Anda di halaman 1dari 12

PATOFISIOLOGI KARSINOMA NASOFARING

Karsinoma Nasofaring merupakan munculnya keganasan berupa tumor yang berasal dari sel-sel
epitel yang menutupi permukaan nasofaring. Tumbuhnya tumor akan dimulai pada salah satu
dinding nasofaring yang kemudian akan menginfiltrasi kelenjar dan jaringan sekitarnya. Lokasi
yang paling sering menjadi awal terbentuknya KNF adalah pada Fossa Rossenmuller.
Penyebaran ke jaringan dan kjelenjar limfa sekitarnya kemudian terjadi perlahan, seperti
layaknya metastasis lesi karsinoma lainnya. Penyebaran KNF dapat berupa :
1. Penyebaran ke atas
Tumor meluas ke intrakranial menjalar sepanjang fossa medialis, disebut penjalaran
Petrosfenoid, biasanya melalui foramen laserum, kemudian ke sinus kavernosus dan Fossa kranii
media dan fossa kranii anterior mengenai saraf-saraf kranialis anterior ( n.I n VI). Kumpulan
gejala yang terjadi akibat rusaknya saraf kranialis anterior akibat metastasis tumor ini disebut
Sindrom Petrosfenoid. Yang paling sering terjadi adalah diplopia dan neuralgia trigeminal.
2. Penyebaran ke belakang
Tumor meluas ke belakang secara ekstrakranial menembus fascia pharyngobasilaris yaitu
sepanjang fossa posterior (termasuk di dalamnya foramen spinosum, foramen ovale dll) di mana
di dalamnya terdapat nervus kranialais IX XII; disebut penjalaran retroparotidian. Yang terkena
adalah grup posterior dari saraf otak yaitu n VII - n XII beserta nervus simpatikus servikalis.
Kumpulan gejala akibat kerusakan pada n IX n XII disebut sindroma retroparotidean atau
disebut juga sindrom Jugular Jackson. Nervus VII dan VIII jarang mengalami gangguan akibat
tumor karena letaknya yang tonggi dalam sistem anatomi tubuh,
Gejala yang muncul umumnya antara lain:
a. Trismus
b. Horner Syndrome ( akibat kelumpuhan nervus simpatikus servikalis)
c. Afonia akibat paralisis pita suara
d. Gangguan menelan
3. Penyebaran ke kelenjar getah bening
Penyebaran ke kelenjar getah bening merupakan salah satu penyebab utama sulitnya
menghentikan proses metastasis suatu karsinoma. Pada KNF, penyebaran ke kelenjar getah
bening sangat mudah terjadi akibat banyaknya stroma kelanjar getah bening pada lapisan sub

mukosa nasofaring. Biasanya penyebaran ke kelenjar getah bening diawali pada nodus limfatik
yang terletak di lateral retropharyngeal yaitu Nodus Rouvier. Di dalam kelenjar ini sel tersebut
tumbuh dan berkembang biak sehingga kelenjar menjadi besar dan tampak sebagai benjolan pada
leher bagian samping. Benjolan ini dirasakan tanpa nyeri karenanya sering diabaikan oleh pasien.
Selanjutnya sel-sel kanker dapat berkembang terus, menembus kelenjar dan mengenai otot
dibawahnya. Kelenjar menjadi lekat pada otot dan sulit digerakkan. Keadaan ini merupakan
gejala yang lebih lanjut lagi. Limfadenopati servikalis merupakan gejala utama yang mendorong
pasien datang ke dokter.
Gejala akibat metastase jauh:
Sel-sel kanker dapat ikut mengalir bersama getah bening atau darah, mengenai organ
tubuh yang letaknya jauh dari nasofaring. Yang sering ialah tulang, hati dari paru. Hal ini
merupakan stadium akhir dan prognosis sangat buruk.
Dalam penelitian lain ditemukan bahwa karsinoma nasofaring dapat mengadakan
metastase jauh, yang terbanyak ke paru-paru dan tulang, masing-masing sebanyak 20%,
sedangkan ke hati 10%, otak 4%, ginjal 0,4%, tiroid 0,4%. Kira-kira 25% penderita datang
berobat ke dokter sudah-mempunyai pertumbuhan ke intrakranial atau pada foto rontgen terlihat
destruksi dasar tengkorak dan hampir 70% metastase kelenjar leher. Karsinoma nasofaring
umumnya disebabkan oleh multifaktor. Sampai sekarang penyebab pastinya belum jelas. Faktor
yang berperan untuk terjadinya karsinoma nasofaring ini adalah faktor makanan seperti
mengkonsumsi ikan asin, sedikit memakan sayur dan buah segar. Faktor lain adalah non
makanan seperti debu, asap rokok, uap zat kimia, asap kayu
Faktor genetik juga dapat mempengaruhi terjadinya karsinoma nasofaring1. Selain itu terbukti
juga infeksi virus Epstein Barr juga dihubungkan dengan terjadinya karsinoma nasofaring
terutama pada tipe karsinoma nasofaring non-keratinisasi. Hal ini dibuktikan dengan adanya
kenaikan titer antigen EBV dalam tubuh penderita Ca Nasofaring non keratinisasi dan kenaikan
titer ini pun berbanding lurus dengan stadium Ca nasofaring; di mana semakin berat stadium Ca
Nasofaring, ditemukan titer antibodi EBV yang semakin tinggi. Hal ini dapat dibuktikan dengan
dijumpai adanya keberadaan protein-protein laten pada penderita karsinoma nasofaring. Pada
penderita ini sel yang terinfeksi oleh EBV akan menghasilkan protein tertentu yang berfungsi

untuk proses proliferasi dan mempertahankan kelangsungan virus di dalam sel host. Protein laten
ini dapat dipakai sebagai petanda (marker) dalam mendiagnosa karsinoma nasofaring, yaitu
EBNA-1 dan LMP-1, LMP- 2A dan LMP-2B. Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya pada
50% serum penderita karsinoma nasofaring LMP-1 sedangkan EBNA-1 dijumpai di dalam
serum semua pasien karsinoma nasofaring2. Selain itu dibuktikan oleh hasil penelitian Khrisna
dkk (2004) terhadap suku Indian asli bahwa EBV DNA di dalam serum penderita karsinoma
nasofaring dapat dipakai sebagai biomarker pada karsinoma nasofaring primer. 12,13,15
Hubungan antara karsinoma nasofaring dan infeksi virus Epstein-Barr juga dinyatakan oleh
berbagai peneliti dari bagian yang berbeda di dunia ini. Pada pasien karsinoma nasofaring
dijumpai peninggian titer antibodi anti EBV (EBNA-1) di dalam serum plasma.1-19 EBNA-1
adalah protein nuklear yang berperan dalam mempertahankan genom virus. Huang dalam
penelitiannya, mengemukakan keberadaan EBV DNA dan EBNA di dalam sel penderita
karsinoma nasofaring. 12,13,15 Karsinoma nasofaring sangat sulit didiagnosa, hal ini mungkin
disebabkan karena letaknya sangat tersembunyi dan juga pada keadaan dini pasien tidak datang
untuk berobat. Biasanya pasien baru datang berobat, bila gejala telah mengganggu dan tumor
tersebut telah mengadakan infiltrasi serta metastase pada pembuluh limfe sevikal. Hal ini
merupakan keadaan lanjut dan biasanya prognosis yang jelek. Pemeriksaan terhadap karsinoma
nasofaring dilakukan dengan cara anamnesa penderita dan disertai dengan pemeriksaan
nasofaringoskopi, radiologi, histopatologi, immunohistokimia, dan juga pemeriksaan serologi
dengan menggunakan tehnik Enzyme Linked Immunosorbent Assay atau disingkat dengan
ELISA6. Karena beberapa penelitian telah membuktikan bahwa di dalam serum penderita
karsinoma nasofaring dijumpai EBNA-1 maka sebaiknya pasien yang mempunyai gejala yang
mengarah ke karsinoma nasofaring dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan serologi yaitu
antibodi anti EBV (EBNA-1).13,14,15 Tentang pengaruh EBV yang sebagian besar hanya
ditemukan pada Ca Nasofaring tipe non-keratinisasi belum dapat dijelaskan hingga saat ini.
Proses perkembangan KNF:
Gambar 5 Patogenesis KNF
Virus Epstein-Barr bereplikasi dalam sel-sel epitel dan menjadi laten dalam limfosit B.
Infeksi virus epstein-barr terjadi pada dua tempat utama yaitu sel epitel kelenjar saliva dan sel
limfosit. EBV memulai infeksi pada limfosit B dengan cara berikatan dengan reseptor virus,

yaitu komponen komplemen C3d (CD21 atau CR2). Glikoprotein (gp350/220) pada kapsul EBV
berikatan dengan protein CD21 dipermukaan limfosit B3. Aktivitas ini merupakan rangkaian
yang berantai dimulai dari masuknya EBV ke dalam DNA limfosit B dan selanjutnya
menyebabkan limfosit B menjadi immortal. Sementara itu, sampai saat ini mekanisme masuknya
EBV ke dalam sel epitel nasofaring belum dapat dijelaskan dengan pasti. Namun demikian, ada
dua reseptor yang diduga berperan dalam masuknya EBV ke dalam sel epitel nasofaring yaitu
CR2 dan PIGR (Polimeric Immunogloblin Receptor). Sel yang terinfeksi oleh virus epstein-barr
dapat menimbulkan beberapa kemungkinan yaitu : sel menjadi mati bila terinfeksi dengan virus
epstein-barr dan virus mengadakan replikasi, atau virus epstein- barr yang menginfeksi sel dapat
mengakibatkan kematian virus sehingga sel kembali menjadi normal atau dapat terjadi
transformasi sel yaitu interaksi antara sel dan virus sehingga mengakibatkan terjadinya
perubahan sifat sel sehingga terjadi transformsi sel menjadi ganas sehingga terbentuk sel
kanker.16
Gen EBV yang diekspresikan pada penderita KNF adalah gen laten, yaitu EBERs,
EBNA1, LMP1, LMP2A dan LMP2B. Protein EBNA1 berperan dalam mempertahankan virus
pada infeksi laten. Protein transmembran LMP2A dan LMP2B menghambat sinyal tyrosine
kinase yang dipercaya dapat menghambat siklus litik virus. Diantara gen-gen tersebut, gen yang
paling berperan dalam transformasi sel adalah gen LMP1. Struktur protein LMP1 terdiri atas 368
asam amino yang terbagi menjadi 20 asam amino pada ujung N, 6 segmen protein transmembran
(166 asam amino) dan 200 asam amino pada ujung karboksi (C). Protein transmembran LMP1
menjadi perantara untuk sinyal TNF (tumor necrosis factor) dan meningkatkan regulasi sitokin
IL-10 yang memproliferasi sel B dan menghambatrespon imun lokal.
2.6.2 Genetik
Walaupun karsinoma nasofaring tidak termasuk tumor genetik, tetapi kerentanan terhadap
karsinoma nasofaring pada kelompok masyarakat tertentu relative menonjol dan memiliki
agregasi familial. Analisis korelasi menunjukkan gen HLA (human leukocyte antigen) dan gen
pengode enzim sitokrom p450 2E1 (CYP2E1) kemungkinan adalah gen kerentanan terhadap
karsinoma nasofaring. Sitokrom p450 2E1 bertanggung jawab atas aktivasi metabolik yang
terkait nitrosamine dan karsinogen. Analisa genetik pada populasi endemik berhubungan dengan
HLA-A2, HLAB17 dan HLA-Bw26. Dimana orang dengan yang memiliki gen ini memiliki

resiko dua kali lebih besar menderita karsinoma nasofaring. Studi pada orang Cina dengan
keluarga menderita karsinoma nasofaring dijumpai adanya kelemahan lokus pada regio HLA.
Studi dari kelemahan HLA pada orang-orang Cina menunjukkan bahwa orang-orang dengan
HLA
2.6.3 Faktor lingkungan
Sejumlah besar studi kasus yang dilakukan pada populasi yang berada di berbagai daerah di asia
dan america utara, telah dikonfirmasikan bahwa ikan asin dan makanan lain yang awetkan
mengandung sejumlah besar nitrosodimethyamine (NDMA), nitrospurrolidene (NPYR) dan
nitrospiperidine (NPIP ) yang mungkin merupakan factor karsinogenik karsinoma nasofaring.
Selain itu pengkonsumsi alkohol dan perokok juga merupakan salah satu faktor yan diperkirakan
menginisiasi terjadinya karsinoma nasofaring. Di mana alkohol dan asap rokok ditemukan
mengadung formaldehyde yang diteliti merupakan faktor risiko karsinoma nasofaring dengan
cara mengaktifkan kembali infeksi dari EBV.
Gejala Dini.
Penting untuk mengetahui gejala dini karsinoma nasofaring dimana tumor
masih terbatas di nasofaring, yaitu :
a. Gejala telinga
- Rasa penuh pada telinga
- Tinitus
- Gangguan pendengaran
b. Gejala hidung
- Epistaksis
- Hidung tersumbat
c. Gejala mata dan saraf
- Diplopia
- Gerakan bola mata terbatas9,12
Gejala lanjut
- Limfadenopati servikal

- Gejala akibat perluasan tumor ke jaringan sekitar


- Gejala akibat metastase jauh.2,3,10

Jika ditemukan adanya kecurigaan yang mengarah pada suatu karsinoma nasofaring,
protokol dibawah ini dapat membantu untuk menegakkan diagnosis pasti serta stadium
tumor:
2.7.1. Anamnesis / pemeriksaan fisik
Anamnesis berdasarkan keluhan yang dirasakan pasien (tanda dan gejala KNF)
2.7.1.1 Pemeriksaan Nasofaring
Pemeriksaan tumor primer di nasofaring dapat dilakukan dengan cara rinoskopi posterior
(tidak langsung) dan nasofaringoskop (langsung) serta fibernasofaringoskopi15. Jika ditemukan
tumor berupa massa yang menonjol pada mukosa dan memiliki permukaan halus, berrnodul
dengan atau tanpa ulserasi pada permukaan atau massa yang menggantung dan infiltratif. Namun
terkadang tidak dijumpai lesi pada nasofaring sehingga harus dilakukan biopsi dan pemeriksaan
sitologi.
2.7.1.2 Gejala Klinis
Menurut Formula Digby, setiap simptom mempunyai nilai diagnostik dan
berdasarkan jumlah nilai dapat ditentukan ada tidaknya karsinoma nasofaring
Tabel 1 Formula Digsby 17
Bila jumlah nilai mencapai 50, diagnosa klinik karsinoma nasofaring dapat
dipertangungjawabkan. Sekalipun secara klinik jelas karsinoma nasofaring, namun biopsi tumor
primer mutlak dilakukan, selain untuk konfirmasi diagnosis histopatologi, juga menentukan
subtipe histopatologi yang erat kaitannya dengan pengobatan dan prognosis.
2.7.1.3 Biopsi nasofaring
Diagnosis pasti dari KNF ditentukan dengan diagnosis klinik ditunjang dengan diagnosis
histologik atau sitologik. Diagnosis histologik atau sitologik dapat ditegakan bila dikirim suatu
material hasil biopsy cucian, hisapan (aspirasi), atau sikatan (brush), biopsy dapat dilakukan

dengan 2 cara, yaitu dari hidung atau dari mulut. Biopsi tumor nasofaring umunya dilakukan
dengan anestesi topical dengan xylocain 10%.
Biopsi melalui hidung dilakukan tanpa melihat jelas tumornya (blind biopsy).
Cunam biopsy dimasukan melalui rongga hidung menyelusuri konka media ke nasofaring
kemudian cunam diarahkan ke lateral dan dilakukan biopsy.
Biopsy melalui mulut dengan memakai bantuan kateter nelaton yang dimasukan melalui
hidung dan ujung kateter yang berada dalam mulut ditarik keluar dan diklem bersama-sama
ujung kateter yang dihdung. Demikian juga kateter yang dari hidung disebelahnya, sehingga
palatum mole tertarik ke atas. Kemudian dengan kacalaring dilihat daerah nasofaring. biopsy
dilakukan dengan melihat tumor melalui kaca tersebut atau memakai nasofaringoskop yang
dimasukan melalui mulut, masaa tumor akan terlihat lebih jelas. Bila dengan cara ini masih
belum didapatkan hasil yang memuaskan mala dilakukan pengerokan dengan kuret daerah lateral
nasofaring dalam narkosis.
2.7.1.4 Sitologi dan Histopatologi
Klasifikasi WHO tahun 1978 untuk karsinoma nasofaring (1) Keratinizing squamous cell
carcinoma ditandai dengan adanya keratin atau intercellular bridge atau keduanya. (2) Non
keratinizing squamous cell carcinoma yang ditandai dengan batas sel yang jelas (pavement cell
pattern). (3) Undifferentiated carcinoma ditandai oleh pola pertumbuhan syncitial, sel-sel
poligonal berukuran besar atau sel dengan bentuk spindel,anak inti yang menonjol dan stroma
dengan infiltrasi sel-sel radang limfosit.1,2,3,4 Sedangkan klasifikasi WHO tahun 1991
membagi karsinoma nasofaring menjadi Keratinizing squamous cell carcinoma, Non
keratinizing squamous cell carcinoma terdiri atas differentiated dan undifferentiated dan
Basaloid Carcinoma.
Tipe tanpa diferensiasi dan tanpa keratinisasi mempunyai sifat yang sama, yaitu bersifat
radiosensitif. Sedangkan jenis dengan keratinisasi tidak begitu radiosensitif
2.7.1.4.1 Sitologi
Squamous Cell Carcinoma
Inti squamous cell carcinoma bentuknya lebih "spindel" dan lebih memanjang dengan
khromatin inti yang padat dan tersebar tidak merata. Pleomorfisme dari inti dan membran inti

lebih jelas. Selalu terlihat perbedaan (variasi) yang jelas dalam derajat khromasia di antara inti
yang berdampingan. Nukleoli bervariasi dalam besar dan jumlahnya. Sitoplasma lebih padat,
berwarna biru dan batas sel lebih mudah dikenal. Perbandingan inti, sitoplasma dan nukleolus
adalah inti lebih kecil. Keratinisasi merupakan indikasi yang paling dapat dipercaya sebagai
tanda adanya diferensiasi ke arah squamous cell. Bila keratinisasi tidak terlihat maka
dijumpainya halo pada sitoplasma di sekitar inti dan kondensasi sitoplasma pada bagian pinggir
sel merupakan penuntun yang sangat menolong untuk mengenal lesi tersebut sebagai squamous
cell carcinoma. 19

Undifferentiated Carcinoma
Gambaran sitologi yang dapat dijumpai pada undifferentiated carcinoma berupa
kelompokan sel-sel berukuran besar yang tidak berdiferensiasi, inti yang membesar dan
khromatin pucat, terdapat anak inti yang besar, sitoplasma sedang, dijumpai latar belakang selsel radang limfosit diantara sel-sel epitel Dijumpai gambaran mikroskopis yang sama dari aspirat
yang berasal dari lesi primer dan metastase pada kelenjar getah bening regional
2.7.1.4.2 Histopatologi
Keratinizing Squamous Cell Carcinoma
Pada pemeriksaan histopatologi keratinizing squamous cell carcinoma memiliki
kesamaan bentuk dengan yang terdapat pada lokasi lainnya5,13. Dijumpai adanya diferensiasi
dari sel squamous dengan intercellular bridge atau keratinisasi2,6. Tumor tumbuh dalam bentuk
pulau-pulau yang dihubungkan dengan stroma yang desmoplastik dengan infiltrasi sel-sel radang
limfosit, sel plasma, neutrofil dan eosinofil yang bervariasi. Sel-sel tumor berbentuk poligonal
dan stratified. Batas antar sel jelas dan dipisahkan oleh intercellular bridge. Sel-sel pada bagian
tengah pulau menunjukkan
Non Keratinizing Squamous Cell Carcinoma
Pada

pemeriksaan

histopatologi

non

keratinizing

squamous

cell

carcinoma

memperlihatkan gambaran stratified dan membentuk pulau-pulau2,12. Sel-sel menunjukkan

batas antar sel yang jelas dan terkadang dijumpai intercellular bridge yang samar-samar.
Dibandingkan dengan undifferentiated carcinoma ukuran sel lebih kecil, rasio inti sitoplasma
lebih kecil, inti lebih hiperkhromatik dan anak inti tidak menonjol 19,20
Undifferentiated Carcinoma
Pada pemeriksaan undifferentiated carcinoma memperlihatkan gambaran sinsitial dengan
batas sel yang tidak jelas,inti bulat sampai oval dan vesikular, dijumpai anak inti. Selsel tumor
sering tampak terlihat tumpang tindih6. Beberapa sel tumor dapat berbentuk spindel. Dijumpai
infiltrat sel radang dalam jumlah banyak, khususnya limfosit, sehingga dikenal juga sebagai
lymphoepithelioma. Dapat juga dijumpai sel-sel radang lain, seperti sel plasma, eosinofil,
epitheloid dan multinucleated giant cell (walaupun jarang).
Terdapat dua bentuk pola pertumbuhan tipe undifferentiated yaitu tipe Regauds, yang
terdiri dari kumpulan sel-sel epiteloid dengan batas yang jelas yang dikelilingi oleh jaringan ikat
fibrous dan sel-sel limfosit. Yang kedua tipe Schmincke, sel-sel epitelial neoplastik tumbuh difus
dan bercampur dengan sel-sel radang. Tipe ini sering dikacaukan dengan large cell malignant
lymphoma.
Pemeriksaan yang teliti dari inti sel tumor dapat membedakan antara karsinoma
nasofaring dan large cell malignant lymphoma, dimana inti dari karsinoma nasofaring memiliki
gambaran vesikular, dengan pinggir inti yang rata dan berjumlah satu, dengan anak inti yang
jelas berwarna eosinophil. Inti dari malignant lymphoma biasanya pinggirnya lebih iregular,
khromatin kasar dan anak inti lebih kecil dan berwarna basofilik atau amphofilik. Terkadang
undifferentiated memiliki sel-sel dengan bentuk oval atau spindle.
Basaloid Squamous Cell Carcinoma
Bentuk mikroskopis lain yang jarang dijumpai adalah basaloid squamous cell
carcinoma5,12. Tipe ini memiliki dua komponen yaitu sel-sel basaloid dan sel-sel squamous.
Sel-sel basaloid berukuran kecil dengan inti hiperkhromatin dan tidak dijumpai anak inti dan
sitoplasma sedikit. Tumbuh dalam pola solid dengan konfigurasi lobular dan pada beberapa
kasus dijumpai adanya peripheral palisading. Komponen sel-sel squamous dapat in situ atau
invasif. Batas antara komponen basaloid dan squamous jelas.

2.7.1.4.3 Pemeriksaan radiologi


Pemeriksaan radiologi pada kecurigaan KNF merupakan pemeriksaan penunjang
diagnostic yang penting. Dapat dilakukan foto polos, CT Scan ataupun MRI. Saat ini untuk
mendiagnosa secara pasti C.T Scan dan MRI merupakan suatu modalitas utama. Melalui C.T
Scan dan MRI dapat dilihat secara jelas ada tidaknya massa dan sejauh apa penyebaran massa
tersebut, hingga dapat membantu dalam menentukan stadium dan jenis terapi yang akan
dilakukan.
Jika ditemukan adanya kecurigaan yang mengarah pada suatu karsinoma
nasofaring, protocol dibawah ini dapat membantu untuk menegakkan diagnosis pasti serta
stadium tumor :
1. Anamnesis / pemeriksaan fisik
Anamnesis berdasarkan keluhan yang dirasakn pasien (tanda dan gejala KNF)
2. Pemeriksaan nasofaring
Dengan menggunakan kaca nasofaring atau dengan nashopharyngoskop
3. Biopsi nasofaring
Diagnosis pasti dari KNF ditentukan dengan diagnosis klinik ditunjang dengan diagnosis
histologik atau sitologik. Diagnosis histologik atau sitologik dapat ditegakan bila dikirim suatu
material hasil biopsy cucian, hisapan (aspirasi), atau sikatan (brush), biopsy dapat dilakukan
dengan 2 cara, yaitu dari hidung atau dari mulut. Biopsi tumor nasofaring umunya dilakukan
dengan anestesi topical dengan xylocain 10%.
Biopsi melalui hidung dilakukan tanpa melihat jelas tumornya (blind biopsy).
Cunam biopsy dimasukan melalui rongga hidung menyelusuri konka media ke nasofaring
kemudian cunam diarahkan ke lateral dan dilakukan biopsy.
Biopsy melalui mulut dengan memakai bantuan kateter nelaton yang dimasukan melalui hidung
dan ujung kateter yang berada dalam mulut ditarik keluar dan diklem bersama-sama ujung
kateter yang dihdung. Demikian juga kateter yang dari hidung disebelahnya, sehingga palatum
mole tertarik ke atas. Kemudian dengan kacalaring dilihat daerah nasofaring. biopsy dilakukan
dengan melihat tumor melalui kaca tersebut atau memakai nasofaringoskop yang dimasukan
melalui mulut, masaa tumor akan terlihat lebih jelas. Bila dengan cara ini masih belum

didapatkan hasil yang memuaskan mala dilakukan pengerokan dengan kuret daerah lateral
nasofaring dalam narcosis.
4. Pemeriksaan Patologi Anatomi
Klasifikasi gambaran histopatologi yang direkomendasikan oleh Organisasi
Kesehatan Dunia (WHO) sebelum tahun 1991, dibagi atas 3 tipe, yaitu :

Karsinoma sel skuamosa berkeratinisasi (Keratinizing Squamous Cell Carcinoma).

Tipe ini dapat dibagi lagi menjadi diferensiasi baik, sedang dan buruk.
Karsinoma non-keratinisasi (Non-keratinizing Carcinoma). Pada tipe ini dijumpai
adanya diferensiasi, tetapi tidak ada diferensiasi sel skuamosa tanpa jembatan intersel.

Pada umumnya batas sel cukup jelas.


Karsinoma tidak berdiferensiasi (Undifferentiated Carcinoma). Pada tipe ini sel
tumor secara individu memperlihatkan inti yang vesikuler, berbentuk oval atau bulat
dengan nukleoli yang jelas. Pada umumnya batas sel tidak terlihat dengan jelas.

Tipe tanpa diferensiasi dan tanpa keratinisasi mempunyai sifat yang sama, yaitu bersifat
radiosensitif. Sedangkan jenis dengan keratinisasi tidak begitu radiosensitif. Klasifikasi
gambaran histopatologi terbaru yang direkomendasikan oleh WHO pada tahun 1991,
hanya dibagi atas 2 tipe, yaitu :
1. Karsinoma sel skuamosa berkeratinisasi (Keratinizing Squamous Cell Carcinoma).
2. Karsinoma non-keratinisasi (Non-keratinizing Carcinoma). Tipe ini dapat dibagi lagi
menjadi berdiferensiasi dan tak berdiferensiasi.
3.
5. Pemeriksaan radiologi
Pemeriksaan radiologi pada kecurigaan KNF merupakan pemeriksaan penunjang
diagnostic yang penting. Tujuan utama pemeriksaan radiologic tersebut adalah:
o Memberikan diagnosis yang lebih pasti pada kecurigaan adanya tumor pada daerah
nasofaring
o Menentukan lokasi yang lebih tepat dari tumor tersebut
o Mencari dan menetukan luasnya penyebaran tumor ke jaringan sekitarnya.
a) Foto polos
Ada beberapa posisi dengan foto polos yang perlu dibuat dalam mencari kemungkina
adanya tumor pada daerah nasofaring yaitu:

Posisi Lateral dengan teknik foto untuk jaringan lunak (soft tissue technique)
Posisi Basis Kranii atau Submentoverteks

Tomogram Lateral daerha nasofaring


Tomogranm Antero-posterior daerah nasofaring
b) C.T.Scan
Pada umunya KNF yang dapat dideteksi secara jelas dengan radiografi polos adalah jika
tumor tersebut cukup besar dan eksofitik, sedangkan bula kecil mungkin tidak akan terdeteksi.
Terlebih-lebih jika perluasan tumor adalah submukosa, maka hal ini akan sukar dilihat dengan
pemeriksaan radiografi polos. Demikian pula jika penyebaran ke jaringan sekitarnya belum
terlalu luas akan terdapat kesukaran-kesukaran dalam mendeteksi hal tersebut. Keunggulan C.T.
Scan dibandingkan dengan foto polos ialah kemampuanya untuk membedakan bermacammacam densitas pada daerah nasofaring, baik itu pada jaringan lunak maupun perubahanperubahan pada tulang, gengan criteria tertentu dapat dinilai suatu tumor nasofaring yang masih
kecil. Selain itu dengan lebih akurat dapat dinilai pakah sudah ada perluasan tumor ke jaringna
sekitarnya, menilai ada tidaknya destruksi tulang serta ada tidaknya penyebaran intracranial. Ada
beberapa posisi dengan foto polos yang perlu dibuat dalam mencari kemungkina adanya tumor
pada daerah nasofaring yaitu:

Posisi Lateral dengan teknik foto untuk jaringan lunak (soft tissue technique)
Posisi Basis Kranii atau Submentoverteks
Tomogram Lateral daerah nasofaring
Tomogranm Antero-posterior daerah nasofaring

6. Pemeriksaan neuro-oftalmologi
Karena nasofaring berhubungan dekat dengan rongga tengkorak melalui beberapa lobang,
maka gangguan beberapa saraf otak dapat terjadi sebagai gejala lanjut KNF ini.
7. Pemeriksaan serologi.
Pemeriksaan serologi IgA anti EA (early antigen) dan igA anti VCA (capsid antigen)
untuk infeksi virus E-B telah menunjukan kemajuan dalam mendeteksi karsinoma nasofaring.
Tjokro Setiyo dari FK UI Jakarta mendapatkan dari 41 pasien karsinoma nasofaring stadium
lanjut (stadium III dan IV) senstivitas IgA VCA adalah 97,5% dan spesifitas 91,8% dengan titer
berkisar antara 10 sampai 1280 dengan terbanyak titer 160. IgA anti EA sensitivitasnya 100%
tetapi spesifitasnya hanya 30,0%, sehingga pemeriksaan ini hanya digunakan untuk menetukan
prognosis pengobatan, titer yang didpat berkisar antara 80 sampai 1280 dan terbanyak
160.

Anda mungkin juga menyukai