PENDAHULUAN
Industri tekstil di Indonesia mengalami perkembangan yang pesat sehingga pada tahun 1992
menjadi penghasil devisa tertinggi di antara
komoditas nonminyak dan nongas dengan nilai
ekspor sebesar US $ 3.5 milyar. Industri tekstil
tersebut tidak berbasis pada produksi bahan baku
domestik yang kuat. Bahan baku tekstil yang
berupa serat kapas harus diimpor. Setiap tahun
Indonesia mengimpor kapas dalam jumlah besar.
Indonesia sebagai negara agraris sampai saat
ini masih mendatangkan kapas sebagai bahan
baku industri tekstil sebanyak 92% - 95% dari
kebutuhan nasional, karena produksi kapas dalam
negeri hanya mampu memenuhi 5% 8% dari
kebutuhan tersebut (Sumarno, 1980). Menurut
Deperindag (2000) kebutuhan kapas Indonesia
mencapai 700.000 ton th-1. Salah satu upaya
untuk mengurangi ketergantungan pada kapas
sebagai bahan baku utama tekstil adalah penggunaan serat alam lain yang berasal dari tanaman
rami yang memiliki karakteristikanya mirip kapas
dan dapat digunakan sebagai bahan baku tekstil
seperti yang dikemukakan oleh Buxton dan
*)
177
Stigma Volume XIII No.3, Juli September 2005
Alam), Sumatera Utara (di Kabupaten Toba)
dengan luas areal paling kurang ditiap titik 40 ha,
untuk tiap hektar dibutuhkan 44.000 stek bibit
rami, dilaporkan juga bahwa areal untuk kebun
bibit sangat terbatas karena untuk satu tanaman
hanya mampu menyediakan 20 buah stek rimpang bibit, sehingga kebutuhan bahan tanam rami
dimasa mendatang semakin tinggi. Permasalahan
yang dihadapai dalam penyediaan bahan tanam
adalah penyediaan bahan tanam unggul dalam
jumlah banyak dan waktu singkat.
Secara
konvensional penyediaan bahan tanam dilakukan
dengan membongkar perakaran tanaman induk
untuk diambil stek rimpangnya dan harus diambil
secara hati-hati agar tidak terlalu mengganggu
pertumbuhan pohon induk berikutnya. Pohon
induk dapat diambil stek rimpangnya setelah
berumur setahun. Dengan cara konvensional itu
kualitas bahan tanam yang dihasilkan tidak
seragam dan butuh waktu yang lama dan merusak
tanaman induk. Berdasarkan permasalahan tersebut perlu ditemukan teknik alternatif untuk perbanyakan tanaman rami yang mampu menjamin
keseragaman bibit dan kestabilan genetik bahan
tanam tersebut.
Teknik kultur jaringan telah digunakan secara luas untuk memperbanyak tanaman secara komersil baik untuk tanaman semusim maupun untuk tanaman tahunan. Di India perkembangan
perbanyakan tanaman dengan kultur jaringan
tanaman perkebunan telah berkembang dengan
pesat, seperti the, kopi, vanili dan tebu (Govil dan
Gupta, 1997). Di Indonesia perkembangan industri pembibitan tanaman hortikultura maupun
tanaman tahunan (kehutanan, industri dan perkebunan) menggunakan teknologi kultur jaringan
juga berkembang dengan pesat seperti tanaman
jati (Gunawan, 1998), kelapa (Hayati et al., 2000)
dan tanaman hortikultura (Imelda et al., 1998;
dan Hutami et al., 1998). Oleh karena itu pemanfaatan teknologi kultur jaringan untuk penyediaan
bahan tanaman rami unggul perlu dilakukan.
Faktor yang sangat menentukan dalam kultur
jaringan adalah penggunaan zat pengatur tumbuh
yang ditambahkan dalam media kultur yaitu sitokinin dan auksin. Sitokinin berperan dalam mendorong pertumbuhan sel dan jaringan serta inisiasi pembentukan tunas. Sitokinin yang paling banyak dipakai adalah BAP (Benzyladenin purin).
Pada konsentreasi berapa BAP berpengaruh pada
propagasi dan pertumbuhan tunas aksplant rami
belum diketahui secara pasti.
Berdasarkan hal di atas maka penulis telah
melakukan percobaan mengenai upaya penggandaan tunas rami (Boehmeria nivea (L.) Gaud)
pada berbagai konsentrasi Sitokinin secara invitro. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan
178
Stigma Volume XIII No.3, Juli September 2005
dengan kertas duplikator yang telah dibasahkan
dengan air kemudian disterilisasikan di dalam
autoclave dengan tekanan 15 kgF cm-1 pada suhu
121oC selama 30 menit. da tekanan 15 kgF cm -1
pada suhu 121oC .
3. Pembuatan Media
Media yang digunakan adalah media MS
yang diperkaya dengan zat pengatur tumbuh
sitokinin BAP (Benzyladenin purin). Media yang
telah disterilkan disimpan dalam ruang inkubasi
selama 1 minggu untuk melihat apakah ada yang
terkontaminasi atau tidak.
4. Sterilisasi Eksplan
Untuk masing-masing perlakuan, tunas dicuci bersih terlebih dahulu pada air mengalir.
Kemudian dicuci dengan Tween 2 tetes dalam 00
ml air, airnya dibuang kemudian direndam dengan Benlate 2 g l-1 dan streptomicin 0.5 g l-1
selama 30 menit. Setelah dibuang airnya, kemudian direndam dalam Bayclyn 10 % selama 15
menit. Setelah itu, direndam lagi dalam Bayclyn
5% selama 15 menit. Terakhir eksplan dibilas
dengan aquadest steril, kemudian baru ditanam.
5. Penanaman Eksplan
Penanaman eksplan dilakukan di dalam
LAFC yang telah disinari sinar UV. Botol kultur
yang telah berisi media dan alat-alat lain yang
akan digunakan disemprot dengan alkohol 70%
dan dimasukkan ke dalam LAFC. Setelah itu botol kultur ditutup kembali menggunakan plastik
wrap sambil didekatkan keapi dari lampu spiritus.
Semua pekerjaan itu dilakukan dalam LAFC.
6. Pemeliharaan
Pemeliharaan dimulai sejak penanaman pada
media perlakuan sampai berakhirnya pengamatan. Pemeliharaan meliputi pemeliharaan kebersihan ruang kultur. Ruang yang tidak bersih dapat mengakibatkan kontaminasi, eksplan yang telah terkontaminasi segera dipisahkan dan dikeluarkan dari ruang kultur. Pemeliharaan dilakukan dengan menjaga temperatur ruang kultur
tetap 20-25oC
5. Pengamatan dan analisis data
Pengamatan dilakukan untuk mengetahui laju
pertumbuhan eksplan, meliputi persentase eksplan yang hidup, persentase eksplan yang terkontaminasi, persentase inisiasi pertunasan, jumlah
tunas, dan tinggi tunas. Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan uji F dan uji lanjut
BNT pada taraf nyata 5 % dan 1%.
179
Stigma Volume XIII No.3, Juli September 2005
sitokinin, bukan berarti sitokinin tidak dapat ditambahkan ke dalam media tapi perlu diperhatikan keseimbangannya. Disamping tanaman rami
juga melepaskan eksudan yaitu senyawa hasil
metabolisme sekunder. Eksudan ini terakumulasi
disekitar jaringan yang luka, sehingga terjadi
pencoklatan.
2. Inisiasi pertunasan (%)dan Jumlah Tunas
Dari semua eksplan yang hidup pada asal
eksplan tunas aksiler, sampai terakhir pengamatan hanya 3 eksplan yang sampai membentuk
tunas. Perlakuan tanpa pemberian sitokinin, 3
mg/l dan 4 mg/l masing-masing membentuk satu
tunas atau hanya 6% terbentuk tunas. Hal ini
diduga karena belum seimbangnya zat pengatur
tumbuh yang terdapat pada media, sehingga kemampuan untuk membentuk tunas juga sangat
dipengaruhi. Untuk pertumbuhan dan perkembangan eksplan selanjutnya sangat dipengaruhi
oleh konsentrasi dan kombinasi zat pengatur
tumbuh yang ditambahkan. Pada percobaan ini
hanya diberikan sitokinin saja, dengan dugaan
bahwa eksplan akan mampu membentuk tunas
dengan baik. Wetherell (1982) menyatakan bahwa interaksi dan perimbangan antara auksin dan
sitokinin yang ada pada media dan diproduksi
oleh tanaman secara endogen menentukan arah
perkembangan suatu kultur.
3. Tinggi tunas
Tunas mulai terbentuk pada hari ke-13
setelah tanam. Dari ketiga tunas yang terbentuk
dari eksplan asal tunas aksiler, sampai akhir
pengamatan pada tanpa penambahan sitokinin
sudah mencapai 1 cm, pada penambahan 2 mg/l
dan 3 mg/l tinggi tunas belum mencapai 1 cm.
Tunas yang terbentuk diduga karena tunas tanaman rami yang dijadikan eksplan sudah memiliki
bakal tunas. Munculnya tunas ini semakin dipercepat dengan adanya penambahan zat pengatur
tumbuh kedalam media. Respon pembentukan
tunas pada masing-masing tunas tanaman rami
yang ditanam pada media yang berbeda adalah
tidak sama.
Arah perkembangan eksplan selain dipengaruhi oleh jenis eksplan yang digunakan juga sangat ditentukan oleh besarnya kombinasi dan
konsentrasi zat pengatur tumbuh yang diberikan
ke dalam media perlakuan. Gunawan (1987) menyatakan bahwa auksin berpengaruh terhadap
pertumbuhan jaringan tanaman sedangkan sitokinin sangat penting dalam pembelahan sel.
Pemakaian sitokinin dengan dosis terlalu tinggi
akan menyebabkan banyak tunas yang terbentuk,
tetapi pertumbuhan masing-masing tunas terhambat (George dan Sherrington, 1984; Pierik, 1987;
Wattimena, 1988).
UCAPAN TERIMAKASIH
Disampaikan terimakasih kepada Lembaga
Penelitian Universitas Andalas, Padang yang telah memberikan bantuan dana sehingga penelitian sampai penulisan laporan ini dapat terlaksana.
KESIMPULAN DAN SARAN
1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil percobaan mengenai penambahan zat pengatur tumbuh sitokinin untuk
penggandaan tunas tanaman rami didapati bahwa
tidak bahasan langsung mengenai perlakuan
mana yang terbaik guna mendukung induksi
organogenesis tunas tanaman rami. Namun terdapat kesimpulan yang dapat dipelajari sebagai
berikut :
1.
Persentase eksplan hidup tertinggi
diperoleh dari eksplan yang berasal dari
tunas aksiler dengan perlakuan 2 g/l sampai
5 g/l kinetin.
2.
Inisisasi pertunasan terdapat pada
perlakuan tanpa pemberian kinetin, 3 g/l dan
4 g/l kinetin dengan persentase eksplan
memben-tuk hanya 6%.
3.
Hanya eksplan asal tunas aksiler yang
mam-pu menekan pencoklatan.
2. Saran
1.
2.
Disarankan
untuk
memperbanyak
tanaman rami secara in-vitro menggunakan
eksplan asal tunas aksiler
Menggunakan zat pengatur tumbuh
auksin dan sitokinin dengan konsentrasi yang
ber-variasi pada media, sehingga terdapat
keseimbangan pada media.
DAFTAR PUSTAKA
180
Stigma Volume XIII No.3, Juli September 2005
George, F.E., and P.D. Sherrington. 1984. Plant propagation
by tissue culture. Exegenetics Ltd. Eversley, Basingstoke, Hants. RG27 OQY, England. 709 p.
Govil, S., dan S. C. Gupta. 1997. Cooercialization of plant
tissue culture in India. Plant Cell, Tissue and Organ
Culture 51: 65-73. 1997.
Gunawan, L.W. 1988. Teknik Kultur Jaringan Tumbuh.
PAU Bioteknologi. IPB Bogor. 252 p.
Gunawan, L.W. 1998. Regenerasi pucuk dan embrio somatik
dalam kultur arsenik jati. Hayati. Juni 1998. 44-49.
Hayati, P.K.D., Alex Hartana, Suharsono, dan H. Aswinnoor.
2000. Keanekaragaman genetika kelapa Genjah
Jombang berdasarkan RAPD. Hayati. Juni 2000. 3540.
Hutami, S., N. Sumarlin, Y. Suprianti, dan I. Meriska. 1998.
Perbanyakan in vitro tanaman nilam Khimera melalui
tunas aksiler. Jurnal Bioteknologi Pertanian. 3(2):43-52.
Imelda, M., T. Setyowati dan Juleha. 1998. Penyediaan bibit
tanaman sungkai (Peronema canescens) melalui proliferasi tunas adventif. Jurnal Bioteknologi Pertanian.
3(2):52-53.
Kementrian Koperasi dan UKM. 2003. Produk hukum.
http://www.depko.go.id.
3 Maret 2003.
Pierik, R.L.M. 1987. In vitro culture of higher plant.
Martinus Nijhoff Publ. Netherlands. 344p.
------------------------------oo0oo------------------------------