Anda di halaman 1dari 11

RESIDU INSEKTISIDA ORGANOKLORIN DI PERSAWAHAN

SUB DAS CITARUM HULU


ORGANOCHLORINE INSECTICIDE RESIDUE IN PADDY FIELD
UPPER COURSE CITARUM RIVER WATERSHED
Ninditta Widya Ramadhani1 dan Katharina Oginawati2
Program Studi Teknik Lingkungan
Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan, Institut Teknologi Bandung
Jl. Ganesha 10 Bandung
1
atlantis_princess87@yahoo.com dan 2katharina.oginawati@ftsl.itb.ac.id

Abstrak: Insektisida Organoklorin merupakan salah satu bahan kimia yang digunakan secara luas di sektor
pertanian pada berbagai belahan dunia dikarenakan keefektifan dan harganya yang murah. Namun setelah
puluhan tahun pemakaian, insektisida jenis ini tidak boleh dipergunakan lagi dikarenakan sifatnya yang
persisten dan toksik. Sifat persisten organoklorin telah dibuktikan oleh berbagai penelitian dengan masih
ditemukannya residu-residu dari berbagai jenis insektisida organoklorin di daerah pertanian meskipun sudah
tidak digunakan lagi oleh petani. Daerah SUB DAS Citarum Hulu merupakan salah satu daerah pertanian
besar di Pulau Jawa. Kemungkinan tanah pertanian di daerah ini mengandung residu organoklorin sangat
tinggi. Sampling dilakukan di 15 area dengan metode komposit, masing-masing area diambil lima titik
sampling. Sampel yang diambil berupa tanah sawah dan air keluaran atau air genangan atau air irigasi yang
ada di area. Pemeriksaan sampel dilakukan dengan menggunakan metode gas kromatografi yang terdiri dari
tiga langkah, yaitu ekstraksi, pemurnian, dan identifikasi. Dari hasil analisis laboratorium, didapat beberapa
jenis insektisida organoklorin, yaitu Aldrin, Dieldrin, DDT, Heptaklor, dan Endosulfan. Selain Endosulfan,
empat jenis yang teridentifikasi termasuk dalam golongan Persistent Organic Pollutants (POPs). Konsentrasi
Endosulfan merupakan yang paling tinggi di antara yang lainnya. Kecilnya konsentrasi organoklorin yang
teridentifikasi kebanyakan dikarenakan sifat dari organoklorin yang dapat menguap dan sudah tidak banyak
yang menggunakannya karena dilarang. Kelarutan organoklorin yang rendah di air mengakibatkan konsentrasi
di sampel air cenderung lebih rendah dibandingkan dengan di tanah di kebanyakan sampel.

Kata kunci: insektisida, organoklorin, tanah sawah, sampel, konsentrasi, gas kromatografi

Abstract: Organochlorine insecticide is one of chemical substance that widely used in agricultural sector in
many places in the world because of its effectiveness and the low price. But after the application for many
years, this kind of insecticide is become prohibited because its persistence and toxic for living organisms.
The persistency of organochlorine is already proven by some researches that found many residues of it in the
paddy field, although the application already stopped. The Upper Course of Citarum Watershed in one of big
agricultural area in West Java. The possibility of this area containing the residues of organochlorine is still
very high. Sampling is done in 15 paddy field areas by using the composite method, five sampling points for
each area. The samples that taken are paddy soil samples and output water or stagnate water or irrigation
water inside the area. The sample is being analyzed with the Chromatography Gas Method which consist of
three steps, they are extraction, purification, and identification. The result of the identification is the samples
contain some kind of organochlorine, they are Aldrin, Dieldrin, DDT, Heptachlor, and Endosulfan. Beside
Endosulfan, the rests are classified as Persistent Organic Pollutants (POPs). The highest concentration that
obtained is Endosulfan. The low concentration that identified is most likely because volatilization and the
prohibited of the application. The low solubility in water makes the concentration that found in water lower
than in the soil.
Keywords: insecticide, organochlorine, paddy soil, sample, concentration, chromatography gas

EH7-1

PENDAHULUAN
Perkembangan sektor pertanian telah mengakibatkan peningkatan pencemaran
lingkungan oleh bahan kimia buatan manusia. Di antara polutan-polutan tersebut, terdapat
polutan organik yang disebut organoklorin. Organoklorin merupakan polutan yang bersifat
persisten dan dapat terbioakumulasi di alam serta bersifat toksik terhadap manusia dan
makhluk hidup lainnya. Organoklorin tidak reaktif, stabil, memiliki kelarutan yang sangat
tinggi di dalam lemak, dan memiliki kemampuan degradasi yang rendah (Ebichon dalam
Soemirat, 2005). Organoklorin termasuk ke dalam golongan pestisida yang bagus dan
ampuh, namun memiliki banyak dampak negatif terhadap lingkungan. Sebagai pestisida,
sifat persistensinya sangat menguntungkan untuk mengontrol hama. Terdapat pula
kemungkinan terjadinya bioakumulasi dan biomagnifikasi. Dikarenakan karakteristiknya
yang sulit terbiodegradasi dan kelarutannya yang tinggi dalam lemak, organoklorin dapat
terakumulasi dalam jaringan hewan yang prosesnya disebut biokonsentrasi. Biomagnifikasi
dapat terjadi pada hewan yang terlibat dalam rantai makanan. Insektisida jenis ini masih
digunakan di negara-negara berkembang, terutama di daerah khatulistiwa. Hal ini
dikarenakan harganya yang sangat murah, keefektifannya, dan persistensinya. Kebanyakan
negara berkembang terletak di daerah yang beriklim tropis dimana pada umumnya memiliki
temperatur dan curah hujan yang tinggi. Iklim yang seperti itu dapat membuat perpindahan
residu melalui udara dan air secara cepat dan akhirnya berkonstribusi terhadap kontaminasi
global. Proporsi pestisida yang akan mencapai target, seperti hama, ditemukan tidak lebih
dari 0,3% dari yang diaplikasikan, sedangkan 99% lainnya akan berada di lingkungan
(Karina S.B, Julia E., and Victor J. Moreno, 2002).
Penggunaan insektisida organoklorin telah mengakibatkan pencemaran terhadap
udara, tanah, dan air. Area persawahan yang menggunakan banyak materi organik akan
mengandung residu pestisida yang tinggi karena tanah yang seperti ini dapat mengabsorbsi
senyawa hidrokarbon yang mengandung klor (hidrokarbon terklorinasi). Faktanya,
organoklorin juga telah dilarang di Indonesia, namun masih banyak petani yang
menggunakannya. Telah dibuktikan bahwa organoklorin masih terkandung dalam tanah di
daerah pertanian Pantura Jawa Barat. Hal ini menandakan organoklorin masih digunakan di
daerah tersebut. Jenis organoklorin yang terdeteksi adalah DDT, Dieldrin, Endrin, dan
masih banyak lagi. Dikarenakan kondisi daerah pertanian di Jawa Barat tidak terlalu
berbeda, maka tanah daerah pertanian di Sub DAS Citarum Hulu diperkirakan mengandung
senyawa organoklorin (Nugraha, 2007).
Data yang dimiliki oleh Departemen Pertanian Jawa Barat mengenai insekstisida
organoklorin yang sering digunakan, seperti peta atau data konsentrasi masih kurang
memadai. Bahkan BPLHD Jawa Barat belum memiliki angka pencemaran yang terjadi di
daerah pertanian. Dikarenakan sifat persistensi organoklorin, tinggi kemungkinan ada
residunya yang terkandung dalam tanah di daerah pertanian Sub DAS Citarum Hulu. Hal
ini dapat menjadi alasan mengapa penelitian mengenai kandungan insektisida organoklorin
di pertanian sangat penting untuk dilakukan.

METODOLOGI
Sampel tanah dan air sawah diambil dari daerah pertanian Sub DAS Citarum hulu,
tepatnya dari Kecamatan Kertasari dan Kecamatan Pacet di Kabupaten Bandung Selatan,
Jawa Barat. Secara keseluruhan terdapat 30 sampel, 15 sampel untuk tanah sawah dan 15
sampel untuk air sawah. Sampel tanah diambil dari tanah permukaan, kira-kira pada
kedalaman 20 cm dengan menggunakan soil sampler. Sampel air diambil dari saluran
EH7-2

irigasi atau air yang terdapat di atas permukaan sawah. Metode sampling yang digunakan
merupakan metode komposit dengan mengambil 5 sampel di setiap area sampling.

Gambar 1. Peta Titik Sampling


Analisis organoklorin membutuhkan tiga tahap analisis laboratorium. Tahap pertama
adalah ekstraksi, proses ini membutuhkan 25 gram sampel tanah atau 100 ml sampel air.
Sampel tanah dimasukkan ke dalam labu bundar dan diekstraksi menggunakan 100 ml
pelarut aseton dengan cara mengocoknya dengan shaker selama 20 menit. Kemudian
sampel dibiarkan dahulu hingga terjadi pemisahan antara pelarut dengan sampel. Sampel
kemudian difiltrasi dengan menggunakan corong buchnert, pompa vakum, dan bubuk cellit.
Sampel yang telah difiltrasi kemudian dievaporasi hingga volumenya hanya 1 ml. Sama
seperti halnya dengan sampel tanah, pada sampel air dilakukan pengocokan. Pengocokan
sampel air dilakukan dengan menggunakan corong pisah dan pelarut 15% diklorometan/nheksan (DH) sebanyak 25 ml. Sampel dibiarkan dahulu hingga terjadi pemisahan antara air
dan pelarut. Pelarut kemudian dimasukkan ke dalam labu bundar, sampel yang tersisa
sekali lagi dikocok dengan 25 ml 15% DH. Pelarut yang didapat dari pengocokan kedua ini
kemudian disatukan dengan yang didapat pada pengocokan pertama. Tahap yang kedua
adalah purifikasi (pemurnian). Tahap ini menggunakan kolom kromatografi dan evaporator.
Pengerjaan pada tahap ini tidak berbeda untuk sampel tanah dan sampel air, kecuali volume
pelarut n-heksan yang digunakan (30 ml untuk sampel air dan 50 ml untuk sampel tanah).
Pelarut yang didapat pada tahap ekstraksi dilewatkan di kolom kromatografi yang telah
berisi bubuk florisil dan sodium sulfat anhidrat, setelahnya dituangkan juga n-heksan ke
dalam kolom. Larutan yang didapat pada tahap ini ditempatkan di labu bundar dan siap
untuk dievaporasi hingga volumenya hanya 1 ml. Persiapan pada tahap pertama dan kedua
dibutuhkan untuk memudahkan pengerjaan di tahap yang ketiga. 1 ml larutan yang tersisa
dari proses evaporasi ditambahkan dengan aseton hingga volumenya mencapai 10 ml.
Tahap terakhir adalah tahap identifikasi yang menggunakan Gas Kromatografi (GC).
Larutan yang telah ditambah dengan aseton kemudian diinjeksikan ke dalam GC untuk
mengidentifikasi jenis organoklorin yang terkandung dalam sampel.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Titik sampling yang diambil secara acak terletak pada ketinggian yang berbeda-beda
dan beberapa titik tersebut berada pada tempat yang tidak jauh dari yang lainnya. Sampling
dilakukan pada saat musim hujan, peluang terjadinya run-off dan erosi tanah sangat besar
EH7-3

untuk terjadi. Untuk titik-titik yang berada tidak jauh dari titik lainnya namun dengan
ketinggian berbeda, terdapat kemungkinan akumulasi konsentrasi organoklorin pada titik
yang terendah. Tabel 1 berisi pengelompokan titik sampling berdasarkan ketinggian.
Tabel 1. Klasifikasi Titik Sampling Berdasarkan Ketinggian
Sawah Basah
Ketinggian (m dpl) Titik Sampling
905
7
940
8
1080
4
1100
2
1115
5
1120
3
1140
1
1160
6

Sawah Kering
Ketinggian (m dpl) Titik Sampling
1080
9
1120
15
1130
14
1140
13
1180
12
1240
11
1260
10

Hipotesa pertama mengenai keberadaan residu insektisida organoklorin di daerah


persawahan Sub DAS Citarum hulu telah dibuktikan kebenarannya dengan analisis
laboratorium yang telah dilakukan. Sebagian besar dari hasil analisis tersebut menyatakan
hasil yang positif. Jenis organoklorin yang ditemukan adalah aldrin, heptaklor, dieldrin,
DDT, dan endosulfan. Jenis lainnya seperti BHC, BHC (lindan), dan endrin tidak
ditemukan. Hasil laboratorium ini menandakan meskipun kebanyakan petani telah
meninggalkan insektisida organoklorin, residunya masih tetap terkandung di tanah
walaupun dalam konsentrasi yang kecil. Dalam Gambar 2 dapat terlihat perbandingan
masing-masing jenis organoklorin yang ditemukan di air dan tanah sawah. Endosulfan
terlihat mendominasi baik di air maupun di tanah. Endosulfan merupakan jenis
organoklorin terakhir yang dilarang, pelarangannya baru dimulai pada tahun 2007. Pada
sampel tanah, heptaklor juga terlihat mendominasi. Heptaklor terkenal sangat sulit larut
dalam air, residunya akan terikat sangat kuat di tanah, hal inilah yang menyebabkan
konsentrasi heptaklor di air dan tanah sangat jauh berbeda.
10,424
%
4,728%

5,016%
5,556%

Aldrin

11,842%

5,981% 4,785%

Heptachlor

Heptachlor

Endosulfan
74,276
%

Endosulfan

Dieldrin
DDT

Aldrin

42,344%
35,048%

Dieldrin
DDT

(a)
(b)
Gambar 2. Konsentrasi Organoklorin (a) Air Sawah (b) Tanah Sawah
Kelarutan organoklorin dalam air relatif rendah, namun masih dapat larut. Dari hasil
analisis laboratorium, polutan organoklorin di sampel air ada yang berbeda dan ada dalam
konsentrasi yang lebih kecil jika dibandingkan dengan konsentrasi di sampel tanah. Tentu
saja, polutan yang terkandung dalam tanah bisa menjadi sumber pencemar di air sawah.
Untuk sampel yang berasal dari sawah basah terdapat hubungan antara jenis organoklorin
yang ditemukan di tanah pada area yang sama. Organoklorin yang ditemukan di air sawah
EH7-4

tersebut kebanyakan sama dengan organoklorin yang ditemukan di tanahnya. Akan tetapi
untuk air yang diambil dari saluran irigasi yang tidak merendam area persawahannya
(sawah kering), terdapat perbedaan antara jenis organoklorin yang ditemukan di air dan di
tanah. Air di saluran irigasi tidak mengalami kontak langsung dengan sampel tanah yang
diambil. Air irigasi ini hanya mengaliri beberapa area dikarenakan padi yang ada di area
tersebut telah besar dan tidak memerlukan banyak air. Air yang digunakan untuk mengaliri
irigasi diambil langsung dari Sungai Citarum yang telah mengandung polutan organoklorin.
Area persawahan di daerah penelitian terletak lebih rendah dibanding area ladang, sehingga
ada kemungkinan polutan di ladang mencemari air Sungai Citarum sebelum digunakan
unruk irigasi area persawahan. Terdapat pula kemungkinan air sawah yang merendam area
mengalami kontak langsung dengan insektisida yang diaplikasikan, sehingga kemungkinan
polutan memasuki air lebih tinggi dibanding dengan air irigasi yang tidak berkontak
langsung dengan insektisida.
Dari pengamatan di lapangan, diperoleh fakta bahwa ada petani yang masih menggunakan
insektisida yang mengandung endosulfan sebagai bahan aktifnya. Konsentrasi endosulfan
yang ditemukan di dalam sampel relatif lebih tinggi dibandingkan dengan jenis
organoklorin lainnya. Konsentrasi tertinggi ditemukan dalam sampel air sawah kering pada
ketinggian 1120 m dpl (titik 15) dengan konsentrasi sebesar 35,549 ppb, sedangkan pada
tanah di lokasi yang sama konsentrasinya hanya 1,4 ppb. Hal ini disebabkan karena air
irigasi yang digunakan berasal dari Sungai Citarum yang telah terkontaminasi dan hanya
melewati tanah pada beberapa titik. Dari Gambar 1 dapat dilihat bahwa titik 15 berada di
bawah beberapa titik lainnya, akumulasi konsentrasi endosulfan dapat terjadi akibat run-off.
Konsentrasi endosulfan yang diterukur di sampel air berkisar antara 0,181-35,549 ppb dan
untuk sampel tanah berkisar antara 1,3-4 ppb. Rata-rata konsentrasi endosulfan di sampel
tanah adalah 2,25 ppb, sedangkan di sampel air adalah 5,4 ppb. Hilangnya endosulfan dari
dalam tanah kebanyakan disebabkan oleh proses fotolisis yang terjadi di permukaan,
hidrolisis dalam kondisi basa, atau biodegradasi. Endosulfan sulfat merupakan metabolit
dari endosulfan yang paling persisten (Jayashree, 2006). Dari pengakuan beberapa petani,
mereka masih menggunakan Thiodan untuk membunuh hama lalat di awal penanaman.
Thiodan merupakan salah satu merek dagang insektisida yang mengandung endosulfan
sebagai bahan aktifnya. Jenis insektisida ini masih dapat ditemukan di toko pertanian di
sekitar daerah persawahan meskipun telah dilarang untuk digunakan di area yang berair.
Tidak hanya endosulfan, semua insektisida organoklorin yang teridentifikasi dari sampel
sudah dilarang penggunaannya karena bersifat persisten dan memiliki efek negatif terhadap
makhluk hidup. Residu organoklorin masih dapat ditemukan sekarang ini juga karena
senyawa siklik yang mengandung klor sangat sulit didegradasi, bahkan dapat bertahan
hingga 100 tahun. Dalam kasus thiodan yang diaplikasikan dengan cara penyemprotan,
pestisida yang berada di udara akan jatuh ke permukaan tanah dan mencemarinya.
Konsentrasi endosulfan di sampel tanah dan sampel air dapat dilihat di Gambar 3.
40

4
3

Air

Tanah

Konsentrasi (ppb)

Konsentrasi (ppb)

30
Air

20

Tanah

10
0

Ketinggian DPL (m)

Ketinggian DPL (m)

(a)

(b)
EH7-5

Gambar 3. Konsentrasi Endosulfan dalam Sampel Tanah dan Air (a) Sawah Basah
(b) Sawah Kering
Beberapa jenis organoklorin yang ditemukan, yaitu aldrin, heptaklor, dieldrin, dan
DDT tergolong sebagai senyawa Persistent Organic Pollutants (POPs). POPs adalah
senyawa kimia yang persisten di lingkungan, dapat mengalami bioakumulasi di rantai
makanan, dan memiliki risiko menjadi penyebab banyak dampak negatif terhadap
kesehatan manusia dan lingkungan. Sekarang, komunitas internasional telah mengambil
tindakan darurat yang bersifat global untuk mengurangi dan mengeliminasi diproduksinya
bahan-bahan kimia ini.
Heptaklor merupakan insektisida kontak dan non sistemik. Kegunaan utamanya
adalah untuk menangani serangga di tanah, rayap, serangga di tanaman kapas, belalang, dan
beberapa hama tanaman lainnya. Kelarutan heptaklor dalam air sangat rendah, sedangkan
kelarutannya di dalam lemak tinggi. Kemampuan heptaklor untuk menguap cukup tinggi
dan dapat menjadi bagian dari atmosfer saat terjadi penguapan (Ritter, 1997). Persistensi
heptaklor di tanah terbilang tinggi karena memiliki kecenderungan untuk teradsorbsi di
dalam tanah serta sangat sulit mengalami pergerakan menuju air tanah. Faktor lainnya yang
mempengaruhi persistensi heptaklor adalah temperatur dan kelembaban. Dikarenakan
kelarutannya yang rendah dalam air dan kemampuan menguapnya yang tinggi dari air,
maka konsentrasi heptaklor yang ditemukan di sampel air relatif rendah, yaitu berkisar
antara 0,133-1,67 ppb. Konsentrasi yang ditemukan di tanah lebih besar, yaitu sekitar 0,325,1 ppb. Dapat dilihat pada Gambar 4, sampel tanah sawah basah pada ketinggian 1140 m
dpl (titik 1) adalah sampel dengan konsentrasi heptaklor tertinggi, yaitu 25,1 ppb. Hal ini
dapat disebabkan akumulasi yang terjadi akibat run-off dari titik yang berada lebih tinggi.
Rata-rata konsentrasi yang ditemukan di sampel tanah adalah 3,218 ppb, sedangkan di
sampel air adalah 0,566 ppb. Konsentrasi di sampel air lebih rendah dibandingkan
konsentrasi di sampel tanah juga dapat disebabkan karena kemampuan menguap heptaklor
di air lebih tinggi dibandingkan kemampuan menguapnya di tanah. Selain melalui proses
penguapan, heptaklor dapat hilang dari tanah dan air dengan proses hidrolisis. Heptaklor
dapat terhidrolisis menjadi 1-hidroksilklordan dan heptaklor epoksida. Untuk sampel air
sawah kering pada ketinggian 1120 m dpl (titik 15), didapat konsentrasi yang cukup
signifikan dibanding titik yang lain, yaitu 1,67 ppb. Sama halnya seperti konsentrasi
endosulfan pada titik yang sama, akumulasi konsentrasi dari lokasi yang lebih tinggi dapat
terjadi mengingat adanya run-off akibat hujan.

25
20
15

Air

10

Tanah

5
0

Ketinggian DPL (m)

1,8
1,6
1,4
1,2
1
0,8
0,6
0,4
0,2
0

Konsentrasi (ppb)

Konsentrasi (ppb)

30

Air
Tanah

Ketinggian DPL (m)

(a)
(b)
Gambar 4. Konsentrasi Heptaklor di Sampel Air dan Tanah (a) Sawah Basah
(b) Sawah Kering

EH7-6

Aldrin merupakan insektisida yang digunakan untuk mengontrol serangga tanah


seperti rayap, cacing, belalang, dan serangga lainnya. Dahulu digunakan secara luas untuk
menjaga tanaman seperti jagung dan kentang serta secara efektif digunakan untuk menjaga
peralatan kayu dari gangguan rayap. Aldrin dapat terikat kuat dengan partikel tanah dan
volatilisasi merupakan mekanisme penting dalam proses hilangnya aldrin dari tanah. Selain
sifatnya yang persisten di alam dan hidrofobik, aldrin dikenal sebagai senyawa yang dapat
mengalami biokonsentrasi, umumnya dalam bentuk hasil degradasinya (dieldrin).
Keberadaan residunya telah membuktikan bahwa aldrin pernah dipakai untuk membunuh
hama tanaman di daerah penelitian. Akan tetapi karena pelarangannya, proses volatilisasi
serta degradasinya menjadi dieldrin, aldrin hanya dapat ditemukan dalam jumlah yang
sedikit, yaitu berkisar antara 0,2-1,1 ppb untuk sampel tanah dan 0,161-0,56 ppb untuk
sampel air. Sampel tanah sawah basah pada ketinggian 1100 m dpl (titik 2) adalah sampel
yang mengandung konsentrasi aldrin tertinggi, yaitu sebesar 1,1 ppb. Lokasi sampel
tersebut berada pada ketinggian yang lebih rendah dari beberapa titik lainnya, terdapat
kemungkinan akumulasi konsentrasi akibat run-off. Rata-rata konsentrasi aldrin di sampel
tanah adalah 0,444 ppb, sedangkan di sampel air adalah 0,365 ppb. Keberadaan aldrin di
sampel air, meskipun bersifat hidrofobik, bisa disebabkan karena terjadi proses deposisi
basah ataupun kering. Hanya satu titik pada sawah basah yang airnya mengandung aldrin,
hal ini dikarenakan sifatnya yang lebih terikat di tanah dibanding di air. Namun untuk air
irigasi untuk sawah kering, aldrin dapat telah terkandung di dalam air irigasi yang diambil
dari Sungai Citarum yang telah tercemar pestisida sebelumnya. Konsentrasi aldrin di
sampel tanah dan sampel air dapat dilihat di Gambar 5.

0,5

0,8
0,6

Air

0,4

Tanah

Konsentrasi (ppb)

0,6

Konsentrasi (ppb)

1,2

0,4
0,3
Air
0,2

0,2

0,1

Ketinggian DPL (m)

Tanah

Ketinggian DPL (m)

(a)
(b)
Gambar 5. Konsentrasi Adrin di Sampel Air dan Tanah (a) Sawah Basah (b) Sawah Kering
Dieldrin sempat digunakan di sektor pertanian untuk mengontrol serangga tanah dan
beberapa serangga yang menjadi vektor penyakit. Namun penggunaannya telah dilarang di
beberapa negara dikarenakan alasan lingkungan dan kesehatan manusia. Penggunaanya
telah dibatasi hanya untuk mengontrol rayap dan hama yang mengganggu tekstil. Seperti
halnya aldrin, dieldrin terikat kuat dengan partikel tanah. Proses volatilisasi merupakan
mekanisme penting dalam proses hilangnya dieldrin dari tanah. Dieldrin juga merupakan
senyawa persisten yang memiliki kelarutan rendah dalam air dan dapat mengalami proses
biokonsentrasi serta memiliki fitotoksisitas yang rendah. Tanaman dapat terkena efek hanya
bila paparannya melebihi konsentrasi aplikasi yang dianjurkan (Ritter, 1997). Seperti
EH7-7

halnya heptaklor, rendahnya konsentrasi dieldrin yang ditemukan baik di sampel air
maupun sampel tanah adalah karena kelarutannya yang rendah dalam air serta proses
volatilisasi. Seperti yang dapat terlihat pada Gambar 6, konsentrasi dieldrin yang
ditemukan di sampel tanah adalah berkisar antara 0,6-1,8 ppb, untuk sampel air berkisar
antara 0,171-1,791 ppb. Rata-rata konsentrasi dieldrin untuk sampel tanah adalah 1,1 ppb,
sedangkan untuk sampel air adalah 0,602 ppb. Kelarutan yang rendah dalam air yang
menyebabkan konsentrasi di sampel air relatif lebih sedikit dari di tanah. Sampel tanah
sawah basah pada ketinggian 1100 m dpl (titik 2) adalah sampel yang mengandung
konsentrasi dieldrin tertinggi, yaitu sebesar 1,8 ppb. Sama seperti aldrin, kemungkinan
akumulasi dari titik yang lebih tinggi cukup besar. Selain itu aldrin pada lokasi yang sama
dapat telah terdegradasi menjadi dieldrin, mengingat kandungan aldrin yang ditemukan
cukup signifikan.
2
1,8
1,6
1,4
1,2
1
0,8
0,6
0,4
0,2
0

1,2

Air
Tanah

Konsentrasi (ppb)

Konsentrasi (ppb)

1
0,8
Air

0,6

Tanah

0,4
0,2
0

Ketinggian DPL (m)

Ketinggian DPL (m)

(a)

(b)

Gambar 6. Konsentrasi Dieldrin di Sampel Air dan Tanah (a) Sawah Basah
(b) Sawah Kering
Selain sampel sawah basah pada ketinggian 1160 m dpl (titik 6), konsentrasi dieldrin
yang terkandung pada sampel lebih besar daripada konsentrasi aldrin. Berdasarkan
penelitian Poolpak di Thailand pada tahun 2007, aldrin dapat terkonversi dalam waktu yang
cepat ke dalam bentuk dieldrin di lingkungan. Poolpak juga mengatakan bahwa konsentrasi
dieldrin yang terdeteksi dapat mencerminkan total konsentrasi dari kedua senyawa. Aldrin
yang terkandung di dalam tanah sawah di Sub DAS Citarum hulu dapat terkonversi menjadi
dieldrin sebelum sampling dilakukan. Dengan kata lain, dieldrin yang ditemukan dapat
berasal dari insektisida yang memang mengandung dieldrin sebagai bahan aktifnya ataupun
dari aldrin yang telah terdegradasi. Untuk sampel titik 6 yang mengandung aldrin tetapi
tidak mengandung dieldrin sama sekali, masih terdapat kemungkinan bahwa aldrin belum
terdegradasi menjadi dieldrin. Seperti aldrin, dieldrin bersifat hidrofobik. Selain sampel
sawah basah pada ketinggian 1120 m dpl (titik 3), konsentrasi di tanah lebih besar daripada
konsentrasi di air dalam konsentrasi yang relatif kecil. Untuk pada titik 3 tersebut, terdapat
beberapa kemungkinan yang membuat konsentrasi di air lebih besar daripada di tanah, yaitu
terjadinya deposisi basah atau kering, masuknya polutan dari Sungai Citarum ke dalam air
irigasi, dan adanya proses degradasi aldrin karena konsentrasi aldrin pada sampel tersebut
cukup besar.
DDT pernah diaplikasikan pada berbagai jenis tanaman pertanian. DDT memiliki
kelarutan dalam air yang rendah, namun dapat larut di hampir semua jenis pelarut organik.
EH7-8

Merupakan senyawa semi volatil dan dapat menjadi bagian dari atmosfer jika terjadi proses
penguapan. Berada dalam jumlah yang sangat banyak di lingkungan dan bahkan residunya
ditemukan di kutub utara. Bersifat lipofilik dan mudah melarut dalam lemak di semua
makhluk hidup dan telah dibuktikan dapat mengalami proses biokonsentrasi dan
biomagnifikasi (Ritter, 2007). Meskipun telah dilarang semenjak tahun 1970an, jumlah
DDT yang ditemukan terkandung di dalam sampel, terutama dalam sampel air cukup
signifikan, yaitu antara 0,2-1,794 ppb. Hal ini disebabkan karena DDT merupakan jenis
insektisida organoklorin yang dahulu paling banyak digunakan. Bahkan setelah dilarang,
banyak petani yang masih menggunakan DDT karena dikenal sebagai pestisida yang dapat
menangani seluruh hama serangga. DDT dapat hilang dari tanah akibat proses run off,
fotolisis, volatilisasi, dan degradasi. DDT dapat terdegradasi dengan cepat secara biotik dan
abiotik menjadi DDE atau DDD (Fenxia Yao, et.al.). Untuk tanah sawah yang basah, DDT
dapat terdegradasi menjadi DDD. Untuk tanah sawah yang kering, DDT dapat terdegradasi
menjadi DDE. Seperti yang dapat dilihat di Gambar 7, sampel tanah sawah basah pada
ketinggian 1080 m dpl (titik) 4 merupakan sampel dengan konsentrasi DDT tertinggi, yaitu
sebesar 3 ppb. Hal ini dapat disebabkan oleh akumulasi konsentrasi dari titik-titik yang
beraada lebih tinggi. Konsentrasi yang terkandung di sampel tanah berkisar antara 0,3-3ppb.
Rata-rata konsentrasi DDT di tanah adalah 0,833 ppb, sedangkan di air adalah 0,664 ppb.
Satu hal lagi yang menjadi alasan mengapa konsentrasi DDT yang ditemukan relatif rendah
adalah metode penyemprotan yang dilakukan menghasilkan residu DDT yang rendah di
dalam tanah, diestimasikan hanya 1-10% dari total DDT yang diaplikasikan yang tertinggal
di lapisan tanah pada kedalaman 0-30 cm pada hari kesepuluh setelah penyemprotan (Feng,
2003). Pada tanah sawah kering tidak ditemukan sampel yang mengandung DDT,
sedangkan hampir semua sampel airnya mengandung DDT dalam jumlah yang cukup
signifikan. Sungai Citarum yang menjadi sumber air irigasi telah terbukti mengandung
DDT. DDT dalam tanah juga dapat telah mengalami berbagai proses, seperti run off,
fotolisis, volatilisasi, dan degradasi.
3
2,5
2
Air

1,5
1

Tanah

0,5

2
1,8
1,6
1,4
1,2
1
0,8
0,6
0,4
0,2
0

Konsentrasi (ppb)

Konsentrasi (ppb)

3,5

Ketinggian DPL (m)

Air
Tanah

Ketinggian DPL (m)

(a)

(b)

Gambar 7. Konsentrasi DDT di Sampel Air dan Tanah (a) Sawah Basah (b) Sawah Kering
Residu polutan organoklorin saat penanaman di musim kemarau lebih tinggi
dibanding saat musim hujan (Poolpak, 2007). Sampling untuk penelitian ini dilakukan pada
saat musim hujan, maka hal ini dapat menjadi salah satu penyebab konsentrasi organoklorin
yang ditemukan relatif rendah. Beberapa polutan organoklorin dapat terlepas dari tanah
dikarenakan derasnya aliran air yang melewati area persawahan. Telah dibuktikan oleh
penelitian sebelumnya bahwa kehilangan pestisida setalah aplikasi tanpa adanya hujan
EH7-9

deras adalah kurang dari 5%, jika terjadi hujan deras kehilangan tersebut akan mencapai
20-30% (Nagafuchi in Watanabe, 2006). Saat sampling dilakukan hujan deras cukup sering,
maka kehilangan dapat mencapai 20-30%, selain itu hujan deras menyebabkan terjadinya
erosi tanah. Meskipun di area persawahan telah diaplikasikan metode terasering, erosi tanah
tidak dapat dihindari. Ada kemungkinan organoklorin ikut hilang bersamaan dengan
terjadinya erosi tanah.
Insektisida yang terdapat di air dan tanah sawah dapat memasuki tanaman padi dan
terbiokonsentrasi. Jika padi yang terkontaminasi dikonsumsi oleh manusia, organoklorin
dapat menimbulkan dampak negatif terhadap kesehatan. Dampak yang terjadi dapat
bermacam-macam tergantung pada jenis polutannya, dapat berupa kanker, cacat pada bayi,
gangguan terhadap sistem hormon reproduksi manusia, dan lainnya.
KESIMPULAN
Polutan organoklorin teridentifikasi di area persawahan Sub DAS Citarum Hulu
meskipun telah dilarang bertahun-tahun yang lalu. Jenis yang teridentifikasi adalah aldrin,
dieldrin, DDT, heptaklor, dan endosulfan. Beberapa jenis polutan tersebut masih digunakan
oleh petani di Sub DAS Citarum Hulu. Organoklorin masih dapat ditemukan karena bersifat
persisten. Organoklorin dengan konsentrasi tertinggi yang ditemukan dalam penelitian ini
adalah jenis endosulfan. Konsentrasi organoklorin yang rendah disebabkan karena
insektisida ini telah dilarang, pengambilan sampling dilakukan pada musim hujan, dan
karakteristiknya yang relatif mudah menguap. Jumlah yang ditemukan di tanah lebih tinggi
daripada di air karena kebanyakan insektisida organoklorin memiliki kelarutan yang rendah
dalam air dan terikat kuat dengan partikel tanah. Konsentrasi organoklorin memiliki
kecenderungan untuk terakumulasi di lokasi yang lebih rendah.
UCAPAN TERIMA KASIH
Penelitian ini dibiayai oleh Institut Teknologi Bandung.
DAFTAR PUSTAKA
Feng, K; Yu, B.Y.; Wang, X.L.; Ge, D.M.; Wang, X.Z.; Wong, M.H.; Cao, Z.H. 2003.
Distribution of Organochlorine Pesticides (DDT and HCH) Between Plant and Soil
System. Environmental Geochemistry and Health 26, pages 253258
Jayashree, R; Vassudevan, R. 2006. Persistence and Distribution of Endosulfan Under Field
Condition. Environ Monit Assess 131, pages 475487
Miglioranza, Karina SB; de Moreno, Julia E. Aizpun; de Moreno, Victor J. 2002. Dynamics
of Organochlorine Pesticides in Soils From a Southeastern Region of Argentina.
Environmental Toxicology and Chemistry, Vol 22, pages 712-717
Nugraha. 2007. Evaluasi Penggunaan Insektisida Organoklorin di Persawahan di Pantai
Utara Jawa
Poolpak, T.2007.Residue analysis of organochlorine pesticides in the Mae Klong river of
Central Thailand. Journal of Hazardous Materials 156, pages 230-239
Ramesh A, Tanabe S, Murase H, Subramanian AN, Tatsukawa R. 1991. Distribution and
behavior of persistent organochlorine pesticides in paddy soils and sediments in the
tropical environment:A case study in south India. Environmental Pollution 74, pages
293-307
Ritter, L. 1997. Persistent Organic Pollutants
EH7-10

Saenong. 2005. Kerusakan Lingkungan dan Gangguan Kesehatan Sebagai Dampak


Penggunaan Pestisida Pertanian
Sarkar, S.K., Bhattacharya B.D.,Bhattacharya A., Chatterjee M.,Alam A., Satpathy K.K.,
Jonathan M.P. 2007. Occurrence, distribution and possible sources of organochlorine
pesticide residues in tropical coastal environment of India: An overview.
Environmental International 34, pages 1062-1071
Soemirat, Juli. 2005. Toksikologi Lingkungan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
Sofia. 2001. Pengaruh Pestisida dalam Lingkungan Pertanian
Sulaeman, Eman; Ardiwinata, Asep Nugraha. 2008. Residu Insektisida Organoklorin Pada
Tanah dan Air Sawah di Propinsi Jawa Barat
Squibb, Katherine. 2002. Pesticides. Apllied Toxicology NURS 735
The Centers for Disease Control and Prevention. 2005. Spotlight on Organochlorine
Pesticides
Yao, Fenxia; Yu, Guifen; Bian, Yongrong; Yang, Xinglun; Wang, Fang; Jiang, Xin. 2006.
Bioavailability to grains of rice of aged and fresh DDD and DDE in soils.
Chemosphere 68, pages 7884

EH7-11

Anda mungkin juga menyukai