):
Ilmuwan Nyentrik Penemu Padi Unggul
Jurai. Seperti Kalinda, Kotaagung, dan daerah lain sembari meneliti benih
padi unggul.
Selama bertualang, Surono mengaku lebih banyak berjalan kaki atau
dengan sepeda tuanya. Maklum, kondisi ekonominya jauh dari cukup.
"Jangankan beli kendaraan, untuk ongkos saja tidak punya," kata dia.
Selama bertahun-tahun ia menjelajahi daerah-daerah pertanian di
Lampung. Hasilnya, Surono mengoleksi 181 jenis benih padi. Benih-benih
itu dia teliti dan kemudian menetapkan tiga jenis benih padi unggulan.
Ketiga jenis benih padi itu pun ia uji dan teliti.
Untuk benih jantan, Surono memilih padi asal Terbanggibesar yang diberi
nama Dayang Rindu. Sedangkan benih betina dipilih dua jenis padi, yakni
asal Kampung Gunungbatin, Terusannunyai, yang dinamainya "Si rendah
sekam kuning" dan "Si rendah sekam putih".
Sejak 1985, Surono praktis memusatkan penelitiannya pada ketiga jenis
padi itu. Dari hasil persilangan benih itu, 10 tahun kemudian ia
menemukan benih padi yang berusia 150 hari. Dan, tujuh tahun kemudian
dengan rumus ciptaan dan pengetahuan yang dimilikinya Surono
akhirnya menemukan benih padi berusia 135 hari. Meski hasilnya cukup
spektakuler, Surono belum puas juga. Ia masih terus meneliti dan tahun
1997 ditemukanlah benih padi berusia 105 hari. Benih padi itu pun ia beri
nama Sertani 1.
Menurut Surono, satu hektare tanaman padi ini, dengan perlakuan yang
baik, mampu memproduksi gabah maksimal 14 ton. "Benih ini tidak
memiliki perawatan khusus bahkan tidak membutuhkan suplai air yang
memadai," kata Surono Danu.
"Justru dengan pasokan air yang lebih banyak, produksi menjadi tidak
maksimal," kata Surono. Benih ini juga mampu hidup di berbagai kondisi
tanah apa pun seperti perladangan, gaga rancah, sawah, dan salinitas
atau lahan yang kurang bagus untuk produksi.
Dari segi pemupukan, benih Sertani 1 ini hanya membutuhkan paling
banyak lima kuintal per hektare dan tahan terhadap hama apa pun seperti
hama tikus.
Bila batang tanaman padi ini digigit tikus, batangnya mampu menutup
luka akibat gigitan hama hanya dalam waktu 24 jam dan tetap bisa
tumbuh dengan baik. Benih Sertani 1 memiliki antibodi sendiri sehingga
lebih tahan terhadap serangan penyakit.
Sembari mengembangkan benih Sertani 1 dan mengenalkannya pada
petani, Surono terus meneliti. Dua tahun kemudian (1999), dia berhasil
menemukan benih padi dengan usia panen 95 hari. "Benih padi itu akan
kita beri nama EMESPE-1 singkatan dari Mari Sejahterakan Petani," ujar
pria yang sangat tertekan semasa rezim Orde Baru itu.
Menurut Surono, padi EMESPE ini sudah ditanam di seluruh Indonesia. Ini
memang jadi keinginannya agar padi hasil penelitiannya bertahun-tahun
itu bisa meningkatkan kesejahteraan para petani karena hasil panenannya
bisa dua kali lebih banyak ketimbang jenis padi lokal lain.
"Dahulu, Mahapatih Gajah Mada pernah bersumpah tidak akan makan
buah palapa kalau belum bisa menaklukkan dan menyatukan wilayah
Nusantara. Saya pun tidak makan nasi hasil penemuan saya ini sebelum
tertanam di seluruh Indonesia. Nah, karena sekarang sudah tertanam di
seluruh Indonesia, saya pun sudah merasakan nasi dari padi EMESPE,"
jelas Surono.
Selama 20-an tahun meneliti, Surono tidak pernah menerima dan
meminta imbalan dari siapa pun. Semua yang dia lakukan semata-mata
didorong keinginannya menyejahterakan orang banyak, terutama petani.
Hal yang membuat Surono tidak pernah surut untuk meneliti adalah
sikapnya yang kritis dan selalu bersemangat. "Saya tidak punya apa-apa
kecuali sikap kritis dan spirit. Seperti virus, inilah yang saya sebarkan
kepada masyarakat. Jika kebaikan dan pengetahuan kita sebarkan seperti
virus, masyarakat akan kuat," ujarnya.
Dalam keseharian, Surono selain dikenal ramah dan tegas, juga terbuka
pada siapa pun. Selain tekun meneliti tanaman, ia juga memiliki
kemampuan meracik obat-obatan herba. Sudah banyak orang sakit yang
disembuhkan oleh racikan obatnya.
Benih unggul temuan Surono kini menjadi perbincangan. Bukan hanya di
Lampung, juga seantero Indonesia. Meski demikian, kehidupan ekonomi
Surono belum beranjak naik. Ia tetap saja seorang petani desa yang hidup
penuh kesederhanaan. "Ibarat lukisan, saya ini lukisan abstrak, tidak jelas
tapi mempunyai arti," ujar Surono.
Protes Benih Impor
Menjadi penangkar padi adalah pekerjaan yang membutuhkan ketelitian
dan ketekunan ekstra. Surono Danu membuktikan hal itu. Dia sudah
bangun sejak pukul 02.00 untuk mengawasi bulir padi dan membuka
serbuk sarinya.
Menjelang pukul 04.00, serbuk sari yang sudah terbuka itu kemudian
dikawinkan. Alat pembuka serbuk sari hanyalah pinset. "Hanya itu alat
yang saya gunakan," kata Surono. Ini adalah proses yang terbilang rumit
karena padi tidak boleh rusak. Kemudian sisa dari bulir padi yang tidak
dikawinkan, harus dibuang.
Lalu, padi yang sudah dikawinkan itu ditutup plastik, dan diberi lubang
untuk sirkulasi udara. Nah, pukul 06.30 adalah saat tanaman padi kawin.
"Saya harus bangun lebih pagi agar tidak keduluan proses perkawinan
padi secara alami," kata ayah lima anak ini.
Setiap saat, Surono harus terus memantau setiap bulir padi yang telah
dikawinkan untuk melihat tingkat keberhasilan proses perkawinan.
Banyaknya bulir padi yang dikawinkan bergantung pada kecepatan sang
penangkar. Dalam sehari bisa 10--20 bulir padi yang dikawinkan. Namun,
kata Surono, dalam 10 ribu bulir yang berhasil paling hanya satu.
Langkah selanjutnya, padi hasil perkawinan itu diuji coba terus-menerus
sehingga
menghasilkan
galur
padi
yang
diinginkan.
Jangan
membayangkan Surono bekerja dalam sebuah laboratorium dengan
fasilitas lengkap. Dia bahkan mengaku tidak punya lahan secuil pun untuk
uji coba.
Menurut cerita Surono, semua uji coba padi dilakukan dalam pot di
halaman rumahnya di Bandar Lampung, dan alat yang digunakan hanya
pinset. Tidak heran bila usaha menghasilkan galur unggul lokal dari
Sertani 1 hingga Sertani 16 memakan waktu sampai 22 tahun.
BIODATA
Nama: Ir. Surono Danu
Tempat, tanggal lahir: Cirebon, 11 September 1951
Istri: Rohmiati
Tempat, tanggal lahir: Sukoharjo, Solo, 23 Februari 1961
Anak:
1. Aditiya Veda Ariono (12 Juni 1979)
2. Dyang Vita Aryani (18 November 1980)
3. Aditya Kama Nugrah (7 Maret 1988)
4. Nyang Vania Ayuningtyas Harini (4 Januari 1990)
5. Aditya Prima Tirta (11 September 2001)
Cucu: 1. Alfian (15 April 2007)
Surono Danu dan Laboratorium di Tengah Sawah
Oyos Saroso HN October 15, 2013
Oyos Saroso H.N./LampungReview, Terbanggi Besar
Desa Nambah Dadi, Kecamatan Terbanggi Besar, Kabupaten Lampung
hanyalah desa pertanian biasa. Sebagian besar penduduknya berprofesi
sebagai petani padi. Namun, sejak lima tahun terakhir, desa yang
didirikan oleh para transmigran asal Pulau Jawa itu menjadi sangat
terkenal. Sebab, dari desa itulah lahir benih padi lokal unggul yang kini
mulai dikembangkan di beberapa daerah di Indonesia.
Benih padi unggul itu ditemukan oleh Surono Danu, 63, seorang petani
sekaligus peneliti padi asal Desa Nambah Dadi. Surono menemukan benih
padi unggul lokal setelah lebih dari 20 tahun melakukan penelitian dengan
biaya sendiri. Usaha keras Surono berawal dari keprihatinnya melihat
nasib petani yang produksinya stagnan. Selain itu, kegigihannya
menemukan padi unggul lokal juga disemangati oleh niat untuk
menyelamatkan padi unggul lokal dari kepunahan.
Lama-kelamaan padi unggul lokal akan punah jika tidak dikembangkan,
kata Surono.
Untuk mendapatkan benih padi unggul, pada 1982 Surono kemudian
berkeliling Lampung, Sumatera
Selatan,
dan Bengkulu
untuk
mengumpulkan benih padi unggul lokal. Akhirnya terkumpullah 183 jenis
benih padi lokal. Setelah dilakukan serangkaian percobaan, hasilnya
hanya varietas Dayang Rindu sebagai pejantan dan varietas Sirendah
Sekam Putih dan Sirendah Sekam Kuning untuk betina yang mampu
menunjukkan kualitas lebih baik.
Surono memilih padi Sirendah Sekam Putih dan Sirendah Sekam Kuning
yang baunya wangi dan induk jantan dari Dayang Rindu (produksi tinggi)
untuk terus diteliti. Pada 1985 Surono mulau melakukan uji coba
penyilangan.
Indonesia. Targetnya, sampai 2009 jenis padi emespe ini sudah tertanam
sekitar 40% dari total luas lahan di Indonesia yaitu sekitar 4.000.000 ha.
JUM'AT, 17 JUNI 2011 | 14:56 WIB
Serikat Petani Temukan Benih Padi Unggul
TEMPO/Zulkarnain