Anda di halaman 1dari 4

Nama : Febby Ayu Azwary

NIM : 05101282025042

Jurusan : Ilmu Tanah

TOKOH-TOKOH BERJASA DIBIDANG PERTANIAN INDONESIA

1. Sjarifuddin Baharsjah
Prof. Dr. Sjarifuddin Baharsjah, M.Sc adalah seorang tokoh pertanian Indonesia serta akademisi
dari Institut Pertanian Bogor (IPB). Ia pernah menjabat sebagai Menteri Pertanian Indonesia dan
Ketua Independen Food and Agriculture Organisation (FAO).
Kehidupan pribadi
Sjarifuddin merupakan anak kedua dari Sutan Pangeran Baharsyah (ayah) dengan Siti Fatimatul
Zahra (ibu). Kakak kandung dari psikolog Leila Chairani Budiman ini masih keturunan Sultan
Bagagarsyah dari Pagaruyung, Sumatera Barat, karena ayah mereka adalah anak dari cucu raja
Minangkabau tersebut.
Ia menikah pada tahun 1962 dengan seorang perempuan berdarah Sunda, Justika Baharsjah,
yang kemudian juga jadi Menteri Pertanian Indonesia pada Kabinet Pembangunan VII dan Menteri
Sosial Indonesia pada Kabinet Reformasi Pembangunan. Pernikahan mereka telah dikaruniai dua
orang anak, yaitu Gita Indah Sari dan Antin, serta beberapa orang cucu, yaitu Wina dan Riyan (anak
Gita Indah Sari) serta Diandra (anak Antin).
Karir
Disamping sebagai Guru Besar Ilmu Ekonomi Pertanian di Institut Pertanian Bogor (IPB),
Sjarifuddin juga pernah dipercaya sebagai Menteri Pertanian Indonesia, yaitu pada 1993-1998 dalam
Kabinet Pembangunan VI dimasa pemerintahan Orde Baru. Sebelumnya, ia menjabat Menteri Muda
Pertanian dari tahun 1988-1993 pada Kabinet Pembangunan V.
Di tingkat dunia, Prof. Sjarifuddin juga dipercaya oleh lembaga internasional sehingga sampai
dua periode (1997-1999 dan 1999-2001) menjabat sebagai Ketua Independen Food and Agriculture
Organisation (FAO), suatu lembaga di bawah naungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang
berkedudukan di Roma, Italia.
Penghargaan
Karena dedikasi dan kontribusinya pada bidang pembangunan pertanian dan pedesaan di
Indonesia, Prof. Sjarifuddin Baharsjah menerima penghargaan bergengsi Dioscoro L. Umali
Achievement Award atau disebut juga Umali Award dalam bidang pertanian dari SEARCA (Southeast
Asian Regional Center for Graduate Study and Research in Agriculture), dalam acara yang
dilangsungkan di New World Makati Hotel, Makati City, Manila, Filipina. Ia terpilih di antara sekian
banyak kandidat, tokoh dan ilmuwan pertanian di Asia Tenggara, dan merupakan orang Indonesia
pertama yang menerima penghargaan tersebut.
SEARCA adalah suatu lembaga yang didirikan pada tanggal 27 November 1966 oleh Dioscoro
Luna Umali, seorang tokoh Filipina yang terkemuka dalam bidang pertanian, yang juga dijuluki
sebagai Bapak Pengembangan Pertanian Filipina. Lembaga ini juga diberi mandat untuk
memperkuat kapasitas kelembagaan dalam pembangunan pertanian dan pedesaan di Asia
Tenggara.
2. Suhaimi Sulaiman
Dr. Ir. Suhaimi Sulaiman, M.S (lahir di Margasari Hulu, Candi Laras Selatan, Tapin, Kalimantan
Selatan, 25 Mei 1940; umur 80 tahun) adalah seorang peneliti Indonesia di bidang pertanian. Salah
satu hasil karyanya adalah keberhasilannya mengawinkan padi lokal Banjar pasang surut jenis Siam
Unus dengan padi unggul sawah irigasi yang berasal dari Jawa. Varietas tersebut dilepas oleh
Menteri Pertanian dan Kehutanan Bungaran Saragih pada 27 Oktober 2000 dan dikenal dengan
varietas Margasari dan Martapura.
Suhaimi mulai menekuni penelitian sejak 1975 ketika ia memulai karier di Balai Penelitian
Pertanian Lahan Rawa (Balitra). Selama kariernya, ia sudah berhasil menciptakan 7 varietas unggul
yakni Margasari, Martapura, Barito, Kapuas, Alabio, Tapus dan Nagara.
Suhaimi pernah mendapat beberapa penghargaan. Penghargaan pertama diraihnya pada April
2001. Ia menerima penghargaan dari Menteri Pertanian Prof Bungaran Saragih sebagai peneliti
berprestasi bidang pemuliaan tanaman padi. Pada tahun yang sama tepatnya 17 Oktober, ia kembali
menerima dua penghargaan sekaligus dari Presiden RI saat itu Megawati Soekarnoputri yakni
piagam tanda kehormatan Satyalencana Wira Karya dan penghargaan sebagai Peneliti Madya
Balitra, Badan Litbang Pertanian Departemen Pertanian.
Pada 2003 tepatnya pada hari jadi Provinsi Kalsel ke-53, 14 Agustus, ia mendapat penghargaan
sebagai penemu varietas padi unggul lokal. Ia dinilai telah berkontribusi besar pada kemajuan
pembangunan pertanian Kalsel.
Kiprah Suhaimitak hanya mendapat apresiasi di tingkat lokal dan nasional, secara internasional
Suhaimi juga mendapat apresiasi. Ia pernah diundang dalam berbagai konferensi pertanian
internasional. Sudah empat negara yang ia kunjungi yakni Bangladesh, India, Thailand dan Filipina.
3. Ma Eroh
Ma Eroh atau Nyi Eroh adalah seorang perempuan petani dari kampung Pasirkadu, Desa
Santanamekar, Cisayong, Tasikmalaya, yang terkenal karena keberhasilannya memapras bukit cadas
di lereng gunung Galunggung selama 40-an hari hanya dengan bermodal alat belencong dan cangkul
demi mengalirkan air menuju desanya yang kekeringan.
Awal pembuatan saluran air dimulai selepas Gunung Galunggung meletus pada 1982. Material
letusan menutupi persawahan dan pengairan sehingga Ma Eroh harus mencari alternatif mata
pencaharian selain bertani. Ma Eroh kala itu menjadi tulang punggung keluarga, karena suaminya
sedang sakit sehingga tidak bisa berjalan. Ma Eroh menyambung hidup dengan berjualan singkong
dan janur. Selain itu, Ma Eroh juga mencari jamur di hutan untuk kemudian dibarter dengan beras.
Karena saking seringnya masuk hutan, suatu hari Ma Eroh menemukan sumber air yang berasal dari
air terjun Pasirlutung. Saat itu, Ma Eroh terpikirkan bagaimana membawa air itu ke kampungnya
sehingga pertanian bisa kembali berjalan.
Di usia 51 tahun (sumber lain mengatakan 45), Ma Eroh seorang diri memutuskan untuk
memapras bukit cadas liat sepanjang 45 meter untuk mengalirkan air dari sungai Cilutung ke sawah
seluas 400 meter persegi miliknya. Perempuan yang hanya tamatan kelas 3 SD ini, memapras bukit
cadas dengan kemiringan 60-90 derajat hanya bermodalkan belencong dan tali areuy (sejenis tali
rotan).
Walaupun pada mulanya warga setempat mencibir upaya Ma Eroh, tetapi setelah melihat hasil
nyata paprasan yang dikerjakan selama 47 hari tanpa putus olehnya, sebanyak 19 warga desa turut
membantu untuk memperpanjang saluran tersebut. Dalam waktu 2,5 tahun (1985-1988) saluran
sepanjang 4,5 kilometer yang mengitari 8 bukit itu berhasil diselesaikan. Hasil dari saluran irigasi ini
tidak hanya mengairi desa Sentanamekar, melainkan juga dua desa tetangga, yakni desa Indrajaya
dan Sukaratu.
Penghargaan
Setelah usahanya terdengar oleh Presiden Soeharto, Ma Eroh dianugerahi penghargaan
Kalpataru pada tahun 1988 dan kemudian juga mendapatkan Penghargaan Lingkungan Hidup dari
PBB pada tahun 1989.[3] Walaupun demikian, piala Kalpataru tidak pernah dimiliki Ma Eroh dan
keluarganya karena disimpan oleh Pemkab Tasikmalaya. Semenjak mendapatkan penghargaan
tersebut, Ma Eroh sering diundang pada acara peringatan Hari Lingkungan Hidup dan Hari Kartini
yang diselenggarakan oleh pemerintah.[2] Tugu untuk memperingati jasa Ma Eroh pun dibangun di
alun-alun Tasikmalaya, bersama dengan Abdul Rozak yang juga berjasa melakukan hal serupa.
4. Suparjiyem
Suparjiyem adalah seorang perempuan petani asal Desa Wareng, Wonosari, Kabupaten
Gunungkidul dan seorang aktivis pangan yang mengampanyekan produksi dan konsumsi pangan
lokal non-beras, seperti tiwul dan gaplek. Perkenalan Suparjiyem dengan tiwul berawal dari SD. Di
kalangan teman-temannya, ia termasuk anak yang sejahtera. Pasalnya, ia selalu dibawakan bekal
nasi oleh orangtuanya. Sedangkan teman-temannya hanya membawa tiwul. Lucunya ia selalu
membagi-bagikan nasi yang ia bawa kepada teman-temannya. Sementara Suparjiyem memilih
mengonsumsi tiwul. Hingga kini, Suparjiyem lebih memilih memakan tiwul dan gaplek sebagai
pangan sehari-hari. Ibu dua anak ini menilai tiwul membuat ia merasa kenyang lebih lama. Di
samping itu, kandungan karbohidrat tiwul lebih tinggi dibandingkan nasi.
Ia juga membentuk Kelompok Wanita Tani (KWT) Menur yang merupakan wadah bagi para
perempuan petani untuk mengembangkan diri mereka, serta mempelajari seluk-beluk budidaya
umbi-umbian, seperti singkong, gembili, uwi, suweg dan garut. Selain itu, para anggotanya juga
diajari untuk mengolahnya menjadi berbagai macam penganan yang kemudian dijual di warung, di
antaranya seperti kripik singkong, ceriping tales, tepung gembili, tepung uwi, penyek kacang hijau,
krecek dari singkong dan tapolo. Hasil kreasi singkong para kelompok WKT ini tidak hanya di daerah
sekitar, tapi sudah di beberapa daerah di Indonesia. Bahkan makanan sorgum, sudah dikirim ke
Jepang.
Tidak berhenti di situ, Suparjiyem pun melakukan pendekatan kepada pemerintah. Ia
menggagas konsumsi rapat atau pertemuan yang dilakukan pemerintah menggunakan makanan
yang berbau lokal. Sehingga mereka bisa memopulerkan makanan lokal. Akhirnya pemerintah
daerah mendukung upaya Suparjiyem dalam pelestarian makanan lokal.
Kerja keras Suparjiyem mengangkat derajat tiwul berbuah manis. Tiwul memang terkenal
sebagai makanan yang biasanya dikonsumsi masyarakat kurang mampu. Suparjiyem pun diganjar
sejumlah penghargaan atas kerja kerasnya. Salah satunya Female Food Heroes Indonesia dari Oxfam
pada 2013.

Anda mungkin juga menyukai