4. Ada teori lain yang lebih masuk akal yaitu bahwa fanatisme itu berakar pada pengalaman
hidup secara aktual. Pengalaman kegagalan dan frustrasi terutama pada masa kanak-kanak dapat
menumbuhkan tingkat emosi yang menyerupai dendam dan agressi kepada kesuksesan, dan
kesuksesan itu kemudian dipersonifikasi menjadi orang lain yang sukses. Seseorang yang selalu
gagal terkadang merasa tidak disukai oleh orang lain yang sukses. Perasaan itu kemudian
berkembang menjadi merasa terancam oleh orang sukses yang akan menghancurkan dirinya.
Munculnya kelompok ultra ektrim dalam suatu masyarakat biasanya berawal dari
terpinggirkannya peran sekelompok orang dalam sistem sosial (ekonomi dan politik) masyarakat
dimana orang-orang itu tinggal.
Dari empat teori tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa untuk mengurai perilaku fanatik
seseorang/sekelompok orang, tidak cukup dengan menggunakan satu teori , karena fanatik bisa
disebabkan oleh banyak faktor, bukan oleh satu faktor saja. Munculnya perilaku fanatik pada
seseorang atau sekelompok orang di suatu tempat atau di suatu masa. boleh jadi;
(a)merupakan akibat logis dari sistem budaya lokal, tetapi boleh jadi,
(b)merupakan perwujudan dari motif pemenuhan diri kebutuhan kejiwaan individu/sosial yang
terlalu lama tidak terpenuhi.
Pendahuluan
Dalam membahas sisi kemanusiaan, khususnya tentang akhlak, maka kita
bisa mengkategorikannya menjadi dua, yaitu akhlak terpuji dan akhlak
tercela. Berdasarkan fithrah manusia yang mencintai kebenaran maka akhlak
terpuji sesederhana apapun wujudnya, keberadaannya dihargai oleh setiap
manusia. Sedangkan akhlak tercela sudah pasti ditolak. Berbicara mengenai
akhlak tercela, maka beberapa diantaranya juga tergolong atas penyakit
hati, seperti bergunjing, munafik dan sombong.
Bagaimana dengan fanatik? Apakah sifat tersebut termasuk kedalam
penyakit hati? Saya menggolongkan fanatisme ini sebagai bagian dari
penyakit hati, karena akibat yang dibawa dari fanatisme akan membuahkan
berbagai macam penyakit hati, dan akan berkembang terus dengan
penyakit-penyakit hati lainnya. Misalnya jika hati seseorang telah dikuasai
oleh rasa fanatisme, maka segala macam cara akan dilakukannya guna
mendukung apa yang sejalan atas yang dianggapnya benar dan yang
dijadikan sandaran.
Misalnya berdusta dengan bukti-bukti yang palsu untuk membenarkan
anggapannya. Menghina segala sesuatu yang bertolak belakang dengan
pilihannya dan berburuk sangka atas selain pilihannya. Fanatisme akan
semakin menguasai kepribadian Si Penderita jika semakin digalakkan.
secara
terminologi,
Imam
Ali
as
secara
eksplisit
telah
Akal tidak akan pernah membahayakan pemiliknya selamanya,
sedangkan ilmu tanpa akal akan membahayakan pemiliknya.
Dalam perkataan di atas, Imam Ali menjelaskan bahwa pengetahuan dan
akal harus bergandeng dan tidak tercerai berai. Jika suatu pengetahuan tidak
ditopang oleh akal maka tidak akan ada saringan yang akan menentukan
apakah baikkah pengetahuan itu atau sebaliknya, burukkah pengetahuan itu.
Maka seperti itulah fanatisme. Akan tetapi sebaliknya jika kita menggunakan
akal untuk mengidentifikasi atas suatu pengetahuan maka sisi-sisi negatif
dan positifnya akan terbuka. Sehingga kita dapat menentukan kelayakan
pengetahuan yang kita peroleh.
Berdasarkan hadts inilah maka pendapat Imam Khomein yang menyatakan
bahwa adanya fanatisme yang positif/ashabiyyah positif, yang terjadi dalam
rangka demi tegaknya kebenaran serta dalam rangka tersebar luas dan
terpeliharanya norma-norma Ilah adalah suatu bentuk akhlak terpuji,
menurut saya adalah kurang tepat. Menurut saya berdasarkan telaah atas
hadts Imam Ali as di atas, fanatisme/ashabiyyah adalah suatu sikap nafsu
semata, bentuk tindakan yang sama sekali tidak melibatkan akal, sehingga
apa yang berjalan murni dikendalikan oleh hawa nafsu, dan hasilnya adalah
tuntutan dari hawa nafsu. Maka realitas-realitas kebenaran tidaklah tampak
lagi dan pelaku fanatis akan semakin hanyut dalam jebakan nafsu.
Pemahaman bahwa ini yang benar dan ini yang salah adalah tugas dari akal,
dan mustahil jika seseorang dapat memaknai kebenaran tanpa adanya
bantuan akal walau setelah menelaah Al-Burhn. Saya lebih menerima
bahwa apa yang dikatakan oleh Imam Khomein tersebut adalah bentuk
keyakinan. Yang telah melewati proses perenungan oleh akal, sehingga
mampu
dibuktikan
dan
berdalil,
maka
setelah
seseorang
mampu
dirasa benar tersebut. Orang yang demikian inilah adalah orang yang selalu
men-sinkronisasikan setiap gerak langkahnya berdasarkan tuntutan akal
dalam baik buruk-nya segala sesuatu.
Sikap fanatsime, pertama kali telah dipraktekkan oleh Iblis. Yang mana ia
tidak mau menaati perintah Allah untuk bersujud kepada Adam karena ia
merasa memilik derajat yang tinggi daripada Adam. Sehingga ats tindakan
inilah Iblis menjadi terkutuk, rusak bangunan iman-nya dan termakan atas
dosa yang akan membinasakannya kelak.
Pun juga sifat ini banyak dipraktekkan oleh manusia. Menurut Imam
Khomein, manusia yang memiliki sikap fanatisme ini boleh jadi setelah ia
berpindah ke alam lain akan melihat dirinya sebagai seseorang Badui
Jahiliyah penyembah berhala, yang tidak memiliki keimanan kepada Tuhan
maupun pada Nabi dan risalah para Nabi. Dia akan menemukan dirinya
berbentuk seperti halnya keadaan wajah-wajah mereka, tanpa sama sekali
mengingat bahwa ketika di dunia ia telah memeluk agama yang benar yaitu
keimanan kepada Allah dan Rasul-Nya.
Pendapat ini didasari atas hadts yang menjelaskan bahwa penghuni neraka
tidak dapat mengingat nama Rasulullah ataupun mengenali diri mereka
sendiri, kecuali dengan kehendak Allah. Oleh karena itu amatlah sangat
benar bahwa kita sebagai manusia dituntut untuk mengetahui rasonalitas
bangunan ushl kita agar kita tidak menjadi manusia yang ikut-ikutan dalam
memilih kepercayaan, karena itulah bahwa pilihan seseorang yang salah
yang didasari perenungan akal adalah lebih daripada seseorang yang
memilih benar tanpa adanya penghukuman dari akal.
Sifat Penyakit hati yang berkendali nafsu ini, telah berhasil merambah ke
semua lapisan masyarakat di negara kita yang tercinta ini. Maka jika telah
kita ketahui bahwa penyakit ini didapat di semua kalangan masyarakat,
maka secara otomatis pula penyakit ini juga bercokol di segala aspek atau
bidang. Berikut adalah jangkauan-jangkauannya:
Fanatisme Terhadap Keberagamaan
Gejala fanatisme keberagamaan adalah yang paling banyak terjadi di
kalangan masyarakat kita. Yang dimaksud dari fanatik keberagamaan ini
bukan meyakini agamanya dan serta merta menafikan agama lain, akan
tetapi adanya sikap anti antar satu penganut agama dengan penganut
agama lainnya. Entah itu dalam hal menjalin pergaulan, saling menghormati
bahkan membuka diri untuk mengetahui dan mempelajari teori agama
mereka.
Yang pasti, tidak ada satupun agama yang mengajarkan dan mempraktekkan
kepada
penganutnya
untuk
menutup
sosialisasi
terhadap
sesama
mereka
rata-rata
dalam
apa
yang
dipaparkannya
Bahkan
menurut
saya
sebaiknya
Ayatullah-nya
yang
justru
sebaliknya
yang
terjadi,
Si
Muqallid
yang
harus
menyesuaikan kepada Marja-nya. Jika seorang Ayatullah sedang bertausiyah maka sudahlah barang pasti kalau ada penterjemah yang harus
menerjemahkan perkataan beliau. Sehingga tausiyah yang dirasa mampu
menjadikan pemahaman yang baik kepada Si Muqallid dan akan banyak
memberikan pencerahan kepada mereka, serasa hanya seperti ceramah
biasa yang membosankan dikarenakan terpotong-potong.
Cara menanggulanginya
Berikut ini adalah cara-cara yang dirasa mampu untuk tidak menjerumuskan
diri kita terhadap sikap fanatisme:
1. Membuka diri dari segala macam keadaan tanpa mendahulukan emosi.
Dengan ini hati kita akan terlatih lebih bersikap netral dalam setiap
keadaan, khususnya dalam mengetahui teori-teori baru.
2. Setelah kita membuka diri, maka sebaiknya kita mengkomparasikan
antara teori lama dan teori yang baru kita kenal, dan tidak ada salahnya
juga kita meminta pendapat orang lain.
3. Saling menghormati kepada sesama manusia yang berbeda pilihan
dengan kita. Yakni dengan anggapan bahwa ini mutlak adalah pilihan
pribadi dan murni tidak ada paksaan.
REFERENSI
Imam Khomein, 40 Hadis telaah atas hadis-hadis mistis dan akhlak. Mizan. Bandung. 2004
Tanyalah Aku Sebelum Kau Kehilangan Aku, Kata-kata Mutiara Imam Al. Pustaka Hidayah.
Bandung. 2003
FANATISME
Diposkan oleh Student Day JURNALISTIK , Senin, 16 Agustus 2010 13.00
Pengertian Fanatik
Fanatik adalah suatu istilah yang digunakan untuk menyebut suatu keyakinan atau suatu
pandangan tentang sesuatu, yang positip atau yang negatip, pandangan mana tidak memiliki
sandaran teori atau pijakan kenyataan, tetapi dianut secara mendalam sehingga susah diluruskan
atau diubah. Fanatisme biasanya tidak rationil, oleh karena itu argumen rationilpun susah
digunakan untuk meluruskannya.
Wahai sekalian manusia sesungguhnya kami menciptakan kamu dari laki-laki dan perempuan
dan kami menjadikan kamu berkabilah dan bersuku-suku supaya kalian dapat saling mengenal...
salah satu ayat Al-Quran yang berimplikasi menafikan primordialisme dalam tatanan sosial
kemasyarakatan. Pesan ini telah disampaikan oleh baginda Rasul beberapa abad silam, dan telah
dihafal dan difahami oleh masyarakat Islam diseantero dunia. Sebuah pesan ilahy yang
menghendaki adanya sinkronisasi dan kebersamaan dalam setiap lapisan masyarakat. Ayat tuhan
yang mengajarkan kita tentang kemutlakan akan adanya perbedaan namun perbedaan itu tak
harus menjadi racun yang mengoyak tatanan dan kekokohan sebuah masyarakat.
Islam adalah agama yang penuh kedamaian. Islam tidak mengenal fanatisme. Apalagi fanatisme
yang akan merongrong dan sebuah komunitas sosial. Sejak awal Islam telah menekan laju
fanatisme dan berusaha untuk menghapuskan slogan taasshub. Sebab, jika fanatisme golongan
jika dibiarkan subur akan membawa masyarakat keseuatu
chaos yang tak bertepi.
Namun sejarah telah menorehkan, kelam fanatisme telah mengoyak ukhuwah islamiyah,
fanatisme telah menghancurkan sebuah quwwah imaniyah yang telah dibangun oleh baginda
Rasul, fanatisme juga merupakan pemantik dari penafsiran-penafsiran liar tehadap nash syari,
baik dari Al-Quran ataupun dari hadis. Ironisnya, perkataan yang tidak benar, bahkan sangat
tidak layak intuk disandarkan kepada Rasulullah harus disandarkan kepada beliau, hadist-hadist
palsu ini kita kenal dalam dunia akademis kita sebagi hadist maudhu.
Fanatisme yang diajarkan Islam adalah fanatisme yang berprinsip kebenaran hanya milik Allah.
Fanatisme adalah pemikiran seseorang atau kelompok yang menyatakan bahwa kebenaran adalah
mutlak pada apa yang dianutnya. Fanatisme adalah penting dan merupakan kewajiban bagi setiap
pemeluk agama Islam. Namun fanatisme itu bukanlah fanatisme yang mengajarkan permusuhan
kepada pemeluk agama lain tanpa ba-bi-bu, fanatisme yang salah adalah fanatisme yang
http://pezat51newscommunity.blogspot.com/2010/08/fanatisme.html
Ini adalah salah satu contoh kefanatikan terhadap sesuatu malah bisa menyebabkan masalah
baru. Memiliki account facebook terkadang menyenangkan apalagi kalau bisa di gunakan untuk
bercanda dengan teman atau bisa di manfaatkan untuk berbisnis. Tapi ternyata setiap masalah
pasti memiliki dua sisi satu sisi baik, satu sisi buruk.
Artian fanatik dari wikipedia atau fanatisme:
Fanatisme adalah sebuah keadaan di mana seseorang atau kelompok yang menganut sebuah
paham, baik politik, agama, kebudayaan atau apapun saja dengan cara berlebihan (membabi
buta) sehingga berakibat kurang baik, bahkan cenderung menimbulkan perseteruan dan konflik
serius.
Dalam konteks kehidupan sehari-hari, fanatisme juga berarti kesenangan yang berlebihan
(tergila-gila, keranjingan). Sepenggal perjalanan kisah hidup Chairil Anwar adalah salah satu
contoh saja. Dia lebih berat membeli buku sastra daripada membeli makanan untuk bertahan
hidup, atau obat untuk menyembuhkan penyakit raja singa yang dideritanya. Lihat pula
penggemar fanatik grup band Slank yang rela membentuk komunitas, lengkap dengan pengurus
dan benderanya setiap distrik, meski tanpa bayaran. Dipastikan, mereka wajib hadir jika grup
pujaannya melakukan konser di daerah mereka.
Fanatik sih boleh-boleh saja tidak ada yang melarang, tapi kalau orang yang suka belajar dari
pengalaman sebelumnya dan kejadian-kejadian pasti tidak akan memilih menjadi orang fanatik.
Contoh nyata fanatisme yang terjadi di blog ini adalah komentar rasis dari para fanatik kaskus,
Kalau tidak salah akibat artikel yang saya tulis tentang kejelekan kaskus. Sebenarnya kalau mau
saya bisa memproses komentar rasis ini ke meja hijau. Tapi untuk apa? buat saya orang
menulis itu bebas asal bisa bertangung jawab, makanya sudah saya update di bawah setiap form
komentar larangan-larangan, apa saja yang boleh dan apa saja yang tidak boleh. Bahkan saya
sudah menganjurkan semua fanatik kaskus menjauh dari blog ini. Normal saja kalau orang
berbeda pendapat, tugas kita yang tau adalah meluruskannya.
Kasus yang sedang hangat sekarang adalah akibat fanatisme team sepakbola (lucu ya:D) yang
sebenarnya saya rasa intinya hanya mengkritik saja tapi mungkin kritiknya kelewatan hingga
sudah masuk kategori SARA akhirnya di persoalkan. Lucunya akibat tulisan personal ini sampai
institusi di bawa-bawa harusnya tanggung jawab personal(pribadi) rasanya kalau institusi di
bawa-bawa itu tidak professional makanya kalau punya facebook jangan di isi semua
informasi hehehe jadi account klonengan dong gan?
Tulisannya
DASAR
ORANG
PAPUA,
BISANYA TARKAM PAKE OTOT BUKAN PAKE OTAK MAEN BOLANYA, GA SEKOLAH,
BODO2, UDA ITAM HIDUP LAGI.SIALAN LU PAPUA..!!!! Yang jadi SARA UDA
ITAM HIDUP LAGI.. tulisan ini pendek saja tapi ternyata bisa mengakibatkan DZULFIKRY
IMADUL BILADNIM di pecat dari ITB dan di pidanakan.
Belajar dari kasus ini maka sebaiknya jangan asal menulis di status facebook apalagi menulis
status berbau SARA, yang menuntut juga jangan berlebihan lah institusi tidak perlu di bawabawa kalau perlu di bawa kenapa gak sekalian tuntut facebook, sd, smp, dan sma si
DZULFIKRY IMADUL BILADNIM ini hehehe oh ya, saya dulu lahir di papua dan menetap
disana 17 tahun kalau baca tulisan si DZULFIKRY IMADUL BILADNIM ini saya tidak marah
cuma sedikit jengkel di bagian SARA-nya soalnya saya tidak item banget hahaha
Fanatik = GoBlog
http://id.istanto.net/2010/05/18/fanatik-goblog/
http://agama.kompasiana.com/2010/09/14/fanatisme-agama-yang-berlebihanbangsa-indonesia/
Tentang Fanatisme
Banyak pemikir sampai pada kesimpulan bahwa fanatisme merupakan buah dari kegagapan
seseorang ataupun suatu kelompok dalam menghadapi modernitas. Modernitas, terutama dengan
semangat pro kemajuannya, serta penghargaanya yang luar biasa besar pada prestasi individu,
dianggap dapat merusak tatanan yang telah terbentuk harmonis sebelumnya. Analisis seperti itu
tidak sepenuhnya benar, tetapi juga tidak sepenuhnya salah. (S. Wibowo, 2004)
Mengapa begitu? Karena, akar-akar dari fanatisme tidak hanya ditemukan di luar diri manusia,
yakni melalui fenomen modernitas, tetapi juga didalam diri manusia, yakni merupakan salah
salah modus mengadanya (mode of being). Sesuatu yang disebut oleh banyak orang awam
sebagai kodrat.
Nietzsche, filsuf Jerman yang hidup lebih dari satu abad yang lalu, pernah menulis, Dalam diri
seseorang, yang dibutuhkan adalah kepercayaan untuk berkembang, keinginan akan elemen yang
stabil dan tak tergoyahkan, sehingga orang bisa menyandarkan dirinya. Dia juga menambahkan,
Kebutuhan akan sandaran tak tergoyahkan itu adalah tanda kekuatan orang tersebut, atau
mungkin juga tanda kelemahannya.
Setiap kepercayaan selalu mengandaikan adanya sesuatu, yakni kebutuhan untuk percaya itu
sendiri. Kebutuhan semacam inilah yang memberi rasa stabil, memberi juga rasa bersandar
kepada sesuatu yang dipercayai.
Nietzsche sebenarnya ingin mengatakan kepada kita, bahwa hubungan antara isi kepercayaan
dan kebutuhan akan percaya didalam dirinya akan menjadi tanda kekuatan ataupun kelemahan
seseorang. Dalam konteks ini, ia sebenarnya ingin menekankan kebutuhan untuk percaya sebagai
tanda kelemahan, karena manusia kuat dan bebas, yang sering ia agung-agungkan sebagai
bermensch, akan mampu mengambil jarak terhadap kebutuhan untuk percaya ini.
Bagaimana mekanisme kepercayaan bisa terjadi? Yang biasa terjadi, kita sering mengkaitkan
antara isi kepercayaan disatu sisi, dan subyek yang percaya disisi lain. Kepercayaan dianggap
sebagai hasil relasi antara subyek yang percaya, yakni manusianya, dengan isi kepercayaan
diluar dirinya. Dengan demikian, semakin subyek secara kuantitatif mengetahui banyak isi
kepercayaan, semakin ia tidak terikat kepada salah satu kepercayaan.
Jika begitu, fanatisme pun dapat dihindari. Apa arti fanatisme disini? Fanatisme biasa dimengerti
sebagai pihak yang secara kuantitatif memiliki sedikit pengetahuan tentang isi kepercayaan.
Karena sempitnya pengetahuan, maka ia menjadi fanatik.
Apakah analisis seperti itu benar? Masalahnya adalah, bahwa relasi antara subyek dengan
banyak isi kepercayaan tersebut tidaklah mampu menjelaskan apa yang terjadi. Dengan kata lain,
realitas berbeda dari analisa.
Ada banyak orang yang secara formal pendidikan dan wawasannya tentang berbagi isi
kepercayaan sangatlah luas. Perkenalan dan pemahamannya tentang berbagai agama dan
ideologi membuatnya secara kuantitatif memiliki pengetahuan tentang isi kepercayaan yang
banyak. Walaupun begitu, orang ini tidaklah secara otomatis menjadi tidak fanatik.
Pengetahuan umum, bahwa jika orang yang berpendidikan tinggi dan berpengalaman luas akan
bisa membantu orang untuk bisa merelatifkan berbagai sudut pandang, termasuk sudut
pandangnya sendiri, tidaklah selalu terjadi. Orang modern yang berpendidikan tinggi justru
banyak yang fanatik.
Sebaliknya, relativisme dan sikap yang agak longgar dihadapan macam-macam isme ataupun
agama justru banyak ditemukan dikalangan orang yang tidak banyak melihat dunia, tidak
membaca koran, ataupun tidak membaca buku-buku para pemikir. Orang-orang yang tinggal di
desa tidak harus melulu menjadi fanatik, hanya karena pengetahuan tentang isi kepercayaan
mereka lebih rendah daripada orang-orang yang tinggal di kota.
Dengan demikian, pendapat, bahwa peningkatan kuantitas isi kepercayaan akan membantu orang
keluar dari cangkang fanatismenya ke posisi yang lebih longgar, ternyata tidak selalu berlaku.
Saya berjumpa dengan puluhan mahasiswa Indonesia yang mendapatkan beasiswa ke luar negeri.
Dalam perjumpaan itu, saya bertemu dengan banyak intelektual muda kita yang justru menjadi
semakin fanatik, ketika mereka berhadapan dengan keluasan dunia dan kebebasan di Eropa.
Pada titik ini, analisis Herry Priyono mungkin bisa berbunyi, bahwa semakin mengglobal gerak
dunia ini, semakin orang kuat mencari akar-akar lokalnya. Mahasiswa Indonesia tersebut
menjadi fanatik sebagai orang Indonesia, dan menutup diri dari orang-orang Barat, tidak mau
belajar dari kemampuan mereka hidup didalam berbagai macam ideologi dan agama, dan bahkan
terkadang meremehkan mereka.
Ditengah luasnya pilihan, mereka justru lebih suka berkumpul mencari yang sama dengan
mereka. Bagaimana hal ini bisa terjadi? Bukankah wawasan intelektual mereka bisa terbuka
lebar dengan berbagai wacana berpikir canggih di dunia Barat sana? Bukankah mereka
seharusnya tidak menjadi fanatik.
Mungkin, analisis bahwa mereka mengalami kegagapan menghadapi modernitas memiliki
dimensi kebenarannya sendiri. Akan tetapi, Nietzsche menawarkan sudut pandang yang berbeda
dan sangat menarik tentang hal ini.
Bagi Nietzsche, fanatisme ataupun sikap longgar berhadapan dengan sebuah isi kepercayaan
lebih ditentukan oleh kualitas mekanisme kebutuhan untuk percaya, yang ada di dalam diri
individu itu sendiri, dan bukan oleh jumlah kuantitas isi kepercayaan yang diketahuinya.
Investasi psikologis seseorang atas apa yang ia percayai, itulah yang menentukan apakah ia
menjadi fanatik atau tidak.
Soalnya bukan pada jumlah atau kuantitas isi kepercayaan yang berada di luar subyek, melainkan
kualitas kehendak untuk percaya yang ada didalam subyek tersebut. Kental cairnya intensitas
kebutuhan untuk percaya mencerminkan kualitas kehendak seseorang, yakni apakah kehendak
orang tersebut kuat, atau sebaliknya, lemah.
Semakin lemah kualitas kehendak seseorang, sehingga kebutuhan untuk percayanya semakin
besar, maka kuantitas sedikit atau banyaknya isi kepercayaan yang diketahuinya tidak akan
berpengaruh atas fanatisme mati-matian, yang mungkin muncul dari individu semacam itu. (S.
Wibowo, 2004). Tidaklah heran jika kita menemukan seorang Doktor lulusan Universitas
terkenal di luar negeri menjadi seorang fanatik. Ia tidak hanya gagap dalam menghadapi
modernitas, tetapi juga lemah dalam kehendak.
http://www.dapunta.com/tentang-fanatisme.html
We are living in the late Middle-Ages!' According to Norbert Elias in 1984. Overcoming conflicts
by peaceful means still is an exceptional ability. From a historical point of view terror, flight,
ideological fanatism and perennial warfare are the normal ways to deal with conflicting
interests. In global perspective, negotiating as an alternative to violence is a scarce and
precarious skill. In this contribution I will describe how the skills of negotiating developed over
the centuries.
Fanatism as normal
References
How did social and political interaction look like in the Middle-Ages? The Dutch historian
Huizinga (1924) provides an excellent picture. The next quotations provide a picture of social
interaction:
From the thirteenth century onward inveterate party quarrels arise in nearly all countries: first
in Italy, then in France, the Netherlands, Germany and England. Racial pride, thirst of
vengeance, fidelity, are their primary and direct motives.
So violent and motley was life, that it bore the mixed smell of blood and of roses. The men of that
time always oscillate between the fear of hell and the most nave joy, between cruelty and
tenderness, between harsh asceticism and insane attachment to the delights of this world,
between hatred and goodness, always running to extremes.
The people could see their fate and that of the world only as an endless succession of evils. Bad
government, extortion, the cupidity and violence of the great, wars and brigandage, scarcity,
misery and pestilence - to this is contemporary history nearly reduced in the eyes of the people.
The feeling of general insecurity which was caused by the chronic form wars were apt to take, by
the constant menace of the dangerous clashes, by the mistrust of justice, was further aggravated
by the obsession of the coming end of the world, and by the fear of hell, of sorcerers and of
devils. The background of all life in the world seems black. Everywhere the flames of hatred
arise and injustice reigns. Satan covers a gloomy earth with his sombre wings.
There undoubtedly were norms and agreements to regulate the mutual interaction, but "time after
time the fierce roughness breaks through the embellished forms".
At the coronation banquet of Charles VI, in 1380, the Duke of Burgundy seeks, by force, to take
the place to which he is entitled, as doyen of the peers, between the king and the Duke of Anjou.
Already the train of the Duke begins to thrust aside their opponents; threatening cries arise, a
scuffle is breaking out when the king prevents it, by doing justice to the claims of the Duke of
Burgundy.
According to an observer at the peace conference at Atrecht in 1435, the participants "throw
themselves on the ground, sobbing and groaning". The relatively refined life at the court is
characterized as "continual noise and disorder, swearing and quarrels, jealousies and injuries, in
short, the court is an abyss of sins, the gate of hell". A ferocious fight can erupt at any time over
anything, whether it be a game of chess or a ceremonial funeral.
Self-discipline and the curbing of emotions and drives were less constant and even. Plans and
promises were easily overruled by the emotions of the moment. Direct, impulsive and irascible
reactions were stronger. The risk that heated behavior and individual aggression could rapidly
escalate into large-scale violence was far from imaginary. There was no confidence that the other
side would have enough self-control, just as there was no confidence that people would refrain
from assassination or ambush, in spite of all the pledges. Wilder forms of showdowns and trials
of strength are in fact the predecessors of our current negotiating behavior.
Fanatism as normal
Violence and fanatism were the dominant tendencies in situations of conflict. People could
barely imagine other ways to deal with conflicting interests than confrontation. Compromise was
not according to their code of honor and in that sense alien to their rationality. The dominant
social standards allowed, and sometimes even demanded subjugation, punishment, annihilation
and revenge. Powelson (1994) refers to this attitude as quite normal for most societies in human
history. In his impressive account of the historical development of economic change in nearly all
regions of the world he only mentions two exceptions, i.e. Western Europe and Japan. Only there
a behavioral repertoire developed in which violence or flight were not automatically the most
natural ways to respond to tensions. Powelson refers to the endless struggles between warlords,
princes and tyrants, which bred, and still breed, a behavioral repertoire far removed from
negotiating and compromising. He also describes the, in many periods and regions quite normal,
situation in which powerful rulers subjugated all rivals and enforced a peace characterized by a
very steep power pyramid, most often of a ruthless and capricious nature. The exceptional
situation in North West Europe and Japan was based on the fact that even the mightiest rulers in
these two areas experienced various kinds of dependencies. To sustain the struggle with
competitors these rulers had to find ways to get funds from their own subjects other than by
ruthless exploitation or looting them. Lower ranking groups could utilize the power resource of
allying themselves with higher-ranking groups. They were able to enforce some rights and could
restrain arbitrariness and interference with regard to trade and production.
In thousands upon thousands of conflicts, no group could impose its will; each learned to settle
for some positive sum short of its deal. Thus were the rules of the market, corporate enterprise,
parliamentary government, financial system, and commercial laws fashioned and endowed with
sustaining power. More important, the various groups came to value long-term ends more than
short-term ones, and they learned that negotiation and compromise, not confrontation and
violence would best achieve them. (Powelson, 1994, p. 11)
Powelson (1994) calls this the power diffusion process; Elias (1994) refers to it as functional
democratization. Van Vree (1999) describes in detail the example of the Netherlands, where
bourgeois codes and types of conduct, characterized more by compromise and enduring relations
based on trust, could evolve.
An additional factor in Europe was that no sovereign was strong enough to withstand or subject
all others without allies. Each country was constantly surrounded by potential enemies on all
sides. To survive, coalitions had to be forged with other states, and these coalitions needed a
more solid basis. Treachery, deceit and bribery proved too unstable a foundation. These types of
dependencies contributed to a different game. But time and again violence would prevail over
compromise.
Coping with deceit and manipulation
It was obviously quite normal to lash out, betray or eliminate each other. Deceit was common. In
the Byzantine empire it was developed into an art. Diplomacy among the Italian city-states
permitted all means to promote the objectives of the state. Conspiracy, bribery, intrigue and even
murder, were its normal tools. Machiavelli (1469-1527) relied on the outward appearance of
virtue of the Prince. But virtue also implied strong tendencies to dominate and to force one's way
through brutal means. In those days envoys were spies, actively conspiring, lying and deceiving
for the good of the state. However, let us not forget that conspiracy, bribery and intrigue are
already much more controlled and inhibited compared to ferocious violence and immediate
physical attack.
A long term historical perspective is needed to clarify the changing pattern. In the 16th century,
assassination was no longer thought to be the safest way of disposing of opponents. Although
occasionally the envoys of Venice resorted to it. Bribes were only refused by eccentrics.
Nevertheless, the moral standards concerning bribery were changing. It was thought more
respectable to accept a single payment than a regular subvention. (Nicolson, 1977, p. 37)
Increasing restraint and less violence
The person who was to set the tone for the development of negotiating skills in political practice
was Franois de Callires (1645-1717). His work was used as a standard text on negotiating well
into the 20th century by generations of diplomats. As a civil servant of Louis XIV he was
actively involved in a wide range of negotiations. He was one of the main negotiators of the
French at the "Treaty of Rijswijk" (1697) that ended the Nine-year war. With profound insight he
links the necessity of negotiating to the development of tighter interdependencies in Europe.
To understand the permanent use of diplomacy and the necessity for continual negotiations, we
must think of the states of which Europe is composed as being joined together by all kinds of
necessary commerce, in such a way that they may be regarded as members of one Republic and
that no considerable change can take place in any one of them without affecting the condition,
or disturbing the peace of all the others. The blunder of the smallest of sovereigns may indeed
cast an apple of discord among all the greatest Powers, because there is no state so great which
does not find it useful to have relations with the lesser states and to seek friends among the
different parties of which even the smallest state is composed. History teems with the results of
these conflicts which often have their beginnings in small events, easy to control or suppress at
their birth, but which when grown in magnitude became the causes of long and bloody wars
which have ravaged the principal states of Christendom. (Callires/Whyte, 1963, p. 11)
A very modern statement indeed nowadays valid on a worldwide scale!
The feeling of mutual dependency articulated in this statement is quite unique. Even more unique
is the fact that people can act on it. Powelson (1994) documents elaborately the historical
evidence that groups tend to enhance their own power position at all costs; peace is by definition
temporary and unstable, because it is a victor's peace. Furthermore, even if one were to endorse
de Callire's statement, in his day emotion management was generally such that often enough
'small events' escalated into 'long and bloody wars'. The France of Louis XIV definitely did not
avoid 'bloody wars', but there also emerged a diplomatic service that bred the kind of emotion
management necessary to build solid coalitions and avoid senseless escalations. Callires was an
outstanding representative of this development.
More control, less confrontation
Two generations after Callires, in the second half of the eighteenth century, another French
author Flice (1778) provides more guidelines regarding the art of negotiating. Flice was born
in Rome in 1723. He became a professor of physics who expanded the work of the
Encyclopedists. He sees negotiating as a 'recent' skill related to the development of stronger
interdependencies. This is important because like those of Callires, his observations clearly
demonstrate that the development of negotiating skills is closely related to changing networks of
power and dependency. His observation that continuity in the relation is changing the techniques
of negotiating is very astute. More than two centuries later modern authors are still explaining
and elaborating this point.
It is only in modern Europe, where the inhabitants are closely united by similar customs, a
common religious basis, frequent commerce, and continual intellectual communication, that
negotiation has been raised to an art and become stable. (Flice/Zartman, 1976, p. 60)
The treatises on negotiating by Callires and Flice are part of a broader societal development in
the direction of curbing one's passions and adhering to more refined behavioral standards. Elias
(1939) explains this development in relation to the growing interdependencies and the higher
density of the networks binding people together. Callires and Flice, judging by some of the
quotations in this article, apparently came to the same conclusion. In Western Europe, from the
Middle Ages on, this process was accelerated by the growing monopolization in the hands of a
few central rulers, of two decisive sources of power: taxation and military power. Elias vividly
describes the more inhibited and restrained manners needed to raise one's chances of acquiring
prestige and obtaining positions of power in the newly flourishing commercial and political
centers.
The driving force is the continued existence of multiple competing centers of power, both within
states and between states. These multiple configurations characterized not only political
relations, but also religious and economic relations. Alongside the age-long attempts to gain
dominance by means of violence, an age-long learning process of negotiation and compromise
evolved . The ongoing competition within and between these configurations fostered a growing
negotiating ability to regulate the inherent instability of these networks. The development of
parliamentary and more democratic governments meant more peaceful and more stable
regulation of conflicts. Negotiating became a skill for more and more citizens, at least in western
societies. In many parts of our world 'command and obey' pyramids still prevail. People are often
afraid, may even feel terrorized by the authorities of their own societies. In our world society
they may feel disregarded, even exploited. This double powerlesness turns masses of people into
social dynamite.
Conclusion: The past is the present
History sometimes has the ring of tales about the past. However, the insights discussed in this
article are closely tied to our present reality. The ability to negotiate is not an established human
ability. In many societies social and political conflicts are solved by fighting, constant terror or
flight. The development of these societies did not foster the abilities to negotiate. Even when
people do acquire this ability, decivilizing and untaming processes can still gain the upper hand
again, also in our western societies. Negotiating is a precarious skill . Often enough, ongoing
deadlock and escalation into hostilities still prove tempting.
The learning process towards more skilful negotiating is still in full progress. My search for a
better understanding of this process has been guided by the development of negotiating in our
history. This learning process is related to the historical development of increasingly dense
networks in which people become more mutually dependent. However, in many parts of our
world people do not feel these interdependencies. They feel outsiders and have-nots. These
feelings foster violence and fanatism. Moreover, there often exists in these areas no strong
tradition of solving social and political conflicts by peaceful means. Negotiating is a skill
practiced by merchants, not a normal practice to channel social and political discontent. Social
networks tend to 'command and obey' hierarchies. This, together with the experience of
powerlessness, feeds in some people fierce emotions of rage and revenge. A very explosive
mixture indeed! We are still living in the late Middle-Ages.
http://www.managementsite.com/311/Struggling-with-violence-and-fanatism.aspx
Saya merasa prihatin di jaman yang begitu banyak ilmu pengetahuan dan kajian yang semakin
mendalam, ternyata masih banyak orang dan masyarakat kita yang terjebak dalam pola pikir dan
rasa fanatisme yang berlebihan terhadap sesuatu.
Pengertian dari Fanatik sendiri yaitu istilah yang digunakan untuk menyebut suatu keyakinan
atau suatu pandangan tentang sesuatu, yang positif atau yang negatip, pandangan mana tidak
memiliki sandaran teori atau pijakan kenyataan, tetapi dianut secara mendalam sehingga susah
diluruskan atau diubah. (A Favourable or unfavourable belief or judjment, made without
adequate evidence and not easily alterable by the presentation of contrary evidence).
Dari sedikit pengertian tersebut diatas bisa kita fahami betapa sifat dan sikap fanatisme yang
berlebihan sangat kurang baik dan sangat memungkinkan menimbulkan konflik sosial. Terlebih
jika rasa fanatisme tersebut di pegang teguh oleh mereka-mereka yang tertutup interaksi mereka
sehingga menganggap diri mereka atau golongan mereka adalah yang paling benar. Dan
bahayanya lagi ketika fanatisme itu disebarkan kepada orang lain dalam jumlah besar dan
memprovokasi orang banyak maka konflik fisik tidak bisa dihindarkan.
Apa yang terjadi dan apa yang sering kita lihat saat ini merupakan bukti dan fakta tak
terbantahkan betapa dengan sifat dan sikap fanatisme yang berlebihan orang akan mudah bentrok
dan bertikai antara kelompok yang satu dengan yang lain. IRONISnya lagi kadang mereka
membawa embel-embel Keagamaan untuk memperjuangkan rasa fanatisme mereka.
Melalui tulisan ini saya hanya sebatas mengingatkan kepada diri saya sendiri untuk selalu dan
selalu mebuang jauh-jauh rasa fanatisme yang berlebihan dalam diri kita. Apalagi jika rasa
fanatisme yang ada dalam diri kita tersebut membawa ancaman dan kerugian untuk orang lain.
Solusi supaya kita tidak memiliki rasa fanatisme dalam diri kita atau kelompok kita sebenarnya
mudah. Mungkin anda sudah punya solusi sendiri untuk maslah ini. Tapi untuk saya sendiri
untuk menghindari sikap fanatisme yang berlebihan tersebut, saya hanya memegang prinsip
KUNO saya yaitu.
Kebenaran Mutlak Hanya Milik Tuhan, Perbedaan adalah Hukum Alam, dan Toleransi
serta saling menghargai perbedaan tersebut adalah kunci untuk tetap terjalinya rasa
persaudaraan dan kebersamaan diantara kita semua :). Dan ketika ada orang yang tetap
mengaku dirinya paling benar apalagi sampai MEMAKSAKAN kebenaran itu kepada
orang lain. Maka sangatlah Nyata bahwa orang tersebut jauh dari apa yang mereka
KLAIM sebagai Rahmatallilalamin.
Dan selain itu yang tentunya juga wajib kita lakukan adalah, Rajinlah MEMBACA bukan hanya
1 BUKU aliran yang Mendoktrin OTAK Kita sehingga otak kita menjadi MONOTON dalam
berfikir, Tapi bacalah lebih luas dan Plural baik itu yang tersirat maupun tersurat
Silahkan kalian KLAIM jika anda memang yang terbaik, yang paling benar, yang paling
beragama, paling beretika, paling dan paling paling baik diantara yang lain. tapi jangan itu
dijadikan sebuah ALASAN untuk MEMAKSAKAN pendapat kita kepada orang lain.
http://aribicara.blogdetik.com/index.php/2010/03/17/awas-hindari-fanatismeberlebihan/
Oleh:
M.
Husnil
Wardi
Salah satu problematika yang kerap dihadapi pelaku dawah adalah penyimpanganpenyimpangan perilaku yang dilakukan oleh masyarakat. Perilaku ini, secara sadar ataupun
tidak, terjadi dalam tatanan masyarakat yang sarat akan norma dan etika sosial. Hal ini bisa
jadi sebagai bentuk ketidakpatuhan masyarakat pada aturan-aturan yang mengikat. Akibatnya,
terjadi perubahan-perubahan sosial yang jika tidak ditangani secara tepat akan mempengaruhi
lingkungan
dan
menjadi
beban
sosial
masayarakat.
Pendahuluan
Dalam keseharian kita selalu berhadapan dengan sejumlah aturan, misalnya aturan bermuamalah, etika makan yang baik, aturan berkendaraan di jalan raya, aturan dalam keluarga, di
kantor, sekolah, dan sebagainya. Melalui interaksi tersebut akan terlihat suatu pola perilaku yang
bersifat mengikat dalam suatu kelompok sosial yang besar. Apapun yang kita inginkan harus
diperoleh dengan cara bekerja atau melalui orang lain. Artinya, kita harus berperilaku sesuai
dengan tata aturan yang telah ditetapkan oleh masyarakat. Kondisi tersebut dalam sosiologi
dikenal
dengan
konsep
konformitas.
Di semua masyarakat pasti ada perilaku individu yang berjalan di luar jalur dari norma yang
telah ditetapkan. Sehingga perilaku yang kita anggap benar sering kali bertentangan dengan
perilaku yang diterima oleh masyarakat. Ringkasnya, bahwa kehidupan sosial tidak hanya
ditandai dengan kepatuhan atau konformitas tetapi juga ditandai dengan adanya penyimpangan.
Makalah ini akan mengupas seputar masalah perilaku menyimpang dan rasa fanatik yang
berlebihan,
yang
biasa
terjadi
dalam
sebuah
masyarakat.
Pengertian
dan
Fungsi
Perilaku
menyimpang
Perilaku menyimpang adalah perilaku yang menimbulkan permasalahan sosial seperti kejahatan
tetapi juga dapat menyebabkan perubahan sosial di masyarakat. Secara sosiologis perilaku
menyimpang diartikan sebagai setiap perilaku yang tidak sesuai dengan norma-norma yang ada
di dalam masyarakat. Perilaku seperti ini terjadi karena seseorang mengabaikan norma atau tidak
mematuhi patokan baku dalam masyarakat sehingga sering dikaitkan dengan istilah-istilah
negatif. Hal ini merupakan penyakit masyarakat yang pada akhirnya dapat menghancurkan
kepercayaan
masyarakat.
Ada beberapa definisi tentang perilaku menyimpang. Menurut Robert M. Z. Lawang,
penyimpangan perilaku adalah semua tindakan yang menyimpang dari norma yang berlaku
dalam sistem sosial dan menimbulkan usaha dari mereka yang berwenang dalam sistem itu
untuk memperbaiki perilaku menyimpang. Sedangkan menurut James W. Van Der Zanden,
perilaku menyimpang merupakan perilaku yang bagi sebagian orang dianggap sebagai sesuatu
yang
tercela
dan
di
luar
batas
toleransi.
Lemert berpendapat bahwa penyimpangan dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu
penyimpangan primer dan penyimpangan sekunder. Penyimpangan primer adalah suatu bentuk
perilaku menyimpang yang bersifat sementara dan tidak dilakukan terus-menerus sehingga
masih dapat ditolerir masyarakat seperti melanggar rambu lalu lintas, buang sampah
sembarangan, dan sebagainya. Sedangkan penyimpangan sekunder adalah perilaku menyimpang
yang tidak mendapat toleransi dari masyarakat dan umumnya dilakukan berulang kali seperti
merampok,
menjambret,
memakai
narkoba,
PSK,
dan
lain-lain.
Dari definisi-definisi di atas seringkali perilaku menyimpang dikaitkan dengan prostitusi,
perjudian, penggunaan narkoba dan lain-lain yang sebenarnya dapat tidak muncul jika mereka
tidak memberikan pelayanan yang sebenarnya secara diam-diam memang dibutuhkan oleh
masyarakat.
Perilaku menyimpang dalam satu sisi dapat menyebabkan terjadinya disorganisasi sosial, namun
di
sisi
lain
juga
mempunyai
fungsi
yang
positif,
yaitu:
a. Menghasilkan konformitas. Menurut Edward Sogorin, satu metode yang efektif untuk
membuat sebagian besar orang untuk tetap berada pada jalur yang benar adalah melempar
beberapa orang yang menyimpang ke luar dari jalur, dimana hal tersebut mengakibatkan orang
yang ada dalam jalur akan tunduk pada suatu kepatuhan yang membentuk suatu kondisi yang
ekslusif.
b. Memperkuat ikatan kelompok. Dengan mengarahkan perhatian pada adanya perilaku
menyimpang maka suatu kelompok akan lebih memperkuat ikatan kelompoknya. Adanya musuh
bersama atau ketika kelompok merasa kehidupannya terancam dapat memunculkan perasaan
kebersamaan
dan
memperkuat
solidaritas
kelompok.
c. Menyebabkan perubahan. Terjadinya perilaku menyimpang memberikan suatu pernyataan
bahwa ada badan dari sistem yang tidak berfungsi secara benar. Perilaku menyimpang juga
menawarkan suatu alternative terhadap suatu masalah, dimana diperlukan suatu tindakan untuk
mengganti
norma
lama
dengan
yang
baru.
Teori
dan
Jenis
Perilaku
Menyimpang
Teori-teori umum tentang penyimpangan berusaha menjelaskan semua contoh penyimpangan
sebanyak mungkin dalam bentuk apapun (misalnya kejahatan, gangguan mental, bunuh diri dan
lain-lain). Berdasarkan perspektifnya penyimpangan ini dapat digolongkan dalam dua teori
utama.
Pertama, perspektif patologi sosial menyamakan masyarakat dengan suatu organisme biologis
dan penyimpangan disamakan dengan kesakitan atau patologi dalam organisme itu, berlawanan
dengan
model
pemikiran
medis
dari
para
psikolog
dan
psikiatris.
Kedua, perspektif disorganisasi sosial memberikan pengertian pemyimpangan sebagai kegagalan
fungsi lembaga-lembaga komunitas lokal. Masing-masing pandangan ini penting bagi tahap
perkembangan
teoritis
dalam
mengkaji
penyimpangan.
Ada beberapa teori yang dipakai dalam memandang perilaku menyimpang ini, diantaranya
adalah:
a. Teori anomi adalah teori struktural tentang penyimpangan yang menempatkan
ketidakseimbangan nilai dan norma dalam masyarakat sebagai penyebab penyimpangan, di
mana tujuan-tujuan budaya lebih ditekankan dari pada cara-cara yang tersedia untuk mencapai
tujuan-tujuan budaya itu. Individu dan kelompok dalam masyarakat seperti itu harus
menyesuaikan diri dan beberapa bentuk penyesuaian diri itu bisa jadi sebuah penyimpangan.
b. Teori sosiologi atau teori belajar memandang penyimpangan muncul dari konflik normatif di
mana individu dan kelompok belajar norma-norma yang membolehkan penyimpangan dalam
keadaan tertentu. Teori Differential Association oleh Sutherland adalah teori belajar tentang
penyimpangan yang dimaksudkan memberikan penjelasan umum tentang kejahatan, dapat juga
diaplikasikan dalam bentuk-bentuk penyimpangan lainnya. Sebenarnya setiap teori sosiologis
tentang penyimpangan mempunyai asumsi bahwa individu disosialisasikan untuk menjadi
anggota
kelompok
atau
masyarakat
secara
umum.
c. Teori Labeling yaitu mengetengahkan pendekatan interaksionisme dengan berkonsentrasi pada
konsekuensi interaksi antara penyimpang dengan agen kontrol sosial. Teori ini memperkirakan
bahwa pelaksanaan kontrol sosial menyebabkan penyimpangan, sebab pelaksanaan kontrol
sosial tersebut mendorong orang masuk ke dalam peran penyimpang. Menurut teori labeling,
pemberian sanksi dan label yang dimaksudkan untuk mengontrol penyimpangan malah
menghasilkan
sebaliknya.
d. Teori Kontrol adalah teori yang terbatas untuk penjelasan delinkuensi dan kejahatan. Teori ini
meletakkan penyebab kejahatan pada lemahnya ikatan individu atau ikatan sosial dengan
masyarakat,
atau
macetnya
integrasi
sosial.
e. Teori Konflik adalah pendekatan terhadap penyimpangan yang paling banyak diaplikasikan
kepada kejahatan, walaupun banyak juga digunakan dalam bentuk-bentuk penyimpangan
lainnya. Ia adalah teori penjelasan norma, peraturan dan hukum daripada penjelasan perilaku
yang
dianggap
melanggar
peraturan.
Ditinjau dari jenisnya, perilaku menyimpang ada yang bersifat individual atau personal dan
adapula
yang
bersifat
kolektif
atau
bersama-sama.
1.
Penyimpangan
Individual
(individual
deviation)
Penyimpangan individual atau personal adalah suatu perilaku pada seseorang dengan melakukan
pelanggaran terhadap suatu norma pada kebudayaan yang telah mapan akibat sikap perilaku
yang
jahat
atau
terjadinya
gangguan
jiwa
pada
seseorang.
Tingkatan bentuk penyimpangan seseorang pada norma yang berlaku antara lain:
a. Bandel atau tidak patuh dan taat perkataan orang tua untuk perbaikan diri sendiri serta tetap
melakukan perbuatan yang tidak disukai orangtua dan mungkin anggota keluarga lainnya.
b. Tidak mengindahkan perkataan orang-orang disekitarnya yang memiliki wewenang seperti
guru, kepala sekolah, ketua rt/rw, pemuka agama, pemuka adat, dan lain sebagainya.
c. Melakukan pelanggaran terhadap norma yang berlaku di lingkungannya.
d. Melakukan tindak kejahatan atau kerusuhan dengan tidak peduli terhadap peraturan atau
norma yang berlaku secara umum dalam lingkungan bermasyarakat sehingga menimbulkan
keresahan. ketidakamanan, ketidaknyamanan atau bahkan merugikan, menyakiti, dan lainnya.
Adapun macam-macam bentuk penyimpangan individual yaitu, Penyalahgunaan Narkoba,
Pelacuran, Penyimpangan seksual (homo, lesbian, biseksual, pedofil, sodomi, zina, seks bebas,
transeksual), Tindak Kriminal/Kejahatan (perampokan, pencurian, pembunuhan, pengrusakan,
pemerkosaan, dan lain sebagainya), Gaya Hidup (wanita bepakaian minimalis di tempat umum,
pria
beranting,
suka
berbohong,
dan
sebagainya).
2.
Penyimpangan
Kolektif
/
Bersama-Sama
(group
deviation)
Penyimpangan Kolektif adalah suatu perilaku yang menyimpang yang dilakukan oleh kelompok
orang secara bersama-sama dengan melanggar norma-norma yang berlaku dalam masyarakat
sehingga menimbulkan keresahan, ketidakamanan, ketidaknyamanan serta tindak kriminalitas
lainnya.
Bentuk penyimpangan sosial tersebut dapat dihasilkan dari adanya pergaulan atau pertemanan
sekelompok orang yang menimbulkan solidaritas antar anggotanya sehingga mau tidak mau
terkadang
harus
ikut
dalam
tindak
kenakalan
atau
kejahatan
kelompok.
Adapun
bentuk
penyimpangan
kolektif
terdiri
dari
:
a. Tindak Kenakalan, suatu kelompok yang didonimasi oleh orang-orang yang nakal umumnya
suka melakukan sesuatu hal yang dianggap berani dan keren walaupun bagi masyarakat umum
tindakan tersebut adalah bodoh, tidak berguna dan mengganggu. Contoh penyimpangan
kenakalan bersama yaitu seperti aksi kebut-kebutan di jalan, mendirikan gank yang suka onar,
mengoda dan mengganggu cewek yang melintas, corat -coret tembok orang dan lain sebagainya.
b. Tawuran / Perkelahian Antar Kelompok, pertemuan antara dua atau lebih kelompok yang
sama-sama nakal atau kurang berpendidikan mampu menimbulkan perkelahian di antara mereka
di tempat umum sehingga orang lain yang tidak bersalah banyak menjadi korban. Contoh:
tawuran anak SMA 70 dengan anak SMA 6, tawuran penduduk Berlan dan Matraman, dan
sebagainya.
c. Tindak Kejahatan Berkelompok / Komplotan. Kelompok jenis ini suka melakukan tindak
kejahatan baik secara sembunyi-sembunyi maupun secara terbuka. Jenis penyimpangan ini bisa
bertindak sadis dalam melakukan tindak kejahatannya dengan tidak segan melukai hingga
membunuh korbannya. Contoh: Perampok, perompak, bajing loncat, penjajah, grup koruptor,
sindikat
curanmor
dan
lain-lain.
d. Penyimpangan Budaya, Penyimpangan kebudayaan adalah suatu bentuk ketidakmampuan
seseorang menyerap budaya yang berlaku sehingga bertentangan dengan budaya yang ada di
masyarakat. Contoh: merayakan hari-hari besar negara lain di lingkungan tempat tinggal sekitar
sendirian,
syarat
mas
kawin
yang
tinggi,
dan
sebagainya.
Terapi
Terhadap
Perilaku
Menyimpang
Seseorang pasti mengalami suatu proses hingga ia dijuluki sebagai penjahat besar. Watak jahat
yang dimilikinya tersebut dapat saja bermula dari pendidikan yang keliru di keluarganya, atau
salah dalam memilih kawan bergaul dan bisa juga karena frustasi dengan keadaan baik ketika
menghadapi kesulitan ekonomi, atau merasa diperlakukan secara tidak adil.
Pada sisi lain setiap orang memiliki fitrah positif, seperti percaya kepada Tuhan, ingin
melakukan kebaikan dan sebagainya. Namun karena pengaruh negatif yang lebih kuat membuat
ia terbawa arus kejahatan, sesuatu hal yang sebenarnya tidak direncanakan sebelumnya.
Sebengis dan sejahat apapun, seseorang pasti dalam hatinya tetap konsisten mengingatkan
bahwa kejahatan tidak akan mengantarkan dirinya kepada kebahagiaan. Dan dalam hatinya tidak
akan
rela
bila
keluarganya
dijahati
orang
lain.
Di saat perbuatan jahatnya telah membuat hidupnya menjadi sempit dan sepi maka terlintas
keinginan untuk kembali ke jalan yang benar. Ketika itulah ia membutuhkan orang yang mau
mendengarkan kegelisahan jiwanya, membutuhkan nasehat yang tepat, yang mampu
memberikan kekuatan batin untuk menutup masa lakunya. Untuk selanjutnya mendorong
jiwanya
berani
membuka
lembaran
baru
dalam
hifupnya.
Seseorang yang bertaubat dari segala kesalahan, yang senang bukan hanya yang bersangkutan,
tetapi Tuhan lebih antusias untuk menerima taubatnya. Rasulullah SAW dalam sebuah hadits
Qudsi menjelaskan hal tersebut dalam sabdanya, Sungguh Allah lebih gembira terhadap taubat
hambanya ketika ia bertaubat, lebih besar dibandingkan gembiranya orang yang menemukan
kembali
kendaraannya
yang
hilang
(HR.
Muslim).
Setidaknya terdapat dua hal yang harus di lalui bagi seseorang yang hendak bertaubat yaitu:
1. Secara teoritis, ia harus tahu dan menghayati makna taubatan nasuha. Taubatan Nasuha
memiliki
beberapa
unsur:
a.
Menyesali
perbuatan
dosa
yang
telah
dilakukan
b.
Berjanji
untuk
tidak
mengulangi
c.
Benar-benar
tidak
mengulanginya.
d. Bila kejahatan tersebut terkait dengan hak sesama manusia maka wajib baginya meminta maaf
dan
kerelaan
dari
orang
yang
di
jahati
2. Secara sosiologis, seseorang yang bertaubat harus menempuh langkah-langkah berikut:
a.
Pindah
lingkungan
pergaulan
b.
Berjuang
sekuat
tenaga
untuk
jujur
c.
Tidak
boleh
makan-makanan
yang
haram
d.
Harus
tetap
bekerja
mencari
nafkah
e.
Selalu
menolong
orang
lain
yang
membutuhkan
f. Mulai kembali belajar dan membaca terutama buku-buku agama dan ilmu pengetahuan
Orang yang memerlukan konseling pertobatan dari perilaku menyimpang ini adalah penjahat
yang sudah mulai gelisah dengan kejahatannya dan penjahat yang sudah ingin taubat tetapi tidak
tahu
jalannya
Seorang konselor yang menghadapi kliennya yang demikian, sekurang kurangnya harus
memiliki:
a.
Kemampuan
pengendalian
diri
yang
kuat
b.
Kewibawaan
yang
bersumber
dari
kepribadiannya
yang
tinggi
c. Kemampuan menjadi pendengar yang baik atas semua keluhan orang tersebut
d.
Pengetahuan
yang
memadai
tentang
dunia
kriminal
e.
Pemaaf
dan
lemah
lembut
Adapun hal-hal penunjang lain yang juga seharusnya dimiliki oleh seorang konselor terkait
dengan prilaku kriminal ialah ilmu beladiri, pijat refleksi, ilmu totok jalan darah, dan
sebagainya.
Konseling
Terhadap
Perilaku
Fanatik
Belakangan ini gejala maraknya perilaku fanatik sedang melanda dunia, terutama tumbuh subur
di kalangan orang muda. Bentuk-bentuk fanatik ini sudah mengarah kepada perilaku yang
membahayakan sehingga perlu dikaji secara seksama, menyangkut karakteristiknya, sebab-sebab
timbulnya
dan
bagaimana
upaya
meredam
dan
menghindari
bahayanya.
Membahas tentang pengertian fanatik, terdapat beberapa definisi yang satu sama lainnya saling
melengkapi. Fanatik adalah suatu istilah yang digunakan untuk menyebut suatu keyakinan atau
suatu pandangan tentang sesuatu, yang positif atau yang negatip, pandangan mana tidak
memiliki sandaran teori atau pijakan kenyataan, tetapi dianut secara mendalam sehingga susah
diluruskan atau diubah. Biasanya fanatik merupakan keyakinan/kepercayaan yang terlalu kuat
terhadap ajaran politik, agama, dan sebagagainya. Fanatik juga merupakan sebuah keadaan di
mana seseorang atau kelompok yang menganut sebuah paham, baik politik, agama, kebudayaan
atau apapun saja dengan cara berlebihan (membabi buta) sehingga berakibat kurang baik,
bahkan
cenderung
menimbulkan
perseteruan
dan
konflik
serius.
Teori
dan
Jenis
Perilaku
Fanatik
Perilaku fanatisme dapat dijumpai di setiap lapisan masyarakat dan di setiap negeri, pada
kelompok intelektual maupun pada kelompak awam, pada masyarakat beragama maupun pada
masyarakat atheis. Pertanyaan yang muncul adalah apakah sikap fanatik itu merupakan sifat
bawaan
manusia
atau
karena
direkayasa.
Ada beberapa pendapat yang mengatakan tentang fanatisme ini. Sebagian ahli ilmu jiwa
mengatakan bahwa sikap fanatik merupakan sifat natural (fitrah) manusia, dengan alasan bahwa
pada lapisan masyarakat manusia di manapun dapat dijumpai individu atau kelompok yang
memiliki sikap fanatik. Sikap fanatik merupakan konsekuensi logis dari kemajemukan sosial
atau heteroginitas dunia, karena sikap fanatik tak mungkin timbul tanpa didahului perjumpaan
dua
kelompok
sosial.
Pendapat kedua mengatakan bahwa sikap fanatik bukan fitrah manusia, tetapi merupakan hal
yang dapat direkayasa. Hal ini dibuktikan dengan realita bahwa anak-anak, dimana pun dapat
bergaul akrab dengan sesama anak-anak, tanpa membedakan warna kulit ataupun agama. Selain
itu fanatisme berakar dari tabiat agressi dan pengalaman hidup secara aktual.
Dari teori-teori diatas dapat disimpulkan bahwa untuk mengurai perilaku fanatik seseorang atau
sekelompok orang, tidak cukup dengan menggunakan satu teori, karena perilaku fanatik bisa
disebabkan oleh banyak faktor, bukan oleh satu faktor saja. Munculnya perilaku fanatik pada
seseorang atau sekelompok orang di suatu tempat atau di suatu masa boleh jadi karena beberapa
faktor, diantaranya merupakan akibat logis dari sistem budaya lokal, tetapi boleh jadi merupakan
perwujudan dari motif pemenuhan dari kebutuhan kejiwaan individu atau sosial yang terlalu
lama
tidak
terpenuhi.
Pandangan
Islam
Terhadap
Perilaku
Fanatik
Perjalanan sejarah Islam banyak diwarnai oleh pengalaman pahit yang disebabkan oleh perilaku
fanatik yang dilakukan oleh kelompok-kelompok Islam. Pada jaman klasik, aliran Khawarij
dapat
disebut
sebagai
awal
mulanya
lahir
kelompok
fanatik.
Hingga pada jaman modern sekarang, kelompok-kelompok fanatik juga banyak dijumpai,
terutama di kalangan kaum muda. Ciri mereka antara lain mereka merasa benar sendiri, tidak
mau mendengarkan nasehat dan bahkan tidak bisa mengormati kepada orang lain yang di luar
kelompoknya, meskipun terhadap ayah ibunya, gurunya dan sebagainya.
Ajaran Islam melihat sikap fanatik seperti yang dijelaskan dalam al-Quran, bahwa manusia
memang memiliki kecenderungan untuk membanggakan apa yang ada pada mereka (QS. AlMuminun : 52-54). Al-Qur'an banyak sekali mengingatkan manusia agar menggunakan akalnya,
dan diingatkan agar tidak mengikuti hawa nafsu. Beragama artinya juga hidup dengan
menggunakan akal karena agama itu sendiri diperuntukan manusia yang berakal. Oleh
karenanya, berpegang teguh dengan pandangan yang diyakini seraya menutup diri dari
pandangan lain (yang justeru mungkin lebih benar) adalah perbuatan sesat, yang dalam al-Qur'an
disebut sebagai mengikuti hawa nafsu, yakni kecenderungan memenuhi dorongan keinginan
untuk kesenangan jangka pendek, bukan untuk mencari kebenaran (QS. Al-Maidah: 77)
Pada akhirnya orang yang secara membabi buta membela sesuatu tanpa melihat duduk persoalan
dengan jelas yang dibelanya, niscaya akan terjerumus pada perbuatan fanatis yang membabi
buta, konyol dan sia-sia. Adapun sikap pembelaan karena mempertahankan sesuatu yang
diyakini kebenarannya, maka hal itu termasuk dari permasalahan keyakinannya kepada ajaran
yang
diimaninya
tersebut.
Imam Al-Ghazali membagi cinta dalam empat kualitas, yaitu (a) Cinta diri, (b) Cinta kepada
orang lain sepanjang orang tersebut memberi keuntungan kepadanya, (c) Cinta kepada orang
baik, meskipun yang dicintainya itu tidak memberikan apapun kepadanya, (d) Cinta kepada
kebaikan
terlepas
dari
siapa
pemilik
kebaikan
itu.
Dalam perspektif ini, maka sikap fanatik mudah timbul pada orang dengan kategori pertama.
Dari cinta diri (narsisme) dapat berkembang menjadi cinta kelompok in-group dan selanjutnya
bisa menjelma menjadi fanatik etnik. Sebaliknya, cinta dalam kategori ketiga dan keempat akan
mengantarkan orang pada cinta kepada manusia dan cinta kepada Tuhan. Nabi mengingatkan
bahwa barang siapa yang mati karena membela sesuatu secara fanatik buta maka ia akan masuk
neraka.
Terapi
Terhadap
Perilaku
Fanatik
Karena perilaku fanatik mempunyai akar yang berbeda-beda, maka cara penyembuhannya pun
juga berbeda-beda. Hal tersebut dapat dilakukan dengan (1) Pengobatan yang sifatnya sekedar
mengurangi atau mereduksi sikap fanatik harus menyentuh masalah yang menjadi sebab
munculnya perilaku fanatic, (2) Jika perilaku fanatik itu disebabkan oleh banyak faktor maka
dalam waktu yang sama berbagai cara harus dilakukan secara serempak (simultan).
Kebanyakan orang yang memiliki pandangan fanatik merasa dirinya tidak membutuhkan nasehat
dari orang lain selain sesama (in group) mereka. Oleh karena itu seorang konselor harus aktif
berusaha
mendekati
klien.
Ada beberapa hal yang dapat dilakukan oleh seorang konselor terhadap klien fanatik antara lain
mengajak berfikir rasional dan menunjukkan contoh-contoh yang pernah terjadi akibat dari
perilaku
fanatik.
Wawasan yang harus dimiliki konselor perilaku fanatik disamping tentang konseling, iapun
harus memiliki pengalaman yang luas sehingga nymenimbulkan kesan tidak menggurui namun
lebih bertujuan membangkitkan cara berfikir klien yang tidak rasional.
Penutup
Seringkali suatu perilaku dianggap menyimpang atau terkesan fanatik di suatu masyarakat, tetapi
tidak demikian dalam masyarakat lainnya. Hal tersebut berkaitan dengan relativitas yang terikat
dengan konteks sosio kultural di mana penyimpangan dan sikap fanatik tersebut terjadi.
Relatifitas tersebut berkaitan dengan waktu, tempat, situasi dan status sosial.
Dalam Islam, perilaku menyimpang dan fanatisme adalah perbuatan sesat, karena hanya
menuruti hawa nafsunya saja dan cenderung mengabaikan nilai-nilai yang telah ditentukan oleh
Islam. Beragama artinya juga hidup dengan menggunakan akal karena agama itu sendiri
diperuntukan
manusia
yang
berakal.
http://www.stidnatsir.ac.id/index.php?
option=com_content&view=article&id=68:problematika-dawah-konseling-terhadapfanatisme-dan-perilaku-menyimpang&catid=29:problematika-dawah&Itemid=86
Psikologi Fanatik
at 8:33 PM
Belakangan ini gejala maraknya fanatisme buta sedang melanda dunia, terutama
tumbuh subur di kalangan orang muda. Bentuk-bentuk fanatisme buta ini sudah
mengarah kepada perilaku yang membahayakan sehingga perlu dikaji secara
seksama, menyangkut karakteristiknya, sebab-sebab timbulnya dan bagaimana
upaya meredam dan menghindari bahayanya.
1.Pengertian Fanatik
Fanatik adalah suatu istilah yang digunakan untuk menyebut suatu keyakinan atau
suatu pandangan tentang sesuatu, yang positif atau yang negatip, pandangan
mana tidak memiliki sandaran teori atau pijakan kenyataan, tetapi dianut secara
mendalam sehingga susah diluruskan atau diubah. (A Favourable or unfavourable
belief or judjment, made without adequate evidence and not easily alterable by the
presentation of contrary evidence) 23.
Fanatisme biasanya tidak rationil, oleh karena itu argumen rationilpun susah
digunakan untuk meluruskannya. Fanatisme dapat disebut sebagai orientasi dan
sentimen yang mempengaruhi seseorang dalam;
(a) berbuat sesuatu, menempuh sesuatu atau memberi sesuatu,
tidak menyukai kepada orang yang berbeda faham. Ketidak sukaan itu tidak
berdasar argumen logis, tetapi sekedar tidak suka kepada apa yang tidak disukai
(dislike of the unlike). Sikap fanatik itu menyerupai bias dimana seseorang tidak
dapat lagi melihat masalah secara jernih dan logis, disebabkan karena adanya
kerusakan dalam sistem persepsi (distorsion of cognition).
Jika ditelusuri akar permasalahannya, fanatik - dalam arti cinta buta kepada yang
disukai dan antipati kepada yang tidak disukai - dapat dihubungkan dengan
perasaan cinta diri yang berlebihan (narcisisme), yakni bermula dari kagum diri,
kemudian membanggakan kelebihan yang ada pada dirinya atau kelompoknya, dan
selanjutnya pada tingkatan tertentu dapat berkembang menjadi rasa tidak suka ,
kemudian menjadi benci kepada orang lain, atau orang yang berbeda dengan
mereka. Sifat ini merupakan perwujudan dari egoisme yang sempit.
2. Pendapat kedua mengatakan bahwa fanatisme bukan fitrah manusia, tetapi
merupakan hal yang dapat direkayasa. Alasan dari pendapat ini ialah bahwa anakanak, dimanapun dapat bergaul akrab dengan sesama anak-anak, tanpa
membedakan warna kulit ataupun agama. Anak-anak dari berbagai jenis bangsa
dapat bergaul akrab secara alami sebelum ditanamkan suatu pandangan oleh orang
tuanya atau masyarakatnya. Seandainya fanatik itu merupakan bawaan manusia,
pasti secara serempak dapat dijumpai gejala fanatik di sembarang tempat dan
disembarang waktu. Nyatanya fanatisme itu muncul secara berserakan dan
berbeda-beda sebabnya. 25)
3. Teori lain menyebutkan bahwa fanatisme berakar dari tabiat agressi seperti yang
dimaksud oleh Sigmund Freud ketika ia menyebut instink Eros (ingin tetap hidup)
dan instink Tanatos (siap mati). 26)
4. Ada teori lain yang lebih masuk akal yaitu bahwa fanatisme itu berakar pada
pengalaman hidup secara aktual. Pengalaman kegagalan dan frustrasi terutama
pada masa kanak-kanak dapat menumbuhkan tingkat emosi yang menyerupai
dendam dan agressi kepada kesuksesan, dan kesuksesan itu kemudian
dipersonifikasi menjadi orang lain yang sukses. Seseorang yang selalu gagal
terkadang merasa tidak disukai oleh orang lain yang sukses. Perasaan itu kemudian
berkembang menjadi merasa terancam oleh orang sukses yang akan
menghancurkan dirinya. Munculnya kelompok ultra ekstrim dalam suatu
masyarakat biasanya berawal dari terpinggirkannya peran sekelompok orang dalam
sistem sosial (ekonomi dan politik) masyarakat dimana orang-orang itu tinggal. Di
Indonesia, ketika kelompok Islam dipinggirkan secara politik pada zaman Orde Baru
terutama pada masa kelompok elit Kristen Katolik (Beni Murdani, Sudomo, Radius
Prawiro, Andrianus Moy, Sumarlin, Hutahuruk, Jendral Pangabean) 27) secara efektif
mengontrol pembangunan Indonesia, maka banyak kelompok Islam merasa
terancam, dan mereka menjadi fanatik. Ketika menjelang akhir Orde Baru di mana
kelompok Kristen Katolik mulai tersingkir sehingga kabinet dan parlemen disebut ijo
royo-royo (banyak orang Islamnya), giliran orang Kristen yang merasa terancam,
dan kemudian menjadi ekstrim, agressip dan destruktif seperti yang terjadi di
Kupang dan Ambon , Poso, juga Kalteng (juga secara tersembunyi di Jakarta).
Jalan fikiran orang fanatik itu bermula dari perasaan bahwa orang lain tidak
menyukai dirinya, dan bahkan mengancam eksistensi dirinya. Perasaan ini
berkembang sedemikian rupa sehinga ia menjadi frustrasi. Frustrasi menumbuhkan
rasa takut dan tidak percaya kepada orang lain. Selanjutnya perasaan itu
berkembang menjadi rasa benci kepada orang lain. Sebagai orang yang merasa
terancam maka secara psikologis ia terdorong untuk membela diri dari ancaman,
dan dengan prinsip lebih baik menyerang lebih dahulu daripada diserang, maka
orang itu menjadi agressif. 28)
Teori ini dapat digunakan untuk menganalisa perilaku agressip (1) orang Palestina
yang merasa terancam oleh orang Yahudi Israel, agressip kepada warga dan tentara
Israel, dan (2) perilaku orang Yahudi yang merasa terkepung oleh negara-negara
Arab agressip kepada orang Palestina. Teori ini juga dapat digunakan untuk
menganalisa (3) perilaku ektrim kelompok sempalan Islam di Indonesia pada masa
orde baru (yang merasa ditekan oleh sistem politik yang didominasi oleh oknumoknum anti Islam), agressip kepada Pemerintah.
Dari empat teori tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa untuk mengurai perilaku
fanatik seseorang/sekelompok orang, tidak cukup dengan menggunakan satu teori,
karena fanatik bisa disebabkan oleh banyak faktor, bukan oleh satu faktor saja.
Munculnya perilaku fanatik pada seseorang atau sekelompok orang di suatu tempat
atau di suatu masa. boleh jadi
(a) merupakan akibat lagis dari sistem budaya lokal, tetapi boleh jadi
(b) merupakan perwujudan dari motif pemenuhan diri kebutuhan kejiwaan
individu/sosial yang terlalu lama tidak terpenuhi.
3.Cara Mengobati Perilaku Fanatik
Karena perilaku fanatik mempunyai akar yang berbeda-beda, maka cara
penyembuhannya juga berbeda-beda.
(1).Pengobatan yang sifatnya sekedar mengurangi atau mereduksi sikap fanatik
harus menyentuh masalah yang menjadi sebab munculnya perilaku fanatik.
(2).Jika perilaku fanatik itu disebabkan oleh banyak faktor maka dalam waktu yang
sama berbagai cara harus dilakukan secara serempak (simultan) .
Perilaku fanatik yang disebabkan oleh masalah ketimpangan ekonomi,
pengobatannya harus menyentuh masalah ekonomi, dan perilaku fanatik yang
disebabkan oleh perasaan tertekan, terpojok dan terancam, maka pengobatannya
juga dengan menghilangkan sebab-sebab timbulnya perasaan itu. Pada akhirnya,
pelaksanaan hukum dan kebijaksanaan ekonomi yang memenuhi tuntutan rasa
keadilan masyarakat secara alamiah akan melunturkan sikap fanatik pada mereka
yang selama ini merasa teraniaya dan terancam.