Persalinan Preterm Refrat
Persalinan Preterm Refrat
PENDAHLUAN
resiko
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Persalinan preterm didefinisikan sebagai persalinan yang terjadi sebelum usia
kehamilan 37 minggu atau kurang dari 259 hari sejak hari pertama haid terakhir
(C.Hubinont, 2011). Partus prematurus atau persalinan prematur juga diartikan sebagai
dimulainya kontraksi uterus yang teratur disertai pendataran dan atau dilatasi serviks
serta turunnya bayi pada wanita hamil yang lama kehamilannya kurang dari 37 minggu
(kurang dari 259 hari) dari hari pertama haid terakhir (Oxorn, 2010). Himpunan
Kedokteran Fetomaternal (POGI) di Semarang menetapkan bahwa persalinan preterm
adalah persalinan yang terjadi pada usia kehamilan 22 37 minggu (Rima, 2010).
2.2 Epidemiologi
Kejadian persalinan preterm tidak merata disetiap wanita hamil. Dari suatu
penelitian didapatkan bahwa kejadian persalinan preterm pada wanita dengan kulit
hitam adalah 2 kali lebih banyak dibandingkan ras lain di Amerika Serikat. Penyebab
prematuritas adalah terkait multifaktorial. Persalinan preterm wanita kulit putih lebih
banyak berupa persalinan preterm spontan dengan selaput ketuban utuh, sedangkan
pada wanita kulit hitam umumnya didahului dnegan ketuban pecah dini. Persalinan
preterm juga dapat dibagi menurut usia kehamilan, sekitar 5% persalinan preterm terjadi
pada usia kurang dari 28 minggu (extreme prematurity), sekitar 15% terjadi pada usia
kehamilan 28-31 minggu (severe prematurity), sekitar 20% pada usia 32-33 minggu
(moderate prematurity), dan 60-70% pada usia 34-36 minggu (near term) (Rima, 2010.)
1. Persalinan atas indikasi ibu atau janin sehingga persalinan diinduksi atau bayi
dilahirkan dengan persalinan sesar.
2. Persalinan kurang bulan spontan tak terjelaskan dengan selaput ketuban utuh.
3. Ketuban pecah dini preterm (PPROM) idiopatik
4. Kelahiran kembar dan multijanin yang lebih banyak
Pada persalinan preterm, 30 35% teridentifikasi, sebanyak 40 45% dikarenakan
persalinan kurang bulan spontan dan 30-35% karena PPROM (Cunningham, 2012).
Banyak kasus persalinan prematur sebagai akibat proses patogenik yang
merupakan mediator biokimia yang mempunyai dampak terjadinya kontraksi rahim dan
perubahan serviks, yaitu aktivasi aksis kelenjar hipotalamus-hipofisis-adrenal baik pada
ibu maupun janin, akibat stress pada ibu ataupun janin, inflamasi desidua-korioamnion
atau sistemik akibat infeksi ascenden dari traktus genitourinari atau infeksi sistemik,
perdarahan desidua, peregangan uterus patologik, kelainan pada uterus atau serviks.
Dengan demikian, untuk memprediksi kemungkinan terjadinya persalinan preterm harus
dicermati beberapa kondisi yang dapat menimbulkan kontraksi, menyebabkan
persalinan prematur (Sarwono, 2010).
Ada beberapa jalur yang dapat menyebabkan masuknya bakteri ke dalam uterus.
Bakteri dapat berasal dari migrasi dari kavum abdomen melalui tubafallopi, infeksi dari
yang fetusnya
dilahirkan dengan seksio sesar sebelum pecah ketubah. Setengah dari 121 wanita
dengan kultur membran positif juga memiliki organisme dalam cairan amnion. Sebagian
kecil fetus memiliki kultur darah atau cairan serebrospinal yang positif saat persalinan.
Wanita dengan kultur membran positif memiliki respon peradangan yang aktif, seperti
diinfikasikan oleh temuan leukosit histologis pada membran dan adanya konsentrasi
interleukin 6 yang tinggi dalam cairan amnion. Temuan ini mungkin menjelaskan
kenapa wanita dengan kultur cairan amnion negatif tetapi dengan konsentrasi sitokin
yang tinggi dalam cairan amnion resisten terhadap obat tokolitik. Tampaknya, wanita ini
sering memiliki infeksi dalam korioamnion, suatu tempat yang tidak boleh dikultur
sebelum persalinan.
10
11
berkurang. Namun, kontribusi relatif kompartemen maternal dan fetal terhadap respon
peradangan keseluruhan tidak diketahui (Rima, 2010).
Marker infeksi
Infeksi intrauterine sering bersifat kronik dan biasanya asimptomatik hingga
persalinan dimulai atau pecah ketubah. Bahkan selama persalinan, kebanyakan wanita
yang menunjukkan korioamnionitis kemudian (dengan temuan histologis dan kultur)
12
tidak memiliki gejala selain dari persalinan prematur tidak demam, nyeri perut atau
leukositosis darah tepi dan biasanya tidak terdapat takikardia janin. Zat yang ditemukan
dalam kuantitas abnormal dalam cairan amnion dan di tempat lain pada wanita dengan
infeksi intrauterine dijelaskan dalam tabel 1 (Rima, 2010).
13
14
Tabel 3. Etologi dan jalur persalinan preterm yang diakui secara umum (Rima, 2010)
2.4 Diagnosis
1. Anamnesis
Anamnesis diperlukan untuk mencari faktor resiko. Faktor resiko ini penting dan
dalam kaitannya dengan terjadinya persalinan preterm. Berikut adalah beberapa faktor
resiko terjadinya persalinan preterm : (Rima, 2010)
1. Faktor resiko mayor :
a. Kehamilan multipel
b. Polihidramniom
c. Anomali uterus
d. Dilatasi serviks > 2cm pada usia kehamilan 32 minggu
e. Riwayat abortus 2 kali atau lebih pada trimester II
15
16
2. Gejala Klinis
Sering terjadi kesulitan dalam diagnosis ancaman persalinan preterm.
Differensiasi dini antara persalinan palsu dengan persalinan sebenarnya sulit ditentukan
sebelum adanya pendatarandan dilatasi serviks. Kontraksi uterus sendiri sulit dibedakan
karena daanya kontraksi braxtons hicks. Kontraksi ini digambarkan sebagai kontraksi
yang tidak teratur, tidak ritmis, tidak begitu sakit atau tidak sakit sama sekali, namun
dapat menimbulkan keraguan besar dalam diagnosis persalinan preterm. Tidak jarang
wanita yang melahirkan sebelum aterm memiliki kontraksi yang mirip dengan braxtons
hicks yang mengarahkan ke diagnosis yang salah, yaitu persalinan palsu. Beberapa
kriteria yang dapat dipakai sebagai ancaman persalinan preterm :
a. Usia kehamilan antara 20 dan 37 minggu atau 140 dan 259 hari.
b. Kontraksi uterus (his) yang teratur yaitu berulang 7-8 kali atau 2-3 kali dalam 10
menit.
17
c. Merasakan gejala seperti kaku di perut, menyerupai rasa kaku seperti menstruasi, rasa
tekanan intrapelvik, nyeri punggung bawah (low back pain).
d. Mengeluarkan lendir bercampu darah pervaginam.
e. Pemeriksaan dalam menunjukkan serviks telah mendatar 50-80%, atau telah terjadi
pembukaan sedikitnya 2 cm.
f. Selaput amnion sering kali telah pecah.
g. Presentasi janin rendah, sampai mencapai spina ischiadika (Cunningham, 2012).
Kriteria lain yang diusulkan oleh American Academy of Pediatrics dan The
American College of Obstreticians and Gynecologists, adalah sebagai berikut :
a. Kontraksi yang terjadi 4 kali dalam 20 menit atau 8 kali dalam 60 menit dan
perubahan progresif pada serviks.
b. Dilatasi serviks lebih dari 1 cm.
c. Pendataran serviks sebesar 80% atau lebih.
3. Perubahan serviks
a. Dilatasi serviks
Dilatasi serviks asimtomatik setelah pertengahan masa kehamilan diduga
sebagai fator resiko persalinan preterm (Cunningham, 2012).
b. Panjang serviks
Serviks memegang peranan ganda pada kehamilan. Serviks mempertahankan isi
uterus terhadap pengaruh gravitasi dan tekanan intrauterin sampai persalinan, dan
serviks akan berdilatasi untuk memungkinkan isi uterus untuk melewatinya selama
proses persalinan.
18
pemendekan
dari
serviks.
Berdasarkan
hasil
penelitian
dengan
19
serviks, maka pasien tersebut dikatakan memiliki resiko mengalami persalinan preterm
3-4 kali (Cunningham, 2012).
Berikut adalah beberapa metode untuk mengenali wanita yang beresiko
mengalami persalinan preterm :
1. Estriol Saliva
Beberapa peneliti telah melaporkan adanya kaitan antara estriol saliva ibu
dengan persalinan preterm. Hal ini dapat dijelaskan melalui penelitian mengenai
fisiologi proses persalinan, yang menunjukkan peranan aksis hipotalamus pituitari
adrenal (HPA) janin sehingga menyebabkan peningkatan produksi estriol plasenta sejak
dimulainya persalinan. Diperkirakan pada kehamilan manusia, aktivasi prematur dari
aksis HPA pada persalinan preterm akan meningkatkan kadar estriol pada serum dan
saliva ibu, dan ini dapat menjadi prediktor dimulainya persalinan preterm (Rima, 2010).
Telah dilaporkan bahwa peningkatan estriol dimulai sejak 3 minggu sebelum
terjadinya persalinan, pada wanita yang mengalami persalinan preterm atau aterm.
Tingkat esriol pada saliva ibu menggambarkan tingkat estriol dalam serum ibu dan
estriol saliva digunakan untuk menilai resiko persalinan preterm dengan atau tanpa
gejala. Tingkat estriol saliva dapat dinilai dengan radioimmunoassay. Tingkat estriol
saliva positif 1 ( 2,1 ng/ml) dapat memprediksi suatu peningkatan resiko persalinan
preterm 3 4 kali lipat pada wanita dengan resiko rendah ataupun tinggi (Rima, 2010).
2. Skrining bakterial vaginosis
Bakterial vaginosis (BV) adalah infeksi vagina yang ditandai perubahan flora
normal vagina, berkurangnya Lactobacillus menjadikan tumbuhnya bakteri anaerob
disertai perubahan sekresi vagina (Vida, 2008). BV diperkirakan terjadi pada 40%
wanita, dengan prevalensi berkisar 10-61% dan faktor risiko paling kuat menyebabkan
20
preterm. Data meta analisis menunjukkan BV meningkatkan risiko preterm 2 kali lipat
terutama jika dijumpai pada usia kehamilan kurang dari 20 minggu, dan infeksi BV
secara bermakna berhubungan dengan kejadian persalinan preterm kurang dari 37
minggu .Di Indonesia, Riduan dkk mendapatkan angka kejadian persalinan preterm
sebanyak 20,5% pada wanita dengan BV saat kehamilan muda, dan 10,7% bila terjadi
pada akhir kehamilan (Vida, 2008).
Standar diagnosis servikovaginitis adalah gambaran klinis dan pewarnaan Gram
dari swab serviks dan vagina. Lima puluh persen servikovaginitis akibat BV bersifat
asimtomatik, sehingga diperlukan deteksi dini dan skrining ibu hamil terhadap infeksi
ini. Penegakan diagnosis servikovaginitis karena BV berdasarkan kriteria klinis
memiliki sensitivitas 62% dan spesifisitas 66%, sementara pewarnaan Gram memiliki
sensitivitas 97% dan spesifisitas 95%. Gambaran klinis dapat dinilai dengan
menggunakan kriteria Amsel, yaitu terdapat tiga dari empat tanda klinis berikut (Damar
Prasmusinto, 2010) :
- pH vagina di atas 4,5
- Duh vagina yang homogen, tipis
- Terdapat bau amis dari duh vagina bila ditambahkan kalium hidroksida 10% (tes amin)
- Terdapat clue cell pada sediaan basah.
3. Fibronekstin Fetal
Fibronektin
fetal
merupakan
suatu
glikoprotein
matriks
ekstraseluler.
Fibronektin fetal dalam cairan biologis diproduksi oleh amniosit dan sitotrofoblas. Zat
ini muncul selama masa gestasi pada semua kehamilan. Kadarnya paling tinggi
ditemukan pada cairan amnion (100 g/mL) pada trimester kedua, dan menjadi 30
g/mL saat aterm. Zat ini terletak di permukaan antara sisi maternal dan fetal pada
21
membran amnion, di antara korion dan desidua, dan terkonsentrasi di ruang di antara
desidua dan trofoblas (Damar Prasmusinto, 2010).
Fibronektin fetal di sini berperan sebagai perekat antara uterus dan hasil
konsepsi. Konsentrasi fibronektin fetal yang ditemukan di dalam darah 1/5 dari yang
ditemukan dari cairan amnion dan tidak muncul dalam urin. Pada kondisi normal,
glikoprotein ini tetap berada di tempatnya tersebut, dan hanya sebagian kecil dapat
ditemukan pada sekret servikovagina setelah usia gestasi 22 minggu (kurang dari 50
ng/mL). Kadar di atas nilai ini ( 50 ng/mL) pada atau setelah usia gestasi 22 minggu
pada sekret servikovagina berkaitan dengan peningkatan risiko terjadinya persalinan
preterm spontan (Damar Prasmusinto, 2010).
Pemeriksaan fibronektin fetal digunakan untuk menilai risiko persalinan dan
kelahiran preterm dengan mengukur jumlah kadar fibronektin fetal pada sekret
servikovagina. Pada kenyataannya, fibronektin fetal merupakan salah satu penanda
kelahiran preterm terbaik yang pernah diujicobakan pada seluruh populasi yang diteliti,
termasuk wanita berisiko rendah dan tinggi tanpa riwayat persalinan preterm, wanita
dengan riwayat kelahiran kembar, serta wanita dengan riwayat persalinan preterm.
Tingginya kadar fibronektin fetal , bahkan pada usia gestasi 13-22 minggu, berkaitan
dengan peningkatan risiko terjadinya persalinan preterm spontan sebesar dua hingga
tiga kali (Damar Prasmusinto, 2010) .
Pemeriksaan fibronektin fetal tersedia dalam dilakukan di dalam laboratorium
atau langsung di tempat tidur pasien, dengan kadar ambangnya 50 ng/mL. Salah satu
keterbatasan uji fibronektin fetal adalah uji tersebut tidak dapat dilakukan pada keadaan
berikut: PPROM, perdarahan, riwayat hubungan seksual dalam 24 jam sebelumnya, dan
pre-eklamsia (Damar Prasmusinto, 2010).
22
2.5 Penatalaksanaan
Manajemen persalinan perterm meliputi (P.O.G.I, 2011):
1. Tirah baring (Bedrest)
2. Hidrasi dan sedasi
3. Pemberian tokolitik
4. Pemberian steroid
5. Pemberian antibiotik
6. Emergency Cerclage
7. Perencanaan persalinan
3. Pemberian tokolitik
23
b. Magnesium sulfat
24
25
d. Beta2-sympathomimetics
Saat ini sudah banyak ditinggalkan. Preparat yang biasa dipakai adalah ritodrine,
terbutaline, salbutamol, isoxsuprine, fenoterol and hexoprenaline. Contoh: Ritodrin
(Yutopar) Dosis: 50 mg dalam 500 ml larutan glukosa 5%. Dimulai dengan 10 tetes per
menit dan dinaikkan 5 tetes setiap 10 menit sampai kontraksi uterus hilang. Infus harus
dilanjutkan 12 48 jam setelah kontraksi hilang. Selanjutnya diberikan dosis
pemeliharaan satu tablet (10 mg) setiap 8 jam setelah makan. Nadi ibu, tekanan darah
dan denyut jantung janin harus dimonitor selama pengobatan (Hadrians, 2007).
Kontra indikasi pemberian adalah penyakit jantung pada ibu, hipertensi atau
hipotensi, hipertiroidi, diabetes dan perdarahan antepartum. Efek samping yang dapat
terjadi pada ibu adalah palpitasi, rasa panas pada muka (flushing), mual, sakit kepala,
nyeri dada, hipotensi, aritmia kordis, edema paru, hiperglikemi, dan hipoglikemi. Efek
samping pada janin antara lain ft.tal takhikardia. Inpoglikemia, hipokalemi, ileus dan
hipotensi (Hadrians, 2007).
e. Progesteron
Progesteron dapat mencegah persalinan preterm. Injeksi alpha-hi.draxffirogesterone caproate menurunkan persalinan pretern berulang. Dosis 250 mg (1 mL)
im tiap minggu sampai 37 minggu kehamilan atau sampai persalinan. Pemberian
dimulai 16-21 minggu kehamilan (P.O.G.I, 2011).
f. COX (Cyclo-oxygenase) -2 inhibitor
Indomethacin
Dosis awal 100 mg, dilanjutkan 50 rng per oral setiap 6 jam untuk 8 kali
pemberian. Jika pemberian lebih dari dua hari,dapat rnenimbulkan oligohidramnion
akibat penurunan renal blood flow janin. Indometasin direkomendasikan pada
26
4. Pemberian Steroid
Pemakaian kortikosteroid dapat menurunkan kejadian RDS. kematian neonatal
dan perdarahan intraventrikuler. Dianjurkan pada kehamilan 24 34 minggu, namun
dapat dipertimbangkan sampai 36 minggu.Kontra indikasi : infeksi sistemik yang berat,
(tuberkulosis dan korioamnionitis). Betametason merupakan obat terpilih, diberikan
secara injeksi intramuskuler dengan dosis 12 mg dan diulangi 24 jam kemudian. Efek
optimal dapat dicapai dalam 1 - 7 hari pemberian, setelah 7 hari efeknya masih
meningkat. Apabila tidak terdapat betametason, dapat diberikan deksametason dengan
dosis 2 x 5 mg intramuskuler per hari selama 2 hari (P.O.G.I, 2011).
5. Antibiotika
Pemberian antibiotika pada persalinan tanpa infeksi tidak dianjurkan karena
tidak dapat meningkatkan luaran persalinan. Pada ibu dengan ancaman persalinan
preterm dan terdeteksi adanya vaginosis bakterial, pemberian klindamisin ( 2 x 300 mg
sehari selama 7 hari) atau metronidazol ( 2 x 500 mg sehari selama 7 hari). atau
eritromisin (2 x 500 mg sehari selama 7 hari) akan bermanfaat bila diberikan pada usia
kehamilan minggu (P.O.G.I, 2011).
27
6. Emergency cerclage
Di negara maju telah dilakukan emergency cerclage pada ibu hamil dengan
pembukaan dan pendataran serviks yang nyata tanpa kontraksi. Secara teknik hal ini
sulit dilakukan dan berisiko untuk terjadi pecah ketuban (P.O.G.I, 2011).
7. Perencanaan Persalinan
Persalinan
preterm
harus
dipertimbangkan
kasus
perkasus,
dengan
mengikutsertakan pendapat orang tuanya. Untuk kehamilan <32 minggu sebaiknya ibu
dirujuk ke tempat yang mempunyai fasilitas neonatal intensive care unit (NICU)..
Kehamilan 24- 37 minggu diperlakukan sesuai dengan risiko obstetrik lainnya dan
disamakan dengan aturan persalinan aterm. Tidak dianjurkan forsep atau episiotomi
elektif (P.O.G.I, 2011).
2.6 Komplikasi
Komplikasi pada ibu :
Pada ibu setelah persalinan preterm, infeksi endometrium lebih sering terjadi
sehingga menyebabkan sepsis dan lambatnya penyenbuhan luka episiotomi (Rima,
2010).
Komplikasi pada bayi :
Tabel 4. Komplikasi persalinan preterm pada bayi
Masalah masalah utama jangka pendek dan jangka panjang pada berat badan bayi sangat
rendah
Organ atau
sistem
Paru paru
Sindroma
distress
pernafasan, Displasia
28
bronkopulmunore,
kebocoran
udara,
displasia penyakit jalan nafas reaktif, asma.
bronkopulmuner, pneumoprematuritas.
Gastrointestinal Hiperbilirubinemia, gangguan makan, Gagal tumbuh, sindroma
atau nutrisional necritizing enterocolitis
bowel, kolestasis
Imunologi
Sistem
pusat
short-
Oftalmologi
Retinopati prematuritas
Kardiovaskuler
Renal
Hematologi
Anemia
iatrogenik,
memerlukan
transfusi berulang, anemia prematuritas
Endokrinologi
2.7 Pencegahan
Intervensi yang dilakukan untuk mengurangi morbiditas dan mortalitas yang
beruhungan dengan persalinan preterm dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
1. Pencegahan primer
29
BAB III
PEMBAHASAN
30
Persalinan preterm merupakan salah satu masalah utama dalam bidang obstetri
karena persalinan preterm menjadi salah satu penyebab morbiditas dan mortalitas
perinatal. Sekitar 75% kematian perinatal disebabkan oleh kelahiran kurang bulan.
Pemicu obstetri yang mengarah pada persalinan preterm antara lain: persalinan atas
indikasi ibu ataupun janin, baik dengan pemberian induksi ataupun seksio sesarea,
persalinan preterm spontan dengan selaput amnion utuh, dan persalinan preterm dengan
ketuban pecah dini, baik yang pada akhirnya dilahirkan pervaginam atau seksio sesaria.
Bayi kurang bulan, terutama dengan usia kehamilan <32 minggu mempunyai
risiko kematian 70 kali lebih tinggi, karena kesulitan untuk beradaptasi dengan
kehidupan di luar rahim akibat ketidakmatangan sistem organ tubuh seperti paru-paru,
jantung, ginjal dan hati. Kematian janin sering disebabkan oleh sindroma gawat nafas
(respiratory
distress
syndrome
(RDS)),
perdarahan
intraventrikuler,
displasia
31
usia ibu pada waktu hamil kurang dari 20 tahun atau lebih dari 35 tahun, ibu-ibu yang
sebelumnya telah melahirkan lebih dari 4 anak dan malnutrisi. Faktor janin yaitu
kehamilan ganda, hidramnion, ketuban pecah dini (KPD), cacat bawaan, infeksi (mis.
Ruberella, sifilis,toksoplasma), inkompatibilitas darah ibu dan janin (faktor rhesus, gol.
darah ABO). Faktor plasenta yaitu plasenta previa dan solutio plasenta.
Identifikasi penyebab persalinan preterm salah satunya adalah infeksi. Pada
penelitian oleh Goldenberg tahun 2008 telah meninjau peran infeksi pada kelahiran
kurang bulan. Telah dihipotesiskan bahwa infeksi intrauterin memicu persalinan kurang
bulan akibat aktivasi sistem imun bawaan. Mikroorganisme menyebabkan pelepasan
sitokin inflamasi, seperti interleukin dan tumor necrosis factor (TNF) yang kemudian
merangsang produksi prostaglandin dan atau matrix-degrading-enzime. Prostaglandin
merangsang kontraksi rahim, sedangkan degradasi matriks ekstra seluler pada membran
janin menyebabkan ketuban pecah dini kurang bulan. Diperkirakan 25 40 %
persalinan preterm akibat infeksi intra uterin (Cunningham, 2012).
Vaginosis bakterialis adalah salah satu jenis infeksi penyebab persalinan
preterm. Pada kondisi ini flora vagina yang normal, dominan lacto-bacillus yang
memperoduksi hidrogen peroksida, digantikan dengan kuman anaerob, meliputi
Gardnerella vaginalis, Mobiluncus species, dan Mycoplasma hominis. Vaginosis
bakterialis telah dikaitkan dengan persalinan preterm, ketuban pecah dini, dan infeksi
cairan amnion. Faktor faktor lingkungan penting dalam perkembangan vaginosis
bakterialis (Cunningham, 2012).
Preeklampsia juga menjadi salah satu pemicu persalinan preterm. Resiko
persalinan preterm pada ibu yang mengalami pre-eklampsi adalah 2,67 kali lebih besar.
Hal ini terjadi karena pre-eklampsi mempengaruhi pembuluh darah arteri yang
32
membawa darah menuju plasenta. Jika plasenta tidak mendapat cukup darah, maka
janin akan mengalami kekurangan oksigen dan nutrisi.
Terdapat beberapa indikator yang dapat dipakai untuk memprediksi persalinan
preterm, yaitu indikator klinik berupa timbulnya kontraksi dan pemendekan serviks
(secara manual atau ultrasonografi), terjadinya ketuban pecah dini juga meramalkan
akan terjadinya persalinan preterm. Indikator laboratorik yang bermakna antara lain
adalah jumlah leukosit dalam air ketuban (20/ml atau lebih), pemeriksaan CRP (>0,7
mg/ml) dan pemeriksaan leukosit pada serum ibu (>13.000/ml). Indikator biokimia
antara lain adalah peningkatan kadar fibronektin janin pada vagina, serviks, dan air
ketuban memberi indikasi adanya gangguan pada hubungan antara korion dan desidua.
Pada kehamilah 24 minggu atau lebih. Kadar fibronektin janin 50 ng/ml atau lebih
mengindikasikan resiko persalinan preterm (Sarwono, 2010).
Pertimbangan utama dalam penatalaksanaan persalinan preterm adalah
memastikan bahwa ini memang persalinan preterm. Selanjutnya mengidentififikasi
etiologi terkait persalinan preterm. Manajemen persalinan preterm tergantung dari
beberapa faktor, yaitu keadaan selaput ketuban, pada umumnya persalinan tidak
dihambat bila selaput ketuban sudah pecah. Persalinan akan sulit dicegah bila
pembukaan mencapai 4 cm. Makin muda usia kehamilan, upaya mencegah persalinan
makin perlu dilakukan. Persalinan dapat dipertimbangkan bila TBJ > 2000 gram atau
kehamilan > 34 minggu, penyebab atau komplikasi persalinan preterm, dan kemampuan
neonatal intensive care facilities (Sarwono, 2010).
Beberapa langkah yang dapat dilakukan pada persalinan preterm, terutama untuk
mencegah morbiditas dan mortalitas persalinan preterm, yaitu bedrest, menghambat
proses persalinan preterm dengan pemberian tokolisis, akselerasi pematangan fungsi
33
BAB IV
PENUTUP
34
4.1 Simpulan
Berdasarkan tinjauan pustaka dan pembahasan tersebut, maka dapat ditarik beberapa
simpulan, yaitu :
1. Partus prematurus atau persalinan prematur merupakan dimulainya kontraksi uterus
yang teratur disertai pendataran dan atau dilatasi serviks serta turunnya bayi pada wanita
hamil yang lama kehamilannya kurang dari 37 minggu (kurang dari 259 hari) dari hari
pertama haid terakhir.
2. Persalinan preterm menjadi masalah obstetri penting sebab menjadi salah satu
penyebab utama morbiditas dan mortalitas perinatal.
3. Pengenalan faktor resiko dan identifikasi penyebab terjadinya persalinan preterm
adalah penting dalam upaya pencegahan terhadap terjadinya persalinan preterm yang
dapat dijelaskan kepada ibu hamil melalui komunikasi, informasi, dan edukasi.
4. Wanita yang diketahuin beresiko mengalami persalinan preterm dan mereka yang
diketahui memiliki tanda dan gejala persalinan preterm telah menjadi kandidat penerima
intervensi yang dimaksudkan untuk meningkatkan prognosis neonatus. Jika tidak ada
indikasi ibu atau janin yang mengharuskan pelaksanaan persalinan yang disengaja,
maka intervensi dimaksudkan untuk mencegah persalinan kurang bulan.
5. Intervensi medik yang dilakukan adalah pemberian tokolisis, kortikosteroid, dan
antibiotik.
DAFTAR PUSTAKA
35
of
Preterm
Kesuma, Hadrians dr. 2007. Obat Obat Tokolitik dalam Bidang Kebidanan.
Departemern Obstetri dan Ginekologi Universitas Sriwijaya. RSUP Moh. Hoesin
Palembang.http://digilib.unsri.ac.id/download/obat%20tokolitik.pdf.
Louis J. 2010. The Enigma of Spontaneus Preterm Birth. The New England Journal of
Medicine. http://nejm0904308-spontaenus-preterm-birtf-pdf.
Nejad, Vida. 2008. The Association of Bacterial Vaginosis and Preterm
Labor. Department of Obstetrics and Gynaecology, Kerman University of
Medical Sciences and Health Services, Kerman, Iran .http://1338 bacterialvaginosis-nejm pdf.
Novalia, Rima. 2010. Persalian Preterm. Fakultas
Mulawarman. http:// 97539577/Persalinan-Preterm.
Kedokteran
Oxorn,
Harry.
2010.
Human
Labor
1343405.Oxorn_Foote_Human_Labor_and_Birthhttp://
dan
Universitas
Birth.
Prediksi
Persalinan
Prawiroharjo, Sarwono. 2010. Ilmu Kebidanan. Edisi IV. Jakarta : P.T Bina Pustaka
Sarwono Prawiroharjo.
36