Anda di halaman 1dari 11

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG

REPUBLIK INDONESIA
Nomor : 02 Tahun 2003
TENTANG
PROSEDUR MEDIASI DI PENGADILAN
MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA
Menimbang : a. bahwa pengintegrasian mediasi ke dalam proses beracara di pengadilan
dapat
menjadi salah satu instrumen efektif mengatasi kemungkinan penumpukan
perkara di pengadilan.
b. bahwa mediasi merupakan salah satu proses lebih cepat dan murah, serta
dapat mernberikan akses kepada para pihak yang bersengketa untuk
memperoleh keadilan atau penyelesaian yang memuaskan atas sengketa yang
dihadapi;
c. bahwa institusionalisasi proses mediasi ke dalam sistem peradilan dapat
memperkuat dan memaksimalkan fungsi lembaga pengadilan dalam
penyelesaian sengketa disamping proses pengadilan yang bersifat memutus
(ajudikatif);
d. bahwa Surat Edaran No. 1 tahun 2002 tentang Pemberdayaan Pengadilan
Tingkat Pertama Menerapkan Lembaga Damai (Eks Pasal 130 HIR/154
RBg) belum lengkap, sehingga perlu disempurnakan;
e. bahwa hukum acara yang berlaku, baik Pasal 130 HIR maupun Pasal 154
RBg, rnendorong para pihak untuk menempuh proses perdamaian yang
dapat diintensifkan dengan cara mengintegrasikan proses mediasi ke dalam
prosedur berperkara di pengadilan tingkat pertama;
f. bahwa sambil menunggu peraturan perundang-undangan dan
memperhatikan wewenang Mahkamah Agung dalam mengatur acara
peradilan yang belum cukup diatur oleh peraturan perundang-undangan,
maka demi kepastian, ketertiban, dan kelancaran dalam proses mendamaikan
para pihak untuk menyelesaikan suatu sengketa perdata, dipandang perlu
menetapkan suatu Peraturan Mahkamah Agung.
Mengingat : 1. Pasal 28 D Undang-undang Dasar 1945.
2. Reglemen Indonesia yang diperbaharui (HIR) Staatsblad 1941 Nomor 44 dan
Reglemen Hukum Acara untuk Daerah Luar Jawa dan Madura (RBg)
Staatsblad 1927 Nomor 227.
3. Undang-undang Nomor 14 tahun 1970 tentang
3. Undang-undang Nomor 14 tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Kekuasaan Kehakiman sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang
Nomor 35 tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 14
tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman,
Lembaran Negara Nomor 74 tahun 1970.
4. Undang-undang Norrmor 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung,
Lembaran Negara Nomor 73 tahun 1985;
5. Undang-undang Nomor 2 tahun 1986 tentang Peradilan Umum, Lembaran
Negara Nomor 20 tahun 1986.
6. Undang-undang No. 25 tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional,
Lembaran Negara Nomor 206 Tahun 2000.
MEMUTUSKAN:
PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA
TENTANG
PROSEDUR MEDIASI DI PENGADILAN.
BAB I
Ketentuan Umum
Pasal 1
Dalam Peraturan mahkamah Agung ini yang dimaksud dengan ;
(1) Akta perdamaian adalah dokumen kesepakatan yang merupakan hasil proses mediasi;
(2) Daftar Mediator adalah sebuah dokumen yang memuat nama-nama mediator di
lingkungan
sebuah pengadilan yang ditetapkan oleh Ketua pengadilan;
(3) Hakim adalah hakim tunggal atau majelis hakim yang ditunjuk oleh Ketua pengadilan
tingkat
pertama untuk memeriksa dan mengadili perkara;
(4) Kaukus adalah pertemuan antara mediator dengan salah satu pihak tanpa dihadiri oleh
pihak
lainnya;
(5) Mediator adalah pihak yang bersifat netral dan tidak memihak, yang berfungsi
membantu
para pihak dalam mencari berbagai kemungkinan penyelesaian sengketa;
(6) Mediasi adalah penyelesaian sengketa melalui proses perundingan para pihak dengan
dibantu
oleh mediator;
(7) Para pihak adalah dua atau lebih subjek hukum yang bersengketa dan membawa
sengketa
mereka ke pengadilan tingkat pertama untuk memperoleh penyelesaian;
(8) Prosedur mediasi adalah tahapan proses mediasi sebagaimana diatur dalam Peraturan
Mahkamah Agung ini;
(9) Sengketa publik adalah sengketa-sengketa di bidang lingkungan hidup, hak asasi
manusia,
perlindungan konsumen, pertanahan dan perburuhan yang melibatkan kepentingan
banyak
buruh;
(10) Sertifikat Mediator adalah dokumen yang menyatakan bahwa seseorang telah
mengikuti
pelatihan atau pendidikan mediasi yang dikeluarkan oleh lembaga yang telah diakreditasi
oleh
Mahkamah Agung;
(11) Proses mediasi terbuka untuk umum adalah anggota-anggota masyarakat dapat hadir
atau
mengamati, atau masyarakat dapat mengakses informasi yang muncul dalam proses
mediasi.
Pasal 2
(1) Semua perkara perdata yang diajukan ke pengadilan tingkat pertarna wajib untuk
lebih dahulu
diselesaikan melalui perdarnaian dengan bantuan mediator.
(2) Dalam melaksanakan fungsinya mediator wajib menaati kode etika mediator.
BAB II
Tahap Pra Mediasi
Pasal 3
(1) Pada hari sidang pertama yang dihadiri kedua belah pihak, hakim mewajibkan para
pihak yang
berperkara agar lebih dahulu menempuh mediasi.
(2) Hakim wajib menunda proses persidangan perkara itu untuk memberikan kesempatan
kepada
para pihak menempuh proses mediasi.
(3) Hakim wajib memberikan penjelasan kepada para pihak tentang prosedur dan biaya
mediasi.
(4) Dalam hal para pihak memberikan kuasa kepada kuasa hukum, setiap keputusan yang
diambil
oleh kuasa hukum wajib memperoleh persetujuan tertulis dari para pihak.
Pasal 4
(1) Dalam waktu paling lama satu hari kerja setelah sidang pertama, para pihak dan atau
kuasa
hukum mereka wajib berunding guna memilih mediator dari daftar mediator yang
dimiliki
oleh pengadilan atau mediator di luar daftar pengadilan.
(2) Jika dalam waktu satu hari kerja para pihak atau kuasa hukum mereka tidak dapat
bersepakat
tentang penggunaan mediator di dalam atau di luar daftar pengadilan, para pihak wajib
memilih mediator dari daftar mediator yang disediakan oleh pengadilan tingkat pertama.
(3) Jika dalam satu hari kerja para pihak tidak dapat bersepakat dalam memilih seorang
mediator
dari daftar yang disediakan oleh pengadilan, ketua majelis berwenang untuk menunjuk
seorang mediator dari daftar mediator dengan penetapan.
(4) Hakim yang memeriksa suatu perkara, baik sebagai ketua majelis atau anggota
majelis,
dilarang bertindak sebagai mediator bagi perkara yang bersangkutan.
Pasal 5
(1) Proses mediasi yang menggunakan mediator di luar daftar mediator yang dimiliki
oleh
pengadilan, berlangsung paling lama tiga puluh hari kerja.
(2) Setelah waktu tiga puluh hari kerja terpenuhi para pihak wajib menghadap kembali
pada
hakim pada sidang yang ditentukan.
(3) Jika para pihak mencapai kesepakatan, mereka dapat meminta penetapan dengan
suatu akta
perdamaian.
(4) Jika para pihak berhasil mencapai kesepakatan yang tidak dimintakan penetapannya
sebagai
suatu akta perdamaian, pihak penggugat wajib menyatakan pencabutan gugatannya.
Pasal 6
(1) Mediator pada setiap pengadilan berasal dari kalangan hakim dan bukan hakim yang
telah
memiliki sertifikat sebagai mediator.
(2) Setiap pengadilan memiliki sekurang-kurangnya dua orang mediator.
(3) Setiap pengadilan wajib memiliki daftar mediator beserta riwayat hidup dan
pengalaman kerja
mediator dan mengevaluasi daftar tersebut setiap tahun.
Pasal 7
Mediator dan para pihak wajib mengikuti prosedur penyelesaian sengketa melalui
mediasi yang
diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung ini.
BAB III
Tahap Mediasi
Pasal 8
Dalam waktu paling lama tujuh hari kerja setelah pemilihan atau penunjukan mediator,
para pihak
wajib menyerahkan fotokopi dokumen yang memuat duduk perkara, fotokopi surat-surat
yang
diperlukan, dan hal-hal yang terkait dengan sengketa kepada mediator dan para pihak.
Pasal 9
(1) Mediator wajib menentukan jadwal pertemuan untuk penyelesaian proses mediasi.
(2) Dalam proses mediasi para pihak dapat didampingi oleh kuasa hukumnya.
(3) Apabila dianggap perlu, mediator dapat melakukan kaukus.
(4) Mediator wajib mendorong para pihak untuk menelusuri dan menggali kepentingan
mereka
dan mencari berbagai pilihan penyelesaian yang terbaik bagi para pihak.
(5) Dengan hasil akhir tercapainya kesepakatan atau ketidaksepakatan, proses mediasi
berlangsung paling lama dua puluh dua hari kerja sejak pemilihan atau penetapan
penunjukan
mediator.
Pasal 10
(1) Atas persetujuan para pihak atau kuasa hukum, mediator dapat mengundang seorang
atau lebih
ahli dalam bidang tertentu untuk memberikan penjelasan atau pertimbangan yang dapat
membantu para pihak dalam penyelesaian perbedaan.
(2) Semua biaya jasa seorang ahli atau lebih ditanggung oleh para pihak berdasarkan
kesepakatan.
Pasal 11
(1) Jika mediasi menghasilkan kesepakatan, para pihak dengan bantuan mediator wajib
merumuskan secara tertulis kesepakatan yang dicapai dan ditandatangani oleh para pihak.
(2) Kesepakatan wajib memuat klausula pencabutan perkara atau pernyataan perkara
telah selesai.
(3) Sebelum para pihak menandatangani kesepakatan, mediator wajib memeriksa materi
kesepakatan untuk menghindari adanya kesepakatan yang bertentangan dengan hukum.
(4) Para pihak wajib menghadap kembali pada hakim pada hari sidang yang telah
ditentukan
untuk memberitahukan telah dicapainya kesepakatan.
(5) Hakim dapat mengukuhkan kesepakatan sebagai suatu akta perdamaian.
Pasal 12
(1) Jika dalam waktu seperti yang ditetapkan dalam Pasal 9 ayat (5) mediasi tidak
menghasilkan
kesepakatan, mediator wajib menyatakan secara tertulis bahwa proses mediasi telah gagal
dan
memberitahukan kegagalan kepada hakim.
(2) Segera setelah diterima pemberitahuan itu, hakim melanjutkan pemeriksaan perkara
sesuai
ketentuan Hukum Acara yang berlaku.
Pasal 13
(1) Jika para pihak gagal mencapai kesepakatan, pernyataan dan pengakuan para pihak
dalam
proses mediasi tidak dapat digunakan sebagai alat bukti dalam proses persidangan
perkara
yang bersangkutan atau perkara lainnya.
(2) Fotokopi dokumen dan notulen atau catatan mediator wajib dimusnahkan.
(3) Mediator tidak dapat diminta menjadi saksi dalam proses persidangan perkara yang
bersangkutan.
Pasal 14
(1) Proses mediasi pada asasnya tidak bersifat terbuka untuk umum, kecuali para pihak
menghendaki lain.
(2) Proses mediasi untuk sengketa publik terbuka untuk umum.
BAB IV
Tempat dan Biaya
Pasal 15
(1) Mediasi dapat diselenggarakan di salah satu ruang pengadilan tingkat pertama atau di
tempat
lain yang disepakati oleh para pihak.
(2) Penyelenggaraan mediasi di salah satu ruang pengadilan tingkat pertama tidak
dikenakan
biaya.
(3) Jika para pihak memilih penyelenggaraan mediasi di tempat lain, pembiayaan
dibebankan
kepada para pihak berdasarkan kesepakatan.
(4) Penggunaan mediator hakim tidak dipungut biaya.
(5) Biaya mediator bukan hakim ditanggung oleh para pihak berdasarkan kesepakatan
kecuali
terhadap para pihak yang tidak mampu.
BAB V
Lain-Lain
Pasal 16
Apabila dipandang perlu, ketentuan-ketentuan dalam Peraturan Mahkamah Agung ini,
selain
dipergunakan dalam lingkungan peradilan umum dapat juga diterapkan untuk lingkungan
badan
peradilan lainnya
BAB VI
Penutup
Pasal 17
Dengan berlakunya Peraturan Mahkamah Agung ini, Surat Edaran Mahkamah Agung
Nomor 1
Tahun 2002 tentang Pemberdayaan Pengadilan Tingkat Pertama Menerapkan Lembaga
Damai (Eks
pasal 130 HIR/ 154 RBg) dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 18
Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia ini berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di : Jakarta
Pada tanggal : 11 September 2003
KETUA MAHKAMAH AGUNG - RI,
ttd.
BAGIR MANAN
05/08/2003 17:34:48
Penyusunan Rancangan PERMA tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan: Sebuah Institutionalisasi
Mediasi ke dalam Sistem Peradilan di Indonesia
Indonesian Institute for Conflict transformation (IICT) Atas Kerjasama antara Indonesian Institute for
Conflict Transformation dan Pusat Penelitian dan Pengembangan Mahkamah Agung dengan dukungan dari
The Asia Foundation pada tanggal 24 Juli 2003 lalu di Ballroom Hotel Aryaduta Jakarta telah diadakan
suatu seminar dengan tema "Rancangan Peraturan Mahkamah Agung Tentang Prosedur Mediasi di
Pengadilan". Seminar ini adalah rangkaian kegiatan dari penelitian "Mediasi Terintegrasi Dengan
Pengadilan" yang dilakukan oleh ketiga lembaga tersebut di atas.
Tujuan utama dari penelitian tersebut adalah untuk menghasilkan sebuah konsep tentang institusionalisasi
proses mediasi ke dalam sistem peradilan di Indonesia. Institusionalisasi proses mediasi ke dalam sistem
peradilan diharapkan dapat memperkuat dan memaksimalkan fungsi lembaga pengadilan dalam
penyelesaian sengketa. Pemikiran tentang perlunya proses mediasi terkait dengan lembaga pengadilan pada
dasarnya telah menjadi wacana di beberapa forum ilmiah. Di Indonesia pelembagaan proses mediasi yang
terkait dengan lembaga pengadilan tersebut sebenarnya tidak sulit untuk dilaksanakan karena Hukum Acara
Perdata Indonesia yaitu Herziene Inlands Reglement (HIR) untuk wilayah Jawa dan Madura Pasal 130/131
HIR dan Reglemen op de Buitengewesten (RBg) untuk wilayah diluar Jawa dan Madura Pasal 154 telah
memberikan celah bagi terintegrasinya proses mediasi di Pengadilan secara baik. Pada intinya kedua
lembaga tersebut mengisyaratkan bahwa pada hari sidang yang ditunjuk, para pihak harus datang ke
pengadilan dan adalah tugas Pengadilan Negeri, dengan perantaraan ketuanya untuk mencoba
memperdamaikan mereka yang bersengketa.
Perlunya institusionalisasi proses mediasi ke dalam sistem peradilan didasarkan pada beberapa argumen.
Pertama, hal itu merupakan salah satu upaya membantu lembaga pengadilan untuk mengurangi beban
penumpukan perkara. Kedua, adalah penting bagi sistem hukum Indonesia untuk menyediakan akses seluas
mungkin kepada para pihak yang bersengketa untuk memperoleh rasa keadilan karena salah satu fungsi
dari sebuah sistem hukum adalah memfasilitasi terwujudnya keadilan. Tujuan ini dapat dicapai jika sistem
hukum menyediakan berbagai bentuk penyelesaian sengketa, termasuk mediasi. Ketiga, beberapa negara
demokratis maju seperti Jepang, Amerika Serikat, Kanada dan Australia telah menginstitusionalisasikan
mediasi sebagai proses penyelesaian sengketa di samping proses pengadilan yang bersifat memutus
(adjudicative). Keempat, proses mediasi seringkali diasumsikan sebagai proses penyelesaian sengketa yang
lebih efisien dan tidak memakan waktu dibandingkan proses memutus. Kelima, hukum acara yang berlaku
di Indonesia mewajibkan para hakim pada sidang pertama untuk mendorong para pihak yang bersengketa
agar menyelesaikan sengketa melalui perundingan di antara mereka. Akan tetapi, karena fungsi hakim dan
lembaga pengadilan sangat terbatas hanya mendorong para pihak, tetapi tidak secara langsung
memfasilitasi, maka para pihak yang bersengketa belum secara optimal mengeksplorasi manfaat dari proses
perundingan.
Dalam upaya mencapai proses mediasi yang terintegrasi dengan sistem pengadilan yang baik serta
menyempurnakan kegiatan penelitian yang tengah dilakukan, seminar tersebut di atas perlu dilakukan
untuk mensosialisasikan adanya rancangan Peraturan Mahkamah Agung yang telah disusun atas kerjasama
yang dilakukan Indonesian institute for Conflict Transformation (IICT) dan Puslitbang MARI di atas di
kalangan praktisi hakim, pengacara, serta akademisi dan untuk mendapat masukan dalam rangka revisi
akhir rancangan Peraturan Mahkamah Agung tadi. Setelah Rancangan Peraturan Mahkamah Agung yang
diseminarkan tersebut selesai dilakukan, maka tahap yang akan dilakukan selanjutnya dalam penelitian ini
adalah pelaksanaan uji coba untuk mengetahui seberapa efektif dan efisiennya peraturan Mahkamah Agung
mengenai "Prosedur Mediasi di Pengadilan" pada argumentasi tersebut di atas.

04/08/2003 23:43:28
Penegakan Hukum Lingkungan Keperdataan, Mas Achmad Santosa, S.H., LL.M.

Penegakan hukum lingkungan keperdataan adalah jenis penegakan hukum lingkungan yang bertujuan (terutama)
menetapkan pertanggung jawaban perdata (civil liability) yang diikuti dengan penetapan ganti kerugian (damages).
Walaupun tujuan utama penegakan hukum lingkungan keperdataan menyediakan wadah bagi pemulihan hak - hak
yang terlanggar melalui pemberian ganti kerugian, namun demikian dalam kasus lingkungan, tergugat juga dapat
dibebani kewajiban melakukan tindakan - tindakan tertentu yang sifatnya mengatasi permasalahan dampak
lingkungan hidup yang muncul. Penegakan hukum lingkungan keperdataan juga tidak hanya dapat didayagunakan
sebagai upaya masyarakat korban (affected community) untuk menuntut kompensasi dan tindakan-tindakan
tertentu, tetapi didayagunakan negara untuk menuntut kerugian yang diderita negara dan atau biaya pemulihan
lingkungan. Disamping perorangan atau kelompok masyarakat korban dan negara, organisasi lingkungan hidup juga
dapat memiliki hak gugat dengan mendasarkan pada kepentingan publik dan misi pelestarian daya dukung
ekosistem dengan tuntutan diluar hal yang berkaitan dengan ganti kerugian finansial.
Bahan ini telah disampaikan dalam Pelatihan Penegakan hukum Lingkungan yang telah dilaksanakan sebanyak 42
kali di seluruh Indonesia

Kasus Mustika-Ratu.com 3 Pertempuran Senilai 100 Miliar

Penulis: Donny B.U. *

detikcom - Jakarta, Berapakah nilai sebuah nama domain di Indonesia? Percaya atau tidak, Rp.
100.000.013.500,- (seratus miliar tiga belas ribu lima ratus rupiah)! Padahal dengan uang sebesar itu, kita
bisa mendapatkan 336136 nama domain .com atau setara dengan 606060 nama domain co.id, untuk satu
tahun. Tenang saja, harga nama domain yang fantastik tersebut tidak diatur oleh Network Sollutions atau
IdNIC, tetapi diatur oleh KUHP dan UU Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Tidak Sehat.

Setidaknya itulah yang kini tengah terjadi dalam kasus sengketa nama domain Mustika-Ratu.com. PT
Mustika Ratu, melalui kuasa hukumnya Dini C. Tobing mempidanakan Chandra Sugiono, mantan General
Manager PT Martina Bertho, yang didampingi D. Irawadi Syamsuddin sebagai kuasa hukumnya. Chandra
didakwa oleh Jaksa Penuntut Umum Suhardi telah mendaftarkan nama domain Mustika-Ratu.co.id dengan
itikad tidak baik. Proses persidangan yang dipimpin oleh Hakim Chasiany Tandjung tersebut hingga kini
terus berjalan dan tengah masuk ke pembuktian keabsahan materi dan barang bukti berdasarkan pendapat
dari para saksi ahli.

Menarik untuk dikaji oleh para praktisi hukum dan teknologi, bahwa inilah untuk pertama kalinya di dunia,
kasus sengketa nama domain menggunakan hukum-hukum pidana, bukan perdata sebagaimana lazimnya di
negara-negara lain. Tulisan saya kali ini tidak akan mengkaji kasus Mustika-Ratu.com dari sisi hukum,
mengingat latar belakang kompetensi saya bukanlah dari disiplin ilmu hukum. Saya akan lebih banyak
menguraikan kondisi-kondisi yang melatar-belakangi proses pengadilan tersebut.

Tetapi ada baiknya, sekedar pengantar, saya kutipkan secara lengkap pasal-pasal yang dikenakan kepada
Chandra Sugiono.

KUHP, pasal 382 bis Barang siapa untuk mendapatkan, melangsungkan atau memperluas hasil
perdagangan atau perusahaan milik sendiri atau orang lain, melakukan perbuatan curang untuk
menyesatkan khalayak umum atau seorang tertentu, diancam, jika perbuatan itu dapat enimbulkan kerugian
bagi konkuren-konkurennya atau konguren-konkuren orang lain, karena persaingan curang, dengan pidana
penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak tiga belas ribu lima ratus
rupiah.

UU Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Tidak Sehat, pasal 19 butir b.

Pelaku usaha dilarang melakukan satu atau beberapa kegiatan, baik sendiri maupun bersama pelaku usaha
lain, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat berupa
menghalangi konsumen atau pelanggan pelaku usaha pesaingnya untuk tidak melakukan hubungan usaha
dengan pelaku usaha pesaingnya itu

UU Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Tidak Sehat, pasal 48 (1) Pelanggaran terhadap ketentuan
Pasal 4, Pasal 9 sampai dengan Pasal 14, Pasal 16 sampai dengan Pasal 19, Pasal 25. Pasal 27, dan Pasal 28
diancam pidana denda serendah-rendahnya Rp 25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah) dan
setinggi-tingginya Rp l00.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah), atau pidana kurungan pengganti denda
selama-lamanya 6 (enam) bulan.
Tiga Pertempuran dalam 1 Peperangan

Jika sengketa nama domain Mustika-Ratu.co.id dianalogikan sebagai sebuah peperangan (war), maka ada
tiga pertempuran (battle) yang terjadi di dalamnya. Ketiga pertempuran tersebut adalah PT Mustika Ratu
Tbk (Mooryati Soedibyo) vs PT Martina Berto (Martha Tilaar), Lembaga Kajian Hukum Teknologi UI
(Edmon Makarim) vs Center of Cyber Law Studies Unpad (Ahmad M. Ramli), Firma Hukum AceMark
milik Amir Syamsuddin (menugaskan Didi Irawadi Syamsuddin) vs Firma Hukum Lubis, Santosa &
Maulana milik Todung Mulya Lubis (menugaskan Dini C. Tobing Pangabean).

Mustika Ratu vs Martina Berto

Mengutip berita pada tanggal 15 Oktober 2000 dari situs berita Riau Pos Online, dipaparkan bahwa sejak
awal 1970-an, Mooryati Soedibyo dan Martha Tilaar merupakan sahabat karib. Mereka bekerja sama secara
rukun berupaya agar jamu dan kosmetika tradisional Indonesia dapat menjadi tuan rumah di negeri sendiri.
Pada awalnya, keduanya berjalan dengan satu merek yaitu Mustika Ratu. Kemudian pada tanggal 7
Februari 1977 mereka sepakat untuk berpisah secara baik-baik. Mustika Ratu tetap dipegang oleh Mooryati
Soedibyo, sedangkan Martha Tilaar mendirikan Martina Berto yang memegang merek Sari Ayu.

Seiring berjalannya waktu, ternyata persaingan yang timbul mulai meretakkan hubungan mereka berdua.
Pasalnya, baik Mustika Ratu yang mengeluarkan produk dengan nama Mustika Ratu dan Martina Berto
yang mengeluarkan produk dengan nama Sari Ayu, ternyata memiliki produk dan segmen yang sama
persis. Beberapa produk bahkan keluar nyaris secara berbarengan untuk menyaingi produk lainnya.

Riau Pos Online mencatat semisal kosmetik remaja Puteri ala Mustika Ratu yang segera mendapatkan
saingan merek Belia dari Sari Ayu. Kemudian produk Berto Tea Sari Ayu yang keluar berbarengan dengan
Slimming Tea Mustika Ratu. Kemudian Biokos Skin Care Sari Ayu juga berhadap-hadapan dengan merek
Biocos Mustika Ratu.

Chandra Sugiono yang pada awal bergabung ke Martina Berto sebagai Manajer Internasional Marketing
bulan September 1999, kemudian melakukan suatu tindakan yang ternyata cukup fatal dikemudian hari.
Dia mendaftarkan nama domain Mustika-Ratu.com pada 7 Oktober 1999. Dengan beranggapan bahwa
nama domain Mustika-Ratu.com sebagai merek dan ternyata telah diambil oleh pihak seterunya, maka
akhirnya pada 4
September 2000 Mustika Ratu melaporkan Martina Berto ke Mabes Polri.

Usut-punya-usut, ternyata Chandra telah mengundurkan diri dari Martina Berto tertanggal 16 Juni 2000.
Sebelum melaporkan ke polisi, Mustika Ratu pada tanggal 29 Agustus 2000 di harian Suara Pembaruan dan
1 September 2000 telah memasang pengumuman untuk menarik atau mencabut kembali pemuatan nama
domain Mustika-Ratu.com terhitung dalam waktu 7 hari sejak tanggal dimuatnya pengumuman tersebut.
Ternyata belum habis masa 7 hari tersebut, Mustika Ratu sudah melaporkan ke polisi.

Kemudian pada tanggal 28 September 2000, nama domain Mustika-Ratu.com resmi dicabut dari Network
Sollutions. Pada tanggal 5 Oktober 2000 nama domain tersebut diambil alih oleh Mustika Ratu. Kemudian
pada tanggal 2 Agustus 2001 persidangan dimulai. Berhubung telah dinyatakan oleh Chandra maupun
Martha Tilaar bahwa pendaftaran nama domain tersebut sama sekali tidak ada sangkut-pautnya dengan
kebijakan Martina Berto, maka pengadilan sepakat bahwa selaku terdakwa adalah Chandra Sugiono saja,
tanpa menyeret-nyeret Martina Berto.

Yang patut pula dikaji adalah:


- jika saja nama domain Mustika-Ratu.com tersebut tidak didaftarkan oleh siapapun, apakah pihak Mustika
Ratu akan mengambil nama domain tersebut? Pasalnya, Mustika Ratu sendiri sebenarnya telah memiliki
nama domain Mustika-Ratu.co.id sejak 5 September 1996 dan belum pernah mendaftarkan nama domain
Mustika-Ratu.com hingga saat didaftarkan oleh Chandra Sugiono

- jika saja Chandra Sugiono memang memiliki itikad tidak baik tetapi dia tidak pernah bekerja di Martina
Berto, apakah Mustika Ratu tetap akan melaporkan ke polisi dengan hukum pidana? Pasalnya, Mustika
Ratu hingga
kini tidak mengambil tindakan apapun terhadap para pendaftar nama domain semisal Mustika-Ratu.net,
MustikaRatu.com dan MustikaRatu.net.

Lembaga Kajian Hukum Teknologi UI vs Center of Cyber Law Studies UNPAD

Sudah menjadi rahasia umum bahwa UI dan UNPAD bersaing untuk menggolkan konsep cyber law
mereka ke pemerintahan. Masing-masing dari mereka memiliki telah memiliki konsep-konsep yang handal
mengenai cyber law, yang juga tak kunjung sampai ke tangan pemerintah, tetapi terus-terusan menjadi
perdebatan yang tak kunjung usai. Alih-alih menyatukan pandangan, mereka malah kerap memberikan
suatu pandangan yang
bertentangan dalam kasus-kasus tertentu.

Berkaitan dengan kasus nama domain Mustika-Ratu.com, ada hal menarik yang patut disimak. Edmon
Makarim dari LKHT UI dalam Bukti Acara Pemeriksanaan (BAP) menyatakan bahwa apa yang dilakukan
oleh Chandra
Sugiono pantas dikenakan hukum pidana seperti termaktub dalam KUHP dan UU Anti Monopoli dan
Persaingan Tidak Sehat. Edmon berpendapat bahwa Chandra Sugiono bisa dikenakan pasal-pasal tersebut
karena memiliki niat yang tidak baik saat mendaftarkan nama domain Mustika-Ratu.com.

Sedangkan Ahmad M. Ramli dari CCLS UNPAD, seperti tulisannya di majalah Forum Keadilan tanggal 26
Agustus 2001, menyatakan sebaliknya. Menurut Ahmad, tidaklah tepat jika KUHP dan UU Anti Monopoli
yang notabene untuk hukum dunia nyata dikenakan untuk kasus dunia maya. Ramli juga menegaskan
bahwa sebaiknya hukum yang digunakan adalah UU Merek.

UU Merek tersebut memberikan ancaman pidana penjara maksimal 7 tahun dan denda maksimal Rp 100
juta untuk pelanggaran pada keseluruhannya. Atau, pidana 5 tahun serta denda paling banyak Rp 50 juta
bagi pelanggaran merek pada pokoknya. Menurut Ramli, kasus Chandra Sugiono lebih tepat menggunakan
UU Merek, minimal pada pokoknya.

Melihat hal tersebut, ada kemungkinan Edmon Makarim akan menjadi saksi ahli bagi Mustika Ratu,
sedangkan Ahmad M. Ramli akan menjadi saksi ahli bagi Chandra Sugiono. Meminta pendapat para ahli
hukum tentang konsep cyber law yang ideal bagi Indonesia, sama saja seperti kisah 4 orang buta dan seekor
gajah. Apa yang dipresepsikan oleh masing-masing orang, akan berbeda-beda tergantung pada apa yang
dipegangnya dan dipahami kebenarannya. Toh memang kebenaran itu tidak ada yang mutlak.

Firma Hukum AceMark vs Firma Hukum Lubis, Santosa & Maulana

Salah seorang pendiri firma hukum AceMark adalah Amir Syamsuddin, sedangkan firma hukum Lubis,
Santosa & Maulana salah seorang pendirinya adalah Todung Mulya Lubis. AceMark menugaskan Didi
Irawadi Syamsuddin sebagai penasehat hukum Chandra Sugiono. sedangkan Lubis cs menunjuk Dini C.
Tobing Pangabean sebagai penasehat hukum Mustika Ratu.

Sebagaimana layaknya profesi penasehat hukum, pasti akan mengalami suatu kemenangan ataupun
kekalahan. Kasus nama domain Mustika-Ratu.com ini naga-naganya menjadi kasus pertama mereka yang
berkaitan dengan dunia maya dan Internet. Siapapun yang akan memenangkan kasus ini, akan dapat
memproklamirkan diri sebagai firma hukum pertama di Indonesia yang siap menangani kasus-kasus
berkaitan dengan cyberlaw dan Internet.

Berkaitan dengan usulan Ahmad M. Ramli mengenai penggunaan UU Merek terhadap kasus Chandra
Sugiono, ada cerita menarik berkaitan antara Todung - Dini dengan Hakim Chasiany Tandjung. Hakim
Chasiany yang menjadi hakim ketua pada pengadilan kasus Mustika-Ratu.com, ternyata pernah diadukan
ke Mahkamah Agung dan Departemen Kehakiman oleh Todung - Dini pada tanggal 20 April 2001.

Menurut berita yang dikutip dari majalah Gamma tanggal 15 Mei 2001, Chasiany Tandjung bersama
dengan Hakim Musa Simatupang dan Hakim Saparuddin Hasibuan dianggap tidak menerapkan hukum
acara perdata dan tidak memahami UU Merek. Saat itu M. Taufiq, Wakil Ketua MA, kepada Gamma
menyatakan bahwa dirinya telah memberikan izin kepada tim MA untuk memerika ketiga hakim tersebut
sebagai upaya membersihan peradilan dari praktik KKN. Saparuddin Hasibuan sendiri merupakan hakim
anggota dalam kasus gugatan perdata Microsoft Corp terhadap 5 pengusaha komputer lokal.

Penutup

Sekedar penutup, ada baiknya apabila kita menyimak bagaimana prosedural menyelesaikan sengketa nama
domain di luar negeri. Sebenarnya Internet Corporation for Assigned Names and Numbers - ICANN
(www.icann.org) selaku komite internasional yang mengatur kebijakan nama domain di dunia, telah
mensahkan satu metode penyelesaian sengketa nama domain yang disebut dengan Uniform Domain-Name
Dispure-Resolution Policy -UDRP (http://www.icann.org/udrp/udrp.htm).

UDRP sendiri sah diberlakukan sejak 24 Oktober 1999, sedangkan Network Sollutions (www.netsol.com)
sebagai tempat pendaftaran Mustika-Ratu.com oleh Chandra Sugiono, telah mengadopsi UDRP tersebut
sejak 31 Desember 1999. Tetapi kemungkinan Mustika Ratu tidak mau menempuh jalur tersebut, lantaran
biaya yang dipatok dalam UDRP tersebut harus dibayar oleh pihak pengadu, dalam hal ini adalah pihak
Mustika Ratu. Biaya tersebut adalah US$ 750, atau sekitar Rp 6.500.000.

Waktu yang ditargetkan untuk menghasilkan keputusan sejak pertama kali diadukan adalah sekitar 45 hari.
ICANN sendiri telah menunjuk tiga badan yang berwenang untuk menjalankan UDRP tersebut, yaitu
World Intelectual Property Organization (WIPO) di Jenewa Swiss, National Arbitration Forum di
Minneapolis AS dan Disputes.org/eResolution Consortium di Montreal Kanada. Segala proses
penyelesaian sengketa tersebut dilakukan melalui surat-menyurat maupun e-mail.

Ada tiga penilaian yang memungkinkan suatu nama domain dipindah-tangankan. Pertama, nama domain
tersebut mirip dengan suatu merek. Kedua, pemilik nama domain tersebut tidak memiliki hak atau
legitimasi atas nama domain tersebut. Ketiga, pendaftar nama domain tersebut terbukti memiliki niatan
yang tidak baik.

Banyak sudah kasus sengketa nama domain yang ditangani oleh WIPO, seperti diinformasikan dalam situs
WIPO (http://arbiter.wipo.int/domains). Diakui oleh banyak pihak bahwa jika sebuah nama domain telah
diminta baik-baik tetapi tidak diserahkan oleh pendaftar, maka melalui UDRP - WIPO merupakan jalan
yang cepat, tepat dan efisien.

Kasus nama domain Mustika-Ratu.com ternyata lebih dari sekedar sengketa nama domain. KUHP, UU
Anti Monopoli dan Persaingan Tidak Sehat dan UU Merek ternyata merasa lebih berhak menangani kasus
tersebut. Indonesia menjadi negara pertama di dunia yang mengadili sengketa kasus nama domain secara
hukum pidana.

Adu kekuatan antara dua perusahaan jamu dan kosmetika, antara dua institusi kajian hukum universitas dan
antara dua firma hukum, hingga kini belum berhasil menunjukkan konsep ideal pelaksanaan cyber law di
Indonesia. Toh, seharusnya hukum dan keadilan tidak berpijak pada kekuatan yang semu. Walhasil,
Chandra Sugiono kini bagai pelanduk ditengah-tengah para gajah yang sedang bertikai. (dbu)

*) Penulis adalah wartawan detikcom, kandidat Magister Sains Manajemen


Komunikasi UI dan anggota Prasasti.

Anda mungkin juga menyukai