Anda di halaman 1dari 15

PERBAIKAN SIFAT GENOTIPE TANAMAN MELALUI FUSI

PROTOPLAS
Oleh : Endeh Masnenah
Abstrak

Perbaikan sifat genetik suatu tanaman dapat dilakukan secara konvensional misalnya
dengan persilangan seksual atau secara inkonvensional, salah satunya dengan cara fusi
protoplas. Pemuliaan tanaman secara konvensional melalui persilangan seksual adakalanya
tidak dapat diaplikasikan karena kendala genetik seperti adanya inkompatibilitas seksual
antara tetua yang akan dipersilangkan atau adanya sterilitas pada salah satu tetua. Kasus
tersebut sering terjadi pada persilangan tanaman berkerabat jauh seperti persilangan antar
species (interspesifik) atau antar genus (intergenerik). Padahal sifat sifat genetik penting
seperti ketahanan terhadap hama, penyakit, nematoda,cekaman biotik maupun abiotik, dan
karakter penting lainnya, banyak terdapat pada spesies liarnya, sehingga
memindahkan sifat sifat genetik penting tersebut

kita

untuk

harus melakukan persilangan

interspesifik atau bahkan intergenerik.


Aplikasi metode fusi protoplas atau hibridisasi somatik merupakan alternatif untuk
mengatasi masalah tersebut. Selain dapat mentransfer gen gen yang belum teridentifikasi,
fusi protoplas juga dapat memodifikasi dan memperbaiki sifat sifat yang diturunkan secara
poligenik . Fusi protoplas dapat memecahkan kendala genetik dalam sistem persilangan
secara seksual.
Fusi protoplas merupakan teknik penggabungan inti dan atau sitoplasma antara dua
genotipe yang berbeda secara in vitro untuk mendapatkan hibrida dengan sifat sifat yang
diinginkan.

Fusi protoplas, memberi peluang produksi hibrida

interspesifik maupun

intergenerik yang secara konvensional melalui persilangan seksual tidak bisa berlangsung.
Juga memberi peluang produksi galur heterozigot species sama, yang umumnya hanya bisa
dikembangkan melalui perbanyakan vegetatif,misalnya tanaman kentang dan tanaman
umbi lainnya.
Kata Kunci: Perbaikan sifat genotipe, Fusi Protoplas, Tanaman.

I. PENDAHULUAN
Pemuliaan tanaman secara konvensional telah menunjukkan kemajuan yang sangat
pesat untuk meningkatkan daya hasil tanaman. Akan tetapi, perbaikan sifat genetik
tanaman secara konvensional dengan cara persilangan seksual, adakalanya tidak dapat
diterapkan karena kendala genetik, seperti adanya inkompatibilitas seksual atau kondisi
fisiologis tanaman yang tidak memungkinkan terjadinya persilangan seperti

fertilitas

polen yang rendah atau tidak bisa menghasilkan bunga (bersifat steril) .
Kendala genetik ini sering terjadi pada persilangan antara tanaman tanaman yang
berkerabat jauh, misalnya persilangan antar spesies (interspecific) atau antar genus dalam
satu famili (intergeneric). Sementara itu, beberapa sifat seperti sifat ketahanan terhadap
hama, penyakit, nematoda, atau ketahanan terhadap cekaman abiotik, biasanya terdapat
pada tanaman liarnya, sehingga untuk memindahkan sifat sifat tersebut ke tanaman
budidaya kita harus melakukan persilangan interspesifik atau bahkan mungkin
intergenerik.
Sebagai contoh: dalam budidaya tanaman jahe, salah satu kendalanya adalah
kepekaan tanaman terhadap penyakit layu bakteri yang disebabkan oleh serangan bakteri
Ralstonia solanacearum, yang dapat menimbulkan kerugian hasil lebih dari 90 %. Upaya
yang paling efisien dalam mengatasi penyakit ini adalah dengan penggunaan varietas
resisten. Sementara itu, perakitan varietas resisten secara konvensional melalui cara
persilangan seksual terkendala oleh rendahnya fertilitas polen (kesuburan tepungsari) dan
adanya inkompatibilitas sendiri (self incompatibility). Oleh karena itu perlu diaplikasikan
metode inkonvensional misalnya dengan cara mutasi induksi, seleksi in vitro, produksi
tanaman haploid, penerapan metode transformasi genetik atau fusi protoplas sehingga
diperoleh variasi genetik baru sebagai bahan seleksi (Rostiana,O., 2006).
Penggunaan metode transformasi genetik merupakan

cara yang ideal untuk

mentransfer gen yang diinginkan secara efisien tanpa ada hambatan seksual dan kedekatan
taksonomi. Tetapi penggunaan metode transformasi hanya dapat dilakukan pada sifat sifat
genetik yang disandi oleh gen tunggal. Beberapa sifat yang disandi oleh banyak gen
(poligenik) yang terletak di satu atau

beberapa kromosom tanaman sulit untuk

diidentifikasi dan diisolasi, sehingga penggunaan metode transformasi menjadi sangat sulit
untuk diterapkan (Ramulu et al., 1995 dalam Purwito,1999); Millam et al., 1995).
Aplikasi metode fusi protoplas atau hibridisasi somatik dapat dijadikan alternatif
untuk mengatasi masalah tersebut. Selain dapat mentransfer gen gen yang belum

teridentifikasi, fusi protoplas juga dapat memodifikasi dan memperbaiki sifat sifat yang
diturunkan secara poligenik (Millam et al., 1995; Waara and Glimelius, 1995). Fusi
protoplas dimasa yang akan datang,menjadi tujuan utama manipulasi genetik, karena dapat
memecahkan hambatan genetik dalam sistem persilangan secara konvensional (Verma,N.,
et al.,2004).
Fusi protoplas merupakan teknik penggabungan inti dan atau sitoplasma dari
genotipe yang berbeda untuk meningkatkan keragaman genetik atau memperbaiki sifat
unggul tanaman yang diinginkan (Rostiana, O., 2006). Pada teknik fusi protoplas , dua
protoplas dengan genetik yang berbeda diisolasi dan difusikan dengan berbagai cara untuk
memperoleh protoplas hibrida. Fusi protoplas ini berguna untuk memproduksi hibrida
interspesifik atau bahkan intergenerik (Verma, N. et al.,2004).
Menurut Wattimena (1999), fusi protoplas dapat dilakukan dengan cara
menggabungkan seluruh genom dari dua jenis protoplas dari kultivar yang berlainan
(intraspecific), atau antar species dalam genus yang sama (interspecific) , atau fusi antar
genus dalam satu famili (intergeneric).
Fusi protoplas antar kultivar yang berlainan (intraspecific) bertujuan untuk
meresintesis genotipe tetraploid dari galur tanaman dihaploid yang telah terseleksi
sehingga tanaman tetraploid hasil fusi mempunyai tingkat heterozigositas yang tinggi.
Penggunaan fusi protoplas memungkinkan produksi hibrida dengan heterozigositas yang
tinggi hanya dalam sekali langkah sehinga sangat efisien, walaupun keberhasilannya
sangat ditentukan oleh genotipe (Waara and Glimelius, 1995; Purwito, 1999).
Fusi protoplas antar species dalam satu genus (interspecific) bertujuan
mendapatkan sifat sifat tertentu, misalnya ketahanan ( resistensi) terhadap hama dan
penyakit. Untuk mendapatkan sifat sifat ketahanan juga dapat dilakukan dengan cara fusi
protoplas antar genus (intergeneric) (Purwito,1999).
Fusi protoplas dari genotipe yang berbeda dapat menghasilkan hibrida somatik
dengan tiga kategori yaitu,1.hibrida simetris dimana kedua inti dari dua tetua tergabung
secara sempurna 2.hibrida asimetris, dimana hanya sebagian saja inti dari salah satu tetua
bergabung dengan inti tetua lainnya.3. Cybrid ,yi dimana

inti dari salah satu tetua

terakumulasi di dalam gabungan protoplas kedua tetua. Oleh karena itu, variasi
rekombinan sifat genetik di dalam tanaman hasil fusi akan sangat beragam dalam frekuensi
yang berbeda (Bhojwani and Razdan,1996 dalam Rostiana,O.,2006).
Fusi simetris dapat menghasilkan keragaman genetik yang tinggi yang berguna
dalam program pemuliaan tanaman, melalui beberapa kali silang balik (backcross),
dilanjutkan dengan seleksi, dapat dihasilkan kultivar baru (Mariska,I. et al., 2006).

Tanaman hasil fusi protoplas memiliki sifat sifat gabungan dari kedua tetuanya,,
termasuk sifat sifat yang

tidak diinginkan yang berasal dari species liar. Untuk

menghilangkan sifat sifat yang tidak diinginkan pada tanaman hasil fusi

biasanya

dilakukan dengan cara silang balik (backcross) dengan salah satu tetuanya.

II. PEMBAHASAN
Perbaikan sifat genotipe tanaman secara inkonvensional melalui kultur invitro
dapat dilakukan dengan beberapa cara, antara lain peningkatan keragaman somaklonal,
penyelamatan embrio, kultur haploid, atau fusi protoplas (hibridisasi somatik).
Penggunaan teknik fusi protoplas atau hibridisasi somatik merupakan salah satu
aplikasi bioteknologi yang menjanjikan. Teknik hibridisasi somatik dapat mentransfer sifat
monogenik dan poligenik antar galur atau antar species dan dapat mengatasi hambatan
inkompatibilitas seksual (Millam et al.,1996 ; Purwito,1999). Kendala genetik seperti
inkompatibilitas seksual atau fertilitas polen yang rendah atau sterilitas sering terjadi pada
persilangan antara genotipe genotipe tanaman yang berkerabat jauh, yang tidak dapat
diatasi dengan metode konvensional dengan persilangan seksual. Fusi protoplas dapat
digunakan untuk mengatasi hambatan dalam persilangan tersebut.
Penelitian fusi protoplas telah menghasilkan hibrida somatik yang menunjukkan
peningkatan pada potensi genetik tanaman. Beberapa
menghasilkan

keragaman genetik tanaman,

penelitian fusi protoplas telah

produktivitas tinggi , perbaikan sifat

ketahanan terhadap hama, penyakit, dan nematoda, serta perbaikan sifat-sifat kualitatif
seperti kandungan minyak tinggi (Mariska,I.et al, 2006).
Fusi protoplas untuk perbaikan sifat ketahanan terhadap penyakit, telah dilakukan
pada tanaman kentang (Solanum tuberosum L.). Pada tanaman kentang, sifat ketahanan
banyak terdapat pada spesies diploid, misalnya, Solanum phureja (resistensi PVY dan layu
bakteri), S.breviden (resisten terhadap PLRV), S.demissum (resisten terhadap phythophtora
infestan), S. etuberosum (resisten terhadap frost), S. pennellii (resisten terhadap
Alternaria), S.berthaultii (resisten terhadap serangga) dan S.balbocastanum (resisten
terhadap nematoda) (Purwito,1999).
Untuk mendapatkan sifat ketahanan, telah dilakukan fusi antar genus (inter
generic), seperti antara kentang dengan genus lain dalam Solanaceae, misalnya untuk
mendapatkan ketahanan terhadap penyakit hawar daun, layu bakteri dan ketahanan
terhadap kekeringan dilakukan fusi antara kentang (Solanum tuberosum) dengan species
liar Lycopersicon pimpinellifolium ;S. khasianum dengan S. aculestissima ; S. khasianum

dengan S. laciniatum); S. melongena dengan S. Aethopicum ; S.khasianum dengan S.


mammosum ; serta S.tuberosum BF15 dengan S.stenotomum (Purwito,1999).
Fusi protoplas untuk mendapatkan ketahanan terhadap penyakit juga dilakukan
pada tanaman terung. Pada budidaya tanaman terung (Solanum melongena), masalah yang
sering dihadapi antara lain adalah serangan penyakit layu bakteri yang disebabkan oleh
Ralstonia Solanacearum yang mengakibatkan kehilangan hasil 15-95% (Husni, A. et al,
2004). Penyakit ini memiliki kisaran inang yang luas, bukan hanya menyerang famili
Solanaceae , tetapi juga menjadi masalah serius dalam budidaya tanaman jahe dan
beberapa tanaman lainnya.
Pada tanaman terung sumber ketahanan (resistensi) terhadap penyakit layu bakteri
banyak ditemukan pada spesies liar antara lain pada takokak ( Solanum torvum) .
Pemindahan sifat ketahanan dari species liar ke dalam species terung budidaya secara
konvensional dengan persilangan seksual sering mengalami kegagalan akibat
inkompatibilitas atau dihasilkan hibrida yang steril . Salah satu cara untuk memindahkan
sifat genetik dari dua spesies yang berbeda tersebut adalah melalui fusi protoplas (Husni,
A. et al., 2004) .
Hibrida somatik tanaman terung yang dihasilkan dari fusi protoplas toleran
terhadap penyakit layu bakteri Ralstonia solanacearum, bahkan beberapa diantaranya lebih
tahan dibandingkan kerabat liarnya. Melalui silang balik (backcross) antara tanaman
dihaploid dengan terung dapat dihasilkan genotipe baru dengan morfologi, warna dan
struktur buah yang menyerupai tetua hibridanya (Mariska, I dan A. Husni., 2006). Dari
penelitian lain yang telah dilakukan, kultur protoplas dapat menghasilkan keragaman
yang tinggi baik dalam sifat sifat morfologi maupun resistensi terhadap phytophthora
infestans dan Alternaria solanii (Husni, A. et al., 2004) , juga telah diperoleh klon klon
yang tahan terhadap herbisida ( Evans and Sharp, 1986 dalam Husni, A. et al.,2004).
Walaupun penelitian fusi protoplas telah banyak dilakukan ,metode fusi protoplas yang
dapat berlaku umum pada genus Solanum belum ada, terutama antara S. melongena dan S.
torvum yang sering mengalami kegagalan dalam regenerasi membentuk hibrida baru
(Purwito, 1999).
Fusi protoplas untuk mendapatkan ketahanan terhadap nematoda telah dilakukan pada
tanaman nilam. Nilam (Pogostemon cablin) merupakan penghasil minyak atsiri yang
potensial untuk dikembangkan dan Indonesia merupakan pemasok utama di pasar dunia.
Tanaman nilam yang dibudidayakan di Indonesia bersifat steril atau tidak berbunga
sehingga sulit mendapatkan genotipe baru melalui persilangan seksual. Selain itu,
pengembangan nilam menghadapai masalah serangan nematoda pratylenchus brachyurus.

Sifat ketahanan terhadap nematoda tersebut terdapat pada nilam jawa (Girilaya) yang
produksi minyaknya rendah. Untuk mendapatkan sifat ketahanan tersebut maka dilakukan
fusi protoplas antara nilam jawa dan nilam aceh (budidaya) yang kadar minyaknya tinggi
(Mariska, I dan A. Husni, 2006).
Mekanisme ketahanan terhadap nematoda dapat terjadi secara fisik dan kimia. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa tanaman yang tahan terhadap nematoda mempunyai
kandungan fenol dan lignin yang lebih tinggi daripada tanaman yang rentan. Hal ini sesuai
dengan hasil penelitian pada pisang bahwa senyawa fenol dan lignin memiliki hubungan
yang sangat erat dengan ketahanan terhadap nematoda. Hasil fusi protoplas nilam Aceh
dan nilam jawa (girilaya) dapat meningkatkan kandungan fenol dan lignin pada beberapa
hibrida somatik seperti pada kerabat liarnya ( Mariska, I dan A. Husni 2006).
Dalam hal peningkatan keragaman genetik, fusi protoplas pada tanaman nilam
(Pogostemon,sp) menghasilkan keragaman genetik yang luas untuk karakter tinggi
tanaman, panjang cabang primer, jumlah dan panjang cabang sekunder, panjang dan lebar
daun, panjang tangkai daun, produksi terna basah dan kering ( Martono, B., 2009).
Menurut Bhojwani dan Razdan (1996) dalam Martono,B (2009) bahwa variasi
rekombinan karakter genetik di dalam tanaman hasil fusi akan sangat beragam dalam
frekuensi yang berbeda . Variasi (keragaman) hibrida somatik dapat merupakan hasil dari
satu atau ketiga mekanisme berikut:
1. Keragaman genetik akibat subkultur kalus yang dilakukan terus menerus yang
mengakibatkan suatu variasi somaklonal.
2. Ketidakstabilan dari kombinasi inti sel yang mengakibatkan hilangnya ekspresi
gen atau hilangnya bagian dari informasi genetik,
3. Terjadinya segregasi dari inti atau sitoplasma setelah fusi yang menghasilkan
kombinasi unik antara informasi genetik pada inti dan sitoplasma.
Beberapa penelitian tentang fusi protoplas lainnya misalnya pada tembakau, tomat,
timun, kacang panjang, slada, jamur,rumput laut,padi dan jahe. Pada tanaman padi telah
dilaporkan keberhasilan regenerasi tanaman hasil fusi protoplas interspesies antara padi
budidaya subspecies japonica dan beberapa spesies padi liar (Takamura et al.,1992;Yan et
al.,2004) dalam Sukmajaya et al.,2007).
Faktor faktor penting yang berpengaruh dalam hibridisasi somatik adalah sumber
protoplas yang dipergunakan, metode isolasi protoplas, jenis dan konsentrasi enzim yang
dipergunakan, parameter listrik pada saat fusi, dan media yang dipergunakan pada awal
kultur protoplas pasca fusi serta media regenerasi protoplas (Purwito, 1999).

A. Sumber protoplas
Jaringan tanaman yang digunakan untuk isolasi protoplas bervariasi, umumnya
jaringan muda dari tanaman yang mempunyai umur fisiologis muda seperti pucuk muda
(dari kecambah,bibit,plantlet). Protoplas dari jaringan tersebut dinding selnya masih
sederhana terdiri dari dinding sel primer (belum berlignin). Skema perlakuan untuk
mendapatkan protoplas dapat dilihat pada gambar 1.

Jaringan daun pada umur dan kondisi fisiologis optimal (tanaman muda)
ditumbuhkan dalam growth chamber pada lingkungan terkendali dan reproducible

Direndam dalam larutan ethanol 70 %(dalam waktu sangat singkat),sterilisasi


dengan 2.5% Na-hipokhlorida (15-30 menit)

Pencucian beberapa kali dengan air steril

Bahan jaringan dikeringkan diantara kertas tissue

Lapisan epidermis bawah dikupas dengan forsep untuk memudahkan penetrasi


Enzim atau bahan jaringan dipotong selebar 1-2 mm dan penetrasi enzim
dilakukan dalam vacuum

Dibuat suspense protoplas setelah inkubasi dengan enzim

Gambar 1. Teknik Perlakuan Jaringan untuk Mendapatkan Protoplas (Mantell et


al.,1985 dalam Soemartono et al.,1992)

B. Isolasi Protoplas
Protoplas adalah sel telanjang tanpa dinding yang hanya dilindungi oleh membrane
plasma. Menurut Suryowinoto (1996), isolasi protoplas yaitu teknik untuk menghasilkan
protoplas yang utuh dan viable dari jaringan tanaman hidup dengan cara menghilangkan
dinding selnya. Isolasi protoplas pertama kali dilakukan oleh Klercker, 1892 dari potongan
irisan umbi bawang yang terlebih dahulu diplasmolisa, kemudian dimasukkan kedalam

media cair sehingga banyak protoplas yang meluncur kedalam medium (Bhojwani dan
Razdan,1983 dalam Suryowinoto, M. 1990).
Prosedur penyediaan protoplas dilakukan dengan menghilangkan dinding sel tanaman
tanpa banyak merusak protoplas dalam lingkungan osmotik yang menstabilkan membrane
protoplas. Protoplas dapat dilepaskan dari sel utuh, secara mekanik yaitu melalui proses
plasmolisis untuk melepaskan protoplas dari dinding sel, atau dengan cara hidrolisis
dinding sel dengan menggunakan enzim. Cara mekanik, hanya menghasilkan sedikit
protoplas yang viable (Soemartono, et al., 1992).
Banyak modifikasi teknik mendapatkan protoplas

menggunakan macam

macam

enzim untuk menghancurkan dinding sel secara lunak. Beberapa enzim patent yang
digunakan

untuk memperoleh protoplas (Mantell et al,1985 dalam Soemartono, et

al.1992) sbb:1) Driselase (berasal dari Trichoderma viridis,kombinasi selulase +


pektinase); 2) Macerozyme (berasal dari Rhizopus spp, kombinase selulase + pektinase);3)
Pectolyase Y-23; 4) Onozuka R-10 ; 5) Meicelase; 6) Rhozyme; 7) Macerozyme R-10.
Enzim yang lebih banyak mengandung pektinase tanpa adanya garam,memberikan
protoplas lebih viable.
Protoplas dapat diisolasi dari hampir semua bagian tanaman seperti akar, daun, nodul ,
koleoptil, kultur kalus, dan daun invitro (Husni,A. et al., 2004). Pada isolasi protoplas
tanaman jeruk siam satsuma dan mandarin ternyata bahwa keberhasilan isolasi protoplas
sangat dipengaruhi oleh jenis, konsentrasi, dan kombinasi enzim yang digunakan
(Suryowinoto, 1990).
Demikian pula hasil penelitian Purwito (1999) ternyata bahwa pada isolasi protoplas
tanaman kentang, jenis dan konsentrasi enzim sangat menentukan banyaknya protoplas
yang dihasilkan, bahkan pada komposisi enzim yang sama menghasilkan protoplas dalam
jumlah yang berbeda akibat perbedaan genotipe tanaman. Umumnya tanaman yang
tumbuh vigor menghasilkan protoplas lebih banyak dibandingkan tanaman yang tumbuh
kurus (Purwito,1999).
Jenis dan konsentrasi enzim yang digunakan dalam isolasi protoplas sangat bervariasi,
paling tidak ada 15 jenis enzim yang dapat dipergunakan, yang biasa digunakan adalah
pektinase, pektolyase, macerozim dan selulase. Pektinase, pektolyase, dan macerozim
berfungsi untuk melarutkan dinding primitive antar sel yang tersusun oleh zat pektin
sehingga menjadi sel sel tunggal, sedangkan selulase berfungsi melarutkan sisa dinding sel
yang tersusun atas zat selulosa (Suryowinoto, 1990). Jenis enzim dan lamanya
penghancuran dinding sel menentukan viabilitas protoplas (Puite,K.J.,1991).

Gambar 2. Skema Teknik Mendapatkan Protoplas (Mantell et al., 1985 dalam


Soemartono, et al. 1992)
C. Fusi Protoplas
Fusi protoplas dapat terjadi secara spontan dan dapat dengan cara induksi (buatan).
Fusi induksi dapat dilakukan dengan dua cara :
1) Metode fusi dengan cara kimia. Protoplas dengan sifat osmotik sama dapat dipacu
untuk melakukan fusi dibawah pengaruh senyawa garam seperti NaNo3. Cara ini
dapat menghasilkan 25% fusi protoplas. Senyawa lain misalnya polyvinil
Alkohol(PVA);dekstran ; polyethylene glycol (PEG) dengan media fusi yang
mengandung Ca++ dan pH tinggi (8-10). Hasil fusi sangat bervariasi dari 1-100 %,
tergantung operator dan bahan yang digunakan. (Puite,K.J.,1991; Soemartono et
al.,1992; Purwito, 1999).
Metode fusi dengan cara kimia, umumnya menggunakan enzim polyethylene glycol
(PEG) yang telah diaplikasikan secara luas (Puite,K.J.,1991).

PEG berfungsi

sebagai bulking agent, yaitu sebagai jembatan antara protoplas yang mirip
fungsinya dengan plasmodesmata. Terjadinya fusi semakin besar pada saat proses
penghilangan PEG, yaitu pada saat pencucian. Keberhasilan fusi sangat dipengaruhi
oleh konsentrasi PEG dan jumlah kerapatan protoplas yang akan difusikan
(Puite,K.J.,1991; Purwito,1999). Keuntungan fusi protoplas dengan PEG antara lain
dapat dilakukan dengan peralatan sederhana.

Gambar 2.Hibridisasi Somatik antara Dua Species Tanama cara Elektrofusi


(Puite,K.J.,1991)
2) Metode fusi dengan cara elektrofusi , dilakukan dengan menggunakan aliran listrik
pada alat yang dilengkapi dengan generator AC dan DC. Generator AC berfungsi
untuk membuat protoplas berjajar, membentuk rantai lurus, selanjutnya pulsa DC
pada tegangan tertentu dapat menginduksi terjadinya fusi kru pulsa DC dapat
membuat celah yang dapat balik, sehingga protoplas dapat berfusi (Puite,K.J.,1991;
Purwito,1999).
D. Kultur protoplas dan Regenerasi Tunas
Keberhasilan kultur protoplas dan regenerasinya ditentukan oleh beberapa faktor,
seperti genotipe dan jaringan yang digunakan, fisiologi jaringan, jenis dan konsentrasi
enzim, masa inkubasi, media kultur, zat pengatur tumbuh, dan kondisi inkubasi (Bradsan
and Mackey, 1994 dalam Sukmadjaya, et al, 2007). Tidak ada metode baku dalam isolasi
dan kultur protoplas, karena setiap individu sel atau jaringan yang akan digunakan sebagai
sumber protoplas kemungkinan akan memerlukan kondisi yang khusus (Sukmadjaya et al.
2007).
Menurut Purwito (1999) bahwa keberhasilan produksi hibrida somatik sangat
ditentukan oleh keberhasilan dalam proses kultur protoplas dan regenerasinya menjadi
tanaman dari tetua- tetuanya. Oleh karena itu perlu diketahui metode kultur protoplas, baik
mengenai sumber protoplas yang dipergunakan, jenis dan konsentrasi enzim untuk isolasi,
komposisi medium penaburan protoplas dan medium regenerasi mikrokalus menjadi
tanaman pada masing masing tetua yang dipakai.

Untuk mengidentifikasi dan mengkarakterisasi adanya hibrida somatik dapat dilakukan


dengan beberapa cara, antara lain secara visual,melihat kejaguran hibrida dari mikrokalus
yang dihasilkan, menggunakan marka biokimia seperti mutan defisiensi nitrat reduktase,
penghitungan kromosom dan analisis ploidi dengan flow cytometry, menggunakan teknik
RFLP, teknik RAPD,dan melihat morfologi tanaman di laboratorium dan di lapangan.
Identifikasi tersebut diperlukan untuk mendapatkan validitas dalam penentuan hibrida
somatik (Purwito,1999).

E. Prosedur Fusi Protoplas


Contoh Fusi Protoplas antara Solanum melongena (terung) dan Solanum torvum
(takokak) (Husni et al., 2004) sbb:
1). Persiapan eksplan (Sumber Protoplas)
Eksplan yang digunakan adalah S.melongena dan S. torvum .Benih dari kedua
species tersebut disterilkan dalam alkohol 70 %, kemudian dalam 0,05% HgCl2, dan 30 %
clorox masing masing selama 3 menit. Setelah itu benih dicuci dengan aquades. Benih
yang telah disterilisasi dikecambahkan dalam media MS + 20 g/l sukrosa dan 7 g/l agar.
Media tersebut disterilkan dalam autoklaf dengan suhu 121 oC selama 20 menit. Setelah
berkecambah, benih disubkultur pada media baru dan diinkubasi pada suhu 25-27 oC,
dengan penyinaran 1000 lux selama 12 jam setiap hari. Satu bulan setelah pengkulturan
daunnya digunakan sebagai sumber protoplas (Husni,A. et al.,2004).

2). Persiapan Larutan Enzim


Enzim yang digunakan adalah enzim Sellulase Onozuka RS 0,5 % (ml/l); 0,5 %
(M/v) macerozyme

R-10 (Yakult honssa Co.);0,05% (M/v) MES dan 9,1 % (M/v)

manitol. Senyawa tersebut dilarutkan dalam CPW dan pH diatur 5,5 5,6, dan disterilisasi
dengan filter ukuran 0,22 m. Larutan tersebut kemudian dimasukkan kedalam cawan petri
berdiameter 5 cm, masing masing 5-6 ml setiap cawan (Husni,A. et al.,2004).

3). Isolasi Protoplas


Permukaan bagian bawah daun S.melongena dan S.torvum digores dengan pisau
secara merata dengan jarak antar irisan 2-3 cm. Daun yang telah diiris ditempatkan dalam
cawan petri yang berisi larutan enzim, kemudian diinkubasi dalam kamar gelap pada suhu
27oC selama 16 jam. Untuk membantu melepaskan protoplas, cawan petri digoyang selama
30 detik sehingga diperoleh larutan protoplas.

Larutan protoplas S.melongena

dan S.torvum disaring dengan metalic sieve

berukuran 100m, kemudian disentrifugasi dengan kecepatan 1800 rpm selama 5 menit
sampai dihasilkan pelet. Kemudian larutan enzim dipisahkan dan protoplas dilarutkan
dalam 21 % sukrosa dan disentrifugasi kembali selama 10 menit. Protoplas murni diambil
menggunakan pipet dan disentrifugasi kembali. Kemudian protoplas dilarutkan dalam 0,5
M manitol + 0,5 mM CaCl2 dan disentrifugasi selama 5 menit sampai terbentuk pelet
protoplas. Akhirnya protoplas dicuci dan densitas nya diukur (Husni,A. et al.,2004).

4). Fusi Protoplas


Protoplas S.melongena dan S torvum yang telah dimurnikan seperti tersebut diatas
masing masing diencerkan dengan larutan pencuci sehingga densitasnya menjadi
+ 5 x 104 protoplas /ml. Kemudian suspensi protoplas dicampur dalam tabung reaksi
dengan

perbandingan volume yang sama dan diresuspensi sampai homogen. Setelah

homogen suspensi protoplas

diambil dengan pipet sebanyak 600-800 l kemudian

dimasukkan kedalam cawan petri berdiameter 5 cm dan dibiarkan selama 5 menit sehingga
protoplas mengendap. Selanjutnya di sekeliling suspensi protoplas ditambahkan 100 l
larutan PEG dengan konsentrasi 30 % atau 50 % sebagai perlakuan selama 10 dan 20 detik
untuk menginduksi terjadinya fusi. Larutan PEG kemudian dibuang dan protoplas
dibersihkan dengan larutan pencuci. Selanjutnya dilakukan penghitungan secara
mikroskopis terhadap protoplas yang mengalami fusi. Protoplas yang telah difusikan
dikultur dalam media perlakuan untuk memacu pertumbuhannya (Husni,A. et al.,2004).

5). Kultur Protoplas Hasil Fusi


Media yang digunakan adalah media dasar KM8P dan VKM, masing masing
diperkaya dengan 0,2 mg/l 2,4-D + 0,5 mg/l zeatin + 0,1 mg/l NAA dengan pH 5,8.Media
tersebut disterilisasi dengan filter ukuran 0,22 m. Masing masing medium dipipet dan
dimasukkan ke dalam cawan petri yang berisi protoplas yang telah difusi,masing masing 6
ml setiap cawan. Kultur dipelihara dalam ruangan tanpa atau dengan penyinaran 1000 lux
pada suhu 27 oC sampai terbentuk koloni sel atau mikrokalus. Pengamatan dilakukan
terhadap jumlah koloni sel dan mikrokalus yang dihasilkan (Husni,A. et al.,2004).

6). Pengenceran Suspensi (Koloni ) Sel


Untuk mendorong mikrokalus membentuk kalus, suspense sel diencerkan dengan
media dasar yang sama (KM8P dan VKM), tetapi ZPT nya diganti dengan 0.1 mg/l 2,4-D

+ 2mg/l BAP. Koloni atau mikrokalus dari setiap cawan petri dibagi menjadi tiga, dan
setiap bagian dimasukkan ke dalam cawan petri baru yang telah berisi media pengenceran
masing masing 6 ml. Kultur disimpan kembali tanpa cahaya dalam inkubator bersuhu
27 oC..Lalu diamati jumlah kalus yang dihasilkan (Husni,A. et al.,2004).

7). Regenerasi Tunas


Kalus yang dihasilkan dari setiap perlakuan dipindahkan ke dalam media padat MS
+ vitamin Morell + 0,1 mg/l IAA dan konsentrasi zeatin sebagai perlakuan (2,4 dan 6
mg/l).Kemudian diamati keberhasilan regenerasi kalus membentuk tunas. Tunas yang
dihasilkan dipindahkan ke media dasar yang sama ,yaitu MS + vitamin Morell(padat) tanpa
menggunakan zpt untuk induksi akar (Husni,A. et al.,2004).

III.PENUTUP
Keberhasilan dalam pengendalian protoplas melangsungkan fusi non spesifik memberi
peluang bagi pembentukan sel hibrida dari dua species, yang secara konvensional melalui
persilangan seksual tidak mungkin dilakukan karena keterbatasan kendala genetik seperti
inkompatibilitas atau sterilitas. Beberapa potensi keuntungan pemuliaan tanaman melalui
hibridisasi somatik (fusi protoplas)(Soemartono,et al.,1992) antara lain :
1. Produksi hibrida interspesies atau intergenus yang secara konvensional tidak
mungkin dapat berlangsung, misalnya antar protoplas dari
Lycopersicon esculentum (tomato) x Solanum tuberosum (potato)

Pomato
2. Produksi galur heterozigot species sama, yang umumnya hanya bisa dikembangkan
melalui perbanyakan vegetatif,misalnya tanaman kentang dan tanaman umbi
lainnya.
3. Transfer terbatas genom dari satu species ke species lain melalui pembentukan
heterokarion dan pemilihan unsur unsur sitoplasmik salah satu species.
4. Produksi hibrid amfidiploid yang fertil dari dua species yang inkompatibel.

DAFTAR PUSTAKA

Husni,A.,I.Mariska, dan Hobir. 2004. Fusi Protoplas dan Regenerasi Hasil Fusi Antara
Solanum melongena dan Solanum Torvum. Jurnal Bioteknologi Pertanian 9(1): 1-7.
Mariska,I., dan A.Husni. 2006. Perbaikan Sifat Genotipe Melalui Fusi Protoplas Pada
Tanaman Lada,Nilam, dan Terung. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian
25(2): 55 60.
Martono,B. 2009. Keragaman Genetik, Heritabilitas dan Korelasi antara Karakter
Kuantitatif Nilam (Pogostemon sp.) Hasil Fusi Protoplas. Jurnal Penelitian Tanaman
Industri 15(1) :9 15.
Millam,S.,L.A.Payne, and G.R.Mackay. 1995. The Integration of Protoplast Fusionderived Material into a Potato Breeding Programme: a review of progress and
problem. Euphytica 85: 451 455.
Puite, K.J. 1991. Somatic Hybridisation in Biotechnological Innovations in Crop
Improvement. Open Universiteit and Thames Polytechnic. Nederland.
Purwito,A. 1999. Fusi Protoplas Intra dan Interspesies pada Tanaman Kentang. Disertasi
Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Rostiana,O.,2006. Peluang Pengembangan Bahan Tanaman Jahe Unggul Untuk
Penanggulangan Penyakit Layu Bakteri. Balai Penelitian Tanaman Obat dan
Aromatik.Hal 77-98.
Soemartono,Nasrullah & Hari Hartiko.1992. Genetika Kuantitatif dan Bioteknologi
Tanaman. PAU Bioteknologi. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.Hal 277-296.
Sukmadjaya, D.,Novianti Sunarlim,Endang G.Lestari, Ika Roostika, dan Tintin Suhartini.
2007. Teknik Isolasi dan Kultur Protoplas Tanaman Padi. Jurnal AgroBiogen
3(2):60-65.
Suryowinoto,M.1990. Pemuliaan Tanaman secara In vitro. Petunjuk Laboratorium.
PAU.Biotek.Universitas Gadjah Mada,Yogyakarta.321 hlm
Suryowinoto,M.1996. Prospek Kultur Jaringan dalam Perkembangan Pertanian Modern.
Universitas Gadjah Mada.Yogyakarta. 2-18.
Verma,N.,M.C.Bansal, Vivek Kumar.2004. Protoplast Fusion Technology and its Bio
technological Applications.Departement of Paper Technology, Indian Institute of
Technology, Roorkee,Saharanpur.
Waara,S. and K.Glimelius. 1995. The Potential of Somatic Hybridization in Crop
Breeding. Euphytica 85:217-233.
Wattimena,G.A. 1999. Application of Biotechnology in Horticultural Crops Production. In
Proceeding of Seminar on Biotechnology: Application of Biotechnology in
Horticultural Production. Bogor Agricultural University-DFID British Council,Bogor,
14 April 1999.

Anda mungkin juga menyukai