TINJAUAN PUSTAKA
2.2. Anatomi
Berdasarkan ATLS (2004), anatomi yang bersangkutan antara lain :
1. Kulit Kepala (Scalp)
Kulit kepala terdiri dari 5 lapisan yang disebut sebagai SCALP yaitu :
a. Skin atau kulit
b.
c.
d.
e.
Perikranium.
2. Tulang Tengkorak
Tulang tengkorak terdiri dari kubah (kalvaria) dan basis kranii. Kalvaria khususnya di
bagian temporal adalah tipis, namun disini dilapisi oleh otot temporal. Basis kranii
berbentuk tidak rata sehinga dapat melukai bagian dasar otak saat bergerak akibat
proses akselerasi dan deselerasi. Rongga tengkorak dasar dibagi atas 3 fosa yaitu :
fosa anterior, fosa media, dan fosa posterior. Fosa anterior adalah tempat lobus
frontalis, fosa media adalah tempat lobus temporalis, dan fosa posterior adalah ruang
bagian bawah batang otak dan serebelum.
3. Meningen
Selaput meningen menutupi seluruh permukaan otak dan terdiri dari 3 lapisan yaitu :
duramater, araknoid dan piamater. Duramater adalah selaput yang keras, terdiri atas
jaringan ikat fibrosa yang melekat erat pada permukaan dalam dari kranium. Karena
tidak melekat pada selaput araknoid di bawahnya, maka terdapat suatu ruang
potensial (ruang subdural) yang terletak antara duramater dan araknoid, dimana
sering dijumpai perdarahan subdural.
Pada cedera otak, pembuluh-pembuluh vena yang berjalan pada permukaan otak
menuju sinus sagitalis superior di garis tengah atau disebut Bridging Veins, dapat
mengalami robekan dan menyebabkan perdarahan subdural. Sinus sagitalis superior
mengalirkan darah vena ke sinus transversus dan sinus sigmoideus. Laserasi dari
sinus-sinus ini dapat mengakibatkan perdarahan hebat.
Arteri-arteri meningea terletak antara duramater dan permukaan dalam dari kranium
(ruang epidural). Adanya fraktur dari tulang kepala dapat menyebabkan laserasi pada
arteri-arteri ini dan dapat menyebabkan perdarahan epidural. Yang paling sering
mengalami cedera adalah arteri meningea media yang terletak pada fosa temporalis
(fosa media).
Dibawah duramater terdapat lapisan kedua dari meningen, yang tipis dan tembus
pandang disebut lapisan araknoid. Lapisan ketiga adalah piamater yang melekat erat
pada permukaan korteks serebri. Cairan serebrospinal bersirkulasi dalam ruang sub
araknoid.
4. Otak
Otak manusia terdiri dari serebrum, serebelum, dan batang otak. Serebrum terdiri atas
hemisfer kanan dan kiri yang dipisahkan oleh falks serebri yaitu lipatan duramater
dari sisi inferior sinus sagitalis superior. Pada hemisfer serebri kiri terdapat pusat
bicara manusia. Hemisfer otak yang mengandung pusat bicara sering disebut sebagai
hemisfer dominan.
Lobus frontal berkaitan dengan fungsi emosi, fiungsi motorik, dan pada sisi dominan
mengandung pusat ekspresi bicara. Lobus parietal berhubungan dengan fungsi
sensorik dan orientasi ruang. Lobus temporal mengatur fungsi memori. Lobus
oksipital bertanggung jawab dalam proses penglihatan.
Batang otak terdiri dari mesensefalon (mid brain), pons, dan medula oblongata.
Mesensefalon dan pons bagian atas berisi sistem aktivasi retikular yang berfungsi
dalam kesadaran dan kewaspadaan. Pada medula oblongata terdapat pusat
kardiorespiratorik, yang terus memanjang sampai medulla spinalis dibawahnya. Lesi
yang kecil saja pada batang otak sudah dapat menyebabkan defisit neurologis yang
berat.
Serebelum bertanggung jawab dalam fungsi koordinasi dan keseimbangan, terletak
dalam fosa posterior, berhubungan dengan medula spinalis, batang otak, dan juga
kedua hemisfer serebri.
5. Cairan serebrospinal
Cairan serebrospinal (CSS) dihasilkan oleh pleksus khoroideus dengan kecepatan
produksi sebanyak 20 ml/jam. CSS mengalir dari ventrikel lateral melalui foramen
monro menuju ventrikel III kemudian melalui aquaductus sylvii menuju ventrikel IV.
Selanjutnya CSS keluar dari sistem ventrikel dan masuk ke dalam ruang subaraknoid
yang berada di seluruh permukaan otak dan medula spinalis. CSS akan direabsorbsi
ke dalam sirkulasi vena melalui vili araknoid.
6. Tentorium
Tentorium serebelli membagi rongga tengkorak menjadi ruang supra tentorial (terdiri
atas fossa kranii anterior dan fossa kranii media) dan ruang infratentorial (berisi fosa
kranii posterior).
2.3. Fisiologi
Mekanisme fisiologis yang berperan antara lain :
1. Tekanan Intra Kranial
Biasanya ruang intrakranial ditempati oleh jaringan otak, darah, dan cairan
serebrospinal. Setiap bagian menempati suatu volume tertentu yang menghasilkan
suatu tekanan intra kranial normal sebesar 50 sampai 200 mmH2O atau 4 sampai 15
mmHg. Dalam keadaan
aktivitas sehari-hari dan dapat meningkat sementara waktu sampai tingkat yang jauh
lebih tinggi dari normal.
Ruang intra kranial adalah suatu ruangan kaku yang terisi penuh sesuai kapasitasnya
dengan unsur yang tidak dapat ditekan, yaitu : otak ( 1400 g), cairan serebrospinal (
sekitar 75 ml), dan darah (sekitar 75 ml). Peningkatan volume pada salah satu dari
ketiga unsur utama ini mengakibatkan desakan ruang yang ditempati oleh unsur
lainnya dan menaikkan tekanan intra kranial (Lombardo,2003 ).
2. Hipotesa Monro-Kellie
Teori ini menyatakan bahwa tulang tengkorak tidak dapat meluas sehingga bila salah
satu
membesar,
dua komponen
lainnya
harus
membentur permukaan dalam tengkorak pada tempat yang berlawanan dari benturan
(countrecoup) (Hickey, 2003 dalam Israr dkk,2009).
Kerusakan sekunder terhadap otak disebabkan oleh siklus pembengkakan dan iskemia
otak yang menyebabkan timbulnya efek kaskade, yang efeknya merusak otak. Cedera
sekunder terjadi dari beberapa menit hingga beberapa jam setelah cedera awal. Setiap
kali jaringan saraf mengalami cedera, jaringan ini berespon dalam pola tertentu yang
dapat diperkirakan, menyebabkan berubahnya kompartemen intrasel dan ekstrasel.
Beberapa perubahan ini adalah dilepaskannya glutamin secara berlebihan, kelainan
aliran kalsium, produksi laktat, dan perubahan pompa natrium pada dinding sel yang
berperan dalam terjadinya kerusakan tambahan dan pembengkakan jaringan otak.
Neuron atau sel-sel fungsional dalam otak, bergantung dari menit ke menit pada
suplai nutrien yang konstan dalam bentuk glukosa dan oksigen, dan sangat rentan
terhadap cedera metabolik bila suplai terhenti. Cedera mengakibatkan hilangnya
kemampuan sirkulasi otak untuk mengatur volume darah sirkulasi yang tersedia,
menyebabkan iskemia pada beberapa daerah tertentu dalam otak ( Lombardo, 2003 ).
mekanisme,
membuka mata ataupun tidak bersuara maka nilai GCS-nya minimal atau sama
dengan 3. Nilai GCS sama atau kurang dari 8 didefinisikan sebagai koma atau cedera
otak berat. Berdasarkan nilai GCS, maka penderita cedera otak dengan nilai GCS 913 dikategorikan sebagai cedera otak sedang, dan penderita dengan nilai GCS 14-15
dikategorikan sebagai cedera otak ringan.
Menurut Brain Injury Association of Michigan (2005), klasifikasi keparahan dari
Traumatic Brain Injury yaitu :
Ringan
Sedang
Berat
3. Morfologi
a. Fraktur Kranium
Fraktur kranium dapat terjadi pada atap atau dasar tengkorak, dapat berbentuk
garis/linear atau bintang/stelata, dan dapat pula terbuka ataupun tertutup. Fraktur
dasar tengkorak biasanya memerlukan pemeriksaan CT scan dengan teknik bone
window untuk memperjelas garis frakturnya. Adanya tanda-tanda klinis fraktur dasar
tengkorak menjadikan petunjuk kecurigaan untuk melakukan pemeriksaan lebih rinci.
Fraktur kranium terbuka dapat mengakibatkan adanya hubungan antara laserasi kulit
kepala dengan permukaan otak karena robeknya selaput dura. Adanya fraktur
tengkorak tidak dapat diremehkan, karena menunjukkan bahwa benturan yang terjadi
cukup berat.
Menurut Japardi (2004), klasifikasi fraktur tulang tengkorak sebagai berikut;
1.
a. Linier
2.
3.
b.
Diastase
c.
Comminuted
d.
Depressed
b.
Terbuka
b.
Tertutup
2. Perdarahan Epidural
Hematoma epidural terletak di luar dura tetapi di dalam rongga tengkorak dan
gambarannya berbentuk bikonveks atau menyerupai lensa cembung. Sering terletak di
area temporal atau temporo parietal yang biasanya disebabkan oleh robeknya arteri
meningea media akibat fraktur tulang tengkorak.
3. Perdarahan Subdural
Perdarahan subdural lebih sering terjadi daripada perdarahan epidural. Perdarahan ini
terjadi akibat robeknya vena-vena kecil di permukaan korteks serebri. Perdarahan
subdural biasanya menutupi seluruh permukaan hemisfer otak. Biasanya kerusakan
otak lebih berat dan prognosisnya jauh lebih buruk dibandingkan perdarahan epidural.
komponen dijumlahkan dan memberikan total nilai GCS. Nilai terendah adalah 3
sedangkan nilai tertinggi adalah 15.
Menurut Japardi (2004), GCS bisa digunakan untuk mengkategorikan pasien menjadi
Fungsi utama dari GCS bukan sekedar merupakan interpretasi pada satu kali
pengukuran, tetapi skala ini menyediakan penilaian objektif terhadap tingkat
kesadaran dan dengan melakukan pengulangan dalam penilaian dapat dinilai apakah
terjadi perkembangan ke arah yang lebih baik atau lebih buruk.
E4
Speech
asked to in a loud
voice
Pain
pressure
Pain
Follows simple
M6
commands
Pain
Pulls examiners
Flexes body
inappropriately to
pain (decorticate
posturing)
Pain
in an extended
position upon
pressure
(decerebrate
posturing)
Pain
Has no motor
response
Verbal Response (Talking)
Speech
Carries on a
V5
conversation
correctly and tells
examiner where
he/she is, who
he/she is and the
month and year
Speech
Seems confused or
disoriented
Speech
Talks so examiner
can understand
victim but makes no
sense
Speech
examiner cannot
understand
Speech
Makes no noise
2. Pemeriksaan Pupil
Pupil harus diperiksa untuk mengetahui ukuran dan reaksi terhadap cahaya.
Perbedaan diameter antara dua pupil yang lebih besar dari 1 mm adalah abnormal.
Pupil yang terfiksir untuk dilatasi menunjukkan adanya penekanan terhadap saraf
okulomotor ipsilateral. Respon yang terganggu terhadap cahaya bisa merupakan
akibat dari cedera kepala.
3. Pemeriksaan Neurologis
Pemeriksaan neurologis dilaksanakan terhadap saraf kranial dan saraf perifer. Tonus,
kekuatan, koordinasi, sensasi dan refleks harus diperiksa dan semua hasilnya harus
dicatat
2.7. Glasgow Coma Scale sebagai Indikator Dini dalam Cedera Kepala
Glasgow Coma Scale (GCS) diciptakan oleh Jennet dan Teasdale pada tahun 1974
(Jennet dan Teasdale, 1974 dalam Sastrodiningrat, 2007 ). Sejak itu GCS merupakan
tolak ukur klinis yang digunakan untuk menilai beratnya cedera kepala. GCS
seharusnya telah diperiksa pada penderita-penderita awal cedera terutama sebelum
mendapat obat-obat paralitik dan sebelum intubasi. Derajat kesadaran tampaknya
mempunyai pengaruh yang kuat terhadap kesempatan hidup dan penyembuhan. GCS
juga merupakan faktor prediksi yang kuat dalam menentukan prognosa ( Alberico
dkk, 1987 dalam Sastrodiningrat, 2007).
Terdapat beberapa kontroversi saat menentukan GCS. Penentuan skor GCS sesudah
resusitasi kardiopulmonal, dapat mengurangi nilai prediksi GCS. Pada beberapa
penderita, skor mata dan skor verbal sulit ditentukan pada mata yang bengkak dan
setelah tindakan intubasi endotrakeal. Skor motorik dapat menjadi prediksi yang kuat;
penderita dengan skor mototrik 1 ( bilateral flaksid ) mempunyai mortalitas 90 %.
Adanya skor motorik yang rendah pada awal cedera dan usia di atas 60 tahun
merupakan kombinasi yang mematikan (Kelly dkk., 1996 dalam Sastrodiningrat,
2007).
Penentuan skor awal GCS yang dapat dipercaya dan belum diberi pengobatan apapun
atau sebelum tindakan intubasi mempunyai nilai yang sangat penting (American
Association of Neurological Surgeons, 2000 dalam Sastrodiningrat, 2007).
2.8.
Peralatan diagnostik yang digunakan untuk mendeteksi fraktur dari dasar tengkorak
atau rongga tengkorak. CT scan lebih dipilih bila dicurigai terjadi fraktur karena CT
scan bisa mengidentifikasi fraktur dan adanya kontusio atau perdarahan. X-Ray
tengkorak dapat digunakan bila CT scan tidak ada ( State of Colorado Department of
Labor and Employment, 2006).
b. CT-Scan
Penemuan awal computed tomography scanner ( CT Scan ) penting dalam
memperkirakan prognosa cedera kepala berat (Alberico dkk, 1987 dalam
Sastrodiningrat,, 2007). Suatu CT scan yang normal pada waktu masuk dirawat pada
penderita-penderita cedera kepala berat berhubungan dengan mortalitas yang lebih
rendah dan penyembuhan fungsional yang lebih baik bila dibandingkan dengan
penderita-penderita yang mempunyai CT scan abnormal.
Hal di atas tidaklah berarti bahwa semua penderita dengan CT scan yang relatif
normal akan menjadi lebih baik, selanjutnya mungkin terjadi peningkata TIK dan
dapat berkembang lesi baru pada 40% dari penderita (Roberson dkk, 1997 dalam
Sastrodiningrat, 2007). Di samping itu pemeriksaan CT scan tidak sensitif untuk lesi
di batang otak karena kecilnya struktur area yang cedera dan dekatnya struktur
tersebut dengan tulang di sekitarnya. Lesi seperti ini sering berhubungan dengan
outcome yang buruk (Sastrodiningrat, 2007 ).
c. Magnetic Resonance Imaging (MRI)
Magnetic Resonance Imaging (MRI) juga sangat berguna di dalam menilai prognosa.
MRI mampu menunjukkan lesi di substantia alba dan batang otak yang sering luput
pada pemeriksaan CT Scan. Ditemukan bahwa penderita dengan lesi yang luas pada
hemisfer, atau terdapat lesi batang otak pada pemeriksaan MRI, mempunyai
prognosa yang buruk untuk pemulihan kesadaran, walaupun hasil pemeriksaan CT
Scan awal normal dan tekanan intrakranial terkontrol baik (Wilberger dkk., 1983
dalam Sastrodiningrat, 2007).
Pemeriksaan Proton Magnetic Resonance Spectroscopy (MRS) menambah dimensi
baru pada MRI dan telah terbukti merupakan metode yang sensitif untuk mendeteksi
Cedera Akson Difus (CAD). Mayoritas penderita dengan cedera kepala ringan
sebagaimana halnya dengan penderita cedera kepala yang lebih berat, pada
pemeriksaan MRS ditemukan adanya CAD di korpus kalosum dan substantia alba.
Kepentingan yang nyata dari MRS di dalam menjajaki prognosa cedera kepala berat
masih harus ditentukan, tetapi hasilnya sampai saat ini dapat menolong menjelaskan
berlangsungnya defisit neurologik dan gangguan kognitif pada penderita cedera
kepala ringan ( Cecil dkk, 1998 dalam Sastrodiningrat, 2007 ).
2.9.
Skor Glasgow Coma Scale menunjukkan suatu hubungan linier yang jelas terhadap
mortalitas pasien. Adapun ditemukannya angka mortalitas yang lebih rendah pada
GCS 3 dibandingkan dengan GCS 4 mungkin disebabkan skor pasien yang di sedasi
dianggap sebagai 3.