Residu DDT Dalam Air Dan Tanah Persawahan
Residu DDT Dalam Air Dan Tanah Persawahan
Abstrak: Insektisida Organoklorin merupakan salah satu bahan kimia yang digunakan secara luas di sektor
pertanian pada berbagai belahan dunia dikarenakan keefektifan dan harganya yang murah. Namun setelah
puluhan tahun pemakaian, insektisida jenis ini tidak boleh dipergunakan lagi dikarenakan sifatnya yang
persisten dan toksik. Sifat persisten organoklorin telah dibuktikan oleh berbagai penelitian dengan masih
ditemukannya residu-residu dari berbagai jenis insektisida organoklorin di daerah pertanian meskipun sudah
tidak digunakan lagi oleh petani. Daerah SUB DAS Citarum Hulu merupakan salah satu daerah pertanian
besar di Pulau Jawa. Kemungkinan tanah pertanian di daerah ini mengandung residu organoklorin sangat
tinggi. Sampling dilakukan di 15 area dengan metode komposit, masing-masing area diambil lima titik
sampling. Sampel yang diambil berupa tanah sawah dan air keluaran atau air genangan atau air irigasi yang
ada di area. Pemeriksaan sampel dilakukan dengan menggunakan metode gas kromatografi yang terdiri dari
tiga langkah, yaitu ekstraksi, pemurnian, dan identifikasi. Dari hasil analisis laboratorium, didapat beberapa
jenis insektisida organoklorin, yaitu Aldrin, Dieldrin, DDT, Heptaklor, dan Endosulfan. Selain Endosulfan,
empat jenis yang teridentifikasi termasuk dalam golongan Persistent Organic Pollutants (POPs). Konsentrasi
Endosulfan merupakan yang paling tinggi di antara yang lainnya. Kecilnya konsentrasi organoklorin yang
teridentifikasi kebanyakan dikarenakan sifat dari organoklorin yang dapat menguap dan sudah tidak banyak
yang menggunakannya karena dilarang. Kelarutan organoklorin yang rendah di air mengakibatkan konsentrasi
di sampel air cenderung lebih rendah dibandingkan dengan di tanah di kebanyakan sampel.
Kata kunci: insektisida, organoklorin, tanah sawah, sampel, konsentrasi, gas kromatografi
Abstract: Organochlorine insecticide is one of chemical substance that widely used in agricultural sector in
many places in the world because of its effectiveness and the low price. But after the application for many
years, this kind of insecticide is become prohibited because its persistence and toxic for living organisms.
The persistency of organochlorine is already proven by some researches that found many residues of it in the
paddy field, although the application already stopped. The Upper Course of Citarum Watershed in one of big
agricultural area in West Java. The possibility of this area containing the residues of organochlorine is still
very high. Sampling is done in 15 paddy field areas by using the composite method, five sampling points for
each area. The samples that taken are paddy soil samples and output water or stagnate water or irrigation
water inside the area. The sample is being analyzed with the Chromatography Gas Method which consist of
three steps, they are extraction, purification, and identification. The result of the identification is the samples
contain some kind of organochlorine, they are Aldrin, Dieldrin, DDT, Heptachlor, and Endosulfan. Beside
Endosulfan, the rests are classified as Persistent Organic Pollutants (POPs). The highest concentration that
obtained is Endosulfan. The low concentration that identified is most likely because volatilization and the
prohibited of the application. The low solubility in water makes the concentration that found in water lower
than in the soil.
Keywords: insecticide, organochlorine, paddy soil, sample, concentration, chromatography gas
EH7-1
PENDAHULUAN
Perkembangan sektor pertanian telah mengakibatkan peningkatan pencemaran
lingkungan oleh bahan kimia buatan manusia. Di antara polutan-polutan tersebut, terdapat
polutan organik yang disebut organoklorin. Organoklorin merupakan polutan yang bersifat
persisten dan dapat terbioakumulasi di alam serta bersifat toksik terhadap manusia dan
makhluk hidup lainnya. Organoklorin tidak reaktif, stabil, memiliki kelarutan yang sangat
tinggi di dalam lemak, dan memiliki kemampuan degradasi yang rendah (Ebichon dalam
Soemirat, 2005). Organoklorin termasuk ke dalam golongan pestisida yang bagus dan
ampuh, namun memiliki banyak dampak negatif terhadap lingkungan. Sebagai pestisida,
sifat persistensinya sangat menguntungkan untuk mengontrol hama. Terdapat pula
kemungkinan terjadinya bioakumulasi dan biomagnifikasi. Dikarenakan karakteristiknya
yang sulit terbiodegradasi dan kelarutannya yang tinggi dalam lemak, organoklorin dapat
terakumulasi dalam jaringan hewan yang prosesnya disebut biokonsentrasi. Biomagnifikasi
dapat terjadi pada hewan yang terlibat dalam rantai makanan. Insektisida jenis ini masih
digunakan di negara-negara berkembang, terutama di daerah khatulistiwa. Hal ini
dikarenakan harganya yang sangat murah, keefektifannya, dan persistensinya. Kebanyakan
negara berkembang terletak di daerah yang beriklim tropis dimana pada umumnya memiliki
temperatur dan curah hujan yang tinggi. Iklim yang seperti itu dapat membuat perpindahan
residu melalui udara dan air secara cepat dan akhirnya berkonstribusi terhadap kontaminasi
global. Proporsi pestisida yang akan mencapai target, seperti hama, ditemukan tidak lebih
dari 0,3% dari yang diaplikasikan, sedangkan 99% lainnya akan berada di lingkungan
(Karina S.B, Julia E., and Victor J. Moreno, 2002).
Penggunaan insektisida organoklorin telah mengakibatkan pencemaran terhadap
udara, tanah, dan air. Area persawahan yang menggunakan banyak materi organik akan
mengandung residu pestisida yang tinggi karena tanah yang seperti ini dapat mengabsorbsi
senyawa hidrokarbon yang mengandung klor (hidrokarbon terklorinasi). Faktanya,
organoklorin juga telah dilarang di Indonesia, namun masih banyak petani yang
menggunakannya. Telah dibuktikan bahwa organoklorin masih terkandung dalam tanah di
daerah pertanian Pantura Jawa Barat. Hal ini menandakan organoklorin masih digunakan di
daerah tersebut. Jenis organoklorin yang terdeteksi adalah DDT, Dieldrin, Endrin, dan
masih banyak lagi. Dikarenakan kondisi daerah pertanian di Jawa Barat tidak terlalu
berbeda, maka tanah daerah pertanian di Sub DAS Citarum Hulu diperkirakan mengandung
senyawa organoklorin (Nugraha, 2007).
Data yang dimiliki oleh Departemen Pertanian Jawa Barat mengenai insekstisida
organoklorin yang sering digunakan, seperti peta atau data konsentrasi masih kurang
memadai. Bahkan BPLHD Jawa Barat belum memiliki angka pencemaran yang terjadi di
daerah pertanian. Dikarenakan sifat persistensi organoklorin, tinggi kemungkinan ada
residunya yang terkandung dalam tanah di daerah pertanian Sub DAS Citarum Hulu. Hal
ini dapat menjadi alasan mengapa penelitian mengenai kandungan insektisida organoklorin
di pertanian sangat penting untuk dilakukan.
METODOLOGI
Sampel tanah dan air sawah diambil dari daerah pertanian Sub DAS Citarum hulu,
tepatnya dari Kecamatan Kertasari dan Kecamatan Pacet di Kabupaten Bandung Selatan,
Jawa Barat. Secara keseluruhan terdapat 30 sampel, 15 sampel untuk tanah sawah dan 15
sampel untuk air sawah. Sampel tanah diambil dari tanah permukaan, kira-kira pada
kedalaman 20 cm dengan menggunakan soil sampler. Sampel air diambil dari saluran
EH7-2
irigasi atau air yang terdapat di atas permukaan sawah. Metode sampling yang digunakan
merupakan metode komposit dengan mengambil 5 sampel di setiap area sampling.
untuk terjadi. Untuk titik-titik yang berada tidak jauh dari titik lainnya namun dengan
ketinggian berbeda, terdapat kemungkinan akumulasi konsentrasi organoklorin pada titik
yang terendah. Tabel 1 berisi pengelompokan titik sampling berdasarkan ketinggian.
Tabel 1. Klasifikasi Titik Sampling Berdasarkan Ketinggian
Sawah Basah
Ketinggian (m dpl) Titik Sampling
905
7
940
8
1080
4
1100
2
1115
5
1120
3
1140
1
1160
6
Sawah Kering
Ketinggian (m dpl) Titik Sampling
1080
9
1120
15
1130
14
1140
13
1180
12
1240
11
1260
10
5,016%
5,556%
Aldrin
11,842%
5,981% 4,785%
Heptachlor
Heptachlor
Endosulfan
74,276
%
Endosulfan
Dieldrin
DDT
Aldrin
42,344%
35,048%
Dieldrin
DDT
(a)
(b)
Gambar 2. Konsentrasi Organoklorin (a) Air Sawah (b) Tanah Sawah
Kelarutan organoklorin dalam air relatif rendah, namun masih dapat larut. Dari hasil
analisis laboratorium, polutan organoklorin di sampel air ada yang berbeda dan ada dalam
konsentrasi yang lebih kecil jika dibandingkan dengan konsentrasi di sampel tanah. Tentu
saja, polutan yang terkandung dalam tanah bisa menjadi sumber pencemar di air sawah.
Untuk sampel yang berasal dari sawah basah terdapat hubungan antara jenis organoklorin
yang ditemukan di tanah pada area yang sama. Organoklorin yang ditemukan di air sawah
EH7-4
tersebut kebanyakan sama dengan organoklorin yang ditemukan di tanahnya. Akan tetapi
untuk air yang diambil dari saluran irigasi yang tidak merendam area persawahannya
(sawah kering), terdapat perbedaan antara jenis organoklorin yang ditemukan di air dan di
tanah. Air di saluran irigasi tidak mengalami kontak langsung dengan sampel tanah yang
diambil. Air irigasi ini hanya mengaliri beberapa area dikarenakan padi yang ada di area
tersebut telah besar dan tidak memerlukan banyak air. Air yang digunakan untuk mengaliri
irigasi diambil langsung dari Sungai Citarum yang telah mengandung polutan organoklorin.
Area persawahan di daerah penelitian terletak lebih rendah dibanding area ladang, sehingga
ada kemungkinan polutan di ladang mencemari air Sungai Citarum sebelum digunakan
unruk irigasi area persawahan. Terdapat pula kemungkinan air sawah yang merendam area
mengalami kontak langsung dengan insektisida yang diaplikasikan, sehingga kemungkinan
polutan memasuki air lebih tinggi dibanding dengan air irigasi yang tidak berkontak
langsung dengan insektisida.
Dari pengamatan di lapangan, diperoleh fakta bahwa ada petani yang masih menggunakan
insektisida yang mengandung endosulfan sebagai bahan aktifnya. Konsentrasi endosulfan
yang ditemukan di dalam sampel relatif lebih tinggi dibandingkan dengan jenis
organoklorin lainnya. Konsentrasi tertinggi ditemukan dalam sampel air sawah kering pada
ketinggian 1120 m dpl (titik 15) dengan konsentrasi sebesar 35,549 ppb, sedangkan pada
tanah di lokasi yang sama konsentrasinya hanya 1,4 ppb. Hal ini disebabkan karena air
irigasi yang digunakan berasal dari Sungai Citarum yang telah terkontaminasi dan hanya
melewati tanah pada beberapa titik. Dari Gambar 1 dapat dilihat bahwa titik 15 berada di
bawah beberapa titik lainnya, akumulasi konsentrasi endosulfan dapat terjadi akibat run-off.
Konsentrasi endosulfan yang diterukur di sampel air berkisar antara 0,181-35,549 ppb dan
untuk sampel tanah berkisar antara 1,3-4 ppb. Rata-rata konsentrasi endosulfan di sampel
tanah adalah 2,25 ppb, sedangkan di sampel air adalah 5,4 ppb. Hilangnya endosulfan dari
dalam tanah kebanyakan disebabkan oleh proses fotolisis yang terjadi di permukaan,
hidrolisis dalam kondisi basa, atau biodegradasi. Endosulfan sulfat merupakan metabolit
dari endosulfan yang paling persisten (Jayashree, 2006). Dari pengakuan beberapa petani,
mereka masih menggunakan Thiodan untuk membunuh hama lalat di awal penanaman.
Thiodan merupakan salah satu merek dagang insektisida yang mengandung endosulfan
sebagai bahan aktifnya. Jenis insektisida ini masih dapat ditemukan di toko pertanian di
sekitar daerah persawahan meskipun telah dilarang untuk digunakan di area yang berair.
Tidak hanya endosulfan, semua insektisida organoklorin yang teridentifikasi dari sampel
sudah dilarang penggunaannya karena bersifat persisten dan memiliki efek negatif terhadap
makhluk hidup. Residu organoklorin masih dapat ditemukan sekarang ini juga karena
senyawa siklik yang mengandung klor sangat sulit didegradasi, bahkan dapat bertahan
hingga 100 tahun. Dalam kasus thiodan yang diaplikasikan dengan cara penyemprotan,
pestisida yang berada di udara akan jatuh ke permukaan tanah dan mencemarinya.
Konsentrasi endosulfan di sampel tanah dan sampel air dapat dilihat di Gambar 3.
40
4
3
Air
Tanah
Konsentrasi (ppb)
Konsentrasi (ppb)
30
Air
20
Tanah
10
0
(a)
(b)
EH7-5
Gambar 3. Konsentrasi Endosulfan dalam Sampel Tanah dan Air (a) Sawah Basah
(b) Sawah Kering
Beberapa jenis organoklorin yang ditemukan, yaitu aldrin, heptaklor, dieldrin, dan
DDT tergolong sebagai senyawa Persistent Organic Pollutants (POPs). POPs adalah
senyawa kimia yang persisten di lingkungan, dapat mengalami bioakumulasi di rantai
makanan, dan memiliki risiko menjadi penyebab banyak dampak negatif terhadap
kesehatan manusia dan lingkungan. Sekarang, komunitas internasional telah mengambil
tindakan darurat yang bersifat global untuk mengurangi dan mengeliminasi diproduksinya
bahan-bahan kimia ini.
Heptaklor merupakan insektisida kontak dan non sistemik. Kegunaan utamanya
adalah untuk menangani serangga di tanah, rayap, serangga di tanaman kapas, belalang, dan
beberapa hama tanaman lainnya. Kelarutan heptaklor dalam air sangat rendah, sedangkan
kelarutannya di dalam lemak tinggi. Kemampuan heptaklor untuk menguap cukup tinggi
dan dapat menjadi bagian dari atmosfer saat terjadi penguapan (Ritter, 1997). Persistensi
heptaklor di tanah terbilang tinggi karena memiliki kecenderungan untuk teradsorbsi di
dalam tanah serta sangat sulit mengalami pergerakan menuju air tanah. Faktor lainnya yang
mempengaruhi persistensi heptaklor adalah temperatur dan kelembaban. Dikarenakan
kelarutannya yang rendah dalam air dan kemampuan menguapnya yang tinggi dari air,
maka konsentrasi heptaklor yang ditemukan di sampel air relatif rendah, yaitu berkisar
antara 0,133-1,67 ppb. Konsentrasi yang ditemukan di tanah lebih besar, yaitu sekitar 0,325,1 ppb. Dapat dilihat pada Gambar 4, sampel tanah sawah basah pada ketinggian 1140 m
dpl (titik 1) adalah sampel dengan konsentrasi heptaklor tertinggi, yaitu 25,1 ppb. Hal ini
dapat disebabkan akumulasi yang terjadi akibat run-off dari titik yang berada lebih tinggi.
Rata-rata konsentrasi yang ditemukan di sampel tanah adalah 3,218 ppb, sedangkan di
sampel air adalah 0,566 ppb. Konsentrasi di sampel air lebih rendah dibandingkan
konsentrasi di sampel tanah juga dapat disebabkan karena kemampuan menguap heptaklor
di air lebih tinggi dibandingkan kemampuan menguapnya di tanah. Selain melalui proses
penguapan, heptaklor dapat hilang dari tanah dan air dengan proses hidrolisis. Heptaklor
dapat terhidrolisis menjadi 1-hidroksilklordan dan heptaklor epoksida. Untuk sampel air
sawah kering pada ketinggian 1120 m dpl (titik 15), didapat konsentrasi yang cukup
signifikan dibanding titik yang lain, yaitu 1,67 ppb. Sama halnya seperti konsentrasi
endosulfan pada titik yang sama, akumulasi konsentrasi dari lokasi yang lebih tinggi dapat
terjadi mengingat adanya run-off akibat hujan.
25
20
15
Air
10
Tanah
5
0
1,8
1,6
1,4
1,2
1
0,8
0,6
0,4
0,2
0
Konsentrasi (ppb)
Konsentrasi (ppb)
30
Air
Tanah
(a)
(b)
Gambar 4. Konsentrasi Heptaklor di Sampel Air dan Tanah (a) Sawah Basah
(b) Sawah Kering
EH7-6
0,5
0,8
0,6
Air
0,4
Tanah
Konsentrasi (ppb)
0,6
Konsentrasi (ppb)
1,2
0,4
0,3
Air
0,2
0,2
0,1
Tanah
(a)
(b)
Gambar 5. Konsentrasi Adrin di Sampel Air dan Tanah (a) Sawah Basah (b) Sawah Kering
Dieldrin sempat digunakan di sektor pertanian untuk mengontrol serangga tanah dan
beberapa serangga yang menjadi vektor penyakit. Namun penggunaannya telah dilarang di
beberapa negara dikarenakan alasan lingkungan dan kesehatan manusia. Penggunaanya
telah dibatasi hanya untuk mengontrol rayap dan hama yang mengganggu tekstil. Seperti
halnya aldrin, dieldrin terikat kuat dengan partikel tanah. Proses volatilisasi merupakan
mekanisme penting dalam proses hilangnya dieldrin dari tanah. Dieldrin juga merupakan
senyawa persisten yang memiliki kelarutan rendah dalam air dan dapat mengalami proses
biokonsentrasi serta memiliki fitotoksisitas yang rendah. Tanaman dapat terkena efek hanya
bila paparannya melebihi konsentrasi aplikasi yang dianjurkan (Ritter, 1997). Seperti
EH7-7
halnya heptaklor, rendahnya konsentrasi dieldrin yang ditemukan baik di sampel air
maupun sampel tanah adalah karena kelarutannya yang rendah dalam air serta proses
volatilisasi. Seperti yang dapat terlihat pada Gambar 6, konsentrasi dieldrin yang
ditemukan di sampel tanah adalah berkisar antara 0,6-1,8 ppb, untuk sampel air berkisar
antara 0,171-1,791 ppb. Rata-rata konsentrasi dieldrin untuk sampel tanah adalah 1,1 ppb,
sedangkan untuk sampel air adalah 0,602 ppb. Kelarutan yang rendah dalam air yang
menyebabkan konsentrasi di sampel air relatif lebih sedikit dari di tanah. Sampel tanah
sawah basah pada ketinggian 1100 m dpl (titik 2) adalah sampel yang mengandung
konsentrasi dieldrin tertinggi, yaitu sebesar 1,8 ppb. Sama seperti aldrin, kemungkinan
akumulasi dari titik yang lebih tinggi cukup besar. Selain itu aldrin pada lokasi yang sama
dapat telah terdegradasi menjadi dieldrin, mengingat kandungan aldrin yang ditemukan
cukup signifikan.
2
1,8
1,6
1,4
1,2
1
0,8
0,6
0,4
0,2
0
1,2
Air
Tanah
Konsentrasi (ppb)
Konsentrasi (ppb)
1
0,8
Air
0,6
Tanah
0,4
0,2
0
(a)
(b)
Gambar 6. Konsentrasi Dieldrin di Sampel Air dan Tanah (a) Sawah Basah
(b) Sawah Kering
Selain sampel sawah basah pada ketinggian 1160 m dpl (titik 6), konsentrasi dieldrin
yang terkandung pada sampel lebih besar daripada konsentrasi aldrin. Berdasarkan
penelitian Poolpak di Thailand pada tahun 2007, aldrin dapat terkonversi dalam waktu yang
cepat ke dalam bentuk dieldrin di lingkungan. Poolpak juga mengatakan bahwa konsentrasi
dieldrin yang terdeteksi dapat mencerminkan total konsentrasi dari kedua senyawa. Aldrin
yang terkandung di dalam tanah sawah di Sub DAS Citarum hulu dapat terkonversi menjadi
dieldrin sebelum sampling dilakukan. Dengan kata lain, dieldrin yang ditemukan dapat
berasal dari insektisida yang memang mengandung dieldrin sebagai bahan aktifnya ataupun
dari aldrin yang telah terdegradasi. Untuk sampel titik 6 yang mengandung aldrin tetapi
tidak mengandung dieldrin sama sekali, masih terdapat kemungkinan bahwa aldrin belum
terdegradasi menjadi dieldrin. Seperti aldrin, dieldrin bersifat hidrofobik. Selain sampel
sawah basah pada ketinggian 1120 m dpl (titik 3), konsentrasi di tanah lebih besar daripada
konsentrasi di air dalam konsentrasi yang relatif kecil. Untuk pada titik 3 tersebut, terdapat
beberapa kemungkinan yang membuat konsentrasi di air lebih besar daripada di tanah, yaitu
terjadinya deposisi basah atau kering, masuknya polutan dari Sungai Citarum ke dalam air
irigasi, dan adanya proses degradasi aldrin karena konsentrasi aldrin pada sampel tersebut
cukup besar.
DDT pernah diaplikasikan pada berbagai jenis tanaman pertanian. DDT memiliki
kelarutan dalam air yang rendah, namun dapat larut di hampir semua jenis pelarut organik.
EH7-8
Merupakan senyawa semi volatil dan dapat menjadi bagian dari atmosfer jika terjadi proses
penguapan. Berada dalam jumlah yang sangat banyak di lingkungan dan bahkan residunya
ditemukan di kutub utara. Bersifat lipofilik dan mudah melarut dalam lemak di semua
makhluk hidup dan telah dibuktikan dapat mengalami proses biokonsentrasi dan
biomagnifikasi (Ritter, 2007). Meskipun telah dilarang semenjak tahun 1970an, jumlah
DDT yang ditemukan terkandung di dalam sampel, terutama dalam sampel air cukup
signifikan, yaitu antara 0,2-1,794 ppb. Hal ini disebabkan karena DDT merupakan jenis
insektisida organoklorin yang dahulu paling banyak digunakan. Bahkan setelah dilarang,
banyak petani yang masih menggunakan DDT karena dikenal sebagai pestisida yang dapat
menangani seluruh hama serangga. DDT dapat hilang dari tanah akibat proses run off,
fotolisis, volatilisasi, dan degradasi. DDT dapat terdegradasi dengan cepat secara biotik dan
abiotik menjadi DDE atau DDD (Fenxia Yao, et.al.). Untuk tanah sawah yang basah, DDT
dapat terdegradasi menjadi DDD. Untuk tanah sawah yang kering, DDT dapat terdegradasi
menjadi DDE. Seperti yang dapat dilihat di Gambar 7, sampel tanah sawah basah pada
ketinggian 1080 m dpl (titik) 4 merupakan sampel dengan konsentrasi DDT tertinggi, yaitu
sebesar 3 ppb. Hal ini dapat disebabkan oleh akumulasi konsentrasi dari titik-titik yang
beraada lebih tinggi. Konsentrasi yang terkandung di sampel tanah berkisar antara 0,3-3ppb.
Rata-rata konsentrasi DDT di tanah adalah 0,833 ppb, sedangkan di air adalah 0,664 ppb.
Satu hal lagi yang menjadi alasan mengapa konsentrasi DDT yang ditemukan relatif rendah
adalah metode penyemprotan yang dilakukan menghasilkan residu DDT yang rendah di
dalam tanah, diestimasikan hanya 1-10% dari total DDT yang diaplikasikan yang tertinggal
di lapisan tanah pada kedalaman 0-30 cm pada hari kesepuluh setelah penyemprotan (Feng,
2003). Pada tanah sawah kering tidak ditemukan sampel yang mengandung DDT,
sedangkan hampir semua sampel airnya mengandung DDT dalam jumlah yang cukup
signifikan. Sungai Citarum yang menjadi sumber air irigasi telah terbukti mengandung
DDT. DDT dalam tanah juga dapat telah mengalami berbagai proses, seperti run off,
fotolisis, volatilisasi, dan degradasi.
3
2,5
2
Air
1,5
1
Tanah
0,5
2
1,8
1,6
1,4
1,2
1
0,8
0,6
0,4
0,2
0
Konsentrasi (ppb)
Konsentrasi (ppb)
3,5
Air
Tanah
(a)
(b)
Gambar 7. Konsentrasi DDT di Sampel Air dan Tanah (a) Sawah Basah (b) Sawah Kering
Residu polutan organoklorin saat penanaman di musim kemarau lebih tinggi
dibanding saat musim hujan (Poolpak, 2007). Sampling untuk penelitian ini dilakukan pada
saat musim hujan, maka hal ini dapat menjadi salah satu penyebab konsentrasi organoklorin
yang ditemukan relatif rendah. Beberapa polutan organoklorin dapat terlepas dari tanah
dikarenakan derasnya aliran air yang melewati area persawahan. Telah dibuktikan oleh
penelitian sebelumnya bahwa kehilangan pestisida setalah aplikasi tanpa adanya hujan
EH7-9
deras adalah kurang dari 5%, jika terjadi hujan deras kehilangan tersebut akan mencapai
20-30% (Nagafuchi in Watanabe, 2006). Saat sampling dilakukan hujan deras cukup sering,
maka kehilangan dapat mencapai 20-30%, selain itu hujan deras menyebabkan terjadinya
erosi tanah. Meskipun di area persawahan telah diaplikasikan metode terasering, erosi tanah
tidak dapat dihindari. Ada kemungkinan organoklorin ikut hilang bersamaan dengan
terjadinya erosi tanah.
Insektisida yang terdapat di air dan tanah sawah dapat memasuki tanaman padi dan
terbiokonsentrasi. Jika padi yang terkontaminasi dikonsumsi oleh manusia, organoklorin
dapat menimbulkan dampak negatif terhadap kesehatan. Dampak yang terjadi dapat
bermacam-macam tergantung pada jenis polutannya, dapat berupa kanker, cacat pada bayi,
gangguan terhadap sistem hormon reproduksi manusia, dan lainnya.
KESIMPULAN
Polutan organoklorin teridentifikasi di area persawahan Sub DAS Citarum Hulu
meskipun telah dilarang bertahun-tahun yang lalu. Jenis yang teridentifikasi adalah aldrin,
dieldrin, DDT, heptaklor, dan endosulfan. Beberapa jenis polutan tersebut masih digunakan
oleh petani di Sub DAS Citarum Hulu. Organoklorin masih dapat ditemukan karena bersifat
persisten. Organoklorin dengan konsentrasi tertinggi yang ditemukan dalam penelitian ini
adalah jenis endosulfan. Konsentrasi organoklorin yang rendah disebabkan karena
insektisida ini telah dilarang, pengambilan sampling dilakukan pada musim hujan, dan
karakteristiknya yang relatif mudah menguap. Jumlah yang ditemukan di tanah lebih tinggi
daripada di air karena kebanyakan insektisida organoklorin memiliki kelarutan yang rendah
dalam air dan terikat kuat dengan partikel tanah. Konsentrasi organoklorin memiliki
kecenderungan untuk terakumulasi di lokasi yang lebih rendah.
UCAPAN TERIMA KASIH
Penelitian ini dibiayai oleh Institut Teknologi Bandung.
DAFTAR PUSTAKA
Feng, K; Yu, B.Y.; Wang, X.L.; Ge, D.M.; Wang, X.Z.; Wong, M.H.; Cao, Z.H. 2003.
Distribution of Organochlorine Pesticides (DDT and HCH) Between Plant and Soil
System. Environmental Geochemistry and Health 26, pages 253258
Jayashree, R; Vassudevan, R. 2006. Persistence and Distribution of Endosulfan Under Field
Condition. Environ Monit Assess 131, pages 475487
Miglioranza, Karina SB; de Moreno, Julia E. Aizpun; de Moreno, Victor J. 2002. Dynamics
of Organochlorine Pesticides in Soils From a Southeastern Region of Argentina.
Environmental Toxicology and Chemistry, Vol 22, pages 712-717
Nugraha. 2007. Evaluasi Penggunaan Insektisida Organoklorin di Persawahan di Pantai
Utara Jawa
Poolpak, T.2007.Residue analysis of organochlorine pesticides in the Mae Klong river of
Central Thailand. Journal of Hazardous Materials 156, pages 230-239
Ramesh A, Tanabe S, Murase H, Subramanian AN, Tatsukawa R. 1991. Distribution and
behavior of persistent organochlorine pesticides in paddy soils and sediments in the
tropical environment:A case study in south India. Environmental Pollution 74, pages
293-307
Ritter, L. 1997. Persistent Organic Pollutants
EH7-10
EH7-11