Anda di halaman 1dari 34

Islam dan Pluralisme Agama Disumbang Oleh Qasim Nurseha Dzulhadi Tuesday, 01 April 2008 Salah

satu imbas negatif dari globalisasi (globalization) adalah munculnya tren-tren pemikiran baru. Salah
satunya adalah faham “relativisme kebenaran”. Tren yang muncul –dari faham ini—kemudian adalah
“Pluralisme Agama”. Satu faham dimana setiap pemeluk agama tidak memiliki hak untuk mengklaim
bahwa agamanya yang benar, atau “paling” benar. Tren ini banyak menyita perhatian, dari praktisi
hukum hingga –khususunya—para teolog. Tidak ketinggalan bahwa beberapa pemikir Muslim
liberal-sekular ikut menjadi ‘pengasong’ faham ini. Untuk meluluskan dan meng-gol-kan idenya,
mereka bekerja keras dan bahu-membahu untuk mencarikan legitimasinya dalam teks-teks suci
(nushûsh) Al-Qur’an dan Sunnah.[1] Benarkah faham ini memiliki legitimasi dalam AlQur’an dan
Sunnah. Tulisan ini mencoba menjawab tren baru ini, lewat analisis nushûsh (teks-teks) suci: Al-
Qur’an dan Sunnah. Sejarah Kemunculan dan Perkembangan Pemikiran pluralisme agama muncul
pada masa yang disebut dengan Pencerahan (Enlightment) Eropa, tepatnya pada abad ke-18 Masehi,
masa yang sering disebut sebagai titik permulaan bangkitnya gerakan pemikiran modern. Yaitu masa
yang diwarnai dengan wacana-wacana baru pergolakan pemikiran manusia yang berorientasi pada
superioritas akal (rasionalisme) dan pembebasan akal dari kungkungan-kungkung an agama. Di
tengah hiruk-pikuk pergolakan pemikiran di Eropa yang timbul sebagai konsekuensi logis dari konflik-
konflik yang terjadi antara gereja dan kehidupan nyata di luar gereja, muncullah suatu paham yang
dikenal dengan “liberalisme”, yang komposisinya adalah kebebasan, toleransi, persamaan dan
keragaman atau pluralisme.[2] Sebenarnya kalau ditelusuri lebih jauh dalam peta sejarah peradaban
agama-agama dunia, kecenderungan sikap beragama yang pluralistik, dengan pemahaman yang
dikenal sekarang, sejatinya sama sekali bukan barang baru. Cikal bakal pluralisme agama ini muncul
di India pada akhir abad ke-15 dalam gagasan-gagasan Kabir (1440-1518) dan muridnya, yaitu Guru
Nanak (1469-1538) pendiri “Sikhisme”. Hanya saja, pengaruh gagasan ini belum mampu menerobos
batas-batas geografis regional, sehingga hanya populer di anak benua India. Ketika arus globalisasi
telah semakin menipiskan pagar-pagar kultural Barat-Timur dan mulai maraknya interaksi kultural
antar kebudayaan dan agama dunia, kemudian di lain pihak timbulnya kegairahan baru dalam
meneliti dan mengkaji agama-agama Timur, khususnya Islam, yang disertai dengan berkembangnya
pendekatan-pendekat an baru kajian agama (scientific study of religion), mulailah gagasan
pluralisme agama berkembang secara pelan tapi pasti, dan mendapat tempat di hati para intelektual
hampir secara universal.[3] Yang perlu digarisbawahi di sini, gagasan pluralisme agama sebenarnya
bukan hasil dominasi pemikir Barat, namun juga mempunyai akar yang cukup kuat dalam pemikiran
agama Timur, khususnya dari India, sebagaimana yang muncul pada gerakan-gerakan pembaruan
sosio-religius di wilayah ini. Beberapa peneliti dan sarjana Barat, seperti Parrinder dan Sharpe, justru
menganggap bahwa pencetus gagasan pluralisme agama adalah tokoh-tokoh dan pemikir-pemikir
yang berbangsa India. Rammohan Ray (1772-1833) pencetus gerakan Brahma Samaj yang semula
pemeluk agama Hindu, telah mempelajari konsep keimanan terhadap Tuhan dari sumber-sumber
Islam, sehingga ia mencetuskan pemikiran Tuhan Satu dan persamaan antar agama. Sri Ramakrishna
(1834-1886), seorang mistis Bengali, setelah mengarungi pengembaraan spiritual antar agama
(passing over) dari agama Hindu ke Islam, kemudian ke Kristen dan akhirnya kembali ke Hindu lagi,
juga menceritakan bahwa perbedaan-perbedaan dalam agama-agama sebenarnya tidaklah berarti,
karena perbedaan tersebut sebenarnya hanya masalah ekspresi. Bahasa Bangal, Urdu dan Inggris
pasti akan mempunyai ungkapan yang berbeda-beda dalam mendeskripsikan “air”, namun hakikat
air adalah air. Maka menurutnya, semua agama mengantarkan manusia ke satu tujuan yang sama,
maka mengubah seseorang dari satu agama ke agama yang lain (prosilitisasi) merupakan tindakan
yang tidak menjustifikasi, di samping merupakan tindakan yang sia-sia. Gagasan Ramakrishna,
persahabatan dan toleransi penuh antar agama, kemudian berkembang dan diterima hingga di luar
anak benua India berkat kedua muridnya, Keshab Chandra Sen (1838-1884) dan Swami Vivekananda
(1882-1902). Sen ketika mengunjungi Eropa sempat berjumpa dan berdiskusi dengan F. Max Muller
(1823- 1900), Bapak ilmu Perbandingan Agama modern di Barat, dan menyampaikan gagasan-
gagasan gurunya. Vevikananda justru mempunyai justru mempunyai pengaruh lebih besar, dengan
mendapatkan kesempatan menyampaikan pesanpesan gurunya di depan Parlemen Agama Dunia
(World’s Parliament of Religion) di Chicago, Amerika Serikat, tahun 1893. Upaya Swani Vevikananda
tersebut telah mendapat pujian yang luar biasa dari masyarakat Hindu dan mengangkat namanya
sebagai pahlawan nasional. Dengan demikian, dia berhak disebut sebagai peletak dasar gerakan,
yang oleh Parrinder disebut, Hindu Ortodok Baru yang mengajarkan bahwa semua agama adalah
baik dan kebenaran yang paling tinggi adalah pengakuan terhadap keyakinan ini. Menyusul
kemudian tokoh-tokoh India lain seperti Mahatma Gandhi (1869-1948) dan Sarvepalli Radhakrishna
(1888-1 baru yang ditimbulkan oleh proses penetrasi kultural Barat modern dalam dunia Islam.
Pendapat ini disepakati oleh realitas bahwa gagasan pluralisme agama dalam wacana pemikiran
Islam, baru muncul pada masa-masa pasca Perang Dunia Kedua, yaitu ketika mulai terbuka
kesempatan besar bagi generasi muda Muslim untuk mengenyam pendidikan di universitas-
universitas Barat sehingga mereka dapat berkenalan dan bergesekan langsung dengan budaya Barat.
Kemudian di lain pihak gagasan pluralisme agama menembus dan menyusup ke wacana pemikiran
Islam melalui karyakarya pemikir mistik Barat Muslim, seperti Rene Guenon (Abdul Wahid Yahya)
dan Frithjof Schuon (Isa Nuruddin Ahmad). Karya-karya mereka ini sangat sarat dengan pemikiran
dan gagasan yang menjadi inspirasi dasar bagi tumbuhkembangnya wacana pluralisme agama di
kalangan Islam. Barangkali Seyyed Hossein Nasr, seorang tokoh Muslim Syi’ah moderat, merupakan
tokoh yang bisa dianggap paling bertanggungjawab dalam mempopulerkan gagasan pluralisme
agama di kalangan Islam tradisional –suatu prestasi yang kemudian mengantarkannya pada sebuah
posisi ilmiah kaliber dunia yang sangat bergengsi bersamasama dalam deretan nama-nama besar
seperti Ninian Smart, John Hick, dan Annemarie Schimmel.[5] Dalam Kristen memang John Hick-lah
yang paling bertanggungjawab dalam menyebarkan paham pluralisme agama ini.[6] Respon Islam
terhadap Pluralisme Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, bahwa “pluralisme agama”
merupakah faham yang tidak menemukan legitimasinya di dalam Islam. Menurut Abdilhussein
Khisrobenah, al-ta‘addud al-dîniyyah (religious pluralism) adalah satu mazhab yang mengorbankan
orisinilitas (al-ashâlah) demi kepentingan banyak aliran (al-katsrah). Konsep ini juga terbagi ke dalam
berbagai macam orientasi, seperti pluralisme moral (al-ta‘addudiyyah alakhlâqiyyah), politik (al-
siyâsiyyah), sosial (al-ijtimâ‘iyyah) dan agama (al-dîniyyah). Pertanyaan-pertanya an mendasar yang
menghampiri kita dalam pluralisme agama ini adalah: apakah seluruh agama dan aqidah (al-adyân
wa al-‘aqâ’id) dalam dalam satu kebenaran (haqq)? Tidak diragukan lagi bahwa tesa faham
pembatasan (exdusirism, al-inhishâriyyah) merupakan awal yang yang dihadapi oleh seorang pemikir
ketika bersinggungan dengan seluruh agama yang ada. Setiap agama meyakini bahwa kebahagiaan
dan kebenaran (alsa‘âdah wa al-haqq) terbatas dalam aqidahnya saja.[7] Klaim-klaim seperti di atas
sebenarnya lahir dari perasaan superior. Ini sebenarnya alami. Karena setiap pemeluk satu agama,
pasti menganggap agamanya paling benar, dan yang lain salah. Klaim kebenaran dan keutamaan
(afdhaliyyah), misalnya, terdapat di dalam tiga agama samawi (Yahudi, Kristen dan Islam). Umat
Yahudi sendiri diakui oleh Allah sebagai umat yang dimuliakan.[8] Kaum Yahudi mengklaim diri
mereka sebagai bangsa Allah yang terpilih (sya‘b Allâh al-mukhtâr, the choosen people). Klaim ini lah
yang disebut oleh Roger Garaudi sebagai “mitos” tak berdasar. Roger Garaudy mengutip bunyi
dokumen “Bacaan Fundamentalis tentang Zionisme Politik”: “Penduduk dunia dapat dibagi antara
Israel dan bangsa lain yang dianggap satu. Israel adalah bangsa yang terpilih: dogma pangkal.” (Rabi
Cohen, Le Talmud [Paris: Payot, 1986, hlm. 104). Menurut Garaudy, klaim itu dianggap sebagai
“mitos”. Menurutunya, mitos ini adalah kepercayaan, tanpa dasar sejarahpun, yang menurutnya
monoteisme lahir bersamaan dengan Perjanjian Lama. Sebaliknya, dari Bibel sendiri, jelas bahwa dua
redaktur utamanya, yaitu Yahvis dan Elohis, bukanlah kaum monoteis; mereka hanya
memproklamasikan superioritas Tuhan Yahudi terhadap tuhan-tuhan lainnya serta kecemburuan-
Nya terhadap yang lain (Keluaran XX: 2-5). Tuhan orang Moab: Kamos dikenal sebagai (Hakim-Hakim
XI: 24 dan II Raja-Raja: 27) “tuhan-tuhan yang lain” (I Samuel XVII: 19).[9] Benar bahwa umat Yahudi
merupakan umat yang diberi keunggulan oleh Allah. Ini diakui secara eksplisit di dalam AlQur’an.
Namun demikian, “keutamaan” ini bukan harga gratis alis cuma-cuma. Ia merupakan keutamaan
bersyarat. Ketika syarat itu dilanggar oleh kaum Yahudi, dengan serta-merta keutamaan itu pun
lenyap. Agama Kristen juga mengklaim sebagai agama yang “paling” benar. Bahkan menurut doktrin
Gereja (sebelum Konsili Vatikan II) tidak ada keselamatan “di luar Gereja”, extra ecclesiam nulla
salus. Meskipun pada Konsili Vatikan II, Gereja merubah teologinya menjadi “teologi inklusif”.[10]
Teologi “inklusif” inilah kemudian diadopsi oleh beberapa pemikir Muslim, untuk merubah teologi
Islam. Padahal, teologi Islam itu “inklusif” sekaligus “ekslusif”. Artinya, teologi Islam adalah “teologi
akomodatif”. Teologi Islam bukan teologi “ekstrim” (Arab: bayna al-ifrâth wa al-tafrîth). Islam juga
oleh Allah diakui sebagai “umat terbaik” (khayra ummatin) yang dilahirkan untuk seluruh manusia
(ukrijat li al-nâsi). Predikat “baik” (khayriyyah) ini pun bukan “harga gratis”. Ia memiliki empat syarat
penting: (1) menyuruh kepada yang baik (amr bi al-ma‘rûf); (2) mencegah –manusia lain—dari segala
bentuk kemungkaran (al-nahy ‘an al-munkar); dan (3) beriman kepada Allah (tu’minûna bi Allâh).
Dengan begitu, umat Islam akan memperoleh “kemenangan”.[11] Al-Qur’an dan “Pluralisme Agama”
Khairaummah.com http://khairaummah.com Menggunakan Joomla! Generated: 5 June, 2011, 04:06
Abdul Aziz Sachedina sendiri sangat keliru ketika mengklaim adanya paham pluralisme agama dalam
Al-Qur’an. Dalam sub-judul “Pluralisme Agama dalam Al-Qur’an” menulis: “Saya sepenuhnya
bergantung pada Al-Qur’an sebagai sumber normatif bagi satu teologi inklusif. Bagi kaum Muslim,
tidak ada teks lain yang menempati posisi otoritas mutlak dan tak terbantahkan selain Al-Qur’an.
Maka, Al-Qur’an merupakan kuncu untuk menemukan dan memahami konsep pluralisme agama
dalam Islam.”[12] Namun dengan sangat tidak kritis, Sachedina tidak memunculkan satu fakta pun
tentang pluralisme agama dalam AlQur’an. Dia malah menyebutkan bahwa gagasan “manusia adalah
satu umat” merupakan dasar pluralisme teologis yang menuntut adanya kesetaraan hak yang
diberikan Tuhan untuk manusia.[13] Seorang pluralis ‘anyar’ asal Indonesia, Jalaluddin Rakhmat
dalam sub-judul bukunya “Ayat-ayat Pluralisme” menulis: “Apakah orang-orang kafir (non-muslim)
menerima pahala amal salehnya? Benar, menurut Al-Baqarah: 62, yang diulang dengan redaksi yang
agak berbeda pada Al-Mâ’idah: 69 dan al-Hajj: 17. “Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-
orang Yahudi, orang-orang Nasrani, dan orang-orang Shabiin[14], siapa saja diantara mereka yang
benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian, dan amal saleh, mereka menerima pahala dari
Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih
hati.”[15] Secara tidak fair, kemudian Jalal menggunakan dua kitab tafsir. Pertama, tafsir yang ditulis
oleh Sayyid Husseyn Fadhlullah, tokoh Hizbullah Lebanon, mewakili mazhab Ahlul Bait, kedua, tafsir
al-Manâr, yang ditulis oleh Sayyid Rasyîd Ridhâ, tokoh pembaru Islam yang dikenal sebagai
fundamentalis, mewakili mazhab Ahlussunnah.[16] Alasan Jalal menggunakan dua tafsir itu pun tidak
jelas. Ketika Jalal mengatakan bahwa Yahudi, Nasrani, Shabi’in dalam Qs. Al-Baqarah: 62, al-Mâ’idah:
69 dan al-Hajj: 17 sebagai kaum “kafir” (nonMuslim) adalah menyelewengkan ayat Al-Qur’an. Dalam
ayat-ayat tersebut, Allah tidak mengatakan mereka sebagai orang “kafir” (non-Muslim) . Ini juga
kontradiktif dengan pendapat Jalal sendiri, ketika menjelaskan makna “Islam” dalam Qs. Ali ‘Imrân
[3]: 85. Jalal mengikuti pendapat Fadhlullah bahwa ayat-ayat itu tidak dihapus (mansûkh). Menurut
Fadhlullah, ayat 85 dari surat Ali ‘Imrân adalah menjelaskan “Islam umum” yang meliputi semua
risalah langit, bukan Islam dalam artian istilah, yaitu bukan Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad
s.a.w.[17] Kesimpulan Fadhlullah, menurut Jalal, diambil dari Qs. Ali ‘Imrân 19. Karena menurut Al-
Qur’an, agama itu semuanya Islam.[18] Fadhlullah dan Ridhâ memang memberikan syarat bahwa
agar selamat, seluruh agama: orang beriman, Yahudi, Nasrani, Sabea, harus memiliki tiga syarat:
iman kepada Allah, iman kepada hari akhir dan amal saleh. Benar, tapi konsep keimanan kepada
Allah, Hari Akhir dan amal saleh tidak ada sebaik dan se-valid Islam. Tuhan (Allah) dalam agama
Yahudi adalah Allah “ekslusif”. Keimanan kepada hari akhir pun dirusak oleh kaum Yahudi. Begitu
juga dalam Kristen. Kristen mengakui bahwa jalan menuju Allah hanya lewat “Kristus”. Konsep Allah
pun berubah menjadi Trinitas (Tritunggal) . Hari Akhir pun berbeda konsepnya. Amal saleh pun tidak
diketahui bagaimana bentuknya. Ketiga hal tersebut sangat rinci dijelaskan dalam Islam. Jalal juga
menolak penafsiran –yang menurutnya—kaum ekslusivis. Dalam sub-judul “Bantahan kaum
eksklusivis” Jalal menulis, khususnya pada poin kedua dan ketiga. Poin kedua, Jalal menolak
pendapat yang menyatakan bahwa Yahudi, Nasrani dan Shabi’in dalam ayat di atas adalah mereka
yang ada sebelum zaman Nabi s.a.w. Karena itu, semua agama kehilangan validitasnya. Sebagaimana
kedatangan uang Republik menyebabkan uang Belanda tidak berlaku. Argumentasi berdasarkan
analogi ini, menurut Jalal, tidak punya dalil yang memperkuatnya dalam Al-Qur’an dan sunah.
Sebuah ayat yang bermakna umum tidak boleh diartikan khusus kecuali dengan keterangan yang
kuat.[19] Apa yang diklaim oleh Jalal adalah keliru. Al-Qur’an memang mengakui bahwa kitab suci
umat terdahulu: Taurat yang dibawa oleh Nabi Musa a.s. dan ‘Isa a.s. adalah benar, bahkan
mengandung cahaya (kebenaran). Tapi itu sebelum kedatangan Nabi Muhammad s.a.w. Tentang
Taurat (Torah) Allah s.w.t. mengakui di dalamnya ada “petunjuk” (hudan) dan “cahaya” (nûr). Tetapi
Allah mewakilkan penjagaan Taurat tersebut kepada para rabi dan pendeta mereka, dan mereka
menjadi saksi akan hal itu. Hukum-hukum qishâsh pun dijelaskan di dalamnya.[20] Tentang Injil,
Allah s.w.t. mengakui bahwa di dalamnya juga terdapat “petunjuk” (hudan) dan “cahaya” (nûr). Dan
Injil (Gospel) ini menjadi “pembenar”/penguat (Al-Qur’an: mushaddiq) bagi Taurat (Torah). Bahkan
Injil memiliki satu kelebihan, yakni maw‘izhah (berisi nasehat dan petuah bijak di dalamnya).[21]
Tapi ketika berbicara tentang Al-Qur’an, Allah s.w.t. tidak hanya menyatakan bahwa AlQur’an
sebagai “penguat” atau pembenar (mushaddiq) Taurat dan Injil, melainkan juga sebagai “batu ujian”
(mushaddiqan lima bayna yadayhi min al-Kitâb wa muhayminan ‘alahyi). Ini lah ayat yang
menyatakan bahwa ajaran Rasul hadir sebagai nâsikh (pengahapus) risalah sebelumnya. Dengan
demikian, risalah Khairaummah.com http://khairaummah.com Menggunakan Joomla! Generated: 5
June, 2011, 04:06 Judaisme dan Kristianitas dengan sendirinya “gugur”. Keduanya telah sempurna
menjadi “Islam” final, di tangan Rasulillah s.a.w. Dalam sunnah Rasululillah s.a.w. juga disebutkan
dengan sangat detil. Beliau bersabda: “Demi zat yang jiwa Muhammad dalam genggaman-Nya, tidak
seorangpun yang mendengar dari umat ini: baik Yahudi maupun Nasrani, lalu ia mati dan tidak
beriman kepada ajaran yang aku bawa, kecuali dia akan menjadi penghuni neraka.” (HR.
Muslim).[22] Seandainya agama Yahudi dan Nasrani masih benar, maka Allah tidak perlu
menurunkan “Islam”. Dan jika Islam tidak datang untuk menghapuskan agama sebelumnya, tidak
mungkin Rasul s.a.w. menyatakan haditsnya yang sangat ‘tegas’ dan ‘pedas’ di atas. Pada poin
ketiga, Jalal menolak penafsiran kaum ekslusivis yang menyatakan bahwa konsep beriman kepada
Allah adalah: Allah dalam agama Islam.[23] Tentu saja, karena, seperti yang telah dijelaskan, konsep
Allah dalam agamaagama lain “sangat tidak jelas” dan tidak rasional. Misalnya, konsep “Allah” dalam
Kristen dikritik habis-habisan oleh Al-Qur’an.[24] Ketika berbicara tentang konsep agama, Al-Qur’an
tidak pernah menggunakan kata agama dalam bentuk yang “plural” (jamak). Kata agama selalu hadir
dalam bentuk tunggal, singular. Najaf-Ali Mirzae menyatakan bahwa secara realitas, ketika kita
melihat beberapa ayat Al-Qur’an dalam membincang masalah agama-agama (al-adyân), kita
menemukan dengan jelas bahwa ayat-ayat tersebut menolak adanya banyak agama (ta‘addud
aladyân). Ayat-ayat tersebut malah mengajak untuk mengimani seluruh nabi-nabi dalam satu waktu,
tanpa membedakan antara satu dengan lainnya. Karena para nabi seluruhnya hadir untuk
menanamkan satu risalah ilahi yang batasbatasnya meluas sejalan dengan roda zaman dan
perubahan kesiapan manusia dan masyarakat. Hingga akhirnya, risalah yang menyatu dan jalan yang
lurus (al-shirâth al-mustaqîm) –yang diseru oleh seluruh nabi tersebut—sampai kepada titik
kulminasinya dan titik akhir nilainya setelah diutusnya Nabi Muhammad dan diturunkannya Kitab
yang mulia.[25] Oleh karena itu, kita menemukan bahwa kata “agama-agama” (al-adyân) tidak diakui
dan tidak dipakai sama sekali di dalam Al-Qur’an yang mulia. Justru kata “Islam” lah yang banyak
diulang terhadap risalah para nabi yang terdahulu. Yang membuktikan secara tegas kepada kita
bahwa agama itu “satu” dan “jalan” (shirâth) itu satu: yaitu iman kepada Allah dan kufur terhadap
“thâghut” dan menanamkan Tawhid dan aqidah Islam bagi seluruh nabi dan rasul.[26] Dan jalan
Allah yang lurus itu adalah yang memerankan agama Islam. Sedangkan beriman kepada sebagian,
dan kufur kepada sebagian lain selamanya tidak dapat diterima. Artinya, tidak akan pernah
melahirkan kebaikan (al-shalâh) dan kebenaran (al-shawâb) secara pasti. Kiranya ayat yang berbunyi:
“wa man yabtaghi ghayral Islâmi dînan falan yuqbala minhu”[27] menunjuk kepada makna ini. Dan
ayat ini tidak muncul untuk mengingkari risalah-risalah yang lain. Ia hanya untuk menolak
pernyataan yang mengklaim adanya pluralisme agama (al-ta‘addud wa al-takattsur al-dîniy) dalam
satu waktu. Hal itu tidak berarti bahwa agama Kristen, misalnya, satu agama yang ditolak.
Bagaimana mungkin dia ditolak, karena Kristen juga adalah “Islam” dalam satu fase kehidupan
manusia. Ia merupakan risalah ilahi yang benar dan dibenarkan di dalam Al-Qur’an yang mulia.
Tujuannya adalah: mengakui agama Kristen dan yang lainnya sebagai “naskah-naskah kuno” (nusakh
qadîmah) yang tidak sempurna menurut terminologi modern. Pada akhirnya, risalah ini juga menjadi
sempurna dan disebut sebagai “Islam”.[28] Meskipun tampak rasional, tetapi tidak mudah bagi
kaum pluralis untuk menerima Islam sebagai agama yang satusatunya “benar”. Menurut mereka
semua agama itu benar, tidak ada yang salah. Maka, setiap pemeluk agama harus mengedepankan
toleransi. Hans Kung, seorang teolog Katolik pernah memberikan seminar di Texas, yang juga dihadiri
oleh Muhammad Legenhausen. Dalam ceramahnya dia mengakui bahwa Muhammad s.a.w. adalah
nabi yang diutus dari sisi Allah. Sebagian besar umat Islam ketika itu mengucapkan takbir dan tahlil
serta memuji Allah. Karena mereka yakin ‘sang pembicara’ telah masuk Islam. Setelah itu, Hans Kung
berkomentar: “Tetapi saya tidak mememul Islam.” Kaum Muslim ketika itu merasa aneh dan
bertanya: “Bukankah Anda beriman kepada kenabian Muhammad?” Dia kemudian menjawab: “Ya,
saya memang mempercayainya, hanya saja saya juga percaya bahwa Kristus adalah Allah itu
sendiri.”[29] Dari sini tampak jelas, bahwa sangat berat bagi kaum pluralis untuk bersikap “inklusif”.
Sangat mudah mewacanakan kebenaran yang inklusif, tapi berat ketika harus bersinggungan dengan
keyakinan, doktrin atau dogma. Benar bahwa manusia adalah “satu umat”. Tapi manusia ini tidak
berada dalam “satu rel kebenaran”. Kebenaran itu sifatnya mutlak, karena dia lahir dari Allah yang
kebenaran-Nya Mahamutlak (alHaqq). Islam tidak mengingkari manusia lain sebagai mitra-interaksi.
Tapi dalam aqidah, dalam Islam tidak ada ruang untuk melakukan bergaining position. Imbas Paham
Pluralisme Agama Kaum pluralis berjuang habis-habisan untuk meluluskan keinginan mereka dalam
mengasongkan paham pluralisme agama. Bahkan tidak jarang mereka harus “memelintir” ayat-ayat
Al-Qur’an untuk meluluskan tujuannya. Khairaummah.com http://khairaummah.com Menggunakan
Joomla! Generated: 5 June, 2011, 04:06 Berikut ini, penulis mencatat dua isu penting berkaitan
tentang imbas pluralisme agama: pertama, dekonstruksi konsep Ahlul Kitab dan kedua, konsep
kawin campur (beda agama). Pertama, konsep Ahli Kitab. Menurut kaum pluralis, Ahli Kitab tidak
hanya terbatas pada umat Yahudi dan Kristen. Umatumat lain juga bisa dikategorikan sebagai “Ahli
Kitab”. Klaim ini jelas tak berdasar dan tidak dapat dipertanggungjawabk an secara ilmiah (unwell-
documented). Allah di dalam Al-Qur’an menyatakan bahwa Ahli Kitab hanya Yahudi dan Kristen.
Maka pendapat yang menyatakan bahwa agama-agama kultural (al-adyân alwadh‘iyyah- al-
ijtimâ‘iyyah) juga masuk ke dalam Ahli Kitab adalah tidak dapat dibenarkan.[30] Imam Syafi‘i sendiri
menolak kelompok lain, selain Yahudi dan Nasrani sebagai “Ahli Kitab”. Sehingga Majusi tetapi
dianggap Majusi. Seorang budak Majusi, jika tertawan, maka dia tidak boleh ‘digauli’, karena
agamanya adalah agama kedua orangtuanya (Majusi).[31] Dan sembelihan seorang Majusi tidak
halal dimakan, meskipun dia menyebut asma Allah s.w.t.[32] Kedua, kawin campur. Karena menurut
kaum pluralis agama itu sama, maka seorang wanita Muslimah “sahsah” saja untuk kawin dengan
laki-laki non-Muslim. Ini merupakan ‘ijtihâd’ yang salah kaprah dan tak berdasar sama sekali. Dalam
Fiqih Lintas Agama, misalnya, kaum pluralis mencatat: “Namun, bila pernikahan laki-laki Muslim
dengan wanita non-Muslim (Kristen dan Yahudi) diperbolehkan, bagaimana dengan yang sebaliknya,
yaitu pernikahan wanita Muslim dengan laki-laki non-Muslim, baik Kristen, Yahudi atau agama-
agama non-semitik lainnya? Memang, dalam masalah ini terdapat persoalan serius, karena tidak ada
teks suci, baik Al-Qur’an, hadis atau kitab fiqih sekalipun yang memperbolehkan pernikahan seperti
itu. Tapi menarik juga untuk dicermati, karena tidak ada larangan yang sharîh. Yang ada justru hadis
yang tidak begitu jelas kedudukannya, Rasulullah s.a.w. bersabda, “kami menikahi wanita-wanita
Ahli Kitab dan laki-laki Ahli Kitab tidak boleh menikahi wanita-wanit kami (Muslimah). Khalifah Umar
ibn Khatthab dalam sebuah pesannya, “Seorang Muslim menikahi wanita Nasrani, akan tetapi laki-
laki Nasrani tidak boleh menikahi wanita Muslimah.”[33] Menurut Imam al-Syirazî, seorang Muslim
diharamkan untuk menikahi seorang wanita kaum kafir yang tidak memiliki “kitab”, seperti kaum
pagan, juga orang-orang murtad dari Islam, beradasarkan firman Allah s.w.t. ‘wa laa tankihul
musyrikât hattâ yu’minna’.[34] Selain Yahudi dan Nasrani, yakni Ahli Kitab, seperti yang beriman
kepada kitab Zabur nabi Dawud a.s. dan Shuhuf nabi Syîts, maka hukumnya “tidak halal” bagi
seorang Muslim untuk menikahi wanita-wanita merdekanya juga budak-budaknya. ..[35] Mazhab
Imam Syafi‘i dalam hal ini saja sangat keras. Karena seorang Muslim yang menikahi wanita-wanita
Ahli Kitab –apa lagi non-Ahli Kitab—memiliki dampak negatif, terutama dalam keluarga dan
masyarakat.[36] Lebih lanjut, tentang pernikahan seorang wanita Muslim dengan laki-laki non-
Muslim, penulis buku Fiqih Lintas Agama ‘berijtihad’: “Jadi, soal pernikahan laki-laki non-Muslim
dengan wanita Muslim merupakan wilayah ijtihadi dan terikat dengan konteks tertentu, di antaranya
konteks dakwah Islam pada saat itu. Yang mana jumlah umat Islam tidak sebesar saat ini, sehingga
pernikahan antar agama merupakan sesuatu yang terlarang. Karena kedudukannya sebagai hukum
yang lahir atas proses ijtihad, maka amat dimungkinkan bila dicetuskan pendapat baru, bahwa
wanita Muslim boleh menikah dengan laki-laki non-Muslim, atau pernikahan beda agama secara
lebih luas diperbolehkan, apapun agama dan aliran kepercayaannya.[37] Penulis Katolik pluralis juga
ada yang mendukung konsep perkawinan beda agama ini. Ignatius Haryanto dan Pax Benedanto,
misalnya, menulis: “...ada juga beberapa isu yang selalu dirisaukan umat, misalnya masalah kawin
campur. Mengacu pada istilah yang disebutkan oleh Gereja, yang dimaksud dengan kawin campur
adalah pasangan perkawinan yang berasal dari latar belakang agama yang berbeda. Keprihatinan
lebih besar lagi muncul ketika kawin campur itu menyangkut agama Katolik dengan umat beragama
lain di luar Kristen.”[38] Setelah itu mereka mencantumkan cerita dua orang yang berbeda agama,
menikah menjadi suami-istri, namanya Bimo Nugroho (Katolik) dan Taty Aprilliana (Muslimah).
Akhirnya mereka berdua bahagia, meskipun awalnya Bimo ditolak oleh orangtua Taty. Mereka
menikah di sebuah Gereja di Semarang. Kedua penulis itu ingin menyatakan bahwa inklusif tidak
harus mengorbankan keyakinan masing-masing. Kawin tetap jalan, meskipun tidak harus pindah
agama. Ini juga adalah trik, bagaimana kaum pluralis mencoga meng-gol-kan tujuannya. Ini adalah
“ijtihad” ngawur dan salah kaprah. Menurut al-Qaradhawi, itu masuk ke dalam bentuk mazâliq
alijtihâd al-mu‘âshir (‘ketergelinciran ijtihad kontemporer’) . Pernikahan seorang Muslim dengan
wanita Ahli Kitab (al-kitâbiyyah) tidak bisa disamakan dengan seorang Muslimah menikah dengan
seorang laki-laki Ahli Kitab (alkitâbî). Padahal perbedannya sangat mencolok. Seorang Muslim
mengakui dasar agama seorang kitâbiyyah. Sehingga, dia menghormatinya, memelihara haknya dan
tidak ‘menyita’ aqidahnya. Sedangkan seorang kitâbî tidak mengakui agama sang Muslimah, tidak
mengimani kitabnya (baca: Al-Qur’an) dan tidak mengakui nabinya (Muhammad s.a.w.). Bagimana
mungkin seorang Muslim dapat hidup di bawah ‘payung’ seorang laki-laki Khairaummah.com
http://khairaummah.com Menggunakan Joomla! Generated: 5 June, 2011, 04:06 yang tidak
memandang hak apapun dari istrinya, yang notabene sebagai Muslimah? Pernyataan mereka bahwa
AlQur’an hanya mengharamkan kaum wanita musyrik (al-musyrikât) dan kitâbiyyât yang tidak
musyrikat, dibatalkan oleh ayat Al-Qur’an yang berbunyi: “Jika kalian mengetahui mereka (para
wanita itu) beriman, maka janganlah kalian kembalikan mereka kepada orang-orang (suami-suami
mereka) yang kafir. Mereka (para wanit itu) tidak halal baginya, dan dia tidak halal bagi mereka.”[39]
Di sini, hukum itu disusun berdasarkan “kekafiran” (al-kufr), bukan atas “kemusyrikan” (alsyirk),
dimana Allah s.w.t. menyatakan, “...jangan kembalikan mereka kepada orang-orang kafir. Jika
pengambilan hukum (al-‘ibrah)[40] lewat kemuman lafaz, maka lafaz “al-kuffâr” (orang-orang,
suami-suami kafir), di sini mencakup seorang kitâbî dan seorang pagan (al-watsanî: penyembah
berhala). Maka, siapa yang tidak beriman kepada risalah Muhammad s.a.w. maka –menurut hukum-
hukum dunia—adalah kafir, tanpa diperdebatkan.[41] Dalam Islam, seorang Muslim dibolehkan
mengawini wanita Ahli Kitab (kitâbiyyah). Tetapi “haram” hukumnya seorang wanita Muslimah
menikah dengan laki-laki non-Muslim. Dalam hal ini tidak ada “ijtihâd” lagi. Ijmak ulama sudah
menyatakan hal demikian.[42] Tidak hanya itu. Sampai hari ini agama Katolik belum bisa menerima
kawin campur secara jujur. Mereka masih menolak adanya kawin campur. Masalah kawin campur
menjadi masalah serius dalam tubuh Gereja. Menurut BR. Agung Prihartana, MSF dalam bukunya
Pendidikan Iman Anak dalam Keluarga Kawin Campur Beda Agama masalah pendidikan iman anak
dalam keluarga kawin campur memang merupakan persoalan yang sangat rumit dan dilematis.
Karena itulah Gereja Katolik pernah mengangkat permasalahan ini dalam pertemuan para Uskup
sedunia, yang membahas doktrin tentang perkawinan, selama masa persiapan Konsili Vatikan II
(1959-1960). Ternyata persoalan ini menjadi topik hangat dalam pertemuan para Uskup tersebut.
Beberapa Uskup dari Afrika memohon kepada Takhta Suci, hak untuk menyatakan tidak sahnya
sebuah perkawinan campur dan hal menolak memberikan dispensasi bagi pasangan kawin campur
beda agama, jika pihak non-baptis menolak memenuhi kewajiannya mendidik anak-anak mereka
dalam iman Katolik. Sementara para Uskup Amerika meminta Takhta Suci untuk tidak mudah
memberikan dispensasi bagi pasangan kawin campur beda agama, karena perkawinan ini akan
sangat merugikan pihak katolik.[43] Jadi, Gereja melihat bahwa kawin campur adalah masalah serius
dalam tubuh Gereja. Maka sangat aneh jika ada intelektual Muslim yang mencoba untuk mengusung
dan “mengasong” budaya kawin campur ini. Bukan saja tidak mendapat legitimasi hukum fiqh, juga
tidak mendapat legitimasi dari kaum Kristen (baik Katolik maupun Protestan) yang menjadi sasaran
ide ini. Lebih detil Agung mencatat: “Kitab Hukum Kanonik (KHK) tahun 1917 mulai membedakan
secara yuridis istilah kawin campur beda Gereja (mixta religiosa) dan kawin campur beda agama
(disparitas cultus). Namun demikian kitag hukum gerejawi ini tidak membedakan secara khusus
bentuk pelayanan pastoral terhadap kedua perkawinan campur tersebut, khususnya berkenaan
dengan persyaratan untuk mendapatkan izin bagi perkawinan mixta religiosa dan dispensasi bagi
perkawinan disparitas cultus dari ordinasi wilayah. Tentang kawin campur disparitas cultus, KHK
tahun 1917 menyatakan secara tegas bahwa perkawinan antara orang yang telah dibaptis di dalam
Gereja Katolik atau yang sudah bertobat dari bidaah atau skisma dengan non-baptis dianggap tidak
ada (null).[44] Dalam masalah pendidikan iman anak dalam kasus kawin campur, Gereja Katolik
memiliki dua dokumen penting. Pertama, instruksi tentang perkawinan campur, Matrimonii
Sacramentum dari kongregasi untuk urusan iman dan kedua, surat apostolik Matrimonia Mixta dari
Paulus VI, yang mana keduanya menjabarkan keadilan dan ketetapan dalam mengajukan persyarat
untuk memperoleh dispensasi dari halangan perkawinan beda agama. Kedua dokumen tersebut
menegaskan bahwa hanya pihak Katoliklah yang mempunyai kewajiban dan tanggungjawab berat
untuk mempertahankan kesetiaan dalam iman Katolik dan membaptis serta mendidik anak-anaknya
dalam iman Katolik.[45] Paus Paulus VI mengingatkan bahwa pihak Katolik sebisa mungkin
membaptis dan mendidik anak-anak dalam iman Katolik. Pernyataan Paus Paulus VI inilah yang
kemudian dirumuskan dalam KHK yang baru dengan kalimat “memberikan janji yang jujur bahwa ia
akan berbuat segala sesuatu dengan sekuat tenaga, agar semua anaknya dibaptis dan dididik dalam
Gereja Katolik”.[46] Jadi tidak bena istilah “anak-anak” dari perkawinan disparitas cultus bebas
memilih agamanya masingmasing. Dalam ‘keluarga pecal’ seperti ini mustahil tidak terdapat
gesekan-gesekan aqidah. Agar secara naluri, setiap orang punya keinginan menarik orang lain ke
dalam aqidahnya. Gereja bagaimanapun memiliki toleransi setengah hati. Sebagai contoh, yang
dicatat oleh Agung, bahwa Gereja menghormati dan menghargai agama-agama lain, yang di
dalamnya ada kebenaran dan kesucian. Namun demikian, Gereja tetap mengingatkan pihak Katolik
untuk tetap mewartakan Kristus, yang adalah jalan, kebenaran, dan hidup (Yohanes 14: 6), dimana
tiap manusia akan menemukan kepenuhan dan kesempurnaan hidup rohani, dan dimana Allah telah
mendamaikan dunia dengan diriNya.[47] Paus Paulus VI sendiri mengakui bahwa bentuk dua
perkawinan campur (mixta religiosa dan disparitas cultus) Khairaummah.com
http://khairaummah.com Menggunakan Joomla! Generated: 5 June, 2011, 04:06 menimbulkan
banyak persoalan dan kesulitan, karena perbedaan iman dan agama. Pelaksanaan ajaran Injil,
pemenuhan pelaksanaan doa dan ibadat serta pendidikan iman anak akan mengalami kesulitan
karena adanya perbedaan agama dan iman pasangan suami istri.[48] Perkawinan seorang penganut
Katolik dengan penganut Protestan (mixta religiosa) saja dianggap “problem” oleh Gereja, konon lagi
seorang Katolik menikah dengan seorang Muslim (Muslimah). Tentu problemnya akan lebih besar
dan rumit. Oleh karena itu, Paus Paulus VI tidak mendukung dan juga menganjurkan umat Katolik
untuk sebisa mungkin menghindari perkawinan campur. Paus Paulus VI melihat bahwa perbedaan
agama ini menghalangi pihak Katolik mencapai persatuan batin yang sempurna, dan kepenuhan
persatuan hidup perkawinan.[49] Maka sangat aneh, jika ada kalangan Muslim yang begitu getol
berkampanye dalam masalah kawin campur ini. Epilog Setelah melihat bagaimana rumitnya paham
“Pluralisme Agama”, seyogyanya para pengusung dan pengasong paham ini menyadari bahwa
paham ini adalah paham “sinkretisme teologis”. Satu paham dimana kebenaran menjadi relatif.
Kebenaran tidak laki menjadi tunggal dan mutlak. Kebenaran menjadi nisbi alias relatif. Maka
kebenaran dalam hal ini adalah kebenaran relatif, tidak ada yang mutlak dan absolut. Al-Qur’an
sebenarnya sudah menawarkan sejak awal konsep keragaman. Al-Qur’an menawarkan
“kemajemukan” (al-tanawwu‘iyyah), bukan “pluralisme” (al-ta‘addudiyyah). AlTanawu‘iyyah adalah
konsep “Islami-Qur’ani” yang bersandar pada akar filosofis mendalam: yang menegaskan bahwa
Allah s.w.t. telah menciptakan kosmos (al-kaun) secara beragam (mutanawwi‘), begitu juga dengan
manusia yang menerimanya. Allah s.w.t. menjelaskan, “Diantara tanda-tanda (kekuasaan)Nya adalah
penciptaan langit dan bumi, keragamaan lisan-lisan (bahasa) kalian dan warna kulit kalian. Dalam hal
demikian itu, terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang ‘alim (mengetahui) .”[50] Al-Qur’an
menegaskan tentang keberagaman manusia (al-tanawwu‘ al-basyarî) dalam hal berusaha (alqadhâyâ
al-kasbiyyah).[51] Bahkan, Allah s.w.t. mewanti-wanti Rasulullah s.a.w. agar tidak menguasai
kemajemukan ini dan melampauinya, karena di dalamnya ada banyak pilihan bagi sebagian orang:
untuk memilih ateisme (al-ilhâd) atau politeisme (al-syirk). Allah s.w.t. menjelaskan, “Sekiranya
Tuhanmu menghendaki, niscaya seluruh yang di bumi beriman seluruhnya. Apakah engkau
(Muhammad) akan memaksa manusia sampai beriman seluruhnya?”[52] Hal di atas menunjukkan
adanya pengakuan atas kemajemukan dengan segala levelnya: kemajemukan fitrah dan usaha. Dan
itu dianggap sebagai realitas dalam bangunan alam (al-binâ’ al-kaunî) lewat hukum sunnah-sunnah
Tuhan di alam. Juga dalam bangunan teologis dan ibadah (al-binâ’ al-i‘tiqâdî wa al-ta‘abbudî) bagi
manusia. Dan Rasulullah s.a.w. diperintahkan agar tidak memaksa atau membenci seseorang jika
menyimpang dari apa yang dipilihnya (Nabi s.a.w.)[53] Maka, penulis menyimpulkan bahwa
pluralisme agama tidak dapat diterima oleh Islam. Bukan saja tidak memiliki dasar yang jelas, tetapi
juga dapat merusak tatanan konsep Tawhid. Konsep Tawhid dalam Islam merupakan konsep genuine
dalam melihat Allah, manusia dan alam. Mencari legitimasi pluralisme agama dalam Islam (Al-
Qur’an, sunnah dan syariat Islam) sama artinya meruntuhkan konstruksi Islam yang sudah mapan.
Selain itu, pluralisme agama akan membongkar konsep yang sudah al-ma‘lûm min al-dîn bi al-
dharûrah, seperti konsep Ahli Kitab dan kawin beda agama. Dengan begitu, pluralisme agama adalah
paham yang “merusak” agama, khususnya Islam. Maka dia adalah makhluk “haram” dalam Islam.
[Q]. Wallahu a‘lamu bi al-shawâb. [1] Buku yang paling anyar yang mengasongkan faham ini di
Indonesia adalah “Islam dan Pluralisme: Akhlak Qur’an Menyikapi Perbedaan” (Serambi, 2006)
karangan Jalaluddin Rakhmat dan “AlQur’an Kitab Toleransi” (2008) karangan Zuhairi Misrawi. [2]
Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama: Tinjauan Kritis, (Jakarta: Perspektif (Kelompok GEMA
INSANI), 2005), hlm. 16-17. Buku Anis ini merupakan buku yang sangat komprehensif dan kritis
dalam membahas tren pluralisme agama. Penulis akan banyak mengutip buku yang ‘kaya’ ini. [3]
Ibid., hlm. 20-21. [4] Ibid., hlm. 21-22. [5] Ibid., hlm. 23. Seorang pemikir Muslim kontemporer asal
Amerika, Muhammad Longhausen, menceritakan bahwa beliau pernah mengikuti perdebatan
tentang “apakah seluruh agama berada dalam kebenaran” yang diadakan antara Seyyed Hossein
Nasr dan John Hick. Mereka berdua berbeda pendapat dalam poin penting tersebut –yang
merupakan ‘barang asongan’ kaum pluralis. John Hick berusaha untuk menyelesaikan kontradiksi
yang ada, yang mengharuskannya untuk membenarkan aqidah-aqidah Kristen (al-‘aqâ’id
alMasîhiyyah). Sementar itu, Nasr membela “keyakinan” bahwa pluralisme mengharuskannya
mengandung dan menguasai kontradiksi tersebut. Lihat wawancara Dr. Muhammad Longhausen
dalam jurnal al-Hayât al-Thayyibah, alTa‘addudiyyah bayna al-Islâm wa al-Librâliyyah: Hiwâr fî al-
Bunyi wa al-Munthaliqâ t, (Lebanon-Beirut: al-Hayât alThayyibah, edisi ke-11, thn. ke-4, 2003/1423),
hlm. 24. Artinya, memang belum ada titik final di antara pendukung Khairaummah.com
http://khairaummah.com Menggunakan Joomla! Generated: 5 June, 2011, 04:06 pluralisme agama
ini. [6] Salah satu buku yang mencoba untuk mencari legitimasi paham “Pluralisme Agama” adalah
karya Andrew D. Clarke & Bruce W. Winter (penyunting) , Satu Allah Satu Tuhan: Tinjauan Alkitabiah
Tentang Pluralisme Agama, terj. Martin B. Dainton, (Jakarta: PT BPK Gunung Mulia, cet. VI, 2006).
Bagian buku ini yang membahas tentang paham Pluralisme Agama adalah tulisan-tulisan: (1) Bruce
C. Winter, Orang Kristen mula-mula dan Pluralisme Agama (hlm. 75-98); dan (2) Thorsten Moritz,
Pluralisme Agama dalam Surat Efesus (hlm. 111-135). [7] Abdilhussein Khisrobenah, al-Ta‘addud al-
Dîniyyah: Ru’yah min al-Minzhâr al-Dîniy, diarabkan oleh Mâjid ‘Ali, dalam al-Hayât al-Thayyibah,
ibid., hlm. 72-73. [8] Lihat misalnya: Qs. Al-Baqarah [2]: 48 & 122, dan Qs. Al-A‘râf [7]: 140. [9] Roger
Garaudy, Mitos dan Politik Israel, (Jakarta: Gema Insani Press, 2000), hlm. 19. [10] Dua orang penulis
Kristen-Katolik menegaskan bahwa salah satu dokumen Konsili Vatikan II, Nostra Aetate (Hubungan
Gereja dengan Agama-Agama Bukan Kristen), jelas-jelas menyebutkan demikian: Persaudaraan
semesta tanpa diskriminasi Maka Gereja mengecam setiap diskriminasi antara orang-orang atau
penganiayaan berdasarkan keturunan atau warna kulit, kondisi kehidupan atau agama, sebagai
berlawanan dengan semangat Kristus. Oleh karena itu, Konsili Suci, mengikuti jejak para Rasul kudus
Petrus dan Paulus, meminta dengan sangat kepada umat beriman kristiani, supaya bila ini mungkin
“memelihara cara hidup yang baik di antara bangsa-bangsa bukan Yahudi” (1 Petrus 2: 12), dan
sejauh tergantung dari mereka hidup dalam damai dengan semua orang, sehingga mereka sungguh-
sungguh menjadi putra Bapa di sorga (Nostra Aetate 5). Lihat: Ignatius Haryanto dan Pax Benedanto,
Terbuka terhadap Sesama Umat Beragama: Aktualisasi Ajaran Sosial Gereja tentang Agama yang
Inklusif, (Yogyakarta: Kanisius, 2008), hlm. 33. Diakui memang, bahwa hubungan antara umat Katolik
dengan umat beragama lain baru mendapatkan basis yang lebih baik dalam 40-50 tahun terakhir,
khususnya sejak diselenggarakannya Konsili Vatikan II. Konsili yang bersejarah itu menunjukkan
betapa berubahnya pandangan Gereja Katolik selama ini, khususnya dalam melihat hubungan
dengan umat beragama lain. Sejumlah dokumen dalam konsili itu merevisi pandangan Gereja,
“dengan mengakui adanya keselamatan di luar Gereja”. Sebelumnya, Gereja menganggap diri
memiliki hak ekslusif atas keselamatan, setidaknya melihat pada pandangan Gereja dalam Konsili
Florence tahun 1351 dan juga ajaran Cyprianus, “Extra Ecclesiam Nulla Salus” (di luar Gereja tidak
ada keselamatan) . Ibid., hlm. 47-48. [11] Qs. Ali ‘Imrân [3]: 110. [12] Abdul Aziz Sachedina,
Kesetaraan Kaum Beriman: Akar Pluralisme Demokratis dalam Islam, terj. Satrio Wahono, (Jakarta:
Serambi, cet. I, 2002), hlm. 54-55. [13] Ibid., hlm. 59. [14] Menurut Jalal, “Shabi’in” berdasarkan
kitab-kitab tafsir, bisa menunjuk pada berbagai agama selain Islam. (Lihat: bukuk Jalal hlm. 22 (foot-
note)). Kesimpulan Jalal ini jelas sangat simplistik. Tanpa kritisisme yang memadai dia cepat
menyimpulkan bahwa buku-buku tafsir menjelaskan bahwa Shabi’in itu menunjuk pada berbagai
agama selain Islam. Pada tidak sesederhana kesimpulannya. Shabi’in dibahas oleh para mufassir
Muslim secara panjang lebar. Jika berbagai agama selain Islam disebut Shabi’in, maka konsep
Shabi’in dalam Al-Qur’an akan berantakan. Apalagi jika disesuaikan dengan kondisi sekarang. Apakah
mungkin Hindu, Budha, Konfusiusme, Taoisme, dll juga dapat disebut sebagai “Shabi’in”? [15]
Jalaluddin Rakhmat, Islam dan Pluralisme: Akhlak Qur’an Menyikapi Perbedaan, (Jakarta: Serambi,
cet. I, 2006), hlm. 22-23. [16] Ibid., hlm. 22. [17] Jalal juga, mengutip Murtadha Muthahhari
menyatakan, bahwa makna “Islam” dalam Qs. Ali ‘Imrân [3]: 85 adalah kepasrahan kepada al-Haqq,
Kebenaran atau Allah dan bukan agama terakhir yang dibawa oleh Nabi Muhammad s.a.w. ibid.,
hlm. 36. Di sini Jalal ingin merusak makna “Islam” dalam konsep AlQur’an. Menurut Muhammad
Legenhausen, tidak diragukan bahwa “Islam” memiliki makna umum yang sesuai dengan Nabi
Ibrahim a.s. dan Nabi Musa a.s. yang sesuai dengan kaum Muslim. Sebagian masalah yang
tampaknya termonopoli di dalam Al-Qur’an berkaitan dengan konsep Islam Umum (al-Islâm al-
‘Amm), yang dieksprsikan dengan sikap penyerahan diri (al-taslîm) kepada Allah secara umum.
Hanya saja, Al-Qur’an ketika berbicara tentang “Islam”, maksudnya adalah: bahwa setiap selain
agama Muhammad s.a.w. sekarang ini “tidak diterima” dari seorangpun. Artinya, “Islam” dalam
maknanya yang umum saat ini terbatas dalam “Islam” dalam maknanya yang “khusus” (anna al-
Islâm fî ma‘nâhu al- ‘amm inhashara hâliyan fî al-Islâm bimafhûmihi al-khâsh). Al-Hayât al-Thayyibah,
op.cit., hlm. 38. [18] Ibid., hlm. 23-24. [19] Ibid., hlm. 30. [20] Qs. Al-Mâ’idah [5]: 43-45. [21] Qs. Al-
Mâ’idah [5]: 46-47. [22] Imam Muslim ibn al-Hajjâj, Shahîh Muslim, (Kairo: Dâr ibn al-Haytsam,
2003), 4: 243. [23] Ibid. [24] Misalnya, Qs. Al-Mâ’idah [5]: 72, “Telah kafirlah orang-orang yang
mengatakan bahwa sesungguhnya Allah itu “Kristus” putera Maryam...” Konsep “Trinitas” (Arab:
Tatslîts, Tsâlûts) pun dikritik dalam Qs. Al-Mâ’idah [5]: 73, “Telah kafirlah orang-orang yang
mengatakan bahwa sesungguhnya Allah itu ‘satu’ dari yang ‘tiga’ (Trinitas). Padahal Allah itu “Esa”.
Bahkan, jika mereka –yang mengatakan demikian itu—tidak berhenti dari klaim mereka yang batil
ini, niscaya mereka akan disentuh oleh azab yang pedih. Kemudian, Allah s.w.t. mengajak mereka
untuk bertobat dan mohon ampun Khairaummah.com http://khairaummah.com Menggunakan
Joomla! Generated: 5 June, 2011, 04:06 kepada-Nya (Qs. Al-Mâ’idah [5]: 74). [25] Najaf-Ali Mirzae,
I‘âdah al-Shiyâghah limafhûm al-Dîn, bayna al-Wahdah wa al-Ta‘addud, dalam al-Hayât al-Thayyibah,
op.cit., hlm. 8. [26] Ibid. [27] Qs. Ali ‘Imrân [3]: 58. Artinya: “Barangsiapa yang mencari agama selain
“Islam”, maka dia tidak akan pernah diterima.” [28] Al-Hayât al-Thayyubah, op.cit., hlm. 8. [29]
Muhammad Longhausen, al-Hayât al-Thayyibah, ibid., hlm. 35. [30] Lihat: Nurcholis Madjid, Pijakan
Keimanan bagi Fiqih Lintas Agama, dalam Mun’im A. Sirry (ed.), Fiqih Lintas Agama: Membangun
Masyarakat Inklusif-Pluralis, , (Jakarta: Paramadina bekerjasama dengan Asia Foundation, cet. III,
2004), hlm. 50-53. Dalam hal ini, Nurcholish mengadopsi pendapat Rasyid Ridha yang menyatakan
bahwa pengertian “Ahli Kitab” sebenarnya tidak boleh dibatasi hanya pada kaum Yahudi dan
Nasrani, tetapi juga harus meliputi kaum Sabi’in dan Majusi, sertai kaum Hindu, Budha dan
Konghucu. [31] Imam Abu ‘Abdullah Muhammad ibn Idris al-Syafi‘î (150 H-204 H), al-Umm, (Beirut-
Lebanon: Dar alFikr, 1990), III: 289. [32] Ibid. [33] Ibid., hlm. 163. [34] Qs. Al-Baqarah [2]: 221. Lihat:
Syeikh Imam Abu Ishâq Ibrahim ibn ‘Ali ibn Yusuf al-Fayrûz Abâdî al-Syîrâzî, alMuhadzdzab fî Fiqh al-
Imâm al-Syâfi‘î, (Beirut-Lebanon: Dar al-Fikr, ttp.), II: 44. [35] Ibid. [36] Lihat lebih detil: Humaidhi ibn
Abdul Aziz ibn Muhammad Al-Humaidhi, Bolehkah Rumah Tangga Beda Agama?: Kupas Tuntas
Polemik Seputar Pernikahan dan Rumah Tangga Beda Agama Menurut 4 Mazhab, terj. Mutsanna
Abdul Qahhar dan Wahyuddin, (Solo: al-Tibyan, cet. I, 2007), hlm. 48-50. [37] Mun’im A. Sirry (ed),
Fiqih Lintas Agama, op. cit., hlm. 164. [38] Ignatius Haryanto dan Pax Benedanto, op.cit., hlm. 80.
[39] Qs. Al-Mumtahanah [ ]: 10. [40] Yaitu adagium para Ushûliyyûn, ‘al-‘ibrah bi ‘umûm al-lafzhi, la
bikhushûshs al-sabab’. [41] Dr. Yusuf al-Qaradhawi, al-Ijtihâd al-Mu‘âshir, bayna al-Indhibâth wa al-
Infirâth, (Kairo: Dar al-Tawzi‘ wa alNasyr al-Islâmiyyah, 1994), hlm. 58-59. [42] Lihat lebih detil:
Humaidhi bin Abdul Aziz bin Muhammad Al-Humaidhi, Bolehkan Rumah Tangga Beda Agama?:
Kupas Tuntas Polemik Seputar Pernikahan dan Rumah Tangga Beda Agama Menurut 4 Madzhab,
terj. Mutsanna Abdul Qahhar dan Wahyuddin, (Pustaka At-Tibyan: Solo, cet. I, 2007), hlm. 38-59.
Buku ini sangat komprehensif dan argumentatif dalam membahas polemik pernikahan beda agama,
yang sekarang menjadi tren baru, khususnya pernikahan para artis dan selebritis di Indonesia. Kasus
yang paling mencolok adalah perkawinan Dedy Corbuzier (Katolik) dan Kalina (Muslimah). Judul asli
buku ini adalah Ahkâm Nikâh al-Kuffâr‘alâ al-Madzâhib al-Arba‘ah. [43] BR. Agung Prihartanan, MSF,
Pendidikan Iman Anak dalam Keluarga Kawin Campur Beda Agama, (Yogyakarta: Kanisius, cet. I,
2007), hlm. 6-7. Agung mengutip pernyataan Gereja tersebut dari Acta et Documenta Concilio
Oecumenico Vaticano II, 1960-1969, vol. II, bab V, hlm. 40. [44] Ibid., hlm. 11. [45] Ibid., hlm. 22-23.
[46] Ibid., hlm. 23. [47] Ibid., hlm. 36. [48] Ibid., hlm. 37. [49] Ibid., hlm. 37-38. [50] Lihat: Qs. Al-Rûm
[ ]: 32, Qs. Al-Baqarah [2]: 164, dan Qs. Fâthir [ ]: 27-28. [51] Lihat: Qs. Al-Syûrâ [ ]: 8, Qs. Al-Hâjj [ ]:
67. [52] Qs. Yûnus [ ]: 99. [53] Lihat lebih detil: Thâhâ Jabir al-‘Ulwânî, al-Ta‘addudiyyah. ..Ushûl wa
Murâja‘ât: Bayna al-Istitbâ‘ wa al-Ibdâ‘, dalam serial Abhâts ‘Ilmiyyah (11), (Herndon-Amerika
Serikat: The International Institute of Islamic Thought, cet. I, 1996), hlm. 21-32.
Ancaman Pluralisme Agama di Malaysia: Satu Tinjauan Awal1 Oleh Dr. Yusri bin Mohamad2
BismiLlahirrahmanirahim, AlhamduliLlahi Rabbil `Alamin wa bihi Nasta`in, Wassolatu wassalamu `ala
Sayyidina wa Habibina Muhammadinilamin wa `ala Aalihi wa Sohbihi Ajma`in. Muqaddimah, Definisi
dan Premis Asas Tulisan ini adalah catatan ringkas pengamatan awal penulis di sekitar tajuk yang
dikirakan sudah cukup jelas dan terang maksudnya. Pun begitu, adalah dirasakan perlu makna
beberapa istilah di dalam tajuk tersebut tetap diteliti kerana mungkin masih terdapat percanggahan
tanggapan yang akhirnya menyukarkan kita mencapai suatu kesimpulan dan persetujuan, semata-
mata kerana berbeza dalam mendefinisikan istilah. Sedangkan para hukama sudah sekian lama
menegaskan kaedah bahawa, “Tidak wajar bertelingkah semata-mata kerana berbeza memahami
istilah” (La Mushaahata fi al-Istilah). Merujuk kepada tajuk kita, jika istilah-istilah kuncinya tidak
diperjelaskan, berkemungkinan besar kita tidak akan mampu bersetuju bahawa apa yang akan
dibentangkan sebagai realitirealiti yang wujud di Malaysia sudah pun memenuhi apa yang disebut
sebagai „Pluralisme Agama‟ dan sudah pun mencapai tahap suatu „ancaman‟. 1 Dibentangkan di
Wacana Membanteras Pluralisme Agama dan Pemurtadan Umat anjuran Pertubuhan Muafakat
Sejahtera Masyarakat Malaysia (MUAFAKAT), JAKIM, JAIS, ACCIN dan Permuafakatan NGO WP di
Dewan Serbaguna, Masjid Wilayah Persekutuan, Kuala lumpur, pada 14hb Disember 2010. 2
Pensyarah Kanan, Kulliyyah Undang-undang Ahmad Ibrahim, Universiti Islam Antarabangsa Malaysia.
Pernah menjawat Presiden ABIM dan Pengerusi ACCIN.
___________________________________________________________________________
Ancaman Pluralisme Agama di Malaysia: Satu Tinjauan Awal - Dr. Yusri bin Mohamad Wacana
Membanteras Gerakan Pluralisme Agama Dan Pemurtadan Ummah (14 Dis 2010) Muka surat 2 Kata-
kunci pertama yang perlu dihuraikan adalah kalimah „Pluralisme Agama‟. Oleh kerana kertas-kertas
awal dalam Wacana ini telah menjurus kepada perbahasan teori dan konsep „Pluralisme Agama‟
maka tidak perlulah lagi kita mengulangi perbahasannya di sini dan rujukan bolehlah dibuat terus
kepada kertas-kertas tersebut. Memadailah buat penegasan, kita memetik pandangan seorang
pengkaji yang menekuni isu ini, Dr. Anis Malik Toha, yang mengingatkan kita bahawa, “Yang perlu
digaris-bawahi di sini adalah bahwa bagi kalangan pluralis sejati, Pluralisme pada umumnya dan
Pluralisme Agama pada khususnya bukanlah sekadar toleransi belaka, sebagaimana yang jamak
di(salah)fahami oleh kalangan pentaklid pluralis. Penekanan Pluralisme lebih pada “kesamaan” atau
“kesetaraan” (equality) dalam segala hal, termasuk “beragama”. Setiap pemeluk agama harus
memandang sama pada semua agama dan pemeluknya. Oleh kerananya, sejatinya pandangan ini
pada akhirnya akan menggerus konsep keyakinan “iman-kufur”, “tawhid-syirik”, dalam sangat
sentral dalam agama Islam.” 3 Beliau kemudian merumuskan beberapa ciri asasi faham ini iaitu : 1.
Kesetaraan atau persamaan (equality). Ajaran pluralisme agama mengajarkan semua agama sama
dan setara, tak ada yang paling baik dan tak ada yang paling buruk. 2. Liberalisme atau kebebasan.
Ajaran pluralisme agama mengajarkan hak kebebasan beragama, dalam arti keluar-masuk agama.
Hari ini seseorang boleh menjadi Muslim, esok menjadi Kristen, esok lusa menjadi Hindu, dan
seterusnya. 3. Relativisme. Sebetulnya ini adalah implikasi dari kedua watak yang sebelumnya.
Ajaran pluralisme agama mengajarkan kebenaran agama relative. 4. Reduksionisme. Untuk sampai
kepada kesetaraan atau persamaan, ajaran pluralisme agama telah meredusir jati-diri atau identiti
agama-agama menjadi entiti yang lebih 3 Dr. Anis Malik Toha, “Ciri-ciri Faham Pluralisme Agama”,
Wacana Fahaman Pluralisme Agama dan Implikasinya Terhadap Masyarakat Islam, anjuran bersama
Pertubuhan Muafakat Sejahtera Masyarakat Malaysia (MUAFAKAT) dan Himpunan Keilmuan Muda
(HAKIM) dengan kerjasama Jabatan Agama Islam Selangor (JAIS), pada hari Sabtu, 1 Mei 2010,
bertempat di Conference Hall, Tingkat 3, Kulliyyah Ekonomi UIAM, Gombak.
http://muafakatmalaysia.wordpress.com/tag/wacana-fahaman-pluralisme-agama/
___________________________________________________________________________
Ancaman Pluralisme Agama di Malaysia: Satu Tinjauan Awal - Dr. Yusri bin Mohamad Wacana
Membanteras Gerakan Pluralisme Agama Dan Pemurtadan Ummah (
___________________________________________________________________________
Ancaman Pluralisme Agama di Malaysia: Satu Tinjauan Awal - Dr. Yusri bin Mohamad Wacana
Membanteras Gerakan Pluralisme Agama Dan Pemurtadan Ummah (14 Dis 2010) Muka surat 4
penduduk asalnya yang telah ditentukan oleh Tuhan Maha Pencipta. Malaysia berbeza dengan
Australia, Amerika Syarikat atau yang lebih dekat Singapura dan adalah kurang bermanfaat malah
berbahaya kalau Malaysia hendak mengikut acuan yang tidak serasi dengan hakikat dirinya. Kesan
dan Implikasi Faham Pluralisme Agama Jika telah jelas kepada kita bahawa Pluralisme Agama adalah
suatu faham yang menyeleweng daripada asas Islam, wajar pula kita meneliti kesan dan implikasinya
dalam konteks Malaysia secara khusus. 1. Implikasi Aqidah Pluralisme Agama sangat berpotensi
untuk menghakis kemurnian aqidah para penganut Islam di Malaysia secara sedar mahupun tidak.
Pluralisme Agama juga membuka pintu kepada kesyirikan dan kekufuran. Jika sudut aqidah umat
Islam sudah terkompromi maka sebenarnya keseluruhan jati-diri keagamaan umat itu sendiri sudah
tergadai. Allah SWT sangat tegas dalam hal aqidah berbanding aspek lain. Bercakap tentang Islam di
Malaysia, walaupun kita sedar bahawa masih banyak kelemahan dan kekurangan yang perlu
ditampung tetapi menjaga kemurnian aqidah serta bertegas terhadap penyelewengan aqidah adalah
antara aspek diberi lebih perhatian. Sejak daripada kes Natrah lagi hinggalah ke kes Nuraishah
Bokhari, Azlina Jailani, kes-kes murtad yang sampai ke pengetahuan umum akan menarik reaksi
aggresif masyarakat Islam. Pihak yang berwewenang, setakat ini, nampaknya masih bertahan
dengan tafsiran dan perlaksanaan undang-undang yang lebih menutup pintu murtad. Di suatu sudut
yang lain, fahaman-fahaman aqidah atas nama Islam yang menyeleweng turut dikekang dan tidak
diberikan kebebasan untuk berkembang-biak.5 Orang awam di kalangan umat Islam sendiri sangat
sensitif dan takut dengan ajaran sesat. Bezanya, Pluralisme Agama adalah suatu fahaman yang
datang dalam bentuk yang halus serta dengan imej faham Islam 5 Seperti ajaran Qadiani, Syiah serta
kumpulan-kumpulan ajaran sesat seperti ajaran Ayah Pin, alArqam dan yang seumpamanya.
___________________________________________________________________________
Ancaman Pluralisme Agama di Malaysia: Satu Tinjauan Awal - Dr. Yusri bin Mohamad Wacana
Membanteras Gerakan Pluralisme Agama Dan Pemurtadan Ummah (14 Dis 2010) Muka surat 5 yang
lebih moden dan progresif. Oleh itu mungkin sahaja seseorang itu sudah terjerumus ke dalamnya
tanpa menyedari atau tanpa merasakan bahawa ianya suatu yang salah. 2. Implikasi Keutuhan Umat
Jika kita sudah kompromi dalam bab aqidah maka umat sudah menghakis keutuhan umat dan
menempah kebinasaan kalaupun mungkin kesan zahirnya tidak terus kelihatan. Tetapi, lambat laun
Pluralisme Agama akan tetap menimbulkan krisis yang besar dan jelas di tengahtengah tubuh Umat.
Setidak-tidaknya akan mencetuskan pertelingkahan dan perselisihan sesama Islam dalam bab aqidah
yang dititik-beratkan oleh orang-orang Islam. Ini adalah kerana adalah mustahil untuk umat Islam di
Malaysia untuk bersepakat atas satu kesesatan seumpama Pluralisme Agama. Maka umat akan
terpecah kepada dua puak yang mungkin sahaja ketajaman perselisihannya itu lebih tajam
berbanding dengan perselisihan politik kepartaian. Malah sudah nyata bahawa pendokong parti
politik yang sama pun boleh jadi terjauh hati dan berpecah akibat Pluralisme Agama. Perpecahan
adalah antara punca utama kelemahan dan kemunduran Umat yang tak mampu kita tanggung dalam
realiti Malaysia. 3. Implikasi Sosio-politik Susulan dan terkait dengan implikasi agama dan
kefahaman, Pluralisme Agama juga akan membawa akibat buruk kepada situasi sosio-politik umat
Islam. Apabila kecemburuan umat Islam di Malaysia terhadap agama dapat dicairkan melalui faham
ini, maka agama sebagai salah satu benteng paling kukuh bagi formula sosio-politik di Malaysia juga
akan dirobohkan. Pengkaji sosio-politik yang insaf akan mengakui bahawa sepanjang sejarah negara,
agama menjadi antara faktor utama di sebalik kekukuhan kedudukan umat Islam di negara ini.
Keteguhan umat Islam sebagai umat teras dalam masyarakat berbilang kaum dan agama pula
menjadi sangga utama yang terbina di sekelilingnya kestabilan dan keharmonian agama. Merongkai
formula yang sudah terbukti ini bererti merongkai ikatan yang selama ini mengikat kesebatian
masyarakat. Pendek kata, Pluralisme Agama adalah suatu tikaman ke jantung negara dan bangsa
kerana Islam dan keIslaman adalah jantung dan hati kepada Malaysia dan bangsa Melayu sebagai
bangsa terasnya. Oleh itu, kalau pun Pluralisme Agama tidak dirasakan terlalu beracun atau berbisa
dalam konteks negara lain, di Malaysia ia adalah racun yang membunuh.
___________________________________________________________________________
Ancaman Pluralisme Agama di Malaysia: Satu Tinjauan Awal - Dr. Yusri bin Mohamad Wacana
Membanteras Gerakan Pluralisme Agama Dan Pemurtadan Ummah (14 Dis 2010) Muka surat 6
Aliran Pemikiran Berkaitan Pluralisme Agama di Malaysia Adalah lebih memudahkan kita mendapat
gambaran yang jelas tentang Pluralisme Agama di negara ini jika kita dapat mengenal-pasti terlebih
dahulu tren atau kecenderungan pemikiran yang ada dan bergerak dalam konteks Malaysia. Sesudah
mengenali lebih dekat madrasahmadrasah pemikiran ini kita akan turut meninjau isu-isu spesifik
berkaitan Pluralisme Agama di Malaysia yang ditimbulkan oleh mereka. 1. Madrasah Arus Perdana
Umat Umat Islam yang berpegang kepada tafsiran para ulama muktabar dalam menangani
persoalan. Jika ada lebih daripada satu pandangan atau khilafiyah maka mereka ini akan sedia untuk
mengikut pandangan yang dipilih oleh pihak autoriti agama dalam negara atas kaedah (Hukm al-
Hakim Yarfa` al-Khilaf). Misalnya dalam isu penggunaan kalimah Allah.6 2. Madrasah Arus Pinggiran
Umat Dari kalangan umat Islam yang tidak suka merujuk kepada khazanah warisan atas alasan mahu
membebaskan diri dari kongkongan dan kejumudan atau alasan yang senada dengannya. Mereka
mungkin berimej Islam, berlatarbelakang aktivis Islam ataupun masih aktif dalam parti berimej Islam
tetapi telah terpengaruh dengan ideologi dan fahaman yang tidak selari dengan Islam. 3. Madrasah
Arus Luaran Dari kalangan atau orang bukan Islam yang tidak yakin dengan Islam sebagai cara hidup
dan lebih terbudaya dengan gaya hidup bukan Islam. Boleh juga dikatakan terdapat kategori ke
empat, iaitu kes-kes berbau Pluralisme Agama yang terjadi tanpa disengajakan atau disedari. Tidak
didorong oleh ideologi yang khusus 6 Majoriti umat Islam di Malaysia menerima baik fatwa rasmi,
Jawatankuasa Fatwa Kebangsaan berkenaan dengan isu ini tidak cenderung memanjangkan polemik
mengenainya.
___________________________________________________________________________
Ancaman Pluralisme Agama di Malaysia: Satu Tinjauan Awal - Dr. Yusri bin Mohamad Wacana
Membanteras Gerakan Pluralisme Agama Dan Pemurtadan Ummah (14 Dis 2010) Muka surat 7
tetapi semata-mata tuntutan kehidupan bermasyarakat atau berpolitik dalam sebuah negara
majmuk seumpama Malaysia. Isu-isu dan Gejala Pluralisme Agama di Malaysia Kalaupun suara
Pluralisme Agama di negara kita tidak selantang di negara lain seperti di Indonesia misalnya,
sebenarnya terdapat di sana sebaris isu-isu yang sebenarnya berakarkan atau terbaur dengan faham
ini. 1. Isu murtad dan cinta rentas Agama. Merujuk kepada kes-kes mendokong usaha pemurtadan
umat Islam termasuk melalui tindakan mencabar melalui mahkamah. Turut mempengaruhi segelintir
orang Islam. Dalam menyokong murtad atas nama kebebasan beragama, seseorang Muslim boleh
terlanjur memperkecilkan kesalahan menukar agama serta mencairkan kebencian terhadap
kekufuran. 2. Penubuhan IFC (Interfaith Commission / Suruhanjaya Antara Agama) Merujuk kepada
usaha penubuhan platform dianggotai wakil pelbagai agama secara sama rata bagi menangani
pelbagai isu-isu hubungan antara agama. Tuntutan-tuntutan di sebalik penubuhan IFC ini melibatkan
usaha menyamakan kedudukan dan hak agama-agama lain agama Islam. 3. Perkongsian Perayaan
dan Acara Keagamaan. Merujuk kepada penganjuran majlis-majlis sambutan hari-hari kebesaran
agama secara bersama. Juga penyertaan orang-orang Islam khususnya pemimpin-pemimpin Muslim
dalam acara keagamaan di rumah-rumah ibadat agama lain. Boleh terlibat kepada pengiktirafan dan
turut memakmurkan kekufuran dan kebatilan. Juga mencairkan kebencian terhadap kekufuran. 4.
Penggunaan kalimah Allah oleh orang bukan Islam.
___________________________________________________________________________
Ancaman Pluralisme Agama di Malaysia: Satu Tinjauan Awal - Dr. Yusri bin Mohamad Wacana
Membanteras Gerakan Pluralisme Agama Dan Pemurtadan Ummah (14 Dis 2010) Muka surat 8
Merujuk kepada persoalan sama ada para penganut agama lain boleh menggunakan kalimah Allah
untuk merujuk kepada tuhan atau sembahan dalam agama mereka. Selain berupakan pelanggaran
terhadap hak Allah SWT dan adab terhadapNya, boleh meleburkan garis-garis pemisah antara Islam
dan agama-agama lain. 5. Isu pengharaman Yoga bagi umat Islam. Merujuk kepada Fatwa
Kebangsaan mengharamkan penglibatan orang-orang Muslim dalam senaman Yoga kerana ada
unsur-unsur agama lain di dalamnya. Boleh meleburkan pemisahan antara Islam dan agama lain. 6.
Mengucapkan salam kepada bukan Islam. Amalan mengucapkan salam Islam kepada orang bukan
Islam. Salam merupakan doa keselamatan dan kesejahteraan yang hakikatnya tidak selari dengan
kekufuran dan kebatilan yang ada pada diri mereka. Tanpa menafikan adanya perbezaan pandangan
dalam hal ini. 7. Penggunaan ayat-ayat al-Quran dan Hadis oleh orang bukan Islam dalam ucapan-
ucapan politik. Merujuk kepada tindakan beberapa pemimpin politik bukan Islam membaca dan
merujuk kepada ayat-ayat al-Quran dan Hadis serta mengulasnya mengikut kefahaman mereka.
Boleh membawa gambaran bahawa agama-agama yang berbeza itu berkongsi-kongsi dan berbahagi-
bahagi dalam kebenaran. Selain isu-isu di atas dan yang seumpamanya, Pluralisme Agama juga
muncul dalam bentuk gejala-gejala tertentu terutamanya pada kecenderungan sesetengah
pemimpin dan tokoh masyarakat beragama Islam untuk membawa mesej Pluralisme Agama dalam
ucapan mahu pun tindakan mereka. Nampaknya kecenderungan ini wujud merentasi batas politik
kepartian, kerajaan mahupun pembangkang. Contohnya Dato‟ Seri Anwar Ibrahim, dalam satu
ucapannya bertajuk “Religion and Pluralisme in a Divided World” pada 18 Mac 2010 di London
School of Economics ada mengatakan:
___________________________________________________________________________
Ancaman Pluralisme Agama di Malaysia: Satu Tinjauan Awal - Dr. Yusri bin Mohamad Wacana
Membanteras Gerakan Pluralisme Agama Dan Pemurtadan Ummah (14 Dis 2010) Muka surat 9 “... it
is a stark reality of our world that certain religious groups hold that only certain fundamental
doctrines may lead to salvation. This exclusivist outlook unfortunately cuts across the board as
between religions as well as within the denominations.” (…adalah suatu realiti dunia hari ini bahawa
sesetengah kumpulan agama percaya bahawa hanya aqidah tertentu yang mampu mencapai
keselamatan di Akhirat. Sikap eksklusif sebegini, malangnya dikongsi merentasi pelbagai agama dan
mazhab dalaman agama.) “Back in the 13th century, the mystical poet Jalaluddin al-Rumi wrote in
the Masnawi: The lamps are different but the Light is the same, it comes from Beyond; If thou keep
looking at the lamp, thou art lost; for thence arises the appearance of number and plurality.”
(Penyair Sufi , Jalaluddin al-Rumi menulis dalam Mathnawinya, “Lampu-lampunya berbeza tetapi
mengeluarkan cahaya yang sama yang datang dari alam lain. Kalau kamu menumpukan hanya pada
lampu, kamu akan keliru) “I believe I’m not alone in saying that for religious pluralism to flourish in a
divided world, it is morally unacceptable to say to people of other faiths: We believe in our God and
we believe we are right; you believe in your God, but what you believe in is wrong.” 7 (Saya percaya
bukan saya seorang yang mengatakan bahawa untuk Pluralisme Agama berkembang subur dalam
dunia berpecah-belah, adalah salah secara moral jika kita mengatakan kepada penganut agama lain :
Kami beriman dengan Tuhan kami dan kami percaya kami lah yang benar , kamu beriman dengan
Tuhan kamu tetapi kepercayaan kamu itu salah.) 7 Boleh dilayari di:
http://anwaribrahimblog.com/2010/03/12/religion-and-pluralism-in-a-dividedworld/
___________________________________________________________________________
Ancaman Pluralisme Agama di Malaysia: Satu Tinjauan Awal - Dr. Yusri bin Mohamad Wacana
Membanteras Gerakan Pluralisme Agama Dan Pemurtadan Ummah (14 Dis 2010) Muka surat 10 Di
pihak kerajaan pula kita perhatikan kecenderungan pendekatan meraikan acara keagamaan agama
lain seperti penyertaan YAB Perdana Menteri dan isteri beliau dalam sambutan Thaipusam di kuil
Batu Caves atau acara sambutan bersama hari besar agama-agama (kongsi raya). YAB Menteri Besar
Kelantan juga tidak terkecuali menerima kritikan atas penyertaannya dalam majlis rasmi kuil Buddha
di Kelantan. Satu lagi gejala yang dapat diperhatikan ialah kecenderungan sesetengah individu dan
kumpulan di negara kita terhadap tokoh-tokoh luar yang jelas-jelas menjuarai Pluralisme Agama.
Contohnya pujian terhadap tokoh liberalis-pluralis seperti Ulil Absar Abdullah dan Jaringan Islam
Liberal yang diasaskannya bersama teman-temannya yang sefikrah. Kesimpulan dan Saranan
Daripada isu-isu yang telah kita himbau, nampak wujudnya beberapa kecenderungan pemikiran
Pluralisme Agama yang bergerak aktif di Malaysia telah tersasar dari asas fahaman Islam yang
sebenar. Walaupun tidak seburuk jika di banding dengan beberapa negara umat Islam lain tetapi
oleh kerana masalah ini melibatkan aspek aqidah, apa-apa kepincangan perlu dianggap serius dan
kritikal. Dalam realiti dunia tanpa sempadan hari ini, situasi di negara kita boleh mudah terpengaruh
oleh perkembangan di negara lain dan keadaan boleh menjadi lebih buruk dalam jangka masa yang
singkat. Oleh kerana kerangka perlembagaan dan perundangan Malaysia membuka jalan kepada
penanganan isu ini secara komprehensif, maka segala pendekatan yang ada termasuk pendidikan,
kempen kesedaran, dialog, penguatkuasaan undang-undang hendaklah dimanfaatkan sebaik-baiknya
bagi membenteras gejala Pluralisme Agama di negara kita. Antara langkah yang disarankan: 1.
Fatwa-fatwa yang jelas dikeluarkan berkenaan dengan faham Pluralisme Agama dan apaapa amalan
yang berkaitan dengannya.
___________________________________________________________________________
Ancaman Pluralisme Agama di Malaysia: Satu Tinjauan Awal - Dr. Yusri bin Mohamad Wacana
Membanteras Gerakan Pluralisme Agama Dan Pemurtadan Ummah (14 Dis 2010) Muka surat 11 2.
Penerangan tentang Pluralisme Agama, bahaya dan perinciannya perlu dimasukkan dalam sukatan
pendidikan di semua peringkat yang sesuai. 3. Maklumat dan penerangan tentang Pluralisme Agama
perlu disebarkan di kalangan umat Islam dalam pelbagai bentuk kempen penerangan yang sesuai. 4.
Individu dan kumpulan yang menyebarkan faham ini perlu dinasihatkan dan jika mereka berterusan
melakukannya perlu disusuli dengan tindakan undang-undang. 5. Pada masa yang sama, orang
bukan Islam perlu diberi penerangan tentang asas dan falsafah di sebalik ajaran Islam berkaitan
dengan hubungan dan interaksi dengan penganut agama lain. Dengan ini tidak akan timbul salah-
faham terhadap ketegasan umat Islam dalam aspek ini. Mereka juga tidak akan secara sengaja
terlibat dalam menganjurkan sesuatu yang boleh menjuruskan rakan-rakan Muslim mereka dalam
gejala Pluralisme Agama. Semoga Allah SWT sentiasa menunjukkan kepada kita kebenaran itu
dengan sejelas-jelasnya dan memberi kekuatan kepada kita untuk mengikutinya dan
mempertahankannya, serta menunjukkan kebatilan itu sebagai kebatilan dan memberi kekuatan
kepada kita untuk menjauhi dan mencegahnya. Dan semoga Allah SWT sentiasa memelihara Islam
dan Umat Islam di negara yang dicintai ini. WaLlahu a`lam.
BAHAYA PLURALISME AGAMA (Pandangan Katolik, Protestan, Hindu, dan Islam terhadap
paham Pluralisme Agama) OLEH : DR. ADIAN HUSAINI (Doktor Peradaban Islam dari ISTAC-
International Islamic University Malaysia/ Ketua Program Doktor Pendidikan Islam Universitas Ibn
Khaldun Bogor) I. Pluralisme Agama : Definisi dan Penyebarannya Pluralisme Agama (Religious
Pluralism) adalah istilah khusus dalam kajian agama-agama. Sebagai „terminologi khusus‟, istilah ini
tidak dapat disamakan dengan makna istilah „toleransi‟, „saling menghormati‟ (mutual respect),
dan sebagainya. Sebagai satu paham (isme), yang membahas cara pandang terhadap agama-agama
yang ada, istilah „Pluralisme Agama‟ telah menjadi pembahasan panjang di kalangan para ilmuwan
dalam studi agama-agama (religious studies). Pluralisme Agama didasarkan pada satu asumsi bahwa
semua agama adalah jalan yang sama-sama sah menuju Tuhan yang sama. Jadi, menurut penganut
paham ini, semua agama adalah jalan yang berbeda-beda menuju Tuhan yang sama. Atau, mereka
menyatakan, bahwa agama adalah persepsi manusia yang relatif terhadap Tuhan yang mutlak,
sehingga – karena kerelativannya – maka setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim atau
meyakini, bahwa agamanya lebih benar atau lebih baik dari agama lain; atau mengklaim bahwa
hanya agamanya sendiri yang benar. Bahkan, menurut Charles Kimball, salah satu ciri agama jahat
(evil) adalah agama yang memiliki klaim kebenaran mutlak (absolute truth claim) atas agamanya
sendiri.1 Paham ini telah menyerbu semua agama. Klaim-klaim kebenaran mutlak atas masing-
masing agama diruntuhkan, karena berbagai sebab dan alasan. Di kalangan Yahudi, misalnya,
muncul nama Moses Mendelsohn (1729-1786), yang menggugat kebenaran eksklusif agama Yahudi.
Menurut ajaran agama Yahudi, kata Mendelsohn, seluruh penduduk bumi mempunyai hak yang sah
atas keselamatan, dan sarana untuk mencapai keselamatan itu tersebar sama luas – bukan hanya
melalui agama Yahudi – bahwa agama yang benar adalah Yahudi dan Kristen. Islam adalah suatu
tiruan dari agama Kristen dan agama Yahudi.3 ________________________________ 1 Charles
Kimball, When Religion Becomes Evil, (New York: HarperSanFrancisco, 2002). 2 Harold Coward,
Pluralisme: Tantangan bagi Agama-agama, (Yogyakarta: Kanisius, 1989), hal. 17. 3 Ibid, hal. 21-22.
Pandangan Rosensweig ini jelas sangat aneh, sebab sejak awalnya, Yahudi menolak keras klaim
Kristen bahwa Jesus adalah Juru Selamat. Karena itu, Yahudi menolak klaim Kristen tentang
kebenaran Perjanjian Baru. Dan bagi Kristen, kaum Yahudilah yang bertanggung jawab atas
terbunuhnya Yesus, sehingga hampir sepanjang sejarahnya, kaum Yahudi di Eropa menjadi ajang
pembantaian kaum Kristen. Encyclopaedia Judaica memberikan porsi yang Salah satu teolog Kristen
yang terkenal sebagai pengusung paham ini, Ernst Troeltsch, mengemukakan tiga sikap populer
terhadap agama-agama, yaitu (1) semua agama adalah relatif. (2) Semua agama, secara esensial
adalah sama. (3) Semua agama memiliki asal-usul psikologis yang umum. Yang dimaksud dengan
“relatif”, ialah bahwa semua agama adalah relatif, terbatas, tidak sempurna, dan merupakan satu
proses pencarian. Karena itu, kekristenan adalah agama terbaik untuk orang Kristen, Hindu adalah
terbaik untuk orang Hindu. Motto kaum Pluralis ialah: “pada intinya, semua agama adalah sama,
jalan-jalan yang berbeda yang membawa ke tujuan yang sama. (Deep down, all religions are the
same – different paths leading to the same goal).”4 Dalam tradisi Kristen, dikenal ada tiga cara
pendekatan atau cara pandang teologis terhadap agama lain. Pertama, eksklusivisme, yang
memandang hanya orangorang yang mendengar dan menerima Bibel Kristen yang akan
diselamatkan. Di luar itu tidak selamat. Kedua, inklusivisme, yang berpandangan, meskipun Kristen
merupakan agama yang benar, tetapi keselamatan juga mungkin terdapat pada agama lain. Ketiga,
pluralisme, yang memandang semua agama adalah jalan yang sama-sama sah menuju inti dari
realitas agama. Dalam pandangan Pluralisme Agama, tidak ada agama yang dipandang lebih superior
dari agama lainnya. Semuanya dianggap sebagai jalan yang sama-sama sah menuju Tuhan (all the
religious traditions of humanity are equally valid paths to the same core of religious reality. In
pluralism, no one religion is superior to any other; the many religions are considered equally valid
ways to know God). 5 Tokoh lain penganut paham Pluralisme Agama terkemuka di kalangan Kristen,
yakni Prof. John Hick, menyatakan bahwa terminologi “religious pluralism” itu merujuk pada suatu
teori dari hubungan antara agama-agama dengan segala perbedaan dan pertentangan klaim-klaim
mereka. Pluralisme, secara ekplisit menerima posisi yang lebih radikal yang diaplikasikan oleh
inklusivisme: yaitu satu pandangan bahwa agamaagama besar mewujudkan persepsi, konsepsi, dan
respon yang berbeda-beda tentang “The Real” atau “The Ultimate”. Juga, bahwa tiap-tiap agama
menjadi jalan untuk menemukan keselamatan dan pembebasan. 6 ___________________ sangat
besar (73 halaman) untuk pembahasan sejarah anti-Yahudi (yang mereka sebut anti-Semitism) di
masa itu. Encyclopaedia ini menulis: “Sejak Kekristenan lahir sebagai satu sekte Yahudi
pembangkang, pandangan tertentu terhadap Judaisme dalam Kitab Perjanjian Baru harus dilihat
dalam perspektif ini). Sikap anti-Yahudi bisa ditelusuri dalam New Testament. “Mengenai Injil
mereka adalah seteru Allah oleh karena kamu, tetapi mengenai pilihan mereka adalah kekasih Allah
oleh karena nenek moyang.” (Roma, 11:28). Di antara New Testament, Matius dan Yohanes dikenal
paling „hostile‟ terhadap Judaisme. Yahudi secara kolektif dianggap bertanggung jawab terhadap
penyaliban Jesus. “Dan seluruh rakyat itu menjawab: “Biarlah darah-Nya ditanggungkan atas kami
dan atas anak-anak kami.” (Matius, 27:25). Yahudi juga diidentikkan dengan kekuatan jahat. “Iblislah
yang menjadi bapamu dan kamu ingin melakukan keinginan-keinginan bapamu.” (Yohanes, 8:44).
Sikap-sikap anti-Yahudi yang dikembangkan tokoh-tokoh Gereja kemudian, adalah variasi atau
perluasan dari tuduhan-tuduhan yang tercantum dalam Injil. 1 (Encyclopaedia Judaica, (Jerusalem:
Kater Publishing House Ltd), Vol. 2. 4 Paul F. Knitter, No Other Name?, dikutip dari Stevri I.
Lumintang, Theologia Abu-Abu: Tantangan dan Ancaman Racun Pluralisme dalam Teologi Kristen
Masa Kini, (Malang: Gandum Mas, 2004), hal. 67. 5 Alister E. Mcgrath, Christian Theology: an
Introduction, (Oxford: Blackwell Publisher, 1994). pp 458- 459; Daniel B. Clendenin, Many Gods
Many Lords: Christianity Encounters World Religions, (Michigan: Baker Books, 1995). Hal. 12. 6 John
Hick, dalam Mircea Eliade (ed), The Encyclopedia of Religion, (New York: MacMillan Publishing
Company, 1987), Vol. 12, hal. 331. Dalam pengantar bukunya, God Has Many Names, (Philadelphia:
The Westminster Press, 1982), John Hick mengajak kaum Kristen untuk meninjau kembali
pandangan mereka terhadap agama lain. Sejarah kekristenan Barat, menurut Hick, belum lama sadar
tentang „kondisi plural‟. Sebelumnya, agama-agama seperti Hinduisme, Budhisme, Judaisme, dan
Islam, pada umumnya dipandang sebagai sisa-sisa paganisme, yang dipandang inferior terhadap
agama Kristen dan menjadi sasaran empukkaum misionaris Kristen. Tapi, saat ini, Intinya, John Hick –
salah satu tokoh utama paham religious pluralism -- mengajukan gagasan pluralisme sebagai
pengembangan dari inklusivisme. Bahwa, agama adalah jalan yang berbeda-beda menuju pada
tujuan (the Ultimate) yang sama. Ia mengutip Jalaluddin Rumi yang menyatakan: “The lamps are
different but the light is the same; it comes from beyond.” Menurut Hick, “the Real” yang
merupakan “the final object of religious concern”, adalah merupakan konsep universal. Di Barat,
kadang digunakan istilah “ultimate reality”; dalam istilah Sansekerta dikenal dengan “sat”; dalam
Islam dikenal istilah al-haqq. 7 Pluralisme Agama berkembang pesat dalam masyarakat Kristen-Barat
disebabkan setidaknya oleh tiga hal: yaitu (1) trauma sejarah kekuasaan Gereja di Zaman
Pertengahan dan konflik Katolik-Protestan, (2) Problema teologis Kristen dan (3) problema Teks
Bibel. Ketika Gereja berkuasa di zaman pertengahan, para tokohnya telah melakukan banyak
kekeliruan dan kekerasan yang akhirnya menimbulkan sikap trauma masyarakat Barat terhadap
klaim kebenaran satu agama tertentu. Problema yang menimpa masyarakat Kristen Barat ini
kemudian diadopsi oleh sebagian kalangan Muslim yang „terpesona‟ oleh Barat atau memandang
bahwa hanya dengan mengikuti peradaban Baratlah maka kaum Muslim akan maju. Termasuk dalam
hal cara pandang terhadap agama-agama lain, banyak yang kemudian menjiplak begitu saja, cara
pandang kaum Iklusifis dan Pluralis Kristen dalam memandang agama-agama lain. Di Indonesia,
penyebaran paham ini sudah sangat meluas, baik dalam tataran wacana publik maupun buku-buku
di perguruan tinggi. 8 Sebagai contoh, tokoh pembaruan Islam di Indonesia, Prof. Dr. Nurcholish
Madjid, menyatakan, bahwa ada tiga sikap dialog agama yang dapat diambil. Yaitu, pertama, sikap
eksklusif dalam melihat agama lain (Agama-agama lain adalah jalan yang salah, yang menyesatkan
bagi pengikutnya). Kedua, sikap inklusif (Agama-agama lain adalah bentuk implisit agama kita).
Ketiga, sikap pluralis – yang bisa terekspresi dalam macam-macam rumusan, misalnya: “Agama-
agama lain adalah jalan yang samasama sah untuk mencapai Kebenaran yang Sama”, “agama-agama
lain berbicara secara berbeda, tetapi merupakan Kebenaran-kebenaran yang sama sah”, atau
“Setiap agama mengekspresikan bagian penting sebuah Kebenaran”. Lalu, tulis Nurcholish lagi,
“Sebagai sebuah pandangan keagamaan, pada dasarnya Islam bersifat inklusif dan merentangkan
tafsirannya ke arah yang semakin pluralis. Sebagai contoh, filsafat perennial yang belakangan banyak
dibicarakan dalam dialog antar agama di Indonesia merentangkan pandangan pluralis dengan
mengatakan bahwa setiap agama sebenarnya merupakan ekspresi keimanan terhadap Tuhan yang
sama. Ibarat roda, pusat roda itu adalah _______________________ kata Hick kepada kaum Kristen,
„‟kita semua telah menyadari bahwa – dalam berbagai tingkatan – sejarah kekristenan kita adalah
salah satu dari berbagai arus kehidupa keagamaan, yang masing-masing memiliki satu bentuk
pengalaman, pemikiran, dan spiritualitas keagamaan yang khas. Karena itu, kita harus menerima
adanya keperluan untuk meninjau kembali pemahaman keagamaan kita, bukan sebagai satu-satunya
(agama), tetapi sebagai salah satu dari sekian banyak agama.‟‟ (To day, however, we have all
become conscious, in varying degrees, that our Christian history is one of a number of variant
streams of religious life, each with its own distinctive forms of experience, thought, and spirituality.
And accordingly, we have come to accept the need to re-understand our own faith, not as the one
and only, but as one of several.‟‟ 8 Lebih jauh tentang perkembangan peradaban Barat dan
Pluralisme Agama lihat Adian Husaini, Wajah Peradaban Barat: Dari Hegemoni Kristen ke Dominasi
Sekular-Liberal, (Jakarta:GIP, 2005). Contoh pandangan yang memuja Barat dan menganggap Barat
sebagai sumber dan kiblat bagi kemajuan Islam dikemukakan oleh sejumlah tokoh sekular Turki yang
memelopori Gerakan Turki Muda. Dalam kata-kata Abdullah Cevdet, seorang tokoh Gerakan Turki
Muda: “Yang ada hanya satu peradaban, dan itu adalah peradaban Eropa. Karena itu, kita harus
meminjam peradaban Barat, baik bunga mawarnya mau pun durinya sekaligus.” (There is only one
civilization, and that is European civilization. Therefore, we must borrow western civilization with
both its rose and its thorn). (Lebih jauh tentang Gerakan Turki Muda dan ideologinya, lihat Adian
Husaini, Tinjauan Historis Konflik Yahudi-Kristen-Islam, (Jakarta:GIP, 2004). Tuhan, dan jari-jari itu
adalah jalan dari berbagai Agama. Filsafat perenial juga membagi agama pada level esoterik (batin)
dan eksoterik (lahir). Satu agama berbeda dengan agama lain dalam level eksoterik, tetapi relatif
sama dalam level esoteriknya. Oleh kerana itu adalah istilah “Satu Tuhan Banyak Jalan‟ . Nurcholish
Madjid juga menulis “jadi Pluralisme sesungguhnya adalah sebuah Aturan Tuhan(Sunnat Allah
“Sunnatullah”) yang tidak akan berubah, sehingga juga tidak mungkin dilawan atau diingkari” 9
Ketika semua agama dipandang sebagai jalan yang sama-sama sah untuk menuju Tuhan – siapa pun
Dia, apa pun nama dan sifat-Nya – maka muncullah pemikiran bahwa untuk menuju Tuhan bisa
dilakukan dengan cara apa saja. Syariat dipandang sebagai hal yang tidak penting, sekedar
teknis/cara menuju Tuhan (aspek eksoteris). Sedangkan yang penting adalah aspek batin (esoteris).
Karena itu, cara ibadah kepada Tuhan dianggap sebagai masalah „teknis‟, soal „cara‟, yang secara
eksoterik memang berbeda-beda, tetapi substansinya dianggap sama. Dr. Luthfi Assyaukanie, dosen
Universitas Paramadina, menulis di Harian Kompas: “Seorang fideis Muslim, misalnya, bisa merasa
dekat kepada Allah tanpa melewati jalur shalat karena ia bisa melakukannya lewat meditasi atau
ritus-ritus lain yang biasa dilakukan dalam persemedian spiritual. Dengan demikian, pengalaman
keagamaan hampir sepenuhnya independen dari aturan-aturan formal agama. Pada gilirannya,
perangkat dan konsep-konsep agama seperti kitab suci, nabi, malaikat, dan lain-lain tak terlalu
penting lagi karena yang lebih penting adalah bagaimana seseorang bisa menikmati spiritualitas dan
mentransendenkan dirinya dalam lompatan iman yang tanpa batas itu.” (Kompas, 3/9/2005)
Sumanto Al-Qurtuby, alumnus Fakultas Syariah IAIN Semarang, juga menulis dalam bukunya yang
berjudul: Lubang Hitam Agama: “Jika kelak di akhirat, pertanyaan di atas diajukan kepada Tuhan,
mungkin Dia hanya tersenyum simpul. Sambil menunjukkan surga-Nya yang mahaluas, di sana
ternyata telah menunggu banyak orang, antara lain, Jesus, Muhammad, Sahabat Umar, Ghandi,
Luther, Abu Nawas, Romo Mangun, Bunda Teresa, Udin, Baharudin Lopa, dan Munir!” (Lubang
Hitam Agama, hal. 45). Yang perlu diperhatikan oleh umat Islam, khususnya kalangan lembaga
pendidikan Islam, adalah bahwa penyebaran paham Pluralisme merupakan proyek global yang
melibatkan kepentingan dan dana yang sangat besar. Tidak heran, jika penyebaran paham ini
menjadi perhatian negara-negara Barat dan LSM-LSM global. Hampir seluruh LSM dan proyek yang
dibiayai oleh LSM-LSM Barat, seperti The Asia Foundation, Ford Foundation, dan sejenisnya, adalah
mereka-mereka yang bergerak dalam penyebaran paham Pluralisme Agama. LSM-LSM Barat itu
secara sistematis menyusup masuk ke lembaga-lembaga atau organisasi Islam dengan menawarkan
proyek-proyek penyebaran paham Pluralisme Agama. Berbagai buku, jurnal, artikel, dan sebagainya
telah diterbitkan dengan sokongan dana besar-besaran. Paham ini bahkan sudah menyusup di buku-
buku yang diajarkan kepada mahasiswa Perguruan Tinggi Islam. Sebagai contoh, seorang dosen
Ushuluddin Universitas Islam Negeri (UIN) Bandung menulis: ____________________________ 9
Lihat, buku Tiga Agama Satu Tuhan, (Bandung: Mizan, 1999), hal. xix., dan Nurcholish Madjid, Islam
Doktrin dan Peradaban, (Jakarta: Paramadina, 1995), hal. lxxvii.5 “Setiap agama sudah pasti memiliki
dan mengajarkan kebenaran. Keyakinan tentang yang benar itu didasarkan kepada Tuhan sebagai
satu-satunya sumber kebenaran.” (hal. 17)…“Keyakinan bahwa agama sendiri yang paling benar
karena berasal dari Tuhan, sedangkan agama lain hanyalah konstruksi manusia, merupakan contoh
penggunaan standar ganda itu. Dalam sejarah, standar ganda ini biasanya dipakai untuk menghakimi
agama lain, dalam derajat keabsahan teologis di bawah agamanya sendiri. Melalui standar ganda
inilah, terjadi perang dan klaim-klaim kebenaran dari satu agama atas agama lain.” (hal. 24) …
Agama adalah seperangkat doktrin, kepercayaan, atau sekumpulan norma dan ajaran Tuhan yang
bersifat universal dan mutlak kebenarannya. Adapun keberagamaan, adalah penyikapan atau
pemahaman para penganut agama terhadap doktrin, kepercayaan, atau ajaran-ajaran Tuhan itu,
yang tentu saja menjadi bersifat relatif, dan sudah pasti kebenarannya menjadi bernilai relatif. (hal.
20).10 Karena itulah, kaum Pluralis Agama sangat marah dengan keluarnya fatwa MUI, tahun 2005,
yang mengharamkan paham Pluralisme Agama. Karena itu, bisa dipahami, jika dalam berbagai
seminar dan kesempatan, MUI menjadi bahan caci-maki. Jurnal Justisia Fakultas Syariah IAIN
Semarang edisi 28 Th XIII/2005, memuat laporan utama berjudul ”Majelis Ulama Indonesia Bukan
Wakil Tuhan.” Dalam jurnal ini, misalnya, diturunkan wawancara dengan seorang staf Perhimpunan
Bantuan Hukum Indonesia (PBHI), dengan judul ”MUI bisa Dijerat KUHP Provokator”. Ia membuat
usulan untuk MUI: ”Jebloskan penjara saja dengan jeratan pasal 55 provokator, jelas hukumannya
sampai 5 tahun.” Berikutnya, staf PBHI itu menyatakan, ”MUI kan hanya semacam menjual nama
Tuhan saja. Dia seakan-akan mendapatkan legitimasi Tuhan untuk menyatakan sesuatu ini
mudharat, sesuatu ini sesat. Padahal dia sendiri tidak mempunyai kewenangan seperti itu. Kalau
persoalan agama, biarkan Tuhan yang menentukan.” Kita juga masih ingat, menyusul keluarnya
fatwa tentang sekularisme, pluralisme agama, dan liberalisme, MUI dikatakan tolol, dan sebagainya.
Dalam situsnya, Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta
(http://www.usembassyjakarta.org/bhs/Laporan/indonesia_Laporan_deplu-AS.html) pada 4 Mei
2007, memuat halaman muka berjudul ”Dukungan terhadap Hak Asasi Manusia dan Demokrasi:
Catatan A.S. 2004 – 2005.” Ada baiknya disimak laporan yang ditulis dalam website Kedubes AS di
Jakarta yang berkaitan dengan Islam dan pluralisme agama berikut ini: ”Dalam usaha menjangkau
masyarakat Muslim, Amerika Serikat mensponsori para pembicara dari lusinan pesantren, madrasah
serta lembaga-lembaga pendidikan tinggi Islam, untuk bertukar pandangan tentang pluralisme,
toleransi dan penghargaan terhadap Hak Asasi Manusia. Kedutaan mengirimkan sejumlah pemimpin
dari 80 pesantren ke Amerika Serikat untuk mengikuti suatu program tiga-minggu tentang pluralisme
agama, pendidikan kewarganegaraan dan pembangunan pendidikan…Dalam membantu jangkauan
jangka panjang, lima American Corners dibuka di lembagalembaga pendidikan tinggi Muslim di
seluruh Indonesia. Amerika Serikat juga mendanai The Asia Foundation untuk mendirikan suatu
pusat internasional dalam memajukan hubungan regional dan internasional di antara para
intelektual dan aktivis Muslim progresif dalam mengangkat suatu wacana tingkat internasional
tentang penafsiran Islam progresif. Amerika Serikat juga memberikan pendanaan kepada berbagai
organisasi Muslim dan pesantren untuk mengangkat persamaan jender dan anak perempuan dengan
______________________________ 10 Adeng Muchtar Ghazali, Ilmu Studi Agama, (Bandung:
Pustaka Setia, 2005). memperkuat pengertian tentang nilai-nilai tersebut di antara para pemimpin
perempuan masyarakat dan membantu demokratisasi serta kesadaran jender di pesantren melalui
pemberdayaan pemimpin pesantren lakilaki dan perempuan. Mengembangkan suatu lingkungan
dimana orang Indonesia dapat secara bebas menggunakan hak-hak sipil dan politik mereka adalah
kritis bagi tujuan kebijakan luar negeri Amerika Serikat dalam memelihara pluralism dan toleransi
untuk menghadapi ekstrimisme.” Berikut ini sebagian contoh buku Pluralisme Agama yang dibiayai
oleh LSMLSM asing seperti The Asia Foundation dan Ford Foundation: (1) Buku Fiqih Lintas Agama
yang diterbitkan oleh Paramadina dan The Asia Foundation. Dengan berdasarkan pada Pluralisme
Agama, buku ini kemudian juga merombak hukum Islam dalam bidang perkawinan, dengan
menghalalkan perkawinan wanita Muslimah dengan lelaki non-Muslim: “Soal pernikahan laki-laki
non-Muslim dengan wanita Muslim merupakan wilayah ijtihadi dan terikat dengan konteks tertentu,
diantaranya konteks dakwah Islam pada saat itu. Yang mana jumlah umat Islam tidak sebesar saat
ini, sehingga pernikahan antar agama merupakan sesuatu yang terlarang. Karena kedudukannya
sebagai hukum yang lahir atas proses ijtihad, maka amat dimungkinkan bila dicetuskan pendapat
baru, bahwa wanita Muslim boleh menikah dengan laki-laki non-Muslim, atau pernikahan beda
agama secara lebih luas amat diperbolehkan, apapun agama dan aliran kepercayaannya.” 14 (2)
Buku “Nilai-nilai Pluralisme dalam Islam”, (Kerjasama Fatayat Nahdhatul Ulama dan dengan Ford
Foundation): Diantara isi buku ialah menyatakan bahwa semua agama adalah sama dan benar; Islam
bukanlah satu-satunya jalan kebenaran; dan agama dipandang sama dengan budaya (Pluralisme
Agama): “Dalam konteks ini, maka Islam tak lain adalah satu jalan kebenaran diantara jalan-jalan
kebenaran yang lain… artinya jalan menuju kebenaran tidak selamanya dan musti harus melalui jalan
„agama‟, tapi juga bisa memakai medium yang lain. Karena sifatnya yang demikian maka Islam
kemudian berdiri sejajar dengan praktik budaya yang ada. Tidak ada perbedaan yang signifikan
kecuali hanya ritualistik simbolistik. Sedangkan esensinya sama, yakni menuju kebenaran
transendental.” 15 Ternyata, bukan hanya Islam yang dibuat repot oleh paham Pluralisme Agama.
Semua agama direpotkan oleh paham ini. Dalam paparan berikutnya, akan terlihat, bagaimana sikap
dari Katolik, Protestan, Hindu, dan Islam terhadap paham yang pada intinya „menyamakan semua
agama‟ ini. Padahal, setiap agama memang mempunyai ajaran dan klaim kebenaran masing-masing,
yang unik dan khas, yang berbeda antara satu dengan lainnya. _________________________ 14 A.
Mun‟im Sirry (ed), Fiqih Lintas Agama (Jakarta: Paramadina, 2004), hal. 164. 15 Lihat, buku “Nilai-
nilai Pluralisme dalam Islam” (Jakarta: Fatayat Nahdhatul Ulama dan Ford Foundation, 2005), hal. 59.
II. Pandangan Katolik Menghadapi serbuan paham Pluralisme Agama ini, maka para tokoh
agamaagama tidak tinggal diam. Paus Yohannes Paulus II, tahun 2000, mengeluarkan Dekrit
„Dominus Jesus‟. Berikut ini kita kutipkan pendapat tokoh Katolik Prof. Frans Magnis Suseno,
tentang Pluralisme Agama, sebagaimana ditulis dalam bukunya, Menjadi Saksi Kristus Di Tengah
Masyarakat Majemuk. 16 Pluralisme agama, kata Frans Magnis Suseno, sebagaimana diperjuangkan
di kalangan Kristen oleh teolog-teolog seperti John Hick, Paul F. Knitter (Protestan) dan Raimundo
Panikkar (Katolik), adalah paham yang menolak eksklusivisme kebenaran. Bagi mereka, anggapan
bahwa hanya agamanya sendiri yang benar merupakan kesombongan. Agama-agama hendaknya
pertama-pertama memperlihatkan kerendahan hati, tidak menganggap lebih benar daripada yang
lain-lain. Teologi yang mendasari anggapan itu adalah, kurang lebih, dan dengan rincian berbeda,
anggapan bahwa agamaagama merupakan ekspresi religiositas umat manusia. Para pendiri agama,
seperti Buddha, Yesus, dan Muhammad merupakan genius-genius religius, mereka menghayati
dimensi religius secara mendalam. Mereka, mirip dengan orang yang bisa menemukan air di tanah,
berakar dalam sungai keilahian mendalam yang mengalir di bawah permukaan dan dari padanya
segala ungkapan religiositas manusia hidup. Posisi ini bisa sekaligus berarti melepaskan adanya Allah
personal. Jadi, yang sebenarnya diakui adalah dimensi transenden dan metafisik alam semesta
manusia. Namun, bisa juga dengan mempertahankan paham Allah personal. Masih menurut
penjelasan Frans Magnis Suseno, Pluralisme Agama itu sesuai dengan “semangat zaman”. Ia
merupakan warisan filsafat Pencerahan 300 tahun lalu dan pada hakikatnya kembali ke pandangan
Kant tentang agama sebagai lembaga moral, hanya dalam bahasa diperkaya oleh aliran-aliran New
Age yang, berlainan dengan Pencerahan, sangat terbuka terhadap segala macam dimensi
“metafisik”, “kosmis”, “holistik”, “mistik”, dsb. Pluralisme sangat sesuai dengan anggapan yang
sudah sangat meluas dalam masyarakat sekuler bahwa agama adalah masalah selera, yang termasuk
“budaya hati” individual, mirip misalnya dengan dimensi estetik, dan bukan masalah kebenaran.
Mengkliam kebenaran hanya bagi diri sendiri dianggap tidak toleran. Kata “dogma” menjadi kata
negatif. Masih berpegang pada dogma-dogma dianggap ketinggalan zaman. Paham Pluralisme
Agama, menurut Frans Magnis, jelas-jelas ditolak oleh Gereja Katolik. Pada tahun 2000, Vatikan
menerbitkan penjelasan „Dominus Jesus‟.17 ________________________ 16 Frans Magnis Suseno,
Menjadi Saksi Kristus Di Tengah Masyarakat Majemuk, (Jakarta: Penerbit Obor, 2004), hal. 138-141.
17 Dominus Jesus dikonsep dan semula ditandantangani oleh Kardinal Ratzinger (Paus Benediktus
XVI) dan dikeluarkan pada 28 Agustus 2000. Dokumen ini telah menimbulkan perdebatan sengit di
kalangan Kristen, termasuk intern Katolik sendiri. Dokumen ini dikeluarkan menyusul kehebohan di
kalangan petinggi Katolik akibat keluarnya buku Toward a Christian Theology of Religious Pluralism
karya Prof. Jacques Dupuis SJ, dosen di Gregorian University Roma. Dalam bukunya ini, Dupuis
menyatakan, bahwa „kebenaran penuh‟ (fullnes of thruth) tidak akan terlahir sampai datangnya
kiamat atau kedatangan Yesus Kedua. Jadi, katanya, semua agama terus berjalan– sebagaimana
Kristen – menuju kebenaran penuh tersebut. Semua agama disatukan dalam kerendahan hati karena
kekurangan bersama dalam meraih kebenaran penuh tersebut. (Perdebatan tentang Dominus Jesus
bisa dilihat, misalnya, dalam John Cornwell, The Pope in Winter, (London: Penguin Books, 2005), hal.
192-199. Penjelasan ini, selain menolak paham Pluralisme Agama, juga menegaskan kembali bahwa
Yesus Kristus adalah satu-satunya pengantara keselamatan Ilahi dan tidak ada orang yang bisa ke
Bapa selain melalui Yesus. Di kalangan Katolik sendiri, „Dominus Jesus‟ menimbulkan reaksi keras.
Frans Magnis sendiri mendukung „Dominus Jesus‟ itu, dan menyatakan, bahwa „Dominus Jesus‟ itu
sudah perlu dan tepat waktu. Menurutnya, Pluralisme Agama hanya di permukaan saja kelihatan
lebih rendah hati dan toleran dariupada sikap inklusif yang tetap meyakini imannya. Bukan namanya
toleransi apabila untuk mau saling menerima dituntut agar masing-masing melepaskan apa yang
mereka yakini. Ambil saja sebagai contoh Islam dan kristianitas. Pluralisme mengusulkan agar
masing-masing saling menerima karena masing-masing tidak lebih dari ungkapan religiositas
manusia, dan kalau begitu, tentu saja mengklaim kepenuhan kebenaran tidak masuk akal. Namun
yang nyata-nyata dituntut kaum pluralis adalah agar Islam melepaskan klaimnya bahwa Allah dalam
al-Quran memberi petunjuk definitif, akhir dan benar tentang bagaimana manusia harus hidup agar
ia selamat, dengan sekaligus membatalkan petunjuk-petunjuk sebelumnya. Dari kaum Kristiani,
kaum pluralis menuntut untuk mengesampingkan bahwa Yesus itu „Sang Jalan‟, „Sang Kehidupan‟
dan „Sang Kebenaran‟, menjadi salah satu jalan, salah satu sumber kehidupan dan salah satu
kebenaran, jadi melepaskan keyakinan lama yang mengatakan bahwa hanya melalui Putera manusia
bisa sampai ke Bapa. Terhadap paham semacam itu, Frans Magnis menegaskan: “Menurut saya ini
tidak lucu dan tidak serius. Ini sikap menghina kalau pun bermaksud baik. Toleransi tidak menuntut
agar kita semua menjadi sama, mari kita bersedia saling menerima. Toleransi yang sebenarnya
berarti menerima orang lain, kelompok lain, keberadaan agama lain, dengan baik, mengakui dan
menghormati keberadaan mereka dalam keberlainan mereka! Toleransi justru bukan asimilasi,
melainkan hormat penuh identitas masing-masing yang tidak sama.” 18
________________________ Dalam Dominus Jesus disebutkan: “Indeed, God „desires all men to be
saved and come to the knowledge of the truth' (1 Tim 2:4); that is, God wills the salvation of
everyone through the knowledge of the truth. Salvation is found in the truth. Those who obey the
promptings of the Spirit of truth are already on the wayof salvation. But the Church, to whom this
truth has been entrusted, must go out to meet their desire, so as to bring them the truth. Because
she believes in God's universal plan of salvation, the Church must bemissionary.”
(http://www.vatican.va/roman_curia/congregations/cfaith/documents/rc_con_cfaith_doc_2000080
6_dominus-iesus_en.html, 5 Maret 2005) 18 Sikap Katolik yang menolak paham Pluralisme Agama
sangatlah logis, sebab – meskipun dalam Konsili Vatikan II, Gereja Katolik telah mengubah sikapnya
terhadap agama-agama lain, tetapi Konsili juga menetapkan Dekrit Ad Gentes (kepada
bangsabangsa) yang mewajibkan seluruh Gereja untuk menjalankan kerja misionaris. Dalam
pidatonya pada 7 Desember 1990,yang bertajuk Redemptoris Missio (Tugas Perutusan Sang
Penebus), yang diterbitan Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) tahun 2003, Paus Yohanes Paulus II
mengatakan: “Tugas perutusan Kristus Sang Penebus, yang dipercayakan kepada Gereja, masih
sangat jauh dari penyelesaian. Tatkala Masa Seribu Tahun Kedua sesudah kedatangan Kristus hampir
berakhir, satu pandangan menyeluruh atas umat manusia memperlihatkan bahwa tugas perutusan
ini masih saja di tahap awal, dan bahwa kita harus melibatkan diri kita sendiri dengan sepenuh
hati…Kegiatan misioner yang secara khusus ditujukan “kepada para bangsa” (ad gentes) tampak
sedang menyurut, dan kecenderungan ini tentu saja tidak sejalan dengan petunjuk-petunjuk Konsili
dan dengan pernyataan-pernyataan Magisterium sesudahnya. Kesulitan-kesulitan baik yang datang
dari dalam maupun yang datang dari luar, telah memperlemah daya dorong karya misioner Gereja
kepada orang-orang nonKristen, suatu kenyataan yang mestinya membangkitkan kepedulian di
antara semua orang yang percaya kepada Kristus. Sebab dalam sejarah Gereja, gerakan misioner
selalu sudah merupakan tanda kehidupan, persis sebagaimana juga kemerosotannya merupakan
tanda krisis iman.” III. Pandangan Protestan Berbeda dengan agama Katolik yang memiliki pemimpin
tertinggi dalam hirarkis Gereja (Paus), dalam kalangan Protestan tidak bisa ditemukan satu sikap
yang sama terhadap paham Pluralisme Agama. Teolog-teolog Protestan banyak yang menjadi
polopor paham ini. Meskipun demikian, dari kalangan Protestan, juga muncul tantangan keras
terhadap paham Pluralisme Agama.Berikut ini sejumlah buku di Indonesia yang menyinggung
masalah ini: Poltak YP Sibarani&Bernard Jody A. Siregar, dalam buku Beriman dan Berilmu: Panduan
Pendidikan Agama Kristen untuk Mahasiswa, menjelaskan: “Pluralisme bukan sekedar menghargai
pluralitas agama tetapi sekaligus menganggap (penganut) agama lain setara dengan agamanya. Ini
adalah sikap yang mampu menerima dan menghargai dan memandang agama lain sebagai agama
yang baik dan benar, serta mengakui adanya jalan keselamatan di dalamnya. Di satu pihak, jika tidak
berhati-hati, sikap ketiga ini dapat berbahaya dan menciptakan polarisasi iman. Artinya,
keimanannya atas agama yang diyakininya pada akhirnya bisa memudar dengan sendirinya, tanpa
intervensi pihak lain.” 19 Sebuah kajian dan kritik yang serius terhadap paham Pluralisme Agama
dilakukan oleh Pendeta Dr. Stevri I. Lumintang, seorang pendeta di Gereja Keesaan Injil Indonesia.
Kajian Stevri Lumintang dituangkan dalam sebuah buku setebal lebih dari 700 halaman, berjudul
Theologia Abu-Abu: Tantangan dan Ancaman Racun Pluralisme dalam Teologi Kristen Masa Kini,
(Malang: Gandum Mas, 2004). Dicatat dalam ilustrasi sampul buku ini, bahwa Teologi Abu-Abu
adalah posisi teologi kaum pluralis. Karena teologi yang mereka bangun merupakan integrasi
daripelbagai warna kebenaran dari semua agama, filsafat dan budaya yang ada di dunia. Alkitab
dipakai hanya sebagai salah satu sumber, itu pun dianggap sebagai mitos. Dan perpaduan multi
kebenaran ini, lahirlah teologi abu-abu, yaitu teologi bukan hitam, bukan juga putih, bukan teologi
Kristen, bukan juga teologi salah satu agama yang ada di dunia ini…. Namun teologi ini sedang
meracuni, baik agama Kristen, maupun semua agama,dengan cara mencabut dan membuang semua
unsur-unsur absolut yang diklaim oleh masing-masing agama. Juga dikatakan dalam buku ini: „‟Inti
Teologi Abu-Abu (Pluralisme) merupakan penyangkalan terhadap intisari atau jatidiri semua agama
yang ada. Karena, perjuangan mereka membangun Teologi Abu-Abu atau teologi agama-agama,
harus dimulai dari usaha untuk menghancurkan batu sandungan yang menghalangi perwujudan
teologi mereka. Batu sandungan utama yang harus mereka hancurkan atau paling tidak yang harus
digulingkan ialah klaim kabsolutan dan kefinalitas(an) kebenaran yang ada di masing-masing agama.
Di dalam konteks kekristenan, mereka harus menghancurkan keyakinan dan pengajaran tentang
Yesus Kristus sebagai pernyataan Allah yang final.‟‟ 20 ________________________ 19 Poltak YP
Sibarani&Bernard Jody A. Siregar, Beriman dan Berilmu: Panduan Pendidikan Agama Kristen untuk
Mahasiswa, (Jakarta: Ramos Gospel Publishing House, 2005), hal. 126. 20 Stevri I. Lumintang,
Theologia Abu-Abu: Tantangan dan Ancaman Racun Pluralisme dalam Teologi Kristen Masa Kini,
(Malang: Gandum Mas, 2004), hal. 235-236. „‟...Theologia abu-abu (Pluralisme) yang kehadirannya
seperti serigala berbulu domba, seolah-olah menawarkan teologi yang sempurna, karena itu teologi
tersebut mempersalahkan semua rumusan Teologi Tradisional yang selama ini dianut dan sudah
berakar dalam gereja. Namun sesungguhnya Pluralisme sedang menawarkan agama baru...‟‟ 21
Menurut Stevri Lumintang: „‟Pluralisme adalah suatu tantangan sekaligus bahaya yang sangat serius
bagi kekristenan. Karena pluralisme bukanlah sekedar konsep sosiologis, anthropologis, melainkan
konsep filsafat agama yang bertolak bukan dari Alkitab, melainkan bertolak dari fakta kemajemukan
yang diikuti oleh tuntutan toleransi, dan diilhami oleh keadaan sosial-politik yang didukung oleh
kemajemukan etnis, budaya dan agama ; serta disponsori oleh semangat globalisasi dan filsafat
relativisme yang mengiringinya. Pluralisme secara terang-terangan menolak konsep kefinalitasan,
eksklusivisme yang normatif, dan keunikan Yesus Kristus. Kristus bukan lagi satu-satunya
penyelamat, melainkan salah satu penyelamat. Inilah pluralisme, dan disinilah letaknya kehancuran
kekristenan masa kini, sekalipun pada hakikatnya kekristenan tidak akan pernah hancur.
Penyangkalan terhadap semua intisari kekristenan ini, pada hekikatnya adalah upaya untuk
membangun jalan raya bagi lalu lintas teologi agama-agama atau Theologia Abuabu (Pluralisme).
Oleh karena itu, semua disiplin ilmu teologi diupayakan untuk dikaji ulang (rekonstruksi) untuk
membersihkan teologi Kristen dari rumusanrumusan tradisional atau ortodoks, yang pada
hakikatnya merupakan batu sandungan terciptanya Theologia Abu-Abu atau teologi agama-agama
(Theologia Religionum). 22 Dalam „Dokumen Keesaan Gereja-Persekutuan Gereja-gereja di
Indonesia (DKG-PGI) yang diputuskan dalam Sidang Raya XIV PGI di Wisma Kinasih, 29 November-5
Desember 2004, masalah Pluralisme Agama tidak dibahas secara eksplisit. Tetapi, dokumen ini
menunjukkan sikap eksklusivitas teologis kaum Protestan. Misalnya, bisa dilihat dalam „‟Bab IV :
Bersaksi dan Memberitakan Injil Kepada Segala Makhluk‟‟, yang menegaskan: “Gereja Harus
Memberitakan Injil Kepada Segala Makhluk”. Disebutkan dalam bagian ini : „‟Gereja-gereja di
Indonesia menegaskan bahwa Injil adalah Berita Kesukaan yang utuh dan menyeluruh, untuk segala
makhluk, manusia dan alam lingkungan hidupnya serta keutuhannya : bahwa Injil yang seutuhnya
diberitakan kepada manusia yang seutuhnya... „‟ Dalam Tata dasar Persekutuan Gereja-Gereja di
Indonesia pasal 3 (Pengakuan) disebutkan: Di dalam acara kebaktian Minggu, kaum Kristen biasanya
mengucapkan apa yang mereka sebut sebagai „sahadat rasuli‟ atau „pengakuan iman rasuli‟, yang
juga disebut „dua belas pengakuan iman‟, yang bunyinya : (1). Aku percaya kepada Allah Bapa, yang
Mahakuasa, Khalik langit dan bumi.(2) Dan kepada Yesus Kristus, Anak-Nya yang tunggal, Tuhan kita,
_______________________________ 21 Ibid, hal. 18-19. 22 Ibid, hal. 15. (3) yang dikandung
daripada Roh Kudus, lahir dari anak dara Maria, (4) yang menderita di bawah pemerintahan Pontius
Pilatus, disalibkan, mati dan dikuburkan, turun ke dalam kerajaan maut. (5) pada hari yang ketiga
bangkit pula dari antara orang mati, (6) naik ke sorga, duduk di sebelah kanan Allah, Bapa yang
Mahakuasa, (7) dan akan datang dari sana untuk menghakimi orang yang hidup dan yang mati, (8)
Aku percaya kepada Roh Kudus; (9) gereja yang kudus dan am; persekutuan orang kudus; (10)
pengampunan dosa; (11) kebangkitan daging; (12) dan hidup yang kekal. 24 IV. Pandangan Hindu
Kaum Pluralis Agama dari berbagai penganut agama sering mengutip ucapan tokoh-tokoh Hindu
untuk mendukung pendapat mereka. Sukidi, seorang propagandis Pluralisme Agama, misalnya,
menulis dalam satu artikel di media massa : “Dan, konsekuensinya, ada banyak kebenaran (many
truths) dalam tradisi dan agama-agama. Nietzsche menegasikan adanya Kebenaran Tunggal dan
justru bersikap afirmatif terhadap banyak kebenaran. Mahatma Gandhi pun seirama dengan
mendeklarasikan bahwa semua agama - entah Hinduisme, Buddhisme, Yahudi, Kristen, Islam,
Zoroaster, maupun lainnya- adalah benar. Dan, konsekuensinya, kebenaran ada dan ditemukan pada
semua agama. Agama-agama itu diibaratkan, dalam nalar pluralisme Gandhi, seperti pohon yang
memiliki banyak cabang (many), tapi berasal dari satu akar (the One). Akar yang satu itulah yang
menjadi asal dan orientasi agama-agama. Karena itu, mari kita memproklamasikan kembali bahwa
pluralisme agama sudah menjadi hukum Tuhan (sunnatullâh) yang tidak mungkin berubah. Dan,
karena itu, mustahil pula kita melawan dan menghindari. Sebagai muslim, kita tidak punya jalan lain
kecuali bersikap positif dan optimistis dalam menerima pluralisme agama sebagai hukum Tuhan.
(Jawa Pos, 11 Januari 2004). Dalam paparannya tentang Hinduism dari bukunya, The World‟s
Religions, Prof. Huston Smith juga menulis satu sub-bab berjudul “Many Paths to the Same Summit”.
Huston Smith menulis: “Early on, the Vedas announced Hinduism‟s classic contention that the
various religions are but different languages through which God speaks to the human heart. “Truth is
one; sages call it by different names.” (Terjemahan bebasnya: Sejak dulu, kitab-kitab Veda
menyatakan pandangan Hindu klasik, bahwa agamaagama yang berbeda hanyalah merupakan
bahasa yang berbeda-beda yang digunakan Tuhan untuk berbicara kepada hati manusia. Kebenaran
memang satu; orang-orang bijak menyebutnya dengan nama yang berbeda-beda). 25
________________________ 23 Weinata Sairin (ed), „Dokumen Keesaan Gereja-Persekutuan
Gereja-gereja di Indonesia (DKG-PGI), (Jakarta: BPK, 2006). 24 Dr. Harun Hadiwijono, Inilah
Sahadatku, (Jakarta: BPK, 2001), hal. 11. Kaum Katolik di Indonesia juga menggunakan istilah sahadat
untuk menyebut „Nicene Creed‟ yang salah satu versi redaksinya berbunyi: “Kami percaya akan satu
Allah, Bapa yang Mahakuasa, Pencipta hal-hal yang kelihatan dan tak kelihatan, Dan akan satu Tuhan
Yesus Kristus, Sang Sabda dari Allah, Terang dari Terang, Hidup dari Hidup, Putra Allah yang Tunggal
Yang pertama lahir dari semua ciptaan, Dilahirkan dari Bapa, Sebelum segala abad ... “ (Alex I.
Suwandi PR, Tanya Jawab Syahadat Iman Katolik, (Yogyakarta: Kanisius, 1992), hal. 9-10. 25 Huston
Smith, The World‟s Religions, (New York: Harper CollinsPubliser, 1991), hal. 73. Untuk memperkuat
penjelasannya tentang sikap „Pluralistik‟ agama Hindu, Huston Smith juga mengutip ungkapan
„orang suci Hindu‟ abad ke-19, yaitu Ramakrishna, yang mencari Tuhan melalui berbagai agama:
Kristen, Islam, dan Hindu. Hasilnya, menurut Ramakrishna, adalah sama saja. Maka ia menyatakan:
“God has made different religions to suit different aspirations, times, and countries. All doctrines are
only so many paths; but a path is by no means God Himself. Indeed, one can reach God if one
follows any of paths with wholehearted devotion.” (Terjemahan bebasnya: Tuhan telah membuat
agama-agamayang berbeda-beda untuk memenuhi berbagai aspirasi, waktu, dan negara. Semua
doktrin hanyalah merupakan banyak jalan; tetapi satu jalan tidak berarti Tuhan itu sendiri.
Sesungguhnya, seseorang dapat mencapai Tuhan jika ia mengikuti jalan mana saja dengan sepenuh
hati). 26 Penjelasan-penjelasan tentang agama Hindu yang dilakukan oleh berbagai kalangan Pluralis
Agama, pun dibantah oleh kaum Hindu lainnya. Salah satu buku yang secara keras membantah
paham Pluralisme Agama, adalah buku Semua Agama Tidak Sama, terbitan Media Hindu tahun 2006.
Dalam buku ini paham Pluralisme Agama disebut sebagai paham „Universalisme Radikal‟ yang
intinya menyatakan, bahwa “semua agama adalah sama”. Buku ini diberi kata pengantar oleh
Parisada Hindu Dharma, induk umat Hindu di Indonesia. Editor buku ini, Ngakan Made Madrasuta
menulis kata pengantarnya dengan judul “Mengapa Takut Perbedaan?” Ngakan mengkritik
pandangan yang menyamakan semua agama, termasuk yang dipromosikan oleh sebagian orang
Hindu Pluralis yang suka mengutip Bagawad Gita IV:11: “Jalan mana pun yang ditempuh manusia ke
arah-Ku, semuanya Aku terima.” Padahal, jelas Ngakan: “Yang disebut “Jalan” dalam Gita adalah
empat yoga yaitu Karma Yoga, Jnana Yoga, Bhakti Yoga, dan Raja Yoga. Semua yoga ini ada dalam
agama Hindu, dan tidak ada dalam agama lain. Agama Hindu menyediakan banyak jalan, bukan
hanya satu – bagi pemeluknya, sesuai dengan kemampuan dan kecenderungannya.” 27 Bagian
pertama buku ini memuat tulisan Giridhar Mamidi yang diberi judul “Semua Agama Sederajat?
Semuanya Mengajarkan Hal Yang Sama?”. Di sini, penulis berusaha membuktikan bahwa semua
agama tidaklah sama. Hanyalah orangorang Hindu yang suka menyatakan, bahwa semua agama
adalah mengajarkan hal-hal yang sama. Bahkan, Bharat Ratna Bhagavandas menulis satu buku
berjudul “The Essential Unity of Religions” (Kesatuan Esensial dari Semua Agama). Mahatma Gandhi
pun mendukung gagasan ini. 28 Dr. Frank Gaetano Morales, seorang cendekiawan Hindu, mengecam
keras orangorang Hindu yang menyama-nyamakan agamanya dengan agama lain. Biasanya kaum
Hindu Pluralis menggunakan “metafora gunung” (mountain metaphor), yang menyatakan:
____________________________________ 26 Ibid, hal. 74. 27 Ngakan Made Madrasuta (ed),
Semua Agama Tidak Sama, (Media Hindu, 2006) hal. xxx. 28 Ibid, hal. 3. “Kebenaran (atau Tuhan
atau Brahman) berada di puncak dari sebuah gunung yang sangat tinggi. Ada berbagai jalan untuk
mencapai puncak gunung, dan dengan itu mencapai tujuan tertinggi. Beberapa jalan lebih pendek,
yang lain lebih panjang. Jalan itu sendiri bagaimana pun tidak penting. Satu-satunya yang sungguh
penting, adalah para pencari semua mencapai puncak gunung itu.” 29 Morales menjelaskan, bahwa
tidak setiap agama membagi tujuan yang sama, konsepsi yang sama mengenai „Yang Absolut‟, atau
alat yang sama untuk mencapai tujuan mereka masing-masing. Tapi, ada banyak „gunung‟ filosofis
yang berbeda-beda, masing-masing dengan klaim mereka yang sangat unik untuk menjadi tujuan
tertinggi upaya spiritual seluruh manusia. Universalisme Radikal – yang menyatakan bahwa semua
agama adalah sama – adalah doktrin yang sama sekali tidak dikenal dalam agama Hindu tradisional.
30 Menurut Morales, gagasan persamaan agama dalam Hindu menjadi populer saat disebarkan oleh
sejumlah tokoh Hindu sendiri. Ia menyebut nama Ram Mohan Roy (1772-1833) yang dikenal dengan
ajaran-ajarannya yang sinkretik. Roy yang juga pendiri Brahmo Samaj, dipengaruhi ajaran-ajaran
Gereja Unitarian, sebuah sekte atau denominasi agama Kristen heterodoks. Sebagai tambahan
mempelajari agama Kristen, Islam, dan Sansekerta, dia belajar bahasa Ibrani dan Yunani dengan
impian untuk menerjemahkan Bibel dalam bahasa Bengali. Ia mengaku sebagai „pembaru Hindu‟
dan memandang agama Hindu melalui kaca mata kolonial Kristen yang telah dibengkokkan. Lebih
jauh Morales menulis: “Kaum misionaris Kristen memberi tahu Roy bahwa agama Hindu tradisional
adalah satu agama barbar yang telah menimbulkan penindasan, ketahyulan, dan kebodohan kepada
rakyat India. Dia mempercayai mereka… Dalam semangat misionaris untuk mengkristenkan agama
Hindu, kaum „pembaru‟ Hindu ini bahkan menulis satu traktat anti-Hindu dikenal sebagai The
Precepts of Jesus: The Guide to Peace and Happiness (Ajaran-ajaran Yesus: Penuntun kepada
Kedamaian dan Kebahagiaan). Dari kaum misionaris Kristen ini secara langsung Roy mendapat
bagian terbesar dari ide-idenya, termasuk ide anti-Hindu mengenai kesamaan radikal dari semua
agama.” 31 Penggani Roy berikutnya adalah Debendranath Tagore dan Kashub Chandra Sen, yang
mencoba menggabungkan lebih banyak lagi ide-ide Kristen ke dalam neoHinduisme. Sen bahkan
lebih jauh lagi meramu kitab suci Brahmo Samaj yang berisi ayat-ayat dari berbagai tradisi agama
yang berbeda, termasuk Yahudi, Kristen, Islam, Hindu dan Budhis. “Dengan kejatuhan Sen ke dalam
kemurtadan anti-Hindu dan megalomania, gerakan ini menurun secara drastis dalam pengaruh
pengikutnya,” tulis Morales. Pada abad ke-19, muncul dua tokoh Universalis Radikal dari Hindu, yaitu
Ramakrisna (1836-1886) dan Vivekananda (1863-1902). Disamping dipengaruhi oleh akar-akar tradisi
Hindu, Ramakrishna juga meramu ide dan praktik ritualnya dari agamaagama nonVedic, seperti
Islam dan Kristen Liberal. Sekalipun tetap melihat dirinya sebagai seorang Hindu, Ramakrishna juga
sembahyang di masjid-masjid dan gerejagereja dan percaya bahwa semua agama ditujukan pada
tujuan tertinggi yang sama. ______________________ 29 Ibid, hal. 22. 30 Ibid, hal. 23. 31 Ibid, hal.
45-46. Gagasan Ramakrishna dilanjutkan oleh muridnya yang sangat terkenal, yaitu Swami
Vivekananda. Tokoh ini dikenal besar sekali jasanya dalam mengkampanyekan agama Hindu di dunia
internasional. Tetapi, untuk menyesuaikan dengan unsur-unsur modernitas, Vivekananda juga
melakukan usaha yang melemahkan agama Hindu otentik dari leluhur mereka dan mengadopsi ide-
ide asing seperti Universalisme Radikal, dengan harapan memperoleh persetujuan dari tuan-tuan
Eropa yang memerintah mereka ketika itu. Vivekananda mengadopsi gagasan semacam
Universalisme Radikal yang bersifat hirarkis yang mendukung kesederajatan semua agama,
sementara pada saat yang bersamaan mengklaim bahwa semua agama sesungguhnya sedang
berkembang dari gagasan religiositas yang lebih rendah menuju satu mode puncak tertinggi, yang
bagi Vivekananda ditempati oleh Hindu. Morales mencatat : „‟Sekalipun Vivekananda memberi
kontribusi besar untuk membantu orang Eropa dan Amerika non-Hindu untuk memahami kebesaran
agama Hindu, Universalisme Radikal dan ketidakakuratan neo-Hindu yang ia kembangkan juga telah
mengakibatkan kerusakan besar.‟‟ 32 Pada akhirnya Morales menyimpulkan, bahwa gagasan
Universalisme Radikal yang dikembangkan oleh sementara kalangan Hindu adalah sangat merugikan
agama Hindu itu sendiri. Ia menulis : “Ketika kita membuat klaim yang secara sentimental
menenangkan, namun tanpa pemikiran bahwa “semua agama adalah sama”, kita sedang tanpa
sadar mengkhianati kemuliaan dan integritas dari warisan kuno ini, dan membantu memperlemah
matrix filosofis/kultural agama Hindu sampai pada intinya yang paling dalam. Setiap kali orang Hindu
mendukung Universalisme Radikal, dan secara bombastik memproklamasikan bahwa “semua agama
adalah sama”, dia melakukan itu atas kerugian besar dari agama Hindu yang dia katakan dia cintai.”
33 Ketika Hindu menolak paham “persamaan agama”, maka itu bukan sikap yang mudah, sebab
pada bagian lain dari buku ini, agama Hindu juga dikatakan sebagai “agama pluralistik”. Itu karena di
dalam agama Hindu sendiri, terdapat begitu banyak agama dan perbedaan yang sangat besar antara
satu dengan lainnya, dimana satu dengan yang lain merupakan agama yang berbeda-beda. Ditulis
dalam buku ini: “Agama Hindu adalah agama pluralistik di dunia. Ia mengajarkan bahwa ada banyak
jalan, banyak orang suci, dan banyak kitab suci, dan bahwa tidak ada agama dapat mengklaim
memiliki kebenaran eksklusif. Ini tidaklah berarti bahwa agama Hindu tidak mengakui satu kesatuan
atas kebenaran. Sebaliknya agama Hindu mengakui satu kesatuan total dan mendalam tapi satu
kesatuan yang cukup luas untuk mengijinkan keberagaman dan mengintegrasikan keserbaragaman,
seperti banyak daun dari sebatang pohon beringin yang besar….Agama Hindu dibangun di atas
keberagaman dan di dalam dirinya memiliki satu variasi yang mengagumkan, dari guru-guru dan
ajaran-ajaran dari apa yang tampak sebagai bentuk-bentuk yang amat primitif sampai kepada filosofi
spiritual dan praktik-praktik yoga yang paling abstrak. Seseorang dapat mengatakan bahwa terdapat
lebih banyak agama di dalam Hindu daripada ________________________ 32 Ibid, hal. 48-51. 33
Ibid, hal. 106. di luarnya. Agama Hindu mempunyai lebih banyak Dewa dan Dewi, lebih banyak
pustaka suci, lebih banyak orang suci, maharesi, dan avatara dibandingkan dengan agama-agama
utama dijadikan satu.” 34 Tetapi, pluralisme ini diakui masih dalam internal Hindu. Karena itu,
mereka menolak pandangan kaum Hindu modern yang menyatakan, bahwa semua agama adalah
satu, bahwa mereka semua pada akhirnya adalah sama, dan semuanya sama baiknya. Selanjutnya
dikatakan : „‟Mereka melihat kepada agama-agama yang berbeda sebagai hanya sekedar jalan
alternatif untuk mencapai tujuan yang yang sama, tidak lebih dari nama-nama yang berbeda untuk
hal yang sama. Ini telah menyebabkan mereka mencampurdukkan agama-agama yang berbeda
menjadi satu, sering dengan wiweka yang kecil, mencoba menjadikan semua hal untuk semua orang.
Sementara pandangan mereka mungkin dimotivasi oleh satu upaya yang tulus untuk menciptakan
keselarasan agama dan perdamaian dunia, hal ini telah menimbulkan banyak distorsi. Di atas semua
itu pandangan bahwa semua agama adalah sama telah melawan pendekatan pluralistik dari tradisi
Hindu. Menjadikan semua agama sama adalah satu penolakan atas pluralisme dan dapat melahirkan
bentuk lain dari intoleransi.‟‟ 35 V. Pandangan Islam Majelis Ulama Indonesia, melalui fatwanya
tanggal 29 Juli 2005 juga telah menyatakan bahwa paham Pluralisme Agama bertentangan dengan
Islam dan haram umat Islam memeluk paham ini. MUI mendefinisikan Pluralisme Agama sebagai
suatu paham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama dan karenanya kebenaran setiap
agama adalah relatif; oleh sebab itu, setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya
agamanya saja yang benar sedangkan agama yang lain salah. Pluralisme juga mengajarkan bahwa
semua pemeluk agama akan masuk dan hidup berdampingan di surga. Dr. Anis Malik Thoha, pakar
Pluralisme Agama, yang juga Rois Syuriah NU Cabang Istimewa Malaysia, mendukung fatwa MUI
tersebut dan menyimpulkan bahwa Pluralisme Agama memang sebuah agama baru yang sangat
destruktif terhadap Islam dan agama-agama lain. 36 Sebelum MUI mengeluarkan fatwa tentang
haramnya paham “Pluralisme Agama”, penyebaran ini di Indonesia sudah sangat meluas. Jika
ditelusuri, sebenarnya sebagian benihnya sudah ditabur sejak zaman penjajahan Belanda dengan
merebaknya ajaran kelompok Theosofi. Namun, istilah “Pluralisme Agama” atau pengakuan seorang
sebagai pluralis dalam konteks theologi, bisa ditelusuri pada catatan harian Ahmad Wahib, salah satu
perintis gerakan Islam Liberal di Indonesia, di samping Dawam Rahardjo dan Djohan Effendi.
___________________________ 34 Ibid, hal. 209-210. 35 Ibid, hal. 213 Dalam catatan hariannya
tertanggal 16 September 1969 -- yang dibukukan dengan judul Pergolakan Pemikiran Islam: Catatan
Harian Ahmad Wahib, LP3ES, 2003 (cetakan keenam), hal 40-41 -- Ahmad Wahib juga mengaku
sebagai seorang pluralis. Wahib mengaku diasuh selama dua tahun oleh Romo H.C. Stolk dan selama
tiga tahun oleh Romo Willenborg. Ia mencatat: “Aku tak tahu apakah Tuhan sampai hati
memasukkan dua orang bapakku itu ke dalam api neraka. Semoga tidak.” Ketika itu, akhir tahun
1960-an, paham ini tentu saja sangat aneh. Meskipun ideide “persamaan agama” tidak pernah
berhenti dilontarkan, tetapi hampir tidak ada kalangan tokoh agama atau akademisi Muslim yang
melontarkan paham semacam ini. Tahun 1970-1980-an, sempat muncul gagasan pendidikan Panca
Agama di sekolahsekolah. Tetapi, tokoh-tokoh umat ketika itu bereaksi keras dengan melakukan
berbagai macam cara protes, sehingga program itu digagalkan. Ide persamaan agama dan
jawabannya telah dibahas dengan baik, misalnya, oleh Prof. Rasjidi, dalam bukunya Empat Kuliah
Agama di Perguruan Tinggi, Dr. J. Verkuil pernah menulis buku berjudul Samakah Semua Agama?
yang memuat hikayat Nathan der Weise (Nathan yang Bijaksana). Nathan adalah seorang Yahudi
yang ditanya oleh Sultan Saladin tentang agama manakah yang terbaik, apakah Islam, Yahudi, atau
Nasrani. Ujungnya, dikatakan, bahwa semua agama itu intinya sama saja. Hikayat Nathan itu ditulis
oleh Lessing (1729-1781), seorang Kristen yang mempercayai bahwa intisari agama Kristen adalah
Tuhan, kebajikan, dan kehidupan kekal. Intisari itu, menurutnya, juga terdapat pada Islam, Yahudi,
dan agama lainnya. Dalam Konferensi Parlemen Agama-Agama di Chicago tahun 1893, diserukan
bahwa tembok pemisah antara berbagai agama di dunia ini sudah runtuh. Konferensi itu akhirnya
menyerukan persamaan antara Kon Fu Tsu, Budha, Islam, dan agama-agama lain. Mereka juga
berkesimpulan bahwa berita yang disampaikan oleh nabi-nabi itu sama saja. Max Muller (1823-
1900), melalui bukunya, Vorlesungen uber Religionswissenschaft, mengemukakan pendapat tentang
persamaan hakiki dari agama-agama. Menurutnya, setiap agama adalah benar, bahkan juga agama-
agama suku. Sedangkan tokoh persamaan agama dan sinkretisme yang terkenal dari India adalah
Radhakrisnan, seorang universalis. Semua agama, menurut 36 Lihat, pengantar Dr. Anis Malik Thoha
pada buku Adian Husaini, Pluralisme Agama: Haram (Jakarta: Pustaka Kautsar, 2005). Disertasi Dr.
Anis Malik Thoha tentang Pluralisme Agama di Universitas Islam Internasional Islamabad juga telah
diterbitkan oleh GIP dengan judul „Tren Pluralisme Agama‟. Edisi bahasa Arab buku ini mendapatkan
penghargaan Faruqi Award oleh Internastional Islamic University Malaysia. Diskusi lebih jauh tentang
Pluralisme Agama dalam Islam bisa dilihat di Majalah ISLAMIA edisi 3 dan 4. Krisnan, adalah alat,
jalan, untuk membawa manusia kepada tujuan. Perbedaan agama hanyalah pada soal historis dan
geografis, dan bukan pada hekekatnya. 37 Jelas, dalam pandangan Islam – sebagaimana juga
pandangan beberapa agama seperti yang dipaparkan sebelumnya -- paham Pluralisme Agama
semacam itu adalah racun, yang melemahkan keimanan dan keyakinan akan kebenaran Islam. Islam
tegak diatas landasan syahadat: pengakuan bahwa tidak ada tuhan selain Allah dan Muhammad
adalah utusan Allah. Jadi, Islam bukan hanya percaya kepada Allah, tetapi juga mengakui kebenaran
kerasulan Muhammad. Inilah yang ditolak keras oleh kaum Yahudi dan Nasrani sepanjang sejarah.
_________________________ 37 HM Rasjidi, Empat Kuliah Agama di Perguruan Tinggi,
(Jakarta:Bulan Bintang, 1985), hal. 24-33. Makna “Islam” itu sendiri digambarkan oleh Nabi
Muhammad saw dalam berbagai sabda beliau. Imam al-Nawawi dalam Kitab hadits-nya yang
terkenal, alArba‟in al-Nawawiyah, menyebutkan definisi Islam pada hadits kedua: “Islam adalah
bahwasanya engkau bersaksi bahwa sesungguhnya tiada Tuhan selain Allah dan bahwa
sesungguhnya Muhammad adalah utusan Allah, engkau menegakkan shalat, menunaikan zakat,
melaksanakan shaum Ramadhan, dan menunaikan ibadah haji ke Baitullah -- jika engkau
berkemampuan melaksanakannya.” (HR Muslim). Pada hadits ketiga juga disebutkan, bahwasanya
Nabi Muhammad saw bersabda: “Islam ditegakkan di atas lima hal: persaksian bahwa tidak ada
Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, penegakan shalat, penunaian zakat,
pelaksanaan haji ke Baitullah, dan shaum Ramadhan.” (HR Bukhari dan Muslim). Al-Quran sudah
menegaskan: „‟Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan
diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.‟‟ (QS Ali
Imran:85). „‟Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam.‟‟ (QS Ali Imran :19)
Dalam fatwa MUI tentang Pluralisme Agama, juga disebutkan sabda Nabi Muhammad saw: “Demi
Dzat yang menguasai jiwa Muhammad, tidak ada seorang pun baik Yahudi maupun Nashrani yang
mendengar tentang diriku dari Umat Islam ini, kemudian ia mati dan tidak beriman terhadap ajaran
yang aku bawa kecuali ia akan menjadi penghuni neraka.” (HR Muslim) Fatwa MUI itu juga
menyebutkan, bahwa Nabi saw juga mengirimkan surat-surat dakwah kepada orang-orang non
muslim antara lain Kaisar Heraklius, raja Romawi yang beragama Nasrani, al Najasyi raja Abesenia
yang beragama Nasrani dan Kisra Persia yang beragama Majusi, di mana Nabi mengajak mereka
untuk masuk Islam. ( Riwayat Ibn Sa`d dalam al Thabaqat al Kubra dan Imam al Bukhari dalam Shahih
Bukhari). Banyak sekali ayat-ayat al-Quran yang menegaskan perbedaan yang tajam antara orang
yang beriman dan beramal shaleh, dengan orang-orang kafir. Surat al-Fatihah mengajarkan, agar
kaum Muslim senantiasa berdoa supaya berada di jalan yang lurus (al-shirat al-mustaqim) dan bukan
berada di jalan orang-orang yang dimurkai (al-maghdhub) dan jalan orang-orang yang tersesat (al-
dhaallin). Di dalam Islam, ada istilahistilah baku dalam al-Quran, seperti muslim, mukmin, kafir,
munafiq, dan sebagainya. Kaum kafir dibagi ke dalam dua golongan: kafir ahlul kitab dan kafir
musyrik. (QS 98). Status mereka memang kafir, tetapi dalam konsep Islam, mereka tidak boleh
dipaksa memeluk Islam; mereka tidak boleh disakiti atau dibunuh karena kekafirannya –
sebagaimana dilakukan kaum Kristen Eropa terhadap kaum heretics. Jadi, bangunan dan sistem
Islam itu begitu jelas, bukan hanya dalam konsepsi teologis, tetapi juga konsepsi sosial, ekonomi,
politik, kebudayaan, peradaban, dan sebagainya. Misalnya, dalam hukum bidang perkawinan, sudah
jelas, bahwa laki-laki kafir (non-Muslim) haram hukumnya dinikahkan dengan wanita muslimah. (QS
60:10). Secara konseptual, Allah SWT sudah menegaskan (yang artinya): “Sesungguhnya orang-
orang kafir yakni ahli kitab dan orang-orang musyrik (akan masuk) neraka Jahannam; mereka kekal di
dalamnya.” (QS 98:6). “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik dan Dia
mengampuni segala dosa yang selain dari itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang
mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.” (QS 4:48). Bahkan,
disebutkan dalam al-Quran, bahwa Allah sangat murka karena dituduh punya anak: “Dan mereka
berkata: “Tuhan Yang Maha Pemurah mengambil (mempunyai) anak. Sesungguhnya kamu telah
mendatangkan sesuatu perkara yang sangat mungkar, hampir-hampir langit pecah karena ucapan itu
dan bumi terbelah dan gunung-gunung runtuh, karena mereka menuduh Allah Yang Maha Pemurah
mempunyai anak.” (QS Maryam:88-91). Jadi, dalam konsepsi Islam, sekedar menyatakan bahwa
Allah mempunyai anak sudah disebut sebagai kemungkaran besar dan Allah sangat murka dengan
hal itu. Dengan Pluralisme Agama, semua kemungkaran ini dilegitimasi. Pluralisme Agama jelas
membongkar Islam dari konsep dasarnya. Dalam paham ini, tidak ada lagi konsep mukmin, kafir,
syirik, sorga, neraka, dan sebagainya. Karena itu, mustahil paham Pluralisme Agama bisa hidup
berdampingan secara damai dengan Tauhid Islam. Sebab keduanya bersifat saling menegasikan. Di
mana pun juga, apakah di Muhammadiyah, di NU, MUI, DDII, atau di tempat-tempat lain, paham
Pluralisme Agama akan berhadapan dengan konsep Tauhid Islam. Meskipun telah begitu jelas
kebathilan paham Pluralisme Agama, tetapi kaum Pluralis Agama terus berusaha menyebarkan
paham ini, melalui berbagai cara, baik secara akademik melalui penulisan Thesis Master atau Thesis
PhD, atau pun dilakukan melalui cara-cara politik dan perubahan Undang-undang negara. Sebagai
contoh, sebuah disertasi doktor Ilmu Tafsir di UIN Jakarta, diterbitkan menjadi sebuah buku dengan
tajuk : Argumen Pluralisme Agama, Membangun Toleransi Berbasis Al-Quran. Buku ini mengutip QS
al-Baqarah ayat 62 sebagai landasan untuk menyatakan, bahwa pemeluk agama apa pun – tanpa
perlu beriman kepada NabiMuhammad saw – tetap dapat menerima pahala dari Allah. Ditulis dalam
buku ini: ”Jika diperhatikan secara seksama, jelas bahwa dalam ayat itu tak ada ungkapan agar orang
Yahudi, Nashrani, dan orang-orang Shabi‟ah beriman kepada Nabi Muhammad. Dengan mengikuti
pernyataan eksplisit ayat tersebut, maka orang orang beriman yang tetap dengan keimanannya,
orang-orang Yahudi, Nashrani, dan Shabi‟ah yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir serta
melakukan amal saleh – sekalipun tak beriman kepada Nabi Muhammad, maka mereka akan
memperoleh balasan dari Allah. Pernyataan agar orang-orang Yahudi, Nashrani, dan Shabi‟ah
beriman kepada Nabi Muhammad adalah pernyataan para mufasir dan bukan ungkapan al-Quran.
Muhammad Rasyid Ridla berkata, tak ada persyaratan bagi orang Yahudi, Nashrani, dan Shabi‟ah
untuk beriman kepada Nabi Muhammad.” Ada lagi disertasi doktor dalam bidang Ushuluddin di UIN
Jakarta, yang kemudian diterbitkan menjadi buku bertajuk: Satu Tuhan Banyak Agama, Pandangan
Sufistik Ibn „Arabi, Rumi dan al-Jili, (Mizan, 2011). Penulisnya dosen di Fakultas Ushuluddin UIN
Jakarta juga. Misalnya, ditulis: “Dalam diskursus pluralisme agama, penjelasan tentang transendensi
Ilahi ini dan bahwa setiap agama lahir dan terikat pada konteks tertentu menjadi argumen bahwa
tidak ada agama yang lebih tinggi/sempurna atas yang lain. Semua bentukbentuk agama adalah
sederajat, karena semuanya sedang mewadahi ke Mahabenaran dan ke-Mahamutlakan Tuhan.” (hal.
21). “Semua jalan-jalan itu menuju kepada puncak yang sama. Ibarat ribuan bahkan jutaan aliran air
sungai dan anak sungai semuanya mengalir dan sedang meluncur ke samudera yang sama.” (hal.
379). Penutup Meskipun sudah banyak dijelaskan kekeliruan dan bahaya paham Pluralisme Agama
terhadap agama-agama, tetapi paham ini terus disebarluaskan kepada masyarakat. Umat Islam perlu
sangat bersungguh-sungguh dalam memahami hakikat dan penyebaran paham ini, sebab paham ini
seolah-olah memberikan harapan akan terciptanya perdamaian dunia jika umat beragama sudah
tidak lagi punya klaim kebenaran atas agamanya masing-masing. Inilah perkataan indah yang
menipu (zukhruf al-qaul) sebagaimana disebutkan dalam QS al-An‟am:112. Kaum Pluralis Agama
terus berusaha meruntuhkan keimanan kaum Muslim dan juga meruntuhkan bangunan perundang-
undangan negara yang melindungi aqidah Islam dan kerukunan umat beragama. Di Indonesia,
mereka membina pusat-pusat studi agamaagama di peringkat master dan doktor. Mereka telah
melahirkan ratusan dan mungkin ribuan master dan doctor dalam bidang studi Islam yang berpikiran
pluralis. Demikian pula, beberapa Undang-undang yang melindungi agama dari serangan-serangan
paham-paham sesat mereka usahakan untuk ditiadakan. Misalnya, pada tahun 2010, mereka
berusaha membatalkan UU No 1/PNPS/1965 tentang Perlindungan Umat Beragama. Ketika itu, 17
Februari 2010, seorang Ilmuwan pihak liberal ini berkata dalam Sidang Mahkamah Konstitusi
Indonesia: “Persoalan utama dari Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 adalah bahwa negara ikut
campur terlalu jauh dalam urusan agama. Idealnya negara kita atau negara tidak boleh ikut campur
dalam urusan agama.” Usaha kaum liberal-pluralis itu tidak berhasil. Mahkamah Konstitusi Indonesia
menolak tuntutan mereka dan UU tersebut dikekalkan. Akan tetapi, pada tahun 2017, akhirnya
Mahkamah Konstitusi menerima tuntutan persamaan hak antara pemeluk agama-agama lokal
(indigenous religions) dengan pemeluk enam agama yang sudah diakui pemerintah Indonesia, yaitu
agama Islam, Katolik, Protestan, Hindu, Budaha, dan Konghuchu. Kaum liberal/pluralis agama ini
berpikir di atas prinsip kebebasan dan persamaan. Padahal, sejatinya, menurut Islam, prinsip yang
seharusnya ditegakkan adalah prinsip keadilan. Bagi kaum Muslimin, masalah keselamatan iman
adalah yang perkara terpenting dalam kehidupan mereka. Prinsip ini harus dihormati, sehingga tegak
keadilan di tengah masyarakat. Pluralisme agama bukanlah jalan yang tepat untuk mewujudkan
tegaknya kerukunan umat beragama, sebab Pluralisme terbukti merusak agama. Pluralisme agama
juga tidak toleran terhadap keyakinan iman yang dimiliki oleh tiap-tiap agama. Jadi, pluralisme
agama adalah paham yang seolah-olah menawarkan kebaikan dan keharmonisan masyarakat, tetapi
faktanya, justru merusak agama, merusak keimanan, dan intoleran. Wallahu A‟lam bish-shawab.
(Indonesia, 16 Agustus 2018).

Anda mungkin juga menyukai