Anda di halaman 1dari 7

H.

Syamsur : Memuliakan Usaha


Ayam Kampung
HL | 26 September 2012 | 18:49 Dibaca: 5711 Komentar: 32 8 bermanfaat

H. Syamsur tak pernah kenal kata putus asa dalam memulai usahanya ketika masih sendiri
beternak ayam kampung. Tak lama kemudian, ia mengajak teman-teman dan keluarganya
bergabung dan mendirikan Kelompok Ternak “Sipakatau”, dan dipercayakan sebagai ketua
kelompok tersebut. Sangat terasa bahwa kelompok usaha ayam kampungnya ini terus maju
dan berkembang. Alhasil, komoditas ayam kampung yang ia usahakan bersama kelompoknya
tersebut ternyata memiliki prospek yang bagus dengan permintaan pasar yang begitu besar
dan terkadang tak sanggup dipenuhi.

Yang menarik, Usaha ternak ayam kampung yang tergabung dalam kelompok ternak
“sipakatau” ini selain mendapat dukungan dana dari pemerintah, H. Syamsur dan anggota
kelompoknya tak segan-segan membiayai usaha kelompoknya dengan mengeluarkan
koceknya sendiri. Ia optimis bahwa usaha kelompok ternak ayam kampungnya ini memiliki
nilai yang sangat besar bagi diri dan keluarganya, kelompok ternaknya, masyarakat sekitar
tempat ia tinggal.

Di tangannya, kelompok ternaknya bisa meraih penghargaan dari Gubernur Sulsel sebagai
juara 3 tingkat propinsi sulsel, dan penghargaan tingkat nasional sebagai juara harapan I dan
tingkat propinsi sulsel kembali lagi meraih juara I. Penghargaan ini berkat pretastasi dan
kegigihannya memimpin kelompok ternaknya karena di nilai bisa menghasilkan produksi
anak ayam umur sehari (DOC) melalu mesin tetas yang dirakit sendiri.

Usaha kelompok ternak ayam kampung “Sipakatau” yang dipimpin H. Syamsur kini menjadi
buah usaha yang khas bagi siapa saja yang berkunjung ke Kelurahan Tanah Loe, Kecamatan
Gantarangkeke sebelah utara Ibu Kota Kabupaten Bantaeng. Dengan jarak tempuh dari kota
Bantaeng ± 11 km, serta dari Ibukota Propinsi yakni Makassar ±165 km, tidak sulit
menemukan rumah H. Syamsur yang tak pernah sepi dari pengunjung yang ingin melihat
langsung usaha ayam kampung dan juga para pedagang yang datang membeli ayam dan telur.

Berbekal pendidikan SLTA, awalnya H. Syamsur menjalani aktifitasnya sebagai petani kebun
coklat. Tak lama selang beberapa tahun, Pria kelahiran Bantaeng 11 Desember 1978 ini,
tertarik dengan usaha penetasan telur ayam milik ponakannya. Dari sini H. Syamsuri
terinspirasi dengan usaha ponakannya itu, lalu ia coba membeli DOC (ayam umur sehari) dari
usaha ponakannya itu sebanyak 19 ekor. Dari jumlah inilah ia memulai usahanya secara
mandiri hingga akhir tahun 2008. Disini ia terus belajar dan menganalisa bagaimana ia juga
membuat mesin penetas sendiri sehingga bisa menghasilkan anak ayam DOC yang bagus,
seragam dan yang sesuai dengan sifat genetik alami dari ayam kampung.
H. Syamsur, Ketua Kelompok Ternak Ayam Kampung

Dengan modal keberanian dan tekadnya yang begitu besar untuk maju, H.Syamsur akhirnya
membuat mesin penetas sendiri. Ia merakit mesin penetas tersebut dengan kapasitas 300
butir, dan berupaya agar kapasitas mesin tersebut bisa diisi penuh. Harga telur yang ia beli
untuk tetaskan pada saat itu Rp. 1200 per butir. Ternyata hasil percobaan dari telur yang ia
tetaskan sejumlah 300 butir itu gagal karena sama sekali tak ada telur yang menetas.

Pria berdarah asli Makassar ini menegaskan, kesalahkaprahan dalam mengelola telur ayam
yang akan di tetaskan bisa berdampak kegagalan seperti yang dialaminya. “Dengan rasa
penasaran saya mencoba dengan keyakinan kuat untuk memasukkan lagi telur sebanyak 150
butir yakni setengah dari kapasitas mesin penetas, karena hasil analisa saya mungkin ada
yang salah dalam hal teknis baik itu telur yang akan di tetaskan maupun kondisi mesin saat
telur di tetaskan, ternyata selama 21 hari lamanya proses penetasan, hasilnya belum begitu
memuaskan yakni hanya 3 ekor dari 150 butir yang ditetaskan”, ujar Syamsur penuh
semangat.

Anak ayam umur sehari (DOC) akhirnya bisa dihasilkan H. Syamsur setekah ia mencoba
ketiga kalinya, jumlah yang menetas adalah 50% dari 300 butir yang ia tetaskan. Cukup
memuaskan baginya dengan persentase daya menetas telurnya. Dan selanjutnya penetasan
yang ke empat, ia mencoba lagi memasukkan telur 300 butir dan ternyata hasilnya lagi-lagi
sangat menakjubkan yakni daya tetas mencapai 65% dari 300 butir.

“Dari persentase yang memuaskan tersebut, saya sudah mulai menjual anak ayam
DOC dengan harga Rp. 5000 ke para petani yang berminat. Dan sebagian DOC yang
dihasilkan, saya pelihara secara intensif untuk kemudian di jadikan induk lagi, hingga
berumur 6 bulan. Hingga induk ini bertelur dan selanjutnya telurnya akan ditetaskan lagi, dan
begitu seterusnya”, ujar H. Syamsur ketika Kompasianer menemui di rumahnya.

Tahun 2009, H. Syamsur merasa usaha peternakan ayam kampungnya semakin dinamis dan
berkembang akhirnya timbul inisiatif dalam dirinya untuk mendirikan sebuah kelompok
ternak ayam kampung. “Keberadaan kelompok ternak menjadikan sangat penting dalam
usahanya, sekaligus posisi tawar dalam hal akses sumberdaya juga semakin kuat, pemerintah
dan berbagai kalangan terkadang memandang petani ternak ketika mereka sudah berdiri dan
berada dalam sebuah kelompok”, ujar H. Syamsur yang saat ditemui kedatangan 4 pemuda
desa yang hendak magang di kelompok usaha ternak ayam kampungnya.
Usaha ternak ayam kampung memiliki prospek yang sangat menjanjikan, selain telur juga daging ayam kampung
sangat diminati masyarakat (foto imansyah rukka)

Ayam kampung umur 0 - 2 bulan adalah pasar yang paling empuk bagi restoran (foto : Imansyah Rukka)

Peluang pasar ayam kampung tetap terbuka lebar, ketika permintaan pasar lebih besar dari persediaan yang ada
(foto : Imansyah Rukka)
Mesin penetas Ia rakit sendiri dengan kapasitas 300 butir, setelah menetas menjadi anak ayam umur sehari
(DOC), yang siap untuk di pasarkan dan juga pembesaran (Foto; Imansyah Rukka)

Mesin pembuat pakan yang dimiliki kelompok ternak

Hasil musyawarah rapat yang Ia lakukan bersama teman-teman sekampungnya, diputuskan


kelompok ternak tersebut bernama “Sipakatau”, H. Syamsur terpilih menjadi ketua dengan
beranggotakan 7 orang.

Awalnya, kelompok ternak sipakatau saat itu memiliki populasi sekitar 300 ekor. Dalam
perjalanan usaha oleh kelompok ternak “Sipakatau” tersebut, lama kelamaan mulai dilirik
oleh pemda setempat dalam hal ini Dinas Pertanian dan Peternakan Kab. Bantaeng. Dengan
begitu tim Dinas tersebut turun survey ke lapangan guna melihat langsung usaha
kelompoknya. Ternyata usaha kelompok ternaknya memenuhi syarat untuk memperoleh
bantuan. “Sangat pas ketika Dinas Pertanian dan Peternakan Kab.Bantaeng
berkunjung melihat langsung usaha kami dan kelayakannya karena saat itu kami memang
sangat butuh bantuan permodalan”, jelas H. Syamsur, ayah dari dua anak ini penuh semangat.

Maka Tahun 2010 kelompok ternaknya resmi mendapatkan dukungan dana dari program
bantuan sosial (bansos) berupa uang tunai dari pemerintah propinsi Sulsel senilai Rp. 149
Juta. Dana inilah yang digunakan H. Syamsur bersama kelompok ternaknya dalam
mengembangkan usaha ternak ayam kampung untuk membiayai kandang, penetasan DOC,
Pakan, obat-obatan dan vitamin dan lain sebagainya.

Usaha peternakan ayam kampung kelompok ternak “sipakatau” ini terbagi di empat lokasi
perkandangan. Dengan berbagai pertimbangan kelompoknya serta tidak adanya lokasi yang
layak untuk pengembangan usaha ayam kampung, sehingga kesepakatan bersama teman-
teman kelompok maka lokasinya ia bagi menjadi empat lokasi. Dengan masing-masing
ukuran luas kandang yang bervarisi di setiap lokasi. Untuk kandang ayam yang berada di
lokasi 100 meter dari rumah H. Syamsur ukurannya 12×13 m, sedangkan yang dilokasi lain
ukuran kandangnya 10×15 m. Begitu juga dengan dilokasi yang agak jauh yakni ukurannya
5×20 m.

Kandang Batterai untuk pemeliharaan ayam kampung di periode bertelur dan kandang ini setiap flock dcampur
dengan ayam jantan untuk menghasilkan telur yang siap ditetaskan (Foto : Imansyah Rukka)

Kandang Batterai yang khusus dipersiapkan untuk produksi telur konsumsi (Foto : Imansyah Rukka)

“Untuk biaya rehabilitasi kandang-kandang tersebut kami lakukan secara swadaya di


kelompok, karena dana bantuan sosial pusat yang dialokasikan kepada kelompok ternak kami
setelah di kalkukasi tidak mencukupi. Untuk setiap lokasi saja terdapat kandang batterai yang
mana membutuhkan dana sekitar 3-5 jutaan setiap kandang. Dan total dana swadaya yang
dialokasikan dari kelompok saat itu sekitar 15 juta”, Ujar H. Syamsur

H. Syamsur akui bahwa banyak keuntungan yang didapatkan dari program bantuan sosial
tersebut adalah kelompok ternaknya tidak lagi membeli bibit DOC. Sebagai contoh, bibit
DOC dengan harga 10 ribu rupiah per ekor, bisa menjadi 5 ribu rupiah karena DOC bisa di
produksi sendiri dengan mesin penetas yang sudah ada. Sehingga selisih dari harga itu ia bisa
kelolah dengan baik untuk digunakan dengan pembelian pakan jadi.

Terinspirasi dari berbagai informasi dan bacaan seputar penetasan hingga pola pemeliharaan
ayam kampung, usaha kelompok ternak ayam kampung H. Syamsur terbagi beberapa periode
pemeliharaan, antara lain umur 0 – 2 bulan yakni dengan cara diumbar. Vaksinasi diperiode
ini diberikan diumur 4 hari yakni ND Clone produksi medion. Selanjutnya vaksinasi
gumboro di lakukan di umur 1 – 3 minggu berturut-turut. Selanjutnya di umur 18-20 hari
dilakukan lagi vaksinasi ND dengan injeksi.

“Pemeliharaan ayam kampung tidak bisa lepas dari pola pemberian pakan di umur 0 – 2
bulan, karena di umur ini adalah periode kritis dimana pertumbuhan ayam yang sangat
menentukan baik tidaknya produksi telur. Pakan yang ia berikan pakan jadi butiran BP 11
produksi Japfa yang dibeli dari poultry shop dengan konsumsi untuk 100 ekor sebanyak 150
kg”, Terang H. Syamsur.

Selanjutnya masa pemeliharaan di umur 2 – 4 bulan. H. Syamsur secara konsistenmengikuti


program petunjuk pemeliharaan ayam kampungnya. Periode ini dilakukan Vaksinasi ND-AI.
Sedangkan konsumsi pakan yang dihabiskan di masa pemeliharaan 2-4 bulan ini adalah 600
kg yang terdiri dari jagung, dedak dan konsentrat dengan perbandingan 35;40;25.

“Fase pemeliharaan bertelur, dimulai umur 6 – 24 bulan. Di Fase ini ayam sudah berada di
dalam kandang batterai hingga berproduksi. Di kandang batterai ini di bagi menjadi dua,
yakni ayam yang produksi telurnya untuk di tetaskan dan ayam untuk produksi telur yang di
konsumsi. Untuk pemeliharaan ayam untuk produksi telurnya akan ditetaskan, dalam satu
flock dicampur dengan ayam pejantan dengan perbandingan 1 ; 3, artinya satu ekor jantan
dapat mengawini tiga ekor ayam betina. “Sedangkan ayam kampung yang produksi telurnya
siap untuk konsumsi tidak perlu menggunakan ayam jantan dalam floknya. Jumlah tolal
keseluruhan ayam kampung jantan yang dipelihara di kelompok ternak ‘siapakatau”nya
adalah sekitar 120 ekor dengan perbandingan betina sekitar 360 ekor”, ujar H. Syamsuri.

Lama berproduksi ayam kampung kelompok ternak H. Syamsur rata-rata adalah 18 bulan,
umur 5 bulan ayam sudah mulai bertelur, dengan 5- 10 butir. Masuk umur 6 bulan ayam
sudah bisa membiayai dirinya, disini produksi telur sudah mulai nampak sekitar 50%
produksi dan hingga umur 8 bulan bisa mencapai puncak produksi 65%. Semua ia ikuti
dengan sistem pemeliharaan yang intensif.

Mengaplikasikan

Sosok H. Syamsuri termasuk seorang peternak yang terus berinovasi dengan teknolgi tepat
guna dan ia tidak puas pada analisa diatas kertas soal formulasi pakan. Tahun 2012 ini ia
bersama kelompoknya belajar menyusun ransum dan membuat formulasi pakan sendiri
dengan mencari bahan baku yang murah serta mudah di dapat. Ia sengaja mencoba formulasi
pakan yang ia ramu sendiri di umur 0-2 bulan agar hasil pekerjaannya itu bisa bermanfaat dan
bernilai ekonomis yang tinggi. Meski kenyataan dalam pengamatannya ketika
membandingkan pakan jadi dengan pakan buatannya sendiri masih terlihat perbedaan yang
sangat nyata yakni pada saat pertumbuhan ayam telihat agak lambat dibandingkan dengan
pakan komersial.

Pembuatan formulasi pakan ayam kampungnya, di fasilitasi oleh Dinas Pertanian dan
Peternakan Kab. Bantaeng. Fasilitas yang berikan selain tenaga nutrisionis dan feed
formulator juga fasilitas alat untuk membuat pakan antara lain dismill, mixer, boskuler dan
fellet yang semuanya di berikan oleh pusat melalui Dinas Pertanian dan Peternakan Kab
Bantaeng.
Dasar pemikiran H. Syamsur menyusun pakan dengan formulasi sendiri, karena disamping
nilai ekonomis dari usaha juga perbedaan harga antara pakan dengan pakan buatan sendiri
sangat jauh. “Untuk pakan jadi saja bisa 6000 ribu per kg, sedangkan pakan dengan mixing
sendiri dengan bahan baku yang terdiri dari ; Jagung, dedak, bungkil kelapa, tepung ikan,
kulit coklat, kacang hijau, bungkil biji kapuk ketika dikalkulasi jatuhnya hanya 4.800 per kg,
dari sini kami bisa menekan harga pakan dimana biayanya paling besar dari keseluruhan
biaya produksi yang ada”, ungkap H. Syamsur.

Pasar

Pemasaran yang di lakukan H. Syamsur dalam usaha kelompok ternak ayam kampung
sipakatau” selain menghasilkan anak ayam DOC 2000 ekor per bulan dengan harga 7 ribu per
ekor, kelompoknya juga menjual telur ayam kampung untuk konsumsi warung kopi dengan
harga 1500 per butir.

“Untuk populasi 200 ekor, hasil penjualannya bisa di dapat 30 ribu bersih rupiah per hari,
sedangkan untuk penjualan ayam, bisa di dapat keuntungan 5 ribu per ekor”, katanya.

Ditambah lagi penjualan ayam kampung umur 0-70 hari dan umur 2 bulan (50-60
hari)masing-masing dengan harga 25 ribu per ekor dan 20 ribu per ekor dengan tujuan
pelanggannya yang tersebar Kab. Bantaeng dan Kab. Jeneponto. Terkadang ada juga pembeli
yang datang langsung ke peternakan dan tentunya harga belinya pasti lebih bagus yakni 35
ribu per ekor.

H. Syamsur yang berlatar belakang anak seorang petani tersebut senang dan bangga bisa
memiliki kelompok ternak ayam kampung karena bisa mengajari para warga desa atau siapa
saja yang ingin mengelola dan melestarikan plasma nutfah ayam kampung asli. Disamping
terus mengembangkan riset bagaimana menghasilkan anak ayam DOC yang berkualitas,
belakangan H. Syamsur juga giat mengombinasikan berbagai formulasi bahan pakan yang ia
dapatkan secara mudah dan murah untuk disusun, di campur lalu diberikan kepada ternak
ayamnya sebagai pakan yang berkualitas. Selain efisien dan efektif bagi ayam, juga bagi
dirinya dan seluruh masyarakat yang ingin mendapatkan manfaat dari beternak ayam
kampung.

“Saya ini orang Indonesia asli, saya berdarah Makassar, tumbuh besar di kampung halaman
saya yang di kenal dengan istilah “Butta Toa” Bantaeng Sulsel, obsesi saya ingin menjadi
populer dengan ayam kampung yang saya pelihara, bukan hanya sekedar beternak namun
banyak nilai-nilai kemuliaan yang ia dapatkan selama memelihara ayam kampung. Dengan
begitu memuliakan usaha ayam kampung sama halnya dengan membuat manusia lebih
manusiawi, dalam arti membuat manusia lebih berbudaya dengan ayam kampung”, Ujar H.
Syamsur.

H. Syamsur berharap ke depannya pihak pemerintah bisa terus memberikan akses pemasaran
bagi kelompok ternaknya. Selain itu ia ingin bergabung di organisasi Himpunan Peternak
Ayam Lokal (Himpuli) yang berpusat di Bogor dan menjadi pengurus di tingkat propinsi agar
tidak ketinggalan informasi mengenai usaha ternak ayam kampung”, tutur H. Syamsur
tentang perjalanan hidupnya. (IR)

Anda mungkin juga menyukai