Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Spinal canal stenosis merupakan suatu kondisi penyempitan kanalis
spinalis atau foramen intervertebralis disertai dengan penekanan akar saraf
yang keluar dari foramen tersebut. Semakin tinggi angka harapan hidup
seseorang di suatu negara, semakin meningkat populasi orang dengan usia
lanjut dengan aktivitas yang terpelihara secara monoton. Konsekuensinya
adalah keterbatasan fungsional dan nyeri yang timbul sebagai gejala penyakit
degeneratif pada tulang belakang, menjadi lebih sering muncul sebagai
masalah kesehatan.
Spinal stenosis menjadi salah satu masalah yang sering ditemukan, yang
merupakan penyakit degeneratif pada tulang belakang pada populasi usia
lanjut. Prevalensinya 5 dari 1000 orang diatas usia 50 tahun. Merupakan
penyakit terbanyak yang menyebabkan bedah pada tulang belakang pada usia
lebih dari 60 tahun. Pria lebih tinggi insidennya daripada wanita.
Patofisiologi tidak berkaitan dengan ras, jenis kelamin, tipe tubuh,
pekerjaan dan paling banyak mengenai lumbar ke-4 k-5 dan lumbar ke-3 ke-4.
Stenosis adalah penyempitan pada kaliber orifisium tuba, yang menyebabkan
penurunan aliran cairan atau gas disertai penekanan pada komponen padatnya
(struktur saraf), bila tidak terjadi penekanan maka kanalnya dikatakan
mengalami penyempitan namun bukan stenosis. Spinal stenosis merupakan
penyempitan osteoligamentous vertebral canal dan atau intervertebral
foramina yang menghasilkan penekanan pada thecal sac dan atau akar saraf.
Pada level vertebra yang sama penyempitan tersebut bisa mempengaruhi
keseluruhan kanal dan bagian lain dari kanal tersebut.
Tanda-tanda Stenosis Spinal termasuk yang menyebabkan kaki
mengalami kelemahan, kesemutan, nyeri. Rasa sakit dapat bervariasi dari rasa
nyeri untuk sakit menusuk tajam. Rasa sakit pasien biasanya lebih buruk
sambil berdiri atau berjalan. Beberapa pasien menyatakan bahwa bantuan
hanya dari rasa sakit adalah ketika mampu berbaring horizontal. Pasien

biasanya lebih nyaman sambil bersandar ke depan, seperti berjalan dengan


tongkat. Rasa sakit biasanya meningkat ketika berdiri, sehingga pasien lebih
memilih untuk bersandar ke depan atau untuk duduk, karena tindakan ini
melenturkan tubuh di bagian pinggul.
Pengobatan bisa dilakukan secara konservatif atau bedah. Modus terapi
konservatif termasuk istirahat, terapi fisik dengan latihan penguatan untuk
otot-otot paraspinal, bracing, penggunaan biomekanik postural optimal, obat
anti-inflamasi nonsteroid, analgesik, dan antispasmodik. Dekompresi bedah
diindikasikan pada orang yang mengalami nyeri hingga lumpuh, defisit
neurologis, atau myelopathy. Stenosis tulang belakang yang memberat dapat
menyebabkan disfungsi usus dan / atau disfungsi kandung kemih. Bedah
komplikasi termasuk infeksi, cedera neurologis, pseudarthrosis, sakit kronis,
dan cacat.
Berdasarkan dasar diatas penulis tertarik untuk membahas mengenai
penyempitan spinal kanal.
B. Tujuan
Mengetahui dan menambah wawasan tentang penyempitan spinal kanal
dan dapat menegakkan diagnosis serta penatalaksanaannya.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi

Spinal kanal stenosis adalah suatu kondisi penyempitan kanalis spinalis


atau foramen intervertebralis disertai dengan penekanan akar saraf yang keluar
dari foramen tersebut.
B. Anatomi
Vertebra dari berbagai regio berbeda dalam ukuran dan sifat khas
lainnya, vertebra dalam satu daerah pun memiliki sedikit perbedaan. Vertebra
terdiri dari corpus vertebra dan arkus vertebra.
Corpus vertebra adalah bagian ventral yang memberi kekuatan pada
columna vertebralis dan menanggung berat tubuh. Corpus vertebra, terutama
dari vertebra thoracica IV ke caudal, berangsur bertambah besar supaya dapat
memikul beban yang makin berat. Arkus vertebra adalah bagian dorsal
vertebra yang terdiri dari pediculus arcus vertebra dan lamina arkus vertebra.
Pediculus arcus vertebra adalah taju pendek yang kokoh dan
menghubungkan lengkung pada corpus vertebra, insisura vertebralis
merupakan torehan pada pediculus arcus vertebra. Insisura vertebralis superior
dan incisura vertebralis inferior pada vertebra-vertebra yang bertangga
membentuk sebuah foramen intervetebrale. Pediculus arcus vertebrae
menjorok ke arah dorsal untuk bertemu dengan dua lempeng tulang yang lebar
dan gepeng yakni lamina arcus vertebrae. Arcus vertebrae dan permukaan
dorsal corpus vertebrae membatasi foramen vertebrale. Foramen vertebrale
berurutan pada columna vertebrale yang utuh, membentuk canalis vertebralis
yang berisi medulla spinalis, meningens, jaringan lemak, akar saraf dan
pembuluh darah.
Vertebrae lumbalis I-V memiliki ciri khas, corpus vertebrae pejal, jika
dilihat dari cranial berbentuk ginjal, foramen vertebrale berbentuk segitiga,
lebih besar dari daerah servical dan thoracal, prosesus transversus panjang dan
ramping, prosesus accesorius pada permukaan dorsal pangkal setiap prosesus,
prosesus articularis facies superior mengarah ke dorsomedial, facies inferior
mengarah ke ventrolateral, prosesus mamiliaris pada permukaan dorsal setiap
prosesus articularis, prosesus spinosus pendek dan kokoh.

Struktur lain yang tidak kalah penting dan menjadi istimewa adalah
sendi lengkung vertebra articulation zygapophysealis (facet joint), letaknya
sangat berdekatan dengan foramen intervertebrale yang dilalui saraf spinal
untuk meninggalkan canalis vertebralis. Sendi ini adalah sendi sinovial datar
antara prosesus articularis (zygoapophysis) vertebra berdekatan. Sendi ini
memungkinkan gerak luncur antara vertebra. Jika sendi ini mengalami cidera
atau terserang penyakit, saraf spinal dapat ikut terlibat. Gangguan ini dapat
mengakibatkan rasa sakit sesuai dengan pola susunan dermatom, dan kejang
pada otot-otot yang berasal dari miotom yang sesuai.
C. Patoanatomi
Struktur anatomi yang bertanggung jawab terhadap penyempitan kanal
adalah struktur tulang dan jaringan lunak. Akibat kelainan struktur tulang
jaringan lunak tersebut dapat mengakibatkan beberapa kondisi yang mendasari
terjadinya spinal canal stenosis yaitu:
1. Degenerasi diskus
Degenerasi diskus merupakan tahap awal yang paling sering terjadi pada
proses degenerasi spinal, walaupun artritis pada sendi facet juga bisa
mencetuskan suatu keadaan patologis pada diskus. Pada usia 50 tahun
terjadi degenerasi diskus yang paling sering terjadi pada L4-L5, dan L5S1. Perubahan biokimia dan biomekanik membuat diskus memendek.
Penonjolan annulus, herniasi diskus, dan pembentukan dini osteofit bisa

diamati. Sequela dari perubahan ini meningkatkan stres biomekanik yang


ditransmisikan ke posterior yaitu ke sendi facet. Perubahan akibat arthritis
terutama instabilitas pada sendi facet. Sebagai akibat dari degenerasi
diskus, penyempitan ruang foraminal chepalocaudal, akar saraf bisa
terjebak, kemudian menghasilkan central stenosis maupun lateral stenosis.
2. Instabilitas Segmental
Konfigurasi tripod pada spina dengan diskus, sendi facet dan ligamen yang
normal membuat segmen dapat melakukan gerakan rotasi dan angulasi
dengan halus dan simetris tanpa perubahan ruang dimensi pada kanal dan
foramen. Degenerasi sendi facet bisa terjadi sebagai akibat dari instabilitas
segmental, biasanya pada pergerakan segmental yang abnormal misalnya
gerakan translasi atau angulasi. Degenerasi diskus akan diikuti oleh
kolapsnya ruang diskus, karena pembentukan osteofit di sepanjang
anteromedial apsek dari prosesus articularis superior dan inferior akan
mengakibatkan arah sendi facet menjadi lebih sagital. Gerakan flexi akan
membagi tekanan ke arah anterior. Degenerasi pergerakan segmen dengan
penyempitan ruang diskus menyebabkan pemendekan relatif pada kanal
lumbalis, dan penurunan volume ruang yang sesuai untuk cauda equina.
Pengurangan volume diperparah oleh penyempitan segmental yang
disebabkan oleh penonjolan diskus dan melipatnya ligamentum flavum.
Pada kaskade degenerative kanalis sentralis dan neuroforamen menjadi
kurang terakomodasi pada gerakan rotasi karena perubahan pada diskus
dan sendi facet sama halnya dengan penekanan saraf pada gerakan
berputar, kondisi ini bisa menimbulkan inflamasi pada elemen saraf cauda
equina kemudian mengahasilkan nyeri.
3. Hiperekstensi segmental
Gerakan ekstensi normal dibatasi oleh serat anterior annulus dan otot-otot
abdomen. Perubahan degeneratif pada annulus dan kelemahan otot
abdominal menghasilkan hiperekstensi lumbar yang menetap. Sendi facet
posterior merenggang secara kronis kemudian mengalami subluksasi ke
arah posterior sehingga menghasilkan nyeri pinggang.
D. Fisiologi

Tiga komponen biokimia utama diskus intervertebralis adalah air,


kolagen, dan proteoglikan, sebanyak 90-95% total volume diskus. Kolagen
tersusun dalam lamina, membuat diskus mampu berekstensi dan membuat
ikatan intervertebra. Proteoglikan berperan sebagai komponen hidrodinamik
dan elektrostatik dan mengontrol turgor jaringan dengan mengatur pertukaran
cairan pada matriks diskus. Komponen air memiliki porsi sangat besar pada
berat diskus, jumlahnya bervariasi tergantung beban mekanis yang diberikan
pada segment tersebut.
E. Patofisiologi
Sejalan dengan pertambahan usia cairan tersebut berkurang, akibatnya
nukleus pulposus mengalami dehidrasi dan kemampuannya mendistribusikan
tekanan berkurang, memicu robekan pada annulus. Kolagen memberikan
kemampuan peregangan pada diskus. Nucleus tersusun secara eksklusif oleh
kolagen tipe-II, yang membantu menyediakan level hidrasi yang lebih tinggi
dengan memelihara cairan, membuat nucleus mampu melawan beban tekan
dan deformitas. Annulus terdiri dari kolagen tipe-II dan kolagen tipe-I dalam
jumlah yang sama, namun pada orang yang memasuki usia 50 tahun atau lebih
tua dari 50 tahun kolagen tipe-I meningkat jumlahnya pada diskus.
Proteoglikan pada diskus intervertebralis jumlahnya lebih kecil dibanding
pada sendi kartilago, proteinnya lebih pendek, dan jumlah rantai keratin sulfat
dan kondroitin sulfat yang berbeda. Kemampatan diskus berkaitan dengan
proteoglikan, pada nuleus lebih padat daripada di annulus. Sejalan dengan
penuaan, jumlah proteoglikan menurun dan sintesisnya juga menurun.
Annulus tersusun atas serat kolagen yang kurang padat dan kurang
terorganisasi pada tepi perbatasannya dengan nukleus dan membentuk
jaringan yang renggang dengan nukleus pulposus.

F. Etiologi
Struktur anatomi yang bertanggung jawab terhadap penyempitan kanal
meliputi struktur tulang dan jaringan lunak. Struktur tulang meliputi: osteofit
sendi facet (merupakan penyebab tersering), penebalan lamina, osteofit pada
corpus vertebra, subluksasi maupun dislokasi sendi facet (spondilolistesis),
hipertrofi atau defek spondilolisis, anomali sendi facet kongenital. Struktur
jaringan lunak meliputi: hipertrofi ligamentum flavum (penyebab tersering),
penonjolan annulus atau fragmen nukleus pulposus, penebalan kapsul sendi
facet dan sinovitis, dan ganglion yang bersal dari sendi facet. Akibat kelainan
struktur tulang jaringan lunak tersebut dapat mengakibatkan beberapa kondisi
yang mendasari terjadinya spinal canal stenosis
G. Epidemiologi
Spinal stenosis menjadi salah satu masalah yang sering ditemukan, yang
merupakan penyakit degeneratif pada tulang belakang pada populasi usia
lanjut. Prevalensinya 5 dari 1000 orang diatas usia 50 tahun di Amerika.
Merupakan penyakit terbanyak yang menyebabkan bedah pada spina pada usia
lebih dari 60 tahun. Lebih dari 125.000 prosedur laminektomi dikerjakan
untuk kasus lumbar spinal stenosis. Pria lebih tinggi insidennya daripada
wanita. Patofisiologinya tidak berkaitan dengan ras, jenis kelamin, tipe tubuh,
pekerjaan dan paling banyak mengenai lumbar ke-4 k-5 dan lumbar ke-3 ke-4.
H. Klasifikasi
Kalsifikasi spinal canal stenosis dapat dibagi congenital/developmental
and acquired types, yaitu:
1. Congenital-developmental stenosis
a. Idiopathic
b. Achondroplastic
2. Acquired stenosis
a. Degenerative (most common type)
b. Combined congenital and degenerative stenosis
c. Spondylitic/spondylolisthetic
d. Iatrogenic (ex postlaminectomy, postfusion)
e. Posttraumatic

f. Metabolic (ex Pagets disease, fluorosis)


I. Gejala Klinis
1. Sakit punggung. Orang dengan stenosis tulang belakang mungkin atau
mungkin tidak memiliki sakit punggung.
2. Nyeri seperti terbakar pada bokong atau kaki (linu panggul). Tekanan
pada saraf tulang belakang dapat mengakibatkan rasa sakit di daerah
pasokan saraf. Rasa sakit dapat digambarkan sebagai nyeri atau rasa
seperti terbakar. Ini biasanya dimulai di daerah bokong dan memancarkan
ke kaki. Rasa sakit di kaki yang sering disebut "sciatica."
3. Mati rasa atau kesemutan pada bokong atau kaki. Saat tekanan pada saraf
meningkat, mati rasa dan kesemutan sering disertai nyeri terbakar.
Meskipun tidak semua pasien akan mempunyai keluhan nyeri terbakar dan
mati rasa dan kesemutan pada kedua kakinya.
4. Kelemahan di kaki atau "foot drop." Setelah tekanan pada saraf mencapai
tingkat kritis, kelemahan dapat terjadi pada satu atau kedua kaki. Beberapa
pasien akan memiliki drop foot, atau merasakan kaki mereka di tanah saat
berjalan.
5. Lebih sedikit nyeri dengan bersandar ke depan atau duduk. Studi dari
lumbar tulang belakang menunjukkan bahwa bersandar ke depan benarbenar dapat menambah ruang yang tersedia untuk saraf. Banyak pasien
merasa nyaman ketika membungkuk ke depan dan terutama dengan duduk.
Nyeri biasanya diperparah dengan berdiri tegak dan berjalan. Beberapa
pasien memperhatikan bahwa mereka bisa naik sepeda statis atau berjalan
bersandar pada keranjang belanja. Berjalan lebih dari 1 atau 2 blok,
bagaimanapun, dapat membuat pada linu panggul menjadi semakin parah
atau terjadi kelemahan.
6. Abnormal fungsi usus / dan atau fungsi kandung kemih
7. Hilangnya fungsi seksual
J. Faktor Resiko
Risiko terjadinya stenosis tulang belakang meningkat pada orang yang:
1. Terlahir dengan kanal spinal yang sempit
2. Berjenis kelamin wanita
3. Berusia 50 tahun atau lebih (osteofit atau tonjolan tulang berkaitan dengan
pertambahan usia)

4. Pernah mengalami cedera tulang belakang sebelumnya


K. Diagnosis
Diagnosis stenosis tulang belakang dimulai dengan anamnesis yang
lengkap dan pemeriksaan fisik. Anamnesis berupa keluhan serta gejala gejala
yang dirasakan penderita. Setelah membahas gejala dan riwayat medis, dokter
akan memeriksa punggung Anda. Ini meliputi dengan cara melihat punggung
dan mendorong pada daerah yang berbeda untuk melihat apakah itu
menimbulkan rasa yang menyakitkan. Dokter bisa meminta penderita
membungkuk ke depan, ke belakang, dan sisi ke sisi untuk mencari
keterbatasan atau rasa sakit. Pemeriksaan fisik ini dapat membantu dengan
menentukan keparahan kondisi dan apakah atau tidak adanya kelemahan dan /
atau mati rasa.
Dapat pula dengan tes pencitraan seperti x-ray, magnetic resonance
imaging (MRI), atau computerized tomography (CT) scan untuk memastikan
diagnosa.
1. X-ray. Meskipun mereka hanya memvisualisasikan tulang, sinar-X dapat
membantu menentukan apakah Anda memiliki stenosis spinal. X-ray akan
menunjukkan perubahan proses penuaan, seperti kehilangan ketinggian
disk atau tulang taji.
X-ray diambil sambil bersandar ke depan dan ke belakang dapat
menunjukkan "ketidakstabilan" pada sendi Anda. Sinar-X juga dapat
menunjukkan

terlalu

banyaknya

mobilitas.

Ini

sering

disebut

spondylolisthesis.
2. Magnetic resonance imaging (MRI). Pemeriksaan ini dapat membuat
gambar yang lebih baik dari jaringan lunak, seperti otot, cakram, saraf,
dan sumsum tulang belakang.
3. Tes tambahan. Computed tomography (CT) scan dapat membuat
penampang gambar tulang belakang. juga dapat dilakukan myelogram.
Dalam prosedur ini, zat warna disuntikkan ke tulang belakang untuk
membuat saraf muncul lebih jelas. Hal ini dapat membantu dokter
menentukan apakah pada saraf sedang terjadi dikompresi
L. Tatalaksana
Pengobatan non operatif

1. Pilihan pengobatan non operatif difokuskan untuk mengembalikan fungsi


dan menghilangkan rasa sakit. Meskipun metode non-bedah tidak
meningkatkan penyempitan kanal tulang belakang, banyak orang
melaporkan bahwa perawatan ini membantu meringankan gejala.
Terapi fisik. Latihan peregangan, pijat, penguatan lumbal dan perut sering
membantu mengatasi gejala.
Traksi lumbal. Walaupun mungkin membantu dalam beberapa pasien,
traksi memiliki hasil yang sangat terbatas. Tidak ada bukti ilmiah
keefektifannya.
2. Obat anti-inflamasi. Karena rasa nyeri stenosis disebabkan oleh tekanan
pada saraf tulang belakang, mengurangi inflamasi (pembengkakan) di
sekitar saraf dapat meredakan nyeri. Nonsteroid antiinflammatory drugs
(NSAID) awalnya memberikan penghilang rasa sakit. Ketika digunakan
selama 5-10 hari, mereka juga dapat memiliki efek anti inflamasi.
Kebanyakan orang terbiasa dengan NSAID tanpa resep dokter, seperti
aspirin dan ibuprofen. Baik terlaludijual bebas atau kekuatan resep, obatobat ini harus digunakan dengan hati-hati. Mereka dapat menyebabkan
gastritis atau ulkus lambung. Jika timbul refluks asam atau sakit perut saat
menggunakan anti-inflamasi, dapat konsultasi pada dokter.
3. Injeksi steroid. Kortison adalah anti inflamasi kuat. Suntikan kortison
pada

sekitar

saraf

atau

di

"ruang

epidural"

bisa

mengurangi

pembengkakan dan rasa sakit. Tetapi sebetulnya tidak dianjurkan untuk


menerima ini, karena pemberian yang lebih dari 3 kali per tahun. Suntikan
ini lebih cenderung untuk mengurangi rasa sakit dan mati rasa namun
bukan mengurangi kelemahan pada kaki.
4. Akupuntur. Akupuntur dapat membantu dalam mengobati rasa sakit untuk
kasus-kasus yang kurang parah. Meskipun sangat aman, namun
kesuksesan pengobatan ini secara jangka panjang belum terbukti secara
ilmiah.
Pengobatan operatif
1. Pembedahan untuk lumbal spinal stenosis umumnya ditunda pada pasien
yang memiliki kualitas hidup yang buruk karena rasa sakit dan
kelemahan. Pasien mungkin mengeluhkan ketidakmampuan untuk
berjalan untuk jangka waktu yang panjang tanpa duduk. Ini sering

10

menjadi alasan bahwa pasien mempertimbangkan operasi. Ada dua


pilihan operasi utama untuk mengobati stenosis tulang belakang lumbal:
laminektomi dan fusi spina. Kedua opsi dapat menghilangkan rasa sakit
yang sangat baik. Dan perlu mengetahui keuntungan serta kerugiannya.
a) Laminektomi. Prosedur ini melibatkan mengeluarkan tulang, taji
tulang, dan ligamen yang menekan saraf. Prosedur ini juga dapat
disebut "dekompresi." Laminektomi dapat dilakukan dengan
operasi terbuka, di mana dokter melakukan sebuah sayatan yang
besar untuk mengakses tulang belakang. Prosedur ini juga dapat
dilakukan dengan menggunakan metode minimal invasif, di mana
dibuat beberapa sayatan kecil.
b) Spinal fusion. Jika arthritis telah berlanjut terhadap ketidakstabilan
tulang belakang, kombinasi dekompresi dan stabilisasi atau spinal
fusion dapat dianjurkan.
Pada spinal fusion, dua atau lebih vertebra disembuhkan secara
permanen atau menyatu bersama-sama. Cangkok tulang diambil
dari tulang panggul atau tulang pinggul yang digunakan untuk
memadukan tulang belakang.
Fusion menghilangkan gerakan antara tulang dan mencegah
terjadinya selip yang akan memperburuk setelah operasi. Dokter
bedah juga dapat menggunakan batang dan baut untuk menahan
tulang belakang di tempat agar tulang menyatu. Penggunaan batang
dan baut membuat fusi tulang terjadi lebih cepat dan kecepatan
pemulihan.
M. Komplikasi
1. stenosis tulang belakang yang memberat dapat menyebabkan disfungsi
usus dan / atau disfungsi kandung kemih.
2. Bedah komplikasi termasuk infeksi, cedera neurologis, pseudarthrosis,
sakit kronis, dan cacat.
N. Prognosis
Prognosis baik bila dekompresi adekuat, stabilitas sendi facet terjaga,
pembedahan lebih awal, pemakaian korset post-op, latihan pasca operasi.
Prognosis buruk bila terjadi dominan back pain, segmen yang terkena

11

multilevel, penundaan lama pembedahan, terdapt tanda defisist neurologis,


wanita, operasi sebelumnya gagal, pasien dengan penyakit sistemik kronis.

BAB III
KESIMPULAN
A. Kesimpulan
Spinal canal stenosis merupakan penyakit degeneratif yang paling sering
ditemukan pada orang lanjut usia. Gejala yang sering ditimbulkan adalah nyeri
pinggang bawah. Penanganannya tergantung berat ringannya gejala, dapat
konservatif maupun operatif. Komplikasi dan hasil terapinya bergantung pada
kondisi penderita dan pemulihannya yang lama juga harus dipertimbangkan
mengingat pasien yang umumnya usia tua.

12

DAFTAR PUSTAKA
Adam RD, Victor M, Ropper AH. Principles of neurology. 7th ed. McGraw Hill
co. New York. 2005: 194-212.
Amundsen T, Weber H, Lilles F, Nordal HJ, Abdelnoor M, Magnaes B. Lumbar
spinal stenosis. Clinical and radiologic features. Spine (Phila Pa 1976). May
15 1995;20(10):1178-86.
Bernhardt M, Hynes RA, Blume HW, White AA 3rd. Cervical spondylotic
myelopathy. J Bone Joint Surg Am. Jan 1993;75(1):119-28.Caputy AJ,
Luessenhop AJ. Long-term evaluation of decompressive surgery for
degenerative lumbar stenosis. J Neurosurg. Nov 1992;77(5):669-76.

13

Frohna WJ, Della-Giustina D. Chapter 276. Neck and Back Pain. In: Tintinalli JE,
Stapczynski JS, Cline DM, Ma OJ, Cydulka RK, Meckler GD, eds.
Tintinalli's Emergency Medicine: A Comprehensive Study Guide. 7th ed.
New

York:

McGraw-Hill;

2011.

http://www.accessmedicine.com/content.aspx?aID=6392280.diakses

25

Desember 2013.
Greenberg MS. Spinal stenosis. In: Handbook of Neurosurgery. Vol 1. Lakeland,
Fla: Greenburg Graphics, Inc; 1997:207-217.
Harkey HL, al-Mefty O, Marawi I, Peeler DF, Haines DE, Alexander LF.
Experimental chronic compressive cervical myelopathy: effects of
decompression. J Neurosurg. Aug 1995;83(2):336-41.
Heller JG. The syndromes of degenerative cervical disease. Orthop Clin North
Am. Jul 1992;23(3):381-94.
Kalichman L, Cole R, Kim DH, Li L, Suri P, Guermazi A, et al. Spinal stenosis
prevalence and association with symptoms: the Framingham Study. Spine J.
Jul 2009;9(7):545-50.
Keith

L.

Moore, Anne

R. Agur. Anatomi

Klinis

Dasar. 2002.

Jakarta:Hipokrates.
Luke A, Ma C. Chapter 41. Sports Medicine & Outpatient Orthopedics. In:
Papadakis MA, McPhee SJ, Rabow MW, eds. CURRENT Medical
Diagnosis & Treatment 2013. New York: McGraw-Hill;
McRae, Ronald. Clinical Orthopaedic examination. 2004. Fifth Edition: 151-152.
Steven R. Garfin, Harry N. Herkowitz and Srdjan Mirkovic. Spinal Stenosis.
Journal Bone Joint Surg Am. 1999; 81:572-86.
White AA III, Panjabi MM. Clinical Biomechanics of the Spine. 2nd ed.
Philadelphia, Pa: JB Lippincott; 1990:342-378.

14

15

Anda mungkin juga menyukai