Nasionalisasi PT Freeport Indonesia
Nasionalisasi PT Freeport Indonesia
PENDAHULUAN
Baru-baru ini pemerintah mengeluarkan PP No. 24 Tahun 2012 tentang Perubahan atas
PP No. 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan
Batu Bara. Salah satu masalah krusial yang diatur dalam PP tersebut adalah masalah
kepemilikan saham perusahaan pertambangan yang beroperasi di Indonesia. PP ini
mengatur bahwa setiap perusahaan asing yang beroperasi di Indonesia, wajib
mendivestasikan sahamnya secara bertahap, sehingga pada tahun kesepuluh sejak
berproduksi, 51 persen sahamnya dimiliki oleh peserta Indonesia. Peserta Indonesia yang
dimaksud di sini, terdiri dari pemerintah pusat, pemerintah provinsi/kabupaten/kota,
BUMN, BUMD dan badan usaha swasta nasional.
Dalam sejarah kebijakan pertambangan, PP tersebut merupakan sesuatu yang baru karena
mencoba meningkatkan proporsi kepemilikan negara atas saham-saham perusahaan
pertambangan asing yang ada di Indonesia. Namun, sayangnya PP itu tidak berlaku surut
sehingga tidak mengikat badan usaha pertambangan yang telah menadatangani kontrak
karya, sebelum PP ini dikeluarkan, termasuk PT Freeport Indonesia. Artinya, PT Freeport
Indonesia mempunyai dasar pijakan yang kuat untuk tidak mematuhi aturan itu. Di sisi
lain, pemerintah juga berada pada posisi yang lemah karena tidak memiliki kewenangan
untuk bertindak koersif kepada PT Freeport Indonesia dalam mengimplementasikan
kebijakan tersebut.
Dalam perkembangan selanjutnya, PT Freeport Indonesia secara terang-terangan menolak
mengikuti kebijakan itu karena mereka tetap berpegang teguh pada kontrak karya yang
sudah 2 kali ditandatangani dengan pemerintah Indonesia, yaitu tahun 1967 dan 1991.
Bahkan, Presiden Direktur PT Freeport Indonesia, Rozik B. Soetjipto dengan pongah
mengatakan bahwa PT Freeport Indonesia kebal secara hukum terhadap PP tersebut
karena sesuai dengan kontrak karya, PT Freeport Indonesia hanya diwajibkan
mendivestasi kepemilikan sahamnya maksimal 20 persen tanpa adanya batas waktu
(Meteor Jogja, 13 Maret 2010).
kepemilikan perusahaan itu. Untuk membersihkan sungai, kita harus memulai dari
hulunya karena mustahil sungai bisa terbebas dari kontaminasi jika hulunya tidak
dibersihkan terlebih dahulu. Merenegosiasi kontrak karya bukan langkah strategis karena
ekses yang timbul dari kontrak karya hanya dampak berantai (multiplier effects) yang
ditimbulkan oleh masalah kepemilikan perusahaan, yang sebagian besar sahamnya
dikuasai oleh pihak asing. Oleh karena itu, seharusnya fokus permasalahan bisa diperluas,
yaitu dengan mengambil-alih kepemilikan atau menasionalisasi perusahaan tambang
asing yang ada di Indonesia. Nasionalisasi penting dalam rangka menegakkan supermasi
atas kepemilikan sumber daya alam strategis, sebagaimana yang diamanatkan oleh
konstitusi. Akhirnya, kita tidak bicara lagi masalah parsial tetapi bergerak menuju ke arah
nasionalisme ekonomi bangsa yang berdaulat.
Dalam tulisan ini PT Freeport Indonesia digunakan sebagai sasaran tembak untuk
dinasionaliasi dengan alasan sebagai berikut; pertama emas dan tembaga yang
dieksploitasi oleh PT Freeport Indonesia adalah komoditas strategis (strategic
commodities) dan memiliki nilai jual yang tinggi di pasar internasional. Kedua, secara
matematika-ekonomi, royalti yang diterima oleh pemerintah atas eksploitasi emas dan
tembaga yang dilakukan oleh PT Freeport Indonesia sangat tidak logis, karena selama ini
pemerintah hanya mendapatkan keuntungan 1 persen dari total laba bersih yang diterima
oleh PT Freeport Indonesia. Ketiga, berbagai persoalan lingkungan, pelanggaran hukum
dan HAM, serta konflik sosial yang membelit PT Freeport Indonesia di Mimika Papua.
Penjelasan mengenai hal ini akan diuraikan lebih lanjut pada bagian berikutnya.
Sebelumnya, perlu didiskusikan mengenai potret kebijakan pertambangan Indonesia dari
dulu hingga sekarang, guna mendapatkan gambaran tentang dimensi ekonomi politik
kebijakan pertambangan di Indonesia.
UU No. 11 Tahun 1967 keluar setelah Indonesia mengalami peralihan tampuk kekuasaan
dari Soekarno ke Soeharto. Dulu Bung Karno sangat anti asing sehingga beliau tidak mau
membuat UU yang memberikan kesempatan kepada pihak asing untuk menjarah sumber
daya alam Indonesia. Namun, penguasa selanjutnya sangat bertolak-belakang dengan
Bung Karno. Setelah kekuasaan berpindah tangan, Soeharto segera mengundang investor
asing untuk menanamkan modalnya di Indonesia, termasuk di sektor pertambangan.
Pemerintahan Orde Baru mengeluarkan UU No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal
Asing sebagai pintu masuk bagi perusahaan asing. Selanjutnya, di bidang pertambangan,
untuk memberikan jaminan bagi bekerjanya modal asing, rezim Orde Baru mengeluarkan
UU No. 11 Tahun 1967. Atas dasar UU inilah, pemerintah kemudian menandatangani
kontrak karya dengan PT Freeport Indonesia pada tahun 1967 dan 1991.
UU 11 Tahun 1967 adalah UU pertambangan yang sangat liberal dan akomodatif terhadap
kepentingan kapitalis asing. Hal ini terjadi karena UU itu dibuat dalam suasana ketika
pemerintah sedang giat-giatnya melakukan percepatan pembangunan, melalui modal
asing. UU ini sangat liberal karena memberikan kekuasaan yang sangat besar kepada
pemerintah untuk mengambil tanah rakyat atas nama konsesi pertambangan. Selain itu,
pemerintah juga dapat menggusur pertambangan rakyat yang telah lebih dulu ada, atas
nama kepentingan negara. UU ini juga tidak mengatur masalah reklamasi wilayah bekas
tambang, sehingga perusahaan tidak merasa bertanggung-jawab sepenuhnya dalam
menyelenggarakan reklamasi. Akibatnya, kerusakan lingkungan harus ditanggung oleh
masyarakat sekitar, contohnya pertambangan timah di Bangka Belitung oleh PN Timah
dan pertambangan emas oleh PT Newmont di Tondano.
Selang 42 tahun kemudian, UU No. 11 Tahun 1967 direvisi menjadi UU No. 4 Tahun 2009.
UU No. 4 Tahun 2009 hadir dengan wajah baru, yaitu menggunakan rezim perizinan,
bukan rezim kontrak karya sebagaimana yang digunakan dalam UU No. 11 Tahun 1967.
Menurut Menteri ESDM Purnomo Yusgiantoro, dalam UU yang baru, posisi pemerintah
tidak lagi setara dengan kontraktor. Sebagai public entity, pemerintah adalah a regulator
bukan a player (www.hukumonline.com). Inilah yang menjadi semangat dalam UU ini
sehingga tidak ada lagi kontrak karya, tetapi diganti dengan Izin Usaha Pertambangan
(IUP). Namun, UU ini terlalu pragmatis karena tidak menjelaskan status kontrak karya
yang sudah ditandatangani sebelum UU ini diberlakukan. Oleh karena itu, PP No. 24 Tahun
2012, sebagai derivasi dari UU No. 4 Tahun 2009 tidak bisa mengikat perusahaan-
persen itu termasuk (include) saham yang dimilikinya atas kepemilikan bersama PT
Indocopper Investama. Sisanya, hanya sebesar 9,36 persen saham PT Freeport Indonesia
yang dikuasai oleh pemerintah Indonesia.5 Selain di Indonesia, dari Annual Report PT
Freeport McMoran (2010) dapat diketahui bahwa mereka juga beroperasi di Arizona dan
New Mexico (Amerika); Cerro Verde (Peru); Candelaria, Ojos del Salado dan El Abra
(Chile); dan Katanga (Kongo). Dari hasil industri keruknya ini, PT Freeport McMoran
memperoleh dividen yang luar biasa besar. Dari produksi emas dan tembaga Erstberg dan
Grastber di Papua, Batubara mengungkapkan bahwa berdasarkan data yang dikeluarkan
oleh Investor Daily, PT Freeport McMoran mengaku mendapat keuntungan sebesar 60
persen dari hasil operasi tambangnya di Indonesia. Jumlah itu sepadan dengan 700 ribu
ton material yang dibongkar untuk menghasilkan 225 ribu ton bijih emas setiap hari.
Jumlah ini bisa disamakan dengan 70 ribu truk kapasitas angkut 10 ton berjejer sepanjang
700 km dari Jakarta ke Surabaya (www.eramuslim.com).
Jenis bahan galian yang dikeruk oleh PT Freeport Indonesia dari perut bumi Indonesia
tidak hanya emas, tetapi juga konsentrat Cu, tembaga dan perak. Dari data yang
dikeluarkan oleh Asosiasi Pertambangan Indonesia (Indonesian Mining Association), sejak
tahun 1998-2002 terlihat bahwa jumlah bahan tambang yang dieksploitasi fluktuatif.
Fluktuasi yang sangat tajam terjadi pada eksploitasi emas. Pada tahun 1998, emas yang
diambil 91.045 kg dan tahun 1999 naik menjadi 92.235 kg. Namun, tahun 2000
mengalami penurunan sehingga menjadi 77.121 kg, kemudian naik dratis di tahun 2001
menjadi 103.308 kg, hingga turun lagi menjadi 77.821 di tahun 2002. Situasi ini bisa
dimengerti karena harga emas di pasar internasional tidak selalu stabil, sehingga
perusahaan harus jeli mempertimbangkan faktor biaya produksi (cost of production).
Tabel 2. Produksi Mineral dan Logam Dasar PT Freeport Indonesia
Komoditi (Unit)
1998
1999
2000
2001
Konsentrat Cu (Dmt)
2.640.040
2.605.180
2.522.670
2.209.640
Tembaga (Ton)
809.077
766.027
776.048
690.347
Emas (Kg)
91.045
92.235
77.121
103.308
Perak (Kg)
163.324
141.744
136.931
150.161
Sumber: Diolah dari Asosiasi Pertambangan Indonesia (www.ima-api.com)
2002
2.283.220
694.098
77.821
141.566
Jumlah
12.260.750
3.735.597
441.530
733.726
Manfaat ekonomi tersebut diberikan dalam bentuk royalti, pajak, dividen, retribusi dan
dukungan lainnya. PT Freeport Indonesia mencatat bahwa selama tahun 2008, mereka
memberikan manfaat langsung mencapai US$ 1,2 miliar. PT Freeport Indonesia juga
memberikan manfaat berupa pembangunan infrastruktur penunjang di Mimika, seperti
pembangkit listrik, pelabuhan, jalan, bandara, jembatan dan lain-lain (www.ptfi.com).
Argumentasi yang diberikan oleh PT Freeport Indonesia hanya justifikasi untuk
meyakinkan kita bahwa mereka banyak berkontribusi untuk republik ini. Namun, perlu
dicatat bahwa sebagai sebuah badan usaha yang melakukan aktivitas eksploitasi
pertambangan di suatu negara, maka sudah sepantasnya PT Freeport Indonesia
membayar royalti, pajak, dividen dan retribusi. Meskipun demikian, perlu diketahui
bahwa royalti yang diterima oleh pemerintah Indonesia sangat timpang dengan
penghasilan yang dinikmati oleh PT Freeport Indonesia. Sesuai dengan kontrak karya yang
sudah ditandatangai pada tahun 1967 dan 1991, pemerintah Indonesia hanya
mendapatkan royalti sebesar 1 persen. Menurut Kurtubi royalti yang diperoleh oleh
pemerintah Indonesia sangat tidak rasional karena jumlahnya sangat kecil dan terpaku
mati di angka 1 persen. Sementara harga emas di pasar internasional selalu mengalami
kenaikan, tetapi persentase royaltinya tetap 1 persen (www.ekonomi.kompasiana.com).
Dari sisi kewajiban membayar pajak, dividen dan retribusi, itu memang sudah menjadi
kewajiban PT Freeport Indonesia. PT Freeport Indonesia adalah badan usaha yang
merupakan subjek pajak, sehingga mereka harus memenuhi kewajibannya untuk
membayar pajak. Dengan demikian, PT Freeport Indonesia tidak bisa menggunakan logika
itu sebagai pembelaan karena toko kelontong sekalipun juga dibebani pajak dan retribusi
oleh negara. Tidak bisa dipungkiri bahwa PT Freeport Indonesia adalah pembayar pajak
dan retribusi terbesar di Indonesia. Namun, kontribusi PT Freeport Indonesia tidak
signifikan terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia karena kontribusi yang
diberikan oleh PT Freeport Indonesia terhadap PDB Indonesia, pada tahun 2008 hanya 1,3
persen.6
Khusus untuk Kabupaten Mimika dan Provinsi Papua, harus diakui bahwa PT Freeport
Indonesia berkontribusi sangat besar pada PDB kedua daerah itu. Pada tahun 2008,
kontribusi PT Freeport Indonesia terhadap PDB Kabupaten Mimika dan Provinsi Papua,
Angka 1,3 persen adalah data resmi yang dikeluarkan oleh PT Freeport Indonesia dalam situs
www.ptfi.com.
6
Dari pemaparan di atas, dapat dipahami bahwa keberadaan PT Freeport Indonesia tidak
memberikan dampak positif terhadap perekomian Indonesia. Kemudian, pertanyaan yang
harus diajukan adalah; apa yang harus kita lakukan (what next)? Dalam konteks ini,
renegosiasi kontrak karya tidak relevan karena tidak memberikan kemajuan yang
progresif, sehingga ide tentang renegosiasi kontrak karya harus disingkirkan jauh-jauh.
Indikasinya jelas karena perdebatan masalah renegosiasi kontrak karya hanya berkutat
pada masalah bagaimana menaikkan persentase pembagian royalti. Kenaikan royalti yang
diusulkan pemerintah itu pun tidak memberikan dampak ekonomi yang positif, karena
kenaikan yang diusulkan hanya berkisar di angka 2 dan 3 persen. Artinya, kenaikan
penerimaan royaltinya tidak signifikan terhadap penerimaan negara.
Pembiaran yang dilakukan pemerintah terhadap penjajahan dan penjarahan yang
dilakukan oleh PT Freeport menunjukkan pudarnya nasionalisme ekonomi kita sebagai
bangsa yang bermartabat. Penjarahan yang dilakukan oleh perusahaan multinasional ini
disebut oleh Galtung (1971: 95) sebagai imperialisme atau penjajahan ekonomi. Oleh
karena itu, renegosiasi kontrak karya pertanda sikap bangsa yang pasrah (nrimo),
bermental kacung (jongos/babu/komprador) dan terjajah (inlander). Tuhan pun sangat
benci dengan orang-orang yang dungu dan pasrah pada nasib. Lagi pula, republik ini
sudah sejak tahun 1945 diikrarkan sebagai bangsa yang merdeka, serta didirikan dengan
darah dan air mata. Kita berhak menguasai dan mengeksploitasi sendiri sumber daya yang
kita miliki, dengan cara yang lebih beradab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Tidak ada pilihan lain, kita harus berani menasionalisasi PT Freeport Indonesia. Tidak
perlu takut, ini tanah air kita bung! Mengapa harus takut? Bukankah pemerintahan
Soekarno pernah menasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda yang ada di Indonesia.
Melalui
Peraturan
Pemerintah
Pengganti
Undang-undang
tentang
Nasionalisasi
Perusahaan Milik Belanda yang ada di Indonesia, pemerintahan Orde Lama melakukan
nasionalisasi terhadap 38 perusahaan tembakau di wilayah Jawa dan Sumatera, 205 aneka
perusahaan perkebunan dan industri, 22 aneka perusahaan dan perkebunan di Sumatera
dan Jawa, dan 12 aneka perusahaan dan cabang perusahaan di Bandung (Salamudin, 2011:
27-28). Bukankah Venezuela di bawah kepemimpinan Hugo Chavez juga mengambil
langkah serupa dengan menasionalisasi BUMN minyak Venezuela Petroleos de Venezuela
(PDVSA) dari perusahaan minyak Exxon Mobile Corporations (Amerika),9 menasionalisasi
Hugo Rafael Chvez Fras merupakan salah satu dari beberapa kepala negara yang berani
menentang dominasi Amerika. Sebelumnya, pemerintah Venezuela menyepakati kerjasama (joint
venture) tiga proyek pertambangan minyak dengan Exxon Mobile (Amerika). Dalam perjalanannya,
Chavez menilai kerjasama ini tidak menguntungkan bagi Venezuela, sehingga Chavez
memerintahkan kepada PDVSA untuk mengambil-alih ketiga proyek tersebut. Gegap-gempita Hugo
Chavez melakukan nasionalisasi proyek tambang minyak termasuk bagian dari strategi
pemerintahannya dalam mereformasi industri minyak. PDVSA bersedia membayar sebesar US$
255 juta atau sekitar Rp2,3 triliun sebagai ganti rugi atas harta yang dinasionalisasi. Tentu saja,
Exxon Mobile tidak tinggal diam dan membawa kasus ini ke Dewan Arbitrase Internasional. Exxon
9
Isu Lingkungan
PT Freeport Indonesia melakukan penambangan dengan dua sistem, yaitu penambangan
terbuka (open-pit) dengan menggunakan truk pengangkut dan sekop listrik besar dan
sistem tambang tertutup (block-caving) pada tambang bawah tanah. Bijih tembaga dan
Mobile menuntut ganti-rugi sebesar US$ 907 juta atau Rp8,23 triliun. Selengkapnya lihat di
www.wartapedia.com.
10 Hugo Chavez menasionalisasi Cemex pada tanggal 18 Agustus 2008. Langkah ini diambil setelah
tidak ada kesepakatan pengambilalihan perusahaan itu dengan jalan negosiasi. Selengkapnya lihat
di www.presidenku.com.
11 Pertambangan dan eksplotasi emas di wilayah selatan Venezuela, tidak luput dari agenda
nasionalisasi Hugo Chavez. Venezuela akan mengambil-alih salah satu perusahaan tambang
terbesar di daerah itu, yaitu Rusoro. Rusoro adalah perusahaan Kanada yang dikuasai oleh keluarga
Agapov dari Rusia. Chavez menjelaskan bahwa seluruh hasil tambang dari daerah tersebut akan
disimpan di bank pusat negara. Simpanan emas Venezuela diperkirakan mencapai US$ 12 miliar
atau sekitar Rp102,3 triliun. Sebagian diantaranya di simpan di berbagai bank di luar negeri oleh
perusahaan tambang asing. Hal inilah yang menyulut kemarahan Chavez dan memantiknya
melakukan nasionalisasi. Selengkapnya silahkan browsing di www.dunia.vivanews.com.
12 Ditekan Amerika adalah risiko politik internasional yang jelas akan muncul akibat langkah ini. PT
Freeport McMoran adalah perusahaan dengan akumulasi kapital yang bisa mempengaruhi
kebijakan politik luar negeri Amerika. Apalagi bila perusahaan itu ikut memberikan donasi bagi
dana kampanye presiden Amerika, tentu PT Freeport McMoran semakin leluasa menekan
Indonesia. Sedangkan, risiko ekonomi yang akan timbul adalah ketidakpercayaan (distrust) pihak
asing untuk investasi di Indonesia. Namun, hal ini sebenarnya tidak perlu dikhawatirkan karena
tidak bersifat persisten (permanen). Sebagai salah satu negara dengan populasi penduduk terbesar
di dunia dan memiliki natural endowment yang melimpah, Indonesia masih menjadi pasar dan
lahan yang menggiurkan bagi investor.
mencapai
diameter
2,4
kilometer
dengan
kedalaman
800
meter
mendukung
pengamanan
yang
dilakukan
oleh
pengamanan
swakarsa
Papua
memilih
berintegrasi
dengan
Indonesia.
Mereka
kemudian
mengorganisir gerakan dan mendirikan Organisasi Papua Merdeka (OPM). Gerakan ini
awalnya hanya menuntut keadilan kepada pemerintah pusat agar pembangunan
dilakukan secara merata dan adil di tanah Papua. Masyarakat Papua merasa memiliki
sumber daya alam yang melimpah, tetapi mereka tidak merasa menikmatinya. Dalam
perkembangannya, mereka menuntut untuk merdeka atau lepas dari Indonesia.
Pemerintah melakukan langkah persuasif dengan memberikan Otonomi Khusus kepada
Provinsi Papua. Namun, kebijakan ini tidak menyelesaikan masalah. Masyarakat Papua
tetap miskin dan terbelakang sehingga OPM terus melawan dan memberontak.
Ditambah dengan kerakusan PT Freeport Indonesia yang setiap hari terus mengeruk
kekayaan tambang di Papua, tanpa memberikan dampak yang berarti bagi masyarakat
setempat, mengakibatkan konflik semakin tajam. Situasi ini tentu menyebabkan
tumbuhnya benih-benih konflik di Papua. Sudah banyak kajian yang mengungkapkan
bahwa kehadiran PT Freeport Indonesia di Papua menghadirkan konflik sosial di tengahtengah masyarakat Papua (Ngadisah, 2003; Leith, 2003). Kondisi ini jelas mengancam
keutuhan NKRI. Oleh karena itu, kita harus segera mengambil langkah strategis dengan
menasionalisasi PT Freeport Indonesia dan mengelolanya untuk kemakmuran masyarakat
Papua dan seluruh rakyat Indonesia.
KESIMPULAN
Rezim UU Pertambangan yang kita miliki sangat pro asing. Akibatnya, kehadiran PT
Freeport Indonesia tidak memberikan manfaat ekonomi yang nyata bagi kemakmuran
rakyat Papua dan Indonesia. PT Freeport Indonesia merupakan bagian dari sistem
kapitalis dunia (PT Freeport McMoran) yang mengeksploitasi emas dan tembaga secara
tidak beradab. Hal ini menimbulkan kerugian secara ekonomi dan non-ekonomi kepada
Indonesia. Sudah saatnya kita berhenti dijajah oleh kekuatan kapital asing. Inilah saatnya
mengembalikan kedaulatan ekonomi kita. Oleh karena itu, langkah yang harus ditempuh
seharusnya bukan renegosiasi kontrak karya, tetapi nasionalisasi PT Freeport Indonesia.
Renegosiasi kontrak karya hanya akan memperlama masa penjarahan yang dilakukan oleh
PT Freeport Indonesia.
Kita tidak perlu patuh dan takut dengan kontrak karya karena, baik konstitusi maupun
aturan di bawahnya (UU dan PP) memberikan garansi untuk menguasai dan mengelola
kekayaan tambang secara mandiri. Kita harus percaya diri bahwa kita memiliki kapasitas
untuk mengelola tambang emas dan tembaga di tanah Papua. Sudah saatnya kita keluar
dari jeratan kapitalis asing dan berhenti jadi bangsa jongos. Apabila rezim tidak berani
menasionalisasi PT Freeport Indonesia, tunggulah suatu saat akan tiba masa dimana anak
cucu kita mengutuk kita karena tempat hidupnya rusak dan sumber daya alam yang
tersedia sudah punah.
DAFTAR PUSTAKA
Alam, Wawan Tunggul. 2011. Freeport Papua, Blok Cepu, Gas Alam Arun: C'mon Mister,
Please Keruklah Hasil Bumi Indonesia. Jakarta: Ufuk.
Amin, Samir. 1974. Accumulation and Development: A Theoretical Model. Review of
African Political Economy 1: 9-26.
Anonim. 2012. Freeport Merasa Kebal: Ogah Jual Saham ke Indonesia. Meteor Jogja 13
Maret.
Dos Santos, Theotonio dan Laura Randall. 1998. The Theoretical Foundations of the
Cardoso Government: A New Stage of the Dependency-Theory Debate. Latin
American Perspectives 25(1): 53-70.
Galtung, Johan. 1971. A Structural Theory of Imperialism. Journal of Peace Research 8(2):
81-117.
Human Rights Watch. 2006. Harga Selangit: Hak Asasi Manusia sebagai Ongkos Kegiatan
Ekonomi Pihak Militer di Indonesia. Human Right Watch 18(5C).
Leith, Denise. 2003. The Politics of Power: Freeport in Suhartos Indonesia. Hawaii:
University of Hawaii Press.
M. Zen, A. Patra dan Adi Widiyanto. 2006. Freeport: Bagaimana Pertambangan Emas dan
Tembaga Raksasa Menjajah Indonesia. Jakarta: Jatam-Walhi.
Ngadisah. 2003. Konflik Pembangunan dan Gerakan Sosial Politik di Papua. Yogyakarta:
Pustaka Raja.
Paripurno, Eko Teguh, dkk. 2010. Datang, Gali dan Pergi: Potret Penutupan Tambang di
Indonesia (Cetakan Ketiga). Malang: Jatam dan In-Trans.
PT Freeport McMoran Copper and Gold Inc. 2010. Annual Report. Arizona: PT Freeport
McMoran Copper and Gold Inc.
Salamudin. 2011. Penjajahan dari Lubang Tambang: Temali Modal Asing, Utang dan
Pengerukan Kekayaan Tambang di Indonesia (Cetakan Kedua). Malang: Jatam dan
In-Trans.
Wallerstein, Immanuel. 1974. The Rise and Future Demise of the World Capitalist System:
Concepts for Comparative Analysis. Comparative Studies in Society and History
16(4): 387-415.
Sumber dari Internet
http://ekonomi.kompasiana.com/bisnis/2012/02/07/kurtubi-%E2%80%9Ckontrakkarya-pertambangan-umum-kelanjutan-model-konsesi-zaman-kolonial%E2%80%9D/
diunduh tanggal 14 Maret 2012.