Anda di halaman 1dari 18

NASIONALISASI PT FREEPORT INDONESIA

Wayu Eko Yudiatmaja

PENDAHULUAN
Baru-baru ini pemerintah mengeluarkan PP No. 24 Tahun 2012 tentang Perubahan atas
PP No. 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan
Batu Bara. Salah satu masalah krusial yang diatur dalam PP tersebut adalah masalah
kepemilikan saham perusahaan pertambangan yang beroperasi di Indonesia. PP ini
mengatur bahwa setiap perusahaan asing yang beroperasi di Indonesia, wajib
mendivestasikan sahamnya secara bertahap, sehingga pada tahun kesepuluh sejak
berproduksi, 51 persen sahamnya dimiliki oleh peserta Indonesia. Peserta Indonesia yang
dimaksud di sini, terdiri dari pemerintah pusat, pemerintah provinsi/kabupaten/kota,
BUMN, BUMD dan badan usaha swasta nasional.
Dalam sejarah kebijakan pertambangan, PP tersebut merupakan sesuatu yang baru karena
mencoba meningkatkan proporsi kepemilikan negara atas saham-saham perusahaan
pertambangan asing yang ada di Indonesia. Namun, sayangnya PP itu tidak berlaku surut
sehingga tidak mengikat badan usaha pertambangan yang telah menadatangani kontrak
karya, sebelum PP ini dikeluarkan, termasuk PT Freeport Indonesia. Artinya, PT Freeport
Indonesia mempunyai dasar pijakan yang kuat untuk tidak mematuhi aturan itu. Di sisi
lain, pemerintah juga berada pada posisi yang lemah karena tidak memiliki kewenangan
untuk bertindak koersif kepada PT Freeport Indonesia dalam mengimplementasikan
kebijakan tersebut.
Dalam perkembangan selanjutnya, PT Freeport Indonesia secara terang-terangan menolak
mengikuti kebijakan itu karena mereka tetap berpegang teguh pada kontrak karya yang
sudah 2 kali ditandatangani dengan pemerintah Indonesia, yaitu tahun 1967 dan 1991.
Bahkan, Presiden Direktur PT Freeport Indonesia, Rozik B. Soetjipto dengan pongah
mengatakan bahwa PT Freeport Indonesia kebal secara hukum terhadap PP tersebut
karena sesuai dengan kontrak karya, PT Freeport Indonesia hanya diwajibkan
mendivestasi kepemilikan sahamnya maksimal 20 persen tanpa adanya batas waktu
(Meteor Jogja, 13 Maret 2010).

MAP Corner-MKP Club pernah menyelanggarakan diskusi dengan tajuk Renegosiasi


Kontrak Karya Pertambangan. Latar belakang pemilihan tema itu adalah karena adanya
kegelisahan penggiat-penggiat1 MAP Corner dan MKP Club terhadap kebijakan
pertambangan di Indonesia umumnya dan aturan turunannya, seperti kontrak karya, yang
sangat pro asing. Paralel dengan itu, tulisan ini sebenarnya tidak hanya berupaya
mengkritisi renegosiasi kontrak karya, tetapi juga mengkritisi produk hukum yang
mengatur masalah pertambangan dan keberadaan PT Freeport Indonesia. Bahkan, tulisan
ini boleh dikatakan menisbikan kontrak karya karena dalam praktiknya, kontrak karya
yang ditandatangani oleh pemerintah dan kontraktor menjadi arena untuk mengobral
kekayaan alam Indonesia kepada pihak asing.
Kontrak karya merupakan dasar hukum pelaksanaan aktivitas eksploitasi pertambangan
oleh suatu badan usaha. Di dalam kontrak karya diatur segala sesuatu yang berkaitan
dengan luas wilayah, jangka waktu, pembagian royalti, hak serta kewajiban negara dan
perusahaan. Namun, khusus untuk kontrak karya pertambangan mineral (emas, perak,
tembaga), aturannya sangat absurd karena tidak diatur dengan jelas di dalam UU No. 4
Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara. Masalah kontrak karya hanya
ditetapkan berdasarkan Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).2
Tidak mengherankan jika kemudian pemerintah seenaknya membuat perjanjian dan
mengeluarkan kontrak karya.
Banyak pihak yang menganjurkan supaya kontrak karya ditinjau kembali atau
direnegosiasi karena kontrak karya tidak adil dan merugikan pemerintah. Namun,
sesungguhnya yang menjadi pokok persoalan, bukan renegosiasi kontrak karya karena
ibarat sungai, kontrak karya hanya hilirnya, sedangkan hulunya adalah status dan
Penggiat-penggiat diskusi MAP Corner-MKP Club antara lain; Muhtar Habibi, Kurnia
Cahyaningrum Effendi, Wayu Eko Yudiatmaja, Masni, Yuli Isnadi, Rima Ranintya Yusuf dan
Sirajudin Hasbi.
2 UU No. 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan menggunakan istilah
perjanjian karya, sedangkan UU No. 4 Tahun 2009 menggunakan terminologi Izin Usaha
Pertambangan (IUP). Di dalam UU No. 11 Tahun 1967, diatur bahwa perjanjian karya bisa
diberlakukan apabila sudah disahkan oleh pemerintah setelah berkonsultasi dengan DPR (pasal 10
ayat 3). Walaupun DPR pada masa Orde Baru hanya tukang stempel pemerintah, tetapi
sebagaimana diatur dalam UU No. 11 Tahun 1967, DPR memiliki kewenangan untuk memberikan
masukan terhadap kontrak karya yang dibuat oleh pemerintah dengan kontraktor. Namun, dalam
UU No. 4 Tahun 2009 diatur bahwa IUP dikeluarkan oleh menteri, tanpa harus berkonsultasi
dengan DPR. Di sini, bisa dilihat bahwa pemerintah menganggap kontrak karya hanya sebagai
perkara teknis yang secara ekslusif menjadi kewenangannya, sehingga tidak perlu didiskusikan
dengan DPR. Artinya, ada pelemahan secara sistematis terhadap fungsi DPR dalam perencanaan
kontrak karya. Kuat dugaan, hal ini dimanfaatkan sebagai senjata untuk membuat IUP yang sesuai
dengan selera rezim yang sedang berkuasa.
1

kepemilikan perusahaan itu. Untuk membersihkan sungai, kita harus memulai dari
hulunya karena mustahil sungai bisa terbebas dari kontaminasi jika hulunya tidak
dibersihkan terlebih dahulu. Merenegosiasi kontrak karya bukan langkah strategis karena
ekses yang timbul dari kontrak karya hanya dampak berantai (multiplier effects) yang
ditimbulkan oleh masalah kepemilikan perusahaan, yang sebagian besar sahamnya
dikuasai oleh pihak asing. Oleh karena itu, seharusnya fokus permasalahan bisa diperluas,
yaitu dengan mengambil-alih kepemilikan atau menasionalisasi perusahaan tambang
asing yang ada di Indonesia. Nasionalisasi penting dalam rangka menegakkan supermasi
atas kepemilikan sumber daya alam strategis, sebagaimana yang diamanatkan oleh
konstitusi. Akhirnya, kita tidak bicara lagi masalah parsial tetapi bergerak menuju ke arah
nasionalisme ekonomi bangsa yang berdaulat.
Dalam tulisan ini PT Freeport Indonesia digunakan sebagai sasaran tembak untuk
dinasionaliasi dengan alasan sebagai berikut; pertama emas dan tembaga yang
dieksploitasi oleh PT Freeport Indonesia adalah komoditas strategis (strategic
commodities) dan memiliki nilai jual yang tinggi di pasar internasional. Kedua, secara
matematika-ekonomi, royalti yang diterima oleh pemerintah atas eksploitasi emas dan
tembaga yang dilakukan oleh PT Freeport Indonesia sangat tidak logis, karena selama ini
pemerintah hanya mendapatkan keuntungan 1 persen dari total laba bersih yang diterima
oleh PT Freeport Indonesia. Ketiga, berbagai persoalan lingkungan, pelanggaran hukum
dan HAM, serta konflik sosial yang membelit PT Freeport Indonesia di Mimika Papua.
Penjelasan mengenai hal ini akan diuraikan lebih lanjut pada bagian berikutnya.
Sebelumnya, perlu didiskusikan mengenai potret kebijakan pertambangan Indonesia dari
dulu hingga sekarang, guna mendapatkan gambaran tentang dimensi ekonomi politik
kebijakan pertambangan di Indonesia.

KEBIJAKAN PERTAMBANGAN DARI MASA KE MASA


Rezim UU pertambangan yang berlaku di Indonesia sangat berorientasi pada kepentingan
kapitalis asing. Dimulai dari UU No. 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Pertambangan. UU ini kemudian direvisi menjadi UU No. 4 Tahun 2009 tentang
Pertambangan Mineral dan Batu Bara. Dua UU ini sebenarnya tidak ada bedanya atau
sama liberalnya. Bedanya hanya kreatornya dan jiwa zaman (zeitgest) UU itu dibuat. UU
No. 11 Tahun 1967 diterbitkan oleh pemerintahan Orde Baru dalam suasana yang
hegemonik dan despotik, sedangkan UU No. 4 Tahun 2009 dibuat pada masa reformasi.

UU No. 11 Tahun 1967 keluar setelah Indonesia mengalami peralihan tampuk kekuasaan
dari Soekarno ke Soeharto. Dulu Bung Karno sangat anti asing sehingga beliau tidak mau
membuat UU yang memberikan kesempatan kepada pihak asing untuk menjarah sumber
daya alam Indonesia. Namun, penguasa selanjutnya sangat bertolak-belakang dengan
Bung Karno. Setelah kekuasaan berpindah tangan, Soeharto segera mengundang investor
asing untuk menanamkan modalnya di Indonesia, termasuk di sektor pertambangan.
Pemerintahan Orde Baru mengeluarkan UU No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal
Asing sebagai pintu masuk bagi perusahaan asing. Selanjutnya, di bidang pertambangan,
untuk memberikan jaminan bagi bekerjanya modal asing, rezim Orde Baru mengeluarkan
UU No. 11 Tahun 1967. Atas dasar UU inilah, pemerintah kemudian menandatangani
kontrak karya dengan PT Freeport Indonesia pada tahun 1967 dan 1991.
UU 11 Tahun 1967 adalah UU pertambangan yang sangat liberal dan akomodatif terhadap
kepentingan kapitalis asing. Hal ini terjadi karena UU itu dibuat dalam suasana ketika
pemerintah sedang giat-giatnya melakukan percepatan pembangunan, melalui modal
asing. UU ini sangat liberal karena memberikan kekuasaan yang sangat besar kepada
pemerintah untuk mengambil tanah rakyat atas nama konsesi pertambangan. Selain itu,
pemerintah juga dapat menggusur pertambangan rakyat yang telah lebih dulu ada, atas
nama kepentingan negara. UU ini juga tidak mengatur masalah reklamasi wilayah bekas
tambang, sehingga perusahaan tidak merasa bertanggung-jawab sepenuhnya dalam
menyelenggarakan reklamasi. Akibatnya, kerusakan lingkungan harus ditanggung oleh
masyarakat sekitar, contohnya pertambangan timah di Bangka Belitung oleh PN Timah
dan pertambangan emas oleh PT Newmont di Tondano.
Selang 42 tahun kemudian, UU No. 11 Tahun 1967 direvisi menjadi UU No. 4 Tahun 2009.
UU No. 4 Tahun 2009 hadir dengan wajah baru, yaitu menggunakan rezim perizinan,
bukan rezim kontrak karya sebagaimana yang digunakan dalam UU No. 11 Tahun 1967.
Menurut Menteri ESDM Purnomo Yusgiantoro, dalam UU yang baru, posisi pemerintah
tidak lagi setara dengan kontraktor. Sebagai public entity, pemerintah adalah a regulator
bukan a player (www.hukumonline.com). Inilah yang menjadi semangat dalam UU ini
sehingga tidak ada lagi kontrak karya, tetapi diganti dengan Izin Usaha Pertambangan
(IUP). Namun, UU ini terlalu pragmatis karena tidak menjelaskan status kontrak karya
yang sudah ditandatangani sebelum UU ini diberlakukan. Oleh karena itu, PP No. 24 Tahun
2012, sebagai derivasi dari UU No. 4 Tahun 2009 tidak bisa mengikat perusahaan-

perusahaan tambang multinasional yang telah menekan kontrak, termasuk PT Freeport


Indonesia.

KONTEKS HISTORIS PT FREEPORT INDONESIA


Riwayat penambangan emas oleh PT Freeport Indonesia di Papua sudah dimulai jauh
sebelum Indonesia merdeka.3 Pada tahun 1936 Jean-Jacques Dozy melakukan ekspedisi
hingga mencapai gletser Gunung Jayawiya dan menemukan Erstberg. Ekspedisi PT
Freeport Indonesia yang pertama kali dipimpin oleh Forbes Wilson dan Del Flint, yang
menjelajah Erstberg pada tahun 1960. Pada tahun 1963 terjadi serah terima kekuasaan
atas Netherlands Nieuw-Guniea (Irian Barat) ke PBB, yang kemudian memberikannya ke
Indonesia.4 Meskipun sudah terjadi pengalihan kekuasaan, tetapi rencana penambangan
ditangguhkan karena kebijakan rezim Soekarno sangat anti kapitalis asing.
Pada tahun 1966, bertepatan dengan peralihan kekuasaan dari Soekarno ke Soeharto,
perubahan mulai terasa. Untuk mendorong Investasi swasta, rezim Soeharto mengundang
PT Freeport ke Jakarta untuk membicarakan kontrak tambang di Erstberg. Kontrak karya
pertama kali ditandatangani pada tahun 1967 untuk masa 30 tahun. Dengan
penandatanganan kontrak karya, maka PT Freeport Indonesia menjadi kontraktor ekslusif
tambang Erstberg di atas wilayah 10 km2. Pada tahun 1973, Presiden Soeharto
mengunjungi daerah operasi dan memberikan nama Tembagapura untuk kota baru PT
Freeport Indonesia. Pada tahun 1988, PT Freeport Indonesia menemukan cadangan emas
di Grastberg, tetapi tidak ada informasi yang jelas, sejak kapan PT Freeport Indonesia
mulai menambang di kawasan Grastberg. PT Freeport Indonesia mendapatkan kontrak
karya baru pada tahun 1991 dengan izin operasi selama 30 tahun, berikut dua kali
perpanjangan selama 10 tahun. Artinya, kontrak karya tersebut baru akan berakhir pada
tahun 2041.
PT Freeport Indonesia adalah anak perusahaan dari PT Freeport McMoran Gold and
Copper yang berbasis di New Orleans, Amerika. Sebagian besar saham PT Freeport
Indonesia dimiliki oleh PT Freeport McMoran, yaitu sebanyak 90,64 persen. Jumlah 90,64
Banyak sumber yang membahas sejarah penambangan emas dan tembaga oleh PT Freeport
Indonesia. Namun, untuk kepentingan tulisan ini, penulis merujuk dari situs resmi PT Freeport
Indonesia, yaitu www.ptfi.com. Hal ini dilakukan semata-mata untuk mendapatkan data yang valid
dan akurat. Informasi selengkapnya dapat dicek di situs tersebut.
4 Nama Irian Barat merupakan pemberian Presiden Soekarno untuk menamai provinsi paling timur
di Indonesia itu. Pada pemerintahan Soeharto nama Irian Barat diganti dengan Irian Jaya.
Pascareformasi, Presiden Abdurrahman Wahid mengembalikan nama Irian Jaya menjadi Papua
sebagaimana keinginan masyarakat di sana.
3

persen itu termasuk (include) saham yang dimilikinya atas kepemilikan bersama PT
Indocopper Investama. Sisanya, hanya sebesar 9,36 persen saham PT Freeport Indonesia
yang dikuasai oleh pemerintah Indonesia.5 Selain di Indonesia, dari Annual Report PT
Freeport McMoran (2010) dapat diketahui bahwa mereka juga beroperasi di Arizona dan
New Mexico (Amerika); Cerro Verde (Peru); Candelaria, Ojos del Salado dan El Abra
(Chile); dan Katanga (Kongo). Dari hasil industri keruknya ini, PT Freeport McMoran
memperoleh dividen yang luar biasa besar. Dari produksi emas dan tembaga Erstberg dan
Grastber di Papua, Batubara mengungkapkan bahwa berdasarkan data yang dikeluarkan
oleh Investor Daily, PT Freeport McMoran mengaku mendapat keuntungan sebesar 60
persen dari hasil operasi tambangnya di Indonesia. Jumlah itu sepadan dengan 700 ribu
ton material yang dibongkar untuk menghasilkan 225 ribu ton bijih emas setiap hari.
Jumlah ini bisa disamakan dengan 70 ribu truk kapasitas angkut 10 ton berjejer sepanjang
700 km dari Jakarta ke Surabaya (www.eramuslim.com).

DIMENSI EKONOMI POLITIK


PENAMBANGAN OLEH PT FREEPORT INDONESIA
Keberadaan PT Freeport Indonesia tidak terlepas dari politik akomodatif negara terhadap
rezim tambang multinasional (Multinational Corporations). Paradigma pertumbuhan
(growth) yang ingin dikejar oleh pemerintah, membuat pemerintah gelap mata dan
menyerahkan kekayaan negara kepada pihak asing. Rezim lupa pada UUD 1945 yang
mengamanahkan bahwa cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai
hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara (pasal 33 ayat 2). Rezim buta aksara
konstitusi yang secara tegas menyatakan bahwa bumi, air dan kekayaan yang terkandung
di dalamnya dikuasai oleh negara untuk kemakmuran rakyat (pasal 33 ayat 3).
Rezim alpa memikirkan dampak langsung dan tidak langsung dari konsesi pertambangan
yang akan diberikan kepada pihak asing. Kealpaan rezim harus dibayar mahal dari sisi
ekonomi dan non-ekonomi. Seharusnya sektor pertambangan memberikan sumbangan
yang signifikan terhadap penerimaan pemerintah dalam Anggaran dan Pendapatan
Belanja Negara (APBN). Hal ini dikarenakan ekspor dan harga komoditasnya mahal.
Namun, dari sisi ekonomi keuangan negara, sulit mengatakan kalau pertambangan
memberikan sumbangan yang signifikan dalam penerimaan negara, karena faktanya
sektor migas lebih mendominasi. Kesalahan ini terjadi karena sistem royalti yang
Data ini diperoleh dari situs resmi PT Freeport McMoran, yaitu www.fcx.com. Informasi
selengkapnya silahkan dilihat di situs tersebut.
5

ditandatangani bersama antara pemerintah dan PT Freeport Indonesia dalam kontrak


karya, sangat tidak menguntungkan Indonesia, sehingga keuntungan yang masuk ke kas
negara sangat minim. Kondisi ini sangat paradoks dengan apa yang diterima PT Freeport
Indonesia, yang mendapatkan bagi hasil (transfer) yang jauh lebih besar. Dari sisi nonekonomi, harga diri dan kehormatan kita sebagai bangsa yang bermartabat jelas telah
tercabik-cabik karena ekses negatif dari eksploitasi yang dilakukan PT Freeport Indonesia,
di belahan timur tanah air kita.
Tabel 1. Perbandingan Penerimaan Negara dari
Sektor Migas dan Pertambangan (Triliun Rupiah)
Tahun
Migas
Pertambangan
2008
304,4
42,7
2007
186,6
37,3
2006
191,7
29,8
2005
137,7
17,7
2004
108,2
9,0
Sumber: Kurtubi (www.ekonomi.kompasiana.com)

Jenis bahan galian yang dikeruk oleh PT Freeport Indonesia dari perut bumi Indonesia
tidak hanya emas, tetapi juga konsentrat Cu, tembaga dan perak. Dari data yang
dikeluarkan oleh Asosiasi Pertambangan Indonesia (Indonesian Mining Association), sejak
tahun 1998-2002 terlihat bahwa jumlah bahan tambang yang dieksploitasi fluktuatif.
Fluktuasi yang sangat tajam terjadi pada eksploitasi emas. Pada tahun 1998, emas yang
diambil 91.045 kg dan tahun 1999 naik menjadi 92.235 kg. Namun, tahun 2000
mengalami penurunan sehingga menjadi 77.121 kg, kemudian naik dratis di tahun 2001
menjadi 103.308 kg, hingga turun lagi menjadi 77.821 di tahun 2002. Situasi ini bisa
dimengerti karena harga emas di pasar internasional tidak selalu stabil, sehingga
perusahaan harus jeli mempertimbangkan faktor biaya produksi (cost of production).
Tabel 2. Produksi Mineral dan Logam Dasar PT Freeport Indonesia
Komoditi (Unit)
1998
1999
2000
2001
Konsentrat Cu (Dmt)
2.640.040
2.605.180
2.522.670
2.209.640
Tembaga (Ton)
809.077
766.027
776.048
690.347
Emas (Kg)
91.045
92.235
77.121
103.308
Perak (Kg)
163.324
141.744
136.931
150.161
Sumber: Diolah dari Asosiasi Pertambangan Indonesia (www.ima-api.com)

2002
2.283.220
694.098
77.821
141.566

Jumlah
12.260.750
3.735.597
441.530
733.726

Dari hasil penjualan komoditasnya, PT Freeport Indonesia mendapatkan keuntungan yang


sangat besar karena barang-barang tersebut termasuk barang mewah (lux), terutama
emas. Dari keuntungan yang diperolehnya, menurut PT Freeport Indonesia, mereka
memberikan efek berantai (trickle down effects) kepada pemerintah Indonesia, berupa
manfaat ekonomi. PT Freeport Indonesia memberikan manfaat ekonomi, baik langsung
maupun tidak langsung kepada pemerintah pusat, Provinsi Papua dan Kabupaten Mimika.

Manfaat ekonomi tersebut diberikan dalam bentuk royalti, pajak, dividen, retribusi dan
dukungan lainnya. PT Freeport Indonesia mencatat bahwa selama tahun 2008, mereka
memberikan manfaat langsung mencapai US$ 1,2 miliar. PT Freeport Indonesia juga
memberikan manfaat berupa pembangunan infrastruktur penunjang di Mimika, seperti
pembangkit listrik, pelabuhan, jalan, bandara, jembatan dan lain-lain (www.ptfi.com).
Argumentasi yang diberikan oleh PT Freeport Indonesia hanya justifikasi untuk
meyakinkan kita bahwa mereka banyak berkontribusi untuk republik ini. Namun, perlu
dicatat bahwa sebagai sebuah badan usaha yang melakukan aktivitas eksploitasi
pertambangan di suatu negara, maka sudah sepantasnya PT Freeport Indonesia
membayar royalti, pajak, dividen dan retribusi. Meskipun demikian, perlu diketahui
bahwa royalti yang diterima oleh pemerintah Indonesia sangat timpang dengan
penghasilan yang dinikmati oleh PT Freeport Indonesia. Sesuai dengan kontrak karya yang
sudah ditandatangai pada tahun 1967 dan 1991, pemerintah Indonesia hanya
mendapatkan royalti sebesar 1 persen. Menurut Kurtubi royalti yang diperoleh oleh
pemerintah Indonesia sangat tidak rasional karena jumlahnya sangat kecil dan terpaku
mati di angka 1 persen. Sementara harga emas di pasar internasional selalu mengalami
kenaikan, tetapi persentase royaltinya tetap 1 persen (www.ekonomi.kompasiana.com).
Dari sisi kewajiban membayar pajak, dividen dan retribusi, itu memang sudah menjadi
kewajiban PT Freeport Indonesia. PT Freeport Indonesia adalah badan usaha yang
merupakan subjek pajak, sehingga mereka harus memenuhi kewajibannya untuk
membayar pajak. Dengan demikian, PT Freeport Indonesia tidak bisa menggunakan logika
itu sebagai pembelaan karena toko kelontong sekalipun juga dibebani pajak dan retribusi
oleh negara. Tidak bisa dipungkiri bahwa PT Freeport Indonesia adalah pembayar pajak
dan retribusi terbesar di Indonesia. Namun, kontribusi PT Freeport Indonesia tidak
signifikan terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia karena kontribusi yang
diberikan oleh PT Freeport Indonesia terhadap PDB Indonesia, pada tahun 2008 hanya 1,3
persen.6
Khusus untuk Kabupaten Mimika dan Provinsi Papua, harus diakui bahwa PT Freeport
Indonesia berkontribusi sangat besar pada PDB kedua daerah itu. Pada tahun 2008,
kontribusi PT Freeport Indonesia terhadap PDB Kabupaten Mimika dan Provinsi Papua,

Angka 1,3 persen adalah data resmi yang dikeluarkan oleh PT Freeport Indonesia dalam situs
www.ptfi.com.
6

masing-masing adalah 96 persen dan 40 persen.7 Data ini menunjukkan bahwa


Pemerintah Kabupaten Mimika dan Provinsi Papua sangat bergantung pada PT Freeport
Indonesia. Jika tidak disiasati sejak dini, ketergantungan ini bisa menjadi bencana setelah
PT Freeport Indonesia hengkang dari Indonesia. Selain itu, meskipun kedua daerah ini
memiliki Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang cukup tinggi dari hasil bagi hasil (sharing)
dari PT Freeport Indonesia, Kabupaten Mimika dan Provinsi Papua termasuk daerah
miskin di Indonesia. Menurut Batubara (www.eramuslim.com), pada tahun 2005,
penghasilan rata-rata penduduk Mimika hanya US$ 132 per tahun. Hal ini berbanding
terbalik dengan gaji yang diterima pejabat teras PT Freeport Indonesia, yang bisa 1 juta
kali lipat dari pendapatan yang diperoleh masyarakat setempat.
Sebagai pelaku usaha, PT Freeport Indonesia bertanggung-jawab membangun segala
fasilitas yang menunjang kelancaran aktivitasnya. Banyak pihak yang tidak mengetahui
bahwa pembangunan berbagai sarana penunjang tadi dilakukan dengan cara Korupsi,
Kolusi dan Nepotisme (KKN) antara PT Freeport Indonesia dan pengusaha (lokal dan
asing) karena tidak dikontrol oleh lembaga negara yang independen. Sebagaimana yang
diingatkan oleh Wallerstein (1974) dalam sistem kapitalis dunia, perusahaan-perusahaan
mutinasional tidak akan segan-segan untuk menerabas aturan demi mendapatkan
keuntungan semaksimal mungkin. Patut dicurigai adanya unsur KKN dalam konsesi
pembangunan pelabuhan Amamapare, tempat konsentrat emas dan tembaga diekspor,
diserahkan kepada PT ALatief P&O Port Development Company (APPDC). PT APPDC
merupakan perusahaan kongsi antara A Latief Nusakarya Corporation dengan maskapai
angkutan laut P&O Australia Ltd. Belum lagi masalah proyek pembangunan Bandara
Timika yang dikerjakan oleh PT ALatief Freeport Infrastructure Corporation (AFIC), yang
67 persen sahamnya dikuasai oleh kelompok Abdul Latief dan 33 persen sisanya oleh PT
Freeport Indonesia. Baik PT APPDC maupun PT AFIC adalah perusahaan milik salah satu
kroni Soeharto, yaitu Abdul Latief (Batubara dalam www.eramuslim.com).8

DARI RENEGOSIASI KE NASIONALISASI


Eksploitasi pertambangan, dibelahan manapun di muka bumi, selalu membawa duka yang
tak berkesudahan. Amerika yang notabene merupakan negara super power, pernah
Angka 96 persen dan 40 persen juga diperoleh dari www.ptfi.com.
Abdul Latief pernah menjadi Menteri Tenaga Kerja pada masa Orde Baru. Selain sebagai politisi,
Abdul Latief juga memiliki perusahaan yang bergerak di bidang pelabuhan, penyiaran,
pertambangan dan lain-lain. Di bidang penyiaran Abdul Latief adalah pemilik LaTV, yang kemudian
berganti nama menjadi TV One setelah sahamnya dijual kepada Aburizal Bakrie (sekarang Ketua
Umum Partai Golkar).
7
8

mengalami masa-masa sulit menghadapi dampak kerusakan fisik dan non-fisik


pascapenutupan lahan tambang. Setelah itu, keluar UU yang memperketat pemberian izin
usaha pertambangan. Beratnya syarat yang ditetapkan oleh pemerintah Amerika,
memaksa perusahaan-perusahaan multinasionalnya ekspansi ke negara lain. Jadi, langkah
ekspansif yang dilakukan oleh PT Freeport McMoran ke Indonesia merupakan bagian dari
skenario untuk bertahan (survive) dan memperluas wilayah operasi, karena di negara
sendiri mereka sudah kesulitan bergerak, selain akibat berkurangnya cadangan mineral
juga karena ketatnya UU pertambangan Amerika.
Kondisi perekonomian Indonesia yang sedang morat-marit pascatumbangnya Soekarno,
merontokkan fondasi ekonomi Indonesia yang sebelumnya juga sudah kacau balau. Orde
Baru dengan didukung oleh teknokrat-teknokratnya mengambil kebijakan untuk
membuka politik ekonomi isolasi yang dilakukan oleh pendahulunya. Situasi ini
dimanfaatkan oleh PT Freeport McMoran untuk menanamkan modalnya di sektor
pertambangan. Pemerintah berharap supaya efek rembesan (trickle-down effect) investasi
PT PT Freeport McMoran memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi Indonesia.
Namun, yang terjadi adalah sebaliknya. Pembangunan yang terlalu berorientasi pada
industrialisasi dan modal asing rentan terhadap risiko crash. Apalagi jika terjadi
kecurangan (rezim dan investor) dalam proses operasi dan produksi, maka hal ini bisa jadi
bumerang untuk memiskinkan (underdeveloped) negara yang bersangkutan. Sebagaimana
yang diyakini oleh penganut teori ketergantungan, industrialisasi di negara-negara
berkembang mustahil bisa membawa kemakmuran karena terlalu bergantung pada
investasi asing yang digerakkan oleh perusahaan-perusahaan multinational dan
beroperasi dengan cara yang culas. Secara gamblang, salah seorang pengikut teori
ketergantungan mengungkapkannya sebagai berikut:
Dependency theory tried to demonstrated that this industrialization did not have
the consequences that were hoped for by this developmentalist and nationaldemocratic vision. It did not bring autonomy of decision making, because
industrialization was determined by foreign investment, based on multinational
firms whose power continued to be located in the central points of the world
economy. It did not bring improved income distribution, because oligopolistic
capitalism tended to concentrate power and wealth in large groups of business
with related interests (Dos Santos dan Randall, 1998: 55).

Dari pemaparan di atas, dapat dipahami bahwa keberadaan PT Freeport Indonesia tidak
memberikan dampak positif terhadap perekomian Indonesia. Kemudian, pertanyaan yang
harus diajukan adalah; apa yang harus kita lakukan (what next)? Dalam konteks ini,
renegosiasi kontrak karya tidak relevan karena tidak memberikan kemajuan yang

progresif, sehingga ide tentang renegosiasi kontrak karya harus disingkirkan jauh-jauh.
Indikasinya jelas karena perdebatan masalah renegosiasi kontrak karya hanya berkutat
pada masalah bagaimana menaikkan persentase pembagian royalti. Kenaikan royalti yang
diusulkan pemerintah itu pun tidak memberikan dampak ekonomi yang positif, karena
kenaikan yang diusulkan hanya berkisar di angka 2 dan 3 persen. Artinya, kenaikan
penerimaan royaltinya tidak signifikan terhadap penerimaan negara.
Pembiaran yang dilakukan pemerintah terhadap penjajahan dan penjarahan yang
dilakukan oleh PT Freeport menunjukkan pudarnya nasionalisme ekonomi kita sebagai
bangsa yang bermartabat. Penjarahan yang dilakukan oleh perusahaan multinasional ini
disebut oleh Galtung (1971: 95) sebagai imperialisme atau penjajahan ekonomi. Oleh
karena itu, renegosiasi kontrak karya pertanda sikap bangsa yang pasrah (nrimo),
bermental kacung (jongos/babu/komprador) dan terjajah (inlander). Tuhan pun sangat
benci dengan orang-orang yang dungu dan pasrah pada nasib. Lagi pula, republik ini
sudah sejak tahun 1945 diikrarkan sebagai bangsa yang merdeka, serta didirikan dengan
darah dan air mata. Kita berhak menguasai dan mengeksploitasi sendiri sumber daya yang
kita miliki, dengan cara yang lebih beradab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Tidak ada pilihan lain, kita harus berani menasionalisasi PT Freeport Indonesia. Tidak
perlu takut, ini tanah air kita bung! Mengapa harus takut? Bukankah pemerintahan
Soekarno pernah menasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda yang ada di Indonesia.
Melalui

Peraturan

Pemerintah

Pengganti

Undang-undang

tentang

Nasionalisasi

Perusahaan Milik Belanda yang ada di Indonesia, pemerintahan Orde Lama melakukan
nasionalisasi terhadap 38 perusahaan tembakau di wilayah Jawa dan Sumatera, 205 aneka
perusahaan perkebunan dan industri, 22 aneka perusahaan dan perkebunan di Sumatera
dan Jawa, dan 12 aneka perusahaan dan cabang perusahaan di Bandung (Salamudin, 2011:
27-28). Bukankah Venezuela di bawah kepemimpinan Hugo Chavez juga mengambil
langkah serupa dengan menasionalisasi BUMN minyak Venezuela Petroleos de Venezuela
(PDVSA) dari perusahaan minyak Exxon Mobile Corporations (Amerika),9 menasionalisasi
Hugo Rafael Chvez Fras merupakan salah satu dari beberapa kepala negara yang berani
menentang dominasi Amerika. Sebelumnya, pemerintah Venezuela menyepakati kerjasama (joint
venture) tiga proyek pertambangan minyak dengan Exxon Mobile (Amerika). Dalam perjalanannya,
Chavez menilai kerjasama ini tidak menguntungkan bagi Venezuela, sehingga Chavez
memerintahkan kepada PDVSA untuk mengambil-alih ketiga proyek tersebut. Gegap-gempita Hugo
Chavez melakukan nasionalisasi proyek tambang minyak termasuk bagian dari strategi
pemerintahannya dalam mereformasi industri minyak. PDVSA bersedia membayar sebesar US$
255 juta atau sekitar Rp2,3 triliun sebagai ganti rugi atas harta yang dinasionalisasi. Tentu saja,
Exxon Mobile tidak tinggal diam dan membawa kasus ini ke Dewan Arbitrase Internasional. Exxon
9

Cemex (Perusahaan Semen Mexico di Venezuela),10 dan menasionalisasi perusahaan


tambang emas yang ada di wilayah selatan negara itu.11
Nasionalisasi terhadap PT Freeport Indonesia bukan hanya isapan jempol belaka, asalkan
pemimpin kita berani mengambil langkah itu dan siap menerima risiko politik dan
ekonomi atas perbuatan itu.12 Dibutuhkan kesadaran politik yang kemudian dilanjutkan
dengan intervensi politik dalam memaksimalisasi sumber daya alam guna melakukan
transformasi pembangunan (Amin, 1974). Nasionalisasi PT Freeport Indonesia juga bukan
tanpa dasar dan mengada-ada. Inilah saatnya berjuang (its time to fight) mengembalikan
kedaulatan kita atas bumi, air dan segala isinya. Kontrak karya bukan kiamat untuk
menasionalisasi PT Freeport Indonesia karena kedudukan kontrak karya tidak lebih tinggi
dari konstitusi. Ada beberapa isu yang menjadi alasan utama, mengapa kita harus
menasionalisasi PT Freeport Indonesia. Kita bisa mengunakan isu lingkungan, keamanan
dan pelanggaran hukum dan HAM, dan konflik sosial guna mendesak PT Freeport
McMoran menjual saham PT Freeport Indonesia secara penuh kepada pemerintah
Indonesia. Beberapa alasan tersebut akan diuraikan secara singkat.

Isu Lingkungan
PT Freeport Indonesia melakukan penambangan dengan dua sistem, yaitu penambangan
terbuka (open-pit) dengan menggunakan truk pengangkut dan sekop listrik besar dan
sistem tambang tertutup (block-caving) pada tambang bawah tanah. Bijih tembaga dan
Mobile menuntut ganti-rugi sebesar US$ 907 juta atau Rp8,23 triliun. Selengkapnya lihat di
www.wartapedia.com.
10 Hugo Chavez menasionalisasi Cemex pada tanggal 18 Agustus 2008. Langkah ini diambil setelah
tidak ada kesepakatan pengambilalihan perusahaan itu dengan jalan negosiasi. Selengkapnya lihat
di www.presidenku.com.
11 Pertambangan dan eksplotasi emas di wilayah selatan Venezuela, tidak luput dari agenda
nasionalisasi Hugo Chavez. Venezuela akan mengambil-alih salah satu perusahaan tambang
terbesar di daerah itu, yaitu Rusoro. Rusoro adalah perusahaan Kanada yang dikuasai oleh keluarga
Agapov dari Rusia. Chavez menjelaskan bahwa seluruh hasil tambang dari daerah tersebut akan
disimpan di bank pusat negara. Simpanan emas Venezuela diperkirakan mencapai US$ 12 miliar
atau sekitar Rp102,3 triliun. Sebagian diantaranya di simpan di berbagai bank di luar negeri oleh
perusahaan tambang asing. Hal inilah yang menyulut kemarahan Chavez dan memantiknya
melakukan nasionalisasi. Selengkapnya silahkan browsing di www.dunia.vivanews.com.
12 Ditekan Amerika adalah risiko politik internasional yang jelas akan muncul akibat langkah ini. PT
Freeport McMoran adalah perusahaan dengan akumulasi kapital yang bisa mempengaruhi
kebijakan politik luar negeri Amerika. Apalagi bila perusahaan itu ikut memberikan donasi bagi
dana kampanye presiden Amerika, tentu PT Freeport McMoran semakin leluasa menekan
Indonesia. Sedangkan, risiko ekonomi yang akan timbul adalah ketidakpercayaan (distrust) pihak
asing untuk investasi di Indonesia. Namun, hal ini sebenarnya tidak perlu dikhawatirkan karena
tidak bersifat persisten (permanen). Sebagai salah satu negara dengan populasi penduduk terbesar
di dunia dan memiliki natural endowment yang melimpah, Indonesia masih menjadi pasar dan
lahan yang menggiurkan bagi investor.

emas yang telah dihancurkan diangkut ke pabrik pengolahan. Selanjutnya, proses


pengapungan bagi bahan yang mengandung alkohol dan kapur, untuk memisahkan
konsentrat yang mengandung mineral, tembaga, emas dan perak. Sisa dari batuan yang
tidak memiliki nilai ekonomi, mengendap sebagai tailing dan dilepaskan ke sungai Ajkwa
(www.ptfi.com). Sisa endapan tailing yang dilepaskan ke Sungai Ajkwa ini mengandung
kadar asam yang tinggi dan tidak sepenuhnya bisa dinetralisir sehingga menimbulkan
pencemaran sungai dan air tanah. Padahal, sungai dan air bawah tanah adalah sumber
kehidupan dan mengandung nilai sosio-kultural yang tinggi bagi masyarakat Papua.
Fakta yang terjadi di lapangan, PT Freeport Indonesia melakukan penjajahan dan
penjarahan secara ugal-ugalan atas sumber daya alam yang kita miliki tanpa
memperhatikan kelestarian lingkungan (Alam, 2011; M. Zen dan Widiyanto, 2006).
Penambangan terbuka yang dilakukan oleh PT Freeport Indonesia di puncak Grastberg
menghasilkan batuan limbah dan tailing hingga 700 ribu ton. Limbah tailing dan batuan
itu dapat menenggelamkan wilayah seluas 200 km2 atau seluas Kota Bandung (Paripurno,
dkk, 2010: 3). Tanah yang telah digaruk oleh PT Freeport Indonesia otomatis akan
meninggalkan lubang yang dalam dan luas. Batubara mencatat bahwa pertambangan
terbuka di Erstberg menyisakan lubang sedalam 360 meter dan lubang tambang Grasberg
telah

mencapai

diameter

2,4

kilometer

dengan

kedalaman

800

meter

(www.eramuslim.com). Akibatnya, daerah sekitar penambangan rawan terhadap tanah


longsor dan banjir. Hal ini selain merusak lingkungan dan ekosistem hutan, juga
membahayakan para pekerja di lokasi tambang.
Eksploitasi yang dilakukan oleh PT Freeport Indonesia jelas menimbulkan efek merusak
(destroy) yang luar biasa terhadap lingkungan. Menurut perhitungan Greenomics
Indonesia, biaya yang dibutuhkan untuk memulihkan lingkungan yang rusak adalah Rp67
triliun. Biaya ini tidak sebanding dengan klaim yang dikeluarkan oleh PT Freeport
Indonesia bahwa pemerintah pusat mendapatkan keuntungan langsung US$ 3,8 miliar
atau Rp36 triliun (Mafri dalam www.stofest.org). Selain itu, kerusakan lingkungan yang
disebabkan oleh PT Freeport Indonesia tentu tidak bisa dibenarkan secara hukum. Terkait
dengan masalah kerusakan lingkungan ini, setidak-tidaknya ada beberapa aturan yang
diterabas oleh PT Freeport Indonesia, yaitu UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, UU
No. 23 Tahun 1997 tentang Lingkungan Hidup, dan UU No. 26 Tahun 2007 tentang
Penataan Ruang.

Isu Pelanggaran HAM


Pelanggaran HAM yang dilakukan oleh PT Freeport Indonesia dimulai ketika masuk
pertama kali di tanah Papua pada tahun 1971 dan membuka pertambangan Erstberg. PT
Freeport Indonesia memindahkan suku Amugme dari wilayah mereka, ke kaki
pegunungan untuk keperluan eksplorasi dan eksploitasi tambang. Eksistensi kehidupan
suku asli Papua pun terganggu. Sejak ditandatanganinya Kontrak Karya I, alur hidup suku
Amugme, Kamoro, Dani, Nduga, Damal, Moni, dan Mee (Ekari) berlangsung surut
(Batubara dalam www.eramuslim.com). Bagi suku asli Papua, tanah selain merupakan
aset ekonomi, juga memiliki nilai sosial, budaya dan adat yang sangat dipatuhi dan
dijunjung tinggi. Namun, tidak banyak sumber yang memberikan informasi, apakah
mereka dipindahkan secara layak, apakah tanah adat mereka diganti secara adil dan
beradab.
Di samping itu, PT Freeport Indonesia juga menyewa jasa pengamanan dari TNI dan Polri
untuk

mendukung

pengamanan

yang

dilakukan

oleh

pengamanan

swakarsa

(pamswakarsa). PT Freeport Indonesia mengeluarkan uang untuk membiayai jasa


pengamanan militer dan polisi US$ 66 juta, sampai akhir tahun 2005. Uang sebanyak itu
dikeluarkan untuk membayar barang dan jasa, berupa barak, angkutan, makanan dan
honor aparat keamanan (Human Rights Watch, 2006: 55). Koran The New York Times juga
pernah merilis laporannya bahwa PT Freeport Indonesia mengeluarkan uang sebesar US$
20 juta untuk membayar jasa pengamanan fasilitas tambang sejak tahun 1999-2005. Dana
itu digunakan untuk menyediakan kendaraan, bahan bakar dan konsumsi untuk aparat
keamanan (www.nytimes.com). Hal ini tentu tidak bisa dibenarkan karena bertentangan
dengan tugas dan fungsi aparat negara sebagaimana diatur dalam UU No. 34 Tahun 2004
tentang TNI dan UU No. 2 Tahun 2002 tentang Polri.
Penggunaan aparat keamanan untuk menjaga daerah operasi PT Freeport Indonesia,
menjadi pemicu bagi terjadinya kasus pelanggaran HAM di wilayah operasi
pertambangan. Aparat dengan sistem persenjataan yang dimilikinya menggunakan
amunisinya untuk menembaki masyarakat setempat yang dianggap membahayakan PT
Freeport Indonesia. Terkait dengan masalah pelanggaran HAM yang dilakukan oleh aparat
keamanan dulu dan kini, ratusan orang telah menjadi korban pelanggaran HAM berat dan
bahkan meninggal dunia tanpa kejelasan. Namun, kasus-kasus pelanggaran HAM yang
dilakukan oleh PT Freeport Indonesia tidak pernah diusut secara serius (Batubara dalam
www.eramuslim.com).

Isu Konflik Sosial


Dari sisi historis, pascapenentuan pendapat rakyat (1969), sebenarnya tidak semua
masyarakat

Papua

memilih

berintegrasi

dengan

Indonesia.

Mereka

kemudian

mengorganisir gerakan dan mendirikan Organisasi Papua Merdeka (OPM). Gerakan ini
awalnya hanya menuntut keadilan kepada pemerintah pusat agar pembangunan
dilakukan secara merata dan adil di tanah Papua. Masyarakat Papua merasa memiliki
sumber daya alam yang melimpah, tetapi mereka tidak merasa menikmatinya. Dalam
perkembangannya, mereka menuntut untuk merdeka atau lepas dari Indonesia.
Pemerintah melakukan langkah persuasif dengan memberikan Otonomi Khusus kepada
Provinsi Papua. Namun, kebijakan ini tidak menyelesaikan masalah. Masyarakat Papua
tetap miskin dan terbelakang sehingga OPM terus melawan dan memberontak.
Ditambah dengan kerakusan PT Freeport Indonesia yang setiap hari terus mengeruk
kekayaan tambang di Papua, tanpa memberikan dampak yang berarti bagi masyarakat
setempat, mengakibatkan konflik semakin tajam. Situasi ini tentu menyebabkan
tumbuhnya benih-benih konflik di Papua. Sudah banyak kajian yang mengungkapkan
bahwa kehadiran PT Freeport Indonesia di Papua menghadirkan konflik sosial di tengahtengah masyarakat Papua (Ngadisah, 2003; Leith, 2003). Kondisi ini jelas mengancam
keutuhan NKRI. Oleh karena itu, kita harus segera mengambil langkah strategis dengan
menasionalisasi PT Freeport Indonesia dan mengelolanya untuk kemakmuran masyarakat
Papua dan seluruh rakyat Indonesia.

KESIMPULAN
Rezim UU Pertambangan yang kita miliki sangat pro asing. Akibatnya, kehadiran PT
Freeport Indonesia tidak memberikan manfaat ekonomi yang nyata bagi kemakmuran
rakyat Papua dan Indonesia. PT Freeport Indonesia merupakan bagian dari sistem
kapitalis dunia (PT Freeport McMoran) yang mengeksploitasi emas dan tembaga secara
tidak beradab. Hal ini menimbulkan kerugian secara ekonomi dan non-ekonomi kepada
Indonesia. Sudah saatnya kita berhenti dijajah oleh kekuatan kapital asing. Inilah saatnya
mengembalikan kedaulatan ekonomi kita. Oleh karena itu, langkah yang harus ditempuh
seharusnya bukan renegosiasi kontrak karya, tetapi nasionalisasi PT Freeport Indonesia.
Renegosiasi kontrak karya hanya akan memperlama masa penjarahan yang dilakukan oleh
PT Freeport Indonesia.

Kita tidak perlu patuh dan takut dengan kontrak karya karena, baik konstitusi maupun
aturan di bawahnya (UU dan PP) memberikan garansi untuk menguasai dan mengelola
kekayaan tambang secara mandiri. Kita harus percaya diri bahwa kita memiliki kapasitas
untuk mengelola tambang emas dan tembaga di tanah Papua. Sudah saatnya kita keluar
dari jeratan kapitalis asing dan berhenti jadi bangsa jongos. Apabila rezim tidak berani
menasionalisasi PT Freeport Indonesia, tunggulah suatu saat akan tiba masa dimana anak
cucu kita mengutuk kita karena tempat hidupnya rusak dan sumber daya alam yang
tersedia sudah punah.

DAFTAR PUSTAKA
Alam, Wawan Tunggul. 2011. Freeport Papua, Blok Cepu, Gas Alam Arun: C'mon Mister,
Please Keruklah Hasil Bumi Indonesia. Jakarta: Ufuk.
Amin, Samir. 1974. Accumulation and Development: A Theoretical Model. Review of
African Political Economy 1: 9-26.
Anonim. 2012. Freeport Merasa Kebal: Ogah Jual Saham ke Indonesia. Meteor Jogja 13
Maret.
Dos Santos, Theotonio dan Laura Randall. 1998. The Theoretical Foundations of the
Cardoso Government: A New Stage of the Dependency-Theory Debate. Latin
American Perspectives 25(1): 53-70.
Galtung, Johan. 1971. A Structural Theory of Imperialism. Journal of Peace Research 8(2):
81-117.
Human Rights Watch. 2006. Harga Selangit: Hak Asasi Manusia sebagai Ongkos Kegiatan
Ekonomi Pihak Militer di Indonesia. Human Right Watch 18(5C).
Leith, Denise. 2003. The Politics of Power: Freeport in Suhartos Indonesia. Hawaii:
University of Hawaii Press.
M. Zen, A. Patra dan Adi Widiyanto. 2006. Freeport: Bagaimana Pertambangan Emas dan
Tembaga Raksasa Menjajah Indonesia. Jakarta: Jatam-Walhi.
Ngadisah. 2003. Konflik Pembangunan dan Gerakan Sosial Politik di Papua. Yogyakarta:
Pustaka Raja.
Paripurno, Eko Teguh, dkk. 2010. Datang, Gali dan Pergi: Potret Penutupan Tambang di
Indonesia (Cetakan Ketiga). Malang: Jatam dan In-Trans.
PT Freeport McMoran Copper and Gold Inc. 2010. Annual Report. Arizona: PT Freeport
McMoran Copper and Gold Inc.
Salamudin. 2011. Penjajahan dari Lubang Tambang: Temali Modal Asing, Utang dan
Pengerukan Kekayaan Tambang di Indonesia (Cetakan Kedua). Malang: Jatam dan
In-Trans.
Wallerstein, Immanuel. 1974. The Rise and Future Demise of the World Capitalist System:
Concepts for Comparative Analysis. Comparative Studies in Society and History
16(4): 387-415.
Sumber dari Internet
http://ekonomi.kompasiana.com/bisnis/2012/02/07/kurtubi-%E2%80%9Ckontrakkarya-pertambangan-umum-kelanjutan-model-konsesi-zaman-kolonial%E2%80%9D/
diunduh tanggal 14 Maret 2012.

http://www.eramuslim.com/berita/laporan-khusus/sejarah-kelam-tambang-freeport1.htm. diunduh tanggal 14 Maret 2012.


http://www.fcx.com/operations/grascomplx.htm diunduh tanggal 14 Maret 2012.
http://www.nytimes.com/2005/12/30/international/asia/30indo.html?scp=4&sq=freep
ort+indonesia&st=nyt diunduh tanggal 21 Maret 2012.
http://www.ptfi.com/manfaat_ekonomi.asp diunduh tanggal 14 Maret 2012.
http://wartapedia.com/dunia/dunia/6690-hugo-chaves-mulai-gerakan-nasionalisasiaset-perminyakan.html diunduh tanggal14 Maret 2012.
http://www.presidenku.com/?p=98 diunduh tanggal 14 Maret 2012.
http://www.stofest.org diunduh tanggal 14 Maret 2012.
http://dunia.vivanews.com/news/read/241469-venezuela-ambi-alih-tambang-emasdari-mafia diunduh tanggal 14 Maret 2012.

Anda mungkin juga menyukai