Anda di halaman 1dari 5

Perdarahan Uterus Disfungsional

A. Definisi1
Perdarahan abdomen tanpa adanya lesi organik yang nyata di uterus disebut perdarahan
uuterus disfungsional (dysfunctional uterine bleeding). Kemungkinan penyebab
perdarahan uterus abnormal, disfungsional atau organik (berkaitan dengan lesi yang
jelas), sedikit banyak begantung pada usia pasien.
B. Etiologi2
Perdarahan rahim disfungsional yang terjadi selama umur reproduksi dapat diakibatkan
oleh berbagai penyebab misalnya :
1. Gagalnya efek umpan balik positif dari estrogen, pengubahan perifer yang abnormal
dari androgen menjadi estrogen, atau cacat endometrium yang dapat berada dalam
tingkat reseptor atau dalam sekresi atau pelepasan prostaglandin.
2. Bila tidak ada sekresi progesteron (anovulasi) dan dalam perangsangan yang terus
berlanjut, endometrium akan berproliferasi , sehingga mencapai tinggi yang abnormal.
Terdapat vaskularitas yang hebat dan pertumbuhan kelenjar yang tanpa dukungan
stroma. Endometrium akhirnya tumbuh melebihi perangsangan yang ditimbulkan oleh
estrogen dan perdarahan terjadi, dengan peluruhan endometrium secara tidak teratur.
3. Kelainan fungsi poros hipotalamus-hipofise-ovarium.
Usia terjadinya :
- Perimenars
(usia 8-16 tahun)
- Masa reproduksi
(usia 16-35 tahun)
- Perimenopouse
(usia 45-65 tahun)
C. Gejala Klinis3
Perdarahan ovulatoar
Perdarahan ini merupakan kurang lebih 10% dari perdarahan disfungsional dengan
siklus pendek (polimenorea) atau panjang (oligomenorea). Untuk menegakkan
diagnosis perdarahan ovulatoar, perlu dilakukan kerokan pada masa mendekati haid.
Jika karena perdarahan yang lama dan tidak teratur siklus haid tidak dikenali lagi, maka
kadang-kadang bentuk kurve suhu badan basal dapat menolong. Jika sudah dipastikan
bahwa perdarahan berasal dari endometrium tipe sekresi tanpa adanya sebab organik,
maka harus dipikirkan sebagai etiologiya :
1.
Korpus luteum persistens; dalam hal ini dijumpai perdarahan kadang-kadang
bersamaan dengan ovarium membesar. Sindrom ini harus dibedakan dari kehamilan
ektopik karena riwayat penyakit dan hasil pemeriksaan panggul sering menunjukkan
banyak persamaan antara keduanya. Korpus luteum persisten dapat pula menyebabkan
pelepasan endometrium tidak teratur (irregular shedding). Diagnosa irregular shedding
dibuat dengan kerokan yang tepat pada waktunya, yakni menurut Mc Lennon pada hari
ke-4 mulainya perdarahan. Pada waktu ini dijumpai endometrium dalam tipe sekresi
disamping tipe nonsekresi.
2.
Insufisiensi korpus luteum dapat menyebabkan premenstrual spotting, menoragia
atau polimenorea. Dasarnya ialah kurangnya produksi progesteron disebabkan oleh

gangguan LH releasing factor. Diagnosis dibuat, apabila hasil biopsi endometrial dalam
fase luteal tidak cocok dengan gambaran endometrium yang seharusnya didapat pada
hari siklus yang bersangkutan.
3.
Apopleksia uteri; pada wanita dengan hipertensi dapat terjadi pecahnya pembuluh
darah dalam uterus.
4.
Kelainan darah, seperti anemia, purpura trombositopenik dan gangguan dalam
mekanisme pembekuan darah.
Perdarahan anovulatoar
Stimulasi dengan estrogen menyebabkan tumbuhnya endometrium. Dengan
menurunnya kadar estrogen dibawah tingkat tertentu, timbul perdarahan yang kadangkadang bersifat siklis, kadang-kadang tidak teratur sama sekali. Fluktuasi kadar
estrogen ada sangkut-pautnya dengan jumlah folikel yang pada suatu waktu fungsional
aktif. Folikel-folikel ini mengeluarkan estrogen sebelum mengalami atresia, dan
kemudian diganti oleh folikel-folikel baru. Endometrium dibawah pengaruh estrogen
tumbuh terus, dan dari endometrium yang mula-mula proliferatif dapat terjadi
endometrium bersifat hiperplasia kistik. Jika gambaran itu dijumpai pada sediaan yang
diperoleh dengan kerokan, dapat diambil kesimpulan bahwa perdarahan bersifat
anovulatoar.
Walaupun perdarahan disfungsional dapat terjadi pada setiap waktu dalam
kehidupan menstrual seorang wanita, tapi paling sering pada masa pubertas dan masa
premenopause.
Bila pada masa pubertas kemungkinan keganasan kecil sekali dan ada harapan
bahwa lambat laun keadaan menjadi normal dan siklus haid menjadi ovulatoar, pada
seorang wanita dewasa terutama dalam masa premenopasue dengan perdarahan tidak
teratur mutlak diperlukan kerokan untuk menentukan ada tidaknya tumor ganas.
Perdarahan disfungsional dapat dijumpai pada penderita-penderita dengan penyakit
metabolik, penyakit endokrin, penyakit darah, penyakit umum yang menahun, tumortumor ovarium dan sebagainya. Disamping itu stress dan pemberian obat penenang juga
dapat menyebabkan perdarahan anovulatoar yang bisanya bersifat sementara.
D. Patofisiologi1
1. Kegagalan ovulasi
Siklus anovulatorik sangat sering terjadi di kedua ujung usia subur; pada setiap
disfungsi sumbu hipotalamus-hipofisis, adrenal, atau tiroid; pada lesi ovarium
fungsional yang menghasilkan esterogen berlebihan; pada sters fisik atau emosi yang
berat. Pada banyak kasus, penyebab kegagalan ovulasi tidak diketahui, tetapi apapun
sebabnya hal ini menyebabkan kelebihan estrogen relatif terhadap progesteron. Oleh
karena itu, endometrium mengalami fase proliferatif yang tidak diikuti oleh fase
sekretorik normal. Kelenjar endometrium mungkin mengalami perubahan kistik ringan
atau ditempat lain mungkin tampak kacau dengan stroma yang relatif sedikit, yang
memerlukan progesteron untuk mempertahankannya. Endometrium yang kurang

ditopang ini mengalami kolaps secara parsial, disertai ruptur arteri spiral dan
perdarahan.
2. Fase luteal tidak adekuat
korpus luteum mungkin gagal mengalami pematangan secara normal atau mengalami
tegresi secara prematur sehingga terjadi kekurangan relatif progesteron. Endometrium
dibawah kondisi ini mengalami perlambatan terbentuknya fase sekretorik yang
diharapkan saat biopsi.
3. Perdaran yang dipicu oleh kontrasepsi
Kontrasepsi oral model lama yang mengandung progestin dan esterogen sintetik
memicu berbagai respon endometrium, bergantung pada steroid yang digunakan dan
dosis. Respon yang lazim adalah kemunculan kelenjar dan stroma yang subur mirip
desidua dengan kelenjar inaktif nonsekretorik. Pil KB yang saat ini digunakan telah
memperbaiki ekurangan ini.
4. Gangguan endometrium, termasuk endometritis kronik, polop endometrium, dan
leiomioma submukosa.
E. Diagnosis2
Keluhan subyektif : Terjadi perdarahan pervaginam yang tidak normal
(lamanya, frekuensi dan jumlah) yang terjadi di dalam maupun di luar siklus haid.
Pemeriksaan fisik : Tidak ditemukan kehamilan (pembesaran uterus), kelainan
organ maupun kelainan hematologi (faktor pembekuan).
F. Pemeriksaan Penunjang2
a. Pemeriksaan hamatologi
b. Pemeriksaan hormon reproduksi :FSH, LH, Prolaktin, E2, dan progesteron,
prostaglandin F2.
c. Biopsi, dilatasi, kuret bila tidak ada kontraindikasi.
d. Pemeriksaan USG.
G. Penatalaksanaan pada Perdarahan Rahim Disfungsional2
Beberapa pasien mungkin memerlukan terapi penunjang berupa zat besi atau
transfusi darah. Pasien dengan pemeriksaan pelvis yang normal dan dengan
endometrium proliferatif yang dipastikan dengan biopsi endometrium terbaik diterapi
dengan terapi hormonal. Pasien yang tidak memberi respons terhadap terapi hormonal
secara cepat atau yang lebih tua daripada 35 tahunharus menjalani kuretase untuk
menyingkirkan karsinoma endometrium. Pasien yang gagal memberi respons terhdap
terapi hormonal dapat juga mengalami mioma submukosa atau polip endometrium
dan dapat membutuhkan histereskopi untuk diagnosis dan terapi.
Terapi hormonal mencakup progestin saja, kontrasepsi oral, atau terapi
progestin-estrogen yang berurutan. Kalau biopsi endometrium awal menunjukkan
endometrium yang proliferatif, terapi pilihannya adalah 5 mg medroksiprogesteron

asetat tiap hari, baik selam 13 hari yang berurutan yang dimulai pada hari ke 14 dari
siklus. Terapi ini akan mengubah endometrium proliferaktif menjadi jenis yang mirip
sekretorik dan mencegah berulangnya perdarahan. Terapi progesteron harus
dilanjutkan selama diperlukan. Kalau pasien ingin hamil, terapi pilihannya adalah
klomifen sitrat.
Kalau biopsi endometrium awal memperlihatkan endometrium sekretorik dan
perdarahan yang abnormal terus berlanjut atau berulang, cacat patologik di dalam
kavitas rahim harus dicurigai dan dilakukan histerosalpingografi atau histereskopi.
Terapi pada peristiwa perdarahan akut dapat dicapai dengan kontrasepsi oral saja atau
suatu kombinasiprogestin-estrogen yang berurutan. Kedua metode itu sama-sama
efektif dalam menghentikan perdarahan. Kalau kontrasepsi oral saja digunakan, 4
tablet sehari harus diberikan selama 7 hari. Biasanya perdarahan akan berhenti dalam
24 sampai 48 jam. Pasien harus diberitahu bahwa pada akhir terapi ini dapat terjadi
perdarahan vagina yang lebih berat daripada biasanya. Pasien harus dilanjutkan
dengan dosis harian kontrasepsi oral sebagaimana untuk kontrasepsi dan
dipertahankan sekurang-kurangnya selam 6 bulan.
H. Pengobatan2
Setelah menegakkan diagnosa dan setelah menyingkirkan berbagai
kemungkinan kelainan organ, teryata tidak ditemukan penyakit lainnya, maka langkah
selanjutnya adalah melakukan prinsip-prinsip pengobatan sebagai berikut:
a.
Menghentikan perdarahan.
b. Mengatur menstruasi agar kembali normal
c.
Transfusi jika kadar hemoglobin (Hb) kurang dari 8 gr%.
Menghentikan perdarahan.
Langkah-langkah upaya menghentikan perdarahan adalah sebagai berikut:
a.
Kuret (curettage)
Hanya untuk wanita yang sudah menikah. Tidak bagi gadis
b. Obat (medikamentosa)
1) Golongan estrogen.
Pada umumnya dipakai estrogen alamiah, misalnya: estradiol valerat (nama
generik) yang relatif menguntungkan karena tidak membebani kinerja liver dan tidak
menimbulkan gangguan pembekuan darah. Jenis lain, misalnya: etinil estradiol, tapi
obat ini dapat menimbulkan gangguan fungsi liver.
Dosis dan cara pemberian:
1) Estrogen konyugasi (estradiol valerat): 2,5 mg diminum selama 7-10 hari.
2) Benzoas estradiol: 20 mg disuntikkan intramuskuler. (melalui bokong)
3)
Jika perdarahannya banyak, dianjurkan nginap di RS (opname), dan diberikan
Estrogen konyugasi (estradiol valerat): 25 mg secara intravenus (suntikan lewat
selang infus) perlahan-lahan (10-15 menit), dapat diulang tiap 3-4 jam. Tidak boleh
lebih 4 kali sehari.
2) Obat Kombinasi

Obat golongan ini diberikan secara bertahap bila perdarahannya banyak, yakni 41
tablet selama 7-10 hari, kemudian dilanjutkan dengan dosis 11 tablet selama 3
hingga 6 siklus.
3) Golongan progesterone
Obat untuk jenis ini, antara lain:
a)
Medroksi progesteron asetat (MPA): 10-20 mg per hari, diminum selama 7-10
hari.
b) Norethisteron: 31 tablet, diminum selama 7-10 hari.
c.
Mengatur menstruasi agar kembali normal
Setelah perdarahan berhenti, langkah selanjutnya adalah pengobatan untuk mengatur
siklus menstruasi, misalnya dengan pemberian:
Golongan progesteron: 21 tablet diminum selama 10 hari. Minum obat dimulai pada
hari ke 14-15 menstruasi.
d. Transfusi jika kadar hemoglobin kurang dari 8 gr%.
Yang ini, mau tidak mau nginap di Rumah Sakit atau klinik,sekantong darah (250 cc)
diperkirakan dapat menaikkan kadar hemoglobin (Hb) 0,75 gr%. Ini berarti, jika kadar
Hb ingin dinaikkan menjadi 10 gr% maka kira-kira perlu sekitar 4 kantong darah.
Perkiraan hasil pengobatan (Prognosis)
Hasil pengobatan bergantung kepada proses perjalanan penyakit (patofisiologi)
a)
Penegakan diagnosa yang tepat dan regulasi hormonal secara dini dapat
memberikan angka kesembuhan hingga 90 %.
b)
Pada wanita muda, yang sebagian besar terjadi dalam siklus anovulasi, dapat
diobati dengan hasil baik, atau sukses.
1. Kumar V, Cotran RS, Robbins SL. Buku ajar patologi .7 nd ed, Vol. 2. Jakarta
: Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2007 : 772-3.
2. Manuaba, I.B.G. Kapita Selekta Penatalaksanaan Rutin Obstetri Ginekologi
dan Kb. Jakarta: EGC; 2001
3. Wiknjosastro, H. Ilmu Kandungan, Edisi 2. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka
Sarwono Prawirorahardj; 1999.

Anda mungkin juga menyukai