuh dilingkungan Yudaisme dan
Yahudi, maka saya merasa bahwa saya tidak harus menyebutkan diri saya dengan sebutan Messianic
Judaism sekalipun saya banyak mengadopsi dan belajar pokok-pokok pikiran dalam teologi
Messianic Judaism. Saya bukan berasal dari Yudaisme dan bukan pula seorang Yahudi. Saya seorang
Kristen. Saya membuat jembatan peristilahan untuk mengekspresikan sebuah keyakinan dan kajian
teologi serta devosi (ibadah) yang berakar dari warisan budaya Semitik Yudaik dengan sebutan
Judeochristianity atau Yudeo Kristian. Dalam beberapa tulisan terkadang saya menggunakan istilah
Kristen Semitik atau Kristen Rekonstruksi. Sebagaimana telah saya katakan dalam artikel Akar Itu
Yang Menopang Kamu sbb, “Meskipun kembali ke akar iman bukan bermakna “menjadi Yahudi”
dan sejenisnya, namun pemahaman tentang “Keyahudian” atau “Keisraelan” dan berbagai ekspresi
ibadah, pengajaran serta tradisi-tradisi mereka, perlu dipelajari dalam terang kehadiran Yesus Sang
Mesias. Hasil pemahaman mengenai “kembali ke akar Ibrani”, perlu diaktualisasikan dalam
berbagai bidang penghayatan Kristiani. Berikut beberapa bentuk aktualisasi pemahaman kembali ke
akar Ibrani dalam kehidupan iman Kristiani: Dalam Ibadah (Avodah), dalam Teologi (Elohut),
dalam Etika (Halakah)”.6

Dengan kata lain, visi Back to Hebraic Root (Kembali ke Akar Ibrani) yang diusung oleh
Messianic Judaism saya respon dengan mendefinisikan diri sebagai Judeochristianity atau Yudeo
Kristen sebagai bentuk refleksi teologis atas pengajaran Messianic Judaism dalam Teologi dan
Devosi serta Etika. Istilah Yudeo Kristen juga saya pergunakan untuk merespon kehadiran Gereja
Ortodok Timur yang juga mengekspresikan budaya Semitik dan peribadatan dengan mempergunakan
bahasa Aramaik serta Arab. Baik Messianic Judaism maupun Gereja Ortodox Timur memang
membawa misi untuk mengingatkan Kekristenan mengenai akar tradisi iman dan budaya mereka
yaitu dari Timur khususnya budaya Semitik Yudaik. Saya merasa lebih nyaman mempergunakan
istilah Yudeo Kristen sebagai bentuk berdiri diantara Teologi Messianic Judaism dan Gereja
Orthodox.

Yudeo Kristen: Dimana Kita Berdiri Dalam Sejarah Gereja?

Jika berbicara mengenai Kekristenan, ada tiga kelompok besar yang berpengaruh yaitu Roma
Katolik, Protestan, Orthodox. Kelompok Protestan sendiri memiliki ribuan denominasi dan sekte
serta pecahan-pecahannya seperti Baptis, Methodis, Advent, Presbiterian, Anglikan, Pentakosta,
Kharismatik. Fr Marc Dunaway dalam catatan kakinya menjelaskan, “Mendefinisikan apakah Gereja
Protestan itu adalah sama rumitnya dengan ketika kita diharuskan mendefinisikan apakah itu hutan

6
Teguh Hindarto, Akar Itu Yang Menopang Kamu
http://teguhhindarto.blogspot.com/2012/01/akar-itu-yang-menopang-kamu.html
6 | Teguh Hindarto, M a z h a b Y u d e o K r i s t e n : D e f i n i s i , K o n s e p P e m i k i r a n ,
Sejarah, Metodologi Tafsir@IJI 2017

Kalimantan?! Ketika kita mengetahui bahwa di dalam hutan Kalimantan terdapat banyak sekali
jenis-jenis tumbuhan berbeda yang ada di sana, begitu juga halnya dengan Protestanisme, karena di
dalam Protestanisme Anda akan menemukan aliran-aliran Kekristenan yang telah berjumlah 33.800
buah yang saling berbeda untuk didefinisikan”7.

Penulis lainnya memberikan jumlah angka yang berbeda. Michael Keene memberikan ulasan,
“Sekarang ini agama Kristen merupakan agama terbesar di dunia dengan perkiraan jumlah
penganutnya sebanyak 2 miliar orang, walaupun jumlah itu terbagi-bagi ke dalam lebih dari 20.000
sekte atau Gereja. Sekte yang paling besar adalah Gereja Katolik Roma dengan jumlah 1,2 miliar
umat, diikuti oleh banyak Gereja Protestan dengan jumlah seluruhnya 360 juta umat dan Gereja
Orthodox dengan jumlah 170 umat”8.

Bagaimana dengan keanekaragaman Kekristenan di Indonesia? Pdt. DR. Jan S. Aritonang


menjelaskan, “Pada buku Data dan Statistik Keagamaan Kristen Protestan tahun 1992 yang
diterbitkan Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat (Kristen) Protestan – Departemen Agama RI
pada tahun 1993, kita menemukan 275 organisasi gereja Kristen Protestan. Disamping itu ada pula
sekitar 400-an yayasan Kristen Protestan atau yang bersifat gerejawi, baik yang sudah memperoleh
Surat Keputusan Pendaftaran sesuai dengan UU No 8/1985 maupun yang belum. Jadi seluruhnya ada
sekitar 700 organisasi Kristen Protestan, yang berkegiatan dan melayani di lingkungan masyarakat
Kristen Protestan Indonesia yang jumlahnya sekitar 15 juta jiwa maupun di lingkungan masyarakat
indonesia umumnya yang menurut sensus 1990 berjumlah sekitar 180 juta jiwa”9

Gereja perdana terdiri dari komunitas Yahudi dan Yudaisme dan komunitas non Yahudi baik
dari Yunani dan bangsa-bangsa lainnya yang menerima Yesus (Yahshua) sebagai Mesias dan Putra
Tuhan. Mereka yang berasal dari golongan Yahudi dijuluki dengan Sekte Nazarene (Kis Ras 24:5).
Kemudian di Anthiokhia komunitas pengikut Yesus Sang Mesias dari kalangan non Yahudi dijuluki
sebagai Christianoi (Kis Ras 11:24). Dari kata Christianoi yang artinya pengikut Christos
(Kristus/Mesias) lahirlah sebutan Kristen. Sekte Nazarene yang berakar dari kultur Yahudi dan agama
Yudaisme pada awalnya menjadi bagian dari Yudaisme. Sama-sama beribadah di Bait Suci dan
Sinagoga sampai akhirnya mereka terpisah dari Yudaisme karena dua alasan.

Perisiwa pertama, tahun 66-70 Ms, ketika pasukan Romawi dibawah pimpinan Jendral Titus
hendak memusnahkan Yerusalem, maka kaum Nazarene harus mengungsi ke Pella di Transyordan
dan melanjutkan keimanan dan pola hidup Yahudi. Alasan mereka untuk mengungsi ke Pella karena
mengikuti nasihat Mesias, jika melihat ‘pembinasa keji’ berdiri di Bait Suci, maka mereka harus lari
kegunung-gunung yang tinggi (Luk 21:20-24)10. Sikap kaum Nazarene melarikan diri ke Pella

7
Fr Marc Dunaway, Apakah Gereja Orthodox itu? Suatu Gambaran Singkat Tentang Iman Orthodox, Jakarta:
Satya Widya Graha 2001, hal 3-4
8
Michael Keene, Agama-Agama Dunia, Yogyakarta: Kanisius 2006, hal 86-87
9
Pdt. DR. Jan S. Aritonang, Berbagai Aliran di Dalam dan di Sekitar Gereja, Jakarta: BPK Gunung Mulia
2003, hal 1
10
Michael Schiffman, Return of the Remnant: the Rebirth of Messianic Judaism, Baltimore, Maryland:
Lederer Messianic Publishers, 1996,, p.11
7 | Teguh Hindarto, M a z h a b Y u d e o K r i s t e n : D e f i n i s i , K o n s e p P e m i k i r a n ,
Sejarah, Metodologi Tafsir@IJI 2017

menyebabkan mereka dijuluki Meshummed (penghancur) oleh para Rabbi. Setelah tahun 70 Ms.,
kaum Nazarene dan Yahudi secara umum, kembali menetap di Yerusalem sampai masa Revolusi Bar
Khokba.

Peristiwa kedua, tahun 70-132 Ms merupakan terbentuknya Yudaisme Rabinik, dimana


golongan yang berpengaruh pada waktu kaum Farisi. Disebabkan golongan Saduki yang berkuasa
terhadap Bait Suci telah kehilangan pengaruh karena hancurnya Bait Suci, maka Sinagog memainkan
peranan penting. Berbagai tradisi lisan dibukukan menjadi Talmud yang terdiri dari Misnah dan
Gemara. Dimasa ini terjadi perselisihan yang semakin tajam antara kaum Nazarene dengan Yahudi
Rabbinik. Perselisihan tersebut disebabkan karena kaum Nazarene menolak berbagai tradisi lisan
yang disusun oleh kaum Farisi tersebut dan disebabkan penolakkan mereka bergabung dalam
Revolusi Bar Khokba. Nazarene menolak bergabung dalam revolusi dikarenakan Bar Kokhba
menyebut dirinya Mesias, padahal kaum Nazarene hanya mengakui satu-satunya Mesias, yaitu Yesus
(Yahshua). Akibatnya dalam struktur doa kuno yang disebut Shemone Esrei (18 doa berkat)
ditambahkanlah satu doa kutukan terhadap keberadaan ha Minim (Bidat), yaitu kaum Nazarene
karena tidak turut dalam Revolusi Bar Khokba11.

Sekte Yudaisme ini terekam dalam berbagai tulisan Kristiani sejak abad 2 M sampai 11 Ms.
Sebut saja Irreneus12, Eusebeius13, Epiphanius14. Apakah yang membedakan sekte Nazarena ini
dengan sekte-sekte Yahudi lainnya? Perbedaan Sekte Nazarene dengan sekte-sekte Yahudi lainnya
adalah dalam hal memandang siapa Yahshua ben Yosef. Dia bukan sekadar putra Yusuf namun juga
Mesias yang dijanjikan, Putra Tuhan Yang Hidup. Mereka tetap beribadah di Sinagog dan
berinteraksi dengan sekte-sekte Yahudi lainnya dalam peribadahan di Bait Suci. Selain itu, sekte
Netsarim menolak tradisi lisan kaum Farisi yang kelak dinamai dengan Misnah dan Gemara atau
Talmud.

Tidak semua penulis sependapat, kapan keberadaan sekte Nazarene ini kehilangan pengaruh
dalam sejarah. Harry R. Boer memperkirakan bahwa mereka telah kehilangan pengaruh sejak tahun
62-70 Ms15. DR. Michael Schiffman memastikan lenyapnya pengaruh Nazarene pada Abad IV-V
Ms16. Sementara Robert dan Remy Koch memastikan lenyapnya pengaruh Nazarene mulai Abad XI
Ms17. Sementara Gereja yang terdiri dari umat Yahudi lenyap dalam sejarah maka tidak dengan gereja

6
11
Ibid., p. 15
12
Ante Nicean Fathers, Eerdman, Vol I, Against Haeresies, I,26.2
13
Ecclesiastical History, Book II, Chap XXIII
14
Panarion 29
15
Harry R. Boer, A Short History of the Early Church, Grand Rapids Michigan : William B. Eerdmans
Publishing Company, 1986, p. 20-21
16
Loc.Cit., Return of the Remnant, p.15
17
Robert & Remy Koch, Christianity: New Religion or Sect of Biblical Judaism?, Palm Beach Gardens,
Florida: A Messengger Media Publication p.138
8 | Teguh Hindarto, M a z h a b Y u d e o K r i s t e n : D e f i n i s i , K o n s e p P e m i k i r a n ,
Sejarah, Metodologi Tafsir@IJI 2017

non Yahudi yang kelak disebut dengan Kristen. Gereja non Yahudi berkembang baik di Timur
(Yunani, Asia Kecil, Timur Tengah) dan Barat (Eropa). Namun pada tahun 1054 Ms terjadi skisma
(perpecahan besar) dalam tubuh gereja non Yahudi baik di Barat dan di Timur. Penyebab perpecahan
adalah berkaitan soal pengaruh kekuasaan gereja Roma dan soal doktrin tentang Roh Kudus. Gereja
di Timur menamakan dirinya Orthodox dengan bahasa Yunani dan juga bahasa Aram/Syria dan
Gereja Barat menamakan dirinya Katholik dengan bahasa Latin.

Untuk memudahkan memetakan dan melihat secara singkat perkembangan dan perpecahan
dalam tubuh gereja Kristen, kita dapat menyimak bagan di bawah ini. Bagan di bawah ini dikutip dari
buku Fr. Marc Dunaway18. Sekalipun dalam bagan tertulis “Gereja Orthodox tetap satu gereja yang
utuh...” namun fakta sejarah memperlihatkan bahwa Orthodox pernah diguncang oleh perpecahan
sehingga muncul aliran-aliran Nestorianisme, Cyrilianisme, Yakobit dll.

Dan Gereja Katolik Roma pada akhirnya harus mengalami guncangan besar saat Luther
menyerukan Reformasi pada tahun 1517 Ms. Gerakan Reformasi Luther kelak menjadikan
Protestanisme sebagai corak Kekristenan Reformasi yang melepaskan diri dari kekuatan Roma
Katolik. Namun sebagaimana dijelaskan sebelumnya dalam tulisan ini bahwa Kekristenan Reformasi
atau Protestanisme tidak dapat menahan dirinya dari berpuluh bahkan beribu kali perpecahan
sehingga muncullah berbagai denominasi Kristen seperti Baptis, Methodis, Advent, Presbiterian,
Anglikan, Pentakosta, Kharismatik.

Dari pemetaan sejarah perkembangan dan perpecahan gereja di atas, lalu dimanakah
kedudukan Judeochristianity yang saat ini menjadi visi gereja dan organisasi yang dinamakan
“Indonesian Judeochristianity Institute” (IJI)? Sebelum menjawab hal tersebut kita perlu memahami
ada dua gerakan (movement) yang saat ini berkembang di dunia yang berasal dari denominasi
Protestan yaitu Sacred Name Movement dan dari lingkungan Yahudi dan Yudaisme yaitu Messianic
Judaism.

Sacred Name Movement, merupakan suatu pergerakan dikalangan Eropa dan Amerika yang
memfokuskan pada pemulihan nama YHWH (Yahweh) dalam terjemahan Kitab Suci. Organisasi

18
Op.Cit.,Apakah Gereja Orthodox itu? Suatu Gambaran Singkat Tentang Iman Orthodox, hal 38
9 | Teguh Hindarto, M a z h a b Y u d e o K r i s t e n : D e f i n i s i , K o n s e p P e m i k i r a n ,
Sejarah, Metodologi Tafsir@IJI 2017

Yahweh New Covenant Assemblies (YNCA) sebagai salah satu komunitas penggerak pemulihan
nama Yahweh, dalam salah satu artikelnya, menjelaskan sbb: “Gerakan Pemulihan Nama Kudus,
dimulai pada tahun 1930-an dikalangan anggota Church of G-d 7th Day, {Gereja Tuhan Hari
Ketujuh} yang merenungkan pernyataan dalam Amsal 30:4, “Siapakah yang naik ke sorga lalu
turun? Siapakah yang telah mengumpulkan angin dalam genggamnya? Siapakah yang telah
membungkus air dengan kain? Siapakah yang telah menetapkan segala ujung bumi? Siapa namanya
dan siapa nama anaknya? Engkau tentu tahu!” Church of G-d 7th Day, {Gereja Tuhan Hari Ketujuh}
adalah orang-orang yang memelihara dengan setia ibadat Sabat, yang bermula dari gerakan
Millerite di tahun 1844, sebagaimana yang juga dilakukan oleh 7th Day Adventists {Adven Hari
Ketujuh}. Pada waktu itu, hanya sedikit orang yang membicarakan mengenai kembalinya Sang
Mesias. Pemahaman umum pada waktu hanya menjelaskan, bahwa jika seseorang meninggal,
mereka akan masuk Sorga atau Neraka, atau pada umumnya di Gereja Katholik, masuk api
penyucian. Mereka yang dikenal sebagai kaum Millerites, berasal dari berbagai denominasi
termasuk 7th Day Adventists {Adven Hari Ketujuh}. Kebanyakan gereja sepakat mengajarkan bahwa
nama Putra-Nya adalah Yesus. Namun siapakah nama Bapa-Nya? Bukankah Sang Putra telah
mengatakan bahwa diri-Nya datang atas nama Bapa-Nya? Dan apakah mungkin nama-Nya tetap
sama atau sangat sama?” 19

Pergerakan Messianic Judaism modern di awali oleh munculnya organisasi The Hebrew
Christian Alliance of Great Britain, yang didirikan pada tahun 1866. Kemudian pada tahun 1915
didirikanlah The American Hebrew Christian Alliance. Dilanjutkan pada tahun 1925 didirikanlah the
International Hebrew Christian Alliance. Penggerak awal dari Mesianik Yudaisme adalah Joseph
Rabinowitz20. A.E. Thomson dalam bukunya, A Century of Jewish Missions, pada tahun 1902
melaporkan berbagai komunitas Mesianik Yudaisme dengan istilah Hebrew Christian di Eropa,
Inggris, Eropa. Thomson melaporkan mengenai aktivitas The Hebrew Christian Assembly yang
terbentuk pada tahun 1898. Kemudian Abraham Levi pada tahun 1894 mendirikan komunitas
Mesianik21.

Dalam deskripsi Schiffman, dilaporkan bahwa berturut-turut tumbuh komunitas Mesianik


Yudaisme diberbagai tempat22 al. Pada tahun 1905 didirikanlah komunitas Hebrew Christians di
Baltimore, Maryland di bawah bantuan Gereja Presbyterian. Komunitas ini kelak berganti nama
menjadi Emmanuel Messianic Conggregation. Pada tahun 1930, berdiri sebuah komunitas Mesianik
di Chicago dan telah berganti nama menjadi Adat Hatikvah. Kemudian tahun 1940-an dan 1950-an,
seorang bernama Lawrence Duff-Forbes membuka Messianic Conggregation di Los Angeles.
Mereka beribadat pada hari sabat, merayakan tujuh hari raya dengan liturgi Yahudi. Pada tahun 1950-
an denominasi Presbyterian mengembangkan komunitas Mesianik keempat di Los Anggeles, setelah

19
Sacred Name Movement History
http://www.sacrednamemovement.org/
20
The Rev. Eric S. Gabe, The Hebrew Christian Movement in Kishineff, International Messianic Jewish
(Hebrew Christian) Alliance, No 3, Vol LX, p.87
21
Op.Cit., Return of the Remnant, p. 29-30
22
Ibid., p. 31-33
10 | Teguh Hindarto, M a z h a b Y u d e o K r i s t e n : D e f i n i s i , K o n s e p P e m i k i r a n ,
Sejarah, Metodologi Tafsir@IJI 2017

sebelumnya yaitu Adat HaTikvah di Chicago, Emmanuel Messianic Conggregation di Baltimore dan
Beth Messiah di Philadhelphia. Namun komunitas di Los Anggeles ini tidak bertahan lama. Terjadi
perkembangan luar biasa pada tahun 1970.

Shiffman mensinyalir ada sekitar seratus lima puluh jemaat Mesianik diseluruh dunia23 dan
ada tiga organisasi penting yang berkaitan bersama, yaitu: the Union of Messianic Jewish
Congregations (UMJC), the Fellowship of Messianic Congregations (FMC), the International
Alliance of Messianic Congregations and Synagogues (IAMCS). Meskipun ada beberapa perbedaan
antara Hebrew Christians dan Messianic Jewish, namun menurut Sciffman itu hanya dalam hal
respect of affiliation (kebergabungan)24. Jika Hebrew Christians bergabung dibawah gereja-gereja
Protestan atau Presbyterian, maka Mesianik Yudaisme terlepas dari ketergantungannya terhadap
gereja Protestan atau Presbyterian, dan mereka tetap memelihara gaya hidup sebagai orang Yahudi.

Tiba saatnya sekarang menjawab dimana letak Judeochristianity dalam panggung sejarah
gereja. Dengan istilah Judeochristianity atau Yudeo Kristen saya maksudkan sebagai bentuk respon
dan refleksi kritis atas kehadiran Messianic Judaism yaitu gerakan diantara orang Yahudi dan
Yudaisme yang telah menerima Yesus (dengan sebutan Yeshua atau Yahshua atau Yehoshua serta
Yahushua) sebagai Mesias Ibrani dan tetap mempertahankan budaya Ibrani. Karena “Messianic
Judaism” adalah sebuah gerakan yang tumbuh di lingkungan Yudaisme dan Yahudi, maka saya
merasa bahwa saya tidak harus menyebutkan diri saya dengan sebutan Messianic Judaism sekalipun
saya banyak mengadopsi dan belajar pokok-pokok pikiran dalam teologi Messianic Judaism. Saya
bukan berasal dari Yudaisme dan bukan pula seorang Yahudi. Saya seorang Kristen. Saya membuat
jembatan peristilahan untuk mengekspresikan sebuah keyakinan dan kajian teologi serta devosi
(ibadah) yang berakar dari warisan budaya Semitik Yudaik dengan sebutan Judeochristianity atau
Yudeo Kristian. Dalam beberapa tulisan terkadang saya menggunakan istilah Kristen Semitik atau
Kristen Rekonstruksi.25

Sebagaimana telah saya katakan dalam artikel Akar Itu Yang Menopang Kamu sbb,
“Meskipun kembali ke akar iman bukan bermakna “menjadi Yahudi” dan sejenisnya, namun
pemahaman tentang “Keyahudian” atau “Keisraelan” dan berbagai ekspresi ibadah, pengajaran
serta tradisi-tradisi mereka, perlu dipelajari dalam terang kehadiran Yesus Sang Mesias. Hasil
pemahaman mengenai “kembali ke akar Ibrani”, perlu diaktualisasikan dalam berbagai bidang
penghayatan Kristiani. Berikut beberapa bentuk aktualisasi pemahaman kembali ke akar Ibrani
dalam kehidupan iman Kristiani: Dalam Ibadah (Avodah), dalam Teologi (Elohut), dalam Etika
(Halakah)”.26 Dengan kata lain, visi Back to Hebraic Root atau Kembali ke Akar Ibrani yang diusung
oleh Messianic Judaism saya respon dengan mendefinisikan diri sebagai Judeochristianity atau Yudeo

23
Ibid., p. 33
24
Ibid., p.34
25
Ibid.,
26
Teguh Hindarto, Akar Itu Yang Menopang Kamu
http://teguhhindarto.blogspot.com/2012/01/akar-itu-yang-menopang-kamu.html
11 | Teguh Hindarto, M a z h a b Y u d e o K r i s t e n : D e f i n i s i , K o n s e p P e m i k i r a n ,
Sejarah, Metodologi Tafsir@IJI 2017

Kristen sebagai bentuk refleksi teologis atas pengajaran Messianic Judaism dalam Teologi dan
Devosi serta Etika.

Istilah Yudeo Kristen juga saya pergunakan untuk merespon kehadiran Gereja Ortodok Timur
yang juga mengekspresikan budaya Semitik dan peribadatan dengan mempergunakan bahasa
Aramaik serta Arab. Baik Messianic Judaism maupun Gereja Ortodox Timur memang membawa misi
untuk mengingatkan Kekristenan mengenai akar tradisi iman dan budaya mereka yaitu dari Timur
khususnya budaya Semitik Yudaik27. Judeochristianity khususnya organisasi Indonesian
Judeochristianity Institute (IJI) merupakan sebuah gerakan lokal dalam Kekristenan di Indonesia
untuk merespon kehadiran dan pengajaran Messianic Judaism dan Gereja Orthodox yang
menekankan budaya Semitik Yudaik dan ekspresi-ekspresi ibadah Timur darimana Kekristenan
berawal.

Jika disimpulkan maka kedudukan komunitas Judeochristianity merupakan bagian dari


gereja-gereja Reformasi Protestan yang memiliki concern dan fokus untuk mengkaji latar belakang
budaya Semitik Yudaik untuk memahami Kitab Suci dan memulihkan devosi Kristen yang sejak awal
tidak terlepas dari Yudaisme Abad I Ms. Istilah Judeochristianity dipergunakan untuk membedakan
dengan sejumlah aliran dan mazhab Kristen lainnya lainnya seperti Baptis, Methodis, Advent,
Presbiterian, Anglikan, Pentakosta, Kharismatik. Kiranya ulasan singkat ini dapat memberikan
pemahaman yang jelas mengenai kedudukan Judeochristianity dalam perkembangan sejarah gereja
Kristen khususnya di Indonesia.

Apakah Kekristenan Berbeda Dengan Yudaisme?

Seseorang bertanya pada saya, apakah Kekristenan berbeda dengan Yudaisme? Saya
menjawab bahwa Kekristenan modern dan Yudaisme modern memang berbeda dalam banyak hal.
Berbeda dalam memahami Mesias, berbeda dalam konsep peribadahan, berbeda dalam pemahaman
mengenai konsep kejatuhan dosa manusia.

Kekristenan sebagai anak kandung Yudaisme

Namun jika kita merujuk pada akar Kekristenan awal pada abad pertama, maka tidak dijumpai
adanya perbedaan antara Kekristenan dan Yudaisme. Yesus Sang Mesias bukan seorang Kristen dan
tidak mendirikan agama Kristen. Yesus Sang Mesias adalah seorang Yahudi (Ibr 7:14) dan Yudais
sejati.

Bukti keyahudian dan keyudaismean Yesus sbb: Dia disunat pada hari kedelapan (Luk 2:21-
24), menggunakan pakaian khas Yahudi dengan tsit-tsit di ujung bajunya (Mat 9:20 band. Bil 15:38),
mengajar dengan gaya khas seorang rabi Yahudi yang sarat dengan perumpamaan, amsal, midrash
yang dikemas dalam bentuk dialog dan diskusi. Beribadah sabat dan membaca gulungan Torah (Luk
4:16), melakukan ibadah harian tiga kali sehari atau tefilah sakharit, minkhah, maariv (Mat 14:23),
melaksanakan tujuh hari raya (sheva moedim). Nama ketujuh Hari Raya tersebut adalah: “Pesakh” ,
“Hag ha Matsah” (Roti Tidak Beragi), “Hag Sfirat ha Omer” (Buah Sulung), “Hag Shavuot”
(Pentakosta), “Hag Rosh ha Shanah/Yom Truah” (Tahun Baru/peniupan Sangkakala), “Hag Yom
Kippur” (Pendamaian) dan “Hag Sukkot” (Pondok Daun). Dari ketujuh Hari Raya tersebut, ada tiga

27
Ibid., hal 26-27
12 | Teguh Hindarto, M a z h a b Y u d e o K r i s t e n : D e f i n i s i , K o n s e p P e m i k i r a n ,
Sejarah, Metodologi Tafsir@IJI 2017

Hari Raya besar yang diperingati setiap tahun dengan berkumpul di Yerusalem, yaitu Pesakh, Shavuot
dan Sukkot (Ulangan 16:16-17). Kitab Perjanjian Baru mencatat tiga perayaan penting tersebut
dihadiri oleh Yesus, baik saat Yesus mulai beranjak remaja maupun sudah mulai dewasa dan
melakukan karya Mesianik-Nya. Yesus menghadiri Perayaan Pesakh bersama kedua orang tua-Nya
(Luk 2:41-42). Yesus merayakan Sukkot bersama murid-murid-Nya (Yoh 7:1-13).

Hans Ucko mengulas secara kritis mengenai akar dan sumber Kekristenan sbb: “Gereja
Kristen, teologi Kristen dan Kekristenan secara keseluruhan, tidak terpisahkan dengan umat Yahudi
atau Yudaisme. Orang Yahudi dan Kristen memiliki Kitab Suci yang sama. Iman Kristen lahir dalam
lingkungan Yahudi. Gereja masih saja ragu apakah kenyataan tersebut dinilai sebagai berkat atau
kutuk. Sejumlah kecil orang Kristen melihat hubungan diatas sebagai suatu masalah dan berupaya
memecahkannya dengan membatasi kitab Perjanjian Lama dan agama umat Israel di satu sisi dan
Yudaisme di sisi lainnya. Dengan cara ini, seseorang sebenarnya ‘membebaskan’ orang Israel dari
keyahudiannya. Pendekatan tersebut mencerminkan sebentuk rasa sulit [bagi orang Kristen atas
hubungannya yang terlalu dekat dengan umat Yahudi dan dengan Yudaisme yang hidup saat ini.
Seseorang memang tidak mudah mengakui akibat dari memilih ‘Tuhan Yahudi’ itu”28.

John D. Garr, Ph.D, setelah mengutip dua teolog bernama Harry Gaylord’s dan Morton Scott
Enslin, beliau menyimpulkan sbb: “Kedua sarjana sejarah agama tersebut telah menemukan
kebenaran yang lebih dalam dan lebih dalam dari apa yang dipelajari Kekristenan hari ini yaitu:
Akar Kekristenan berada dalam Yudaisme. Tanpa Yudaisme, Kristen tidak akan pernah ada, karena
Yudaisme biblikal adalah induk dari Kekristenan. Salah satu penyimpangan sejarah yang paling
ironis adalah, Kekristenan - sang anak – sebagian besar telah bangkit dalam sikap antipati terhadap
Yudaisme – sang orang tua – sehingga Judeophobia atau anti yahudi serta anti Semitisme telah
datang dalam ciri kekristenan selama lebih dari sembilan belas abad”.29

Ibadah Kristiani awal pun berakar pada Yudaisme. Bahkan Beberapa tradisi liturgis dalam
gereja Katholik, Orthodox dan Protestan, berakar dari Yudaisme. Pdt. Theo Witkamp, Th.D.,
menjelaskan sbb: “Gereja Kristen dimulai sebagai suatu sekte Yahudi. Oleh karena itu, kalau kita
ingin tahu tentang asal-usul dan latar belakang ibadah Kristen awal, kita terutama harus
memandang kebiasaan-kebiasaan liturgis dan musikal dari agama Yahudi pada Abad Pertama
Masehi”30. Rashid Rahman seorang pakar liturgi di lingkungan Protestan mengatakan hal senada
perihal praktek ibadah harian, “Praktek ibadah harian gereja awal dilatarbelakangi oleh praktek
ibadah harian Yudaisme hingga abad pertama. Latar belakang tersebut dapat berupa kontinuitas,
diskontinuitas atau pengembangan dari ibadah Yudaisme”31. Selanjutnya Rahman menambahkan,

28
Hans Ucko, Akar Bersama: Belajar tentang Iman Kristen dari Dialog Kristen-Yahudi, Jakarta: BPK, 1999,
hal 5
29
John D. Garr, Ph.D,, Our Lost Legacy: Christianity’s Hebrew Heritage, Golden Key Press, Atlanta 2006,
p.17
30
Pdt. Theo Witkamp, Th.D., Mazmur-Mazmur Kekristenan Purba Dalam Konteks Yahudi Abad Pertama,
dalam Jurnal Teologi GEMA Duta Wacana, No 48 Tahun 1994, hal 16
31
Rashid Rahman, Ibadah Harian Zaman Patristik, Bintang Fajar, 2000, hal 5
13 | Teguh Hindarto, M a z h a b Y u d e o K r i s t e n : D e f i n i s i , K o n s e p P e m i k i r a n ,
Sejarah, Metodologi Tafsir@IJI 2017

“Gereja awal tidak memiliki pola ibadah tersendiri dan asli. Mereka beribadah bersama dengan
umat Yahudi dan kemudian mengambil beberapa ritus Yahudi untuk menjadi pola ibadah harian”32

Kekristenan awal sebagai salah satu sekte dalam Yudaisme?

TaNaKh (Torah, Neviim, Ketuvim atau lazim disebut dengan Kitab Perjanjian Lama) dan
Kitab Perjanjian Baru, tidak pernah memberikan penamaan terhadap perilaku religius umat Yahweh
dan umat Mesias dengan sebutan “Mesianik” atau “Kristen”. TaNaKh maupun Kitab Perjanjian Baru
justru memberikan identifikasi dengan sebutan “DEREK/DARKE YAHWEH” (Band. 2 Sam 22:22,
Yer 5:4, Ul 8:6, Mat 22:16, Kis 9:2, Kis 13:10) sebagaimana dikatakan: “Sebab aku tetap mengikuti
jalan Yahweh (‫ )דרכי יהוה‬dan tidak menjauhkan diri dari Tuhanku sebagai orang fasik” (2 Sam 22:22).

Dalam perkembangannya, sebutan “Yudaisme” lebih kerap ditujukan pada religiusitas Bangsa
Yisrael yang menyembah Yahweh dan berpusat pada ibadah di Bait Suci. Istilah “Yudaisme”
pertama kali muncul dalam Kitab 2 Makabe 2:21 dan 2 Makabe 8:1 serta 2 Makabe 14:38 dengan
sebutan Tou Iaudaisemou dan Toi Iaudaismoi sbb:

“tentang penampakan-penampakan dari sorga guna orang-orang berani yang bertindak


dengan gagah perkasa untuk kepentingan penganut agama Yahudi (τοῦ Ιουδαϊμοῦ)
sehingga mereka, meskipun hanya sedikit jumlahnya, berhasil merebut kembali seluruh
wilayah serta mengusir gerombolan orang asing”

“Adapun Yudas yang disebut juga Makabe serta para pengikutnya pergi menyusupi
kampung-kampung. Dipanggilnyalah kaum kerabatnya dan dengan menggabungkan
dengan mereka semua orang yang tetap teguh dalam agama Yahudi (τῷ Ιουδαϊμῷ), maka
dikumpulkannya lebih kurang enam ribu orang”

“Oleh karena Nikanor ingin membuat permusuhan yang ditaruhnya kepada penganut
agama Yahudi (Ιουδαϊμοῦ) menjadi nyata, maka disuruhnya lima ratus lebih prajurit
menangkap Razis”

Bahkan Rasul Paul mengidentifikasi bahwa dia pun seorang penganut agama Yahudi yang
taat sebagaimana dikatakan dalam Galatia 1:13 sbb: “Sebab kamu telah mendengar tentang hidupku
dahulu dalam agama Yahudi: (τω ιουδαισμω) tanpa batas aku menganiaya jemaat (Tuhan) dan
berusaha membinasakannya”.

Ketika Yesus memberitakan Kerajaan Tuhan dan Injil (Besorah) dan setiap orang mulai
mempercayai bahwa Dia adalah Mesias yang dijanjikan dalam TaNaKh), maka terbentuklah dua
golongan orang yang menerima Dia sebagai Mesias. Golongan pertama adalah golongan Yahudi dari
berbagai sekte dan kelas sosial yang berbeda dan kedua golongan non Yahudi dari berbagai kelas
sosial yang berbeda. Sebutan “Christianoi” muncul di Anthiokhia yaitu julukan bagi Pengikut Mesias
dari kalangan non Yahudi sebagaimana dikatakan, “Mereka tinggal bersama-sama dengan jemaat
itu satu tahun lamanya, sambil mengajar banyak orang. Di Antiokhialah murid-murid itu untuk
pertama kalinya disebut Kristen” (Kis 11:26). Sementara sebutan Nazoraios atau Netsarim
merupakan julukan bagi Pengikut Mesias dari kalangan Yahudi sebagaimana dikatakan, “Telah nyata
kepada kami, bahwa orang ini adalah penyakit sampar, seorang yang menimbulkan kekacauan di

32
Ibid., hal 36
14 | Teguh Hindarto, M a z h a b Y u d e o K r i s t e n : D e f i n i s i , K o n s e p P e m i k i r a n ,
Sejarah, Metodologi Tafsir@IJI 2017

antara semua orang Yahudi di seluruh dunia yang beradab, dan bahwa ia adalah seorang tokoh dari
sekte orang Nasrani” (Kis 24:5). Sebutan-sebutan seperti Christianoi atau Nazoraios, tidak
memberikan suatu pemahaman pada waktu bahwa mereka aalah orang-orang yang terlepas dari
Yudaisme. Mereka berada dan beraktivitas dalam bingkai Yudaisme. Kekristenan pada waktu itu
adalah salah satu sekte dari Yudaisme.

Kekristenan terlepas dari Yudaisme

Abad ke-II Ms, merupakan suatu era titik balik dalam sejarah gereja. Terjadi perpindahan dari
teologi Palestina yang kongkrit menuju Teologi Helenis yang abstrak.25 Hal ini terjadi dikarenakan
semakin banyaknya bangsa non Yahudi yang menerima Mesias, oleh pemberitaan para rasul. Dalam
perkembangannya, gereja semakin menjauh dari akar ibrani. Realita ini memuncak pada saat Kaisar
Konstantin naik tahta menjadi Raja dan mengubah status Kekristenan dari “religio ilicita” (agama
yang tidak sah) menjadi “religio licita” (agama yang sah). Peristiwa ini terjadi pada tahun 312 Ms
bersamaan dengan dikeluarkannya Edik Milano, dimana Kekristenan diubah menjadi agama negara
dan orang-orang Kristen Roma diberi kebebasan penuh dalam melaksanakan peribadahan.26

Semenjak Konstantin dan seterusnya, gereja non Yahudi semakin menjauh dari akar Ibrani
bahkan cenderung membenci keberadaan Yahudi, sebagaimana dikatakan oleh sejarawan David
Rausch, “The Gentile Church claimed to be the true Israel and tried to disassociate itself from the
Jewish people early in its history”27 (Gereja non Yahudi mengklaim menjadi Israel yang benar dan
mencoba untuk memutus dirinya dari masyarakat Yahudi dalam sejarahnya).

Kekristenan mengalami disorientasi

Dampak penting apa ketika Gereja dan Kekristenan non Yahudi tercerabut dari akar budaya
Semitik dan akar religius Yudaisme? Disorientasi! Disorientasi artinya kehilangan arah, kehilangan
kiblat. Disorientasi inilah yang menyebabkan kita sekarang ini tidak dapat melihat berbagai kesamaan
antara Yudaisme dan Kekristenan. Apa yang kita lihat hari ini (perbedaan) adalah hasil dan residu
dari Kekristenan yang terlepas dari induk atau ibu kandungnya yaitu Yudaisme.

Jika kita ringkaskan, wujud disorientasi tersebut, nampak dalam tiga hal yaitu:

1. Disorientasi Sejarah: Gereja dan Kekristenan pada umumnya menganggap bahwa


asal usul Kekristenan berasal dari Barat. Ada yang menganggap Kekristenan berpusat
di Roma Katolik, dikarenakan setiap tahun saat perayaan Christmass dan Easter,
televisi-elevisi swasta selalu menyiarkan perayaan tersebut yang berpusat di Roma.

2. Disorientasi Dogmatik: Muncullah istilah-istilah asing yang abstrak dan filosofis


mengenai konsep ketuhanan Ibrani yang dinamis dan hidup. Muncullah istilah “una

25
Bernhard Lohse, Pengantar Sejarah Dogma Kristen, BPK 1994, hal 51
26
Harry R. Boer, A Short History of the Early Church, Grand Rapids Michigan : William B. Eerdmans
Publishing Company, 1986, p.105
27
David Rausch, Messianic Judaism: Its History, Theology and Polity, Lewiston, New York: Edwin Mellen
Press, 1982, p.13
15 | Teguh Hindarto, M a z h a b Y u d e o K r i s t e n : D e f i n i s i , K o n s e p P e m i k i r a n ,
Sejarah, Metodologi Tafsir@IJI 2017

substansia tres persona” atau “mono ousia tres hypostasis” bagi Tuhan Pencipta.
Istilah ini kelak populer dengan sebutan “Tritunggal” atau “Trinitas”.

3. Disorientasi Devosi: Muncul juga perayaan-perayaan non biblikal seperti


“Christmass”, “Easter” yang menggantikan tujuh hari raya yang firmaniah dalam
Imamat 23. Hilangnya tradisi doa harian yang disebut Tefilah Shakharit, Minkhah dan
Ma’ariv menjadi doa-doa spontan. Hilangnya tradisi liturgis yang bercorak semitik
hebraik, berganti menjadi rangkaian liturgi yang terlalu rumit dan menjemukkan33.

Rekonstruksi Teologi dan Devosi Kristiani

Setelah kita mengkaji sejarah akar kebudayaan dan keagamaan Kristen yang berasal dari
budaya Semitik dan agama Yudaisme serta memetakan berbagai dampak ketika Kekristenan terlepas
dari akarnya, maka pertanyaan akhirnya adalah, lalu apa yang harus kita kerjakan? Apa yang
seharusnya Gereja dan Kekristenan lakukan? Saya tidak ingin hanya berhenti dalam dialog wacana
belaka. Saya melangkah lebih jauh lagi. Saya mengusung istilah “Rekonstruksi Teologi dan Devosi
Kristiani” sebagai pertanggungjawaban intelektual dan spiritual seorang pemikir dan pengkaji
teologi.

Berangkat dari mengamati dan mempelajari kemunculan Messianic Judaism 34yaitu berbagai
komunitas orang Yahudi dan Yudaisme yang telah menerima Yesus sebagai Mesias dengan sebutan
Yeshua/Yahshua ha Mashiakh dan tetap memelihara akar budaya Yahudi dalam interpretasi Kitab
Suci dan devosi atau peribadahan, maka saya mulai mengembangkan model Kekristenan yang
kembali ke akar Ibrani atau saya istilah Kristen Semitik (Semitic Christian) atau Kristen berakar
Yudaisme (Judeo Christianity).

Dengan istilah tersebut saya ingin mengajak kepada semua Gereja Kristen khususnya di
Indonesia untuk setidaknya membaca ulang sejarah Kekristenan dan membuang sikap yang keliru
terhadap Yudaisme. Sikap-sikap yang keliru tersebut telah menampakkan wajahnya dalam bentuk-
bentuk al., Torah adalah untuk Yahudi dan tidak kaitannya dengan Kekristenan. Pilar-pilar ibadah
seperti Tefilah (ibadah harian), Sabat (ibadah pekanan), Rosh Kodesh (ibadah bulanan), Sheva
Moedim (ibadah tahunan) hanyalah milik Yahudi dan tidak ada relevansinya bagi Kekristenan. Dan
masih banyak sikap-sikap lain yang mencerminkan keterputusan atau keterpisahan antara Yudaisme
dan Kekristenan.

33
Teguh Hindarto, Kekristenan dan Kesemitikan (http://teguhhindarto.blogspot.com/2011/02/kekristenan-
kesemitikan.html)
34
________________________, Messianic Judaism dan Sacred Name Movement: Fenomena Keagamaan
Abad XX dan Tanggapan Kekristenan, Forum Studi Mesianika. Kajian secara berseri dapat di simak di blog
berikut:

http://teguhhindarto.blogspot.com/2011/05/messianic-judaism-sacred-name-movement.html (seri 1)

http://teguhhindarto.blogspot.com/2011/05/messianic-judaism-sacred-name-movement_10.html (2)

http://teguhhindarto.blogspot.com/2011/05/messianic-judaism-sacred-name-movement_1006.html (3)
16 | Teguh Hindarto, M a z h a b Y u d e o K r i s t e n : D e f i n i s i , K o n s e p P e m i k i r a n ,
Sejarah, Metodologi Tafsir@IJI 2017

Kembali ke Akar Ibrani

Akhir-akhir ini, istilah Back to the Hebraic Root (Kembali ke Akar Ibrani) telah menjadi suatu
istilah yang fenomenal dan bersifat khusus dikalangan Kekristenan. Jika kita menyelediki dengan
mesin pencari “google” dengan entri “back to hebraic root” atau “messianic judaism”, maka kita akan
menemukan ratusan artikel dan website yang mengulas topik-topik bertemakan kembali ke akar
Ibrani.

Namun tidak banyak orang Kristen yang memahami betul essensi dibalik istilah tersebut.
Kebanyakan hanya memahaminya sebatas mempersoalkan penggunaan nama sesembahan agama lain
yaitu Allah yang tercantum dalam Kitab Suci Kristiani dan menuntut penyebutan nama Yahweh
sebagai nama sesembahan yang benar. Demikian pula penggunaan nama Mesias yaitu “Yahshua”
atau “Yeshua”, dibandingkan dengan “Yesus”. Apakah demikian batasan “Back to the Hebraic
Root?” Penulis akan mengulas batasan “Kembali ke Akar Ibrani”, dalam dua sudut pandang. Dengan
menggunakan pendekatan negasi dan konfirmasi. Dengan menggunakan batasan tersebut, diharapkan
pembaca dapat melihat dari dua sisi, sehingga memperoleh pemahaman yang tepat dan proporsional.

Secara Negatif: Bukan Yudaisasi

Kembali ke Akar Ibrani, bukan bermakna melakukan proses Yudaisasi. Apa itu Yudaisasi?
Yudaisasi bermakna pemaksaan pola beragama Yudaisme sebagaimana dipraktekan oleh beberapa
sekte keagamaan Yahudi baik di zaman pra Mesias (Farisi, Saduki,dll) maupun paska Mesias
(Orthodox, Reform, Konservatif). Sikap-sikap melakukan Yudaisasi, terekam dalam Kisah Rasul
15:1 sbb: “Beberapa orang datang dari Yudea ke Anthiokhia dan mengajarkan kepada saudara-
saudara disitu: Jikalau kamu tidak disunat menurut adat-istiadat yang diwariskan oleh Musa, kamu
tidak dapat diselamatkan”.

Sikap beberapa sekte Farisi yang berusaha melakukan Yudaisasi ditentang oleh Rasul Paul dan
Barnabas (Kis 15:2). Persoalan ini akhirnya diselesaikan dalam sidang di Yerusalem dan
menghasilkan beberapa keputusan penting untuk dilakukan oleh goyim (non Yahudi) setelah
menerima Mesias (Kis 15:20-21). Meskipun kembali ke akar Ibrani, mengadopsi nilai-nilai Yudaik,
namun bukan bermakna secara telanjang melakukan Yudaisasi dalam berbagai bidang kehidupan
orang beriman.

Bukan De-Yunanisasi

Ada kecenderungan kurang sehat akhir-akhir ini dikalangan komunitas yang mengklaim
kembali ke akar Ibrani, yaitu menolak berbagai hal yang berbau Yunani dalam teks Kitab Suci.
Penolakan berbagai pola penafsiran Kitab Suci yang bercorak Yunani yang telah secara berabad-abad
diadopsi dalam berbagai seminari maupun sekolah Teologi. Menolak keberadaan Kitab Perjanjian
Baru berbahasa Yunani, mencerminkan amnesia sejarah dan kurangnya wawasan sejarah tentang
keberadaan dan nilai historis teks Perjanjian Baru berbahasa Yunani dalam memelihara iman dan
mempertahankan keberadaan gereja saat ini.

Ketika Paul ada di Atena yang mewarisi nilai-nilai filsafat dan bahasa Helenis, dia
memberitakan tentang Yesus kepada filsuf-filsuf Atena. Ketika disampaikan mengenai kebangkitan
orang mati dan Yesus sebagai Mesias, beberapa orang menolak dan mengganggapnya memberitakan
dewa-dewa asing (Kis 17:16-18) dan ditolak (Kis 17:32). Namun sejumlah orang Yunani seperti
17 | Teguh Hindarto, M a z h a b Y u d e o K r i s t e n : D e f i n i s i , K o n s e p P e m i k i r a n ,
Sejarah, Metodologi Tafsir@IJI 2017

Dionisius, majelis Areopagus serta wanita Yunani bernama Damaris menjadi percaya (Kis 17:34).
Apakah Dionisius dan Damaris akan berbagi imannya kepada teman maupun keluarganya dengan
menggunakan bahasa Ibrani dan kitab suci berbahasa Ibrani? Tentu dia akan menggunakan bahasa
Yunani dan paling tidak dia akan mengutip terjemahan kitab suci Septuaginta jika diluar Yerusalem.
Orang-orang Yunani dan Romawi yang menjadi percaya, tentunya memiliki kerinduan untuk
menerjemahkan kitab Perjanjian Baru dikemudian hari dalam bahasa Yunani dengan merujuk pada
naskah berbahasa Ibrani-Aramaik.

Meskipun patut diakui bahwa Kitab Perjanjian Baru berbahasa Yunani bukan merupakan teks
yang mula-mula, dan didalam berbagai versi manuskrip teks diakui terdapat berbagai varian, namun
tidak mengubah pokok iman mengenai siapakah Mesias tersebut dan kematian-Nya di kayu salib serta
kebangkitan-Nya dari orang mati pada hari ketiga. Kesaksian berbagai manuskrip teks dari berbagai
tahun dan abad yang berbeda, memperkokoh nilai historis dan validitas Kitab Perjanjian Baru.
Ketangguhan yang teruji secara historis ini membuktikan pemeliharaan Tuhan dan perkenan Tuhan
terhadap keberadaan teks Perjanjian Baru berbahasa Yunani. Mengabaikan bahkan membuang begitu
saja keberadaan teks Perjanjian Baru berbahasa Yunani, secara tidak langsung telah mengkhianati
sejarah terbentuknya komunitas umat beriman dibelahan dunia lainnya.

Yang kita perlukan bukan melakukan De-Yunanisasi terhadap teks Perjanjian Baru berbahasa
Yunani maupun berbagai metode hermeneutis warisan cara berpikir Yunani, namun melakukan
sintesa dengan cara berpikir Hebraic, pola penafsiran Hebraic, sehingga menghasilkan struktur
pemahaman yang holistik atau menyeluruh. Cara yang ditempuh oleh DR. David Stern, seorang
Yahudi pengikut Mesias di Abad XX, dengan menerbitkan Jewish New Testament Comentary,
dengan menganalisis teks Perjanjian Baru berbahasa Yunani dengan mengkombinasikan sudut
pandang Yunani dan Ibrani, sungguh menarik dan patut diapresiasi. Dalam catatan pengantarnyaa,
beliau mengatakan : “My translation of the New Testament from the original Greek into English in a
way that brings out its essential Jewishness”.8

Bukan Kultus Para Rabbi

Yudaisme pra Mesias maupun paska Mesias memiliki orang-orang bijaksana, rabbi-rabbi
berpengaruh yang telah banyak memberikan kontribusi terhadap penafsiran, terhadap aplikasi Torah
dalam kehidupan, dalam penyusunan Misnah, Gemara, Talmud yang berisikan berbagai Halakhah.
Beberapa nama rabbi-rabbi terkemuka seperti Hillel, Shamai, Yokhanan Ben Zakkai, Akiva Ben
Yosep (15-135 Ms), Yahuda ha Nasi (135-219 Ms), Sholomo Yitshaqi (1040-1105 Ms), Moshe Ben
Maimonindes (1135-1204 Ms), Moshe Ben Nakhman (1194-1270 Ms), Baal Shem Tov (1700-1760
Ms), Nakhman dari Breslov (1772-1810 Ms)9.

Sepandai dan seberapa berpengaruhnya para rabbi tersebut, namun tidak ada alasan bagi kita
untuk mengkultuskan dirinya dan pengajarannya serta berbagai tulisannya. Mengapa? Karena
merekapun manusia yang terbatas dan terikat dengan konteks zamannya sehingga dapat terjatuh pada
kesalahan penafsiran. Terbukti bahwa para rabbi Yahudi ketika Mesias hidup banyak yang menolak
pengajaran-Nya dan menjadi dalang Mesias disalibkan. Beberapa tafsiran para rabbi diulas dalam

8
DR. David Stern, Jewish New Testament Comentary, Jewish New Testament Publications, 1992, p.ix
9
Tracey R. Rich, Sages & Scholars, 1996-1999, www.jewfaq.org
18 | Teguh Hindarto, M a z h a b Y u d e o K r i s t e n : D e f i n i s i , K o n s e p P e m i k i r a n ,
Sejarah, Metodologi Tafsir@IJI 2017

beberapa buku dan dinilai keluar dari konteks. Beberapa buku yang mengulas kekeliruan penafsiran
para rabbi seperti, Richard Longenecker10, A. Berkeley Mickelsen11, Milton S. Terry12. Sekalipun
kembali ke akar Ibrani mempertimbangkan berbagai pendapat para rabbi Yahudi baik yang menolak
Mesias maupun menerima Mesias, sebagai rujukan pendapat, namun bukan berarti essensi akar Ibrani
ditentukan oleh sikap yang mengkultuskan para rabbi.

Bukan melakukan secara hurufiah, tradisi-tradisi Yahudi yang diatur dalam Talmud

Sepulang dari pembuangan Babilonia, orang-orang Yahudi mulai memperbaharui hidup


keagamaan mereka dibawah pimpinan Ezra dan Nehemia. Ada komitmen baru untuk mengasihi
Yahweh dan memelihara Torah-Nya. Namun seiring demikian, terjadi suatu gerakan yang kuat yang
cenderung bersifat legalistik formal sepeninggal Ezra dan Nehemia. Kecenderungan legalistik
(memberi posisi berlebihan terhadap hukum agama daripada pemberi hukum itu sendiri, sehingga
hukum agama menjadi beban dan bukan pengatur kehidupan) tersebut terekam dalam berbagai fatwa-
fatwa para rabbi yang disusun dalam berbagai literatur Yahudi yang terentang dari Abad 1 Ms-4 Ms.

Berbagai tulisan itu adalah Talmud yang merupakan kompilasi dari Misnah dan Gemara.
Berbagai ajaran, pendapat, diskusi, peraturan agama, ketetapan para rabbi, disusun dalam berbagai
lietarur diatas. Usia Talmud nampaknya setua usia bangsa Yahudi sejak pulang dari Babilonia. Secara
sederhana, Misnah merupakan kumpulan Torah sebagai bentuk berbagai penjelasan terhadap Torah
tertulis yaitu TaNaKh. Komentar terhadap Misnah dinamakan Gemara. Talmud merupakan kompilasi
antara Misnah dan Gemara13. Talmud memiliki dua versi. Versi Babilonia dan versi Yerusalem.
Talmud Babilonia lebih lengkap dan tebal. Misnah terdiri atas enam pokok bahasan (sedarim) yaitu
“Zeraim” (mengenai benih tanaman), “Moed” (mengenai perayaan), “Nashim” (mengenai wanita),
“Nezikin” (mengenai persoalan yang dilarang), “Kodashim” (mengenai perkara yang kudus), Toharot
(mengenai ritual penyucian diri).

Di setiap topik bahasan (sedarim) terdiri dari banyak sub bahasan (masekhot).
Keseluruhannya ada 63 masekhot dalam Misnah14. Literatur-literatur Yahudi diatas sebenarnya
sangat bermanfaat untuk menjadi petunjuk mengenai aplikasi atau pelaksanaan suatu ketetapan yang
ditulis dalam TaNaKh. Dalam tradisi Islam, sejajar dengan keberadaan Hadits maupun Sunnah.
Dengan mengacu pada literatur-literatur tersebut maka seseorang dapat menjaga mata rantai
pengajaran dan tradisi aplikasi perintah Tuhan. Namun demikian, dalam Talmud pun ditemui
sejumlah pernyataan yang tidak bisa begitu saja dilakukan oleh bangsa non yahudi yang percaya pada
Mesias. Bahkan dalam Talmud pun terekam berbagai diskusi dan kutukan yang ditujukan terhadap
goyim maupun terhadap pengikut Yesus Sang Mesias. Tidak dapat disangkal bahwa Talmud

10
Richard Longenecker, Biblical Exegesis in the Apostolic Period, Grand Rapids, Michigan : Wm. B.
eerdmans Publishing Co, 1975, p.34
11
A. Berkeley Mickelsen, Interpreting the Bible, Grand Rapids: Wm. B. eerdmans Publishing Co., 1966, p.
24
12
Milton S. Terry, Biblical Hermeneutic, Grand Rapids, Michigan : Zondervan Publishing House, 1983, p.608
13
Baker’s Dictionary of Theology, Grand rapids Michigan 49506, Baker Books House, 1985, p. 511-512
14
Tracey R. Rich, Torah, 1995-1999, www.jewfaq.org
19 | Teguh Hindarto, M a z h a b Y u d e o K r i s t e n : D e f i n i s i , K o n s e p P e m i k i r a n ,
Sejarah, Metodologi Tafsir@IJI 2017

terkadang tidak selaras dengan Firman Tuhan yang tertulis dalam TaNaKh. Beberapa contoh kami
kutipkan. Talmud melarang pengucapan nama Yahweh sebagaimana tertulis dalam Misnah Sotah
7:6; Misnah Tamid 7:2, “…dalam tempat kudus seseorang mengucapkan Sang Nama sebagaimana
tertulis namun diluar tempat kudus, diucapkan dengan bentuk euphemisme…”15 .

Larangan ini tidak sejalan dengan perintah TaNaKh agar nama-Nya di panggil (1 Taw 16:26,
Kel 3:15, Mzm 99:3). Demikian pula Talmud berisikan kutukan-kutukan terhadap pengikut Yahshua.
Beberapa buku telah mengulas kenyataan tersebut al. Talmud: Kitab Hitam Yahudi Yang
Menggemparkan,16 Fadh at Talmud17. Kebencian terhadap pengikut Yesus Sang Mesias pun
terrefleksi dalam Shemone Esrei (delapan belas doa berkat). Pada doa kesembilan belas (yang
ditambahkan kemudian), ada kata-kata kutukan yang ditujukan pada pengikut Mesias yang dijuluki
“ha Minim” (Bidat)18 dan juga “Meshummed” (perusak)19.

Beberapa pernyataan dalam Talmud yang memojokkan pengikut Mesias merefleksikan


penolakan para rabbi Yahudi di Abad I Ms terhadap Kemesiasan Yesus. Perilaku rabbi-rabbi Yahudi
tersebut telah terekam sejak dini dalam Kitab Matius 27:11-15 mengenai fitnah-fitnah yang
dihembus-hembuskan para rabbi mengenai kematian dan kebangkitan Yesus dari kematian. Fakta-
fakta diatas menuntut kita untuk tidak mengkultuskan peranan Talmud sebagai sumber referensi
penafsiran dan pengambilan keputusan keagamaan pengikut Mesias. Namun demikian, kita tidak
dapat mengganggap remeh begitu saja nilai Talmud, karena didalamnya pun terekam banyak ulasan
yang sangat kaya mengenai bagian-bagian Kitab Suci.

Bukan Yang Mampu Mengucapkan Nama Yahweh dan Yahshua/Yeshua

Beberapa kelompok mendefinisikan arti ke akar Ibrani adalah jika seseorang dapat
menyebutkan dengan benar nama-nama tokoh-tokoh dalam Kitab Suci yang berbahasa Ibrani.
Misalnya Petrus menjadi Kefa. Yusuf menjadi Yosep. Musa menjadi Moshe. Bahkan dapat
menyebutkan nama Yahweh dan Putra-Nya, Yahshua atau Yeshua, dimaknai sebagai kembali keakar
Ibrani. Sekalipun agenda diatas menjadi bagian dari kembali ke akar Ibrani, namun pemahaman
mengenai kembali ke akar Ibrani tidak sesempit pemahaman diatas.

Bukan Menjadi Yahudi

Ada kecenderungan pada beberapa kelompok Kekristenan yang berkomitmen untuk kembali
ke akar Ibrani, memaknainya dalam bentuk aksesoris semata-mata seperti menggunakan “Kippa”,

15
DR. James S. Trimm, Nazarenes & The Name of YHWH, 1997, www.nazarene.net
16
Prof. DR. Muhammad Asy Syarqawi, Talmud : Kitab Hitam Yahudi Yang Menggemparkan, Jakarta:
SAHARA Publishers, 2004, hal 239-243
17
I.B. Branaites, Fadh at Talmud, Dar an-Nafais, Beirut
18
Nazarene : Definition & History, Catholic Encylopedia Electronic Version. New Advent, Inc. 1998,
www.newadvent.org/eathen
19
DR. Michael Schiffman, Return of the Remnant: the Rebirth of Messianic Judaism, Baltimore, Maryland :
Lederer Messianic Publishers, 1990, p.13
20 | Teguh Hindarto, M a z h a b Y u d e o K r i s t e n : D e f i n i s i , K o n s e p P e m i k i r a n ,
Sejarah, Metodologi Tafsir@IJI 2017

“Tallit”, “Tefilin”, berbahasa Yahudi, mengikuti budaya Yahudi, sehingga terkesan kehilangan
identitasnya sebagai sebuah bangsa yang berbeda dengan Yahudi. Meskipun penggunaan Kippa,
Tallit, Tefilin, bahasa Ibrani menjadi bagian dari kembali ke akar Ibrani, namun kembali ke akar
Ibrani bukan hanya sekadar mengadopsi bentuk-bentuk eksternal Yudaisme melainkan lebih jauh dari
itu.

Secara Positip: Mengakui Bahwa Bangsa Non Yahudi Merupakan Tunas Liar yang Di tempelkan
Pada Zaitun Asli

Sebelum kita melakukan eksegese terhadap Roma 11:16-14, kita cermati terlebih dahulu kata
“cangkok” dalam terjemahan Lembaga Alkitab Indonesia. Kata “cangkok” dalam Roma 11:16-24,
ada enam kali. Namun istilah “cangkok” adalah tidak tepat sama sekali. Kata yang diterjemahkan
“cangkok” dalam bahasa Yunaninya Egkentrizo. Menurut Enchand Strong Lexicon , kata Egkentrizo
bermakna, “to cut into, for the sake of inserting scion” (memotong demi menghasilkan keturunan)
dan “to innoculate”, “ingraft”, “graft in” (menyuntikan, menempelkan)20.

Dalam terminologi pertanian, ada istilah Cangkok, yaitu pemisahan cabang dari batangnya,
setelah dibuatnya berakar. Tidak ada organisme baru ditambahkan maupun organisme baru
dihasilkan. Lalu, Okulasi, pertumbuhan batang sangat dipengaruhi si penempel dan hasilnya terserah
dari si penempel. Dari hasil okulasi atau tempel, dapat dihasilkan organisme baru yang lebih baik dari
aslinya. Sementara, Stek adalah potongan batang dari tumbuhan lain yang dapat tumbuh sendiri. Jika
mengikuti definisi diatas, maka kata egkentrizo lebih tepat diterjemahkan “ditempelkan”.

The New International Version menggunakan kata “grafted”21. Sementara The New Century
Version menggunakan kata “joined”22. Rasul Paul menjelaskan hubungan akar dan cabang, sbb :

1. Roti sulung adalah kudus, maka seluruh adonan adalah kudus

2. Akar kudus maka cabang adalah kudus

3. Beberapa cabang telah dipatahkan. Tunas liar ditempelkan dan mendapat bagian dalam akar
pohon zaitun

4. Jangan kamu bernegah, karena akar yang menopang kamu (shelo atta noshe et ha shoresh
ella ha shoresh noshe otka, HNT)

5. Bangsa non Yahudi ditempelkan semata-mata karena ketidak percayaan Israel. Sementara
Bangsa Non Yahudi dapat tegak karena iman

6. Jika cabang asli tidak membuang cabangnya, maka Tuhan juga tidak akan mengambil Bangsa
Non Yahudi

7. Perhatikanlah kemurahan Tuhan dan kekerasannya

20
Oak Harbor, WA : Logos Research System, Inc, 1995
21
Grand Rapids, MI : Zondervan Publishing House, 1984
22
Dallas, Texas : Word Publishing, 1987, 1988, 1991
21 | Teguh Hindarto, M a z h a b Y u d e o K r i s t e n : D e f i n i s i , K o n s e p P e m i k i r a n ,
Sejarah, Metodologi Tafsir@IJI 2017

8. Tuhan akan menempelkan kembali jika Israel bertobat

9. Penempelan kembali Bangsa Israel adalah dikarenakan mereka cabang yang asli

Dari uraian diatas, kita mendapatkan pemahaman bahwa bangsa-bangsa non Yahudi tidak
layak memegahkan diri dan mengganggap rendah bangsa Yahudi serta meninggalkan akar iman yang
bersumber dari keyahudian. Yesus Sang Mesias secara manusiawi merupakan keturunan suku
Yahuda (Ibr 7:14). Pelayanan Mesias pertama-tama ditujukan untuk domba-domba Israel yang hilang
(Mat 15:24), Mesias membaca Torah dan mengajar di Sinagog pada hari Sabat (Luk 4:16), Mesias
merayakan tujuh hari raya Israel (Yoh 7:1-2). Yesus dan para rasul tidak membawa agama baru yang
disebut Kristen. Dia Mesias yang datang sebagaimana dituliskan dalam TaNaKh. Dia datang dan
mengajar dengan bingkai Yudaisme. Tidak heran jika para murid pun sepeninggal Yesus tetap
beribadah Sabat di Sinagog (Kis 13:13-14, 42,44). Berdoa tiga kali sehari (shakharit, minha, maariv
) diwaktu-waktu tertentu (Kis 3:1, Kis 10:3,9), tetap memelihara Torah dalam terang kematian dan
kebangkitan Mesias (Kis 21:20). Pengikut Mesias dari kalangan Yahudi, dijuluki “Sekte Netsarim”,
“Pengikut Jalan itu”. Sementara pengikut Mesias di luar Yahudi dijuluki “Christianoi” (Kis 11:24).

Hubungan antara Israel dengan nenek moyang Israel yaitu Abraham, Ishak dan Yakub,
digambarkan dengan istilah “roti kudus” dan “adonan”, “akar kudus” dan “cabang” atau “ranting”
(Rm 11:16). Sementara Israel sebagai “ranting”, dipatahkan karena penolakkan mereka terhadap
Mesias yang dijanjikan Yahweh melalui mulut para nabi. Bangsa non Yahudi “ditempelkan” kepada
akar zaitun untuk menerima kehidupan dan kekayaan rohani dan menjadi bagian dari umat beriman
(Rm 11:17). Konsekwensi logisnya bangsa non Yahudi tidak selayaknya bermegah terhadap bangsa
Yahudi terutama pengikut Mesias yang berasal dari Yahudi (Rm 11:18).

Sebagaimana telah dijelaskan bahwa abad ke-2 Ms menjadi saksi momentum perubahan
terhadap Gereja yang berakar pada Yudaisme. Gereja mulai tercabut dari akarnya setelah bangsa non
Yahudi diluar Yerusalem menerima Mesias. Mulailah muncul sikap-sikap kebencian dikalangan
Gereja di Roma terhadap kalangan Yahudi. Maka berbagai bentuk-bentuk ibadah berbingkai
Yudaisme mengalami perubahan. Mulailah muncul perayaan “Christmas” dan “Easter”, sebagai
pengganti “Tujuh Hari Raya Israel”. “Ibadah Hari Minggu” sebagai pengganti “Sabat”. Demikian
pula dengan “Ekaristi” sebagai pengganti “Seder Pesakh”, dll. Kesemua bentuk ini kelak disebut
dengan “Anti Semitisme” dan Replacement Theology (Teologi Pengganti). Kesemua wujud
perubahan ini mencerminkan sikap non Yahudi yang bermegah/menyombongkan diri dan berusaha
menggantikan posisi Israel/Yahudi secara lahiriah.

Mengapa non Yahudi tidak sepantasnya bermegah terhadap Israel jasmani? Pertama, akar
itulah yang menopang ranting dan bukan sebaliknya (Rm 11:18). Dalam terjemahan The Orthodox
Jewish Brit Chadsha, dituliskan: “But if some of the ana'fim have been broken off, and you, a wild
olive, have been grafted among them and have become sharer in the richness of the olive tree's root,
do not boast (4:2) over the ana'fim. If you do boast, it is not the case that you sustain the shoresh,
but the shoresh sustains you”23. Kata “sustain” bukan sekedar menopang namun secara terus menerus
menyediakan atau memberikan kekuatan dan kehidupan. Sikap yang Anti Semit maupun menganut

23
The Orthodox Jewish Brit Chadsha
www.beittikvahsynagogues.com
22 | Teguh Hindarto, M a z h a b Y u d e o K r i s t e n : D e f i n i s i , K o n s e p P e m i k i r a n ,
Sejarah, Metodologi Tafsir@IJI 2017

pemahaman “Replacement Teology” merupakan wujud bermegah atau menyombongkan diri


terhadap akar. Bahkan secara tidak langsung merendahkan kedudukan Mesias yang Yahudi adanya.

Hans Ucko menjelaskan dalam tulisannya: “Gereja Kristen, teologi Kristen dan Kekristenan
secara keseluruhan, tidak terpisahkan dengan umat Yahudi atau Yudaisme. Orang Yahudi dan
Kristen memiliki Kitab Suci yang sama. Iman Kristen lahir dalam lingkungan Yahudi. Gereja masih
saja ragu apakah kenyataan tersebut dinilai sebagai berkat atau kutuk. Sejumlah kecil orang Kristen
melihat hubungan diatas sebagai suatu masalah dan berupaya memecahkannya dengan membatasi
kitab Perjanjian Lama dan agama umat Israel di satu sisi dan Yudaisme di sisi lainnya. Dengan cara
ini, seseorang sebenarnya ‘membebaskan’ orang Israel dari keyahudiannya. Pendekatan tersebut
mencerminkan sebentuk rasa sulit bagi orang Kristen atas hubungannya yang terlalu dekat dengan
umat Yahudi dan dengan Yudaisme yang hidup saat ini. Seseorang memang tidak mudah mengakui
akibat dari memilih ‘Tuhan Yahudi’ itu”24. Demikian pula Nelly Van Doorn-Harder, MA.,
menjelaskan, “…proses melupakan warisan keyahudian ini berawal dari pengajaran mengenai
amanat Kristen diluar tanah asalnya sendiri, tanah Palestina, yakni ketika pesan Kristen ini
dikontekstualisasikan dengan cara menyerap budaya-budaya dan ide-ide lokal seperti ide-ide filsafat
Yunani…Dalam kenyataan, yang terjadi adalah para reformator bahkan membawa gereja keluar
jauh dari warisan aslinya karena mereka dipengaruhi oleh suatu budaya yang berorientasikan ilmu
pengetahuan sebagai hasil dari Renaisance. Sehingga keaslian sikap Kristen Yahudi yang senantiasa
berdialog secara konstan dengan Tuhan yang penuh simbol dan misteri, sama sekali hilang dari
kehidupan liturgi Protestan dan diganti oleh penekanan ala Protestan yakni doktrin…anti Yahudi
telah memberi andil terhadap paham (ide)] bahwa Kekristenan adalah sebuah agama yang betul-
betul asli dan tidak menggunakan unsur Yudaisme apapun. Melupakan akar-akar keyahudian,
memberikan konsekwensi-konsekwensi serius terhadap kehidupan liturgi Kristen. Bila orang-orang
Kristen tidak lagi memahami arti sepenuhnya latar belakang keyahudian dalam kehidupan liturgi
mereka, kontroversi-kontroversi seperti yang ada dalam interpretasi mengenai perjamuan kudus,
mulai nampak diantara orang-orang Kristen. Akibat dari kontroversi-kontroversi ini adalah
munculnya perpecahan-perpecahan dan aliran-aliran dalam gereja”25.

Kedua, Israel dipatahkan karena ketidakpercayaan mereka terhadap Mesias yang telah diutus
Tuhan Yahweh, sementara non Yahudi karena percaya pada Tuhan yang telah mengutus Mesias (Rm
11:20). Ketiga, jika cabang asli tidak dipatahkan maka non Yahudi belum tentu ditempelkan dan
mendapat kekayaan rohani dari Israel (Rm 11:21). Keempat, jika non Yahudi mengabaikan
kemurahan Yahweh, akan dipatahkan juga. Jadi meskipun non Yahudi ditempelkan dalam Akar
Zaitun dan mendapat kekayaan rohani, bukan bermakna kekal. Jika mereka memberontak, maka akan
dipatahkan pula (Rm 11:22). Kelima, Bangsa Israel akan ditempelkan kembali dengan akar zaitun
(Rm 11:24), setelah bangsa-bangsa non Yahudi menerima Mesias, maka semua Israel akan
diselamatkan (Rm 11:25-27).

24
Hans Ucko., Akar Bersama: Belajar tentang Iman Kristen dari Dialog Kristen-Yahudi, Jakarta: BPK, 1999,
hal 5
25
Nelly Van Doorn-Harder, MA., Akar-akar Keyahudian dalam Liturgi Kristen, dalam : Jurnal Teologi
GEMA Duta Wacana, no 53, Yogyakarta: 1998, hal 72-73
23 | Teguh Hindarto, M a z h a b Y u d e o K r i s t e n : D e f i n i s i , K o n s e p P e m i k i r a n ,
Sejarah, Metodologi Tafsir@IJI 2017

Mengakui sumber keselamatan berasal dari Israel

Yesus Sang Mesias secara manusia adalah keturunan Yahuda (Ibr 7:14), dilahirkan di
Betlehem (Mik 5:1), dinubuatkan kedatangan-Nya oleh nabi-nabi Israel (Ul 18:37-38, Yes 7:14).
Suka atau tidak suka, keselamatan yaitu kehidupan kekal karena dipulihkannya hubungan manusia
dengan Tuhan akibat kutuk dosa yang mendatangkan maut, berasal dari Yahudi. Mengapa? Karena
dari suku Yahudi, telah lahir Mesias. Dia yang diurapi untuk melakukan karya penyelamatan terhadap
dunia dan manusia. Berbagai upaya untuk membuat Yesus terlihat seperti orang Eropa, seperti orang
Yunani, seperti orang Negro, seperti orang Asia, dll. Sikap demikian mencerminkan suatu sikap yang
secara sadar atau tidak sadar enggan mengakui Keyahudian Mesias. Ada banyak faktor dan motif
dibelakang sikap-sikap demikian. Bisa karena motif politis, bisa karena motif kultural, motif religius
dll.

Fenomena ini dikomentari oleh Hans Ucko sbb: “Adalah menarik mengamati bagaimana
orang-orang Kristen dibanyak tempat berupaya menjadikan Yesus sebagai salah seorang dari
kelompok mereka, seolah Yesus hidup dalam kebudayaan dan keprihatinan yang sama dengan
mereka. Yesus menjadi Yesus orang Afrika, Yesus orang Palestina, Yesus orang Amerika Latin. Hal
ini memang perlu, sebab upaya tadi memperkaya kekristenan. Namun, akibatnya terkadang orang
lupa siapa Yesus yang sesungguhnya. Baru akhir-akhir inilah ada upaya mengembalikan Yesus
kedalam keyahudian-Nya”26. Senada dengan penjelasan diatas, Anton Wessel memberikan
keterangan: “Yesus bukan orang Kristen, tetapi orang Yahudi! Ucapan Jullius Wellhausen ini
menjadi terkenal dan sering dikutip orang. Pernyataan ini pada dasarnya sangat sederhana dan
jelas, sekalipun tidak dapat dikatakan bahwaq orang Kristen selalu menyadari betapa luas arti
pernyataan ini. Ungkapan ini menyatakan-betapa mungkin secara mengejutkan-betapa sering orang
Kristen kira, bahwa mereka sudah memahami dan mengetahui seluruh pribadi-Nya. Mereka lupa
bahwa ‘keselamatan datang dari bangsa Yahudi’, sebagaimana terungkap dalam percakapan Yesus
di sumur dengan perempuan Samaria itu (Yoh 4:22)”27.

Beberapa tahun silam, saya menerima selebaran perihal sebuah seminar yang akan
dilangsungkan di Surabaya yang konon dilaksanakan secara besar-besaran dalam rangka Perayaan
Pondok Daun (Sukkot) dengan tema, “Perbedaan Yudaisme dan Kekristenan”. Saya sangat
menyayangkan pemilihan tema tersebut. Mengapa? Mengesankan kontradiktif. Di satu sisi ada
keinginan untuk melakukan rekontsruksi dan mengembalikan akar Ibrani atau akar Semitik Yudaik
Kekristenan dengan memulihkan tujuh hari raya Yahweh yang salah satunya adalah Sukkot atau
Pondok Daun. Namun tema yang dipilih mengesankan kontradiksi dengan perayaan yang justru
menekankan harmonisasi Yudaisme dan Kekristenan. Seharusnya tema yang selaras dengan ibadah
Sukkot adalah “Persamaan Yudaisme dan Kekristenan” atau “Menemukan Akar Yudaisme iman
Kristen” dan tema-tema sejenis.

Kembali kepada istilah Kristen Semitik (Semitic Christian) dan Kristen berakar Yudaisme
(Judeo Christianity). Dalam pengkajian sebelumnya telah diuraikan bahwa Gereja dan Kekristenan
telah mengalami disorientasi historis, disorientasi dogmatik, disorientasi devosi. Oleh karenanya
dengan Kristen Semitik (Semitic Christian) dan Kristen berakar Yudaisme (Judeo Christianity)

26
Op.Cit., Akar Bersama, hal 6-7
27
Anton Wessel, Memandang Yesus : Gambar Yesus Dalam Berbagai Budaya, Jakarta : BPK, 1990, hal 19
24 | Teguh Hindarto, M a z h a b Y u d e o K r i s t e n : D e f i n i s i , K o n s e p P e m i k i r a n ,
Sejarah, Metodologi Tafsir@IJI 2017

sebagai model, maka saya melakukan berbagai rekonstruksi dengan memulihkan berbagai unsur yang
hilang dalam kekristenan. Beberapa bentuk rekonstruksi dan restorasi tersebut meliputi: (1)
Pemulihan nama Yahweh dalam terjemahan Kitab Suci dan devosi Kristiani (2) Penerapan hukum
dan aturan serta ketetapan Yahweh dalam Torah sebagai landasan perilaku pengikut Yesus Sang
Mesias (3) Pemulihan pilar-pilar ibadah Kristiani yang meliputi Tefilah (ibadah harian), Sabat (ibadah
pekanan), Rosh Kodesh (ibadah bulanan), Sheva Moedim (ibadah tahunan). (3) Pola penafsiran Kitab
Suci yang melibatkan tafsir-tafsir yang telah dikembangkan dalam Yudaisme dengan pendekatan pola
pikir Ibrani (Hebraic Thinking).

Metodologi Hermeneutik

Hermeneutik bermakna ilmu menafsirkan Kitab Suci. Judeochristianity sebagai sebuah


mazhab dalam Kekristenan tentu saja memiliki metodologi dan kerangka berfikir hermeneutis. Ada
banyak metode dalam melakukan proses penafsiran Kitab Suci yang diajarkan dalam berbagai
sekolah teologia. Pdt. Hasan Sutanto, MTh. Memberikan bentangan informatif mengenai beragam
metode tafsir yang terbentang dari sejak zaman Ezra, Rabbinik sampai abad modern29. Secara umum,
berbagai metode tafsir yang saat ini masih diberlakukan di berbagai sekolah teologia adalah:30

1. Textual Criticsm (Menyelidiki kata-kata asli atau dalam teks Kitab Suci)

2. Historical Criticsm (Menyelidiki latar belakang dan konteks dimana Kitab Suci dituliskan)

3. Grammatical Criticsm (Menyelidiki struktur bahasa yang meliputi tata bahasa, dalam teks
Kitab Suci)

4. Literary Criticsm (Menyelidiki susunan, struktur, gaya bercerita suatu teks dalam Kitab Suci)

5. Form Criticsm (Menyelidiki gaya sastra dan fungsi suatu teks dalam Kitab Suci)

6. Tradition Criticsm (Menyelidiki tahapan penyusunan suatu teks dalam Kitab Suci)

7. Redaction Criticsm (Menyelidiki sudut pandang akhir dan kanonik serta teologi dalam suatu
teks Kitab Suci)

Tidak ada satupun metode-metode tersebut yang sempurna. Maka dengan melakukan sintesa
diantara berbagai metode penafsiran, akan dihasilkan sudut pandangan atau penafsiran yang
mendekati kesempurnaan. Metode-metode diatas tidak perlu dibuang dan ditiadakan dikarenakan
semata-mata dipengaruhi pola pikir Helenis yang rasionalistik,namun perlu disintesakan dengan pola
penafsiran hebraic yang telah dikerjakan sejak zaman rabbinik pra Mesias maupun dizaman Mesias.
Pola Yahudi kuno memiliki sistem penafsiran Kitab Suci yang disebut “PaRDeSh”. Secara literal
bermakna “taman” namun sebenarnya istilah tersebut merupakan akronim dari :31

29
Pdt. Hasan Sutanto, MTh Hermeneutik : Prinsip & Metode Penafsiran Alkitab, Malang : SAAT, 1991, hal
29-110
30
John H. Hayes & Carl R. Holladay, Biblical Exegesis: A Beginner’s Handbook, Atlanta: John Knox Press,
1982
31
DR. James Trimm, PaRDeS: The Four Levels of Understanding the Scriptures, www.nazarene.net
25 | Teguh Hindarto, M a z h a b Y u d e o K r i s t e n : D e f i n i s i , K o n s e p P e m i k i r a n ,
Sejarah, Metodologi Tafsir@IJI 2017

1. Peshat (Menyelidiki teks yang tersurat)

2. Remez (Menyelidiki makna yang tersembunyi dalam teks)

3. Drash (Menyelidiki makna suatu perikop dalam kaitannya dengan khotbah, pengajaran, dll)

4. Shod (Menyelidiki aspek gematria {angka-angka} yang tersembunyi dan mengandung pesan
yang harus dipecahkan)

Yang tidak kalah menariknya adalah metode Hillel dalam menafsirkan yang terkenal dengan
sebutan “Tujuh Aturan Hillel” yang terdiri dari :32

1. Qal wa Khomer (Berat dan Ringan)

2. Gezerah Shawah (Persamaan kalimat)

3. Binyan Zb Mikatuv Ekhad (Membangun suatu pernyataan dari satu teks pendukung)

4. Binyan Ab Mishene Kethuvim (Membangun suatu pernyataan dari satu atau lebih teks
pendukung)

5. Kelal u Ferat (Umum dan Khusus)

6. Kayotse bo mimemom ahar (Analogi yang dibuat berdasarkan teks yang berbeda)

7. Davar Milmad ha Anino (Penjelasan berdasarkan konteks teks)

Berbagai metode diatas dapat disintesakan sehingga menghasilkan pola penafsiran yang
berakar pada keyahudian tanpa kehilangan warisan penafsiran yang telah dipelihara oleh berbagai
sekolah teologi. Jika diringkaskan, kerangka berfikir hermeneutis mazhab Judeochristianity
memiliki sejumlah asumsi sbb: Pertama, memahami Yudaisme Abad I Masehi. Tanpa
pemahaman latar belakang keagamaan Yudaisme Abad 1 Ms dan latar belakang kebudayaan
Yahudi pada zaman itu, maka kita akan kerap gagal memahami pesan-pesan yang tertulis dalam
Kitab Perjanjian Baru karena banyak perkataan Yesus, ajaran Yesus, perumpamaan Yesus yang
terekam dalam keempat Injil dibungkus dalam idiom Ibrani sekalipun dikisahkan dalam bahasa
Yunani.

Demikian pula surat-surat rasuli baik rasul Paul, rasul Yakobus, rasul Yudas dll35. Michael
D. Marlowe dalam artikelnya The Semitic Style of the New Testament menjelaskan sbb:
“Meskipun bahasa Kitab Perjanjian Baru secara mendasar adalah bahasa koine atau bahasa
Yunani yang umum dipergunakan saat kitab ini dituliskan, namun para penulis Kitab Perjanjian
Baru, menuliskan dalam corak Hebraik atau Semitik yang tidak sepenuhnya bersifat idiomatik
Yunani. Karakter bercorak khas ini meliputi beberapa bagian seperti, tata bahasa, kalimat, arti
kata dan ciri-ciri yang bersifat retorika suatu naskah. Contoh-contoh khusus corak khas ini,

32
The Seven Rules of Hillel,
www.nazarene.net
35
Teguh Hindarto, Jejak Kaki Sang Rabi, Indonesia Judeochristianity Institute 2014, hal 295
26 | Teguh Hindarto, M a z h a b Y u d e o K r i s t e n : D e f i n i s i , K o n s e p P e m i k i r a n ,
Sejarah, Metodologi Tafsir@IJI 2017

secara kebahasaan dinamai Hebraism atau secara lebih luas, Semitism (sebuah istilah yang
meliputi pengaruh-pengaruh Aramaik sebagaimana pula Ibrani)”36. DR. David Stern penulis
Jewish New Testament Commentary menegaskan, “Traditional rabbinic viewpoint are an
essential element to take into account in understanding the text of the New Testament” 37(Sudut
pandang tradisional rabinik merupakan elemen dasar untuk mendapatkan pengertian yang jelas
mengenai naskah Kitab Perjanjian Baru).

Mempelajari latar belakang agama dan kebudayaan Yudaisme Abad 1 Masehi meliputi hal-
hal berikut:

1. Mempelajari tradisi Rabbinik Yudaik

Dalam Kitab Perjanjian Baru, kita akan menemui sejumlah pernyataan atau kalimat
yang asing ditelinga kita namun tidak asing jika didengar oleh orang Yahudi pada Abad 1 Ms,
karena berbagai idiom khas tersebut menjadi bagian dari diskusi rabbinik. Sebagaimana kita
dapat melihat dalam Matius 5:17-48 dimana Yahshua selalu membuat tanggapan terhadap
pernyataan yang sebelumnya telah berlaku dengan berkata, “engkau telah mendengar”
(shematem) namun aku berkata kepadamu (Ani omer attem, HNT)”.

Berbagai kalimat atau ungkapan khas Yahudi tersebut dinamakan idiom. Beberapa
idiom Ibrani dalam Kitab Perjanjian Baru al, “mata baik dan mata buruk” (Mat 6:22-23),
“mengikat dan melepas” (Mat 16:19), “letakkan kata-kata ini ditelingamu” (Luk 9:44),
“membatalkan Torah dan menggenapi Torah” (Mat 5:17). David Bivin & Roy Blizzard telah
mengulas secara ilmiah mengenai temuan idiom-idiom hebraic yang tertulis dalam Kitab
Perjanjian Baru. Kegagalan memahami makna idiom hebraic, mengakibatkan terjemahan
yang keliru dan penafsiran teologi yang keliru33.

2. Memberi bobot secara proporsional terhadap pengkajian kebahasaan

Dalam berbagai sekolah teologi, terkadang tekanan diberikan pada penguasaan bahasa
Yunani daripada Ibrani. Hal ini disebabkan oleh adanya anggapan yang telah tersebar luas
bahwa Kitab Perjanjian Baru mula-mula ditulis dalam bahasa Yunani. Maka diperlukan
penguasaan terhadap bahasa Yunani untuk melakukan penafsiran terhadap teks. Tidak jarang
terjadi, bahwa mata pelajaran bahasa Yunani dan Ibrani terkadang hanya menjadi mata
pelajaran sekunder dan kurang mendapat perhatian seutuhnya, sehingga menghasilkan
penguasaan materi yang sepenggal-sepenggal dan bersifat pasif. Kedua mata pelajaran bahasa
Ibrani dan Yunani, mutlak dikuasai oleh mereka yang menggeluti dunia teologia. Tanpa
penguasaan bahasa, kita akan gagal memahami maksud teks, idiom kalimat, sehingga
mengakibatkan penafsiran yang menyimpang dari masud teks dan konteksnya.

36
Michael Marlowe, The Semitic Style of the New Testament
http://www.bible-researcher.com/hebraisms.html
37
DR. David Stern, Jewish New Testament Commentary JNTP, 1998, p. 33
33
David Bivin & Roy Blizzard, Understanding the Difficult Words of Jesus, New Insight From a Hebraic
Perspective, Destiny Image Publishers & Center for Judais-Christian Studies, 1994, p.81-128
27 | Teguh Hindarto, M a z h a b Y u d e o K r i s t e n : D e f i n i s i , K o n s e p P e m i k i r a n ,
Sejarah, Metodologi Tafsir@IJI 2017

3. Memperluas pengkajian sejarah Yudaik, pada masa Intertestamental

Yang dimaksud dengan zaman atau masa Intertestamental adalah: “zaman sepanjang
empat ratus tahun antara maleakhi sampai kelahiran Mesias. Sumber-sumber informasi
utama untuk zaman ini adalah kita-kitab Makabe yang menceritakan tentang pemberontakan
yang dipimpin oleh wangsa Makabeus serta kekacauan yang terjadi di tanah Palestina waktu
itu dan tulisan-tulisan Yosefus, sejarawan Yahudi abad pertama”34.

Mengapa penelitian dan pendalaman terhadap zaman Intertestamental ini diperlukan?


Robert dan Remy Koch menjelaskan sbb: “It is important for both Jews and Christians to
understand the silent period between the last TaNaKh (Old Testament) Prophets and the
writings of the Brit Chadasha (New Testament) because the five hundred year period formed
the foundation of both modern Rabbinic Judaism and Messianic Judaism (the Nazarenes) of
which Christianity is a branch. One truly cannot comprehend the Brit Chadasha (New
Testament) without knowing something about the time, religious customs and conroversies,
social custom and attitudes of the Jewish population in general”35 (Adalah penting bagi kedua
pihak, yakni kaum Yahudi dan Kristiani untuk memahami periode ‘kesunyian’ yang terentang
dari akhir TaNaKh, nabi-nabi hingga penulisan Kitab Perjanjian Baru, sebab periode waktu
lima ratus tahun ini, merupakan dsar terbentuknya baik Yudaisme Rabbinik modern maupun
Mesianik Yudaisme, yang mana merupakan akar dari Kekristenan. Belumlah lengkap
pemahaman seseorang mengenai Perjanjian Baru tanpa mengetahui sesuatu yang berkaitan
dengan waktu, kebiasaan agama dan perdebatan-perdebatan, kebiasaan masyarakat dan
berbagai sikap komunitas Yahudi secara umum pada waktu itu).

Selanjutnya Robert dan Remy Koch melanjutkan: “By studyng this period, Jews and
Christians will be able to discern the doctrine of the Messiah, Shaul (Paul) and the other
writers of the Brit Chadasha (New Testament) based only on accurate understanding of
history and Biblical Judaism. The Brit Chadasha will be put back into the original time and
place. Context must determine content”36 (dengan mempelajari periode waktu ini, maka baik
orang Yahudi maupun Kristiani akan mampu membedakan pengajaran Mesias, pengajaran
Rasul Shaul {Paul} dan penulis Kitab Perjanjian Baru lainnya, yang didasarkan pada
pemahaman yang tepat terhadap sejarah dan Yudaisme Biblikal. Kitab Perjanjian Baru akan
diletakkan selayaknya pada ruang dan waktu yang mula-mula. Konteks akan menentukan
isinya).

4. Mempelajari Talmud Sebagai Kekayaan Literatur Rabinik

Talmud didefinisikan sebagai: “is a record of rabbinic discussions pertaining to


Jewish law, ethics, customs and history. The Talmud has two components: the Mishnah (c.
200 CE), the first written compendium of Judaism's Oral Law; and the Gemara (c. 500 CE),
a discussion of the Mishnah and related Tannaitic writings that often ventures onto other

34
J.I. Packer dkk., Dunia Perjanjian Baru, Gandum Mas, 1993, hal 3
35
Robert dan Remy Koch , Christianity: New Religion or Sect of Biblical Judaism?, Palm Beach Gardens,
Florida: A Messenger Media Publication, p.89
36
Ibid., p. 90-91
28 | Teguh Hindarto, M a z h a b Y u d e o K r i s t e n : D e f i n i s i , K o n s e p P e m i k i r a n ,
Sejarah, Metodologi Tafsir@IJI 2017

subjects and expounds broadly on the Tanakh. The terms Talmud and Gemara are often used
interchangeably. The Gemara is the basis for all codes of rabbinic law and is much quoted in
other rabbinic literature. The whole Talmud is also traditionally referred to as Shas (a
Hebrew abbreviation of shisha sedarim, the "six orders" of the Mishnah)”38. Artinya,
“Talmud merupakan kumpulan diskusi-diskusi rabinik yang menyinggung mengenai hukum
Yahudi, etika, kebiasaan dan sejarah. Talmud terdiri dari dua susunan: Misnah (200 Ms)
kumpulan tulisan pertama dari Hukum Lisan Yahudi dan Gemara (500 Ms) sebuah diskusi
mengenai Mishnah dan berhubungan dengan tulisan-tulisan Tannaitik yang terkadang
melibatkan suatu spekulasi mengenai topik lain dan memperluas kajian dalam TaNaKh.
Istilah Talmud dan Gemara dapat dipakai secara bergantian. Gemara adalah dasar bagi
keseluruhan pemecahan masalah hukum Yahudi dan banyak dikutip dalam literatur rabinik.
Keseluruhan Talmud terkadang disebut dengan Shas (singkatan Ibrani dari shisha sedarim
“enam urutan” dari Mishnah).

Talmud memiliki dua versi. Versi Babilonia dan versi Yerusalem. Talmud Babilonia
lebih lengkap dan tebal. Misnah terdiri atas enam pokok bahasan (sedarim) yaitu Zeraim
(mengenai benih tanaman), Moed (mengenai perayaan), Nashim (mengenai wanita), Nezikin
(mengenai persoalan yang dilarang), Kodashim (mengenai perkara yang kudus), Toharot
(mengenai ritual penyucian diri). Disetiap topik bahasan (sedarim) terdiri dari banyak sub
bahasan (masekhot). Keseluruhannya ada 63 masekhot dalam Misnah39. Susunan Talmud
sebagaimana dijelaskan di atas sbb:40

a) SEDER ZERA‘IM

Tractate Berakoth

b) SEDER MO‘ED

Tractate Shabbath

c) SEDER NASHIM

Tractate Yebamoth
Tractate Kethuboth
Tractate Nedarim
Tractate Nazir
Tractate Sotah
Tractate Gittin

38
Talmud
http://en.wikipedia.org/wiki/Talmud
39
Tracey R. Rich, Torah, 1995-1999, www.jewfaq.org
40
The Babylonian Talmud, Rabbi Dr. Isidore Epstein of Jews’ College, London, http://www.come-and-
hear.com/talmud
29 | Teguh Hindarto, M a z h a b Y u d e o K r i s t e n : D e f i n i s i , K o n s e p P e m i k i r a n ,
Sejarah, Metodologi Tafsir@IJI 2017

d) SEDER NEZIKIN

Tractate Baba Kamma


Tractate Baba Mezi‘a
Tractate Baba Bathra
Tractate Sanhedrin
Tractate ‘Abodah Zarah
Tractate Horayoth

e) SEDER KODASHIM

f) SEDER TOHOROTH

Tractate Niddah
Tractate Tohoroth

Eksistensi Talmud, mendapat tentangan, baik dari kalangan Yahudi sendiri, maupun
Islam serta Kekristenan. Kaum Saduki menolak keberadaan Talmud, demikian pula dengan
kaum Karaites serta Haskalah. Mereka beranggapan bahwa Talmud mengekang atau
mencegah seseorang memperoleh kesadaran pencerahan41. Sementara kalangan Islam
menerbitkan buku berjudul, Talmud: Kitab Hitam Yahudi Yang Menggemparkan42.
Kekristenan Romawi dan khususnya era Reformasi Luther, memberikan penilaian negatif
terhadp eksistensi Talmud dan menyebutnya sebagai “penyembahan berhala”, “kutukan”,
“ajaran yang menghujat”43

Peranan dan Kedudukan Talmud Sebagai Instrumen Memahami Latar Belakang


Keagamaan Pra Kristen

Sejauh mana Talmud memiliki signifikasi bagi Pengikut Mesias (baik itu Mesianik,
Kristen, Katholik, Orthodox, Protestan, Advent, Baptis, Pentakosta, Kharismatik, dll)?
Pertama, Talmud memberikan informasi mengenai latar belakang sejarah keyahudian dan
Yudaisme pra Mesias. Shmuel Safrai menjelaskan mengenai peranan Talmud: “There are no
complete historical books in the talmudic tradition, but there is a wealth of varied information
from all facets of public and private social life and spiritual life in the Temple, the synagogue
and the house of study. Likewise we can glean facts from talmudic literature regarding trade
and economics, agriculture, craftmanship, the life of the sages and of the common man,
urban-rural relations and relations between Eretz Israel and the Diaspora. The hakahot,
aggadot, dialogues and debates reflect both the home and the marketplace, the wealthy and
the poor, weekdays, sabbaths and festivals-in fact every aspects of human life in all its variety

41
Rachmiel Frydland, When Talmud is Right
http://www.menorah.org/whentlir.html
42
Prof. DR. Muhammad Abdullah ass Syarqawie, Talmud: Kitab Hitam Yahudi Yang Menggemparkan,
Jakarta: SAHARA Publishers, 2004, hal 239-243
43
Anti-Semitism of the Church Father
http://www.yashanet.com/library/fathers.htm
30 | Teguh Hindarto, M a z h a b Y u d e o K r i s t e n : D e f i n i s i , K o n s e p P e m i k i r a n ,
Sejarah, Metodologi Tafsir@IJI 2017

and formas of expression”44 (Tidak ada buku sejarah yang lengkap dalam tradisi Talmudik
namun di dalamnya ada berbagai informasi yang melimpah dari berbagai bentuk kehidupan
sosial dan spiritual masyarakat di Bait Suci, Sinagog-sinagog dan rumah belajar. Agaknya
kita dapat mengumpulkan fakta-fakta dari literatur Talmudik mengenai jual beli dan
perekonomian, ketrampilan, kehidupan para kaum bijaksana, dan orang biasa, hubungan kota
dan desa serta hubungan Tanah Israel dan Diaspora”. Dengan membaca Talmud, kita dapat
memetakan dan merekonstruksi latar belakang sejarah Yudaisme pra Mesias dan bagaimana
para rabbi mengapresiasi TaNaKh dalam zamannya).

Kedua, Talmud memberikan keterangan mengenai aplikasi suatu ayat dalam TaNaKh
yang tidak dimengerti oleh pembaca TaNaKh Abad XXI. Contoh, Keluaran 20:10
memerintahkan, "Lo taasheh kal melaka, Atta ubeneka ubiteka avdeka waamateka
ubehemteka wegerka asher bishareka". Orang beriman tidak diperbolehkan bekerja di hari
Shabat. Kata "Bekerja" dalam ayat ini diterjemahkan dari kata Melakha. Bukan sekedar
bekerja biasa namun, "suatu pekerjaan yang bersifat menciptakan atau menguasai terhadap
sesuatu"45. Kata ini berhubungan dengan kata Melekh (Raja). Yudaisme mengatur mengenai
Melakha yang tidak boleh dikerjakan, dalam Mishnah Sabat 7:2, sbb:46

1. Sowing (menabur benih)


2. Plowing (membajak)
3. Reaping (memungut tuaian)
4. Binding sheaves (mengikat berkas)
5. Threshing (mengirik)
6. Winnowing (menampi)
7. Selecting (menyeleksi)
8. Grinding (menggiling)
9. Sifting (mengayak, menampi)
10. Kneading (membuat adonan)
11. Baking (membakar)
12. Shearing wool (mencukur wool)
13. Washing wool (mencuci wool)
14. Beating wool (memukul /menumbuk wool)
15. Dyeing wool (mencelup wool)
16. Spinning (memintal)
17. Weaving (menenun, menganyam)
18. Making two loops (membuat dua potongan)
19. Weaving two threads (menganyam dua benang)
20. Separating two threads (memisahkan dua benang)
21. Tying (mengikat)
22. Untying (membuka)
23. Sewing two stitches (menjahit dua jahitan)
24. Tearing (menyobek)

44
Shmuel Safrai, Talmudic Literature as an Historical Source for the Second Temple Period, Jerusalem School
of Synoptic Studies, MISHKAN ISSUES No 17/18, 1992-1993
45
Tracey R. Rich, Shabat, 1995-2005, www.jewfaq.org
46
Ibid.,
31 | Teguh Hindarto, M a z h a b Y u d e o K r i s t e n : D e f i n i s i , K o n s e p P e m i k i r a n ,
Sejarah, Metodologi Tafsir@IJI 2017

25. Trapping (menjerat binatang)


26. Slaughtering (menyembelih)
27. Flaying (menguliti)
28. Salting meat (mengasini makanan)
29. Curing hide (merawat kulit)
30. Scraping hide (memarut kulit)
31. Cutting hide up (memotong kulit)
32. Writing two letters (menulis dua surat)
33. Erasing two letters (menghapus dua surat)
34. Building (membangun)
35. Tearing a building down (membongkar bangunan)
36. Extinguishing a fire (memadamkan api)
37. Kindling a fire (mengumpulkan kayu untuk perapian)
38. Hitting with a hammer (memukul dengan palu)
39. Taking an object from the private domain to the public, or transporting an object in
the public domain. (menggunakan benda /alat transportasi yang digunakan untuk
kepentingan umum)

Kategorisasi diatas, menolong kita untuk mengenali berbagai aktivitas yang


dikategorikan dengan melakha. Halakha rabinik diatas merupakan penafsiran para rabbi
Yahudi untuk menolong umat dalam mengklasifikasikan apa yang tidak boleh dikerjakan.
Walapun demikian, kategorisasi di atas dapat mengesankan legalistik dan menjadi kuk, jika
tidak disertai pemahaman yang benar mengenai hakikat Torah dan hakikat Kasih Karunia
YHWH.

Torah sendiri tidak memberikan kategorisasi yang spesifik. Agar tidak terjebak
praktek yang bersifat legalistik (ketaatan pada hukum yang berlebihan, sehingga mengabaikan
essensi hukum itu sendiri), kita harus memperhatikan apa yang diajarkan Mesias, "Sabat
untuk manusia dan bukan manusia untuk hari Sabat" (Mrk 2:27). Apa artinya? Sabat
hendaklah bukan menjadi beban atau kuk yang memenjarakaan kehidupan orang beriman
karena Sabat diperuntukkan bagi manusia untuk beristirahat dan beribadah secara personal
dan komunal kepada Yahweh. Bahaya melakukan berbagai kategorisasi secara kaku dan
mutlak tanpa memperhatikan konteks waktu dan tempat, dapat menimbulkan bahaya
legalistik.

Ketiga, memberikan informasi mengenai pararelisasi antara Yudaisme dengan ajaran


Yesus dalam Kitab Perjanjian Baru, dlam batas-batas tertentu. DR. David Stern menerbitkan
Jewish New Testament Commentary yang berusaha mensinergikan sumber-sumber literatur
Yahudi kuno dan kontemporer, untuk mendapatkan pemahaman yang utuh mengenai latar
belakang dan kesamaan ucapan Yesus dengan beberapa ajaran para rabbi. Dalam bukunya,
Stern menjelaskan: “My own purpose in these notes that draw on Jewish writings is neither
to prove that the New Testament copied rabbinic Judaism nor the opposite, but simply to
present a sampling of the many parallels”47 (Tujuan saya dengan menyertakan tulisan-tulisan
Yahudi, bukanlah untuk membuktikan bahwa Kitab Perjanjian Baru meniru rabinik Yudaisme

47
DR. David Stern, Jewish New Testament, Clarksville, Maryland: Jewish New Testament Publications, 1992,
p.xii
32 | Teguh Hindarto, M a z h a b Y u d e o K r i s t e n : D e f i n i s i , K o n s e p P e m i k i r a n ,
Sejarah, Metodologi Tafsir@IJI 2017

bukan pula menentangnya, namun sebenarnya untuk menunjukkan contoh mengenai


banyaknya kesamaan-kesamaan). Beberapa contoh kesamaan tersebut dalapat dilihat dalam
beberapa perkataan Yesus. Dalam Matius 6:7 Yesus mengatakan: “Lagipula dalam doamu
itu janganlah kamu bertele-tele seperti kebiasaan orang yang tidak mengenal Tuhan. Mereka
menyangka bahwa karena banyaknya kata-kata doanya akan dikabulkan”. Pernyataan ini
setara dengan apa yang pernah diucapkan rabi-rabi Yahudi dalam Mishnah Avot 2:1-3 sbb:
“Rabbi Shim’on berkata, ‘…Ketika kamu berdoa, janganlah membuat doamu kaku (berulang-
ulang, mekanis) namun naikkanlah dengan kerendahan hati dan keindahan di hadapan Yang
Maha Ada, diberkatilah Dia”48.

Demikian pula dengan Berakhot 61a sbb: “Ketika kamu menghampiri Yang Maha
Kudus, diberkatilah Dia, biarlah kata-katamu sedikit”49. Bahkan ucapan Yesus yang dikenal
oleh “Kekristenan” dengan sebutan “Golden Rule” atau “Hukum Emas” ternyata memiliki
paralelisasi dengan tulisan-tulisan Apokripha Yahudi seperti Tobit 4:15 sbb: “Apa yang tidak
kausukai sendiri, janganlah kauperbuat kepada siapapun. Jangan minum anggur sampai
mabuk dan kemabukan jangan menyertai dirimu di jalan”50

Talmud melaporkan sebuah peristiwa pertemuan antara seorang kafir Romawi dengan
Hillel dan Shamai dalam Mishnah Shabat 31a sbb: “Seorang penyembah berhala mendatangi
Shamai dan berkata kepadanya, ‘Buatlah aku menjadi seorang Proselite (orang yang
mengikut agama Yudaisme), namun dengan syarat bahwa engkau mengajarkan kepadaku
keseluruhan Torah, sementara Aku berdiri pada salah satu kaki! Shammai mengusirnya
dengan tongkat pengukur bangunan di tangannya. Ketika penyembah berhala tersebut
menemui Hillel, dan mengucapkan perkataan yang sama, maka Hillel menjawabnya, ‘Apa
yang kamu benci, janganlah kamu melakukannya pada sesamamu. Inilah keseluruhan Torah.
Sisanya hanyalah penjelasan. Pergi dan lakukanlah!”51

Perbedaan antara ucapan Yesus dengan Hillel, bahwasanya Yesus mengucapkan


dalam bentuk positip, “apa yang orang lain ingin lakukan kepadamu, lakukanlah demikian”,
sementara Hillel mengucapkan dalam bentuk negatif, “Apa yang kamu tidak ingin orang lain
lakukan terhadap dirimu, maka kamupun jangan melakukan demikian”.

Ariel dan D’vorah Berkowitz menjelaskan sbb: “Finally, reading and studyng the oral
Torah lends tremendous insight into the minds of the great Jewish sages. As we learn what
they thought, what they felt and how they looked at life, we will be better able to appreciate
the Jewish sensibility throughtout the ages. It is hope that this would help to curb the Anti
Semitsm which has run rampant through much of the Church’s history”52 (Akhirnya,

48
Ibid., p.31
49
Ibid.,
50
Deuterokanonika Terjemahan Baru, Lembaga Biblika Indonesia, 1976, Alkitab Elektronik Indonesia Seri
2.0.0
51
Ibid., p. 33
52
Ariel & D’vorah Berkowitz Torah Rediscoverd, Hampton: Shoreshim Publishing, 1996, p. 94
33 | Teguh Hindarto, M a z h a b Y u d e o K r i s t e n : D e f i n i s i , K o n s e p P e m i k i r a n ,
Sejarah, Metodologi Tafsir@IJI 2017

membaca dan mempelajari Torah lisan memberi pemahaman yang luar biasa ke dalam
pemikiran para rabi Yahudi. Demikianlah kita belajar mengenai apa yang mereka pikirkan,
apa yang mereka rasakan dan bagaimana mereka memandang kehidupan. Kita akan lebih
mampu untuk memahami perasaan orang Yahudi sepanjang zaman. Harapannya hal ini akan
menolong mengendalikan sikap Anti Semitisme yang telah merajalela sepanjang sejarah
gereja)53.

5. Memahami cara pandang (world view/mindset) Ibrani.

Tim Hegg menjelaskan mengenai cara pandang Ibrani sbb: “To think Hebraically
means to think like a Hebrew did in ancients times. Why would this be important? Because
the Scriptures, for the most part, were written by Hebrews (Jews). In fact, only Luke of all the
writers of Scriptures was not a Jew by birth (at least by modern scholarly opinion). Thus, if
we’re going to understand the manner of speech, the way words are used, and the way
important issues of life are described by someone in the Hebrew culture, we must understand,
in general terms, how the Hebrew people thought-how they looked at life-their world view”
54
. (Berpikir secara Ibrani berarti berpikir sebagaimana orang Ibrani berpikir pada zaman
lampau. Mengapa hal ini demikian penting? Karena sebagain besar isi Kitab Suci, dituliskan
oleh orang-orang Ibrani. Sebenarnya, hanya Lukas dari keseluruhan penulis Kitab Suci yang
bukan seorang Yahudi berdasarkan kelahirannya (setidaknya menurut pendapat sarjana
modern). Agar kita dapat memahami yaitu cara berbicara, mengenai kata-kata yang
dipergunakan serta pentingnya persoalan-persoalan kehidupan yang digambarkan oleh
seseorang dalam kebudayaan Ibrani, maka kita harus memahami dengan istilah umum,
mengenai bagaimana orang Ibrani berpikir, bagaimana mereka melihat kehidupan -
pandangan dunia yang mereka miliki). Dalam artikelnya, Tim Hegg menjelaskan beberapa
ciri khas cara pandang Ibrani sbb:55

a) Down to earth-action oriented (prinsip berorientasi pada tindakan)

Kebenaran: Bukan sekumpulan gagasan (ide) melainkan pengalaman. Saya


menjelaskan kepadamu mengenai kebenaran melalui apa yang telah terjadi dalam
sejarah

Nilai : Jangan katakan pada saya apa yang akan kamu kerjakan namun
tunjukkan pada saya apa yang telah kamu kerjakan

Konsep : Berorientasi pada tindakan, kongkrit bukan abstrak. Dalam bahasa


Ibrani, kata kerja muncul mendahului dalam struktrur kalimat. Banyak konsep
diekspresikan dengan istilah-istilah yang tegas al;

53
Terkait persoalan Anti Semitisme dapat membaca kajian saya di sini:
54
Interpreting the Bible: An Introduction to Hermeneutics, TorahResources.com Distance Learning Yeshiva,
2000, p. 20
55
Ibid., p.20-23
34 | Teguh Hindarto, M a z h a b Y u d e o K r i s t e n : D e f i n i s i , K o n s e p P e m i k i r a n ,
Sejarah, Metodologi Tafsir@IJI 2017

Wayyissa: “menggangkat mata” (Kej 22:4)

Wayyikharaf af: “hidung terbakar/murka” (Kel 4:14)

Egleh: “tidak menutup telinga” (Rut 4:4)

Tekabdu et levavkem: “memiliki hati yang keras” (1 Sam 6:6)

Tuhan : “Yang tidak nampak” namun digambarkan secara nampak dengan


istilah-istilah kongkrit al, Tuhan bertelinga, bertangan, berkaki. Para teolog
mengistilahkan dengan “anthropomorphisme”.

Teologi : Teologi bukan dipahami sebagai suatu kepercayaan terhadap


sejumlah daftar kepercayaan, rumusan dogma melaikan pada suatu hubungan atau
relasi. Hal ini ditunjukkan dengan mengekspresikan proses berpikir yang dilakukan
dalam hati, dimana seseorang “mengasihi Tuhan” (Ul 6:5), dimana seseorang “merasa
takut akan Tuhan”(Ul 28:65), dimana seseorang “merasa berdosa. Bagian dalam tubuh
adalah wilayah dimana muncul rasa takut (Yer 4:19) dan hati dimana terletak rasa
tertekan (Rat 2:11) dan juga sukacita (Ams 23:16). Kepala bukan dipahami sebagai
pusat berpikir melainkan sebagai tempat bagi sesuatu yang halus yaitu kekuatan
kehidupan yang mengalir menuju tubuh.

Manusia: Manusia dipahami sebagai kombinasi utuh dan integral antara bagian
yang nampak (material part) dan tidak nampak (immaterial part). Tidak ada yang lebih
utama dan penting di antara keduanya

b) Truth is in the “both-and”, not “either-or” (prinsip harmonisasi)

Cara pandang Ibrani lebih menekankan prinsip keselarasan dan


mempertahankan ketegangan daripada berusaha menyelesaikan ketegangan dan
mengkontradiksikan ketegangan. Ada banyak persoalan yang kontradiktif namun
seluruhnya dipahami sebagai satu kesatuan dan bukan dikontradiksikan. Cara pandang
ini disebut “Box Logic” dan pandangan yang berkebalikan dengan itu adalah “Linear
Logic” sebagaimana cara pandang Yunani.

Contoh-contoh berikut akan dikontradiksikan jika mengikuti cara pandang


Yunani namun dalam pemikiran Ibrani ketegangan tersebut diakomodir. Contoh :
Tidak ada satu orangpun yang pernah melihat Tuhan (Yoh 1:18, 1 Tim 1:17) namun
dibagian lain dikatakan Moshe, Akharon melihat Tuhan (Kel 24:9-10) bahkan Yesus
sendiri mengatakan bahwa barangsiapa murni hatinya dia akan melihat Tuhan (Mat
5:8). Prinsip harmonisasi terangkum dalam Yesaya 45:7, “YHWH menjadikan terang
dan gelap, yang menjadikan (nasib) beruntung dan menciptakan (nasib) yang buruk”
(yotser or ubore khoshek, osheh shalom ubore ra, YHWH oshe kol elleh). Cara
pandang mengkontradiskikan segala sesuatu nampak dalam cara pandang beberapa
kelompok Islam dalam membaca teks Kitab Suci TaNaKh dan Perjanjian Baru.
35 | Teguh Hindarto, M a z h a b Y u d e o K r i s t e n : D e f i n i s i , K o n s e p P e m i k i r a n ,
Sejarah, Metodologi Tafsir@IJI 2017

c) Everything in life relates to God (prinsip seluruh kehidupan berhubungan dengan


Tuhan)

Tidak ada perbedaan antara yang sekular dan spiritual. Semua ciptaan Tuhan baik (Kej
1:31). Segala sesuatu diterima dengan ucapan syukur (1 Tes 5:17). Dunia adalah arena
untuk berkarya (Ul 26:5-10). Kata “ibadah” dan “bekerja” diturunkan dari akar kata
yang sama dba (a-v-d). Bekerja adalah melayani, beribadah adalah melayani. Baik
bekerja maupun beribadah adalah pelayanan. Yang satu melayani manusia dan
manusia serta yang satu melayani Tuhan.

d) Religion as a way of life (prinsip agama sebagai gaya hidup)

Agama tidak dipahami sebagai seperangkat sistem kepercayaan dan norma-norma


belaka melainkan suatu gaya hidup dan ringkasan pengalaman hidup. Tidak
mengherankan kata “berjalan bersama YHWH” (wwayithalek Khanok et ha Elohim)
atau “berjalan di jalan-Nya” (haholek biderakaiw) sebagaimana dinyatakan beberapa
ayat seperti (Kej 5:24, Mzm 128:1)

e) Time and History are in God’s hand (prinsip waktu dan sejarah dalam genggaman
Tuhan).

Sejarah dipahami sebagai sejarah Tuhan berinteraksi dengan umat manusia.


Dalam sudut pandang Ibrani, seseorang harus mengenal sejarah karena dengan
mengenal sejarah seseorang dapat mengetahui siapa dirinya. Jika dia tidak mengetahui
darimana dia datang maka dia tidak mengetahui kemana dia akan pergi. Hubungan
dengan Tuhan didasarkan atas peristiwa sejarah. Ini menuntun pada pemahaman
tentang “perjanjian” dengan Tuhan. Seorang yang menjadi anggota suatu perjanjian
hany berlaku saat mana dia menjadi anggota masyarakat yang mengikat perjanjian
dengan Tuhan. Di luar ikatan perjanjian, dia terlepas dari masyarakat tersebut. Oleh
karenanya penanggala dalam sistem kalender Ibrani berkaitan dengan peristiwa-
peristiwa historis YHWH terhadap umatnya yang direfleksikan dalam perayaan-
perayaan. Pentingnya sejarah terekam dalam Mazmur 78:1-71.

6. Memahami idiom-idom Semitik Yudaik yang bertebaran dalam teks Perjanjian Baru
bahkan yang berbahasa Yunani.

D. Bivin dan R. Blizzard menjelaskan mengenai idiom-idiom Ibrani dalam teks


Perjanjian Baru sbb: “One of the best indications of the Hebrew origin of the Synoptic Gospels
is to be found within the texts of the Gospel themselves. The Hebraic undertext is revealed not
only in sentence structure but in the many literalism and idioms present, which are peculiar
to the Hebrew language” 56 (salah satu indikasi terbaik adanya asal usul Ibrani dari Injil
Sinoptik, ditemukan di dalam teks Injil itu sendiri. Pengaruh Ibrani disingkapkan bukan hanya
dalam struktur kalimat melainkan dalam banyak literalisme dan idiom yang ada yang cukup
asing bagi bahasa Ibrani). Dalam artikel yang lain, David Bivin menegaskan, “Hebraisms can
be found in all books of the NT -- after all, most, if not all, of these books were authored by

56
Op.Cit., p. 53
36 | Teguh Hindarto, M a z h a b Y u d e o K r i s t e n : D e f i n i s i , K o n s e p P e m i k i r a n ,
Sejarah, Metodologi Tafsir@IJI 2017

Jews living in the land of Israel in the first century -- but the vast majority of the NT’s
Hebraisms lie buried in the Greek texts of Matthew, Mark and Luke. Isolated idioms do not
prove Hebrew origins, just as a French word or idiom in American English does not prove
Americans speak French. No single Hebraism can support the supposition that a NT book
was originally written in Hebrew; however, masses of Hebraisms in a NT book tend to
indicate a Hebrew ancestor”57 (Hebraisme dapat ditemukan dalam keseluruhan kitab-kitab
Perjanjian Baru – bagaimanapun meski tidak seluruhnya masing-masing kitab tersebut
dituliskan oleh orang-orang Yahudi yang tinggal di Israel pada Abad Pertama – namun
kebanyakan unsur Hebraisme Perjanjian Baru terkubur di dalam teks Yunani Matius, Markus
dan Lukas. Idiom yang tersembunyi memang tidak membuktikan asal usul Ibrani dari Kitab
Perjanjian Baru, seperti kata atau idiom Prancis dalam bahasa Inggris orang Amerika tidak
membuktikan bahwa orang Amerika berbahasa Prancis. Tidak ada satupun unsur Hebraisme
dalam Kitab Perjanjian Baru menunjukkan indikasi bahwa aslinya dituliskan dalam bahasa
Ibrani. Namun demikian, banyaknnya unsur Hebraisme dapat mendukung dugaan bahwa
Kitab Perjanjian Baru cenderung memngindikasikan asal usul Ibraninya).

Beberapa bukti adanya unsur-unsur Semitik Hebraik dalam naskah Perjanjian Baru
Yunani sbb:58

a) Penggunaan Kata Ganti Yang Berlebihan (Redundant pronouns). Kata ganti


penghubung (relatif pronoun) dalam bahasa Ibrani, tidak dapat berubah bentuk
(indeclinable) dan tanpa jenis kelamin (genderless), sehingga memerlukan kata ganti
orang dalam anak kalimat yang diikutinya. Hal ini mempengaruhi sejumlah bagian
dalam Kitab Perjanjian baru yang mana merupakan kata ganti yang tidak diperlukan
yaang muncul setelah adanya kata penghubung, sebagaimana dalam Markus 7:25 yang
secara literal dibaca, “seorang ibu yang dia sendiri (autou), yang anak perempuan
miliknya (autes) kerasukan roh jahat, segera mendengar tentang Dia, lalu datang dan
tersungkur di depan kaki-Nya.” Susunan demikian mungkin saja dalam bahasa Yunani
namun bukan asli Yunani, sebagaimana aslinya dalam bahasa Ibrani dan Aramaik.

b) Penggunaan Kata “Mengatakan” Secara Berlebihan (Redundant use of ‘saying’).


Ucapan tidak langsung dalam bahasa Ibrani Kitab Suci, tidak dikenal; semua ucapan
disampaikan secara langsung, entahkah kata-kata tersebut kata-kata yang
sesungguhnya diucapkan atau mewakili makna umum mengenai apa yang telah
diucapkan. Kata Ibrani, dengan teliti menghubungkan dengan kata penghubung
Yunani, legon, “mengatakan” yang dipergunakan untuk memberitahukan suatu
kutipan. Contoh, Markus 8:28, “Jawab mereka: Ada yang mengatakan (legontes):
Yohanes Pembaptis”. Contoh lainnya, lihat Matius 23:1-2; 28:18; Lukas 14:3; 24:6-7.

c) Pembukaan Yang Dimulai Dengan, “Sampailah Pada Waktunya” (Intoductory ‘it


came to pass’). Penggunaan kata kerja bahasa Yunani yang ganjil, seperti egeneto

57
David Bivin, Cataloging the New Testament's Hebraisms: Part 1 (Luke 14:26; 15:18-22) September 07,
2010
http://blog.jerusalemperspective.com/archives/000135.html
58
David Alan Black, New Testament Semitism”, The Bible Translator 39/2, April 1988, pp. 215-223
37 | Teguh Hindarto, M a z h a b Y u d e o K r i s t e n : D e f i n i s i , K o n s e p P e m i k i r a n ,
Sejarah, Metodologi Tafsir@IJI 2017

bersamaan dengan kata kerja lain, terkadang menghasilkan kaitan yang rapat (closely
corresponding) dengan idiom Semitik “maka demikianlah itu terjadi” atau “terjadilah
demikian”. Ciri Semitisme ini muncul sangat kerap dalam tulisan Lukas dibandingkan
lainnya (Markus hanya empat kasus berkaitan dengan hal ini). Contoh, Lukas 2:6,
“And it came to pass, in their being there, the days were fulfilled for her bringing
forth” (“Demikanlah terjadi {Greek: egeneto de} ketika mereka di situ tibalah
waktunya bagi Maria untuk bersalin, YLT). Pengakuan terhadap ketidakwajaran
ekspresi berbahasa tersebut, kebanyakan para penerjemah modern mengawali dengan
kalimat sederhana, “sementara mereka di sana” (Band. GNB, NIV, JB, NEB, RSV).
Contoh-contoh lain dari idiom ini, lihat Lukas 2:1; 2:6; 2:15; 3:21; 5:1; 5:12; 5:17;
16:1; 6:6; 6:12; 7:11; 8:1; 8:22; 9:18; 9:28; 9:37; 9:51; 11:1; 11:27; 14:1; 17:11; 18:35;
20:1; 22:24; 24:4).

d) Paralelisme (Paralleism). Paralelisasi bait dan anak kalimat merupakan karakteristik


puisi Semitik dan dapat dengan mudah ditelusuri dalam Kitab Perjanjian baru bahkan
yang berupa terjemahan sekalipun. Kotbah di Bukit (Mat 5:3-11) pada mulanya
disampaikan dalam bentuk puisi, entahkah dalam bahasa Ibrani atau Aramaik, nampak
nyata dari bentuk paralelisasi yang sampai saat ini dapat kita baca dalam terjemahan
berbahasa Inggris. Jejak-jejak pararelisme dapat kita telusuri dalam Hymne Lukas
(Luk 1-2) dan nubuat Simeon (Lukas 2:34-35). Bentuk pararelisme lainnya dalam
ditemukan dalam dialog dalam Markus 11:9-10, “Hosana! Diberkatilah Dia yang
datang dalam nama Tuhan,diberkatilah Kerajaan yang datang, Kerajaan bapak kita
Daud”. Kehadiran sejumlah pararelisme agaknya menolong dalam membedakan
apakah bagian demi bagian sebuah naskah akan ditulis dalam format puisi atau gaya
prosa.

7. Analisis teks bahasa sumber penulisan baik dalam bahasa Yunani dan Aram (Ibrani).

Kita tidak bisa mengandalkan begitu saja terjemahan kitab suci khususnya Lembaga
Alkitab Indonesia. Kita harus melakukan sejumlah analisis teks bahasa sumber untuk
mendapatkan makna suatu teks dalam sebuah ayat atau perikop. Dalam artikel saya yang
berjudul, “Mengkaji Validitas Terjemahan Lembaga Alkitab Indonesia”59 ada sejumlah kritik
penerjemahan Lembaga Alkitab Indonesia.

Studi Kasus 1 Petrus 3:19-20: “Memberitakan Injil” atau “Mengumumkan


kebangkitannya?”

Terjemahan versi Lembaga Alkitab Indonesia menuliskan, “…dan di dalam Roh itu
juga Ia pergi memberitakan Injil kepada roh-roh yang di dalam penjara, yaitu kepada roh-
roh mereka yang dahulu pada waktu Nuh tidak taat kepada Allah, ketika Allah tetap menanti
dengan sabar waktu Nuh sedang mempersiapkan bahteranya, di mana hanya sedikit, yaitu
delapan orang, yang diselamatkan oleh air bah itu”. Dalam naskah Yunani dituliskan sbb:

59
Teguh Hindarto, Mengkaji Validitas Terjemahan Lembaga Alkitab Indonesia
38 | Teguh Hindarto, M a z h a b Y u d e o K r i s t e n : D e f i n i s i , K o n s e p P e m i k i r a n ,
Sejarah, Metodologi Tafsir@IJI 2017

εν ω και τοις εν φυλακη πνευμασιν πορευθεις εκηρυξ εν απειθησασιν ποτε οτε


απεξεδεχετο απαξ εξεδεχετο η του θεου μακροθυμια εν ημεραις νωε κατασκευαζομενης
κιβωτου εις ην ολιγοι ολιγαι τουτ εστιν τουτεστιν οκτω ψυχαι διεσωθησαν δι υδατος

Terjemahan ini berpotensi besar menimbulkan distorsi pemahaman. Mengapa


dikatakan menumbulkan distorsi pemahaman? Karena mengesankan ada kesempatan kedua
bagi orang-orang mati untuk bertobat. Padahal pintu pertobatan adalah kesempatan yang
diberikan hanya bagi orang-orang yang hidup. Kata yang diterjemahkan “memberitakan
Injil”, dalam naskah Yunani, ekeruzen (εκηρυξεν) dari akar kata keruzo yang artinya
“mengumumkan”. Jika memberitakan, seharusnya digunakan kata euanggelizo.

Ayat diatas, lebih tepat jika diterjemahkan, “…dan didalam Roh itu juga Dia pergi
mengumumkan kepada roh-roh yang ada didalam penjara,…”. Apa yang dumumkan oleh
Yesus? Pertama, ayat 18 memberikan penjelasan dalam naskah Yunani, “zoopoitheis de toi
pneumati” (yang telah menerima kehidupan dalam Roh). Kata Yunani zoe memberikan
indikasi kehidupan yang kekal. DR. Harun Hadiwyono menjelaskan, “lebih tepat ayat ini
diterangkan, bahwa peristiwa kenaikkan (Mesias) ke Sorga itu menjadi suatu proklamasi bagi
jiwa yang tertawan”60.

Demikian pula dengan DR. Van Niftrik dan D.S. Boland menegaskan,
“Bagaimanapun juga, bahwa ayat-ayat yang begitu gelap ini mungkin dapat menginsyafkan
kepada kita bahwa arti kematian dan kemenangan (Mesias) itu meliputi semesta alam serta
segala masa”61 . Dalam Orthodox Brit Khadasha, dengan tepat diterjemahkan : |19| in which
also to the ruchot (spirits) in mishmar (prison), having gone, Moshiach made the hachrazah
(proclamation, kerygma) |20| to ones without mishma'at (obedience) back then when the
zitzfleisch (patience) of Hashem was waiting, in the days of Noach, while the Teva (Ark) was
being prepared, in which a few, that is shemoneh nefashot (eight souls), were delivered
through that mabbul's mikveh mayim;… (Yang juga kepada roh-roh yang berada dalam
penjara, Dia telah pergi, Mesias membuat proklamasi kepada orang-orang yang tidak taat,
ketika Yahweh dengan setia menunggu, dizaman Nuh, saat bahtera disiapkan, dengan jumlah
yang sedikit, yaitu shemone nefashot/delapan orang yang terbebas dari mabbul mikveh
mayim/air bah). Kedua, Yesus mengumumkan pada orang-orang mati bahwa diriNya akan
menjadi Hakim Yang Adil (1 Ptr 4:6).

Dalam terjemahan LAI, “Itulah sebabnya maka Injil telah diberitakan juga kepada
orang-orang mati…”. Untuk memahami pernyataan dalam 1 Petrus 4:6, perlu dirunut pada
ayat 5, yang dalam naskah Yunani tertulis, krinai zontas kai nekrous (menghakimi yang hidup
dan yang mati). Meskipun dalam ayat 6 digunakan kata euanggelisthe (memberitakan), namun
konteks Kabar Baik yang diberitakan atau diumumkan Yesus, adalah mengenai diriNya
sebagai Hakim diakhir zaman. DR. David Stern memberikan komentar terhadap 1 Petrus 4:6
sbb: “Menurut Yokhanan 5:21, Rm 2:16, Yeshua Sang Mesias adalah yang berdiri untuk
menghakimi yang hidup dan yang mati. Inilah sebabnya mengapa Dia memproklamasikan

60
DR. Harun Hadiwyono, Iman Kristen, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1998, hal 338
61
DR. Van Niftrik dan D.S. Boland, Dogmatika Masa Kini, Jakarta: BPK 1967, hal 206
39 | Teguh Hindarto, M a z h a b Y u d e o K r i s t e n : D e f i n i s i , K o n s e p P e m i k i r a n ,
Sejarah, Metodologi Tafsir@IJI 2017

kepada mereka yang telah mati. Meskipun mereka mengalami penghakiman secara badani
maupun dalam kematian, namun mereka akan mengalami kehidupan melalui Roh dengan
cara yang telah Tuhan sediakan”62. Dalam Orthodox Brit Khadasha, diterjemahkan: |6| For,
indeed, this is the reason that the Besuras Ha Geulah was preached to the mesim (dead ones),
that, though judged in the basar as men (MJ 12:23; Yn 5:25;1Th 4:13-18), they might live as
G-d does in the spirit (Sebab, inilah alasannya bahwa Besuras ha Geulah/Kabar Baik
Penebusan telah dikotbahkan kepada Mesim/orang yang mati, supaya dihakimi didalam
daging seperti manusia, sehingga mereka menerima kehidupan sebagaimana Tuhan, didalam
Roh).

Meskipun Orthodox Brit Khadasha menerjemahkan dengan “mengkhotbahkan Kabar


Baik Penebusan”, namun dapat dipahami dalam konteks orang-orang yang mati dizaman
Nuh. Dan tidak tersirat bahwa Yesus memberitakan kepada orag-orang yang mati bahwa
mereka harus bertobat, karena setelah kematian, tidak ada kesempatan kedua untuk bertobat.

8. Analisis konteks terhadap teks

Hal ini dilakukan dengan melibatkan ayat sebelum dan sesudahnya serta melibatkan
pemahaman latar belakang kebudayaan dan agama Yudaisme sehingga sebuah istilah atau
peristiwa yang sulit dipahami dapat ditemukan maknanya dengan merujuk latar belakang
keagamaan dan kebudayaan pada waktu itu.

Demikianlah ulasan pengantar mengenai Mazhab Yudeo Kristen (Judeochristianity) yang


meliputi definisi, konsep pemikiran, sejarah serta metodologi hermeneutis terhadap teks Kitab Suci.
Kiranya kajian ini memberikan gambaran mengenai apa dan bagaimana Mazhab Yudeo Kristen di
Indonesia

62
DR. David Stern, Jewish New Testament Commentary, JNTP, 1992, p.755

Anda mungkin juga menyukai