Pendahuluan: Perdarahan Uterus Disfungsional
Pendahuluan: Perdarahan Uterus Disfungsional
Bentuk klinis
PUD ovulatorik
Siklus
PUD anovulatorik
Metroragia
Polimenorea
Oligomenorea
Jumlah perdarahan
Amenorea
Menoragia
Anemia
PUD sedang
PUD berat
Tiga kategori yang berhubungan dengan PUD yaitu estrogen breakthrogh
bleeding, estrogen wthdrawal bleeding dan progestin breakthrough bleeding.
Estrogen breakthrough bleeding timbul bila estrogen berlebihan menstimulasi
endometrium untuk berproliferasi. Dengan progesteron yang kurang
endometrium lepas dengan interval yang irreguler dan menyebabkan
vasokonstriksi tidak adekuat dan menyebabkan perdarahan. Bila kadar
estrogen tinggi maka perubahan yang terjadi berlangsung lama dan dalam
jumlah banyak.
Estrogen withdrawal bleeding disebabkan kadar estrogen yang tiba-tiba
rendah misal setelah ooforektomi bilateral, penghentian terapi estrogen
eksogen atau sebelum ovulasi pada siklus menstruasi yang normal. Hal ini
biasanya dapat sembuh dengan sendirinya dan cenderung tidak timbul bila
kadar estrogen tetap rendah. Perdarahan yang terjadi relatif sedikit.
Progestin breakthrough bleeding timbul bila rasio progesteron/estrogen tinggi
seperti
pada
pemberian
kontrasepsi
yang
mengandung
progesteron.
Endometrium menjadi atrofi dan ulserasi oleh karena kekurangan estrogen dan
menyebabkan perdarahan irreguler.
Pada perdarahan uterus disfungsional ovulatorik perdarahan abnormal terjadi
pada siklus ovulatorik dimana dasarnya adalah ketidakseimbangan hormonal akibat
umur korpus luteum yang memendek atau memanjang, insufisiensi atau persistensi
korpus luteum. Perdarahan uterus disfungsional pada wanita dengan siklus
anovulatorik muncul sebagai perdarahan reguler dan siklik.
Sedang pada perdarahan uterus disfungsional anovulatorik
perdarahan
Perdarahan uterus disfungsional dikatakan akut jika jumlah per darahan pada
satu saat lebih dari 80 ml, terjadi satu kali atau berulang dan memerlukan tindakan
penghentian perdarahan segera. Sedangkan perdarahan uterus disfungsional kronis
jika perdarahan pada satu saat kurang dari 30 ml terjadi terus menerus atau tidak
tidak hilang dalam 2 siklus berurutan atau dalam 3 siklus tak berurutan, hari
perdarahan setiap siklusnya lebih dari 8 hari, tidak memerlukan tindakan penghentian
perdarahan segera, dan dapat terjadi sebagai kelanjutan perdarahan uterus
disfungsional akut.
PATOFISIOLOGI PUD
Berdasarkan gejala klinis perdarahan uterus disfungsional dibedakan dalam bentuk
akut dan kronis. Sedangkan secara kausal perdarahan uterus disfungsional dapat
terjadi pada siklus ovulatorik, anovulatorik maupun pada keadaan dengan folikel
persisten.
a. Pada siklus ovulatorik, perdarahan dapat dibedakan menjadi:
Perdarahan pada pertengahan siklus
- Perdarahan yang terjadi sedikit dan singkat
- Penyebabnya karena rendahnya kadar estrogen
Perdarahan akibat gangguan pelepasan endometrium
- Biasanya terjadi banyak, memanjang
- Penyebabnya adanya korpus luteum persisten, kadar estrogen rendah sedang
progesteron terus terbentuk.
Perdarahan bercak, pra haid dan pasca haid
-
b. Pada siklus anovulatorik, dasar perdarahan pada keadaan ini adalah tidak adanya
ovulasi karena tidak terbentuk korpus luteum yang disebabkan oleh defisiensi
progesteron dan kelebihan estrogen. Perdarahan yang terjadi dapat normal, sedikit
atau banyak dengan siklus yang teratur atau tidak teratur.
c. Perdarahan uterus disfungsional pada keadaan folikel persisten sering dijumpai
pada masa perimenopause dimana terjadi hiperplasi endometrium oleh karena
pengaruh estrogen baik jenis adenomatosa maupun atipik. Mula-mula haid biasa
kemudian terjadi perdarahan bercak yang selanjutnya dan diikuti perdarahan yang
makin banyak terus-menerus dan disertai gumpalan.
DIAGNOSA
Diagnosa PUD secara umum ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang. Hal yang pertama yang penting dilakukan adalah
menyingkirkan adanya kelainan - kelainan organic, sistemik, imunologi, keganasan dan
kehamilan.
1. Anamnesis
Riwayat penyakit perlu diketahui usia menarche. Siklus haid setelah menarche, lama
dan jumlah darah haid, serta latar belakang kehidupan keluarga dan latar belakang
kepribadian.
2. Pemeriksaan
a. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan ini ditujukan untuk menilai kemungkinan adanya sebab lain yang
dapat menimbulkan PUD. Perlu dinilai adanya hipo/hipertiroid dan gangguan
hemostasis seperti petekie.
b. Pemeriksaan ginekologik
Tujuan pemeriksaan ini adalah untuk menyingkirkan adanya kelainan organik
seperti perlukaan genitalia, erosi/radang atau polip serviks, mioma uteri, dll.
Pada wanita usia pubertas biasanya umumnya tidak diperlukan kerokan.
Pada wanita premenopause perlu dilakukan untuk memastikan ada tidaknya
keganasan.
c. Pemeriksaan penunjang
Kelainan organik yang kecil pada genitalia interna seringkali sulit dinilai apalagi
pada wanita yang belum menikah, penilaian yang dilakukan per rectal lebih sulit.
Untuk itu dianjurkan penggunaan alat bantu diagnostic, seperti :
1. Biopsy endometrium (pada wanita yang sudah menikah)
2. Laboratorium darah dan fungsi hemostasis
3. Ultrasonografi (USG)
4. Tera radioimunologik (TRI) atau radio imuno assay
D. Diagnosis anovulasi
Penetapan ada atau tidaknya ovulasi cukup berperan pada penentuan jenis
PUD
4
Anovulatory cycles
Unpredictable cycle length
Dysmenorrhea
Frequent spotting
Breast tenderness
Mittleschmertz
Biphasic temperature curve
Positive result from use of luteinizing
Hormone predictor hit
PENATALAKSANAAN
SECARA
UMUM
PERDARAHAN
UTERUS DISFUNGSIONAL
Penatalaksanaan perdarahan uterus disfungsional secara umum perlu memperhatikan
faktor-faktor berikut:
a. Umur, status pernikahan, fertilitas.
Hal ini dihubungkan dengan perbedaan penanganan pada tingkatan perimenars,
reproduksi dan perimenopause. Penanganan juga
seringkali berbeda
antara
penderita yang telah dan belum menikah atau yang tidak dan yang ingin anak.
b. Berat, jenis dan lama perdarahan.
Keadaan ini akan mempengaruhi keputusan pengambilan tindakan mendesak atau
tidak.
c. Kelainan dasar dan prognosisnya.
Pengobatan kausal dan tindakan yang lebih radikal sejak awal telah dipikirkan jika
dasar kelainan dan prognosis telah diketahui sejak dini.
Pada dasarnya tujuan penatalaksanaan perdarahan uterus disfungsional adalah:
1. Memperbaiki keadaan umum.
2. Menghentikan perdarahan.
3. Mengembalikan fungsi hormon reproduksi.
Yang meliputi: pengembalian siklus haid abnormal menjadi normal, pengubahan
siklus anovulatorik menjadi ovulatorik atau perbaikan suasana sehingga terpenuhi
persyaratan untuk pemicuan ovulasi.
diatasi
keadaan anemia ringan seringkali dapat diatasi dengan diberikan sediaan besi,
sedangkan anemia berat membutuhkan transfusi darah.
2. Penghentian perdarahan
Pemakaian hormon steroid seks.
a. Estrogen
Dipakai pada perdarahan uterus disfungsional untuk menghentikan perdarahan
karena memiliki berbagai khasiat yaitu:
1. Penyembuhan luka (healing effect)
2. Pembentukan mukopolisakarida pada dinding pembuluh darah
3. Vasokonstriksi, karena merangsang pembentukan prostaglandin
4. Meningkatkan pembentukan trombin dan fibrin serta menghambat proses
fibrinolisis.
b. Progestin
protease palsmin.
Enzim tersebut akan menghambat aktivasi palsminogen menjadi plasmin,
sehingga proses fibrinolisis akhirnya akan terhambat pula. Sediaan yang ada untuk
keperluan ini adalah asam amino kaproat (dosis yang diberikan adalah 4 x 1-1,5
gr/hari selama 4-7 hari).
Pengobatan operatif
Jenis pengobatan ini mencakup: dilatasi dan kuretase, ablasi laser dan
histerektomi.
Dilatasi dan kuretase merupakan tahap yang ringan dari jenis pengobatan
operatif pada perdarahan uterus disfungsional. Tujuan pokok dari kuretase pada
perdarahan uterus disfungsional adalah untuk diagnostik, terutama pada umur
diatas 35 tahun atau perimenopause. Hal ini berhubungan dengan meningkatnya
frekuensi keganasan pada usia tersebut. Tindakan ini dapat menghentikan
perdarahan karena menghilangkan daerah nekrotik pada endometrium. Ternyata
dengan cara tersebut perdarahan akut berhasil dihentikan pada 40-60% kasus.
Namun demikian tindakan kuretase pada perdarahan uterus disfungsional
masih diperdebatkan, karena yang diselesaikan hanyalah masalah pada organ
sasaran tanpa menghilangkan kausa. Oleh karena itu kemungkinan kambuhnya
cukup tinggi (30-40% sehingga acapkali diperlukan kuretase berulang. Beberapa
ahli bahkan tidak menganjurkan kuretase sebagai pilihan utama untuk
menghentikan perdarahan pada perdarahan uterus disfungsional, kecuali jika
pengobatan hormonal gagal menghentikan perdarahan.
Pada ablasi endometrium dengan laser ketiga lapisan endometrium
diablasikan dengan cara vaporasi neodymium YAG laser. Endometrium akan
hilang permanen, sehingga penderita akan mengalami henti haid yang permanen
pula. Cara ini dipilih untuk penderita yang punya kontrindikasi pembedahan dan
tampak cukup efektif sebagai pilihan lain dari histerektomi, tetapi bukan sebagai
pengganti histerektomi.
Tindakan histerektomi pada penderita perdarahan uterus disfungsional harus
memperhatikan usia dan paritas penderita. Pada penderita muda tindakan ini
merupakan pilihan terakhir. Sebaliknya pada penderita perimenopause atau
menopause, histerektomi harus dipertimbangkan bagi semua kasus perdarahan
yang menetap atau berulang. Selain itu histerektomi juga dilakukan untuk
perdarahan uterus disfungsional dengan gambaran histologis endometrium
hiperflasia atipik dan kegagalan pengobatan hormonal maupun dilatasi dan
kuretase.
8
PENGGUNAAN
PERDARAHAN
perdarahan
uterus
disfungsional
kronis
dengan
hormon
10
berulang. Berbeda
dengan perdarahan
daruratnya, maka perdarahan uterus disfungsional kronis ini seringkali kurang atau
tidak mendapat penanganan secara seksama. Padahal kalau dilihat dampaknya,
keadaan ini justru memerlukan penanganan yang cepat, tepat, terarah dan sungguhsungguh.
Semua perdarahan uterus abnormal yang terjadi semata-mata hanya karena
gangguan fungsional mekanisme kerja hipotalamus-hipofise-ovarium-endometrium,
bukan disebabkan oleh kelainan organik alat reproduksi disebut perdarahan uterus
disfungsional (PUD). Angka kejadian PUD cukup tinggi karena terjadi hampir pada
setiap wanita, dimana PUD sering terjadi pada usia perimenars dan perimenopause
(terkait dengan siklus anovulatorik) meskipun usia reproduksi pun tidak jarang terjadi
PUD.
Pada dasarnya penanganan perdarahan uterus disfungsional kronik ini bertujuan
memperbaiki keadaan umum, menghentikan perdarahan dan memulihkan fungsi
hormon reproduksi.
Pengobatan dilakukan sesuai dengan gejala klinis yang tampil. Progesteron
dipikirkan lebih sesuai untuk pengobatan perdarahan uterus disfungsional kronik
mengingat dasar patofisiologinya.
Progestin turunan progesterone alamiah tampak lebih menguntungkan daripada
progestin turunan testosteron.
Polimenorea pada perdarahan uterus disfungsional ovulatorik disebabkan oleh
fase proliferasi yang memendek atau fase sekresi yang memendek. Pada fase
proliferasi yang memendek diberikan estrogen pada hari ke 10-15 dengan dosis 0,30,6 mg/hari, sedangkan pada fase sekresi yang memendek diberikan progesterone hari
ke 17 sampai hari ke 26.
11
Daftar pustaka
1. Sarwono Prawirohardjo, Prof, dr, DSOG & Hanifa Wiknjosastro, Prof, dr, DSOG;
Ilmu Kandungan, YBP-SP, Edisi ke tiga, cetakan ke lima, FKUI, Jakarta; 1999
2. Hacker & Moore, Translation of Essentials of obstetrics and Gynecology, WB
Saunder company, Philadelphia; 1992
3. Kadarusman Y, Jacoeb TZ, Baziad A. Perdarahan uterus disfungsional kronis pada
masa reproduksi : Aspek patofisiologi dan pengobatan dengan progesterone.
Majalah Obstet Ginekol Indones 1993; 19:67-88.
4. Guide Obgyn, Jasran
5. http://www.obgin-ugm.com/?hal=articles_detail.php&no=343
6. http://www.obgin-ugm.com/?hal=articles_detail.php&no=291
7. http://www.dexa-medica.com/test/htdocs/dexamedica/article_files
12