Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH PENGELOLAAN LIMBAH BAHAN BERBAHAYA DAN BERACUN

PENGELOLAAN LIMBAH INDUSTRI PERKEBUNAN


KELAPA SAWIT

DISUSUN OLEH:

CITRA ENDAH NUR S. (12513027)


MARISTYANTO (12513047)
ANDISVINA DESLIANI (12513103)
AHMAD SABRI (12513131)
RATNAWILIS SAFISANI ENO R. (12513138)

JURUSAN TEKNIK LINGKUNGAN


FAKULTAS TEKNIK SIPIL DAN PERENCANAAN
UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA
YOGYAKARTA
2014

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Pertumbuhan perkebunan dan industri kelapa sawit di dunia semakin
berkembang pesat, terutama di negara seperti Indonesia. Indonesia saat ini adalah
produsen CPO (crude palm oil) terbesar dan memiliki lahan sawit terluas di dunia. Luas
areal kelapa sawit di Indonesia tahun 2014 menurut World Wild Fund diperkirakan
mencapai 13,5 juta ha dan produksi CPO pada tahun tersebut mencapai 38,69 juta ton.
Luas area dan produksi diperkirakan akan terus meningkat mengingat saat ini gencar
dilakukan pembukaan lahan-lahan sawit baru, terutama di Pulau Kalimantan, Sumatera
dan Papua.
Dari setiap ton tandan buah sawit yang diolah dapat menghasilkan 140 200 kg
CPO. Selain CPO, pengolahan ini juga menghasilkan limbah atau produk sampingan,
antara lain limbah cair (POME = Palm Oil Mill Effluent), limbah padat seperti
cangkang sawit, fiber atau sabut, dan tandan kosong kelapa sawit. Limbah cair yang
dihasilkan cukup banyak, yaitu berkisar antara 600 700 kg. Begitu pula dengan serat
dan cangkang yang mencapai 190 kg.
Selain itu ada juga beberapa limbah bahan berbahaya dan beracun (B3) lainnya
yang dihasilkan dari hasil industri perkebunan kelapa sawit ini, seperti oli bekas, battery
bekas, jerigen eks bahan kimia (water treatment, pestisida), dan limbah kimia
laboratorium (kemasan, bahan kimia kadaluarsa).
Limbah-limbah hasil pengolahan sawit tersebut merupakan limbah B3 yang
tentunya akan berbahaya bagi lingkungan. Oleh karena itu perlu adanya tindak lanjut
yang harus kita lakukan agar limbah tersebut tidak dibiarkan begitu saja.
1.2. Permasalahan
a) Apa saja jenis-jenis limbah dari pengolahan industri sawit?
b) Apakah kandungan dari limbah industri kelapa sawit yang berbahaya bagi
lingkungan?
c) Bagaimanakah cara pengelolaan limbah kelapa sawit yang yang baik dan benar?

1.3. Tujuan
a) Mengetahui macam-macam jenis limbah dari pengolahan industri kelapa sawit.
b) Mengetahui kandungan dari limbah kelapa sawit yang berbahaya bagi
lingkungan.
c) Mengetahui jenis-jenis pengelolaan limbah B3 dari tandan buah sawit yang baik
dan benar.

1.4. Manfaat
Sebagai sumber media informasi bagi masyarakat untuk mengetahui tentang
jenis-jenis limbah yang dihasilkan dari industri kelapa sawit dan cara pengelolaannya
yang baik dan benar.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1

Limbah

Limbah adalah buangan yang kehadirannya pada suatu saat dan tempat tertentu
tidak dikehendaki lingkungannya karena tidak mempunyai nilai ekonomi. Limbah
mengandung bahan pencemar yang bersifat racun dan bahaya. Limbah ini dikenal
dengan limbah B3 (bahan beracun dan berbahaya). Bahan ini dirumuskan sebagai bahan
dalam jumlah relatif sedikit tapi mempunyai potensi mencemarkan/merusakkan
lingkungan kehidupan dan sumber daya. Sebagai limbah, kehadirannya cukup
mengkhawatirkan terutama yang bersumber dari pabrik industri.

2.2

Limbah Cair
Limbah cair pabrik industri kelapa sawit adalah salah satu produk samping dari

pabrik minyak kelapa sawit yang berasal dari kondensat dari proses sterilisasi, air dari
proses klarifikasi, air hydrocyclone (claybath), dan air pencucian pabrik. Limbah ini
mengandung berbagai senyawa terlarut termasuk, serat-serat pendek, hemiselulosa dan
turunannya, protein, asam organik bebas dan campuran mineral-mineral.

2.3

Limbah Padat
Limbah padat yang dihasilkan oleh pabrik pengolah kelapa sawit adalah tandan

kosong, serat, dan tempurung. Tandan kosong yaitu sebesar 25 % berat Tandan Buah
Segar (TBS) yang diolah Pabrik Kelapa Sawit (PKS). Sebuah PKS dibangun dengan
kapasitas 60 ton/jam maka untuk operasional 20 jam akan menghasilkan 1.200 ton x 67
% = 804 ton Limbah Cair dan akan menghasilkan 1.200 ton x 25 % = 300 ton limbah
padat. Dalam waktu 1 tahun rata rata PKS dengan kapasitas olah 60 ton TBS/jam
menghasilkan LCPKS 804 ton x 25 x 12 = 241.200 ton dan Limbah Padat 300 ton x 25
x 12 = 90.000 ton. Dari jumlah yang cukup besar ini, jika limbah tidak dikelola dengan

baik akan menyebabkan pencemaran lingkungan. Bila dikelola akan memiliki dampak
positif yang cukup besar. (Loekito, 2002)

2.4

Limbah Gas
Selain limbah padat dan cair, industri pengolahan kelapa sawit juga

menghasilkan limbah bahan gas. Limbah gas ini antara lain gas cerobong dan uap air
buangan pabrik kelapa sawit. Limbah gas dihasilkan oleh pabrik kelapa sawit yang
memiliki insenerator (Yan Fauzi, 2002).

BAB III
PEMBAHASAN
3.1.

Contoh Kasus Pengelolaan Limbah Industri Kelapa Sawit


Pada pembahasan kali ini, penulis akan memasukkan beberapa kasus

pengelolaan limbah Industri perkebunan Kelapa Sawit, terutama mengenai pengelolaan


limbah cairnya.

3.1.1. Pengolahan Limbah Cair PTP. Nusantara IV Bah Jambi


P.T. Perkebunan Nusantara IV Bah Jambi terletak di Provinsi Sumatera Utara
dan tersebar di beberapa Daerah Tingkat II, yaitu Kabupaten Simalungun, Deliserdang,
Asahan, Labuan Batu, Langkat, Tobasa, Tapanuli Selatan dan Kota Medan. PTPN. IV
Bah Jambi mempunyai areal yang sangat luas dan mengelola komoditi kelapa sawit,
kakao dan teh. Luas Perkebunan Kelapa Sawit sebesar 120.780 Ha dan Pabrik Kelapa
Sawit yang beroperasi untuk mengolah seluruh panen dari perkebunan kelapa sawit
berjumlah 16 buah. Sesuai dengan undang-undang dan peraturan yang berlaku, PTP
Nusantara IV Bah Jambi telah melaksanakan pengendalian limbah cair dari pabrik
kelapa sawit, yaitu dengan memiliki IPAL (Instalasi Pengolahan Air Limbah) untuk
setiap pabrik kelapa sawit.
IPAL yang dimiliki oleh ke 16 pabrik kelapa sawit umumnya adalah dengan
sistem yang konvensional, yaitu yang terdiri dari beberapa unit kolam anaerobik,
fakultatif dan aerobik. Masing-masing IPAL dari setiap pabrik kelapa sawit mempunyai
kolam kolam yang memiliki kedalaman, luas dan volume yang berbeda-beda. Dengan
demikian waktu tinggal atau WPH (Waktu Penahanan Hidrolysis)-nya juga berbeda
beda. Luas kolam yang terkecil adalah 6.800 m2, sedangkan yang terbesar adalah
42.500 m2. Sementara itu Volume kolam bervariasi dari 19.200 m3 sampai 125.500 m3
dan Waktu Tinggal yang terkecil 36 hari dan yang terbesar ialah 192 hari. Untuk
mengevaluasi seluruh IPAL yang ada dalam PTP. Perkebunan IV menjadi sangat sulit.
Berdasarkan laporan dari pengelola IPAL di Bah Jambi, seluruh IPAL yang dimilikinya
mampu beroperasi dan dapat menurunkan kadar BOD hingga 250 ppm (Standar kualitas
limbah cair berdasarkan Keputusan Menteri No. Kep-51/Men-LH-10/1995).

Berdasarkan ketentuan yang berlaku sekarang, BOD yang boleh dilepas ke


lingkungan adalah 100 ppm. Dengan demikian semua IPAL harus diperbaiki atau
dimodifikasi, sehingga mampu menurunkan BOD hingga 100 ppm. Perlu diketahui
pula, bahwa konstruksi kolam-kolam tersebut tidak memenuhi syarat yang berlaku,
karena tidak menggunakan dasar yang kedap air, tetapi hanya tanah biasa. Jadi kolamkolam tersebut hanya merupakan kolam galian biasa. Berdasarkan informasi yang masih
sangat terbatas ini, maka dapat disimpulkan bahwa sistem IPAL di area PTP. Nusantara
IV Bah Jambi perlu di evaluasi kembali, diperlukan modifikasi untuk menyesuaikan
dengan peraturan yang baru.

3.1.2. Pengolahan Limbah PKS Riau PT. SMART Tbk


Kapasitas PKS PT. Smart Tbk di Riau ini adalah sebesar 60 ton TBS/jam.
Jumlah limbah cair yang dihasilkan sekitar 650 m3/hari, namun kapasitas unit
pengolahanlimbah cairnya sebesar 885 m3/hari. Sebagian limbah cairnya dimanfaatkan
untuk land application. Seperti juga pada umumnya PKS yang lain, unit pengolahan
limbah cair utama yang dimaksudkan untuk mendegradasi bahan pencemar
diakomodasikan melalui dua proses, yaitu anaerobik dan aerobik. Setelah proses
netralisasi dan kemudian pendinginan, baru dialirkan masuk ke dalam kolam-kolam
anaerobik yang berjumlah 6 unit dan berukuran sangat luas. Dari pengolahan anaerobik,
air limbah olahan masuk ke dalam kolam-kolam aerobik. Sayangnya pada kolam-kolam
aerobik ini tidak semua diaerasi secara mekanik. Hanya dua kolam aerobik pertama dari
6 buah kolam yang mempunyai motor pengaduk di permukaan kolam. Berdasarkan
informasi dari kepala divisi limbahnya, unit aerasi ini juga tidak sepenuhnya berjalan
secara terus-menerus, tetapi sering kali bermasalah dan tidak dapat beroperasi lagi.
Dengan kondisi seperti ini maka kolam-kolam aerobik ini sebenarnya sama saja dengan
kolam anaerobik.
Unit terakhir dari sistem pengolahan limbah cair PT.Smart Tbk. adalah
sedimentasi. Waktu tinggal total membutuhkan 160 hari dan efisiensi pengolahan secara
total mencapai 99%. Kualitas efluen unit pengolahan limbah cair untuk beberapa
parameter, yaitu TS <5000 ppm, pH antara 7,9 sampai dengan 8,5, BOD sekitar 50
sampai 60 ppm dan COD berkisar antara 500 sampai 600 ppm. Menurut pihak
manajemen PT. Smart Tbk, dengan sistem pengolahan limbah cair seperti itu biaya

operasional untuk unit IPAL (Instalasi Pengolahan Air Limbah) dapat ditekan lebih
rendah.

3.2.

Teknologi Pengelolaan Limbah Cair Industri Perkebunan Kelapa Sawit Yang

Disarankan
Berdasarkan data tentang komposisi limbah cair PKS, diketahui bahwa beban
BOD merupakan 80% lebih dari jumlah limbah yang dihasilkan. Dengan demikian,
limbah cair PKS didominasi oleh limbah organik dan sistem pengolahannya pun akan
didominasi oleh proses biologis. Hal itu tidak berarti bahwa proses fisika dan kimia
tidak dipergunakan, tetapi diterapkan hanya pada proses awal dan akhir saja. Prosesproses dalam sistem pengolahan limbah cair PKS dapat dilihat pada Gambar berikut ini.

Proses pengolahan diawali dengan pengendapan awal yang diakomodasikan


dalam unit Oil Separation Tank. Dalam tangki pengendap awal ini juga terjadi
pemisahan minyak yang masih banyak terdapat dalam limbah cair yang dibuang,
sehingga dengan pengambilan minyak dalam limbah cair ini jelas akan meningkatkan
efisiensi proses produksi secara keseluruhan. Karena umumnya limbah cair kelapa sawit
bersifat asam, maka proses selanjutnya adalah proses netralisasi. Setelah penetralan
proses selanjutnya adalah proses utama yaitu proses anaerobik. Dalam tangki reaktor
anaerobik ini dihasilkan gas bio yang akan ditampung dalam tangki Gas Holder dan
selanjutnya gas bio (gas methan) tersebut untuk dimanfaatkan guna keperluan proses
pemanasan dalam pabrik CPO. Lumpur aktif yang terdapat dalam proses anaerobik
disirkulasi melalui tangki sirkulasi. Proses sirkulasi ini dapat digunakan pula sebagai
optimalisasi proses anaerobik dan juga untuk pengendalian jumlah lumpur dalam tangki
reaktor anaerobik. Proses selanjutnya adalah proses aerobik dengan penghembusan
udara atau dengan sistem pengadukan di sekitar permukaan air limbah yang akan

diolah. Setelah proses aerobik selanjutnya adalah pengendapan lumpur. Seperti juga
pada proses anaerobik yang menggunakan sirkulasi lumpur aktif, demikian pula dengan
proses aerobik. Sebagian lumpur aktif yang mengendap pada bagian bawah tangki
pengendap disirkulasi kembali ke dalam tangki reaktor aerobik. Sebagai proses akhir
adalah pengeringan lumpur dalam unit pengeringan lumpur (drying bed).
3.3. Pengelolaan Limbah Padat Industri Perkebunan Kelapa Sawit
3.3.1. Pembuatan Kompos
3.3.1.1. Alasan Pembuatan Kompos dan Hasil Percobaan Kompos Terhadap Volume
dan Berat
Rerata nutrisi yang terkandung dalam kompos dapat di lihat pada Tabel di bawah ini.
N
3,1

Kandungan Nutrisi
K
Mg
3,2
0,6
Kandungan Nutrisi

P
0,3
B
34

Cu
Zn
76
103
Tabel. Komposisi Kompos Umur 2 bulan

Ca
1,2

Cl
0,0
Mn
287

3.3.1.2. Metode Aplikasi Kompos


Berdasarkan hasil penelitian dan praktikal, direkomendasikan dosis aplikasi
100 kg/pokok/tahun. Hal hal yang perlu diperhatikan dalam aplikasi janjang kosong
adalah :
Luas areal pemupukan
Jarak areal pemupukan kompos dengan sumber kompos
Umur kompos
Kompos ditabur merata diantara ke dua pokok kelapa sawit. Kompos ditabur secara
manual.

3.3.2. Aplikasi Janjang Kosong


3.3.2.1. Latar belakang pemanfaatan Janjang Kosong
Rerata Nutrisi yang terkandung dalam janjang kosong (KA 65 %) disajikan pada tabel
berikut :

N
0,8

Kandungan Nutrisi
K
Mg
2,15
0,14
Kandungan Nutrisi

P
0,07
B
13

Cu
44

Ca
0,21
Zn
33

Cl
0,33
Mn
15

Kesetaraan 1 Ton Janjang Kosong dengan pupuk anorganik


UREA
TSP
MOP
Kieserit
6,10 kg
1,60 kg
15,90 kg
3,30 kg
3.3.2.2. Metode Penerapan Janjang Kosong
Berdasarkan hasil penelitian dan aspek praktikal, direkomendasikan untuk dosis aplikasi
janjang kosong sampai dengan saat ini adalah 60 ton/Ha/2 tahun. Satu minggu setelah
aplikasi janjang kosong maka diberikan pupuk Urea yang ditabur di atas janjang kosong
dengan dosis 186 Kg/Ha.
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam aplikasi janjang kosong adalah sebagai berikut :
Luas lahan
Jarak areal janjang dari PKS
Topografi
Kondisi gawangan dalam blok
Kondisi jalan dan jembatan
Alat-alat yang dipakai dalam ecer janjang kosong adalah :
o

Wheel loader/ Crane grapple

Traktor

Empty Bunch Spreader (EBS)

Truk

Angkong
Ecer Janjang kosong di Blok dengan Traktor dan EBS. EBS digunakan khusus

pada areal aplikasi yang tinggi tanamannya sudah di atas 3 meter karena kondisi
pelepah sudah tidak mengganggu terhadap operasional EBS.
Kapasitas angkut EBS 1 unit EBS per tripnya adalah 7 ton. Untuk setiap satu
trip EBS dapat mengecer untuk 76 meter atau sekitar 9 pokok. Fungsi utama EBS
adalah untuk ecer JJK di gawang bukan sebagai alat transport.

3.3.3. Pembakaran Janjang Kosong


3.3.3.1. Alasan Pembakaran Janjang Kosong
Di areal gambut, penggunaan janjang kosong (JJK) dan kompos sebagai sumber
pupuk tidak dimungkinkan karena terkendala transportasi. Sarana transportasi di areal
gambut, khususnya gambut pasang surut sangat khas dengan sistem kanal. Salah satu
upaya yang dilakukan adalah merubah JJK menjadi abu janjang melalui pembakaran
dengan incenerator. Keuntungan produk abu janjang dibandingkan dengan JJK adalah
volume lebih kecil, mudah penyimpanan (penggudangan), mudah diaplikasikan dan
biaya relatif lebih murah.
Nutrisi terbesar yang terdapat dalam abu janjang adalah Potassium / Kalium
dalam bentuk K2O. Rerata kandungaan K dalam abu janjang masing-masing 46-50%
K2O (Total) dan 36-39% K2O (Soluble water).

3.3.3.2. Metode Penerapan Abu Janjang di Lapangan


Sampai saat ini belum diperoleh secara pasti berapa dosis optimum abu janjang
untuk kelapa sawit. Dosis sementara aplikasi abui janjang adalah 2 kali dari dosis
rekomendasi MOP. Hal ini mengacu pada rerata kandungan K2O abu janjang sebesar
36-39% (Soluble water) yang berarti setengan dari kandungan K2O MOP sebesar 6062%.

3.3.3.3. Modifikasi
Incenerator adalah alat yang digunakan untuk membakar JJK. Pembangunan
incenerator hendaknya memperhatikan hal-hal sebagai berikut :
Kapasitas produksi pabrik (ton/jam)
Kapasitas produksi abu janjang (ton/jam)
Kemampuan bakar incenerator (jam/hari)
Lingkungan
Untuk mengurangi pengaruh terhadap lingkungan maka pada cerobong asap
dilakukan modifikasi dengan membengkokkan cerobong asap ke bawah, kemudian asap
dilewatkan bak berisi air. Dengan demikian polutan akan terikat dalam air dan asap
yang dihasilkan akan lebih bersih.

BAB IV
KESIMPULAN

4.1. Kesimpulan
4.1.1. Terdapat bermacam-macam jenis limbah dari pengolahan industri kelapa sawit,
diantaranya yaitu limbah cair, limbah padat dan limbah gas.

4.1.2. Kandungan dari limbah kelapa sawit yang berbahaya bagi lingkungan diantaranya
seperti limbah cair (CPO, air bekas cucian), limbah padat (tandan kosong, serat,
tempurung), limbah gas(gas buangan pabrik) dan limbah B3 hasil perkebunan (seperti
oli bekas, battery bekas, jerigen eks bahan kimia (water treatment, pestisida), dan
limbah kimia laboratorium (kemasan, bahan kimia kadaluarsa)).
4.1.3. Adapun jenis-jenis pengelolaan limbah Industri Perkebunan Sawit yaitu dengan
Pembuatan IPAL dari PT. PN IV Bah Jambi, Pengaliran ke kolam aerobik dan
anaerobik dari PT. SMART Tbk., dan dengan teknologi pengolahan secara biologis
(Limbah Cair). Untuk limbah padat dapat dilakukan Pembuatan Kompos, Pembuatan
Janjang Kosong, dan Pembakaran Janjang Kosong untuk tanaman.

DAFTAR PUSTAKA

Anonymous, Pengolahan Limbah Pabrik Kelapa Sawit, Pusat Penelitian Kelapa


Sawit, Medan, 1994.
Anonymous, Pengendalian dan Pengoperasian Limbah Pabrik Kelapa Sawit,1999,
Pusat Penelitian Perkebunan (RISPA), Medan, 1992.
Lambaga, M.Syarip.2000. Penggunaan Abu Janjang untuk Kelapa Sawit . Smaweb
SMARTRI edisi : 09-2000. Tidak dipublikasikan.
Lim C.H and Chan K.W. 1993. Environment Impact of Land Application of Plantation
Effluents on Oil Palm. PORIM int. Oil Palm Congress-Update and Vision
(Agriculture, 12-p).

Anda mungkin juga menyukai