Anda di halaman 1dari 20

DAFTAR ISI

Halaman Judul.......................................................................................................i
Kata Pengantar.......................................................................................................ii
Daftar Isi................................................................................................................iii
BAB I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang........................................................................................1
1.2 Perumusan Masalah.................................................................................2
1.3 Tujuan dan Manfaat.................................................................................2
BAB II. PEMBAHASAN
2.1 Asal Usul Makna Kebebasan..................................................................3
2.2 Kebebasan dalam Perspektif Islam.........................................................7
a. Sumber Kebebasan.............................................................................9
b. Batasan Kebebasan.............................................................................11
2.3 Penerapan Konsep Kebebasan dalam Kehidupan...................................13
a. Konsep Kebebasan Beragama dalam Perspektif Al-Quran...............13
b. Kebebasan Berkespresi dalam Islam..................................................15
BAB III. PENUTUP
3.1 Kesimpulan..............................................................................................17
3.2 Saran........................................................................................................18
Daftar Pustaka.......................................................................................................19

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pada era modern pada saat ini pendidikan merupakan sesuatu yang menjadi
keperluan yang terbilang mendesak. Sehingga tidak heran apabila pemerintah
sedang gencar melancarkan program pendidikan gratis dan program program lain
serupa dengan visi untuk mencerdaskan anak bangsa. Oleh karena itu meski tidak
semua masyarakat yang ada dapat menempuh pendidikan hingga ke perguuruan
tinggi, setidaknya mereka telah memiliki bekal untuk bisa menjadi masyarakat
yang kritis dalam melaukan sesuatu hal, oleh karena itu, masyarakat saat ini boleh
dibilang merupakan masyarakat modern dengan latar belakang pendidikan yang
memadai.
Sehingga bila kita kembali mengingat pada masa penjajahan, dimana
Indonesia bertahun tahun mengalami penderitaan yang sedemikian rupa
merupakan salah satu contoh keadaan bangsa Indonesia tanpa pendidikan saat itu.
Hanya kaum cendekiawan seperti Bung Karno yang dapat mensiasati pergolakan
yang ada. Itu semua tak lepas dari adanya ilmu pengetahuan yang beliau miliki.
Dalam atmosfer pendidikan yang dibangun itulah kemudian masyarakat lahir
sebagai seorang individu yang kritis. Individu yang menjunjung tinggi makna
kebebasan dalam diri mereka masing masing. Sehingga kita kerap menjumpai
berbagai fenomena yang berkaitan dengan makna kebebasan seperti aksi unjuk
rasa, aksi pembelaan Hak asasi manusia, dan lain lain. Akan tetapi seiring
berjalannya wakktu ternyata kebebasan bukan hanya menjadi suatu senjata untuk
bangkit dari ketertindasan melainkan menjadi suatu alasan beberapa individu
untuk melakukan penyelewengan penyelewengan yang mengatas namakan
kebebasan. Seperti misalnya saat kita melihat seseorang mengkritik atau lebih
mengarah pada konteks mencampuri urusan orang lain seperi yang dilakukan
Farhat Abbas yang kemudian berujung pada perilaku menyakiti orang lain akan
tetapi ia mengatas namakan perilakunya itu sebagai sesuatu kebebasan
berpendapat bagi individu untuk berpendapat, maka hal tersebut sebenarnya telah
keluar tatanan yang telah ditentukan dalam ajaran islam.

Dalam makalah ini akan membahas mengenai makna kebebasan dalam kaca
mata Islam. Akhir-akhir ini wacana kebebasan semakin menemukan momentum,
sekaligus meretas ketidakpastian makna kebebasan itu sendiri. Arti sebuah
kebebasan seolah melindungi semua faham keagamaan, misalnya, walau harus
bertabrakan dengan kaidah-kaidah prinsip yang telah ditegaskan dalam suatu
agama. Akhirnya, semua perilaku selalu merasa dilindungi oleh kebebasan.
Goyang erotis seorang penyanyi, pornografi, prostisusi, homoseksual, lesbian,
bahkan penistaan agama juga berargumentasi dengan dalil kebebasan.
Oleh karena itu, tema ini dirasa sangat perlu untuk di bahas dalam forum kuliah
untuk kemudian bersama sama berdiskusi mengenai apa makna kebebasan dalam
perspektif islam itu sebenarnya.
1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka yang emnjadi rmusan masalah
adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana asal usul kemunculan makna kebebasan?
2. Bagaimana makna kebebasan dalam perspektif islam, jika dilihat dari
sumber dan batasannya ?
3. Bagaimana penerapan konsep kebebasan dalam kehidupan manusia?
1.3 Tujuan dan Manfaat
Tujuan bagi penulis:
1. Penulis menjadi lebih mengetahui tentang makna kebebasan dalam islam
2. Penulis lebih dapat mengetahui batasan dan sumber kebebasan dalam
perspektif islam
3. Penulis mengetahui penerapan konsep kebebasan dalam kehidupan manusia
Tujuan bagi pembaca:
1. Makalah ini diharapkan menambah wawasan ilmu pengetahuan bagi penulis
serta dapat diterapkan dalam kehidupan sehari hari.
2. Pembaca dapat bersikap dan bercakap sesuai dengan ajaran agama Islam
yang telah diatur dalam Al-quran dan hadist
Manfaat dari penulisan makalah ini adalah sebagai salah satu bentuk
penjelasan kepada masyarakat secara luas mengenai arti dan makna kebebasan
dalam islam dengan berlandaskan pada Al-Quran dan hadist.
BAB II

PEMBAHASAN
2.1 Asal Usul Makna Kebebasan
Manusia diciptakan oleh Allah dan kelak akan kembali kepada Sang
Pencipta. Sedangkan kehidupan manusia di dunia bukanlah satu-satunya
kehidupan yang ia alami. Dunia hanyalah salah satu fase dari lima fase kehidupan
manusia: alam ruh, alam rahim, alam dunia, alam barzah dan alam akhirat.
Konsep tentang kebebasan manusia, tidak terbatas pada kehidupan dunia saja,
melainkan semenjak periode alam ruh dan berlanjut hingga alam akhirat. Hanya
saja, di alam dunia inilah kita saat ini dengan kesadaran dan potensi akal yang
diberikan oleh Yang Maha Kuasa, mengkonsepsikan dan mengaplikasikan
konsep-konsep yang ada dengan bimbingan wahyu Allah SWT. Menurut Syed
Muhammad Naquib Al-Attas, kebebasan manusia dapat dilacak sejak terjadinya
perjanjian primordial (primordial covenant) yang ditekan oleh setiap individu di
hadapan sang Pencipta. Yang isinya adalah pengakuan seorang hamba akan
rububiyah Allah semata atas dirinya dan semua alam. Isi perjanjian tersebut
dimuat dalam al Quran, surat al-Araf, 172:

Artinya: Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak


Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka
(seraya berfirman): "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Benar
(Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi". (Kami lakukan yang demikian itu)
agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (bani Adam)
adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)". (Q.S. al-Araf,
172).
Dalam perjanjian primordial tersebut, mengindikasikan adanya dua buah
pilihan yang ditawarkan kepada manusia untuk mengakui atau tidak mengakui
rububiyah Allah SWT, dan manusia pun secara serentak mengakui dan
membenarkan kerububiyahan Tuhan serta mengetahui dan menerima semua

implikasi dari kesaksian itu. Disinilah jejak kebebasan manusia dimulaikan. Ayat
lain yang juga relevan dengan ayat diatas adalah dalam surat al-Ahzab: 72

Artinya: Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi


dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan
mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia.
Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh (Q.S. Al Ahzab : 72)
Dalam surat tersebut menceritakan keengganan makhluk lain untuk
menerima amanah Tuhan. Tetapi manusia menerimanya. Ketika manusia memilih
untuk menerima amanah itu, pilihan manusia tersebut mengindikasikan bahwa
setiap jiwa memiliki kebebasan untuk memilih yang sebaliknya. Artinya, setiap
orang sudah menyadari semua implikasi yang melekat bersama pilihan tersebut.
Syed Naquib Al-Attas menegaskan bahwa kebebasan telah terjadi sejak saat itu.
Istilah yang tepat untuk kebebasan dalam Islam terdapat dalam salah satu
istilah syariat ikhtiar. Ikhtiar tidaklah sama dengan ide modern tentang
kebebasan. Sebab akar kata ikhtiar adalah khair (baik), yang berarti memilih
yang terbaik. Oleh karena itu, jika bukan memilih sesuatu yang baik, pilihan itu
bukanlah benar-benar pilihan, melainkan sebuah ketidak adilan (zhulm). Memilih
sesuatu yang terbaik adalah kebebasan sejati dan untuk melakukannya seseorang
dituntut untuk mengetahui mana yang baik dan mana yang buruk. Disinilah proses
pendidikan memainkan peran pentingnya. Sebaliknya, memilih sesuatu yang
buruk adalah pilihan yang berdasarkan kejahilan dan bersumber dari aspek-aspek
yang tercela nafsu hewani.
Aplikasi konsep kebebasan telah termuat dalam ikhtiar, yaitu memilih
yang terbaik. Yang mana dalam upaya memilih tersebut membutuhkan sebuah
daya untuk meraihnya. Maka berikhtiar berarti kebebasan untuk melakukan
upaya memilih sesuatu yang terbaik, atau bebas berusaha meraih yang terbaik
diantara berbagai macam kebaikan yang ada. Kebebasan yang tidak mengandung
kebaikan, tidak menemukan jalan dalam ide kebebasan Islam.

Kebaikan-kebaikan yang ada dalam kehidupan, telah ditunjukkan oleh


Allah melalui wahyu yang turun kepada Nabi Muhammad saw. Baik berupa
kebaikan duniawi ataupun ukhrowi. Dan kehidupan akhirat adalah kebaikan yang
terbaik bagi hambaNya yang bertakwa (an Nahl;30).

Artinya: Dan dikatakan kepada orang-orang yang bertakwa: "Apakah yang telah
diturunkan oleh Tuhanmu?" Mereka menjawab: "(Allah telah menurunkan)
kebaikan". Orang-orang yang berbuat baik di dunia ini mendapat (pembalasan)
yang baik. Dan sesungguhnya kampung akhirat adalah lebih baik dan itulah
sebaik-baik tempat bagi orang yang bertakwa (Q.S. An Nahl : 30)
Maka, sebaik-baik ikhtiar (kebebasan memilih yang terbaik) adalah ikhtiar
yang dilakukan oleh orang-orang yang muttaqiin, yaitu mereka yang memilih
kebaikan hidup di akhirat daripada kebaikan yang ada di dunia (al Kahfi;46, adhDhuha;4, at-Taubah;38). Mereka inilah yang menemukan kebahagiaan spiritual
(saadah) dalam kehidupannya.
Kebahagiaan spiritual, menurut Al-Attas, secara sadar bisa dialami dalam
kehidupan di dunia ini dan lebih panjang dari pada kebahagiaan level fisik dan
psikologis. Kebahagiaan spiritual sangat terkait dengan keyakinan terhadap
kebenaran Mutlak, iman, dan perilaku moral. Menurut Al Attas, kebahagiaan
spiritual terjadi secara bersamaan dengan kebahagiaan fisik dan psikologis.
Kebahagiaan dalam Islam bukanlah sesuatu yang berakhir dalam dirinya sendiri;
sebaliknya, kebahagiaan itu akan membimbing manusia ke tingkat akhir yang
lebih tinggi, yang dalam kehidupan dunia ini disebut dengan cinta kepada Allah
swt (mahabbah). Inilah yang disebut dengan persiapan ke arah pencapaian yang
hakiki dan abadi pada hari kemudian, yaitu kebahagiaan berupa kemampuan
melihat Allah swt.
Bagi seorang Muslim, kebebasan mengandung tiga makna sekaligus.
Pertama, kebebasan identik dengan fitrah yaitu tabiat dan kodrat asal manusia
sebelum diubah, dicemari, dan dirusak oleh sistem kehidupan disekelilingnya.
5

Seperti kata Nabi saw: kullu mawludin yuladu ala l-fitrah. Setiap orang terlahir
sebagai mahluk dan hamba Allah yang suci bersih dari noda kufur, syirik dan
sebagainya. Namun orang-orang disekelilingnya kemudian mengubah statusnya
tersebut menjadi ingkar dan angkuh kepada Allah. Maka orang yang bebas ialah
orang yang hidup selaras dengan fitrahnya, karena pada dasarnya ruh setiap
manusia telah bersaksi bahwa Allah itu Tuhannya. Sebaliknya, orang yang
menyalahi fitrah dirinya sebagai abdi Allah sesungguhnya tidak bebas, karena ia
hidup dalam penjara nafsu dan belenggu syaitan.
Makna kedua dari kebebasan adalah daya kemampuan (istithaah) dan
kehendak (masyiah) atau keinginan (iradah) yang Allah berikan kepada kita
untuk memilih jalan hidup masing-masing. Apakah jalan yang lurus (as-shirath almustaqim) ataukah jalan yang lekuk. Apakah jalan yang terjal mendaki ataukah
jalan yang mulus menurun. Apakah jalan para nabi dan orang-orang sholeh,
ataukah jalan syaitan dan orang-orang sesat. Siapa yang mau beriman,
dipersilakan. Siapa yang mau ingkar, pun dipersilakan. Kebebasan disini
melambangkan kehendak, kemauan dan keinginan diri sendiri. Bebasnya manusia
berarti kembali kepadanya mau senang di dunia ataukah di akhirat. Firman Allah:
(QS al Isra:18-19)

Artinya: Barangsiapa menghendaki kehidupan sekarang (duniawi), Maka kami


segerakan baginya di dunia itu apa yang kami kehendaki bagi orang yang kami
kehendaki dan kami tentukan baginya neraka jahannam; ia akan memasukinya
dalam keadaan tercela dan terusir. Dan barangsiapa yang menghendaki kehidupan
akhirat dan berusaha ke arah itu dengan sungguh-sungguh sedang ia adalah
mukmin, Maka mereka itu adalah orang-orang yang usahanya dibalasi dengan
6

baik. Barang siapa yang menghendaki keuntungan di akhirat akan kami tambah
keuntungan itu baginya dan barang siapa yang menghendaki keuntungan di dunia
kami berikan kepadanya sebagian dari keuntungan dunia dan tidak ada baginya
suatu bahagianpun di akhirat. (QS asy Syura:20).
Terserah padanya apakah mau tunduk atau durhaka kepada Allah. Apakah
mau menghamba kepada sang Khaliq atau mengabdi kepada makhluk. Sudah
barang tentu, kebebasan ini bukan tanpa konsekuensi dan pertanggungjawaban.
Dan benarlah firman Allah bahwa tidak ada paksaan dalam agama. Setiap manusia
dijamin kebebasannya untuk menyerah ataupun membangkang kepada Allah,
berislam ataupun kafir. Mereka yang berislam dengan sukarela (thawan) lebih
unggul dari mereka yang berislam karena terpaksa (karhan), apatah lagi
dibandingkan dengan mereka yang kafir dengan sukarela.
Ketiga, kebebasan dalam Islam berarti memilih yang baik (ikhtiyar).
Ikhtiar menghendaki pilihan yang tepat dan baik akibatnya. Oleh karena itu, orang
yang memilih keburukan, kejahatan, dan kekafiran itu sesungguhnya telah
menyalahgunakan kebebasannya. Sebab, pilihannya bukan sesuatu yang baik
(khayr). Disini kita dapat mengerti mengapa dalam dunia beradab manusia tidak
dibiarkan bebas untuk membunuh manusia lain.
Jadi, dalam tataran praktis, kebebasan sejati memantulkan ilmu dan adab,
manakala kebebasan palsu mencerminkan kebodohan dan kebiadaban. Kebebasan
seyogianya dipandu ilmu dan adab supaya tidak merusak tatanan kehidupan.
Supaya membawa kebahagiaan di dunia dan di akhirat.

Dalam kerangka inilah seorang Muslim memahami firman Allah: Barangsiapa


yang mengerjakan amal yang saleh Maka (pahalanya) untuk dirinya sendiri dan
barangsiapa mengerjakan perbuatan jahat, Maka (dosanya) untuk dirinya sendiri;
dan sekali-kali tidaklah Rabb-mu menganiaya hamba-hambaNya Maka janganlah
kebebasan itu menyebabkan kebablasan. (QS. Fushshilat:46).
2.2 Kebebasan dalam Perspektif Islam

Istilah yang tepat untuk kebebasan dalam Islam terdapat dalam salah satu
istilah syariat; ikhtiar. Ikhtiar tidaklah sama dengan ide modern tentang
kebebasan. Sebab akar kata ikhtiar adalah khair (baik), yang berarti memilih
yang terbaik. Oleh karena itu, jika bukan memilih sesuatu yang baik, pilihan itu
bukanlah benar-benar pilihan, melainkan sebuah ketidak adilan (zhulm). Memilih
sesuatu yang terbaik adalah kebebasan sejati dan untuk melakukannya seseorang
dituntut untuk mengetahui mana yang baik dan mana yang buruk. Disinilah proses
pendidikan memainkan peran pentingnya. Sebaliknya, memilih sesuatu yang
buruk adalah pilihan yang berdasarkan kejahilan dan bersumber dari aspek-aspek
yang tercela nafsu hewani.1
Dalam agama Islam, kebebasan yang dibangun adalah berasas pada tauhid
dan setelah itu pada akhlak fadhilah. Dengan demikian, kedua asas ini
menjelaskan segala aturan dan tata-nilai yang berhubungan dengan perbuatan
pribadi manusia dan sosialnya, semenjak urusan partikular hingga urusan yang
paling penting, dari pelbagai dimensi.
Kata kebebasan dalam Islam diungkapkan dengan dua istilah. Pertama
dengan istilah hurriyah dan kedua, dengan ikhtiyar. Dalam al-Mausuah alIslamiyah al-Ammah, kebebasan didefinisikan sebagai kondisi keislaman dan
keimanan yang membuat manusia mampu mengerjakan atau meninggalkan
sesuatu sesuai kemauan dan pilihannya, dalam koridor sistem Islam, baik aqidah
maupun moral. Dari pengertian ini terdapat dua bentuk kebebasan, yaitu:
1. Kebebasan internal (hurriyah dakhiliyah) yaitu kekuatan memilih antara dua
hal yang berbeda dan bertentangan. Kebebasan jenis ini tergambar dalam
kebebasan berkehendak (hurriyat al-iradah), kebebasan nurani (hurriyat
adh-dhomir), kebebasan jiwa (hurriyat an-nafs) dan kebebasan moral
(hurriyat al-adabiyah).Kedua, kebebasan eksternal (hurriyat kharijiyah).
Bentuk kebebasan ini terbagi menjadi tiga: ath-thabiiyah, yaitu kebebasan
yang terpatri dalam fitrah manusia yang menjadikannya mampu melakukan
sesuatu sesuai apa yang ia lihat; as-siyasiyah, yaitu kebebasan yang telah di
berikan oleh peraturan perundang-undangan;ad-diniyah, kemampuan atas
keyakinan terhadap berbagai mazhab keagamaan.
1

Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib Al Attas, Wan Mohd Nor
Wan Daud, Mizan, Bandung, 2003. Halaman 102
8

2. Kebebasan diungkapkan dengan istilah ikhtiyar. Ikhtiyar sebagaimana yang


dipakai dalam teologi Islam, tidaklah sama dengan ide modern mengenai
kebebasan (dalam arti freedom/liberty). Sebab, akar kata ikhtiyar adalah
khair atau baik, yang berarti memilih sesuatu yang terbaik. Karena itu, jika
bukan memilih sesuatu yang baik, maka sebenarnya itu bukanlah pilihan,
melainkan kezaliman. Memilih sesuatu yang terbaik adalah kebebasan yang
sejati dan untuk melakukannya seseorang dituntut untuk mengetahui mana
yang baik dan mana yang buruk. Sebaliknya, memilih sesuatu yang buruk
adalah pilihan yang berdasarkan kejahilan dan bersumber dari aspek-aspek
tercela nafsu hewani.
Pandangan mengenai kebebasan di atas sangat berbeda dengan kebabasan
menurut Barat. Kebebasan di Barat bertolak dari hasrat dan keinginan manusiawi.
Filsafat kebebasan mereka adalah humanisme. Selain itu, Kebebasan yang
dipropagandakan Barat menjadikan relativitas sebagai standar sebuah kebenaran,
yang pada akhirnya berujung pada consensus. Jadi, kebenaran sesuatu diukur dari
pendapat yang di gandrungi publik, bukan dari keharusan yang harus dilakukan
mayoritas. Disinilah kritik Yusuf al-Qaradhawi terhadap kebebasan yang diusung
Barat. Menurut al-Qaradhawi, kebebasan yang diusung Barat bermakna penistaan
(al-tasayyub). Sementara dalam, Islam kebebasan bertolak dari pandangan dunia
Ilahi (Islamic worldview).
Islam tidak hanya berpijak pada humanisme tetapi juga pada makrifat
tauhid. Islam memandang tidak satu pun manusia harus menjadi budak manusia
lainnya, kecuali menjadi budak Tuhan. Siapapun yang memeluk Islam maka ia
akan memandang bahwa manusia itu bebas. Dalam Islam nilai kehidupan terletak
pada religiusitas, ibadah dan ketaatan kepada Tuhan. Lantaran kebebasannnya
bersumber dari Tuhan maka ia tidak layak menjadi hamba bagi manusia lainnya.
Kebebasan dalam agama adalah kebebasan yang berporos pada taklif dan tugastugas syari`at. Berikut penjelasan kebebasan dalam islam jika dilihat dari sudut
pandang sumber kebebasan dan batasan kebebasan.
a. Sumber Kebebasan
Ketika kita ingin bertanya tentang sumber kebebasan maka kita dapat berkata
bahwa kebebasan bersumber dari tabiat takwini manusia. Tabiat takwini ini

adalah kekuatan yang bernama kehendak (iradah) yang bersemayam dalam


diri manusia yang menstimulir perbuatan dan mengaktualisasi segala potensi
manusia. Kehendak adalah sebuah kondisi mental dimana apabila kehendak
ini tidak berfungsi maka akan bermuara pada disfungsi indra dan pencerapan
manusia dan konsekuensi buruknya adalah sirnanya kemanusiaan manusia.
Dalam perspektif pandangan dunia Ilahi, sumber kebebasan manusia kebebasan takwini atau tasyrii adalah kehendak Ilahi. Dan yang dimaksud
dengan kebebasan takwini adalah kondisi pikiran dan mental manusia dalam
melakukan sebuah perbuatan atau meninggalkannya. Manusia dalam hal ini
merasakan adanya kebebasan tersebut. Artinya dalam melakukan atau
meninggalkan perbuatan itu manusia bebas. Menjelaskan kebebasan manusia
dari angle pandangan dunia Ilahi bahwa kebebasan ini bersemayam pada
nurani manusia.

Dan keberadaan manusia serta tipologi takwininya

kesemuanya adalah ciptaan Tuhan.


Adapun kebebasan tasyrii adalah kebebasan yang bertalian dengan harus
(must) dan tidak boleh (must not). Kebebasan ini mengedepan pada wilayah
kehidupan personal dan sosial. Dan domain kehidupan personal dengan
asumsi bahwa perbuatan yang dilakukan oleh seseorang itu terpuji dan legal
maka tidak terdapat keterbatasan pada ruang kebebasan tersebut. Namun
ketika ia melenggang pada wilayah sosial dan memasuki ruang publik, maka
kebebasannya terbatas pada kebebasan orang lain.
Bahwa manusia merupakan mahkluk sosial, maka penciptaan dan tabiatnya
yang menggerakkannya untuk hidup secara sosial dan berinteraksi dengan
orang lain. Sebagai makhluk sosial manusia memerlukan orang lain. Untuk
menunaikan keperluan ini manusia menetapkan aturan dan tata-nilai sehingga
kebebasan yang dimilikinya ini tidak menciderai kebebasan orang lain.
Dengan demikian, tabiat dan penciptaan yang memberikan kebebasan kepada
manusia untuk berkehendak dan bertindak, namun pada saat yang sama
keduanya juga merupakan pembatas kehendak dan perbuatan manusia.
Lantaran kebebasan yang dimilikinya bergantung dan terbatas pada
kebebasan orang lain. Artinya di sini kebebasan yang dimiliki manusia
bermakna kebebasan yang terbatas.

10

Dalam pandangan dunia Ilahi (divine world view) tiada seorang pun yang
memiliki kekuasaan atas orang lain kecuali Tuhan. Hal ini ditegaskan dalam
al-Quran sebagai pedoman pandangan dunia Ilahi, Menetapkan hukum itu
hanyalah hak Allah. (Qs. Al-Anam [6]:57). Oleh karena itu, berasaskan
kaidah agama (baca: Islam), tiada satu pun hukum, aturan, tatanan yang dapat
membatasi kebebasan manusia kecuali Tuhan. Namun berlansungnya
kehidupan sosial manusia bergantung pada pengalaman kebebasan dan hakhak mutual sesama manusia dimana manusia dalam keterbatasan ini tidak
memiliki alternatif lain. Aturan, hukum, tatanan, norma yang dianugerahkan
Tuhan berupa kebebasan ini adalah untuk manusia guna menyempurna.
Salah seorang orientalis, Marcell Boisard, yang cukup fair menilai pandangan
ini berkata bahwa, Dalam agama Islam, kebebasan dan kesetaraan manusia
merupakan sebuah hak yang dianugerahkan Tuhan kepadanya. Dan
pendelegasian hak ini kepada manusia ini tidak berada dalam kekuasaan
manusia lainnya sehingga manusia harus berhutang-budi kepadanya. Seluruh
manusia harus mentaati dustur Ilahi dan menghormati kebebasan manusia
lainnya. Sejatinya, tidak ada di dunia ini orang yang hidup bebas secara
mutlak, karena kebebasan mutlak justru akan membuat ketidakbebasan atau
ketidaknyamanan bagi orang-orang di sekitarnya, sedangkan dalam Islam
seperti yang disebutkan dalam kitab al mausuah al islamiyah al ammah,
kebebasan memiliki terminologi tersendiri, kebebasan dalam Islam adalah
kondisi keislaman

dan keimanan

yang

membuat

manusia

mampu

mengerjakan atau meninggalkan sesuatu sesuai dengan kemampuan dan


pilihannya, tetapi tetap dalam koridor Islam.
Kebebasan dalam Islam sangatlah komprehensif dalam kehidupan manusia,
kebebasan dalam keimanan misalnya. Islam memberikan kebebasan bagi
seseorang untuk memilih keyakinannya, bahkah seorang muslim dilarang
untuk memaksa seseorang untuk masuk Islam.

Agama Islam juga

memberikan kebebasan kepada semua bangsa, bebas dari kekuasaan diktator,


khurafat, kejahilan, fanatisme buta dan penyimpangan pemikiran-pemikiran,
maupun kebebasan dari jeratan ekonomi dan tekanan politik kaum arogan.
b. Batasan Kebebasan

11

Jelas bahwa bahwa kita tidak mengenal adanya kebebasan mutlak dan tidak
terbatas. Lantaran karakter setiap maujud adalah mengikut pada maujud
tersebut. Maujud yang terbatas memiliki sifat yang terbatas. Manusia yang
merupakan makhluk terbatas, mau-tak-mau sifat-sifat kesempurnaannya
seperti bebas, hidup, ilmu, berkuasa dan berkehendak juga terbatas.
Kant dalam memberikan batasan kebebasan manusia perlu melakukan analogi
dan berkata, Setiap pohon apabila ia berbentuk satu pohon yang berkembang
di samping cabang-cabangnya dan mendiami sebuah ruang dan batangnya
berkembang secara tidak langsung. Akan tetapi pohon ini di tengah belantara
di antara pepohonan secara langsung tumbuh-berkembang ke atas dan di
samping pepohonan lainnya, ia mendiami sebuah atmosfer yang sesuai
dengan kondisi dirinya dan batangnya aman dari lengkungan dan tetap lurus
ke atas tidak bengkok. Yang dapat diadopsi dari analogi Kant ini adalah
bahwa kebebasan manusia merupakan sifat esensial dapat tersedia dan
berkembang pada wilayah sosial di antara individu yang beragam. Pelbagai
kebutuhan esensial dan natural manusia dapat terpenuhi dalam pola-laku
sosial seperti pemenuhan sandang, pangan, papan, pendidikan, dan
pengobatan. Dalam memenuhi kebutuhan ini manusia bebas namun pada saat
yang sama ia terbatas dan tergantung pada kebebasan orang lain.
Kebebasan yang dimiliki manusia ini berkembang pada pola-laku sosial.
Kebebasan dalam artian ini merupakan sebuah masalah sosial. Manusia
ketika terjun dan berinteraksi langsung dengan makhluk sosial lainnya, di
samping ia bebas juga pada saat yang sama terbatas. Ia harus memperhatikan
kebebasan orang lain. Lantaran tidak ada kebebasan yang tanpa batasan.
Kebebasan tanpa batasan ini bukan saja mustahil tapi juga tidak memiliki
makna.
Sebuah perumpamaan sederhana misalnya saya ingin membangun sebuah
rumah (papan). Dalam menentukan corak, lebar, tinggi dan warna saya
memiliki kebebasan. Namun pada saat yang sama kebebasan saya ini
bergantung pada kebebasan orang lain. Membangun rumah asalkan tidak
mengganggu kebebasan, ketenangan dan kenyamanan tetangga sebagai
makhluk sosial lainnya boleh-boleh saja. Dan saya tidak memiliki kuasa

12

untuk memaksakan, corak, lebar, tinggi dan warna rumah yang saya pilih
secara bebas, kepada orang lain.
2.3 Penerapan Konsep Kebebasan dalam Kehidupan
a. Konsep Kebebasan Beragama dalam Perspektif Al-Quran
Dalam Al-Baqarah 256, yang berbunyi:

Jelas bahwasanya al-Quran menyatakan, jelas bahwasanya agama (Islam)


sangat menghormati kebebasan beragama, tidak ada pemaksaan dalam masuk
atau keluar Islam dan ia sangat menghormati perbedaan keyakinan yang
dimiliki semua manusia. Dan Islam datang tidak hanya bertujuan untuk
mempertahankan eksistensi nya sebagai agama tetapi juga mengakui
eksistensi agama-agama lain dan memberinya hak untuk hidup berdampingan
dan menghormati pemeluk-pemeluk agama lain. Hal ini dijelaskan dalam AlAnam ayat 108 yang berbunyi:

Artinya: Jangan mencerca yang tidak menyembah Allah (penganut agama


lain) ... dan dalam surat Al-Kafirun ayat 6 yang berbunyi:

Artinya: Bagimu agamamu dan bagiku agamaku. Dan juga dalam Surat
Al-Hajj: 40, berbunyi:

13

Artinya: Seandainya Allah tidak meno1ak keganasan sebagian orang atas


sebagian yang lain (tidak mendorong kerja sama antara manusia), niscaya
rubuhlah biara-biara, gereja~gereja, rumah-rumah ibadah orang Yahudi dan
masjid-masjid, yang di dalamnya banyak disebut nama Allah.
Ayat ini dijadikan oleh sebagian ulama, seperti al-Qurthubi (w.671 H, sebagai
argumentasi keharusan umat Islam memelihara tempat-tempat ibadah umat
non-Muslim. Memang, a1-Quran sendiri amat tegas menyatakan bahwa,
Seandainya Allah menghendaki, niscaya Dia menjadikan seluruh manusia
menjadi satu umat saja seperti yang dijelaskan dalam Surat An-Nahl ayat 93
yang berbunyi:

Tetapi Allah tidak menghendaki yang demikian, karena itu Dia memberikan
kebebasan kepada manusia untuk memilih sendiri jalan yang dianggapnya
baik, mengemukakan pendapatnya secara jelas dan bertanggung jawab. Di
sini dapat ditarik kesimpulan bahwa kebebasan berpendapat, termasuk
kebebasan memilih agama, adalah hak yang dianugerahkan Tuhan kepada
setiap insan.
Terlihat kebebasan beragama, mengemukakan pendapat dan demokrasi,
merupakan prinsip-prinsip ajaran Islam. Atas dasar itu pula, kitab suci umat
Islam mengakui kenyataan tentang banyaknya jalan yang dapat ditempuh
umat manusia. Mereka diperintahkan untuk berlomba-lomba dalam
kebaikan, kesemuanya demi kedamaian dan kerukunan: Allah memberi
petunjuk melalui wahyu-Nya siapa yang mengikuti keridhaan-Nya dengan

14

menelusuri jalan-jalan kedamaian seperti yang dijelaskan dala Al-Quran


Surat Al-Maidah ayat 16 yang berbunyi:

Sekali lagi ditemukan bahwa kebhinekaan diakui atau ditampung selama


bercirikan kedamaian. Bahkan dalam rangka mewujudkan kedamaian dengan
pihak lain, Islam menganjurkan dialog yang baik. Dan dalam dialog itu,
seorang Muslim tidak dianjurkan untuk mengklaim kepada mitra dialognya
bahwa kebenaran hanya menjadi miliknya.
Bahkan al-Quran sendiri mengisyaratkan bahwa penganut berbagai agama,
asalkan percaya kepada Tuhan dan Hari Kiamat serta berbuat baik, semuanya
akan selamat. Inilah yang menjadi dasar toleransi agama yang menjadi ciri
sejati Islam dalam sejarahnya yang otentik, suatu semangat yang merupakan
kelanjutan ajaran al-Quran yang dijelaskan dalam Surat Asy-Syura ayat 15
sebagai berikut:

Maka karena itu serulah (mereka kepada agama itu) dan tetaplah
sebagaimana diperintahkan kepadamu dan janganlah mengikuti hawa nafsu
mereka dan katakanlah: Aku beriman kepada semua Kitab yang diturunkan
Allah dan aku diperintahkan supaya berlaku adil di antara kamu. Allah lah
Tuhan kami dan Tuhan kamu. Bagi kami amal-amal kami dan bagi kamu
amal-amal kamu. Tidak ada pertengkaran antara kami dan kamu, Allah
mengumpulkan antara kita dan kepada-Nya lah kembali (kita).
b. Kebebasan Berekspresi dalam Islam
15

Islam memandang kebebasan berekspresi sebagai hal yang wajar, tetapi


sesuai dengan koridor yang telah ditentukan. Dengan kata lain, harus ada
batasan. Di masa Nabi SAW, kebebasan berpendapat sangat dihormati. Nabi
malah melarang orang memerangi pendapat yang berbeda. Di kalangan para
sahabat saja, terjadi perbedaan pendapat dalam memahami Sunnah Nabi.
Semua itu, berdasarkan fakta sejarah, diapresiasi oleh Nabi dengan arif.
Di antara koridor yang harus dijalankan adalah: Pertama, Islam melarang
mempertunjukkan penghinaan atas hal sakral yang diyakini seseorang,
sepertni penghinaan kaum Sekuler terhadap Islam di masa sekarang ini.
Kedua, hadis Nabi yang terkenal, yang mewajibkan kita untuk merubah
kemungkaran, membenci kemunkaran di dalam hati ketika kemunkaran tadi
tidak bisa dirubah dengan tangan atau kata-kata. Oleh karena itu, tidaklah
mungkin menghargai nilai kebebasan berbicara yang memungkinkan
terjadinya penghinaan terhadap Islam. Ketiga, kebebasan bereskpresi di Barat
adalah sebuah nilai yang telah menyebabkan kerusakan yang besar dalam
masyarakat. Di Eropa, penghinaan atas Nabi Isa (Jesus), putra Maryam,
adalah hal yang biasa. Orang Kristen di Barat telah terbiasa dengan
penghinaan semacam itu dan hanya sedikit saja yang protes atau tidak
menerima penghinaan tersebut.
Lagi pula, kebebasan berekspresi yang tidak terbatas adalah kebebasan yang
sering digunakan untuk menghina. Berlakunya kebebasan menghina orang
lain tidak bisa menghasilkan masyarakat yang harmonis dan saling
menghargai. Paling tidak hal ini menjelaskan mengapa Eropa yang sekuler
begitu tidak mampunyai toleransi atas perbedaan. Dan, dalam sejarah
terburuk Eropa menunjukkan bagaimana kebebasan untuk menghina ini
sangat cepat berubah menjadi kebebasan untuk menganiaya orang lain.
Logika kebebasan berekspresi tanpa batas terbukti tidak tepat dan tidak
diterima di mana pun. Di Indonesia, misalnya, sudah lama dilarang
penyebaran paham komunisme. Bagaimana dengan penyebaran paham
lesbianisme yang juga sangat besar tingkat kejahatannya? Jadi, manusia yang
waras otaknya, pasti akan menolak konsep kebebasan yang tanpa batas.

16

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Konsep tentang kebebasan manusia, terdapat pada lima fase kehidupan
manusia, yaitu alam ruh, alam rahim, alam dunia alam barzah dan alam akhirat.
Akan tetapi manusia diberikan kesadaran dan potensi akal hanya di alam dunia
untuk mengkonsepsikan dan mengaplikasikan konsep-konsep yang ada dengan
bimbingan wahyu Allah SWT. Makna kebebasan mengandung tiga arti, yaitu: (1)
Kebebasan identik dengan fitrah yaitu tabiat dan kodrat asal manusia sebelum
diubah, dicemari, dan dirusak oleh sistem kehidupan disekelilingnya, (2)
Kebebasan adalah daya kemampuan (istithaah) dan kehendak (masyiah) atau
keinginan (iradah) yang Allah berikan kepada kita untuk memilih jalan hidup
masing-masing, dan (3) Kebebasan dalam Islam berarti memilih yang baik
(ikhtiyar). Aplikasi konsep kebebasan telah termuat dalam ikhtiar, yaitu memilih
yang terbaik.
Istilah yang tepat untuk kebebasan dalam islam terdapat dalam salah satu
istilah syariat yaitu ikhtiar. Ikhtiar adalah khair (baik), yang berarti memilih yang
terbaik. Oleh karena itu, jika bukan memilih sesuatu yang baik, pilihan itu
bukanlah benar-benar pilihan, melainkan sebuah ketidak adilan (zhulm). Kata
kebebasan dalam islam diungkapkan dengan dua istilah. Pertama dengan
istilah hurriyah dan kedua, dengan ikhtiyar. Kebebasan internal (hurriyah
dakhiliyah) yaitu kekuatan memilih antara dua hal yang berbeda dan bertentangan.
Ikhtiyar adalah khair atau baik, yang berarti memilih sesuatu yang terbaik. Islam
memandang kebebasan berdasarkan sudut pandang dari sumber kebebasan dan
batasan kebebasan. Kebebasan bersumber dari tabiat takwini manusia. Tabiat
takwini ini adalah kekuatan yang bernama kehendak (iradah) yang bersemayam

17

dalam diri manusia yang menstimulir perbuatan dan mengaktualisasi segala


potensi manusia. Untuk batasan kebebasan dalam islam, jelas bahwa bahwa kita
tidak mengenal adanya kebebasan mutlak dan tidak terbatas. Kebebasan yang
dimiliki manusia ini berkembang pada pola-laku sosial. Kebebasan dalam artian
ini merupakan sebuah masalah sosial.
Konsep kebebasan beragama dalam perspektif Al-Qura telah dijelaskan
dalam QS. Al-Baqarah ayat 256 yang intinya menjelaskan bahwa islam sangat
menghormati kebebasan beragama, tidak ada paksaan untuk masuk atau keluar
dalam islam. Islam juga memandang kebebasan berekspresi sebagai hal yang
wajar, tetapi sesuai dengan koridor yang ditentukan. Dengan kata lain, harus ada
batasan.

Diantara koridor yang

dijalankan

yaitu,

(1) Islam melarang

mempertunjukkan penghinaan atas sakral yang diyakini seseorang, (2) Hadis Nabi
yang terkenal, yang mewajibkan kita untuk merubah kemungkaran, membenci
kemunkaran di dalam hati ketika kemunkaran tadi tidak bisa dirubah dengan
tangan atau kata-kata. Oleh karena itu, tidaklah mungkin menghargai nilai
kebebasan berbicara yang memungkinkan terjadinya penghinaan terhadap Islam,
(3) Kebebasan bereskpresi di Barat adalah sebuah nilai yang telah menyebabkan
kerusakan yang besar dalam masyarakat. Di Eropa, penghinaan atas Nabi Isa
(Jesus), putra Maryam, adalah hal yang biasa. Orang Kristen di Barat telah
terbiasa dengan penghinaan semacam itu dan hanya sedikit saja yang protes atau
tidak menerima penghinaan tersebut.
3.2 Saran
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam pembuatan makalah ini
masih dapat dikatakan jauh dari kata sempurna. Untuk itu, kami mohon saran dan
masukan dari berbagai pihak demi kesempurnaan makalah di masa mendatang.
Semoga apa yang ada dalam makalah ini dapat bermanfaatn bagi semua pihak.

18

DAFTAR PUSTAKA
Referensi Buku
Abdullah yatimin, studi akhlak dalam perspektif Al- Quran. Jakarta:amzah, 2008
As-Suyuthi, Jalaluddin, Jalaluddin Al-Mahalli, Tafsir Jalalain, Surabaya:
Maktabah Daarul Kutub Al-Arabiyah, 1414 H.
_________________, Riwayat Turunnya Ayat-Ayat Suci Al-Quran, terjm. M.
Abdul Mujieb AS, Lubbun Nuql fi Asbbin Nuzl, Surabaya: Mutiara
Ilmu, 1986
Dumartheray, Roland dkk, Agama dalam Dialog: Pencerahan, Perdamaian dan
Masa Depan, cet.2, Jakarta: PT BPK Gunung Mulia, 2003.
Hidayat, Komaruddin, Memahami Bahasa Agama, Sebuah Kajian Hermeneutik,
Jakarta: Paramadina, 1996.
Nata abudin, akhlak tasawuf. Jakarta:rajawali pers, 2012
Referensi Web
http://inpasonline.com/new/kebebasan-dalam-pandangan-islam/ diakses tanggal
12 Maret 2015
http://insistnet.com/tiga-makna-kebebasan-dalam-islam-2/ diakses tanggal 12
Maret 2015
http://www.himmahfm.com/muslimah-corner/439-kebebasan-dalam-perspektifislam-dan-barat diakses tanggal 12 Maret 2015
http://majalahgontor.net/terminologi-kebebasan-dalam-perspektif-islam/

diakses

tanggal 12 Maret 2015


http://www.safiyhati.com/2013/07/hikmah-keutamaan-silaturahmi.html

diakses

tanggal 12 Maret 2015

19

Anda mungkin juga menyukai