Perairan laut Sulawesi Utara berada pada posisi yang strategis untuk pelayaran
nasional maupun internasional, karena berhubungan langsung dengan Samudera
Pasifik. Saat ini belum tersedia data dan informasi yang dapat mengungkapkan
variasi muka laut di perairan laut wilayah Provinsi Sulawesi Utara dalam kaitannya
dengan fenomena anomali iklim yang disebut El Nio dan La Nia. Informasi ini
dipandang penting menjadi pengetahuan yang bermanfaat bagi masyarakat ketika
variasi muka laut tertentu dapat menandai datangnya fenomena El Nio atau La Nia.
Dari analisa data disimpulkan bahwa awal terjadinya La Nia ditandai dengan muka
laut yang mulai naik, begitu pula sebaliknya.
Kata kunci : Sulawesi Utara, muka laut, El Nio, La Nia
PENDAHULUAN
Di perairan laut, gerakan pasang surut pada lokasi-lokasi tertentu tidak hanya
tergantung pada gaya tarik bulan dan matahari saja, tetapi juga ditentukan oleh gaya
friksi; rotasi bumi (gaya coriolis); resonansi gelombang yang disebabkan oleh bentuk,
luas, kedalaman, topografi bawah air serta hubungan perairan tersebut dengan laut di
sekitarnya (lautan terbuka/laut bebas dengan laut tertutup/laut terisolir). Selain itu,
terdapat faktor-faktor non-astronomi yang mempengaruhinya, seperti tekanan
atmosfer, angin, densitas air laut, penguapan dan curah hujan (Hicks, 2006).
Sistem iklim di bumi mencakup tidak saja atmosfer dan daratan, tapi juga
lautan dan es/salju, dimana interaksi komponen sistem ini sangat kompleks dan dapat
memunculkan fenomena anomali iklim. Fenomena anomali yang dikenal sebagai El
Nio menyebabkan curah hujan di sebagian besar wilayah Indonesia berkurang, dan
sebaliknya La Nia menyebabkan curah hujan meningkat. Implikasi kedua fenomena
ini, menurut Irawan (2006) dapat dilihat dari penurunan produksi pangan, sedangkan
secara meteorologis ditunjukkan oleh Southern Oscillation Index (SOI) dan
perubahan suhu permukaan laut di Samudera Pasifik (World Meteorology
Organization, 1999). Berkurang atau bertambahnya curah hujan ini sangat tergantung
pada kuat dan lemahnya anomali iklim tersebut. Adanya intensitas hujan yang
berbeda di satu pihak, dan timbulnya fenomena anomali iklim itu sendiri di pihak
lain, berpeluang menandai variasi muka laut.
Permasalahan yang teridentifikasi dari uraian sebelumnya adalah bahwa hingga
kini belum tersedia data dan informasi yang dapat mengungkapkan variasi muka laut
di perairan laut wilayah Provinsi Sulawesi Utara dalam kaitannya dengan fenomena
anomali iklim yang disebut El Nio dan La Nia. Informasi ini dipandang penting
menjadi pengetahuan yang bermanfaat bagi masyarakat ketika variasi muka laut
tertentu dapat menandai datangnya fenomena El Nio atau La Nia.
Pasang surut terjadi karena adanya gerakan dari benda-benda angkasa yaitu
rotasi bumi pada sumbunya, peredaran bulan mengelilingi bumi dan peredaran bulan
mengelilingi matahari. Matahari dan Bulan mempunyai massa yang cukup besar
sehingga walaupun jaraknya dengan Bumi relatif jauh tetapi pengaruh gaya
gravitasinya masih dirasakan di Bumi. Pengaruh dari benda angkasa yang lainnya
sangat kecil dan tidak perlu diperhitungkan karena jarak yang sangat jauh (Zakaria,
2009). Keadaan pasang surut di suatu tempat dilukiskan oleh konstanta harmonik.
Sehingga yang dimaksud dengan analisis harmonik pasang surut adalah suatu cara
untuk mengetahui sifat dan karakter pasang surut di suatu tempat dari hasil
pengamatan pasang surut dalam kurun waktu tertentu. Pengamatan pasang surut
idealnya selama 18,6 tahun (Pugh, 1987).
Secara umum persamaan gelombang pasang surut (pasut) yang terukur dari data
pengamatan pasut dalam suatu periode (X t dapat dirumuskan sebagai berikut:
X t Zot Tt St
dimana, Zotadalah rata-rata permukaan air atau Mean Sea Level (MSL), Ttadalah
pasut yang disebabkan oleh faktor astronomi, dan Stadalah residu pasut atau
komponen non pasut akibat faktor meteorology.
Gerakan dari benda angkasa tersebut di atas akan mengakibatkan terjadinya
beberapa macam gaya pada setiap titik di bumi ini, yang disebut gaya pembangkit
pasang surut. Masing-masing gaya akan memberikan pengaruh pada pasang surut dan
disebut komponen pasang surut, dan gaya tersebut berasal dari pengaruh matahari,
bulan atau kombinasi keduanya (Ali et al., 1994).
Gaya Pembangkit Pasang Surut
Hukum Newton yang mengemukakan tentang teori kesetimbangan pasang dan
surut, yaitu pada air laut terjadi akibat adanya gaya tarik Bulan dan Matahari terhadap
Bumi. Dinyatakan bahwa Matahari dan Bulan membangkitkan medan gaya di
sekeliling bumi, dimana arah dan besarnya gaya berubah-ubah secara periodik sesuai
dengan posisi kedua benda langit itu terhadap bumi.
Sekarang perlu diketahui besarnya gaya tarik benda-benda angkasa yang
tampak pada Gambar 1. Gaya tarik antara 2 (dua) benda angkasa masing-masing
dengan massa m1 dan m2 dengan jarak antara R sedang kedua benda tersebut tidak
bergerak.
Gambar 1. Gaya tarik benda angkasa dengan massa berbeda (Pariwono, 1987)
1 2
2
dengan :
F
k
m1
m2
R
a
1 2
2
3
Rumus di atas digunakan untuk membandingkan gaya tarik Bulan terhadap Bumi dan
gaya tarik Matahari terhadap Bumi, seperti diketahui bahwa:
Massa Matahari
Massa Bulan
Jarak Matahari
Jarak Bulan
Jadi :
:
Gaya tarik Matahari
303 11.6003
= 2,26 : 1
Gambar 2 menunjukkan bahwa amplitudo akibat gaya tarik Bulan = 2,26 kali
amplitudo akibat gaya tarik Matahari. Sedangkan periode harmonik Matahari adalah
12 jam dan Bulan 12,42 jam.
Elevasi muka laut
(meter)
4.00
2.00
0.00
-1
14
19
-2.00
-4.00
Waktu (jam)
Matahari
24
Pengaruh dari Bulan dan Matahari yang dapat diuraikan dari data pengamatan
pasang surut dengan menggunakan analisis harmonik. Unsur-unsur ini pula yang
digunakan untuk melakukan prediksi pasang surut di waktu yang akan datang.
Perubahan deklinasi Matahari dan Bulan, serta variasi siklis posisi terhadap Bumi,
menghasilkan komponen yang sangat harmonik, yang masing-masing berkontribusi
pada pasang surut di sembarang waktu dan tempat.
Posisi-posisi relatif dan orientasi dari Bumi dan Bulan tidak konstan, tapi
berbeda-beda tergantung kepada jumlah lingkaran orbit yang berinteraksi. Sejauh
pengertian sederhana dari mekanisme pergerakan-pasang surut, hanya dua lingkaran
orbit memiliki efek signifikan terhadap pasang surut yaitu deklinasi dan orbit ellips
Bulan. Unsur utama pembangkit pasang surut diidentifikasi ada sembilan unsur
(Defant, 1961) yang disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Unsur utama pembangkit pasang surut
Kecepatan
Unsur
Periode (jam)
M2
12.42
28.9841
S2
12.00
30.0000
K2
11.97
30.0821
N2
12.66
28.4397
K1
23.93
15.0411
O1
25.82
13.9430
P1
24.07
14.9589
M4
6.21
57.9682
MS4
6.20
58.9841
sudut (0/jam)
Pasang tertinggi yang terjadi setiap 18,6 tahun sekali pada bulan baru sehingga
bumi segaris lurus dengan bulan dan matahari pada jarak terdekat (perigeum),
3.
Gelombang swell, yaitu gelombang akibat tiupan angin dengan skala yang lebih
besar dari pada riak (ripples). Angin terjadi karena perbedaan pemanasan.
Perbedaan pemanasan ini antara lain diakibatkan oleh perbedaan liputan awan
(Hicks, 2006).
Sinergi tiga kekuatan ini (pasang surut, rotasi bumi, dan angin) yang masing-
Gambar 3. Trend peningkatan anomali suhu global periode tahun 1860 2000
(Sumber : IPCC, 2007)
Iklim Normal
Curah hujan di wilayah Indonesia didominasi oleh adanya pengaruh beberapa
fenomena, antara lain sistem monsoon Asia-Australia, El Nio, sirkulasi timur barat
(Walker Circulation) dan utara selatan (Hadley Circulation) serta beberapa sirkulasi
karena pengaruh lokal. Variabilitas curah hujan di Indonesia sangatlah kompleks dan
merupakan suatu bagian dari variabilitas monsoon. Monsoon dan pergerakan ITCZ
(intertropical convergence zone) berkaitan dengan variasi curah hujan tahunan dan
semi-tahunan di Indonesia (Ratag, 2008), sedangkan fenomena El Nio dan dipole
mode berkaitan dengan variasi curah hujan antar tahunan di Indonesia.
Pola umum curah hujan di Indonesia antara lain dipengaruhi oleh letak
geografis. Tjasyono (2004) secara rinci membagi pola umum hujan di Indonesia yang
diuraikan sebagai berikut:
1.
Pantai sebelah barat setiap pulau memperoleh jumlah hujan selalu lebih banyak
daripada pantai sebelah timur.
2.
Curah hujan di Indonesia bagian barat lebih besar daripada Indonesia bagian
timur. Sebagai contoh, deretan pulau-pulau Jawa, Bali, NTB, dan NTT yang
dihubungkan oleh selat-selat sempit, jumlah curah hujan yang terbanyak adalah
Jawa Barat.
3. Curah hujan juga bertambah sesuai dengan ketinggian tempat. Curah hujan
terbanyak umumnya berada pada ketinggian antara 600900 m di atas
permukaan laut.
4. Di daerah pedalaman, di semua pulau musim hujan jatuh pada musim pancaroba.
Demikian juga halnya di daerah-daerah rawa yang besar. Saat mulai turunnya
hujan bergeser dari barat ke timur seperti :
a. Pantai barat pulau Sumatera sampai ke Bengkulu mendapat hujan terbanyak
pada bulan November.
b. Lampung-Bangka yang letaknya ke timur mendapat hujan terbanyak pada
bulan Desember.
c. Jawa bagian utara, Bali, NTB, dan NTT pada bulan Januari Februari.
5. Di Sulawesi Selatan bagian timur, Sulawesi Tenggara, Maluku Tengah, musim
hujannya berbeda, yaitu bulan Mei-Juni. Pada saat itu, daerah lain sedang
mengalami musim kering.
6. Di Sulawesi bagian tengah, utara dan Maluku Utara puncak musim penghujan,
yaitu bulan Nov-Peb.
Rata-rata curah hujan di Indonesia untuk setiap tahunnya tidak sama. Namun masih
tergolong cukup banyak, yaitu rata-rata 2000 3000 mm/tahun. Begitu pula antara
tempat yang satu dengan tempat yang lain rata-rata curah hujannya tidak sama
(Tjasyono, 2007).
Tjasyono (2004) lebih jauh menyatakan iklim di Indonesia dapat dibagi
menjadi 3 pola iklim utama dengan melihat pola curah hujan selama setahun. Pola
curah hujan di wilayah Indonesia dapat dibagi menjadi tiga, yaitu pola monsoon, pola
ekuatorial dan pola lokal. Pola monsoon dicirikan oleh bentuk pola hujan yang
bersifat unimodal (satu puncak musim hujan yaitu sekitar Desember). Selama enam
bulan curah hujan relatif tinggi (biasanya disebut musim hujan) dan enam bulan
berikutnya rendah (biasanya disebut musim kemarau). Dalam kondisi normal suhu
muka laut di Samudera Pasifik bagian barat sedikit lebih tinggi dari pada bagian
timur, diilustrasikan pada Gambar 4.
Musim kemarau berlangsung dari April sampai September dan musim hujan
dari Oktober sampai Maret. Pola equatorial dicirikan oleh pola hujan dengan bentuk
bimodal, yaitu dua puncak hujan yang biasanya terjadi sekitar bulan Maret dan
Oktober saat matahari berada dekat equator. Pola lokal dicirikan oleh bentuk pola
hujan unimodal (satu puncak hujan) tapi bentuknya berlawanan dengan pola hujan
pada tipe monsoon. Menurut Tjasyono (2007), wilayah Indonesia di sepanjang garis
khatulistiwa sebagian besar mempunyai pola hujan equatorial, sedangkan pola hujan
monsoon terdapat di pulau Jawa, Bali, NTB, NTT, dan sebagian Sumatera.
Sedangkan salah satu wilayah mempunyai pola hujan lokal adalah Ambon (Maluku).
El Nio
El Nio, menurut sejarahnya adalah sebuah fenomena yang teramati oleh para
penduduk atau nelayan Peru dan Ekuador yang tinggal di pantai sekitar Samudera
Pasifik bagian timur menjelang hari natal (Desember). El Nio adalah fenomena alam
dan bukan badai, secara ilmiah diartikan dengan meningkatnya suhu muka laut di
sekitar Pasifik tengah dan timur sepanjang ekuator dari nilai rata-ratanya dan secara
fisik tidak dapat dilihat (Stewart, 2008).
Fenomena ini mengakibatkan perairan yang tadinya subur dan kaya akan ikan
(akibat adanya upwelling atau arus naik permukaan yang membawa banyak nutrien
dari dasar) menjadi sebaliknya. Pemberian nama El Nio pada fenomena ini
disebabkan oleh karena kejadian ini seringkali terjadi pada bulan Desember. El Nio
(bahasa Spanyol) sendiri dapat diartikan sebagai anak lelaki. Di kemudian hari para
ahli juga menemukan bahwa selain fenomena menghangatnya suhu permukaan laut,
terjadi pula fenomena sebaliknya yaitu mendinginnya suhu permukaan laut akibat
menguatnya upwelling. Kebalikan dari fenomena ini selanjutnya diberi nama La Nia
(juga bahasa Spanyol) yang berarti anak perempuan. Fenomena ini memiliki periode
2-7 tahun (Aldrian, 2008).
El Nio akan terjadi apabila perairan yang lebih panas di Pasifik tengah dan
timur meningkatkan suhu dan kelembaban pada atmosfer yang berada di atasnya.
Kejadian ini mendorong terjadinya pembentukan awan yang akan meningkatkan
curah hujan di sekitar kawasan tersebut (diilustarasikan seperti pada Gambar 5).
Bagian barat Samudra Pasifik tekanan udara meningkat sehingga menyebabkan
terhambatnya pertumbuhan awan di atas lautan bagian timur Indonesia, sehingga di
beberapa wilayah Indonesia terjadi penurunan curah hujan yang jauh dari normal.
Suhu permukaan laut di Pasifik tengah dan timur menjadi lebih tinggi dari biasa
pada waktu-waktu tertentu, walaupun tidak selalu. Keadaan inilah yang menyebabkan
terjadinya fenomena El Nio. Tekanan udara di kawasan equator Pasifik barat
menurun, lebih ke barat dari keadaan normal, menyebabkan pembentukkan awan
yang lebih dan hujan lebat di daerah sekitarnya. Kejadian ini tidak terjadi secara
tunggal tetapi berlangsung secara berurutan pasca atau pra La Nia. Anomali ini
10
merupakan fenomena cuaca skala global dan mempengaruhi kondisi iklim di berbagai
tempat. Dampaknya terhadap kondisi cuaca global:
a. Angin pasat timuran melemah.
b. Sirkulasi Monsoon melemah.
c. Akumulasi curah hujan berkurang di wilayah Indonesia, Amerika tengah dan
selatan bagian utara, cuaca di daerah ini cenderung lebih dingin dan kering.
d. Potensi hujan terdapat di sepanjang Pasifik ekuatorial tengah dan barat serta
wilayah Argentina, cuaca cenderung hangat dan lembab.
Dampaknya terhadap kondisi cuaca Indonesia menyebabkan curah hujan di sebagian
besar wilayah Indonesia berkurang, tingkat berkurangnya curah hujan ini sangat
tergantung dari intensitas El Nio tersebut. Namun karena posisi geografis Indonesia
yang dikenal sebagai benua maritim, maka tidak seluruh wilayah Indonesia
dipengaruhi oleh fenomena ini. El Nio pernah menimbulkan kekeringan panjang di
Indonesia. Curah hujan berkurang dan keadaan bertambah menjadi lebih buruk
dengan meluasnya kebakaran hutan dan asap yang ditimbulkannya (Tjasyono dan
Harijono, 2007).
La Nia
Dalam bahasa latin La Nia berarti gadis cilik. Fenomena ini merupakan suatu
kondisi dimana terjadi penurunan suhu muka laut di kawasan timur equator di lautan
Pasifik (diilustrasikan pada Gambar 13). La Nia tidak dapat dilihat secara fisik,
periodenya pun tidak tetap.
11
Meskipun rata-rata La Nia terjadi setiap tiga hingga tujuh tahun sekali dan dapat
berlangsung 12 hingga 36 bulan, fenomena ini tidak mempunyai periode tetap
sehingga sulit diperkirakan kejadiannya pada enam hingga sembilan bulan
sebelumnya. La Nia adalah sesuatu yang alami dan telah mempengaruhi wilayah
Samudra Pasifik selama ratusan tahun (Wells, 2012).
Pada saat terjadi La Nia angin pasat timur yang bertiup di sepanjang Samudera
Pasifik menguat (sirkulasi Walker bergeser ke arah barat). Sehingga massa air hangat
yang terbawa semakin banyak ke arah Pasifik barat. Akibatnya massa air dingin di
Pasifik timur bergerak ke atas dan menggantikan massa air hangat yang berpindah
tersebut, hal ini biasa disebut upwelling. Dengan pergantian massa air itulah suhu
permukaan laut mengalami penurunan dari nilai normalnya. La Nia
umumnya
terjadi pada musim dingin di belahan Bumi utara khatulistiwa (Ratag, 2006).
METODOLOGI PENELITIAN
Sesuai tujuan, pengumpulan data pasang surut dilakukan Pelabuhan Samudera
Bitung seperti pada Gambar 7.
12
Radar gauges adalah alat yang dilengkapi dengan pemancar pulsa radar
(transmitter), penerima pulsa radar (receiver), serta jam berakurasi tinggi. Pada
sistem ini, radar memancarkan pulsa-pulsa gelombang radio ke permukaan laut.
Pulsa-pulsa tersebut dipantulkan oleh permukaan laut dan diterima kembali oleh
radar. Sistem radar ini dapat mengukur ketinggian radar di atas permukaan laut
dengan menggunakan waktu tempuh dari pulsa radar yang dikirimkan ke permukaan
laut, dan dipantulkan kembali ke radar. Contoh radar gauges dapat dilihat pada
Gambar 8.
Bahan yang digunakan adalah data sekunder dari hasil pengamatan pasang
surut tiap jam hasil rekaman alat Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional
(BAKOSURTANAL) yang dipasang di Pelabuhan Samudera Bitung (1987 s/d 2011).
Data sekunder digunakan untuk menentukan elevasi permukaan air laut berupa MSL
(Mean Sea Level). Selain itu, data pengamatan unsur-unsur iklim (curah hujan, suhu)
dari tahun (1987 s/d 2011) dari BMKG dihimpun untuk melihat kecenderungan
perubahan iklim (El Nio dan La Nia). Data kondisi perbedaan suhu muka laut
bulanan yang dilaporkan oleh NOAA untuk periode 1987 2011 di daerah Nio 3.4
(50N-50S, 1200-1700W) seperti tampak pada Gambar 9 juga dikumpulkan untuk
melihat indikasi adanya El Nio dan La Nia.
13
Gambar 9. Peta pembagian daerah El Nio (index oceanic) dalam pengamatan anomali suhu muka
laut. (Sumber : NOAA, 2013)
Analisis Data
Fenomena El Nio dan La Nia dapat ditentukan dari 5 parameter yaitu gejala
meteorologi dan klimatologi yang meliputi anomali suhu muka laut, indeks osilasi
selatan (IOS), yaitu mengukur perbedaan/selisih tekanan udara di Australia dengan
Tahiti/Kepulauan Hawaii dan anomali angin pasat (Irawan, 2006; Haryanto, 1998).
Ada pula fenomena yang ditandai dengan gejala oseanografi yaitu variasi muka laut
dan arus lintas Indonesia. Anomali adalah penyimpangan atau perbedaan atau variasi
dari nilai rata-ratanya (dalam satu bulan).
Teknik analisis data untuk mengidentifikasi fase El Nio dan La Nia , dengan
menggunakan data perbedaan suhu di daerah Nio 3.4. Fase El Nio terjadi ketika
perbedaan suhu bulanan mencapai lebih dari 0.50C di atas rata-rata normalnya. Begitu
pula sebaliknya, fase La Nia terjadi pada saat perbedaan suhunya mencapai lebih
dari 0.50C di bawah rata-rata normalnya. Selanjutnya dari data tersebut dibuat grafik
yang menunjukkan periode terjadinya La Nia dan El Nio.
Secara deskriptif, data diolah dan disajikan dalam bentuk tabel, grafik dan
gambar dengan bantuan Program Excel. Penentuan mean sea level bulanan yang
dipengaruhi oleh faktor astronomis dan lokal (meteorologis) dengan perhitungan
aritmatik.
14
1
=
=1
Dengan ketentuan:
= rata-rata tinggi pasang surut (m)
n = jumlah data
xi = data pasut ke-i
Penentuan mean sea level bulanan yang dipengaruhi oleh faktor astronomis
dihitung dengan metode least square. Proses penentuan komponen harmonik pasut
dilakukan melalui dua tahapan, yaitu analisis harmonik pasut dan pemilihan
komponen
harmonik
pasut.
Analisis
harmonik
pasut
dimaksudkan
untuk
mendapatkan amplitudo (dalam meter) dan fase (dalam derajat) dari setiap komponen
harmonik pasut. Pemilihan komponen harmonik pasut dimaksudkan untuk memilih
beberapa komponen harmonik pasut yang akan digunakan dalam penentuan bilangan
Formzal. Proses analisis harmonik pasut diawali dengan merubah terlebih dahulu
satuan data pasut dari milimeter (mm) menjadi meter, kemudian data pasut
dikelompokkan berdasarkan urutan waktu pengamatan setiap jam. Selanjutnya proses
dilanjutkan dengan memasukkan data pasut yang telah dikelompokkan ke dalam
program excel sehingga didapatkan amplitude (dalam meter) dan fase (dalam derajat)
serta mean sea level (MSL) setiap stasiun pasut.
Metode analisis harmonik dirumuskan sebagai berikut (Forrester, 1983) :
= 0 + ( )
1
= 0 + [cos( ) . cos( ) + ( ). ( )]
1
15
An H n cos( g n )
misalkan
Bn H n sin( g n )
menjadi
dan
ht i Z 0 An cos( n t i ) Bn sin( n t i )
Hn A n B
2
B
g n arctg n
An
Besarnya hasil perhitungan hti akan mendekati elevasi pengamatan pasut ht , jika
2 = [ ]2 =
= 0, dengan n = 1, k
sin( 1t1 )
...
Z0
A
1
B
sin( 9t1 ) 1
A2
...
B
sin( 9t x ) 2
.....
A
9
B9
16
Komponen: Z0
M2
S2
K2
N2
K1
O1
P1
M4
MS4
H(m):
...
...
...
...
...
...
...
...
...
...
17
1700
1600
1500
1400
1300
1200
1 3 5 7 9 11131517192123252729313335
1700
1600
1500
1400
1300
1200
1
Bulan
10 11
Bulan
1700
Elevasi pasut (mm)
1600
1500
1400
1300
1200
1
11 13 15 17 19 21
1600
1500
1400
1300
1200
Bulan
9 11 13 15 17 19 21 23
Bulan
Bulan
Gambar 10. Variasi muka laut rata-rata bulanan di perairan pelabuhan Samudera
Bitung, selama periode 1999-2011
Dalam Gambar 11 menunjukkan, batas musim penghujan ditandai dengan
jumlah curah hujan di atas 150 mm sedangkan musim kemarau ditandai dengan
jumlah curah hujan di bawah 150 mm. Musim penghujan berlangsung selama 8 bulan
yakni November hingga Juni, sedangkan musim kemarau berlangsung selama 4 bulan
dari bulan Juli sampai Oktober. Rata-rata curah hujan bulanan minimum adalah
18
terjadi pada bulan September, dan ini bersesuaian dengan fakta dimana variasi muka
laut cenderung rendah pada bulan tersebut.
Gambar 11. Grafik curah hujan bulanan di Pelabuhan Samudera Bitung periode 1987 sampai 2011
19
Gambar 12. Grafik anomali suhu muka laut di daerah Nio 3.4 periode 1987 sampai 2011 yang
menunjukkan fase El Nio dan La Nia (Sumber: NOAA, 2013)
Pada Gambar 13 dapat dilihat kecenderungan bahwa pada fase El Nio kondisi
variasi muka lautnya cenderung rendah dan awal terjadinya El Nio ditandai dengan
kondisi muka laut yang mulai menurun serta akhir dari fase El Nio kondisi variasi
muka lautnya mulai naik. Pada fase La Nia kondisi variasi muka lautnya cenderung
tinggi dan awal terjadinya ditandai dengan kondisi muka laut yang semakin naik serta
pada akhir fase La Nia kondisi muka lautnya mulai menurun.
Menurut ICCSR (2010), kenaikan tinggi muka air laut pada saat masa transisi
antara El Nio dan La Nia disebabkan karena trade wind di Samudera Pasifik
menguat dan membawa masa air dari Pasifik Timur di sekitar Peru ke daerah perairan
Indonesia, yang ditandai dengan perpindahan kolam air hangat (warm pool) dari
Pasifik Tengah ke Laut Indonesia. Periode transisi antara El Nio dan La Nia
menyebabkan terjadinya kenaikan drastis tinggi muka air laut hingga mencapai 20
cm. Selain kenaikan tinggi muka air laut yang drastis, kondisi iklim ekstrim
menyebabkan terjadinya cuaca ekstrim yang berpeluang menimbulkan terjadinya
gelombang tinggi.
20
1400
El Nino
1200
Normal
Bulan
La Nina
1000
1800
Bulan
1000
1600
1800
1800
1600
1400
1200
Bulan
1000
1800
Bulan
1000
1800
Bulan
1000
Gambar 13. Variasi muka laut rata-rata bulanan di Pelabuhan Samudera Bitung pada periode normal,
El Nio dan La Nia selama 1987-2011
Untuk lebih memahami variasi muka laut pada awal terjadinya La Nia, maka
dilakukan analisa data harian selang waktu 2 bulan menjelang terjadinya La Nia,
seperti diperlihatkan pada Gambar 14. Variasi muka laut pada bulan Maret sampai
April pada tahun 1988 menampilkan kecenderungan naiknya gradien muka laut
secara signifikan, dimana hal tersebut menandai awal terjadinya La Nia. Hal yang
sama terjadi pada bulan Juli sampai Agustus 1995 dan bulan Mei sampai Juni 2009,
walaupun pada periode tersebut tingkat kenaikannya tidak sebesar pada tahun 1988.
21
1600
1550
1600
1500
1450
1400
y = 1.595x + 1410
R = 0.3861
1350
1300
1
11
16
21
26
31
36
41
46
51
56
1550
1500
1450
y = 0.3613x + 1455
R = 0.1181
1400
1350
1300
61
11 16 21 26 31 36 41 46 51 56 61
Tgl ke-
1600
Tgl ke-
1550
1500
1450
y = 0.0429x + 1513
R = 0.002
1400
1350
1300
1
11
16
21
26
31
36
41
46
51
56
61
Tgl ke-
Gambar 14. Grafik variasi muka laut harian di Pelabuhan Samudera Bitung yang menandai awal
terjadinya La Nia
Dari data variasi muka laut yang tersedia, terdapat satu even yang menandai
adanya awal kejadian El Nio. Seperti dapat dilihat pada Gambar 15, variasi muka
laut pada bulan April sampai Mei pada tahun 2009 menandakan kecenderungan
penurunan yang cukup signifikan.
1700
1650
1600
1550
y = -0.562x + 1583.
R = 0.328
1500
1450
1400
1
11
16
21
26
31
36
41
46
51
56
61
Tgl ke-
Gambar 15. Grafik variasi muka laut harian di Pelabuhan Samudera Bitung yang menandai awal
terjadinya El Nio
22
KESIMPULAN
Wilayah perairan Provinsi Sulawesi Utara (Pelabuhan Samudera Bitung)
menunjukkan bahwa pada fase El Nio tinggi muka laut rata-rata (MSL) adalah
1387 mm atau terdepresi hingga 87 mm dari normalnya dan pada fase La Nia tinggi
muka laut rata-rata adalah 1525 mm atau terelevasi hingga 51 mm dari normalnya.
Awal terjadinya El Nio ditandai dengan variasi muka laut yang mulai menurun
sedangkan awal terjadinya La Nia ditandai variasi muka laut yang mulai naik.
DAFTAR PUSTAKA
Aldrian, E. 2008. Meteorologi Laut Indonesia. Penerbit BMG. Jakarta.
Ali, M., Mihardja, D.K., dan Hadi, S. 1994. Pasang Surut Laut. Institut Teknologi
Bandung. Bandung.
Defant, A. 1958. Ebb and Flow. The Tides of Earth, Air, and Water. The University
of Michigan Press. Michigan.
Defant, A. 1961. Physical Oceanography. Pergamon Press New York.
Forrester, W.D. 1983. Canadian Tidal Manual. Departement of Fisheries and Oceans.
Ottawa.
Haryanto, U. 1998. Keterkaitan Indeks Osilasi Selatan (SOI) Terhadap Curah Hujan
DAS Citarum. Tesis Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Hicks, S.D. 2006. Understanding Tides. US Departement of Commerce. National
Oceanic and Atmosphere Administration. New York.
Hasibuan, G. P., Pariwono, J.I., dan Manurung, P. 2009. Analisis Surut Astronomis
Terendah di Perairan Sabang, Sibolga, Padang, Cilacap dan Benoa
Menggunakan Superposisi Komponen Harmonik Pasang Surut. Skripsi
Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Indonesia Climate Change Sectoral Roadmap (ICCSR). 2010. Basis Saintifik :
Analisis dan Proyeksi Kenaikan Muka Air Laut dan Cuaca Ekstrim.
Bapennas. Jakarta.
Intergovermental Panel on Climate Change (IPCC). 2007. Climate Change 2007:
The Physical Science Basis. Cambridge University Press. Cambridge.
Irawan, B. 2006. Fenomena Anomali Iklim El Nio dan La Nia : Kecenderungan
Jangka Panjang dan Pengaruhnya Terhadap Produksi Pangan. Forum
Penelitian Agro Ekonomi, Volume 24 No. 1, Juli. Hal 28-45.
National Oceanic and Atmosphere Administration (NOAA). 2013. Monthly
Atmospheric & SST Indices. Http://www.cpc.ncep.noaa.gov/data/indices/
(diakses tanggal : 3 Maret 2013).
Pariwono, J.I. 1987. Gaya Penggerak Pasang Surut. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Oseanologi. Jakarta.
23
Pugh, D.T. 1987. Tides, Surges and Mean Sea Level. John Wiley and Sons.
Chichester-New York-Brisbane-Toronto-Singapore.
Ratag, M.A. 2006. Pemodelan Sistem Iklim. Badan Meteorologi dan Geofisika.
Jakarta.
Ratag, M.A. 2008. Dasar-Dasar Fisika Monsun. Badan Meteorologi dan Geofisika.
Jakarta.
Stewart, R.H. 2008. Introduction To Physical Oceanography. Department of
Oceanography Texas A & M University. Texas.
Tjasyono, B. 2004. Klimatologi Penerbit Institut Teknologi Bandung. Bandung.
Tjasyono, B. 2007. Meteorologi Indonesia I : Karakteristik dan Sirkulasi Atmosfer,
Penerbit BMG. Jakarta.
Tjasyono, B., dan Harijono, S.W.B. 2007. Meteorologi Indonesia II : Awan dan
Hujan Monsun, Penerbit BMG. Jakarta.
Tsunami Warning System (TWS). 2013. Observation Data Network.
(http://stream2.cma.gov.cn/pub/comet/Environment/TsunamiWarningSystems
/comet/tsunami/warningsystem/print.htm (diakses tanggal 2 Maret 2013)
Wells, N.C. 2012. The Atmosphere and Ocean, A Physical Introduction Thrid
Edition. A John Wiley & Sons, Ltd., Publication. University of Southampton,
UK.
World Meteorology Organization (WMO). 1999. WMO Statement on the Status of
the Global Climate In 1999. WMO-No. 913 2000, World Meteorological
Organization ISBN 92-63-10913-3.
Zakaria, A. 2009. Teori dan Komputasi untuk Gelombang Angin dan Pasang Surut
Menggunakan Php Script. Diktat Jurusan Teknik Sipil Universitas Lampung.
24